Anda di halaman 1dari 3

Kebenaran Itu Paradoks

Jakob Sumardjo

Kompas, Sabtu, 26 Agustus 2006


Realitas ini akan mengejutkan manusia modern, karena kita terbiasa hidup
dalam kebenaran tunggal. Hidup dalam paradigma menang-kalah. Yang
menang adalah yang lebih banyak, lebih kuat, lebih kaya, lebih pandai
berartikulasi. Siapa menang akan benar. Yang kalah itu tidak benar.
Hidup ini adu kekuatan, perang. Dan perang membutuhkan konflik. Dan
konflik adalah perbedaan-perbedaan. Di mana tumbuh perbedaan-
perbedaan, maka di situ muncul konflik. Setiap perbedaan mengklaim dirinya
benar. Dan karena setiap kebenaran itu ingin hidup dan berkembang,
sebagai hak asasi, maka yang terjadi adalah perang-kebenaran. Kebenaran
yang lebih kuat akan menggencet dan menyingkirkan kebenaran yang kalah.
Itulah cara berpikir kita sekarang ini.
Perbedaan adalah pluralisme, suatu bhinneka. Pluralisme adalah kodrat,
alamiah, di luar kuasa manusia. Lihatlah langit, ada matahari, bulan, dan
aneka ragam bintang-bintang. Lihatlah alam dunia ini, ada gunung dan
dataran rendah, ada daratan ada hutan, ada hulu dan ada hilir, ada siang
dan ada malam.
Pluralisme juga ada dalam kebudayaan manusia. Cara berpikir orang-
orang di kutub berbeda dengan cara berpikir orang-orang di khatulistiwa.
Cara berpikir orang padang rumput berbeda dengan cara berpikir (dan cara
hidup) orang rimba raya. Cara berpikir alam dua musim berbeda dengan
yang empat musim. Cara berpikir orang dagang berbeda dengan cara
berpikir orang tani. Kebenaran kaum pemburu berseberangan dengan
kebenaran kaum tani.

Sejarah perang kebenaran


Pluralitas adalah realitas yang tidak dapat direduksi menjadi kebenaran
tunggal. Sejarah penderitaan manusia adalah sejarah perang kebenaran
untuk menduduki tempatnya yang tunggal di dunia ini. Dan tidak pernah
tercapai. Tampaknya sudah tercapai, tetapi umurnya tidak panjang, karena
realitas itu kebhinnekaan.
Namun, manusia tidak pernah belajar dari sejarah dirinya sendiri. Konflik
kebenaran tetap dilanjutkan dengan perang kebenaran. Manusia itu musuh
bagi sesamanya. Dan musuh itu harus dilenyapkan karena merupakan
gangguan dan ancaman bagi dirinya. Manusia ingin hidup dengan
kebenarannya sendiri sambil menafikan kebenaran yang lain. Seandainya ini
pun terjadi, maka kebenaran tunggalnya itu pun lambat laun akan
menumbuhkan dirinya dalam kebenaran plural. Sejarah manusia telah
membuktikan hal ini berkali-kali.
Mengapa manusia bisa keras kepala, ndableg, seperti itu? Karena
kehendak bebasnya, karena kebebasan pikirannya. Engkau boleh
memenjarakan badannya, menyakiti dan mengancamnya, tetapi engkau
tidak mungkin melenyapkan pikirannya.
Kebenaran tunggal itu melawan kodrat manusia sendiri. Kebenaran
tunggal itu antikebebasan, bahkan untuk dirinya sendiri. Kebenaran tunggal
adalah pembekuan pikiran. Mandek. Tertutup dan sumpek. Manusia-manusia
tertutup seperti ini membuat dunia berhenti kehilangan cakrawala. Manusia

