Anda di halaman 1dari 22

Psikoanalisis dalam Novel The Kite Runner

BAB I
PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang

Dalam perkembangan ilmu sastra, mulailah dirasakan adanya pengaruh dari ilmu
kemasyarakatan dan psikologi dalam studi sastra. Dengan semakin kuatnya arus
masuk sosiologi dan psikologi ke dalam studi sastra, maka muncullah dua
pendekatan baru, yakni: (1) pendekatan sosiologi yang memanfaatkan teori
sosiologi; (2) pendekatan psikologi yang memanfaatkan teori psikologi.
Munculnya kajian sastra dengan menggunakan pendekatan psikologi ini berawal
dari semakin meluasnya pengaruh teori psikoanalisis-nya Freud yang mulai
muncul tahun 1905. Meluasnya teori psikoanalisis ini disebabkan oleh semakin
luasnya penyebaran teori Freud mengenai tafsir mimpi (1900) dan Tiga teori
tentang seksualitas (1905). Ditambah lagi, kedua teori penting tersebut telah
berhasil mengangkat Freud ke puncak kejayaan sebagai tokoh psikologi modern.
Hal itu diperluas lagi mengenai teori psikologi oleh murid-murid Freud seperti:
C.G. Jung dengan psikoanalitis dan I.A. Richard dengan teori Kepribadian.
Dengan semakin meluasnya teori psikoanalisis tersebut, tidak terelakan lagi
meluasnya pengaruh ke dalam berbagai sisi kehidupan, seperti agama, etika,
edukatif, sosial, dan dunia sastra. Dengan pengaruh psikologi tersebut, para
penelaah sastra mulai melakukan studi sastra dengan menggunakan pendekatanpendekatan psikologi.
Namun, semakin berkembangnya psikologi sebagai suatau disiplin ilmu, maka
studi sastra dengan pendekatan psikologi pun tidak semata bertumpu pada teori
psikoanalisis-nya Freud, tetapi juga psikologi Gestalt, psikologi Behavioral,
psikologi Eksistensial, psikologi Sosial, dan sebagainya.

B.

Rumusan Masalah

Dari uraian yang dikemukakan pada latar belakang, dapat diformulasikan


permasalahan pokok sebagai berikut:
1.

Apa yang dimaksud dengan teori Psikoanalisis?

2.

Bagaimana sejarah perkembangan teori psikoanalisis?

3.

Siapakah tokoh-tokoh dalam teori Psikoanalisis?

4.

Bagaimana kajian Psikologi terhadap Karya Sastra?

5.

C.

Bagaimana kajian Psikologi terhadap Pembaca ?

Tujuan dan Kegunaan Penulisan

Tujuan penulisan makalah ini adalah:


1.

Untuk mendapatkan deskripsi tentang teori Psikoanalisis

2.

Untuk mengetahui sejarah perkembangan teori psikoanalisis

3.

Untuk mengetahui tokoh-tokoh dalam teori psikoanalisis.

Sedangkan kegunaan penulisan makalah ini adalah diharapkan makalah ini dapat
menjadi bahan belajar pada mata kuliah Prosa Fiksi.

BAB II
PEMBAHASAN

A.

Sejarah Perkembangan Teori Psikoanalisis


Dimulai dari suatu metode penyembuhan penderita sakit jiwa, hingga

menjadi sebuah gagasan baru tentang manusia, psikoanalisis dianggap salah satu
gerakan revolusioner dalam bidang psikologi. Peletak dasar teori ini adalah
Sigmund Shlomo Freud, yang dijuluki sebagai bapak penjelajah dan pembuat peta
ketidaksadaran dimana hal itu merupakan sumber energi perilaku manusia. Freud
menyusun sebuah model sifat manusia untuk memahami manusia.
Sigmund Freud dilahirkan di Moravia, Cekoslovakia pada tanggal 6 mei 1856,
pada usia 4 tahun bersama keluarganya Freud pindah ke Wina, Austria sebuah
tempat dimana beliau kemudian menghabiskan hampir sebagian besar hidupnya.
Sejak kecil beliau dikenal pandai, gemar membaca, dan menguasai berbagai
bahasa, di antaranya bahasa Jerman, Perancis, Inggris, Italia, Spanyol, Latin,
Yunani, dan lain sebagainya. Kondisi politik Austria saat itu membatasi ruang
geraknya sebagai seorang Yahudi untuk bisa meneruskan cita-citanya kuliah di
fakultas hukum, sehingga Freud memutuskan untuk mengambil jurusan
kedokteran, dan pada usia 25 tahun dia telah lulus dan bekerja di sebuah rumah
sakit di kota Wina. Di sini Freud bertemu dengan seorang dokter dokter spesialis
syaraf bernama Josef Breuer, yang sedang merawat seorang pasien dengan gejalagejala histeria bernama Bertha Pappenheim.
Pada tahun 1885 Freud mendapatkan kesempatan untuk pergi ke Paris selama 4
bulan dan bertemu dengan Jean Charchot, seorang ahli syaraf dan hipnotis
berkebangsaan Jerman. Dari beliau, Freud belajar tentang penggunaan hipnotis
untuk menyembuhkan gejala-gejala histeria. Sepulangnya dari Paris, di Wina
Freud kembali bekerja sama dengan Breuer dan menghasilkan sebuah buku yang
sangat terkenalStudies of Hysteria (Freud & Breuer, 1895). Buku ini kemudian
menjadi dasar bagi penelitian-penelitian Freud selanjutnya, beliau pertama kali
memperkenalkan istilah psikoanalisa pada tahun 1896. Tulisan-tulisan Freud
berikutnya pada periode tahun 1890-an banyak membahas tentang pentingnya
peningkatan kesadaran individu tentang kehidupan seksualitasnya. Menurut Freud

