Anda di halaman 1dari 8

HIKAYAT KUCING DAN PETUAH DEWI PADI

Mariati Atkah

SUARA KUCING MENGEONG. JEDA SEBENTAR. MENGEONG LAGI. JEDA YANG LEBIH LAMA
DARI SEKEDAR SEBENTAR. MENGEONG LAGI. KALI INI TERDENGAR SUARA BINATANG
MENERKAM. UDARA TIBA-TIBA GADUH DENGAN BUNYI BENDA-BENDA YANG TERLEMPAR:
PIRING, GELAS, PENUTUP PANCI, SEMUA BENDA YANG MAMPU MENYEBABKAN RASA
SAKIT. DARI SUDUT GELAP, SEEKOR KUCING BERLARI TERENGAH-ENGAH. IA BERHENTI DI
TENGAH PANGGUNG LALU MENENGOK KE BELAKANG. KETIKA YAKIN IA TIDAK DIKEJAR, IA
MULAI OMONG-OMONG.

KUCING PENCERITA: Awwe lamarupe’…. Betapa malangnya nasib saya. Saya ini hanya seekor
kucing kampung. Jarang ada manusia yang mau memelihara kucing seperti saya di rumahnya.
Sehari-hari saya berkeliaran di jalan. Kalau perut sudah mulai nyanyi kasidah, saya hanya bisa
mengais tong sampah mencari makanan sisa.

Untuk perbaikan gizi, saya terpaksa menyusup ke dapur mencari sepotong-dua potong ikan.
Ingat ya, mencari bukan mencuri. Namun manusia, ya ampun pelitnya, tidak mau bagi-bagi
rejeki. Maunya semua masuk ke perut sendiri. Kalau tidak habis, makanan mereka buang
begitu saja. Itu yang dinamakan masekke’ na mangoa, pelit sekaligus serakah.

Saya gagal paham, kenapa begitu melihat saya manusia langsung naik darah. Mereka lempari
saya dengan segala rupa untuk membuat saya menderita. Sungguh berbeda nasib saya
dengan kucing Persia yang dipelihara di rumah Pung Lina. Rumah di ujung jalan itu, ya di sana
ada kucing juga.

Apakah karena ia terlihat lebih menarik, maka ia dipelihara? Makanannya terjamin dengan
harga yang seringkali lebih mahal dari makanan orang. Ia dirawat baik-baik, diberi vitamin,
dibawa ke salon, dan kalau sakit dibawa ke dokter. Tapi kucing macam saya ini, siapa kiranya
yang mau merawat dan memelihara? Sebagai sesama kucing, saya merasa derajat, harkat
dan martabat kekucingan saya direndahkan. Ini diskriminasi! Rasis!

MENGGERAM KESAL. KUCING ITU MELENGGANG KE TEPI PANGGUNG. DI SANA ADA KOTAK
YANG MENYERUPAI MEJA. IA NAIK LALU DUDUK DI ATASNYA.

KUCING PENCERITA: Binatang tak bertuan seperti saya ini seringkali dimusuhi karena
dianggap tidak beradab, merepotkan, dan kadang-kadang membahayakan. Padahal itu
hanyalah naluri saya untuk mempertahankan diri atau untuk sekedar menyelamatkan hidup.

Hikayat Kucing dan Petuah Dewi Padi – Mariati Atkah – Festival Kala Monolog 2019 1 1

Saya tidak punya nilai moral untuk menilai mana yang kejam dan mana yang sopan. Ceritanya
berbeda jika yang kejam itu adalah manusia.

Huh! Manusia selalu menganggap diri mereka adalah makhluk yang paling sempurna. Mereka
dikaruniai akal dan pikiran oleh Tuhan untuk menentukan perbuatan yang dilakukannya. Tapi
manusia itu, oh, banyak dari mereka yang berlaku lebih buruk dari binatang. Bahkan kami juga
sering menjadi korbannya.

SECARA TIBA-TIBA BERTERIAK: Kampret!

LALU KUCING ITU MELOMPAT DARI MEJA KE LANTAI.

KUCING PENCERITA: Anjing kau! Anak babi! Ih, laki-laki buaya! Itu sana perempuan kayak
monyet betina, berisik tidak kira-kira! Nah, kenapa nama binatang yang dipakai untuk mewakili
hal-hal buruk yang berasal dari manusia? Apa salah kami? Kenapa manusia tidak mau
bertanggungjawab pada perilaku sesama mereka sendiri? Saya marah sekali. Sungguh
manusia itu minta dielus pakai cakar!

