Anda di halaman 1dari 21

BAB III

KONSEP SENI ABSURD ALBERT CAMUS

A. Biografi

Albert Camus lahir pada tanggal 7 November 1913, di Mondovi, sebuah

desa kecil di dekat kota pelabuhan Bonê (sekarang Annaba) di wilayah timur

laut Aljazair, Prancis. Dia adalah anak kedua dari Lucien Auguste Camus,

seorang veteran militer dan pegawai pengiriman anggur, dan Catherine Helene

Camus, seorang pembantu rumah tangga dan pekerja pabrik paruh waktu. Tak

lama setelah pecahnya Perang Dunia I, ketika Camus berusia kurang dari satu

tahun, ayahnya dipanggil kembali ke dinas militer dan, pada 11 Oktober 1914,

meninggal dunia akibat luka pecahan peluru yang dideritanya pada pertempuran

pertama di Marne.

Setelah kematian ayahnya, Camus, ibunya, dan kakak laki-lakinya

pindah ke Aljir di mana mereka tinggal bersama paman dan nenek dari pihak

ibu di apartemennya yang sempit di lantai dua di distrik kelas pekerja di

Belcourt. Dalam novel otobiografinya yang diterbitkan secara anumerta

berjudul The First Man, Camus mengenang masa-masa kehidupannya dengan

perpaduan antara rasa sakit dan afeksi ketika ia menggambarkan kondisi

kemiskinan keluarganya.

1
Camus menempuh pendidikan dasar di sekolah dasar setempat, dan di

sanalah ia bertemu dengan para guru pembimbing yang mengenali dan

memupuk kecerdasannya. Para figur ini memperkenalkannya pada dunia

sejarah serta lanskap sastra yang imajinatif dan jauh dari jalanan berdebu di

Belcourt. Terletak di dekat distrik muslim Kasbah, sekolah ini mendekatkannya

dengan komunitas muslim asli dan memberinya pengenalan tentang gagasan

"orang luar" yang akan mendominasi tulisan-tulisannya kelak.

Di sekolah menengah itulah Camus menjadi seorang pembaca yang

rajin, belajar bahasa Latin dan Inggris, dan mengembangkan minat seumur

hidup dalam sastra, seni, teater, dan film. Dia juga menikmati olahraga,

terutama sepak bola, yang pernah ia tulis sebagai refleksi sebagai penjaga

gawang: "Saya belajar ... bahwa bola tidak pernah datang dari arah yang Anda

harapkan. Hal itu membantu saya di kemudian hari, terutama di Prancis daratan,

ketika tidak ada orang yang bermain lurus." Pada periode ini pula, Camus

mengalami serangan tuberkulosis serius pertamanya, penyakit yang akan terus

menderanya, terus menerus, sepanjang kehidupannya.

Pada tahun 1933, Camus mendaftar di Universitas Aljir untuk mengejar

gelar sarjana, dengan spesialisasi dalam bidang filsafat. Pada tahun 1936, ia

menjadi salah satu pendiri, bersama dengan sekelompok intelektual muda

2
lainnya, Théâtre du Travail, sebuah kelompok akting profesional yang

berspesialisasi dalam drama dengan tema-tema politik sayap kiri.

Tahun 1940-an menjadi awal dari kemunculan Camus sebagai seorang

intelektual sastra kelas dunia. Dia memulai dekade ini sebagai penulis dan

dramawan yang diakui secara lokal, tetapi sosok yang hampir tidak dikenal di

luar kota Aljir; kemudian mengakhiri dekade ini sebagai novelis, dramawan,

jurnalis, penulis esai filosofis yang diakui secara internasional. Periode hidup

ini dimulai dengan tidak menguntungkan dengan munculnya perang di Eropa,

pendudukan Prancis, penyensoran resmi, dan pemberangusan terhadap tulisan-

tulisan sayap kiri. Sementara itu, ia sedang menyelesaikan novel pertamanya,

The Strangers, yang akhirnya diterbitkan pada tahun 1942 dan mendapat

tanggapan kritis yang baik, termasuk ulasan yang panjang dan tajam dari Jean-

Paul Sartre.