gejala-gejala histeria dan neurosis disebabkan oleh pengalaman seksual yang


traumatis pada masa kecil.
Kombinasi antara ketertarikan Freud kepada masalah-masalah kejiwaan dengan
pengalaman pribadinya pada masa kecil, dimana dia pernah mengalami
ketertarikan pada ibu tirinya, serta rasa marahnya pada sang ayah, membuatnya
ingin melakukan penelitian tentang mimpi dan fantasi. Hasil penelitiannya
tersebut dituangkan dalam karya terbesar Freud yaitu Interpretation of
Dreams, yang diselesaikannya pad tahun 1899, berisi tentang konsep bahwa
mimpi merefleksikan harapan-harapan yang ditekan, dan bahwa proses mental
dan fisik itu saling berhubungan satu sama lain, sebuah konsep yang saat itu
banyak mendapatkan penolakan dari masyarakat luas.
Seiring dengan penolakan tersebut, respon positif mulai berdatangan dari
beberapa simpatisan, dimulai dengan mengadakan forum the Wednesday
Psychological Society (1902) hingga menjadi the Vienna Psychoanalytic
Society(1908). Pada tahun-tahun itu Fr eud juga menjadi semakin produktif dalam
menulis, beberapa buku berhasil diterbitkannya antara lain : the Psychopathology
of Everyday Life (1901), Three Essays on Sexuality (1905), dan Jokes and Their
Relation to the Unconscious (1905). Sebuah peristiwa penting yang akhirnya
memberikan pengakuan terhadap psikoanalisa dan membawanya ke Amerika
adalah undangan dari Stanley Hall untuk memberikan kuliah umum di Clark
University di Worcester, Massachusetts pada tahun 1909. Setelah itu perhatian
dunia semakin besar terhadap teori Psikoanalisa, ditambah dengan terbitnya buku
penting Freud yang lain sepertiIntroductory Lectures on Psycho-Analysis (1917)
dan the Ego and the Id (1923).
Perkembangan penting dalam psikoanalisa bukan hanya tentang tulisan-tulisan
Freud tapi juga seputar interaksinya dengan para pengikutnya. Beberapa dari
muridnya mengembangkan teori psikoterapinya sendiri seperti Alfred Adler, Carl
Jung, dan Otto Rank, yang kemudian disebut sebagai neo-Freudian, lebih
memfokuskan pada faktor-faktor sosial dan budaya daripada faktor biologis.
Karen Horney (1937) yang tidak setuju dengan pandangan Freud tentang
perempuan, berpendapat bahwa faktor budaya dan hubungan interpersonal lebih

berpengaruh terhadap kepribadian individu daripada trauma masa kecil. Erich


Fromm (1955) memfokuskan penelitiannya pada kelompok-kelompok sosial dan
perubahan kebudayaan. Neo-Freudian yang paling banyak mendapat perhatian
karena memberikan tambahan dimensi pada teori psikoanalisa, adalah Harry Stack
Sullivan (1953) dia memberikan penekanan pada faktor-faktor interpersonal dan
hubungan teman sebaya pada masa kecil.
Sigmund Freud terus aktif berkarya hingga maut menjemputnya pada tahun 1939
karena penyakit kanker mulut dan rahang yang telah dideritanya selama 16 tahun
terakhir, dan melewati 33 kali operasi. Beliau meninggal dunia di London pada
usia 83 tahun dan meninggalkan warisan yang tidak ternilai bagi dunia psikoterapi
modern.

B. Tokoh-tokoh Teori Psikoanalisis


1.

Sigmund Freud, seorang yang sangat berbudaya dan beliau mendapatkan

dasar pendidikan Austria yang menghargai karya Yunani dan Jerman Klasik.
2.

T.S Elliot

3.

Carl.G.Jung.

4.

Ribot, psikolog Perancis

5.

L.Russu

6.

Wordsworth yang menggunakan psikologi sebagai uraian genetik tentang

puisi.
7.

Tatengkeng, Pujangga Baru. Menyatakan bahwa untuk menulis puisi yang

baik penyair harus dalam keadaan jiwa tertentu pula.

