Anda di halaman 1dari 20

A.

PENDAHULUAN
Karya sastra merupakan produk dari suatu kejiwaan dan pemikiran
pengarang yang berada pada situasi setengah sadar (subconcious). Setelah jelas,
baru dituangkan kedalam bentuk secara sadar (concious) (Endraswara, 2003: 96).
Keadaan secara sadar atau tak sadar selalu mewarnai dalam proses imajinasi
pengarang. Dalam mengindahkan persoalan manusia, sastra menampilkan ilmu
jiwa dan kejiwaan manusia yang terungkap dalam bentuk kepribadian tokoh.
Bahwa karya sastra hadir dengan menyajikan persoalan kehidupan, dan kehidupan
itu sebagian besar terdiri atas kenyataan sosial. Pada gilirannya sastra
menampilkan ilmu jiwa dan kejiwaan manusia yang terungkap muncul dalam
bentuk prilaku, watak, dan kepribadian tokoh-tokoh yang ditampilkan. Oleh
karena itu, di dalam karya sastra akan terdapat psikologi atau gejala-gejala
kejiwaan.
Menurut Ratna (2004: 343) ada tiga cara yang dapat dilakukan untuk
memahami hubungan antara psikologi dan karya sastra, yaitu ; (1) memahami
unsur-unsur kejiwaan pengarang sebagai penulis, (2) memahami unsur-unsur
kejiwaan tokoh-tokoh fiksional dalam karya sastra, dan (3) memahami unsur-
unsur kejiwaan pembaca. Sedangkan,Wellek dan Warren (1990: 90)
mengemukakan bahwa ada empat kajian sastra yang berhubungan dengan
psikologi, yaitu (1) kajian mengenai psikologi pengarang sebagai tipe atau sebagai
pribadi, (2) kajian tentang proses kreatif penciptaan sastra yang dilakukan
pengarang, (3) kajian tentang ajaran dan hukum-hukum yang diterapkan pada
karya sastra (4) kajian tentang pengaruh atau dampak sastra pada pembaca.
Sehingga sebagai ilmu yang mempelajari tentang tingkah laku manusia, kaidah
psikologi dapat diterapkan dalam karya sastra
Menurut Hardjana (1994: 66)untuk membahas sastra dari sudut pandang
psikologi, seorang peneliti dapat mengamati tokoh-tokoh tersebut sesuai dengan
apa yang diketahuinya tentang jiwa manusia. Untuk mengkaji unsur-unsur
kejiwaan yang ada pada tokoh fiksi maka digunakan teori psikologi sosial Erich
Fromm. Menurut Fromm (dalam Hall & Lindzey, 1993: 257), pemahaman tentang
psike manusia harus berdasarkan analisis tentang kebutuhan-kebutuhan manusia
yang berasal dari kondisi eksitensinya. Untuk bertahan dari kondisi eksistensi

1
manusia akan menghadapi masalah yang diataranya keterasingan atau alienasi dari
kodrat kemanusiaanya.
Teori Fromm digunakan karena Fromm adalah salah seorang psikolog yang
mengaplikasikan ilmu psikologinya untuk menganalisis masyarakat. Tulisannya
tentang psikoanalisa banyak mengenai gejala-gejala sosial yang terjadi dalam
masyarakat sehingga mempengaruhi manusia atau individu itu sendiri. Selain itu
tema-tema tulisannya adalah orang yang merasa kesepian dan terisolasi karena ia
dipisahkan dari alam dan orang lain. Dengan memahami karakter sosial akan
dijelaskan tentang mengapa sebuah masyarakat dapat berhasil mencapai kesetiaan
warganya meskipun dalam organisasinya terdapat ketimpangan-ketimpangan.
Dengan inilah Fromm kemudian menunjukkan bagaimana karakter manusia
modern non-produktif yang telah menjadikan mereka teralienasi.
Melalui teori keterasingan Fromm, maka makalah ini akan mengkaji alienasi
diri yang dialami oleh tokoh utama cerpen “Taman Trembesi” dan “Mereka Benci
Aku Banci”. Tokoh utama menjadi subjek dalam makalah ini karena dalam karya
sastra selalu terdapat tokoh utama. Tokoh tersebut yang menjadi pusat cerita.
Tanpa ada tokoh utama, karya sastra tidak dapat dibentuk. Ada berbagai
pengertian tentang tokoh utama. Menurut Aminuddin (1990:80) tokoh utama
adalah tokoh yang paling banyak diberi komentar, dan dibicarakan oleh
pengarangnya. Adapun Nurgiantoro (2002:177) menyatakan bahwa tokoh utama
adalah tokoh yang paling banyak diceritakan sebagai pelaku kejadian maupun
dikenai kejadian.
Alasan dipilihnya cerpen “Taman Trembesi” dan “Mereka Benci Aku
Banci” sebagai bahan kajian adalah kedua cerpen tersebut menggambarkan
beratnya kehidupan seseorang yang mengalami penyimpangan seksual, kehidupan
yang menyebabkan para pelaku penyimpangan seksual harus bertarung dengan
keinginan hati nurani dan kenyataan yang ada. Bahwa pelaku penyimpangan
seksual tidak hanya harus berhadapan dengan masyarakat yang belum bisa
menerima bahwa mereka berbeda, namun mereka juga harus bertarung dengan
diri mereka sendiri, dengan menerima kenyataan bahwa mereka berbeda. Pada
“Taman Trembesi” tokoh utamanya adalah seorang homoseksual, sedangkan pada
cerpen “ Mereka Benci Aku Banci” tokoh utamanya andalah pelaku transeksual
Cerpen “Taman Trembesi” merupakan karya dari Is Mujiarso. Is Mujiarso

