A. Biografi
desa kecil di dekat kota pelabuhan Bonê (sekarang Annaba) di wilayah timur
laut Aljazair, Prancis. Dia adalah anak kedua dari Lucien Auguste Camus,
seorang veteran militer dan pegawai pengiriman anggur, dan Catherine Helene
Camus, seorang pembantu rumah tangga dan pekerja pabrik paruh waktu. Tak
lama setelah pecahnya Perang Dunia I, ketika Camus berusia kurang dari satu
tahun, ayahnya dipanggil kembali ke dinas militer dan, pada 11 Oktober 1914,
meninggal dunia akibat luka pecahan peluru yang dideritanya pada pertempuran
pertama di Marne.
pindah ke Aljir di mana mereka tinggal bersama paman dan nenek dari pihak
kemiskinan keluarganya.
1
Camus menempuh pendidikan dasar di sekolah dasar setempat, dan di
sejarah serta lanskap sastra yang imajinatif dan jauh dari jalanan berdebu di
rajin, belajar bahasa Latin dan Inggris, dan mengembangkan minat seumur
hidup dalam sastra, seni, teater, dan film. Dia juga menikmati olahraga,
terutama sepak bola, yang pernah ia tulis sebagai refleksi sebagai penjaga
gawang: "Saya belajar ... bahwa bola tidak pernah datang dari arah yang Anda
harapkan. Hal itu membantu saya di kemudian hari, terutama di Prancis daratan,
ketika tidak ada orang yang bermain lurus." Pada periode ini pula, Camus
gelar sarjana, dengan spesialisasi dalam bidang filsafat. Pada tahun 1936, ia
2
lainnya, Théâtre du Travail, sebuah kelompok akting profesional yang
intelektual sastra kelas dunia. Dia memulai dekade ini sebagai penulis dan
dramawan yang diakui secara lokal, tetapi sosok yang hampir tidak dikenal di
luar kota Aljir; kemudian mengakhiri dekade ini sebagai novelis, dramawan,
jurnalis, penulis esai filosofis yang diakui secara internasional. Periode hidup
The Strangers, yang akhirnya diterbitkan pada tahun 1942 dan mendapat
tanggapan kritis yang baik, termasuk ulasan yang panjang dan tajam dari Jean-
Paul Sartre.
Pada tahun 1942 sampai setahun kemudian, Camus mulai bekerja untuk
3
penerbitan dua drama, The Misunderstanding dan Caligula, dan mengambil
peran utama dalam masyarakat intelektual Paris bersama Sartre dan Simone de
Beauvoir. Pada akhir 40-an, reputasinya sebagai penulis dan pemikir semakin
Pendudukan Nazi. Pada tahun 1951, ia menerbitkan The Rebel, sebuah refleksi
yang berapi-api terhadap tirani dan terorisme, baik yang dilakukan oleh kaum
Pada musim gugur tahun 1957, setelah penerbitan Exile and the
Kingdom, kumpulan fiksi pendek, Camus dikejutkan oleh berita bahwa ia telah
perasaan campur aduk antara rasa syukur dan takjub. Di satu sisi, penghargaan
tersebut jelas merupakan kehormatan yang luar biasa. Di sisi lain, ia merasa
4
bahwa teman dan rekan novelisnya, Andre Malraux, lebih pantas
mendapatkannya, tetapi ia juga menyadari bahwa Nobel itu sendiri secara luas
Lourmarin, sebuah desa di tenggara Prancis, di mana ia, istri, serta anak
peristiwa bersejarah yang muncul dari latar belakang Perang Dunia Kedua,
eksistensialis" (Baert dalam Aho, 2023), saat sebuah generasi dipaksa untuk
suara yang paling populer dari gerakan ini berasal dari Prancis, terutama Jean-
5
Paul Sartre dan Simone de Beauvoir, Albert Camus, Gabriel Marcel, dan
lebih awal pada abad kesembilan belas oleh para perintis seperti Søren
Kierkegaard, Friedrich Nietzsche dan para filsuf Jerman abad ke-20 seperti
Edmund Husserl, Martin Heidegger, dan Karl Jaspers, serta para intelektual
Spanyol terkemuka seperti José Ortega y Gasset dan Miguel de Unamuno. Ide-
ide intinya juga telah tercermin dalam karya-karya sastra terkemuka. Di luar
drama, cerita pendek, dan novel karya tokoh-tokoh Prancis Camus, Jean Genet,
dan André Gide, novelis Rusia Leo Tolstoy dan Fyodor Dostoevsky, karya
penulis Norwegia seperti Henrik Ibsen dan Knut Hamsun, dan ikonoklastik
Jerman Franz Kafka dan Rainer Maria Rilke. Gerakan ini bahkan menemukan
Hemingway, para penulis dari abad pertengahan seperti Jack Kerouac, Allen
6
lukisan Edvard Munch, Marcel Duchamp, Pablo Picasso, Paul Cézanne, dan
radikal dan emansipatoris Martin Luther King Jr. dan Malcolm X serta tulisan-
tulisan para intelektual kulit hitam Ralph Ellison, Richard Wright, dan W.E.B.