1
bukan manusia lagi, hanyalah kawanan bebek atau kerbau yang menuruti
lecutan si pemilik kebenaran.
Kearifan lokal
Ada cara berpikir lain milik kearifan lokal Indonesia, terutama manusia
Indonesia yang nenek moyangnya hidup dari pertanian. Indonesia adalah
ribuan pulau di khatulistiwa dengan aneka ragam hayati dan geografi. Apa
pun yang ada di dunia ini ada di Indonesia. Hutan, gunung, sungai, rawa-
rawa, laut, teluk, tanah genteng, bantaran, padang sabana, padang pasir,
padang tandus, tundra, salju. Gempa, gunung api, tanah longsor, tsunami,
tanah turun-ambles, semua ada di Indonesia.
Manusia Indonesia melihat itu semua tetapi tidak melihat. Namun,
nenek moyang orang Indonesia melihat apa yang dilihatnya, karena mereka
hidup bergantung pada alam ekologinya. Mereka bukan hanya mampu
melihat ekologi, tetapi juga mampu membaca ekologi. Mereka hidup dengan
alam, bersama alam, dan dalam alam. Bahkan menjajarkan dirinya dengan
alam. Dan alam itu bukan obyek mati yang bisa dibikin semena-mena oleh
manusia. Alam itu seperti manusia yang dapat murah hati, penuh kasih
sayang, tetapi juga dapat marah, merusak dan mematikan.
Manusia mengenal kasih sayang dan kebencian, begitu pula alam. Kasih
sayang itu menumbuhkan kehidupan, sedangkan kebencian itu merusak
kehidupan. Kasih sayang dan kebencian adalah pola hubungan dua pihak.
Cinta itu muncul antara yang mencinta dan yang dicintai, begitu pula
kebencian. Nenek moyang Indonesia menyadari pluralisme ini, perbedaan-
perbedaan ini, kemungkinan-kemungkinan konflik ini. Manusia Indonesia
lebih memihak kepada kehidupan yang plural ini. Pluralisme adalah realitas,
tanpa kebhinnekaan hidup akan berhenti, mati, pluralisme adalah hidup ini
sendiri.
Bagaimana Anda dapat hidup bersebelahan dengan orang yang
memusuhi Anda karena kebenaran kita berbeda? Untuk apa menang kalau
yang lain tak ada? Kemenangan selalu membutuhkan kekalahan. Kehidupan
dalam kebenaran tunggal hanya mungkin kalau yang lain itu kalah dan
dimatikan. Kearifan lokal Indonesia menolak menang dan kalah, karena
berpihak pada prinsip kehidupan. Jadi, banci dan tak punya prinsip? Justru
prinsipnya memihak kepada kehidupan yang plural ini. Membunuh
kebenaran yang lain itu jahat, tidak etis. Lha, bagaimana itu mungkin?
Itulah kebenaran paradoks. Kalau kebenaran saya berseberangan
dengan kebenaran Anda, maka masing-masing dari kita harus
memparadokskan diri. Saya mengenal dan memahami kebenaran Anda, dan
Anda juga mengenal dan memahami kebenaran saya. Karena saya mengenal
Anda, maka saya akan melakukan atau tidak melakukan hal-hal yang Anda
sukai atau Anda tidak sukai. Begitu pula Anda.
Justru itu dilakukan untuk mempertahankan prinsip masing-masing.
Dalam memahami yang lain, diri masing-masing tidak berubah. Saya tetap
saya, dan Anda tetap Anda. Itulah yang terjadi dalam kebenaran paradoks.
Kondisi paradoksal itulah yang akan menyelamatkan prinsip kita masing-
masing, karena saya tahu apa yang Anda mau dan Anda tahu apa yang saya
mau. Dan karenanya kita dapat bersikap yang dapat menghindarkan konflik.
Kebenaran baru
Sikap paradoks seperti ini tak akan terjadi kalau kita tidak membuka diri.
Manusia tertutup tak mungkin hidup tanpa konflik, karena manusia ini buta.
Melihat tetapi tidak melihat. Manusia paradoks adalah manusia terbuka

2
tetapi tetap mempertahankan kebenaran sendiri. Manusia Indonesia lama itu
bukan jenis manusia sintesis, banci, dan mencla-mencle. Kebenaran saya
tetap ingin hidup, dan kebenaran Anda juga tetap ingin hidup. Bagaimana
hidup itu sendiri mungkin kalau saya mematikan Anda atau Anda mematikan
saya? Saya tidak rela mati dan Anda juga tidak rela mati atau dimatikan.
Apakah hak hidup ini hanya untuk kebenaran saya saja?
Jadi, nilai kebenaran Indonesia itu paradoks. Tepo sliro manjing ajur ajer.
Subyek menjadikan dirinya obyek. Manusia memasuki pikiran yang lain.
Manusia menjadikan dirinya seperti alam. Saya tahu bagaimana alam akan
memberikan kasih sayangnya kepada saya, dan saya juga tahu bagaimana
alam akan marah dan membinasakan diri saya. Saya tahu bagaimana Anda
akan memberikan kasih sayang Anda kepada saya, dan saya juga tahu
bagaimana saya dapat membuat Anda marah.
Inilah kearifan harmoni itu. Harmoni hanya dapat dicapai dengan
mengembangkan sikap paradoksal. Membuka diri untuk yang lain. Harmoni
bukan sintesis peleburan yang melenyapkan kebenaran masing-masing.
Artinya rela melenyapkan kebenaran sendiri dengan membentuk kebenaran
baru yang merupakan sintesis kebenaran baru. Inilah sebabnya banyak
tokoh tidak berhasil ketika berusaha membentuk agama baru dari campur
aduk berbagai agama.
Harmoni itu tidak menetap dan konstan. Harmoni dicapai lewat
paradoks ketika gejala konflik memanas. Lalu kembali ke diri masing-masing.
Hidup memang berpotensi konflik, tetapi konflik itu tidak konstan. Tegang
terus itu tidak baik.

Jakob Sumardjo Esais

Anda mungkin juga menyukai