Pada tahun 1942 sampai setahun kemudian, Camus mulai bekerja untuk

surat kabar klandestin Combat, gerakan jurnalistik perlawanan Prancis terhadap

pendudukan Jerman. Selama periode ini, sambil berjuang melawan penyakit

tuberkulosis yang kambuh, ia juga menerbitkan The Myth Of Sisyphus, anatomi

filosofisnya tentang bunuh diri dan absurditas hidup.

Setelah Pembebasan Prancis dari pendudukan, Camus kembali

melanjutkannya perannya sebagai editor Combat, mengawasi produksi dan

3
penerbitan dua drama, The Misunderstanding dan Caligula, dan mengambil

peran utama dalam masyarakat intelektual Paris bersama Sartre dan Simone de

Beauvoir. Pada akhir 40-an, reputasinya sebagai penulis dan pemikir semakin

berkembang dengan diterbitkannya The Plague, sebuah novel alegoris tentang

Pendudukan Nazi. Pada tahun 1951, ia menerbitkan The Rebel, sebuah refleksi

tentang hakikat kebebasan dan pemberontakan serta kritik filosofis terhadap

kekerasan gerakan revolusioner. Karya yang berpengaruh dan kontroversial ini,

dengan pengecamannya terhadap Marxisme-Leninisme dan pengutukan

terhadap kekerasan sebagai sarana pembebasan manusia, menyebabkan

perselisihan dengan Sartre dan, bersama dengan penentangannya terhadap Front

Pembebasan Nasional Aljazair, membuatnya dicap sebagai seorang reaksioner

dalam pandangan banyak orang Komunis Eropa. Namun, posisinya juga

menjadikannya seorang pejuang kebebasan individu yang vokal dan kritikus

yang berapi-api terhadap tirani dan terorisme, baik yang dilakukan oleh kaum

Kiri maupun Kanan.

Pada musim gugur tahun 1957, setelah penerbitan Exile and the

Kingdom, kumpulan fiksi pendek, Camus dikejutkan oleh berita bahwa ia telah

dianugerahi Hadiah Nobel Sastra. Ia menerima pengumuman tersebut dengan

perasaan campur aduk antara rasa syukur dan takjub. Di satu sisi, penghargaan

tersebut jelas merupakan kehormatan yang luar biasa. Di sisi lain, ia merasa

4
bahwa teman dan rekan novelisnya, Andre Malraux, lebih pantas

mendapatkannya, tetapi ia juga menyadari bahwa Nobel itu sendiri secara luas

dianggap sebagai penghargaan yang biasanya diberikan kepada seniman di

ujung panjang karirnya.

Pada tanggal 4 Januari 1960, Camus meninggal secara tragis dalam

sebuah kecelakaan mobil ketika ia menjadi penumpang dalam kendaraan yang

dikemudikan oleh teman dan editornya, Michel Gallimard, yang juga

mengalami cedera fatal. Camus dimakamkan di pemakaman lokal di

Lourmarin, sebuah desa di tenggara Prancis, di mana ia, istri, serta anak

perempuannya tinggal selama hampir satu dekade (Simpson, 2023)