C. Sinopsis

The Kite Runner adalah sebuah kisah penuh kekuatan tentang persaudaraan, kasih
sayang, pengkhianatan, dan penderitaan. Khaled Hosseini dengan brilian
menghadirkan sisi-sisi lain dari Afghanistan, negeri indah yang hingga kini masih
menyimpan duka. Tetapi, bahkan kepedihan selalu menyimpan kebahagiaan. Di
tengah belantara puing di kota Kabul, akankah Amir menemukannya?
The Kite Runner mengisahkan tentang dua sahabat karib yang
bernama Amir danHassan. Amir merupakan seorang anak keturunan Ras Pashtun
(ras terhormat di Afghanistan pada saat itu), ayahnya bernama Agha Sahib,
seorang duda yang kaya raya. Sedangkan Hassan hanyalah anak seorang pelayan.
Ayah Hassan bernama Ali dan ia merupakan pelayan di rumah Agha Sahib.
Hassan merupakan anak keturunan Ras Hazara. Amir dan Hassan tinggal di Kabul
Afghanistan, dan pada saat itu merupakan era pertempuran antara Taliban dengan
Rusia. Amir dan Hassan selalu bermain bersama. Di tempat mereka tinggal, ada
seorang anak yang bernama Assef yang memiliki kelainan seksual dan suka
menganiaya anak laki-laki bersama geng brutalnya. Pada suatu hari, Assef ingin
mencelakai Amir. Namun Hassan menyelamatkan Amir dengan gagah berani. Ia
menembakkan ketapel ke mata Assef. Assef meraung kesakitan dan berjanji akan
membalas perbuatan itu. Hassan setia mengikuti kemanapun Amir pergi, bahkan
ia juga selalu berusaha melindungi Amir dari serangan Assef. Pada saat ulang
tahun Hassan, Amir menghadiahi sebuah layang-layang kepada Hassan. Hassan
sangat senang sekali menerima hadiah itu dan ia juga berjanji untuk mengajari
Amir bermain layang-layang. Amir tidak bisa bermain layang-layang dan Hassan
adalah seorang pemain layangan yang hebat. Berkat pengajaran dari Hassan, Amir
dapat memainkan layang-layang dengan sangat baik. Bahkan pada saat ada
pertandingan lokal bermain layang-layang, Amir berhasil memenangkannya. Pada
saat Hassan pergi mengambil layang-layang Amir yang terjatuh di suatu tempat,
Assef mengikutinya dan berhasil mendapatkan Hassan yang tengah sendirian
berada di sebuah gang yang sepi. Pada saat itulah, Assef melakukan tindak
kekerasan seksual kepada Hassan. Sebenarnya pada saat kejadian itu, Amir
melihatnya. Namun ia memutuskan untuk melarikan diri dan tidak menolong
sahabatnya, Hassan, yang telah rela melakukan apapun demi dia. Semenjak
kejadian itu, Amir menjauh dari Hassan dan berbuat apa saja untuk membuat

Hassan bisa pergi jauh dari dirinya. Pada saat itulah Amir memfitnah Hassan telah
mencuri jam tangannya. Akibat peristiwa itu, Ali, ayah Hassan memutuskan untuk
tidak bekerja lagi untuk keluarga Agha Sahib. Beberapa Tahun kemudian, terjadi
invansi besar-besaran oleh Rusia, yang membuat Agha Sahib dan Amir harus
mengungsi ke Amerika. Di Amerika, Amir mmenyelesaikan pendidikannya dan
menjadi seorang penulis novel. Amir kemudian menikah dengan seorang wanita
bernama Soraya, yang merupakan seorang puteri Jenderal yang bernama Taheri.
Kemudian, setelah meninggalnya Agha Sahib, ayah Amir, tiba-tiba Amir
mendapatkan sebuah surat dari Rahim Khan, yang merupakan rekan kerja dan
teman baik ayahnya. Rahim Khan menyuruh Amir untuk pergi ke Pakistan untuk
menemui dirinya. Setelah tiba di Pakistan, Rahim Khan menceritakan segala hal
kepada Amir. Rahim Khan memberitahu Amir bahwa Hassan sebenarnya adalah
saudara tirinya. Saat itulah Amir ingin bertemu kembali dengan Hassan. Namun
Hassan telah meninggal bersama istrinya, Farzana. Mereka dibunuh oleh
Kelompok Taliban. Namun, anak Hasan masih hidup dan sekarang berada di
Afghanistan, di bawah kekuasaan Assef yang sekarang menjadi eksekutor Taliban.
Amir berniat untuk kembali ke Afghanistan untuk menolong anak Hassan yang
bernama Sohrab. Dengan segala cara dan mengeluarkan segenap keberaniaanya
saat menghadapi Assef, Amir berhasil membebaskan Sohrab dan membawanya ke
Amerika. Ia mengangkat Sohrab sebagai anaknya dan berusaha memenuhi setiap
keinginannya, untuk membalas kebaikan temannya, yang tak lain adalah ayah
Sohrab, di masa lalu.
Tak hanya menghibur, novel ini juga memberikan pengetahuan bagi pembacanya
tentang konflik politik yang terjadi di Afghanistan, terutama mengenai perbedaan
kasta antara kaum Sunni dan Syi'ah. Kekejaman kaum Taliban diceritakan dengan
brutal, sadis, bengis, dan keji. Betapa sengsaranya rakyat Afghan dan porak
porandanya infrastruktur kota-kota di Kabul mengingatkan penulis pada carut
marutnya ibu pertiwi yang tak pernah benar-benar merdeka (hanya berganti
penjajah dari bangsa asing ke bangsa sendiri). Satu hal yang benar-benar baru bagi
penulis adalah potret kehidupan komunitas mayarakat Afghan-Amerika. Para
imigran yang memiliki perkampungan tersendiri ini harus memulai hidupnya dari
nol dan melupakan status dan kehidupan mewah mereka di negara asalnya agar

