Anda di halaman 1dari 13

Kebutuhan Manusia Menurut Fromm Dalam Cerpen Le

Bonheur Karya Guy de Maupassant


Kajian Sastra : Psikoanalisis Humanistis
(Anna Maria Widya 2311417053)

Pengantar

Henry René Albert Guy de Maupassant, adalah seorang penulis novel serta cerpen
terkenal Prancis. Dia lahir pada 5 Agustus 1850 di Château de Miromesnil, Tourville-sur-
Arques. Oleh para kritikus, Maupassant kemudian dikategorikan sebagai pengarang
beraliran "realis" atau "naturalis". Yaitu model penulisan yang berciri "writing about
ordinary people, without sentimentalism or romantic idealism."

Masa kecilnya hidup di daerah pesisir, di rumah “les Verguies” diEtretat. Dia di besarkan
di daerah yang alami. Pada umur tiga belas tahun, Maupassant menjadi murid di Gereja
Yvetot atas permintaan ibunya. Di gereja inilah Maupassant mulai membuat syair dan
mengkritik tentang agama kemudian dia dikeluarkan. Kemudian, dia melanjutkan sekolah
menengahnya di Rouen dan bertemu dengan penulis terkenal perancis pada masa
itu, Gustave Flaubert.

Pada tahun 1870, Maupassant mendaftar sebagai sukarelawan dalam perang Perancis-
Prusia (Jerman). Setelah perang selesai, dia membayar orang lain untuk menggantikan
dirinya menyelesaikan wajib militernya dan meninggalkan Normandia untuk menetap di
Paris. Di Paris, dia melewatkan sepuluh tahun hidupnya untuk menjadi Departemen
angkatan laut dan Pendidikan. Tahun 1875, ia mempublikasikan cerita pertamanya “La
Main Écorchée” di Lorraine Almanac Pont-à-Mousson.
Masa kejayaan Maupassant de maupassant dialami pada tahun 1880-1890. Dia
menerbitkan enam novel dan diantaranya ia buat menjadi cerita-cerita pendek. Ia
menerbitkan “La Maison Tellier” yang sukses besar.
Lalu novel kedua yang berjudul “Bel-Ami”. Tahun 1889, saudaranya Hervé yang berada
di rumah sakit Val de Marne meninggal yang sebelumnya gila. Melihat saudaranya
meninggal, Maupassant mengalami trauma yang mendalam terhadap kematian.

Pada malam 1-2 Januari 1892, ia mencoba bunuh diri dengan pistol tetapi berhasil
diselamatkan. Tanggal 6 Juli 1893, Maupassant meninggal dunia akibat penyakit yang di
deritanya. Dia dimakamkan di Pemakaman Montparnasse, Paris.

Ada empat hal dalam kehidupan yang berhubungan dengan tulisan Maupassant, yaitu:
1. Selama perang Perancis-Prusia (Jerman), Maupassant banyak mengambil latar dan
tema dalam suasana perang tersebut karena dia mengalami hampir sepuluh sampai lima
belas tahun untuk menjadi sukarelawan perang. Seperti dalam cerpen: Boule de Suife,
Mademoiselle Fifi, Deux Amis, Le Père Milon, La Folle, dll.

2. Dalam karya-karyanya, Maupassant selalu menjadikan tokoh wanita sebagai korban


kekerasan, wanita tidak berdaya dan selalu menjadi tersia-sia oleh lelaki. Dalam cerita
Jean seorang gadis petani di La Petite Roque, Miss Harriet, dll. Kemudian penekanan
yang signifikan dalam Boule de Suife, Mademoiselle Fifi, La Maison Tellier,
dll.Sedangkan dalam tema keluarga dan anak, kekerasan wanita terjadi diPierre et Jean
Boitelle, Aux Champ, L’enfant, En Famille, dll.
3. Maupassant mempunyai pemikiran yang sangat menjunjung tinggi dari pada apapun.