IA MENGANGKAT KEDUA TANGANNYA, BERDOA: Ya Tuhan, saya mau laporkan yang punya
mulut kasar itu dengan tuduhan pencemaran nama baik para binatang. Berikanlah mereka
surga yang isinya penuh ulat bulu. Aamiiin.

KUCING ITU BERGERAK KE TENGAH PANGGUNG. DI SANA ADA TUMPUKAN PADI, JAGUNG,
DAN KETELA.

KUCING PENCERITA: Seandainya saja semua manusia seperti sang dewi padi Sangiang Serri.
Berteman dengan kucing, bahkan tak terima kucingnya disiksa. Jenis manusia yang jahat
maupun yang baik memang sudah ada sejak dulu kala. Pada jaman nenek moyang saya masih
hidup pun begitu adanya. Ya, moyang saya itu adalah kucingnya dewi padi. Namanya Meong
Palo Karellae.

Dulu ia adalah inanyyumparenna atau ibu susuan Sangiang Serri yang menjelma jadi kucing
untuk senantiasa mendampingi junjungannya. Tentang siapakah Sangiang Serri itu, akan saya
kisahkan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Ia dinamai We Oddang Riuq, putri Batara Guru To Manurungnge ri Luwu bersama selirnya
yang bernama We Saung Riuq. We Oddang Riuq lahir prematur dari kandungan ibunya yang
baru tujuh bulan. Ia meninggal setelah berusia tujuh hari tujuh malam di dunia, dan
dimakamkan di hutan belantara yang belum pernah tercemar oleh bau manusia.

Hikayat Kucing dan Petuah Dewi Padi – Mariati Atkah – Festival Kala Monolog 2019 2 2

Tiga hari kemudian, ayahnya yang diserang rindu datang mengunjungi pusaranya. Batara Guru
sungguh kaget menemukan padi lima warna muncul dari makam putrinya yang menyebar
seluas padang. We Oddang Riuq telah menjelma sebagai Sangiang Serri sang dewi padi. Telah
ditetapkan takdirnya untuk menjadi makanan bagi manusia.

Nah, begitulah. Sangiang Serri kemudian tinggal di istana ayahnya di Luwu. Ia ditempatkan di
rakkeang, di dalam loteng, yang menjadi singgasananya.

Seperti kain sarung yang sudah terlalu sering dicuci, sifat manusia pun berubah seiring
pergantian musim. Ma’balo lipa’, kata orang. Penghuni kerajaan tidak lagi menghormati
Sangiang Serri. Ia diturunkan dari rakkeang, petuahnya tidak didengar, pantangan dan
larangan-larangannya dilanggar. Warga membiarkannya dimakan tikus pada malam hari dan
dipatuk ayam pada siang hari. Mereka juga menyiksa Meong Palo Karellae, sang kucing
pengawal yang setia. Hati Sangiang Serri cedera. Dikuat-kuatkanlah tekadnya untuk pergi
sompe’, mengembara mencari kebaikan manusia.

SANG KUCING MENGGARUK-GARUK TELINGANYA. IA MELENGGANG DI SEKELILING


PANGGUNG. KEMUDIAN LAMPU PADAM.

TERDENGAR SUARA KUCING MENGEONG. JEDA SEBENTAR. MENGEONG LAGI. SUARA


LELAKI: HUSSS! HUSSSSSS! SIIIIIIH!

SEJENAK SUNYI. LALU SUARA KUCING MENERKAM MEREMUK TULANG. BUNYI BENDA-
BENDA DILEMPARKAN SERAMPANGAN, DENTING BENDA TAJAM, DAN ERANG KUCING
KESAKITAN BERCAMPUR ADUK.

DARI BELAKANG PANGGUNG, KUCING BERBELANG MERAH DAN HITAM BERLARI DENGAN
PANIK. IA BERPUTAR-PUTAR SEBELUM BERHENTI DI TENGAH PANGGUNG DENGAN LELAH.

MEONG PALO KARELLAE: Awwe lamarupe’…. Saya hanya mengharap sedikit makanan
setelah jauh berjalan dari Luwu ke Enrekang. Seekor ikan cukuplah sebagai pengobat lapar.
Namun tuan pemilik rumah ini tak punya belas kasih. Ia pukul kepala saya dengan punggung
parang sampai serasa akan runtuh dunia ini. MENGEONG LEMAH. Saya lari ke bawah dapur,
namun saya ditusuk pula dengan puntung kayu bakar sampai terjatuh.