bisa bertahan hidup. Rasanya tak berlebihan jika novel ini menjadi buku terlaris
sepanjang tahun 2005 versi Publisher's Weekly dan menduduki tangga atas bestseller selama lebih dari 50 minggu.

D. Kajian Psikologi terhadap Karya Sastra


Dalam kajian yang menekankan pada karya sastra ini, penelaah mencoba
menangkap dan menyimpulkan aspek-aspek psikologis yang tercermin dalam
karakter tokoh dalam karya sastra dengan tanpa mempertimbangkan aspek
biografi pengarangnya. Penelaah dapat menganalisis psikologi para tokoh melalui
dialog-dialog dan prilakunya dengan menggunakan sumbangan pemikiran dari
aliran psikologi tertentu. Dengan demikian, apa yang dilakukan oleh penelaah
sastra dala kajian ini merupakan upaya mencari kesejajaran aspek-aspek psikologi
dalam karakater tokoh suatu karya dengan pandangan tentang psikologis manusia
menurut aliran psikologis tertentu.
Namun, yang menjadi permasalahan kini, karya sastra yang bagaimana yang dapat
dikaji dengan pendekatan psikologi sastra?, tentu saja jawabannya: karya sastra
yang menekankan pada aspek-aspek psikologis dalam karya sastra itu. Berkaitan
dengan konsep sastra psikologis ini, menurut Jung (Sukada, 1987:144), sastra
psikologis adalah sastra yang berkaitan dengan cerita tentang dunia kesadaran
manusia seperti pelajaran tentang kehidupan, dengan pengalaman nafsu dan
puncak nasib secara umum. Semua itu membentuk kehidupan manusia secara
sadar, khususnya dalam kehidupan perasaannya.
Sastra psikologis secara kejiwaan diangkat oleh pengarang dari pengalaman bisa
lalu dibawa ke tingkat pengalaman puitis dan diungkapkan dengan sedemikian
rupa, sehingga mampu membawa pembaca kepada kejelasan dan kedalaman
pandangan tentang makhluk manusia yang lebih besar. Karya ini mengenai
pengalaman kehidupan manusia dengan segala duka dan sukanya.

Berdasarkan ciri pengolahan aspek psikologisnya, karya-karya psikologis dapat


dikelompokkan ke dalam dua kelompok, yaitu:
1) karya-karya yang oleh pengarangnya belum diberi penafsiran secara psikologis
terhadap para tokohnya, sehingga terdapat ruang gerak bagi penelaah untuk
menganalisisnya.
2) Karya yang jarang menyajikan eksposisi psikologis. Karya ini disusun
berdasrkan anggapan-anggapan psikologis secara implisit. Oleh karena, pengarang
tidak menyadari hal yang demikian, maka bagi penelaah itu justru membuat karya
tersebut tampak utuh.
Kajian psikologi terhadap aspek kejiwaan para tokoh dalam cerita ini dilakukan
dengan menggunakan teori-teori dalam psikologi. Teori psikologi yang telah
banyak digunakan dari dulu sampai kini adalah psikoanalisis-nya Freud. Dalam
kajian ini penelaah sastra ingin mendapatkan kesejajaran dari aspek-aspek
psikologi tokoh dengan teori psikoanalisis.
Berkenaan dengan terdapatnya kesejajaran aspek-aspek psikologi para tokoh
dalam karya melalui pandangan aliran psikologi tertentu, terdapat dua pengarang.
Pertama, kesejajaran itu terjadi karena sang pengarang memang sengaja
memasukkan pandangan teori psikologi tertentu dalam karyanya. Hal itu seperti
telah dilakukan oleh Khaled Hosseini, ia telah memasukan nilai psikologi pada
cerita yang berjudul The Kite Runner pada tokoh Amir, tokoh ini merupakan
tokoh utama dalam cerita tersebut, id nya adalah ia telah memilih suatu keputusan
yang salah pada masa lalunya, Pasa saat Hassan tengah mengejar laying-layang
yang putus untuk Amir, Hassan dan Assef terlibat dalam suatu perkelahian
memperebutkan laying-layang, pada akhirnya Assef melakukan tindak kekerasan
seksual kepada Hassan. Sebenarnya pada saat kejadian itu, Amir melihatnya.
Namun ia memutuskan untuk melarikan diri dan tidak menolong sahabatnya,
Hassan, yang telah rela melakukan apapun demi dia. Semenjak kejadian itu, Amir
menjauh dari Hassan dan berbuat apa saja untuk membuat Hassan bisa pergi jauh
dari dirinya. Waktu pun berlalu dan akhirnya Amir memiliki keberaniaan untuk
menebus segala kesalahannya dulu pada Hassan, ia harus merawat anaknya

