Anda di halaman 1dari 4

Mahasiswa dan Gerakan Politik Praktis

Heri Latief
/
Kompas, Jumat, 30 Januari 2009 | 00:43 WIB

Akibat dari terbelahnya Eropa setelah perang dunia kedua, maka terjadilah masa
pergolakan pemikiran di kalangan kaum muda, misalnya gerakan politik praktis
mahasiswa dan seniman pada zaman “generasi bunga dan cinta di Eropa”.

Tembok Berlin dan Checkpoint Charlie telah jadi saksi, sejarah manusia tak bisa dibatasi
oleh tembok beton dan moncong meriam.

Eropa setelah 13 agustus 1961 menjadi beku kaku, pembangunan tembok beton sebagai
simbol konflik blok Barat dan Timur pada saat itu.

Virus perang dingin membuat tatanan masyarakat Eropa jadi meriang tak keruan.
Terutama kaum mudanya yang sudah muak dengan politik orang tuanya. Generasi yang
lahir setelah perang dunia kedua muncul sebagai wakil dari ide pembaruan kaum
progresif muda.

Salah seorang pemimpin gerakan kaum muda progresif Eropa bernama Daniel Cohn-
Bendit (Montauban, 4 april 1945), seorang publisis dan politisi ulung, yang terlibat
langsung pada saat demo protes besar-besaran yang telah membakar kota Paris (1968).

Demo besar-besaran di Paris tersebut adalah akibat dari tertembaknya seorang aktivis
mahasiswa bernama Benno Ohnesorg di Berlin Barat sewaktu demonstrasi anti
kedatangan Syah Iran (2 juni 1967). Reaksi dari kaum muda adalah membentuk grup
ekstrem “Revolutionärer Kampf”.

Kameradnya Bendit segenerasi adalah Joschka Fischer, beken namanya di Jerman, lahir
di Gerabronn, 12 april 1948, yang juga terkenal sebagai bekas menteri luar negeri Jerman
dari partai Die Grünen.

Kedua aktivis revolusioner Eropa ini adalah lambang dari kegelisahan anak muda Eropa
setelah bebas dari ancaman fasismenya Nazi.

Gerakan mahasiswa di Eropa di tahun 60an bergerak ke arah kiri dengan aksi-aksi demo
anti perang Vietnam, semua yang berbau Yaankee adalah dosa yang tak termaafkan.

Pada saat itu kekuatan militer di dunia terbagi 2, Nato dan Pakta Warsawa. Tembok
Berlin adalah suatu bukti terbelahnya pemikiran manusia di dunia ini.

Dinginnya perang dingin membuat perasaan orang jadi membeku. Karena mereka tahu,
puluhan ribu peluru kendali antar benua berkepala nuklir saling mengancam dalam situasi
ngeri akibat sengitnya konflik ideologi.
Tembok Berlin seakan-akan jadi saksi pembatas emosi sebuah bangsa yang sedang
mengalami masa merenung karena terluka akibat kalah perang, tembok pembatas
ideologi itu dibangun atas nama persaingan ideologi.

Di tahun 1982, sewaktu saya baru datang di kota Hamburg partai Die Grünen mulai
muncul sebagai wakil rakyat di parlemen lokal pemerintahan kota Hamburg, mulailah era
kaum hippies yang berambut gondrong orkes, blue jeans, dan anti dasi itu dipercaya oleh
rakyat untuk memperjuangkan tuntutan orang bawahan.

Gerakan mahasiswa di Jerman telah sukses merambah masuk secara nasional ke


parlemen (1983), maka terjadilah perubahan iklim politik di Jerman, suasananya jadi
lebih berwarna akibat masuknya pemikiran kaum progresip muda di dalam gelanggang
politik.

Sedangkan di Indonesia pada waktu itu sudah ada gerakan politik elite yang anti rezim
Soeharto, dikenal dengan nama Petisi 50, tentunya mesti diingat bahwa pada sat itu ada
praktik politik kekerasan negara yang dijuluki dengan nama Petrus (pembunuhan
misterius) dan juga peristiwa berdarah Tanjung Periuk (1984).

Di kalangan mahasiswa Indonesia di Jerman pada saat itu sangat haus akan informasi
tentang Tanah Airnya, informasi keadaan politik Indonesia didapat dari berbagai macam
sumber, di antaranya dari salah seorang wartawan Radio Nederland cum aktivis (Tossi).

Ia mengirimkan berita-berita dari Indonesia ke Berlin Barat dalam bentuk koran, majalah,
atau pun berbagai pernyataan politik dari para oposan di Indonesia.