IA MENJATUHKAN DIRI KE LANTAI PANGGUNG, SEAKAN INGIN MEMELUK BUMI. NAMUN


TIBA-TIBA IA TERSENTAK MENDENGAR SUARA ANJING MENGGONGGONG DENGAN GALAK.
MEONG PALO LARI BERSEMBUNYI. TERDENGAR SUARA ORANG MENUMBUK LESUNG
DENGAN ALU. KUCING MENGENGONG. RIBUT SUARA ORANG MARAH, BERSUMPAH

Hikayat Kucing dan Petuah Dewi Padi – Mariati Atkah – Festival Kala Monolog 2019 3 3

SERAPAH. BEBERAPA JENAK KEMUDIAN, KUCING ITU KEMBALI MUNCUL DI TENGAH
PANGGUNG.

MEONG PALO KARELLAE: Awwe puang…. Orang-orang itu sungguh bernafsu ingin
menghukum saya. Mereka memukul saya dengan alu, bahkan melempari saya dengan nyiru,
tak peduli padi berserakan dan beras tertumpah di atas tanah. Tak seorang pun tunduk
memungutnya hingga dipatuk oleh ayam-ayam yang berkeliaran.

Ketika saya lari ke bawah alat tenun, saya ditusuk dengan batang kayu. Saya terus lari ke
rakkeang. Tapi pemilik rumah yang saya ambil ikannya itu tak henti-hentinya memburu.
Menyusul pula ia ke rakkeang.

KUCING ITU LARI BERLINDUNG DI BALIK TUMPUKAN PADI YANG TAK LAIN ADALAH TUBUH
DATU SANGIANG SERRI. KEPALANYA MUNCUL PELAN-PELAN MENGINTIP SEKITAR. IA
MEMBELAI-BELAI PADI ITU DENGAN PENUH KASIH.

MEONG PALO KARELLAE: Junjungan saya, Sangiang Serri yang mulia, sementara tidur lalu
terserempet oleh ujung cambuk si pemilik rumah. Ia pun terbangun dengan kaget. Pilu hatinya,
melayang semangatnya mendapat perlakukan seperti itu. Ia segera bangkit dan berkata,
“Marilah kita semua pergi mencari manusia yang baik. Tak mau lagi saya tinggal di sini. Kucing
yang diharapkan untuk menjaga kita agar tak diganggu tikus justru disiksa habis-habisan. IA
MENGANGKAT TANGANNYA KE DEKAT TELINGA. Dengarlah, dengar. Seisi rumah tak henti-
hentinya mengumpat. Wajah mereka seperti hutan yang ditutupi kabut amarah.”

Maka seketika itu juga, berangkatlah kami.

“Perjalanan ini untuk menemukan orang yang sabar dan berpasrah diri, tahu menghargai padi,
tidak cemburu hati terhadap tetangga, murah hati kepada semua makhluk, laki-laki yang jujur,
wanita yang dermawan, siap mengantar orang yang bepergian, menjemput orang yang
datang, memberi makan orang yang lapar, memberi minum orang yang haus, memberi
pakaian kepada orang yang telanjang, menerima orang yang susah, menampung orang yang
terlantar, menerima orang yang dibenci, menerima semua orang yang diperlakukan
sewenang-wenang oleh sesama manusia,” kata Sangiang Serri.

MEONG PALO BERANJAK DENGAN GERAK TERATUR. TAK CEPAT JUGA TAK LAMBAT.
LAMPU PADAM SAAT IA MENGHILANG KE BELAKANG PANGGUNG. SAAT LAMPU
MENYALA KEMBALI, IA SUDAH DUDUK DI SALAH SATU SUDUT.

Hikayat Kucing dan Petuah Dewi Padi – Mariati Atkah – Festival Kala Monolog 2019 4 4

MEONG PALO KARELLAE: Inilah kiranya rumah Matoa, Sulewatang Maiwa. Sepertinya
penghuni rumah sedang makan. KEPALANYA MENDONGAK DAN BERGERAK-GERAK
MEMBAUI SESUATU DI UDARA. Dapat saya cium aroma ikan bete kering yang digoreng.
Sayurnya daun kelor ditemani sambal terasi. Betapa lahapnya mereka makan. Tapi lihatlah, o
lihat, mereka menyendok nasi secara serampangan, menyuap dengan tergesa-gesa sehingga
berhamburanlah nasi di lantai. Tak mau juga mereka pungut. Si ibu tak menegur, malah
membiarkan anaknya menghamburkan makanan.