B. Corak Aliran Eksistensialisme

Sebagai sebuah gerakan intelektual yang meledak di Prancis pada

pertengahan abad ke-20, eksistensialisme sering kali dipandang sebagai

peristiwa bersejarah yang muncul dari latar belakang Perang Dunia Kedua,

kamp-kamp kematian Nazi, dan pengeboman atom di Hiroshima dan Nagasaki,

yang kesemuanya menciptakan kondisi yang disebut sebagai "momen

eksistensialis" (Baert dalam Aho, 2023), saat sebuah generasi dipaksa untuk

menghadapi kondisi manusia pada masa itu terutama yang menimbulkan

kecemasan, seperti kematian, kebebasan, dan ketakberartian hidup. Meskipun

suara yang paling populer dari gerakan ini berasal dari Prancis, terutama Jean-

5
Paul Sartre dan Simone de Beauvoir, Albert Camus, Gabriel Marcel, dan

Maurice Merleau-Ponty, landasan konseptual gerakan ini telah diletakkan jauh

lebih awal pada abad kesembilan belas oleh para perintis seperti Søren

Kierkegaard, Friedrich Nietzsche dan para filsuf Jerman abad ke-20 seperti

Edmund Husserl, Martin Heidegger, dan Karl Jaspers, serta para intelektual

Spanyol terkemuka seperti José Ortega y Gasset dan Miguel de Unamuno. Ide-

ide intinya juga telah tercermin dalam karya-karya sastra terkemuka. Di luar

drama, cerita pendek, dan novel karya tokoh-tokoh Prancis Camus, Jean Genet,

dan André Gide, novelis Rusia Leo Tolstoy dan Fyodor Dostoevsky, karya

penulis Norwegia seperti Henrik Ibsen dan Knut Hamsun, dan ikonoklastik

Jerman Franz Kafka dan Rainer Maria Rilke. Gerakan ini bahkan menemukan

di Amerika Serikat dalam karya-karya F. Scott Fitzgerald dan Ernest

Hemingway, para penulis dari abad pertengahan seperti Jack Kerouac, Allen

Ginsburg, dan William S. Burroughs, juga penulis yang menyatakan diri

sebagai "eksistensialis Amerika", Norman Mailer (Cotkin, 2003: 185).

Yang membedakan eksistensialisme dari gerakan-gerakan lain dalam

sejarah intelektual Barat adalah bagaimana eksistensialisme menjangkau jauh

melampaui dunia sastra dan akademis. Ide-idenya tercermin dalam film-film

karya Ingmar Bergman, Michelangelo Antonioni, Jean-Luc Goddard, Akira

Kurosawa, dan Terrence Malick. Nuansanya diekspresikan dalam lukisan-

6
lukisan Edvard Munch, Marcel Duchamp, Pablo Picasso, Paul Cézanne, dan

Edward Hopper serta pematung seperti Alberto Giocometti. Penekanannya pada

kebebasan dan perjuangan untuk mengekspresikan diri menginspirasi politik

radikal dan emansipatoris Martin Luther King Jr. dan Malcolm X serta tulisan-

tulisan para intelektual kulit hitam Ralph Ellison, Richard Wright, dan W.E.B.

Du Bois. Keterlibatannya dalam hubungan antara iman dan kebebasan serta

ketidakmengertian akan Tuhan membentuk perdebatan teologis melalui

ceramah dan tulisan-tulisan Karl Barth, Paul Tillich, dan Martin Buber. Dengan

analisisnya yang tajam mengenai kecemasan dan pentingnya realisasi diri,

gerakan ini telah memberikan dampak yang besar dalam pengembangan

pendekatan humanistik dan eksistensial terhadap psikoterapi dalam karya-karya

R.D. Laing, Rollo May, Viktor Frankl, dan Irvin Yalom.

Dengan berbagai macam manifestasi yang luas dan beragam, sulit untuk

menjelaskan secara definitif apa yang dimaksud dengan istilah

"eksistensialisme". Kata yang pertama kali diperkenalkan oleh Gabriel Marcel

pada tahun 1943 ini tidak merujuk pada sebuah sistem atau aliran filsafat yang

koheren.[1]. Para kontributor utama eksistensialisme sama sekali tidak

sistematis dan bahkan memiliki pandangan yang sangat berbeda, dan dari

mereka, hanya Sartre dan Beauvoir yang secara eksplisit mengidentifikasikan

dirinya sebagai seorang eksistensialis. Dalam menelaah para pemikir yang

7
mewakili eksistensialisme, dapat ditemukan para eksistensialis sekuler dan

religius, para filsuf yang menganut konsepsi kebebasan radikal dan yang

menolaknya. Dan ada juga yang menganggap hubungan manusia dengan orang

lain membuatnya terperosok ke dalam konflik dan penipuan diri, dan ada pula

yang mengakui adanya kapasitas yang mendalam untuk cinta dan bergantung.

Dengan adanya perbedaan-perbedaan ini dan fakta bahwa tidak ada doktrin

pemersatu, Aho menyaring seperangkat gagasan tumpang tindih yang mengikat

gerakan ini (Aho, 2023):

1. Nihilisme: Munculnya eksistensialisme sebagai gerakan intelektual

dipengaruhi oleh kebangkitan nihilisme di Eropa pada akhir abad ke-19

ketika pandangan dunia religius pra-modern digantikan oleh pandangan

dunia yang semakin sekuler dan ilmiah. Transisi historis ini mengakibatkan

tergerusnya kerangka moral transenden dan berkontribusi pada munculnya

pengalaman khas modernitas: kecemasan, keterasingan, kebosanan, dan

ketidakbermaknaan.