Hassan yaitu Sohrab. Terdapat perubahan psikologi dalam diri tokoh Amir, ketika
ia menjadi dewasa, sebagai lelaki yang dewasa ia harus memperbaiki
kesalahannya di masa lalu.
Pada tokoh Agha Sahib memiliki kepribadian introvert, yaitu kepribadian yang
tertutup lebih banyak berorientasi kepada diri sendiri. tidak mudah kontak dengan
orang lain. Hal ini ditujukan pada tingkah laku Agha, dengan sengaja agha sahib
menutupi kebenaran bahwa Hassan merupakan saudara tiri dari Amir, itulah
alasan Agha Sahib sangat baik kepada Hassan, namun Agha Sahib tidak bisa
menunjukan rasa sayangnya kepada anak tirinya tersebut, karena hanya Amir yang
merupakan anak yang sah Agha secara hukum.
Kedua, kesejajaran antara aspek-aspek psikologi tokoh dalam suatu karya dengan
pandangan psikologi tersebut terjadi secara tidak sengaja. Hal ini dapat terjadi
karena pengarang yang memiliki kepekaan rasa lebih dari manusia biasa mampu
menangkap aspek-aspek kejiwaan manusia yang paling dalam. Aspek-aspek
kejiwaan ini lalu diolahnya adan dilahirkannya dalam bentuk sebuah karya. Begitu
juga seorang psikolog mampu menangkap aspek-aspek kejiwaan manusia yang
paling mendasar. Hanya perbedaannya dengan pengarang, dia tidak
menyajikannya dalam wujud karya sastra, tetapi dalam bentuk laporan ilmiah
(buku). Hal itulah tidak mengherankan jika di antara keduanya terdapat
kesejajaran secara kebetulan, karena tempat berangkatnya sama yaitu perilaku
manusia.
E.

Kajian Psikologi terhadap Pembaca

Dalam kajian ini peneliti ingin mendapatkan gambaran tentang berbagaimana


pengaruh suatu karya sastra terhadap proses psikologi pembacanya. Penelaah
sastra ingin menelusuri bagaimana rahasia daya tarik dari karya sastra terhadap
pembaca, baik secara individu maupun kelompok. Penelaaah berusaha
mengemukakan bagaimana caranya pengalaman individu sang pembaca dapat
dibawa ke dalam pengalaman hidup yang ada dalam suatu karya. Bahlan, jika
mungkin menemukan bagaimana caranya pembaca menyatukan diri dengan
pengalaman yang terdapat dalam suatu karya.

Kajian psikologi terhadap pembaca mengarahkan diri dengan menggunakan


pendekatan Ikonik (pancaran pribadi), artinya bahwa respon tokoh cerita
tercermin lewat pribadi pembaca, atau sebaliknya rasa kasihan, simpatik,
terpesona, dan sebagainya pembaca ikut seolah-olah larut dalam alur cerita yang
dibacanya.

BAB III
PENUTUP

Simpulan
Kritik Psikoanalisis adalah kritik sastra yang menerapkan kaidah-kaidah
psikoanalisis dalam membicarakan karya sastra. Psikologi sastra menganalisis
secara terperinci pengalaman emosional yang dapat menjadi sumber gangguan
jiwa tokohnya. Psikoanalisis pertama kali diperkenalkan oleh Sigmund Freud.
Tokoh-tokoh Teori Psikoanalisis antara lain,Sigmund Freud, T.S
Elliot,Carl.G.Jung, Ribot, L.Russu, Wordsworth, Tatengkeng, Pujangga Baru.
Sastra psikologis secara kejiwaan diangkat oleh pengarang dari pengalaman bisa
lalu dibawa ke tingkat pengalaman puitis dan diungkapkan dengan sedemikian
rupa, sehingga mampu membawa pembaca kepada kejelasan dan kedalaman
pandangan tentang makhluk manusia yang lebih besar. Karya ini mengenai
pengalaman kehidupan manusia dengan segala duka dan sukanya.
Kajian psikologi terhadap pembaca mengarahkan diri dengan menggunakan
pendekatan Ikonik (pancaran pribadi), artinya bahwa respon tokoh cerita
tercermin lewat pribadi pembaca, atau sebaliknya rasa kasihan, simpatik,
terpesona, dan sebagainya pembaca ikut seolah-olah larut dalam alur cerita yang
dibacanya.