SUARA ANAK MENANGIS MERAUNG-RAUNG. BUNYI PIRING MENABRAK DINDING.

MEONG PALO KARELLAE: Eeee….. magai ro? Kenapa anak itu menangis? Piringnya
dilemparkan pula sehingga berhamburan nasinya. Bapak dan ibunya sungguh marah. Anak itu
disumpah-sumpahi, juga teman-temannya yang sedang makan bersama. Aih…aih… Suami istri
itu pun bertengkar karena perilaku anak mereka.

Tak senang dengan sengketa yang dilihatnya, Sangiang Serri tak ingin berlama-lama. Segera
kami angkat kaki, mengarungi kampung demi kampung, mengabaikan letih demi menemukan
pemilik hati murni. Namun selalu saja kami dapati orang yang pemarah, berkata-kata
seenaknya, orang yang hatinya penuh kebencian dan cemburu terhadap sesama, tak
menyediakan air minum, bahkan kami dapati laki-laki dan perempuan tidur bercampur baur.

Saya bertanya-tanya, mengapa dewata tidak meruntuhkan langit di atas kepala mereka?
Mengapa makhluk demikian itu dibiarkan mencemari dunia? Harapan saya akan menemukan
kebaikan manusia pupus sudah. Terlebih saat menumpang di rumah Matoa Watu, saya
disepak oleh istri pemilik rumah ketika ia akan mengambil padi. Ditendangnya saya hingga
terlempar persis di depan Datu Sangiang Serri. MEONG PALO KARELLAE TERSUNGKUR DI
DEPAN IKATAN PADI. Perempuan itu terus saja mulutnya komat-kamit ketika berjalan menuju
ke lesung. Ia menumbuk dengan marah sehingga padinya berhamburan. Tak ada yang bisa
dilakukan Sangiang Serri selain menangisi perbuatan takabbur itu.

KUCING ITU BANGKIT PERLAHAN-LAHAN.

MEONG PALO KARELLAE: Kami lelah lahir batin, namun kami terus juga melangkah hingga
menemukan simpang jalan. “Arah manakah yang harus kita tempuh, Datu?” tanya saya
kepada Sangiang Serri.

Ia berkata, ”Sebaiknya kita lewat jalan yang menuju Barru, siapa tahu akan kita temukan
manusia dengan sifat-sifat seperti yang kita harapkan: mau menampung orang yang
terdampar, menerima orang yang kesusahan, sabar dan pasrah, jujur dan berhati-hati.
Kampung dengan penghuni bersifat seperti itulah yang akan kita pilih untuk menetap.”

Hikayat Kucing dan Petuah Dewi Padi – Mariati Atkah – Festival Kala Monolog 2019 5 5

Kami akhirnya sampai di Barru. Setelah saya amati, rumah-rumah di sana terang dengan
pelita. Harapan kami pun kembali menyala.

“Nah, ini rumah Matoa Barru. Dengarlah. Semua orang di dalamnya berbicara dengan tutur
kata yang baik.”

Pemilik rumah memberi sambutan yang tak kami dapati sepanjang kembara. Diambilkannya
air, dihamparkannya tikar. Lalu serentak berdatanganlah penduduk Barru. Tak henti-hentinya
mereka menjamu. Saya pun bahagia, akhirnya bisa makan sepuasnya tanpa khawatir akan ada
piring yang melayang ke kepala saya.

KUCING ITU MENGEONG SENANG. IA BERGULING-GULING DI LANTAI LALU KEMBALI DUDUK


TEGAK.

MEONG PALO KARELLAE: Setulus hatinya, penduduk berharap agar Sangiang Serri mau
menetap dan menyebarkan keturunannya, menjalani ketentuan untuk memberi kehidupan bagi
orang bumi. Sangiang Serri yang telah kembali semangatnya tidak serta merta mengabulkan
harapan mereka. Ia memberi petuah kepada penduduk di hadapannya.

”Dengarlah, hai orang banyak. Saya akan sangat senang jika kamu kekalkan sifat-sifat baikmu.
Berbicaralah dengan lemah lembut dan bertutur kata yang baik. Jangan sekali-sekali
mengambil yang bukan hakmu, atau memakan sesuatu yang tidak baik asalnya.