2
adalah jurnalis dan editor lepas kontak dan bekerja sebagai reporter dan editor di
portal berita detik.com selama empat tahun. Sejak 2003 menekuni dan
menggiatkan kajian budaya homokseksual, dan mengelola portal indoqueer.com.
Ikut mendirikan dan aktif di Qmunity, yang sejak 2002 menyelenggarakan Q!
Film Festival, ajang pemutaran film-film gay dan lesbian di Jakarta. Is Mujiarso
kondang dengan situs kajian budaya homoseksualnya www.Indoqueer.com.
Melalui pengalamanya yang cukup lama dalam menggeluti kajian budaya
homoseksual membuat karya-karya Is Mujiarso tidak hanya merupakan rekaan
belaka namun menggambarkan realitas sosial yang benar terjadi pada masyarakat
homoseksual tersebut.
D. Jayadikarta, merupakan nama pena dari Dudi Iswahyudi. Novel
pertamanya “Totem” yang terbit tahun 2006. Cerpen “Niskala, catatan Hidup
Seorang Ronggeng”, berhasil meraih juara ke-3 Sayembara Mengarang Cerpen
2005 yang diadakan oleh AKY Yogyakarta dan dibukukan dalam antologi cerpen
AKY press (2006). Kehidupannya sebagai seorang gay telah memberinya inspirasi
pada cerpen “Mereka Benci Aku Banci”.
Alienasi dapat terjadi karena pengaruh faktor eksternal maupun internal.
Menurut Fromm ada empat jenis alienasi, seperti; (1)alienasi diri, (2) alienasi
dalam proses produksi, (3) alienasi dalam proses konsumsi, dan (4) alienasi antar
sesama (1955:114). Agar pengkajian lebih terfokus hanya pada faktor internal
para pelaku penyimpangan seksual yaitu hanya pada kejiwaan atau sisi psikologis
tokoh utama, maka makalah ini diberi judul Alienasi diri tokoh utama pada cerpen
“Taman Trembesi” dan “Mereka Benci Aku Banci” .
Berdasarkan uraian diatas, makalah ini bertujuan untuk membahas
permasalahan berikut ini:
1. Bagaimana alienasi diri terjadi pada tokoh utama dalam cerpen
“Taman Trembesi” dan “Mereka Benci Aku Banci”?
2. Apa penyebab alienasi diri pada tokoh utama cerpen “Taman
Trembesi” dan “Mareka Benci Aku Banci”?