ceramah dan tulisan-tulisan Karl Barth, Paul Tillich, dan Martin Buber. Dengan
Dengan berbagai macam manifestasi yang luas dan beragam, sulit untuk
pada tahun 1943 ini tidak merujuk pada sebuah sistem atau aliran filsafat yang
sistematis dan bahkan memiliki pandangan yang sangat berbeda, dan dari
7
mewakili eksistensialisme, dapat ditemukan para eksistensialis sekuler dan
religius, para filsuf yang menganut konsepsi kebebasan radikal dan yang
menolaknya. Dan ada juga yang menganggap hubungan manusia dengan orang
lain membuatnya terperosok ke dalam konflik dan penipuan diri, dan ada pula
yang mengakui adanya kapasitas yang mendalam untuk cinta dan bergantung.
Dengan adanya perbedaan-perbedaan ini dan fakta bahwa tidak ada doktrin
dunia yang semakin sekuler dan ilmiah. Transisi historis ini mengakibatkan
ketidakbermaknaan.
8
sehari-hari dan disaat yang bersamaan berjuang untuk memahami dan
benda dengan sifat yang telah diberikan sebelumnya (atau "esensi"), tetapi
sebagai aktivitas atau cara manusia berada dalam proses menciptakan diri
dalam eksistensi dan dibebani dengan tugas untuk menciptakan makna bagi
keberadaan manusia dengan makhluk lain adalah bahwa manusia sadar akan
dirinya dan ada untuk dirinya sendiri, yang berarti manusia bebas dan
bertanggung jawab atas dirinya sendiri dan apa yang dirinya lakukan. Ini
9
dan ekspektasi publik karena hal tersebut menghalangi manusia untuk
menjadi otentik atau menjadi dirinya sendiri. Kehidupan yang otentik adalah
bermoral atau terpuji adalah mungkin. Ini adalah kehidupan ketika diri
antara keinginan manusia untuk meraih makna dengan respon keheningan dunia
kepada kehidupan sehari-hari tak dapat manusia terima, sebab pada dasarnya
merasakan cemas dan gelisah akibat hidup tanpa makna, seolah ia dilempar
10
begitu saja ke muka bumi tanpa alasan dan maksud apapun dan dipaksa untuk
para dewa dalam fabel yunani kuno karangan Homer (Camus, 1979: 107):
setiap kali dia mencapai puncak gunung, batu itu karena beratnya sendiri akan
pada suatu kondisi yang tidak memungkinkan tujuan tersebut terpenuhi. Maka
apapun yang Sisifus lakukan, berapapun banyak rasa sakit dan pengorbanan
dalam usahanya, batu besar itu akan pasti kembali berguling ke bawah dan tak
sia-sia, tanpa makna, tanpa jeda, dan tanpa harapan akan akhir. Sebagaimana
Sisifus yang tak mampu menambatkan batunya di puncak gunung dan terus
keseramwutan kenyataan dari dunia, yang tetap ia akan temui hanyalah kesia-
11
sian atas usahanya. Maka dititik saat manusia menyadari ketidakbermaknaan
Camus menggangap terdapat dua respon natural atas absurd yaitu bunuh
diri fisikal dan bunuh diri filosofis (Camus, 1979: 13, 32). Kenyataan bahwa
diri sadar akan ketiadaan sama sekali makna untuk dipetik maka tidak ada lagi
alasan untuk melanjutkan hidup, maka pilihan untuk bunuh diri fisikal menjadi
pilihan masuk akal. Atau jika manusia hendak tetap melanjutkan hidupnya,
dengan pertanyaan mengantung tentang makna yang tak dapat diraih, maka
pilihan untuk mengharapkan diri kepada Tuhan, hidup setelah mati, ataupun
makna objektif tak mampu ditawarkan dunia ini, maka tujuan atau alasan hidup
bentuk keabsurdan paling umum yaitu rutinitas monoton. Bangun tidur, mandi,
12
berangkat kerja, menghadap mesin tik, makan pulang, dan tidur; suatu siklus
dan langit hitam tanpa ujung, hal-hal yang yang biasanya manusia selipkan
makna dibaliknya, kini tiada lagi artinya. Manusia absurd telah menyadari
dan terasing dari dunia yang ditempatinya. Hal itu karena dunia kini telah
menjatuhkan pilihan pada bunuh diri fisikal dan filosofis, adalah sesuatu yang
untuk mencari bentuk makna respon yang sesungguhnya akan makna dan relasi
absurd yang terjadi. Keduanya adalah ilusi dan pengelakan. Bunuh diri fisikal
menerima sang absurd, kenyataan bahwa upaya manusia mencari makna dan
pencarian tersebut tidak akan membuahkan hasil, meski begitu pada saat
13
bersamaan manusia harus mengkonfrontasi menantang sang absurd tersebut,
terima, disitulah kebahagiaan itu muncul. Ia tak lagi mengganggap batu besar-