4. Keadaan gangguan jiwa maupassant, dia mengalami depresi yang dia curahkan dalam
tuliasan-tulisan tangannya, Une Vie, Bel-Ami, La Petite Roque, Fort Comme La Mort,
dll. Kadang dia juga mengangkat tema alam karena dia dulu hidup di daerah pedesaan
dan laut. Seperti: Une Vie, Pierre et Jean, Les Rivières atau Les Marais.
KAJIAN SASTRA

Gambaran Umum Teori Psikoanalisis Humanistis

Tesis dasar Erich Fromm menyatakan bahwa manusia pada masa modern initelah berpisah da
ri kesatuan prasejarah mereka dengan alam dan juga dengan satu sama lain, namun mereka
memiliki kekuatan akal, antisipasi, dan imajinasi. Kesadaran diri turut ambil bagian dalam
adanya perasaan kesendirian, isolasi dan kehilangan tempat berpulang. Untuk melarikan diri
dari perasaan – perasaan ini, manusia berusaha untuk bersatu kembali dengan alam dan
sesama manusia lain.

Kejadian yang lebih baru dalam sejarah manusia adalah bangkitnya kapitalisme, yang di satu
sisi telah berkontribusi dalam pertumbuhan waktu luang dan kebebasan pribadi. Namun, di
sisi lain, hal ini juga menghasilkan perasaan cemas, isolasi, dan ketidakberdayaan. Fromm
menyatakan bahwa harga kebebasan telah melampaui manfaatnya. Isolasi yang dihasilkan
oleh kapitalisme sudah tidak dapat lagi diterima, meninggalkan manusia dengan dua
pilihan : (1) melarikan diri dari kebebasan dan menuju ketergantungan interpersonal atau (2)
bergerak menuju realisasi diri melalui cinta dan kerja yang produktif.

Biografi Erich Fromm

Fromm lahir pada tanggal 23 Maret 1900 di Frankfurt, Jerman. Ia merupakan anak tunggal
dari orang tua Yahudi Ortodoks kelas menengah. Ayahnya adalah Naphtali Fromm dan
Ibunya bernama Rosa Krause Fromm. Masa kecil Fromm jauh dari kehidupan ideal, ia ingat
bahwa ia memiliki orang tua neurotic. Dan bahwa ia juga mungkin seorang anak neurotik
yang agak di luar batas. Saat Fromm berusia 14 tahun, pada saat pecahnya perang dunia 1.
Semasa remaja, Fromm sangat tergerak oleh tulisan Freud dan Karl Marx. Setelah perang,
Fromm menjadi seorang sosialis. Walaupun pada saat itu ia tidak mau bergabung dengan
partai sosialis.

Dari tahun 1925 sampai 1930, ia mempelajari psikoanalisis, pertama di Munich lalu di
Frankfurt kemudian di Berlin Psychoanalitic Institute. Pada tahun 1926, tahun yang sama
dimana ia keluar dari agama ortodoks, Fromm menikahi Frieda Reichman (analisnya) yang
berusia 10 tahun lebih tua darinya. Namun mereka bercerai pada tahun 1930. Pada tahun
1930, Fromm dan beberapa orang lainnya ,mendirikan South German Institute for
Psychoanalitic di Frankfurt. Pada tahun 1941, Fromm bergabung dengan Asosiasi untuk
Perkembangan Psikoanalisis.

Pada tahun 1944 Fromm menikahi Henry Gurland, seorang wanita yang dua tahun lebih
muda darinya dan memiliki minta pada agama dan pikiran mistis, kemudian mendorong
hasrat Fromm akan Budhisme zen lebih jauh. Namun istrinya meninggal pada tahun 1952. Di
Meksiko, ia bertemu dengan Annis Freeman yang ia nikahi pada tahun 1953.Erich Fromm
meninggal pada tanggal 18 Maret 1980 setelah ulang tahun yang ke 80 di Swiss.