Jaga kebersihan hatimu, jaga ucapan-ucapanmu, juga pandangan matamu, musuhilah


nafsumu, batasi amarahmu, bendunglah keinginanmu, janganlah berselisih paham, hadapkan
hatimu kepada Tuhan, mohonlah kasihNya, dan sabarlah engkau terhadap sesama.

Aku senang jika kalian menuruti nasihatku dan meninggalkan semua pantanganku. Jika yang
terjadi sebaliknya, maka tunggulah bala bencana akan menimpa tanaman-tanaman kalian.”

KUCING ITU MENOLEH KE KANAN DAN KE KIRI, SEPERTI MENCARI-CARI SESUATU.

MEONG PALO KARELLAE: Meskipun penduduk Barru sangat baik, namun Sangiang Serri
bersikeras untuk kembali ke langit. MENUNJUK KE ATAS. Ia hendak pulang kepada yang
menciptakannya, sebab sudah terlanjur luka hatinya dengan apa yang selama ini dia alami,
terutama dengan penyiksaan manusia kepada saya. MENUNJUK DADANYA. Ia berangkat ke
langit, namun dikembalikan ke bumi, sebab ia memang telah ditakdirkan untuk memberi
kehidupan. Selama-lamanya akan mengisi tenggorokan manusia.

Ia pun kembali ke Barru dan mengajukan penawaran bersyarat: sekali saja terdengar kata-
kata buruk dari penduduk, ia akan berpaling pergi. Setelah tujuh malam sekembalinya ia dari

Hikayat Kucing dan Petuah Dewi Padi – Mariati Atkah – Festival Kala Monolog 2019 6 6

langit, tak pernah ia dengar orang berselisih, yakinlah ia bahwa di kampung itulah ia bakal
menetap.

Oh ya, kepada para hakim Sangiang Serri menitip pesan, “Apabila engkau mengadili,
berbuatlah dengan jujur. Jangan membenarkan sesuatu yang salah dan menyalahkan yang
benar. Hadirkanlah saksi dari kedua belah pihak. Jika perkara telah terukur dengan alat hukum
dan hatimu telah membenarkan, barulah engkau memutuskan. Jangan sekali-sekali
mengambil untung atau menerima suap. Harta yang diperolah dari jalan yang tidak jujur hanya
akan menyebabkan penyakit merajalela dan kegagalan panen. Apabila keputusanmu adil, maka
akan dimudahkan seluruh kehidupanmu.”

MEONG PALO KARELLAE KELUAR. SEBELUM MENGHILANG, SEKALI LAGI IA MENOLEH KE


ARAH PENONTON.

MEONG PALO KARELLAE: Apabila keputusanmu adil, maka akan dimudahkan seluruh
kehidupanmu. LAMPU PADAM.

KUCING PENCERITA MUNCUL KEMBALI SAMBIL MELOMPAT-LOMPAT RIANG.

KUCING PENCERITA: Demikian kisahnya. Harapan saya kembali menyala seperti pelita yang
menerangi rumah-rumah di kampung terakhir dalam pengembaraan Meong Palo Karellae.
Saya jadi yakin, bahwa meski dunia ini penuh dengan keburukan, pasti ada secercah kebaikan
yang akan membantu kita bertahan.

Sebelum saya pergi berburu lagi, saya cukupkan cerita-ceritanya Datu Sangiang Serri beserta
pengawalnya. Salama’ to pada salama maneng. Kuru’ sumange’. Meoooong! Meoooong!
Meoooong!

KUCING MENGEONG SAMBIL MELANGKAH DENGAN TENANG MENUJU BELAKANG


PANGGUNG. SEMAKIN LAMA SUARANYA SEMAKIN PELAN SEIRING LAMPU PERLAHAN
MEREDUP LALU GELAP YANG KENTAL MENYELIMUTI PANGGUNG.

SELESAI

Hikayat Kucing dan Petuah Dewi Padi – Mariati Atkah – Festival Kala Monolog 2019 7 7

Catatan:

Naskah ini berdasarkan pada ringkasan cerita Meong Palo Karellae yang diunggah oleh
Lembaga Seni Budaya Teluk Bone.

PENULIS:

Mariati Atkah, anggota Komunitas Lego-Lego. Menulis puisi dan cerpen.


Naskah ini adalah naskah monolog pertama yang ia tulis.

Hikayat Kucing dan Petuah Dewi Padi – Mariati Atkah – Festival Kala Monolog 2019 8 8

Anda mungkin juga menyukai