2. Keterlibatan vs Keterpisahan: Berlawanan dengan tradisi filosofis yang

mengutamakan sudut pandang keterlepasan dan objektivitas teoretis,

eksistensialisme umumnya dimulai di tengah-tengah pengalaman orang

pertama (first-person) manusia sendiri. Kondisi manusia terungkap melalui

terhadap terhadap cara manusia terlibat dengan dunia dalam kehidupan

8
sehari-hari dan disaat yang bersamaan berjuang untuk memahami dan

memberi makna pada keberadaannya.

3. Eksitensi mendahului Esensi: Para eksistensialis, seperti Sartre,

mengedepankan konsepsi baru tentang diri bukan sebagai substansi atau

benda dengan sifat yang telah diberikan sebelumnya (atau "esensi"), tetapi

sebagai aktivitas atau cara manusia berada dalam proses menciptakan diri

sendiri seiring dengan berjalan kehidupannya. Ini berarti esensi manusia

tidak diberikan sebelumnya; manusia secara kontingen dilemparkan ke

dalam eksistensi dan dibebani dengan tugas untuk menciptakan makna bagi

dirinya sendiri lewat pilihan dan tindakan.

4. Kebebasan: Para eksistensialis berpadangan sama bahwa yang membedakan

keberadaan manusia dengan makhluk lain adalah bahwa manusia sadar akan

dirinya dan ada untuk dirinya sendiri, yang berarti manusia bebas dan

bertanggung jawab atas dirinya sendiri dan apa yang dirinya lakukan. Ini

bukan berarti kehidupan manusia sepenuhnya tidak ditentukan

(undetermined), melainkan bahwa manusia selalu berada di luar atau lebih

dari dirinya sendiri karena kemampuan manusia untuk menafsir dan

memberi makna pada apa pun yang membatasi atau menentukannya.

5. Otentik: Para eksistensialis sangat kritis terhadap kecenderungan manusia

yang sudah mendarah daging untuk menyesuaikan diri dengan norma-norma

9
dan ekspektasi publik karena hal tersebut menghalangi manusia untuk

menjadi otentik atau menjadi dirinya sendiri. Kehidupan yang otentik adalah

kehidupan yang bersedia untuk mendobrak tradisi dan konvensi sosial

dengan berani menegaskan kebebasan dan kontingensi kondisi kita.

6. Etika: Meskipun menolak gagasan tentang moral absolut dan penilaian

universal tentang perilaku yang benar, eksistensialisme tidak boleh dianggap

mempromosikan nihilisme moral. Bagi eksistensialis, kehidupan yang

bermoral atau terpuji adalah mungkin. Ini adalah kehidupan ketika diri

mengakui dan menyadari kebebasanya, bertanggung jawab penuh atas

pilihannya, dan bertindak sedemikian rupa untuk membantu orang lain

mewujudkan kebebasan mereka.

C. Pemikiran Absurdisme Albert Camus

Camus mendefinisikan absurd sebagai suatu kondisi saat manusia

menyadari ketidakmampuan dalam meraih atau mencapai makna dari kenyataan

hidupnya di dunia (Camus, 1979: 31). Sebab kelahirannya adalah konfrontasi

antara keinginan manusia untuk meraih makna dengan respon keheningan dunia

yang tak terkira. Irasionalitas dan ketidakbermaknaan yang disuguhkan dunia

kepada kehidupan sehari-hari tak dapat manusia terima, sebab pada dasarnya

manusia mendambakan kerinduan atas makna. Sehingga kemudian manusia

merasakan cemas dan gelisah akibat hidup tanpa makna, seolah ia dilempar

10
begitu saja ke muka bumi tanpa alasan dan maksud apapun dan dipaksa untuk

menjalani siklus penderitaan tanpa akhir.