Tahun 80an di abad yang lalu belum ada internet, lalu lintas berita cetakan memakai jasa
pos, dan biaya perangko itu mahal. Sehingga informasi dari Belanda ke Berlin Barat
hanya datang ke satu alamat, lalu siapa yang memerlukan informasi silakan
memfotokopinya.

Karena gerakan mahasiswa pro demokrasi Indonesia di Jerman semakin menyebar, maka
kebutuhan informasi di kalangan mahasiswa yang kritis pun meningkat, karena ada
kesempatan untuk belajar politik secara bebas dari versinya para pembangkang yang
berkumpul di beberapa grup.

Misalnya PPI CaBe (Persatuan Pelajar Indonesia Cabang Berlin), IPMI (Ikatan Pemuda
Mahasiswa Indonesia), PI Berlin Barat (Perhimpunan Indonesia).

Masing-masing grup oposisi tersebut punya penerbitan, misalnya PPI CaBe terbitannya
bernama “Gotongroyong”, PI terkenal dengan terbitan analisa politiknya dalam “Berita
Tanah Air”.

Seorang penulis tersohor dari kalangan oposisi di luar negeri di zaman itu namanya Pipit
Rochijat, ia adalah menantu dari Doktor Mohammad Isa yang bekas Atase Kebudayaan
di KBRI Praha pada zaman Nasakom.
Mahasiswa Indonesia yang kritis pun dituduh PKI. Tapi gertakan penguasa tak mempan.
Gerakan mahasiswa di Berlin Barat makin nekat. Paspor Pipit lalu dicabut oleh Rezim
Soeharto.

Seperti analisis politik dari I Gusti Nyoman Aryana (Komang) yang sekjen PI Berlin
Barat di tahun 1986 , “rezim Soeharto suatu saat akan tumbang juga, tak ada diktator
abadi di dunia ini, lalu setelah Soeharto jatuh mau apa? What next?” Kata Komang
sembari memberikan contoh kasus Marcos dan masa depan Pilipina.

12 tahun kemudian, 1998, pemerintahan Soeharto jatuh dari singgasananya, tapi apa yang
terjadi sekarang? Pengulangan dari keadaan rakyat miskin tertindas tanpa ada perubahan?
Komang sudah meramalkan bahwa perubahan total mesti terjadi, tanpa itu hanya
pengulangan cerita lama.

10 tahun Reformasi hanya menghasilkan apa yang kita lihat sekarang, Indonesia sakit
yang rakyatnya setengah kelaparan, ditambah pula mahalnya ongkos pendidikan, dan
makin suburnya budaya penyalahgunaan kekuasaan.

Gerakan mahasiswa Indonesia di luar negeri pun sekarang sudah berubah total,
mahasiswa jadi malas berpolitik, mungkin takut karena ortunya juga lagi ikut menikmati
kliknya kekuasaan.

Semboyan mahasiswa sekarang katanya: “belajar dan pesta”, semua sifat anak muda yang
suka protes itu dipoles jadi karakter anak manis. Lagian, siapa yang bisa membuktikan
bahwa ongkos kuliah di luar negeri yang mahal itu bukan dari hasil dari ngompas alias
korupsi?

Perbedaan dasar dari gerakan mahasiswa di ahun 60an di Eropa dan Di indonesia adalah:
di Eropa para eks aktifis mahasiswa zaman anti perang Vietnam itu sampai saat ini masih
mengeritik masalah gawat di dunia ke 3, yaitu perang dan kelaparan.

Sedangkan di Indonesia para eksponen 66 hanya memikirkan merebut korsi kekuasaan


yang sama sekali tak memihak pada penderitaan rakyat miskin.

Sampai saat ini di Eropa berkembang terus ide pengawasan dari rakyat terhadap jalannya
pemerintahan, misalnya di Belanda ada “buurthuis”, terjemahan bebasnya: pusat kegiatan
rakyat. Tempat segala macam aktifitas sosial, politik dan budaya.

Hal ini disebabkan oleh gigihnya usaha kaum termajinalkan di Eropa untuk
memperjuangkan perubahan nasibnya, sedangkan di Indonesia terjadi kebalikannya, sifat
militansi yang muda yang progresip makin lama apinya pun meredup.

Korlap gerakan mahasiswa 98 itu sekarang malahan jadi rebutan partai-partai politik,
idealisme diobral karena kebutuhan hidup? Apakah ini karena akibat dari politik
Indonesia yang masih taraf belajar merangkak menuju kehidupan berdemokrasi?
Tanpa adanya usaha rakyat mandiri untuk memperjuangkan perubahan sosial secara
konkrit, akhirnya ide Reformasi itu hanya menuai persoalan: kembalinya para pemain
lama, sang penyebab malapetaka.

Heri Latief
Amsterdam, 11 April 2008

Anda mungkin juga menyukai