B. KERANGKA TEORI
1. Psikologi Sosial Erich Fromm

3
Melacak dan memahami latar belakang kehidupan Erich Fromm, maka
pertama yang perlu menjadi catatan adalah bahwa Fromm lahir di penghujung
abad ke-20 (1900) di Frankfrut dan meninggal menjelang berakhirnya abad 20
(1980). Erich Fromm adalah salah seorang psikolog yang mengaplikasikan ilmu
psikologinya untuk menganalisis masyarakat. Sehingga Fromm tidak hanya
disebut sebagai seorang psikolog namun dia juga mendapat julukan filsuf sosial.
"Neo-Freudian" Fromm diberi julukan ini bersama dengan Alfred Adler, Karen
Horney, & Harry Stack Sullivan. Keempat orang ini lebih peduli pada hubungan
sosial daripada para psikoanalis yang orthodox. Fromm dianggap sebagai ‘A
bridge theorist’ antara psikoanalisa dan psikologi humanistic.
Teori psikoanalisa dikembangkan oleh beberapa tokoh sejalan dengan
orientasi baru yang dikembangkan oleh ilmu-ilmu pengetahuan social. Diantara
orang-orang yang melengkapi teori psikoanalisa dengan pandangan psikologi
social abad XX, yaitu Erich Fromm (Hall & Lindzey, 1993: 238). Tulisan-tulisan
Erich Fromm dipengaruhi oleh pengetahuannya yang luas tentang sejarah,
sosiologi, kesusastraan dan filsafat (Hall& Lindzey, 1993: 256). Tulisannya
tentang psikoanalisa banyak mengenai tentang gelaja-gejala sosial yang terjadi
dalam masyarakat sehingga mempengaruhi manusia atau individu itu sendiri.
Selain itu tema-tema tulisannya adalah orang yang merasa kesepian dan terisolasi
karena ia dipisahkan dari alam dan orang lain, keadaan isolasi ini tidak
diketemukan dalam semua spesies binatang; itu hanya situasi khas manusia.
Maka, situasi seperti ini menyebabkan seorang manusia sebagai mahkluk social
yang hidup dalam suatu masyarakat akan muncul gejala-gejala kejiwaan yang
muncul pada dirinya.

Fromm termasuk generasi psikoanalis terakhir yang hidup pada masa


Freud. Ia sangat terkesan dengan cakrawala pemahaman baru tentang manusia
yang dikemukakan oleh Freud. Pengaruh tersebut meliputi konsep ketidaksadaran.
Freud dan Fromm yakin sesungguhnya dalam kenyataan kehidupan sehari-hari
sering ditemukan banyak gagasan atau ide yang tidak cocok dengan kenyataan
konkret, dan sebaliknya banyak hal-hal yang riil tidak dapat disadari. Konsep ini
mempertegas pandangan Fromm tentang Humanisme. Menurut Freud, fenomena

4
tidak sadar merupakan penentu bagi tingkah laku individual. Sedangkan Fromm
melihat bahwa dalam perilaku masyarakat pun fenomena tak sadar memainkan
peranan sangat menentukan.
Pengaruh berikutnya adalah tentang energi karakter. Selain oleh
ketidaksadaran, perilaku manusia juga digerakkan oleh energi karakter, yaitu
dorongan seksual. Oleh Fromm, konsep itu diberi bobot sosial dan dilakukan
pembaharuan. Menurutnya, dorongan psikis tidak hanya terjadi dalam perilaku
individual semata, melainkan terjadi pada dataran sosial. Dengan memahami
karakter sosial akan bisa dijelaskan tentang mengapa sebuah masyarakat dapat
berhasil mencapai kesetiaan warganya meskipun dalam organisasinya terdapat
ketimpangan-ketimpangan. Dengan inilah Fromm kemudian menunjukkan
bagaimana karakter manusia modern non-produktif yang telah menjadikan mereka
teralienasi.

2. Alienasi
Fromm (1955:111) menyatakan bahwa alienasi adalah suatu kondisi
dimana seseorang merasa dirinya sebagai orang asing. Dia menjadi asing terhadap
dirinya sendiri. Dia tidak merasa bahwa dirinya adalah pusat dari dunianya,
sebagai pencipta atas tindakan-tindakannya, namun tindakannya dan akibat dari
tindakannya itu menjadi tuannya, yang ia patuhi, atau mungkin dia sembah.
Fromm menegaskan bahwa setiap tindakan pemberhalaan adalah tindakan
alienasi. Alienasi dalam pandangan Fromm tidak hanya menyangkut hubungan
dengan objek-objek atau person lain saja namun,
When someone controlled by his irrational passion, he worship his own partial
striving as an idol and is ‘obsessed’ by it (1995:114),

maka dia termasuk orang yang mengalami alienasi. Menurut pengertian diatas,
orang yang sebagian besar digerakkan oleh nafsu kuasanya, nafsu mengejar uang,
tidak lagi menghayati dirinya dalam kekayaan dan keterbatasan seorang manusia,
tetapi ia menjadi seorang budak dari salah satu ambisinya yang diproyeksikan
pada tujuan-tujuan di luar dirinya termasuk mengalami alienasi.Termasuk dalam
pengertian alienasi di atas, juga mereka yang kesadarannya tidak sempurna (sakit
ingatan), karena tindakan atau perilakunya bukan miliknya. Tindakan yang ia

