Anda di halaman 1dari 4

Albert Camus: Interpretasi Pada Orang

Asing
http://www.sorgemagz.com/albert-camus-interpretasi-pada-orang-asing/#.WBc_kSSD_fY

Albert Camus mungkin hanya salah satu dari sejumlah pengarang sekaliber dunia yang namanya
sering disebut-sebut, tetapi tidak terlalu dikenal. Mungkin lebih jauh dan lebih samar-samar dari
pada Shakespeare, Hemingway, atau Franz Kafka. Namun, Albert Camus selalu mempunyai
daya tariknya tersendiri bagi dunia kesusastraan.
Terbitnya novel pendek yang berjudul Orang asing (1942), serta kumpulan esainya Mite Sisifus
sebuah esei filosofisAlbert Camus tampil secara lebih utuh dalam kesusastraan dunia, dalam
kerangka pemikirannya tentang absurd. Gagasannya tersebut, serta gaya kepenulisannya yang
berbeda dari khalayak kesusastraan Prancis saat itu, mendapatkan reaksi yang cukup besar dari
beberapa penulis terkemuka seperti Jean-Paul Sartre, Roland Barthes, dan Pierre Georgs Castex.
Berbagai pujian dilontarkan pada novel itu oleh para penulis-penulis terkemuka tersebut;
misalnya novel paling baik semenjak gencatan senjata. Sehingga, pada usianya yang masih
terhitung mudakurang lebih 30 tahundengan wajahnya yang cukup tampan, yang banyak
mengingatkan orang pada Humprey Bogart, tokoh utama dalam film terkenal di akhir tahun 50an yang berjudul Casablanca, yang sampai saat ini masih terus dibicarakan oleh para ahli
sinema, Camus sudah dibandingkan dan disejajarkan dengan Dos Passos dan Hemingway, dua
pengarang besar Amerika.
Asal Usul Absurdisme
Albert Camus adalah tokoh eksistensialisme, tapi Camus tak pernah berkata bahwa neraka
adalah orang lain seperti Jean-Paul Sartre. Camus bukanlah seorang filsuf yang gagasannya
cenderung ketat dan bersistem. Kerangka pikirannya tentang absurditas yang menjadi
paradigma Camus yang (banyak) dikatakan sebagai sebuah filsafat adalah bagian dari suatu
mazhab sastra yang berkembang selepas Perang Dunia II.
Yang apabila kita telesuri dalam pengertian tersebut, bahwa perkembangan aliran absurd masih
satu kutub dengan aliran eksistensialisme, yang telah memiliki sejarah yang cukup panjang,
bahkan sebelum Perang Dunia I. Tokoh eksistensialis yang juga menjadi peletak dasar
eksistensialisme, Kierkegaard telah menulis karya-karyanya sebelum Perang Dunia I. Para
eksponennya, seperti Heidegger, Karl Jaspers, dan Sartre telah menulis juga sebelum Perang
Dunia II.