Keterkaitan Teori Psikoanalisis Humanistis - Sastra

Psikologi sastra adalah kajian sastra yang memandang karya sebagai aktivitas kejiwaan.
Pengarang akan menggunakan cipta dan rasa dalam berkarya. Begitu pula pembaca, dalam
menanggapi karya juga tidak lepas dari kejiwaan masing-masing. Psikologi sastra pun
mengenal karya sastra sebagai pantulan kejiwaan. Pengarang akan menangkap gejala jiwa
kemudian diolah ke dalam teks dan dilengkapi dengan kejiwaannya. Proyeksi pengalaman
sendiri dan pengalaman hidup di sekitar pengarang, akan terproyeksi secara imajiner ke
dalam teks sastra (Endraswara, 2011:96).

Dalam teori psikoanalisis humanistis ini Fromm meyakini bahwa hakikat manusia bersifat
dualistik. Ada empat dualistik dalam diri manusia, yaitu : (1) Manusia sebagai binatang dan
manusia, artinya baik sebagai binatang atau manusia, manusia itu memiliki kebutuhan yang
harus dipenuhi. Manusia sebagai binatang memiliki kebutuhan fisik, seperti makan, minum,
dan seksual. Manusia sebagai manusia memiliki kebutuhan akan kesadaran diri, berpikir,
berimajinasi, dan lain-lain ; (2) Hidup dan mati, artinya manusia meyakini akan mengalami
kematian, tetapi ada perasaan menolak kematian tersebut ; (3) Ketidaksempurnaan dan
kesempurnaan, artinya manusia meyakini bahwa dalam dirinya terdapat kesempurnaan dan
ketidaksempurnaan ; (4) Kesendirian dan kebersamaan, artinya manusia menyadari dirinya
sebagai individu yang terpisah, namun juga menyadari bahwa kebahagiaan tergantung dari
kebersamaan dengan orang lain. Empat dualisme itu merupakan kebutuhan eksistensi
manusia. Kebutuhan eksistensial ini muncul saat evolusi budaya manusia yang tumbuh dari
usaha mereka untuk menemukan jawaban atas keberadaan mereka dan untuk menghindari
ketidakwarasan. Individu yang sehat secara mental (waras) lebih mampu menemukan cara
untuk bersatu kembali dengan dunia dengan memenuhi kebutuhan manusiawi mereka akan
keterhubungan, keberakaran, kepekaan akan identitas, dan kerangka orientasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN


1) Keterhubungan

Cela avait fait, jadis, un gros scandale dans la noble Lorraine. Une jeune fille, belle et riche,
Suzanne de Sirmont, avait été enlevée par un sous-officier de hussards du régiment que
commandait son père.

Dulu ada sebuah skandal yang mengerikan di dalam keluarga bangsawan Lorraine. Seorang
wanita muda, cantik dan kaya, Suzzane de Sirmont, telah dibawa pergi oleh seorang sersan dari
resimen yang dipimpin oleh ayah wanita tersebut.

C'était un beau garçon, fils de paysans, mais portant bien le dolman bleu, ce soldat qui avait
séduit la fille de son colonel. Elle l'avait vu, remarqué, aimé en regardant défiler les escadrons,
sans doute.

Sersan itu, adalah lelaki yang tampan, seorang anak petani, berpenampilan baik dengan seragam
yang dikenakannya, prajurit itulah yang telah merayu puteri kolonelnya. Tak ada keraguan yang
diperlihatkan oleh wanita itu pada prajurit itu. Wanita itu pun memperhatikannya, jatuh cinta
kepadanya saat melihat barisan pasukan.

Keterhubungan adalah dorongan untuk bersatu dengan satu orang atau lebih. Fromm menyatakan
tiga cara dasar bagi manusia untuk terhubung dengan dunia, yaitu kepasrahan, kekuasaan, dan
cinta. Pada dasarnya cara kepasrahan dan kekuasaan saling berhubungan. Menurut Fromm, cinta
adalah satu-satunya jalan untuk seseorang bersatu dengan dunia dan dalam waktu yang sama
mencapai individualitas dan integritas.