5
lakukan diarahkan oleh ilusi. Dengan kata lain, perilakunya diarahkan oleh
kekuatan yang terpisah dari dirinya. Pribadi yang tidak sehat ini sepenuhnya
menjadi pribadi yang teraleniasi. Ia sungguh kehilangan dirinya sebagai pusat
pengalaman-pengalaman miliknya atau dengan kata lain ia kehilangan jati dirinya.
Istilah alienasi juga digunakan oleh Marx yang mengacu pada keadaan
seseorang yang mana tindakannya menjadi kekuatan asing bagi dirinya sendiri,
bahkan melawannya sehingga tidak bisa dikendalikan oleh dirinya sendiri
(Fromm, 1955:12). Marx menyatakan bahwa setiap keterasingan dari diri dan
alam muncul pada hubungan dimana ia meletakkan dirinya dan alam berbeda dari
dirinya (Marx dalam Burrows & Frederick, 1969: 47). Feuer menyatakan bahwa:
Alienation lies in every direction of human experience, where basic emotional
desire is frustrated, and every direction in which the person may be compelled by
social situations to do violence to his own nature (cited in Burrows &
Frederick, 1969: 95).

Menurut kutipan diatas dapat dikatakan bahwa alienasi terjadi karena emosi dasar
mengalami tekanan dari faktor-faktor social disekitarnya. Sedangkan Freud tidak
menggunakan istilah “Alienation” tapi menggunakan istilah
“Entfremdungsgefuehl”. Menurut Freud:
The subject that . . . a piece of his own self is strange to him . . . The
phenomenon is seen as serving the purpose of defense . . . at keeping something
away from ego(dalam Davis, 1970: 295).

Berdasarkan kutipan diatas Freud menyatakan bahwa


Entfremdungsgefuehl atau perasaan teralienasi merupakan aspek dari
depersonalisasi, yaitu ketika seseorang merasa ada bagian dari dirinya yang
merasa asing terhadap dirinya sendiri.
Jadi pada dasarnya, dari beberapa pengertian tentang alienasi dapat
dikatakan bahwa alienasi adalah suatu keadaan dimana seseorang itu merasa asing
dengan dirinya karena adanya tindakan dari luar dirinya yang mengendalikan
keinginan sehingga dia melakukan sesuatu bukan atas kehendaknya. Alienasi itu
sendiri merupakan sebuah reaksi negatif dari kondisi sekitar. Alienasi juga
merupakan sebuah penolakan atau bahkan bisa dikatakan sebagai
ketidakmampuan untuk menerima sikap, tindakan, atau kebiasaan yang
konvensional, norma, aturan atau cara hidup masyarakat.

6
3. Bentuk-Bentuk Alienasi
Meskipun akar alienasi dapat ditemukan dalam setiap masyarakat dan
kebudayaan, namun alienasi yang terdapat dalam masyarakat modern sifatnya
hampir total sebagaimana digambarkan oleh Fromm (1955:114):
Alienation as we find in modern society; it prevades the relationship of man to
his work, to the things he consumes, to his fellow man, and to himself. Man has
created a world of man-made things as it never existed before. He has
constructed a complicated social machine to administer the technical machine he
built. Yet this whole creation of his stand over and above him. He has not feel
himself as creator and center, but as the servant of a Golem, which his hands
have built.

Dengan memahami penjelasan Fromm tentang masyarakat modern,


sekurang-kurangnya ada empat bentuk alienasi yaitu: (1) Alienasi dalam proses
produksi, yaitu bentuk alienasi yang dialami oleh para pekerja, para manager, dan
para pemilik perusahaan dalam menjalankan usahanya. Dalam proses kerja
modern, rasa ingin tahu, kreativitas, dan pemikiran mandiri dari seorang pekerja
tidak diberi tempat. Dalam perananya yang demikian, pekerja hanya mengisi
fungsi kecil yang terisolasi dalam suatu proses produksi yang tersusun secara
rumit (2) Alienasi dalam proses konsumsi, yaitu tindakan konsumsi yang
seharusnya merupakan tindakan manusia konkret, dalam masyarakat modern tidak
pernah terwujud, yang terjadi sebaliknya. Manusia mengkonsumsi tanpa adanya
keterikatan konkret apapun dengan objek yang dikonsumsi, karena bukan pribadi
yang konkret yang mengkonsumsi benda konkret. Makan dan minum serta
mempunyai barang-barang bukan ditentukan oleh selera dan cita rasa, akan tetapi
karena barang yang akan dikonsumsi itu menimbulkan fantasi akan kekayaan dan
eksklusivitas, (3) Alienasi antar sesama, yaitu keterasingan manusia dari
sesamanya disamping disebabkan karena watak hubungan antar dua abstraksi,
juga bersumber pula dari ciri individualisme yang dibawa manusia modern sejak
jaman renaisance. Manusia modern terdiri dari partikel-partikel yang saling
menjauh tetapi tetap menjaga kesatuannya lantaran kepentingan pribadi dan
keharusan untuk saling berguna bagi yang lain. Setiap pribadi berhubungan
dengan sesamanya ditandai oleh prinsip egoisme, (4) Alienasi diri, yaitu bentuk