Chapter I

1.1 Introduction
The Great Gatsby is a 1925 novel written by American author F. Scott
Fitzgerald that follows a cast of characters living in the fictional town of West Egg
on prosperous Long Island in the summer of 1922. The story primarily concerns
the young and mysterious millionaire Jay Gatsby and his quixotic passion for the
beautiful Daisy Buchanan. Considered to be Fitzgerald's magnum opus, The Great
Gatsbyexplores themes of decadence, idealism, resistance to change, social
upheaval, and excess, creating a portrait of the Jazz Age that has been described as
a cautionary tale regarding the American Dream.
1.2 State of Problem
The Great Gatsby provides a critical social history of America during the Roaring
Twenties within its narrative. That era, known for unprecedented economic
prosperity, the evolution of jazz music, flapperculture, and bootlegging and other
economy struggle that was the result of the materialism and capitalism damaging
on social behavior, led to the widespread social distress.
1.3 Theoretical Framework
Using literary criticism to interpret what is the ideal life of America in 19th century
and what is the dream of American people after World War I. as a Marxist
interpretation of the novel makes especially clear, reveals its dark underbelly
instead. Through its unflattering characterization of those at the top of the
economic heap and its horrifying examination of the ways in which American
dream not only fails to fulfill its promise, but also contributes to the decay to
personal values of society.
One of the most effective ways of analyzing the capitalist culture in GREAT
GATSBY is by showing the debilitating effect of capitalist ideology even on those
who are its most successful product, and so it does so thorough its representation
of commodification.

Chapter II
Theoretical Framework
2.1 What is Capitalism?
Capitalism is an economic system characterized by private or corporate
ownership of capital assets and goods. In a capitalist economy, investors are free
to buy, sell, produce, and distribute goods and services with at most limited
government control, at prices determined primarily by a competition for profit in a
free market. In The Great Gatsby, Fitzgerald creates an artificial world where
money is the object of everyone's desire. The characters, the setting, and the plot
are very deeply submerged in a Capitalism that ends up destroying many of them.
Fitzgerald's criticism of Capitalism can be seen as a move to subtly promote
Socialism, an ideology in which value is placed on the inherent value of an object
rather than its market value. In a late collection of notes, Fitzgerald himself
proclaims that he is "essentially Marxist.
2.2 The Role of Commodification in Great Gatsby
Commodification is the way of the capitalist seeing other people especially their
men and labor as the commodity to increase their financial capital. People are
value based on the exchange value or what it can be traded from them as
the luggage of the capitalist. Other people who doesnt involve on their company
are recognized based on the social status from their inheritance or from wealth
that is inherited from their parents or their ascendant. In Great Gatsby can be seen
as a chronicle of the American dream at a point in this nations history when
capitalisms promise of economic opportunity for all seemed at its peak of
fulfillment. It was a time when stocks could be bought on a 10 percent margin,
which means that a dollars worth of stocks could be purchased, on credit, for ten
cents. So even the little man could play the stock market and hope to make his
fortune there.

2.3 American Dream in Great Gatsby


The American Dream is the way of what people of America seek to be achieved
as the way of success by using capitalist and materialist economy for all principle
of human life, even they violated the human rights and fails to value humans
certain skill that cannot be achieved and recognized only wit the spectacle of
capitalism. The effect of course only white race that were descendant of Britain
Immigrant in 19th century were only the classes that was appropriate to dominate
the other classes as well as to control economy and social system. The American
Dream originated in the early days of the American settlement, with the mostly
poor immigrants searching for opportunities. It was first manifested in the
Declaration of Independence, which describes an attitude of hope.
The Declaration of Independence states that all man are created equal and that
they are endowed with certain unalienable rights, among which are life, liberty
and pursuit of happiness. In The Great Gatsby the American Dream plays a big
role. In it you can see what happened to it during the 1920s. The values have
totally changed, instead of striving for equality, they just want to get as rich as
they could get. So it is not surprising that the new kind of "American Dream" fails
several times, which F. Scott Fitzgerald describes in his book. He shows that
people are not yet treated equally and that social discrimination still exists, which
is described in the scene where Tom and Wilson talk to each other in Chapter II.

Chapter III
Analysis
3.1 Capitalism in Great Gatsby
The Great Gatsbys most obvious flaw, from a Marxist perspective, is its
unsympathetic rendering of George and Myrtle Wilson, the novels representatives
of the lower class. George and Myrtle try to improve their lot the only way they

know how. They are victim of capitalism because the only way to succeed in a
capitalist economy is to succeed in a market. Their characterizations are so
negative that it is easy to overlook the socioeconomic realities that control their
lives. George and Myrtle are negative stereotypes of a lower class couple. The
novel is also flawed, from a Marxist perspective, by Nicks romanticization of
Gatsby. Nick may like to think he disapproves of Jay Gatsby- because he knows
he should disapprove of him for the same reason he disapproves of the
Buchanans. The appeal to readers to belong to the magical world of the wealthy is
also a memorial to the power of the commodity. Gatsby may not make the best
use of his mansion, his hydroplane, his swimming pool, and his library, but many
of us feel that we certainly would. Thus another flaw in the novel, form Marxist
perspective, is the way in which the commoditys appeal is powerfully reinforced
for the reader by the lush language used to describe this world of leisure and
luxury.
One of the characters that can reflect the capitalism symbol is Nick Caraway. he
grew up in family of "prominent, well-to-do people" in Chicago, and his family
has a fun little tradition of calling themselves the descendants of the "Dukes of
Buccleuch," even though they actually made their money two generations ago in
the "wholesale hardware business" (Fitzgerald, 15). He went Yale; he likes
literature and considers himself one of those "limited" specialists known as a
"well-rounded man"; he fought in World War I, which he found kind of exciting;
and now he's moved East to work in the bond business (that is, finance) in New
York City. He went Yale; he likes literature and considers himself one of those
"limited" specialists known as a "well-rounded man"; he fought in World War I,
which he found kind of exciting; and now he's moved East to work in the bond
business (that is, finance) in New York City. Hes connected to wealthy (as
opposed to simply well-to-do) and important people like his cousin Daisy and
Tom, a college acquaintance, but he isn't one of them: his house is a "small
eyesore," even though it offers him the "consoling proximity of millionaires.
Nick calls himself "one of the few honest people that I have ever known" (3.170),
but that doesn't mean he's very nice. Nick may be polite and easy to get along with