Eksistensi manusia yang gamang diketerlemparannya di dunia, Camus

ibaratkan dengan hukuman yang Sisifus terima setelah membangkang kepada

para dewa dalam fabel yunani kuno karangan Homer (Camus, 1979: 107):

Setelah membuat para dewa muntab karena kelancangannya, Sisifus dihukum

untuk selamanya menggelindingkan batu ke puncak gunung. Bagaimanapun

setiap kali dia mencapai puncak gunung, batu itu karena beratnya sendiri akan

kembali menggelinding ke bawah. Dalam menjalani hukumannya, Sisifus

diharuskan untuk menambatkan batunya di puncak. Namun, dia ditempatkan

pada suatu kondisi yang tidak memungkinkan tujuan tersebut terpenuhi. Maka

apapun yang Sisifus lakukan, berapapun banyak rasa sakit dan pengorbanan

dalam usahanya, batu besar itu akan pasti kembali berguling ke bawah dan tak

akan mencapai tujuannya. Siklus hukuman hukuman tersebut ia jalani secara

sia-sia, tanpa makna, tanpa jeda, dan tanpa harapan akan akhir. Sebagaimana

Sisifus yang tak mampu menambatkan batunya di puncak gunung dan terus

mengulanginya meski ia mengetahui ketidakbermaknaan dari usahanya, Camus

memandang manusia juga dihadapkan dengan dengan fakta yang sama.

Manusia seberapapun usaha intetelektualnya untuk mencari kejelasan dari

keseramwutan kenyataan dari dunia, yang tetap ia akan temui hanyalah kesia-

11
sian atas usahanya. Maka dititik saat manusia menyadari ketidakbermaknaan

apapun dari dunia, ia akan mencari suatu respon yang mampu

membebaskannya dari kondisi absurd, untuk memberikan kenyamanan dari

kegamangan menghadapi dunia.

Camus menggangap terdapat dua respon natural atas absurd yaitu bunuh

diri fisikal dan bunuh diri filosofis (Camus, 1979: 13, 32). Kenyataan bahwa

diri sadar akan ketiadaan sama sekali makna untuk dipetik maka tidak ada lagi

alasan untuk melanjutkan hidup, maka pilihan untuk bunuh diri fisikal menjadi

pilihan masuk akal. Atau jika manusia hendak tetap melanjutkan hidupnya,

dengan pertanyaan mengantung tentang makna yang tak dapat diraih, maka

pilihan untuk mengharapkan diri kepada Tuhan, hidup setelah mati, ataupun

segala macam bentuk eksistensi transden pun menjadi pilihan. Bagaimanapun,

makna objektif tak mampu ditawarkan dunia ini, maka tujuan atau alasan hidup

yang dibuat-buat merupakan alasan yang bagus pula untuk mati.

Camus melihat bahwa tindakan bunuh diri fisikal dan filosofis

dimunculkan oleh perasaan absurd yang membuat manusia merasakan

keterkucilan atau keterasingan akan dunia yang sedang ia hadapi. Sehingga

manusia merasakan kegelisahan perasaan gelisah dan putus asa dalam

menghadapi realitas dihadapannya. Dalam esainya, Camus mendemostrasikan

bentuk keabsurdan paling umum yaitu rutinitas monoton. Bangun tidur, mandi,

12
berangkat kerja, menghadap mesin tik, makan pulang, dan tidur; suatu siklus

keseharian yang monoton adalah bentuk keabsurdan yang jamak. Manusia

terjebak dalam garis waktu. Kemegahan gunung-gunung, kilau bintang malam,

dan langit hitam tanpa ujung, hal-hal yang yang biasanya manusia selipkan

makna dibaliknya, kini tiada lagi artinya. Manusia absurd telah menyadari

kehampaanya. Kehampaan makna yang dirasakan menciptakan perasaan sesak

dan terasing dari dunia yang ditempatinya. Hal itu karena dunia kini telah

menjadi lautan derita dan impotensi (Camus, 1979: 18-20).

Tenggelamnya manusia dalam kubangan absurditas, hingga

menjatuhkan pilihan pada bunuh diri fisikal dan filosofis, adalah sesuatu yang

tegas ditolak oleh Camus. Menurutnya, keduanya menutup upaya seseorang

untuk mencari bentuk makna respon yang sesungguhnya akan makna dan relasi

absurd yang terjadi. Keduanya adalah ilusi dan pengelakan. Bunuh diri fisikal

dan filosofis tak hendak memecahkan permasalahan absurd alih-alih wujud

pelarian diri. Hal tersebut menunjukkan ketidakmampuan seseorang untuk

mengatasi sang absurd.