7
alienasi dimana manusia merasa dirinya lebih dikendalikan oleh keinginan-
keinginan dibawah alam sadar mereka.
Melalui penjelasan keempat bentuk alienasi diatas, dapat diketahui bahwa
bentuk-bentuk alienasi: Alienasi dalam proses produksi, Alienasi dalam proses
konsumsi, dan Alienasi antar sesama adalah bentuk alienasi yang terjadi
disebabkan karena faktor-faktor yang berada diluar diri manusia. Sedangkan
Alienasi diri adalah satu-satunya faktor penyebab alienasi manusia yang terjadi
karena faktor dari dalam diri manusia itu sendiri.
Sebagaimana yang telah dijelaskan pada pendahuluan bahwa malakah ini
hanya memfokuskan pada kondisi psikologi kejiwaan tokoh utamanya maka pada
makalah ini hanya akan membahas teori alienasi diri.

4. Alienasi Diri
Alienasi tidak hanya terjadi pada hubungan antar sesama, namun dapat
terjadi antara manusia itu dengan dirinya sendiri yaitu ketika seseorang tunduk
pada keinginan-keinginan irasionalnya. Seseorang yang termotivasi oleh kekuatan
nafsunya tidak lagi merasa bahwa dirinya adalah manusia yang kaya namun juga
penuh keterbatasan, namun kemudian ia menjadi budak dari sebagian usahanya
yang ditujukan pada tujuan eksternal yang ingin dimilikinya (Fromm, 1955: 114).
Sehingga tindakan yang dilakukannya bukanlah milik dirinya sendiri. Sementara
ia dibawah bayang-bayang apa yang dia inginkan yang bekerja di belakang
pungungnya; dia menjadi asing bagi dirinya sendiri. Dia merasa bahwa dirinya
dan orang lain tidak seperti mereka yang sebenarnya, tetapi disimpangkan oleh
kekuatan bawah sadar yang mengendalikannya.
Menurut Fromm (dalam Widodo, 2005: 37-38), manusia yang teralienasi
mengalami kesenjangan kodrat, hakikat, esensi kemanusiaan dan eksistensinya
yang konkret faktual. Kodrat yang digambarkan oleh Fromm dalam manusia yang
teralienasi memiliki dua bagian yang penting, bagian tetap dan bagian fleksibel.
Bagian tetap ialah bagian yang berfungsi untuk memuaskan dorongan sosiologis
dan dorongan untuk menghindari isolasi dan keterpencilan moril. Sedangkan
bagian fleksibel dan adaptabel dalam kodrat manusia itu dapat berupa cinta,
keberingasan (sadisme), mudah menyerah, hasrat yang berkobar-kobar akan

8
kesenagan, kikir, dorongan untuk merenguk kepuasan dalam seksual. Bagian
fleksibel ini merupakan hasil perkembangan kedirian seseorang, khususnya pada
masa kanak-kanak dan bukan bawaan sejak lahir, tetapi sekali sifat tersebut
menjadi bagian kepribadian, maka menjadi sifat tetap.
Fromm (dalam Widodo, 2005: 39) menambahkan bahwa manusia modern
adalah manusia yang lumpuh tanpa daya, kebebasannya hilang. Kebebasan tidak
hanya berarti kebebasan dari kekuasaan eksternal, melainkan kebebasan positif
untuk menguatarakan pikiran, perasaan, dan kehendak aslinya. Ketika manusia
berfikir, pikiran, perasaan dan kehendak dapat saja ditanamkan dari luar kemudian
secara subjektif dihayati sebagai perasaan, pikiran serta kehendak sendiri. Fromm
mengatakan bahwa pikiran, perasaan, dan kehendak kita adalah palsu atau pseudo,
bukan asli. Karena kebebasan asli digantikan dengan pseudo perasaan, orang lalu
berbuat munafik dan bertopeng karena terdorong oleh desakan dari luar sehingga
kedirian asli digantikan oleh kedirian yang semu (Widodo, 2005: 40).
Melalui apa yang dijelaskan oleh Fromm dapat dikatakan bahwa apabila
kedirian yang asli atau ‘diri orisisnil’ digantikan oleh ‘diri pseudo’ maka akan
menimbulkan ketidakpastian yang intensif. Individu akan terobsesi oleh keraguan
karena kehilangan identitasnya yang dapat menimbulkan alienasi diri.
Dalam ‘Man n Crisis’ Weiss (Davis, 1969: 296) mengatakan bahwa
individu yang mengalami alienasi bukanlah mereka yang terlahir dalam keadaan
teralienasi atau dia memilih hidup teralienasi, kurangnya perhatian, cinta, dan
kepedulian pada individualitynya pada masa kanak-kanak menyebabkan dia
mengalami kecemasan. Awalnya dia akan menjauh dari dirinya yang dirasanya
tidak pantas untuk dicintai. Dia melihat dirinya sebagai orang ketiga sehingga dia
menjadi tidak peduli terhadap apapun atau menginginkan sesuatu. Bagi mereka
yang mengalami alienasi; bahagia, sedih, hidup, mati adalah sama. Hal ini juga
dialami oleh Camus’ Strager:
The death of his mother, the love of a girl, , the fight, the murder. “it’s all the
same to me,” he says again and again. No feeling is experienced, no joy, no
longing, no love, no anger, no despair, no continuity of time and life, no self.