on the outside, but he's not afraid to tell it like it is. Nick still seems to see himself
as a good Midwestern boy with high standards for everyone he meets, including
himself, and prides himself on maintaining his standards, even in the corrupt, fastmoving world of East coast high society.
"Whenever you feel like criticizing any one," he told me, "just remember that all
the people in this world haven't had the advantages that you've had." He didn't
say any more, but we've always been unusually communicative in a reserved way,
and I understood that he meant a great deal more than that. In consequence, I'm
inclined to reserve all judgments. (1.1-3)
Even Nick has big wealth and much money, he cant control his way of thinking
that he was become dishonest and it was just did because of he want to achieved
something as the high class people with much money was appropriate to achieve
every what they want. Nick gradually gets sucked into the world he's observing,
both through his friendships (if you can call them that) with Tom, Daisy, and
Gatsby, and through his romantic relationship with Jordan. The deeper he's drawn
into these relationships, the less honest he becomes until at the end, Jordan
rebukes him for being just as dishonest and careless as the rest of them:
"You said a bad driver was only safe until she met another bad driver? Well, I met
another bad driver, didn't I? I mean it was careless of me to make such a wrong
guess. I thought you were rather an honest, straightforward person. I thought it
was your secret pride." (9.134).
Nick realizes he's being drawn into a dishonest capitalist lifestyle, and that's what
makes him scurry back West. Right after Jordan calls him a "bad driver," he tells
her, "I'm thirty I'm five years too old to lie to myself and call it honor"
(Fitzgerald, 135). But what is Nick lying about? That he loves her? That he
belongs in this world? That Tom and Daisy are living acceptable lives? It's not
entirely clear. What isclear is that this crazy summer has jolted Nick back into real
life. He's not cut out for a world of moral ambiguity.
Another character that reflects the perspective of Capitalist is Tom Buchanan.
Tom's family is really rich. Not well-to-do like Nick's family, and not nouveau

riche like Gatsby, but staggeringly wealthy, with money going way back. (Or as
far back as any money in America goes, anyway.) And he does extravagant, crazy
things with it, like bringing "a string of polo ponies for Lake Forest". As his
physical appearance shows him as the bourgeoisie who own a lot of money, Tom
has well body that all of his necessity wouldnt be lack.
Tom was sturdy, straw-haired man of thirty with a rather hard mouth and a
supercilious manner. Two shining, arrogant eyes had established dominance over
his face, and gave him the appearance of always leaning aggressively forward
you could see a great pack of muscle shifting when his shoulder moved under his
thin coat. It was a body capable of enormous leveragea cruel body. (1)
3.2 Commodification in Great Gatsby
Nowhere The Great Gatsby is commodification so clearly embodied as in the
character of Tom Buchanan. The wealthiest man in the novel, Tom relates to the
world only through his money: for him, all things and all people are commodities.
His marriage to Daisy was certainly an exchange of Daisys youth, beauty and
social standing for Toms money and power and the image of strength and
stability they imparted to him. The symbol of this purchase was the $350,000
string of pearls Tom gave his bride-to-be. Similarly, Tom uses his money and
social rank to purchase Myrtle Wilson and the numerous other working-class
women with whom he has affairs. Toms regular choice of lower-class women can
also be understood in terms of his commodified view of human interaction. Toms
works of commodification are not limited to his relationships with women.
Because capitalist promotes the belief that you are what you own- that our value
as human beings is only as great as the value of our possessions- much of Toms
pleasure in his expensive possessions is a product of their sign-exchange value, of
the social status their ownership confers on him.
A result of Toms commodification of people is his ability to manipulate them
very cold-bloodedly to get what he wants, for commodification is the treatment of
objects and people as commodities. In order to get Myrtle Wilsons sexual favors,
he lets her think that he may marry her somebody that his hesitation is due to