Dalam hal ini, Suzanne merasa memiliki suatu koneksi atau keterhubungan dengan sersan
tersebut tanpa melihat perbedaan posisi yang ada diantara mereka. Posisinya sebagai seorang
putri bangsawan pun ia pasrahkan lalu memilih untuk pergi bersama kekasihnya yang berasal
dari keluarga petani.

2) Keunggulan

Elle n'avait eu jamais besoin que de lui; pourvu qu'il fût là, elle ne désirait rien. Elle avait
abandonné la vie, toute jeune, et le monde, et ceux qui l'avaient élevée, aimée. Elle était venue,
seule avec lui, en ce sauvage ravin. Et il avait été tout pour elle, tout ce qu'on désire, tout ce
qu'on rêve, tout ce qu'on attend sans cesse, tout ce qu'on espère sans fin. Il avait empli de
bonheur son existence, d'un bout à l'autre.
Dia tak memerlukan apapun, kecuali pasangannya; selama pasangannya ada, wanita itu tak
memerlukan apa-apa. Dia memiliki kebebasan hidup sejak muda, di antaranya untuk dunia dan
bagi siapa yang telah merawatnya dan mencintainya. Dia telah datang bersama pasangannya ke
jurang yang liar ini. Dan si prajurit itu menjadi segalanya baginya, segalanya yang menjadi satu
keinginan, segalanya menjadi satu impian, segalanya yang menjadi satu hal yang di nanti terus-
menerus, segalanya yang menjadi harapan-harapan abadi. Si prajurit telah memenuhi
kehidupannya dengan kebahagiaan, dari satu ujung ke ujung yang lain.

Keunggulan (transcendence) didefinisikan sebagai dorongan untuk melampaui keberadaan yang


pasif dan kebetulan menuju alam penuh makna dan kebebasan. Keunggulan dapat dicari melalui
pendekatan positif dan negatif. Pendekatan positif dilakukan dengan cara menciptakan. Manusia
sadar akan kemampuannya menciptakan kehidupan (reproduksi) dan juga manusia memiliki
kemampuan untuk menciptakan kreasi dalam seni, agama, gagasan, hukum, produksi materi, dan
cinta. Karena manusia memiliki daya cipta. Dalam cerpen ini yang dimaksud dengan pendekatan
positif yaitu, Suzanne memilih untuk hidup bahagia dengan lelaki pilihannya apapun resiko yang
terjadi, ia memilih menciptakan kebahagiaan dengan pilihannya tersebut

Melalui pendekatan negatif, manusia dapat melakukan penghancuran. Manusia dapat


mengungguli hidup dengan menghancurkannya. Dalam cerpen ini yang dimaksud dengan
pendekatan negatif yaitu, ketika Suzanne harus meninggalkan kehidupan mewah dengan gaya
hidup bangsawannya dan memilih untuk hidup miskin bersama kekasihnya di pulau terpencil.

3) Keberakaran

Elle était devenue elle-même une paysanne. Elle s'était faite à sa vie sans charmes, sans luxe,
sans délicatesse d'aucune sorte; elle s'était pliée à ses habitudes simples.

Dia mendiami kehidupannya tanpa pesona, tanpa kemewahan, tanpa makanan yang lezat
berbagai macam, dia telah bertekad pada dirinya sendiri kepada kebiasaan-kebiasaannya yang
sederhana.

Kebutuhan keberakaran adalah kebutuhan untuk memiliki ikatan-ikatan yang membuatnya


merasa nyaman di dunia (merasa seperti di rumahnya). Manusia menjadi asing dengan dunianya
karena dua alasan yaitu:

-Dia direnggut dari akar-akar hubungannya oleh situasi (ketika manusia dilahirkan, dia menjadi
sendirian dan kehilangan ikatan alaminya)

-Fikiran dan kebebasan yang dikembangkannya sendiri justru memutus ikatan alami dan
menimbulkan perasaan isolasi/tak berdaya.