Sehingga seseorang yang mengalami alienasi diri yaitu mereka yang tidak
mampu mengutarakan kehendaknya atau pikirannya, dibiarkannya pikiran atau
kehendak orang lain menguasai jiwa dan pikirannya sehingga secara sadar atau

9
tidak mereka akan kehilangan identitas diri. Pemberhalaan juga merupakan
penyebab terjadinya alienasi diri, contoh: ketika seseorang mengidolakan orang
yang dicintainya maka ia akan meproyeksikan seluruh cinta, kekuatan, pikiran
kepada orang yang dicintai, dan beranggapan bahwa orang yang dicintainya lebih
superior daripadanya. Ini dapat diartikan bahwa dia tidak menyadari bahwa yang
dicintainya hanyalah manusia biasa yang sama seperti dirinya. Seseorang yang
termotivasi oleh kekuatan nafsunya dan seseorang yang tunduk pada keinginan-
keinginan irasionalnya juga merupakan orang-orang yang mengalami alienasi diri.
Sehingga orang yang teralienasi tidak memiliki hubungan dengan kehidupan
kemudian mereka menarik diri dari kehidupan sosial.

C. ANALISIS ALIENASI DIRI TOKOH UTAMA CERPEN


“TAMAN TREMBESI” DAN “MEREKA BENCI AKU BANCI”

1. Alienasi Diri tokoh utama dalam cerpen “Taman Trembesi”


Dalam cerpen ini dapat dilihat bahwa tokoh utama yang bernama Danang
mengalami suatu keadaan yang berbeda dari sebelumnya, keadaan yang
digambarkan melalui pernyataannya yang ada dalam kutipan berikut:
Kuingatkan kau pada sore ketika kau bertanya tentang asal-usulku. Bukan
karena obrolan itu penting, tapi pada sore itulah terjadi sesuatu diantara kita
yang kini menjadi pertimbangan akan keberadaan kita masing-masing. Sore itu,
aku mengajakmu mandi di rumahku (hlm.18).

Melaui kutipan diatas dapat dijelaskan bahwa ketika seseorang mulai


mempertanyakan tentang keberadaannya atau keeksistensianya maka orang
tersebut secara sadar atau tidak telah mengalami aleniasi diri. Seseorang merasa
asing dengan keberadaanya, merasa tidak mengenal dirinya, dan merasa
menemukan sesuatu yang baru dalam dirinya. Pertanyaan semacam itu muncul
disebabkan karena adanya keraguan atas hasil tindakan baik dirinya sendiri
maupun orang disekitar mereka yang menyebabkan mereka merasa berbeda.
Pernyataan itu telah dilontarkan oleh Danang setelah bercoitus dengan Reno.
Secara sadar mereka tahu bahwa apa yang telah mereka lakukan itu tidaklah
benar, namun mereka belum berani mengakuinya secara langsung bahwa mereka
telah keluar dari norma dan dari konvensi hukum yang telah ditulis, yakni tidaklah
sepantasnya seseorang bercoitus secara illegal dan kedua, pada umumnya coitus

10
terjadi antara mahluk laki-laki dan perempuan. Tampaknya mereka masih berfikir
mengenai apa yang telah terjadi diantara mereka, hal itu dapat dilihat dari
penggunaan kata “pertimbangan”. Mempertimbangkan siapa diri kita berarti
mencari sebuah identitas diri.
. . . kukira aku telah belajar dari hasrat-hasratku sendiri, hasrat yang sejak aku
duduk di kelas enam SD kusadari berbeda dengan teman-teman sebayaku. . . .
aku mempelajari diriku sendiri, kupertanyakan diriku setiap hari, kugali
berbagai kemungkinan jawaban dan tak semua berhasil. Semakin banyak
kemungkinan jawaban kupertimbangkan, semakin aku jauh dari pemahaman atas
siapa diriku sebenarnya. Mengapa aku berbeda, dan mengapa yang berbeda itu
harus aku? (hlm. 24).