Camus mendorong manusia yang menyadari kondisi sang absurd untuk

mengadopsi tindakan memberontak terhadapnya. Fakta bahwa manusia harus

menerima sang absurd, kenyataan bahwa upaya manusia mencari makna dan

pencarian tersebut tidak akan membuahkan hasil, meski begitu pada saat

13
bersamaan manusia harus mengkonfrontasi menantang sang absurd tersebut,

tanpa memundurkan diri. Semakin lama manusia dapat mempertahankan laku

memberontak tersebut, maka semakin signifikan hidup yang dipunyainya.

Maka sebagaimana Sisifus yang dilemparkan kedalam neraka untuk selamanya

mendorong batu yang tak mampu sekalipun ia tambatkan, dan ketika ia

menerima ketidakbermaknaan usaha dan menggenggam erat nasib yang ia

terima, disitulah kebahagiaan itu muncul. Ia tak lagi mengganggap batu besar-

nya sebagai kesulitan, melainkan hartanya yang berharga. Sisifus memberikan

maknanya sendiri pada ketersiksaannya. Bahwasanya perjuangan untuk

mencapai untuk puncak itu sudah cukup untuk memenuhi batin Sisifus, juga

manusia dalam eksistensinya. Dalam salah satu bagian dalam esainya camus

merangkum upaya manusia untuk mencari kebermaknaannya sendiri dalam

absurditas dunia:

Tugas kita sebagai manusia adalah menemukan beberapa prinsip yang

akan menenangkan nestapa tak terbatas jiwa-jiwa merdeka. Kita harus

memperbaiki apa-apa yang telah tercabik-cabik, membuat kita bisa

membayangkan keadilan hadir kembali di sebuah dunia yang jelas-jelas lalim,

memaknai kembali kebahagiaan bagi orang-orang yang teracuni penderitaan

(Camus, 1979: 51).

14
D. Konsep Seni Absurd

Camus memandang bahwa manusia tak dapat menentang absurditas

tanpa adanya suatu bentuk pembantu. Seluruh kehidupan yang menyadari

absurditas dalam nafas kesahariannya tak akan mampu bertahan tanpa

pemikiran yang mendalam dan konstan untuk menanamkan kekuatan ke dalam

pembantuannya. Bagi Camus ini adalah peran yang diisi oleh seni. Dalam

memahami absurditas seni berhasil ketika nalar gagal karena keduanya

memiliki tujuan yang berbeda. Dalam seni bukanlah persoalan untuk

menjelaskan dan memecahkan, akan tetapi tentang mengalami dan

mendeskripsikan. Seni tidak berusaha untuk mengklaim atau berusha untuk

bernala secara konkret. Karya seni mewujudkan sebuah drama cerdas tanpa

perlu membuktikannya secara langsung (Camus, 1979: 93-99). Singkatnya

pandangan seni Camus untuk menantang absuditas atau seni absurd tak

berusaha memaparkan makna ataupun tujuan pada hidup, sebagaimana ia juga

tak memberikan solusi atau penjelasan akan absurditas kehidupan manusia

(Sefler, 1974: 416). Seni absurd tak hendak menjadikan seni sebagai jalan

pintas atau pelarian bagi manusia atas absurd, melainkan menciptakan suatu

karya seni memberikan imbalan rasional yang dihasilkan oleh pengakuan

terhadap ketidakmampuan sang seniman atau penikmatan karya dalam

memahami realitas itu sendiri (Sefler, 1974: 416)

15
Ketidakmampuan sang seniman atau penikmat karya dalam memahami

realitas itu sendiri adalah bagian dari tujuan dari seni absurd, yaitu kreasi seni

yang mempromosikan kesadaran akan absurditas juga mempromosikan respon

tindakan memberontak terhadap absurd tersebut (Pölzler, 2020: 372).

Mempromosikan kesadaran selain menciptakan sikap yang diperlukan untuk

mengembangkan dan mempertahankan kesadaran akan absurd, juga bagian dari

upaya manusia untuk mendekati sedikit demi sedikit menelanjangi realitas

dunia-nya (Camus, 1979: 104). Sedang pempromosian pemberontakan absurd

hadir dalam bentuk pencemoohan atau penentangan terhadap laku untuk

melarikan diri dari kondisi absurd, atau penciptaan suatu karya yang

menyiratkan suatu tekad manusia untuk berdiri tegap menghadapi kondisi

absurd itu sendiri.