Tokoh Suzzane meninggalkan kehidupan mewahnya sebagai putri seorang bangsawan, dan
memilih hidup dengan cara yang sangat berbeda dari kehidupannya terdahulu.
4) Kepekaan akan Identitas

Cela avait fait, jadis, un gros scandale dans la noble Lorraine. Une jeune fille, belle et riche,
Suzanne de Sirmont, avait été enlevée par un sous-officier de hussards du régiment que
commandait son père. C'était un beau garçon, fils de paysans…

Dulu ada sebuah skandal yang mengerikan di dalam keluarga bangsawan Lorraine. Seorang
wanita muda, cantik dan kaya, Suzzane de Sirmont, telah dibawa pergi oleh seorang sersan dari
resimen yang dipimpin oleh ayah wanita tersebut. Sersan itu, adalah lelaki yang tampan, seorang
anak petani…

Fromm meyakini bahwa manusia primitive mengidentifikasi diri mereka lebih dekat dengan klan
mereka dan tidak melihat dirinya sebagai individu yang terpisah dari kelompok. Bahkan ketika
abad pertengahan, sebagian besar manusia diidentifikasi menurut peran social mereka dalam
hierarki feudal. Identitas sebagian besar orang tetap bergantung pada ketertarikan mereka dengan
orang – orang lain atau intitusi seperti bangsa, agama, pekerjaan, dan jabatan.

KESIMPULAN
Fromm meyakini bahwa kurang terpenuhinya kebutuhan – kebutuhan diatas akan membuat
manusia tidak tahan dan dapat kehilangan kewarasan. Oleh karena itu, manusia sangat tergerak
untuk memenuhi kebutuhannya dengan satu cara atau lainnya, baik secara positif ataupun
negative.

Keterhubungan dapat terealisasi melalui pemasrahan, dominasi dan cinta. Akan tetapi hanya
cinta yang menghasilkan pemenuhan seutuhnya. Keberakaran dapat dipenuhi dengan bergerak
menuju kelahiran sempurna dan keutuhan. Rasa jatidiri dapat diperoleh berdasarkan penyesuaian
diri dengan kelompok atau dapat dipenuhi melalui gerakan kreatif menuju individualitas.

DAFTAR PUSTAKA

https://paroleparolesite.wordpress.com/2015/11/07/kebahagiaan-guy-de-
maupassant/

http://clicnet.swarthmore.edu/litterature/classique/maupassant/bonheur.html

https://azizahzahro96.wordpress.com/2014/04/16/psikoanalitik-humanistik-
erich-fromm/

https://dosenpsikologi.com/psikologi-sastra
Le Bonheur

Guy de Maupassant

C'était l'heure du thé, avant l'entrée des lampes. La villa dominait la mer; le soleil disparu avait
laissé le ciel tout rose de son passage, frotté de poudre d'or; et la Méditerranée, sans une ride,
sans un frisson, lisse, luisante encore sous le jour mourant, semblait une plaque de métal polie et
démesurée.

Au loin, sur la droite, les montagnes dentelées dessinaient leur profil noir sur la pourpre pâlie
du couchant.

On parlait de l'amour, on discutait ce vieux sujet, on redisait des choses qu'on avait dites,
déjà, bien souvent. La mélancolie douce du crépuscule ralentissait les paroles, faisait flotter un
attendrissement dans les âmes, et ce mot: "amour", qui revenait sans cesse, tantôt prononcé par
une forte voix d'homme, tantôt dit par une voix de femme au timbre léger, paraissait emplir le
petit salon, y voltiger comme un oiseau, y planer comme un esprit.

Peut-on aimer plusieurs années de suite?

- Oui, prétendaient les uns.

- Non, affirmaient les autres.

On distinguait les cas, on établissait des démarcations, on citait des exemples; et tous,
hommes et femmes, pleins de souvenirs surgissants et troublants, qu'ils ne pouvaient citer et qui
leur montaient aux lèvres, semblaient émus, parlaient de cette chose banale et souveraine,
l'accord tendre et mystérieux de deux êtres, avec une émotion profonde et un intérêt ardent.