Keadaan yang diri yang berbeda membuat Danang mempertanyakan


identitas dirinya. Dapat dilihat bahwa Danang tidak mengenal dirinya dengan cara
membandingkan dirinya dengan orang lain. Kejanggalan yang ditemui dalam
dirinya, karena sebenarnya dia telah menemukan konsep yang seharusnya dia
jalankan atau alami. Keadaan jiwa dan fikirannya tidak dapat dikendalikannya, dia
dikendalikan oleh sesuatu yang dia sendiri merasa asing. Dari kutipan diatas
secara implicit bahwa Danang tidak menyukai keadaannya, sebagaimana
pertanyaan yang dilontarkan “Mengapa aku berbeda, dan mengapa yang berbeda
itu harus aku?.” Melalui kalimat tersebut dapat dilihat bahwasanya ada semacam
pemberontakan dalam diri Danang, namun ada sesuatu yang “lebih besar” yang
tidak mampu ia kendalikan; Jiwa yang berbeda yang tidak dikenalnya.
Alienasi diri yang dialami oleh Danang dapat dijelaskan oleh Weiss dalam
‘ Man n Crisis’ (Davis,1969:296) bahwa individu yang mengalami alienasi
bukanlah mereka yang terlahir dalam keadaan teralienasi atau dia memilih hidup
teralienasi, kurangnya perhatian, cinta, dan kepedulian pada individualitynya pada
masa kanak-kanak menyebabkan dia mengalami kecemasan. Melalui apa yang
dijelaskan dalam kutipan berikut, dapat diketahui bahwa Danang hidup dalam
sebuah keluarga yang kurang sehat.
“Aku tak punya ayah,” kataku. Kau mengerutkan keningmu, pertanda ingin
penjelasan lebih jauh.
“ibuku perempuan panggilan. Mungkin aku anak salah satu lelaki yang pernah
tidur dengannya.” (hlm. 18)

. . . Yang jelas sejak kecil, mama sering pindah-pindah tempat (hlm. 18).

Dulu temanku hanya angsa-angsa batu, yang kudandani sambil bernyayi,


karena aku tak suka bicara dengan ibuku (hlm. 22).

11
Dari apa yang dikatakan oleh Weiss jelas bahwa alienasi bukanlah faktor
genetik/internal, Weiss mencoba melihatnya dari sisi sosial/eksternal. Keluarga
yang tidak/kurang sehat merupakan salah satu faktor penyebab alienasi diri.
Danang yang merupakan anak dari seorang perempuan panggilan yang tidak
diketahui siapa ayahnya, tempat tinggal yang selalu berpindah-pindah/ nomade,
dan komunikasi yang buruk antara dirinya dan ibunya sampai memunculkan
kebenciannya pada sosok ibu; hal-hal inilah yang memicu timbulnya alienasi diri.
Danang yang baru berusia 14 tahun sudah mengalami suatu kehidupan keluarga
yang tidak harmonis, dia tidak memiliki tempat untuk berbagi dan kawan
sehingga hal ini dapat dijadikan indikasi pemicu pencarian jati diri. Pada saat
seseorang tidak menemukan jawaban atas apa yang dicari maka ia akan
mengalami keterasingan.
Alienasi diri yaitu ketika seseorang tunduk pada keinginan-keinginan
irasionalnya. Seseorang yang termotivasi oleh kekuatan nafsunya.

Tapi dalam diammu, kau kemudian menarikku ke halaman belakang rumah . . .


aku menyambutnya dengan penuh nafsu. Setelah selesai, dengan sedih kau
bilang, sebaiknya kita tak bertemu lagi. Sebab, jika kita bertemu lagi, aku tak
akan bisa menghentikan keinginan ini (hlm. 21).

“Kita seolah lupa bahwa kita sama-sama laki-laki. Dan, laki-laki tak boleh
pacaran dengan sesama laki-laki.”
“kenapa kita harus peduli, kalau nyatanya kita bahagia?”
“tentu saja kita harus peduli, karena itu sudah hukum Tuhan.”
“Bukankah kita hanya melakukan apa yang membuat kita bahagia, karena itulah
yang sesuai dengan keinginan kita, hasrat kita? Apakah perasaan-perasaan kita
harus dibatasi oleh kenyataan akan jenis kelamin kita?” (hlm. 23).