Bagi seni absurd signifikansi seni yang sesungguhnya adalah ketika

mampu memenuhi kebutuhan metafisik, tanpa mengklaim mengubah kondisi

konkret (Camus, 1979: 95). Seni bukanlah solusi yang akan dengan mudah

mengilhami sebuah program atau gerakan politik, menawarkan pelarian untuk

penyakit intelektual, atau bisa menjadi makna akhir, makna, dan penghiburan

dari sebuah kehidupan; sebab menciptakan atau tidak menciptakan tidak

mengubah apapun (Camus, 1979: 97). Suatu karya absurd mampu menawarkan

16
kerinduan manusia akan makna dan kebahagian tanpa perlu mengobarkan atau

melemahkan konfrontasi dengan absurditas itu sendiri.

Camus menjelaskan bahwa seni absurd tak hendak menjerumuskan diri

pada penjelasan akan dunia, melainkan membatasi pada deskripsi pengalaman

dalam dunia (Camus, 1979: 91). Penjelasan adalah upaya untuk memaksakan

suatu tatanan pada pengalaman sebagai cara untuk memahami dunia, dan

dengan demikian akan mencoba melampaui penerimaan dan kesadaran akan

ketidakmasukalan alam semesta. Seni absurd secara sederhana bukanlah usaha

untuk mengklaim, memecahkan, dan merubah apa yang seharusnya jelas dan

tidak, dan menjadi penawar bagi persoalan intelektual; alih-alih ia mengalirkan

misteri eksistensi: “di alam semesta ini, karya seni adalah satu-satunya

kesempatan untuk menjaga kesadaran dan mempertahankan petualangannya”

(Camus, 1979: 87).

Lewat deskripsi yang menjadi kunci teknis dalam mempromosikan

kesadaran akan absurd, kesengseraan eksistensial manusia terwakili dalam

“pengulangan tema-tema monoton tapi menggairahkan yang diorkestrasikan

dunia ini” (Camus, 1979: 86). Lewat penjabaran akan realitas yang dengan

segala kehangatan, darah, gairah, dan suka-dukanya (Camus, 1992: 134)

manusia dihadapkan dengan ketegangan-ketegangan yang mewabahi

kehidupannya, memungkinkan ia untuk menyadari kondisi absurd yang

17
membelenggunya. Daripada mencoba menjelaskan mengapa dunia seperti ini,

seniman absurd seharusnya hanya memberikan gambaran yang lengkap tentang

dunia sebagaimana ia lihat, rasakan, dan alami. Suatu penggambaran dalam

karya yang berdasar pengalaman otentik ketika berhadapan dengan sang absurd.

Agar seni absurd menjadi otentik, ia harus sesuai dengan batasan-

batasan tertentu yang melekat pada dunia. Seni absurd menggambarkan apa-apa

yang muncul dalam realitas, dalam arti penggambaran tersebut lahir dari apa

yang telah sang seniman lihat, rasakan, dan alami dalam dunia keseharian.

Karena atribut-atribut dari absurditas itu membumi di dunia, maka itu menjadi

pembentuk tatanan kreasinya. Meski sebagaimana Camus ungkap bahwa

seniman yang bebas adalah yang, dengan usaha keras, menciptakan tatanannya

sendiri, namun tatanan tersebut perlu tetap berangkat kehidupan manusia yang

riil; jika tidak maka seni akan hanya memanjakan dirinya dalam ocehan dan

menjadi budak dari bayangannya sendiri (Camus, 1995: 268) Maka, seniman

harus menjadi suara jamannya (Camus, 1992: 239). Jika sang seniman berusaha

membagi dan menceritakan ketidakberuntungan pada manusia jamannya, maka

ia juga harus merobek-robek dirinya sendiri sebagai cara merenungi

kemalangan itu sendiri dan memberikannya bentuk. Ketegangan antara

kesedihan dan harapan merupakan dua kutub yang berbahaya, seniman absurd

dicirikan sebagai orang yang mencari jalan melalui ketegangan tersebut. Jika

18
sang seniman memisahkan dirinya dari kemalangan dan ketidakberuntungan

dunia lalu secara bergairah menginginkan kerinduan akan kesendirian dan

keheningan, menurut Camus seolah-olah mencita-citakan keadilan tapi

menjadikan dirinya sendiri sebagai sumber ketidakadilan (Camus, 1992: 237).