mencapai untuk puncak itu sudah cukup untuk memenuhi batin Sisifus, juga
manusia dalam eksistensinya. Dalam salah satu bagian dalam esainya camus
absurditas dunia:
14
D. Konsep Seni Absurd
pembantuannya. Bagi Camus ini adalah peran yang diisi oleh seni. Dalam
bernala secara konkret. Karya seni mewujudkan sebuah drama cerdas tanpa
pandangan seni Camus untuk menantang absuditas atau seni absurd tak
(Sefler, 1974: 416). Seni absurd tak hendak menjadikan seni sebagai jalan
pintas atau pelarian bagi manusia atas absurd, melainkan menciptakan suatu
15
Ketidakmampuan sang seniman atau penikmat karya dalam memahami
realitas itu sendiri adalah bagian dari tujuan dari seni absurd, yaitu kreasi seni
melarikan diri dari kondisi absurd, atau penciptaan suatu karya yang
konkret (Camus, 1979: 95). Seni bukanlah solusi yang akan dengan mudah
penyakit intelektual, atau bisa menjadi makna akhir, makna, dan penghiburan
mengubah apapun (Camus, 1979: 97). Suatu karya absurd mampu menawarkan
16
kerinduan manusia akan makna dan kebahagian tanpa perlu mengobarkan atau
dalam dunia (Camus, 1979: 91). Penjelasan adalah upaya untuk memaksakan
suatu tatanan pada pengalaman sebagai cara untuk memahami dunia, dan
untuk mengklaim, memecahkan, dan merubah apa yang seharusnya jelas dan
misteri eksistensi: “di alam semesta ini, karya seni adalah satu-satunya
dunia ini” (Camus, 1979: 86). Lewat penjabaran akan realitas yang dengan
17
membelenggunya. Daripada mencoba menjelaskan mengapa dunia seperti ini,
karya yang berdasar pengalaman otentik ketika berhadapan dengan sang absurd.
batasan tertentu yang melekat pada dunia. Seni absurd menggambarkan apa-apa
yang muncul dalam realitas, dalam arti penggambaran tersebut lahir dari apa
yang telah sang seniman lihat, rasakan, dan alami dalam dunia keseharian.
Karena atribut-atribut dari absurditas itu membumi di dunia, maka itu menjadi
seniman yang bebas adalah yang, dengan usaha keras, menciptakan tatanannya
sendiri, namun tatanan tersebut perlu tetap berangkat kehidupan manusia yang
riil; jika tidak maka seni akan hanya memanjakan dirinya dalam ocehan dan
menjadi budak dari bayangannya sendiri (Camus, 1995: 268) Maka, seniman
harus menjadi suara jamannya (Camus, 1992: 239). Jika sang seniman berusaha
kesedihan dan harapan merupakan dua kutub yang berbahaya, seniman absurd
dicirikan sebagai orang yang mencari jalan melalui ketegangan tersebut. Jika
18
sang seniman memisahkan dirinya dari kemalangan dan ketidakberuntungan
Dengan kata lain, seniman absurd harus mampu menciptakan wujud seni yang
apa adanya, berakar pada penderitaan yang telanjang dirasakan semua orang,
bahwa ada dalam kondisi manusia, yang umum digambarkan dalam literatur
atau karya seni secara umum, sebuah absurditas dasar juga kebangsawanan
paradoksal ini sulit untuk diungkapkan, akan tetapi karya seni besar dapat
Bagaimanapun juga, paradoks adalah ciri yang melekat pada narasi absurditas.
Atribut unik dalam narasi absurditas terus berayun-ayun antara yang alamiah
dan yang luar biasa, yang individual dan yang universal, yang tragis dan yang
keseharian, yang tidak masuk akal dan yang logis (Camus, 1995: 114). Agar
19
ekspresi artistik dari paradoks-paradoks ini benar-benar ditampilkan secara
Dalam seni absurd, setelah sang seniman menyadari apa saja yang perlu
tidaknya lewat selipan dalam alegori atau metafora (Pölzler, 2020: 372). Camus
meskipun apa yang manusia katakan, lakukan atau rasakan dapat menyebabkan
kematian manusia terjadi pada waktu atau keadaan yang berbeda, hal tersebut
tidak akan akan merubah fakta bahwa manusia dikutuk akan mati juga; dan
hukuman mati (Camus, 2013: 118-124). Apa yang ditolak Mersault adalah
autentik ada dalam dirinya; ia tak mau membohongi dirinya sendiri dengan
20
perlawanan terhadap kondisi absurd dalam hidup itu sendiri, yang disadari
Mersault dari rangkaian kejadian yang menimpa dirinya sejak kematian ibunya
Mersault pada putusan hukuman mati, adalah juga apa yang hendak Camus
21