Mais tout à coup quelqu'un, ayant les yeux fixés au loin, s'écria:

- Oh! voyez, là-bas, qu'est-ce que c'est?

Sur la mer, au fond de l'horizon, surgissait une masse grise, énorme et confuse.

Les femmes s'étaient levées et regardaient sans comprendre cette chose surpenante qu'elles
n'avaient jamais vue.

Quelqu'un dit:

- C'est la Corse! On l'aperçoit ainsi deux ou trois fois par an dans certaines conditions
d'atmosphère exceptionnelles, quand l'air, d'une limpidité parfaite, ne la cache plus par ces
brumes de vapeur d'eau qui voilent toujours les lointains.
On distinguait vaguement les crêtes, on crut reconnaître la neige des sommets. Et tout le
monde restait surpris, troublé, presque effrayé par cette brusque apparition d'un monde, par ce
fantôme sorti de la mer. Peut-être eurent-ils des visions étranges, ceux qui partirent, comme
Colomb, à travers les océans inexplorés.

Alors, un vieux monsieur, qui n'avait pas encore parlé, prononça:

- Tenez, j'ai connu dans cette île, qui se dresse devant nous, comme pour répondre elle-même
à ce que nous disions et me rappeler un singulier souvenir, j'ai connu un exemple admirable d'un
amour constant, d'un amour invraisemblablement heureux.

Le voici.

Je fis, voilà cinq ans, un voyage en Corse. Cette île sauvage est plus inconnue et plus loin de
nous que l'Amérique, bien qu'on la voie quelquefois des côtes de France, comme aujourd'hui.

Figurez-vous un monde encore en chaos, une tempête de montagnes que séparent des ravins
étroits où roulent des torrents; pas une plaine, mais d'immenses vagues de granit et de géantes
ondulations de terre couvertes de maquis ou de hautes forêts de châtaigniers et de pins. C'est un
sol vierge, inculte, désert, bien que parfois on aperçoive un village, pareil à un tas de rochers au
sommet d'un mont. Point de culture, aucune industrie, aucun art. On ne rencontre jamais un
morceau de bois travaillé, un bout de pierre sculptée, jamais le souvenir du goût enfantin ou
raffiné des ancêtres pour les choses gracieuses et belles. C'est là même ce qui frappe le plus en ce
superbe et dur pays: l'indifférence héréditaire pour cette recherche des formes séduisantes qu'on
appelle l'art.

L'Italie, où chaque palais, plein de chefs-d'oeuvre, est un chef-d'oeuvre lui-même, où le


marbre, le bois, le bronze, le fer, les métaux et les pierres attestent le génie de l'homme, où les
plus petits objets anciens qui traînent dans les vieilles maisons révèlent ce divin souci de la
grâce, est pour nous tous la patrie sacrée que l'on aime parce qu'elle nous montre et nous prouve
l'effort, la grandeur, la puissance et le triomphe de l'intelligence créatrice.

Et, en face d'elle, la Corse sauvage est restée telle qu'en ses premiers jours. L'être y vit dans
sa maison grossière, indifférent à tout ce qui ne touche point son existence même ou ses
querelles de famille. Et il est resté avec les défauts et les qualités des races incultes, violent,
haineux, sanguinaire avec inconscience, mais aussi hospitalier, généreux, dévoué, naïf, ouvrant
sa porte aux passants et donnant son amitié fidèle pour la moindre marque de sympathie.

Donc, depuis un mois, j'errais à travers cette île magnifique, avec la sensation que j'étais au
bout du monde. Point d'auberges, point de cabarets, point de routes. On gagne, par des sentiers à
mulets, ces hameaux accrochés au flanc des montagnes, qui dominent des abîmes tortueux d'où
l'on entend monter, le soir, le bruit continu, la voix sourde et profonde du torrent. On frappe aux
portes des maisons. On demande un abri pour la nuit et de quoi vivre jusqu'au lendemain. Et on
s'assoit à l'humble table, et on dort sous l'humble toit; et on serre, au matin, la main tendue de
l'hôte qui vous a conduit jusqu'aux limites du village.