Sedangkan, konsep absurditas sendiri dimunculkan oleh Albert Camus. Camuslah yang
menghubungkan mata rantai absurditas dengan eksistensialisme. Konsep absurd-nya
dimunculkan Camus dalam sebuah esainya yang terkenal, yaitu Mite Sisifus yang menjadi dasar
gagasan Camus. Mite Sisifus adalah sebuah esai filosofis yang memperkenalkan suatu pandangan
kehidupan yang tidak lazim. Namun, sebagai filsafat belum lengkap karena belum sampai pada
sistem. Mungkin, hal ini senada dengan perkataan Jean Sarrochi bahwa ada semacam
incomptence philosophique pada Camus, semacam ketidakmampuan dalam filsafat. Esaiesai filosofis Camus memang sering dikecam, pengertiannya tentang gagasan-gagasan beberapa
filsuf yang disebutnya sering keliru.
Sebab, Camus bukanlah seorang filusuf. Camus tak pernah membuat suatu discourse metafisika.
Camus bukan sesorang yang terikat dalam suatu sistem pemikiran, atau bahkan dalam sistem.
Namun, esai itu sangat indah dan gagasan yang disajikan orisinal, sehingga mendapat tempat di
hati pembacaterutama di Perancis yang selalu tertarik pada yang tak lazim.
Interpretasi Orang Asing
Orang Asing yang tampak sekilas seperti novel konvensional itu: alur dan penokohan tampak
linear dan konvensional. Terdiri atas dua bagian: pertama mengungkapkan kehidupan Meursault
yang monoton, tak sadar dan menyatu dengan alam; kedua menceritakan saat-saat kesadarannya
muncul ketika ia merenungkan keadaannya yang tanpa kebebasan dan tanpa harapan, yang
terdampar pada kondisi hidup yang absurd.
Hal ini menunjukan kepiawaian Camus menyusun suatu suspense (ketegangan) dalam suatu
cerita yang sangat sederhana namun begitu pelik. Karena dalam Orang Asing Camus tak pernah
memberi suatu jawaban atau penyelesaian. Lebih jelasnya seperti ini, ketika Mersault terdampar
dalam kondisi hidup yang absurd itumenurut CamusTuhan pun tak dapat menolong
manusia. Hal ini tampak, pada tokoh Mersault yang menolak campur tangan pendeta pada saatsaat terkahir eksekusi hukuman matinya:
Tetapi tiba-tiba ia mengangkat kepala dan menatapku, Mengapa? ia bertanya Anda
menolak kunjungan saya? Aku menjawab bahwa aku tidak percaya kepada Tuhan. Ia ingin
tahu apakah aku yakin benar akan hal itu. Dan aku berkata bahwa aku merasa tidak perlu
mempertanyakannya: kurasa itu soal yang sama tidak penting. Ia lalu melemparkan tubuhnya ke
belakang pada dinding, tangannya telungkup di paha. Dengan sikap yang seakan-akan hampir
tidak berbicara kepadaku, ia mengatakan bahwa kadang-kadang orang merasa yakin, tetapi
pada kenyataannya tidak. Aku tidak mengatakan apa-apa. Ia memandang aku dan bertanya,
Bagaimana pendapat Anda mengenai hal itu? Aku menjawab bahwa hal itu mungkin.
Bagaimanapun juga, mungkin aku tidak merasa yakin mengenai hal yang sungguh-sungguh
kuminati, tetapi aku benar-benar merasa pasti akan hal yang tidak kuminati. Dan justru yang
dibicarakannya, tidak menarik perhatianku.

Ia memalingkan pandangannya, tetap tanpa mengubah duduknya, bertanya kepadaku apakah


aku berkata demikian karena aku merasa sangat putus asa. Aku menerangkan bahwa aku tidak
berputus asa. Aku hanya mersa takut, itu wajar. Kalau begitu, Tuhan akan membantu Anda.
Ia menerangkan, Semua orang yang saya kenal yang berada dalam keadaan seperti Anda
berpaling kepada-Nya. Aku mengakui bahwa itu hak mereka. Itu juga membuktikan bahwa
mereka mempunyai waktu. Sedangkan aku, aku tidak mau dibantu dan justru aku tidak
mempunyai banyak waktu untuk tertarik pada yang tidak menarik hatiku (Orang Asing: 117118).
Dalam bagian akhir (Resolusi) dari kutipan di atas, bahwa jelas menunjukan gagasan Camus
tentang absurditas, mengapa? Kerena dalam resolusi tersebut Camus tidak memberikan titik
terang atau jawaban atas konflik yang dibangunnnya. Sedangkan, biasanya dalam resolusi, para
penulis umumnyaterutama penulis aliran naturalis dan romantisselalu memberikan
pemecahan masalah dari semua peristiwa yang terjadi.
Camus menyajikan pengertian irasionalitas keadaan manusia dalam bentuk serta alasan yang
jelas dan logis. Hal ini lah yang hendak disampaikan oleh Camus. Sehingga, dalam hal ini
Camus berbeda dengan para pengarang yang mengusung aliran absurdisme lainnya seperti
halnya Kafka. Camus begerak dari yang irasionalitas dengan bentuk yang rasional, bergerak dari
A ke B dan pada akhirnya bergerak juga pada premis yang tak dapat diketahui dalam konklusi Y.
Sedangkan Franz Kafka sebaliknya.
Yang menarik lagi dalam Orang Asing adalah bukan hanya dianggap hebat karena isinya, tapi
gaya kepenulisannya yang berbeda dan serta keorisinilannya dan spirit penulisnya. Sartre dalam
ulasannya juga menyentuh wilayah tersebut, ia mengatakan bahwa kalimat-kalimatnya yang
pendek dan terpenggal-penggal, yang mungkin hal biasa bagi pembaca Indonesia, tapi berbeda
bagi kritikus Prancis yang sangat peka dan cermat memperhatikan bentuk penyajian dan aspek
kebahasaan. Kalimat-kalimat dalam Orang Asing Albert Camus terpulau-pulau, karena ada
kekosongan di antara kalimat-kalimat itu. Dan itu dimulai dari awal Orang Asing. Hari ini ibu
meninggal. Atau mungkin kemarin, aku tidak tahu. Aku menerima telegram dari panti wreda,
Ibu meninggal kemarin. Dimakamkan besok. Ikut berdukacita. Kata-kata itu tidak jelas.
Mungkin ibu meninggal kemarin.
Gaya telegrafis ini sungguh tak lazim bagi pembaca sastra Perancis yang terbiasa menghadapi
kalimat-kalimat panjang dan puitis. Namun, bukan berarti Camus tidak memperdulikan hal itu,
Orang Asing pun memiliki aspek puitis. Pada alinea terakhir dari bagian pertama Orang Asing
merupakan lirisme puitis, saya kutip sebagian:
Pada waktu itulah semua bergoyang. Laut meniupkan hembusan yang pekat dan bergelora. Aku
merasa seakan langit seluruhnya menganga untuk mencurahkan hujan api. Seluruh tubuhku
meregang dan aku menekankan tanganku pada pistol. Pelatuk tertekan, aku menyentuh bagian
tengah gagang pistol yang licin. Dan saat itulah, dalam suara yang sekaligus kering dan
memekakkan, semua ini dimulai. Aku mengibaskan keringat dan matahari. Aku mengerti bahwa