Daisys alleged Catholicism rather that to his own lack of desire. While a
character such as Tom Buchanan is likely to make us sympathize with anyone
who is dependent upon him, Daisy is not merely an innocent victim of her
husbands comodification. In the first place, Daisys acceptance of the pearls is an
act of commodification. Daisys extramarital affair with Gatsby, like her earlier
romance with him, is based on a commodified view of life. The Buchanans
commodification of their world and the enormous wealth that makes it possible
for them to smash up things and creatures and then retreat back into their money
are rendered especially objectionable by the socioeconomic contrast provided by
the valley of ashes near which George and Myrtle Wilson live. The valley of
ashes is a powerfully chilling image of the life led by those who do not have the
socioeconomic resources of the Buchanans.
Also Gatsby is the character that thinks other people as his commodity that
he recognizes them based from their exchange value or what Gatsby can get from
them. Gatsby is certainly more charming than Tom and Daisy, and more
sympathetically portrayed by Nick, he commodifies his world just as they do.
Gatsbys commodification of his world is linked to the cold-blooded aggression
with which he purses what he wants. The lap of luxury in which Gatsby lives does
not exist in a vacuum. It is supported by a very dark and threatening world of
corruption, crime, and death. The underworld activities from which his wealth
derives include stealing and the selling of false bonds. Gatsby is not excused from
the novels unattractive portrait of the wealthy. Indeed, his characterization
suggests that the American dream does not offer a moral alternative to the
commodified world of the Buchanans but produces the same commodification of
people and things as does Tom and Daisys innate wealth.

3.3 American Dream Perception in Great Gatsby


The Great Gatsbys representation of American culture reveals the debilitating
effects of capitalism on socioeconomic winners such as Tom, Daisy, and
Gatsby, as well as on losers such as George and Myrtle. Operating against The

Great Gatsbys powerful critique of capitalism is the novels reinforcement of


capitalisms repressive ideology. This counter-movement operates in three ways.
First, the unattractive portraits of George and Myrtle Wilson deflect our attention
from their victimization by the capitalist system in which they both struggle to
survive. Second, because Nick is seduced by the American dream Gatsby
represents. Third, the lush language used to describe the world of the wealthy
makes it attractive despite the people like the Buchanans who populate it.
Most of the people appearing in The Great Gatsby are full of hope, especially
Gatsby who is hoping to win Daisy back. He has an extraordinary gift of
hope(Fitzgerald, 6-10) and he sacrifices himself to fulfill his dream. He struggles
to get into the upper class. In the end his dream fails completely, and his life finds
an abrupt end. Nick Carraway is a pragmatic man, who comes from the MiddleWest, and does not share the American dream. But still he is striving for
something; he wants to be himself, as he sees himself, tolerant, objective and
reliable. The money of the upper class is just a tiny bit of his dream together with
his admiration for the rich East Eggers. Mainly, his dream consists of mental
values, of a pursuit of honesty. He says of himself, Im one of the few honest
people that I have ever known (Fitzgerald, 49).
Daisy lives her American Dream with Tom as her husband, who has a lot of
money. She does not have any long term aims in her life. Having that kind luxury
around her, she lives for the moment, and does not think about the next one. Tom
was born into his American Dream. He never had to work in his life, and got all
his money from his parents. Since everything is perfect for his narrow-minded
eyes, he does not want any changes. Losing Daisy would be a major change in his
dream because he sees her as one of his possessions.
Wilsons dream is to earn enough money to move away with his wife and to start a
new life some place beautiful. But his dream can just become true with the help of
Tom. Although, Wilson does not realize that Tom does not want to help him at all.
His dream fails, when his wife is killed, which is the point where life becomes
senseless to him. His wife, Myrtle, has also a dream; she wants to become a girl of
the upper class. Having an affair with Tom, she acts as if she already belonged

among those rich people. Tom is her key to the upper class and she would do
everything for him. She hates Daisy, because Daisy is standing in her way, for her
marriage with Tom.
Chapter IV
Conclusion
Although all people have their own dream, people shouldnt forget about the
social condition of their family, as well as to their environment. The dream that is
only driven by the capitalism and materialism without initiated with the sense of
belonging of caring to the others will lead into destruction and failure as what
Gatsby do was useless at last.
Even a person has great power or wealth to control other so that they will obey
what he/she wants, it is not appropriate for everyone to impose other people to
follow own volition as what Tom Buchanan do because every human has its own
rights to decide their way of life and their freedom to choose their couple of life.
Commodification is just become the trigger of greedy and lust as the American
Dream was to achieve the equal status and rights for all of the society members in
the beginning, but declined into the commodification in the last, as well as what
were happened to the characters of Great Gatsby that is prior in the materialist
way of thinking than pure heart of conscience to share other people opinion and
consideration to create a peaceful condition, not the wasteful & anarchy condition
that led to the destruction of family member in Great Gatsby.

References.
-

(n.a).(n.d). The Great Gatsby :The American Dream. Retrieved June 17,

2013, from http://www.ovtg.de/3_arbeit/englisch/gatsby/dream.html.

Neupane, S. (2010, Decvember 12). A Marxist Reading of Great

Gatsby. Retrieved June 11, 2013,


from http://banote.blogspot.com/2010/12/marxist-reading-of-great-gatsby.html
-

Shmoop Editorial Team. (November 11, 2008).The Great Gatsby.

Retrieved June 29, 2013, from http://www.shmoop.com/great-gatsby


-

Tyson, l. (2006). Critical Theory Today: 2nd Edition. New York:

Routledge.

Anda mungkin juga menyukai