Or, un soir, après dix heures de marche, j'atteignis une petite demeure toute seule au fond
d'un étroit vallon qui allait se jeter à la mer une lieue plus loin. Les deux pentes rapides de la
montagne, couvertes de maquis, de rocs éboulés et de grands arbres, enfermaient comme deux
sombres murailles ce ravin lamentablement triste.

Autour de la chaumière, quelques vignes, un petit jardin, et plus loin, quelques grands
châtaigniers, de quoi vivre enfin, une fortune pour ce pays pauvre.

La femme qui me reçut était vieille, sévère et propre, par exception. L'homme, assis sur une
chaise de paille, se leva pour me saluer, puis se rassit sans dire un mot. Sa compagne me dit:

- Excusez-le; il est sourd maintenant. Il a quatre-vingt-deux ans.

Elle parlait le francais de France. Je fus surpris.

Je lui demandai:

- Vous n'êtes pas de Corse?

Elle répondit:

- Non, nous sommes des continentaux. Mais voilà cinquante ans que nous habitons ici.

Une sensation d'angoisse et de peur me saisit à la pensée de ces cinquante années écoulées
dans ce trou sombre, si loin des villes où vivent les hommes. Un vieux berger rentra, et l'on se
mit à manger le seul plat du dîner, une soupe épaisse où avaient cuit ensemble des pommes de
terre, du lard et des choux.

Lorsque le court repas fut fini, j'allai m'asseoir devant la porte, le coeur serré par la
mélancolie du morne paysage, étreint par cette détresse qui prend parfois les voyageurs en
certains soirs tristes, en certains lieux désolés. Il semble que tout soit près de finir, l'existence et
l'univers. On perçoit brusquement l'affreuse misère de la vie, l'isolement de tous, le néant de tout,
et la noire solitude du coeur qui se berce et se trompe lui-même par des rêves jusqu'à la mort.

La vieille femme me rejoignit et, torturée par cette curiosité qui vit toujours au fond des âmes
les plus résignées:

- Alors. vous venez de France? dit-elle.

- Oui, je voyage pour mon plaisir.

- Vous êtes de Paris, peut-être?


- Non, je suis de Nancy.

Il me sembla qu'une émotion extraordinaire l'agitait. Comment ai-je vu ou plutôt senti cela, je
n'en sais rien.

Elle répéta d'une voix lente:

- Vous êtes de Nancy?

L'homme parut dans la porte, impassible comme sont les sourds.

Elle reprit:

- Ça ne fait rien. Il n'entend pas.

Puis, au bout de quelques secondes:

- Alors, vous connaissez du monde à Nancy?

- Mais oui, presque tout le monde.

- La famille de Sainte-Allaize?

- Oui, très bien; c'étaient des amis de mon père.

- Comment vous appelez-vous?

Je dis mon nom. Elle me regarda fixement, puis prononça, de cette voix basse qu'éveillent les
souvenirs:

- Oui, oui, je me rappelle bien. Et les Brisemare qu'est-ce qu'ils sont devenus?

- Tous sont morts.

- Ah! Et les Sirmont, vous les connaissiez?

- Oui, le dernier est général.

Alors elle dit, frémissante d'émotion, d'angoisse, de je ne sais quel sentiment confus, puissant
et sacré, de je ne sais quel besoin d'avouer, de dire tout, de parler de ces choses qu'elle avait
tenues jusque-là enfermées au fond de son coeur, et de ces gens dont le nom bouleversait son
âme:

- Oui, Henri de Sirmont. Je le sais bien. C'est mon frère.