aku telah menghancurkan keseimbangan hari, kebisuan luar bia sadari sebuah pantai tempat
aku pernah merasa bahagia. Lalu, aku menembak lagi empat kali tubuh yang tidak bergerak itu,
tempat peluru-peluru menembus dan tidak keluar lagi. Dan semua itu seperti empat letusan
singkat yang kuketukkan pada pintu kesengsaraan (Orang Asing: 60-61).
Sedangkan ke orisinilan dan spirit penulis yang berbeda dari penulis Prancis saat itu, yang
tertuang dalam Orang Asing adalah buku itu menampilkan sosok baru dalam pertokohan sastra
Prancis. Mersault adalah seorang pegawai kecil sebuah kantor perwakilan kecil. Gaji nya tak
cukup untuk menghidupi ibunya. Apartemennya dihuni manusia-manusia kumuh seperti
Raymond, si mucikari, dan Salamano yang suka meludah di mana-mana, yang selalu bersama
anjingnya yang penuh kudis. Dan ruangan Meursault, yang hanya dipisahkan dari ruang
tetangganya oleh dinding tipis yang tidak kedap suara, hanya berisi kursi-kursi jerami yang
reyot, dan lemari yang kacanya menguning.
Tokoh semiskin ini di sebuah novel serius Perancis sungguh suatu pemandangan baru bagi
pembaca negara itu. Sebab, pada saat itu kesusastraan Perancis terutama adalah kesusastraan
bourgeoise: kesusastraan yang erat kaitannya dengan materi atau kekayaan. Dalam hal ini
Camus telah sampai pada puncak kesadaran absurditas-nya. Dibandingkan dengan tokoh-tokoh
bourgeois itu, Meursault adalah manusia biasa, yang miskin dan tak memasalahkan apa pun:
tekanan kehadirannya dalam novel itu adalah pada tre atau mengadanya, dan bukan pada avoir
(memiliki) maupun faire (melakukan).
Sebenarnya, dalam buku-bukunya Camus (terutama Orang Asing) interpretasi Camus terhadap
kehidupan manusia di dunia ini, selalu berpijak pada Mite Sisifus yang menjadi landasan dasar
gagasan absurd-nya. Camus melihat manusia seperti Sisifus yang mendapatkan hukuman dari
para dewa tanpa henti, namun tetap bahagia dan bermartabat karena telah mengalahkan batunya.
Sebuah hukuman yang pada awalnya dianggap sangat mengerikan, kini menjadi sesuatu yang
biasa dan bahkan menyenangkan. Menjadi suatu kebiasaan yang pada awalnya tidak terbiasa,
karena terus menerus diterima dan dijalani.
Melalui novelnya Orang Asing, Camus hanya ingin mengatakan suatu cerminan hidup yang
rumit dan tak masuk akal. Orang harus sadar bahwa dalam kehidupan ini setiap orang harus
tegar, dan sadar akan keterbatasannya sebagai manusia, namun tetap berikhtiar terus-menerus.
Sehingga, gagasan Absurditas Camus yang berawal dari dongeng Sisifus adalah sesuatu yang
sangat puitis, sebuah pemikiran yang konyol namun menjadi aktual dan akan tetap relevan
dengan kehidupan manusia saat ini, di sebuah zaman yang semakin sulit dipahami dan tidak
manusiawi.
*Penulis adalah mahasiswa Fakultas Sastra dan bahasa Universitas Pendidikan Indonesia.
Dapat dihubungi melalui alamat email dedi_sahara@yahoo.co.id.

Anda mungkin juga menyukai