Dengan kata lain, seniman absurd harus mampu menciptakan wujud seni yang

mampu mengartikulasikan dan merepresentasikan pengalaman konkret manusia

dengan tidak sewenang-wenang: seni absurd harus mencerminkan dunia yang

apa adanya, berakar pada penderitaan yang telanjang dirasakan semua orang,

bersilang dengan harapan yang keras kepala (Camus, 1995: 238-239).

Mengartikulasikan pengalaman manusia, terutama dalam bentuk

ilustrasi karya seni, Camus sadari bukanlah perkara mudah. Ia mengamati

bahwa ada dalam kondisi manusia, yang umum digambarkan dalam literatur

atau karya seni secara umum, sebuah absurditas dasar juga kebangsawanan

yang tak tergoyahkan (Camus, 1995: 115). Karakter pengalaman yang

paradoksal ini sulit untuk diungkapkan, akan tetapi karya seni besar dapat

melakukannya dengan memanfaatkan atribut-atribut unik dalam narasinya.

Bagaimanapun juga, paradoks adalah ciri yang melekat pada narasi absurditas.

Atribut unik dalam narasi absurditas terus berayun-ayun antara yang alamiah

dan yang luar biasa, yang individual dan yang universal, yang tragis dan yang

keseharian, yang tidak masuk akal dan yang logis (Camus, 1995: 114). Agar

19
ekspresi artistik dari paradoks-paradoks ini benar-benar ditampilkan secara

representatif, maka paradoks tak boleh disangkal atau dihancurkan, melainkan

kontradiksi-kontradiksi yang ada harus diperkuat.

Dalam seni absurd, setelah sang seniman menyadari apa saja yang perlu

ia perhatikan, jumpai, dan bedah dalam proses keseniannya, maka ia hanya

perlu mengilustrasikan pikirannya, menerjemahkan dan memberikan bentuk

bagi atribut-atribut unik dalam narasi absurditas dalam karyanya, setidak-

tidaknya lewat selipan dalam alegori atau metafora (Pölzler, 2020: 372). Camus

misalnya mengilustrasikan pemberontakan terhadap absurd dalam tokoh

Mersault di novel Orang Asing: dihadapkan oleh seorang pendeta dengan

penyerahan terhadap agama untuk meringakan vonisnya menjelang eksekusi

hukuman mati, Mersault dengan terang menolaknya: ia menjelaskan bahwa

meskipun apa yang manusia katakan, lakukan atau rasakan dapat menyebabkan

kematian manusia terjadi pada waktu atau keadaan yang berbeda, hal tersebut

tidak akan akan merubah fakta bahwa manusia dikutuk akan mati juga; dan

Mersault memilih untuk dengan tegap menerima kematiannya pada saat

hukuman mati (Camus, 2013: 118-124). Apa yang ditolak Mersault adalah

penyerahan diri terhadap kenyamanan palsu, yang mengancam apa yang

autentik ada dalam dirinya; ia tak mau membohongi dirinya sendiri dengan

memilih jalan yang membunuh kediriannya. Esensi penolakan tersebut adalah

20
perlawanan terhadap kondisi absurd dalam hidup itu sendiri, yang disadari

Mersault dari rangkaian kejadian yang menimpa dirinya sejak kematian ibunya

hingga putusan peradilannya. Lewat pengumpaan putusan hukuman mati,

Camus mengilustrasikan kondisi keterlemparan manusia di muka bumi,

sebagaimana juga menafsir batu yang selamanya didorong Sisifus. Penerimaan

Mersault pada putusan hukuman mati, adalah juga apa yang hendak Camus

sampaikan tentang bagaimana seharusnya manusia menghadapi

keterlemparannya. Maka, seni absurd, setidak-tidak lewat ketersiratannya, harus

mampu menciptakan dunia yang mendorong kesadaran terhadap absurd lewat

deskripsi yang dihadirkan lewat penggambaran kegamangan eksistensi dan

respon manusia terhadapnya.

21

Anda mungkin juga menyukai