Et je levai les yeux vers elle, effaré de surprise. Et tout d'un coup le souvenir me revint.
Cela avait fait, jadis, un gros scandale dans la noble Lorraine. Une jeune fille, belle et riche,
Suzanne de Sirmont, avait été enlevée par un sous-officier de hussards du régiment que
commandait son père.

C'était un beau garçon, fils de paysans, mais portant bien le dolman bleu, ce soldat qui avait
séduit la fille de son colonel. Elle l'avait vu, remarqué, aimé en regardant défiler les escadrons,
sans doute. Mais comment lui avait-elle parlé, comment avaient-ils pu se voir, s'entendre?
comment avait-elle osé lui faire comprendre qu'elle l'aimait? Cela, on ne le sut jamais.

On n'avait rien deviné, rien pressenti. Un soir, comme le soldat venait de finir son temps, il
disparut avec elle. On les chercha, on ne les retrouva pas. On n'en eut jamais de nouvelles et on
la considérait comme morte.

Et je la retrouvais ainsi dans ce sinistre vallon.

Alors, je repris à mon tour:

- Oui, je me rappelle bien. Vous êtes mademoiselle Suzanne.

Elle fit "oui", de la tête. Des larmes tombaient de ses yeux. Alors, me montrant d'un regard le
vieillard immobile sur le seuil de sa masure, elle me dit:

- C'est lui.

Et je compris qu'elle l'aimait toujours, qu'elle le voyait encore avec ses yeux séduits.

Je demandai:

- Avez-vous été heureuse, au moins?

Elle répondit, avec une voix qui venait du coeur:

- Oh! oui, très heureuse. Il m'a rendue très heureuse. Je n'ai jamais rien regretté.

Je la contemplais, triste, surpris, émerveillé par la puissance de l'amour! Cette fille riche avait
suivi cet homme, ce paysan. Elle était devenue elle-même une paysanne. Elle s'était faite à sa vie
sans charmes, sans luxe, sans délicatesse d'aucune sorte; elle s'était pliée à ses habitudes simples.
Et elle l'aimait encore. Elle était devenue une femme de rustre, en bonnet, en jupe de toile. Elle
mangeait dans un plat de terre sur une table de bois, assise sur une chaise de paille, une bouillie
de choux et de pommes de terre au lard. Elle couchait sur une paillasse à son côté.

Elle n'avait jamais pensé à rien, qu'à lui! Elle n'avait regretté ni les parures, ni les étoffes, ni
les élégances, ni la mollesse des sièges, ni la tiédeur parfumée des chambres enveloppées de
tentures, ni la douceur des duvets où plongent les corps pour le repos. Elle n'avait eu jamais
besoin que de lui; pourvu qu'il fût là, elle ne désirait rien.
Elle avait abandonné la vie, toute jeune, et le monde, et ceux qui l'avaient élevée, aimée. Elle
était venue, seule avec lui, en ce sauvage ravin. Et il avait été tout pour elle, tout ce qu'on désire,
tout ce qu'on rêve, tout ce qu'on attend sans cesse, tout ce qu'on espère sans fin. Il avait empli de
bonheur son existence, d'un bout à l'autre.

Elle n'aurait pas pu être plus heureuse.

Et toute la nuit, en écoutant le souffle rauque du vieux soldat étendu sur son grabat, à côté de
celle qui l'avait suivi si loin, je pensais à cette étrange et simple aventure, à ce bonheur si
complet, fait de si peu.

Et je partis au soleil levant, après avoir serré la main des deux vieux époux.

Le conteur se tut. Une femme dit:

- C'est égal, elle avait un idéal trop facile, des besoins trop primitifs et des exigences trop
simples. Ce ne pouvait être qu'une sotte.

Une autre prononça d'une voix lente:

- Qu'importe! elle fut heureuse.

Et là-bas, au fond de l'horizon, la Corse s'enfonçait dans la nuit, rentrait lentement dans la
mer, effaçait sa grande ombre apparue comme pour raconter elle-même l'histoire des deux
humbles amants qu'abritait son rivage.

Anda mungkin juga menyukai