Melalui kutipan diatas, Danang dikendalikan oleh kekuatan bawah


sadarnya untuk memperturutkan keinginan dan hasratnya. Meski kesadaran ada
dalam hati mereka bahwa mencintai sesama jenis merupakan hal yang tidak
seharusnya terjadi. Namun, alam bawah sadar mereka telah mengambil alih
sehingga mereka tidak dapat menghentikan apa yang terjadi. Jiwa mereka telah
dikendalikan oleh keinginan-keinginan lain, keinginan diluar kehendak mereka
atau keinginan yang irasional. Hal ini dapat dilihat pada kutipan diatas bahwa
mereka masih terus saling mencintai dan melakukan coitus. Seseorang yang
termotivasi oleh kekuatan nafsunya tidak lagi merasa bahwa dirinya adalah

12
manusia yang kaya namun juga penuh keterbatasan, namun kemudian ia menjadi
budak dari sebagian usahanya yang ditujukan pada tujuan eksternal yang ingin
dimilikinya (Fromm, 1955: 114).
Dan setiap kegiatan penyembahan/ pemberhalaan ‘idolatry’ adalah
merupakan tindakan alienasi (Fromm, 1955: 113). Apa yang sering disebut cinta
merupakan fenomena dari alienasi. Cinta melibatkan orang yang mencintai dan
dicintai. Biasanya mereka yang mencintai memproyeksikan seluruh cinta,
kekuatan dan fikiran pada orang yang dicintai, dan menganggap orang yang
dicintai sebagai manusia yang lebih dari dirinya sendiri . Ini dapat diartikan bahwa
dia tidak menyadari bahwa yang dicintainya hanyalah manusia biasa yang sama
seperti dirinya. Sebagaimana kutipan berikut:
Kadang aku berpikir, kau adalah malaikat yang sengaja diutus Tuhan untuk
menemaniku, mengusir kesepian hidupku (hlm. 23).

Danang mengumpamakan Reno sebagai seorang malaikat, perumpamaan


yang sangat hyperbole. Secara tidak langsung ia memberi kedudukan yang begitu
agung pada Reno, orang yang dicintainya sebagai malaikat. Istilah Malaikat
identik dengan kesucian tanpa cela dan kesempurnaan. Kontradiksi dengan
keadaan Reno yang sebenarnya dia hanyalah manusia biasa yang juga berbuat
dosa, dan apa yang telah dilakukan Reno dengan Danang merupakan sesuatu yang
melanggar konvensi hukum alam. Nyata sekali bahwa perbuatan Reno yang
menyimpang menunjukkan dia hanyalah manusia biasa dan ketidakmampuannya
mengendalikan hasrat-hasratnya merupakan kelemahannya sebagai manusia.
Tampaknya Danang melupakan esensi Reno sebagai manusia biasa karena
perasaan cinta yang dirasakannya terhadap Reno. Cinta yang dirasakan Danang
membuatnya teraleniasi dari dirinya. Sebagaimana yang dikatakan Fromm (1955:
114) aleniasi terjadi ketika manusia tidak merasa bahwa dirinya adalah sebagai
pembawa kekuatannya sendiri dan memiliki kelebihan, namun mereka merasa
sebagai ‘benda’ yang miskin, tergantung pada kekuatan yang ada diluar dirinya
dan pada mereka yang diidolakannya. Berdasarkan apa yang dikatakan Fromm,
jelas sekali bahwa Danang merasa mendapatkan kekuatan dari Reno yang telah
membuatnya merasa berarti.

2. Alienasi Diri tokoh utama dalam cerpen “Mereka Benci Aku Banci ”

13
Perbedaan atau penyimpangan sering dianggap sebagai sesuatu yang salah
sehingga orang sering melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kehendak
hatinya. Mereka melakukan sesuatu bukan semata-mata untuk kepuasan hatinya,
namun untuk sesuatu yang diluar dirinya agar dapat diterima, diakui, dan dicintai.
Ketika manusia melakukan sesuatu diluar kehendaknya maka dia telah mengalami
alienasi sebagaimana yang dialami oleh Krisna pada kutipan cerpen berikut:
Namaku Krisna. Tapi orang-orang memanggilku Ina. Panggilan yang
mencemoohku karena kejatianku di mata mereka hanyalah kelamin yang berdiri
di antara dua gender, bukan laki-laki bukan perempuan. Padahal aku tahu
hewan-hewan melata hermafrodit hidup diantara dua gender yang telah diakui
alam dan Tuhan sebagai makhluk yang layak hidup tanpa rasa malu dan keluh
(hlm. 72).

Keadaan masyarakat yang tidak dapat menerima keadaan Krisna yang


berdiri diantara dua gender membuat kehidupannya semakin sulit. Krisna
mengumpamakan dirinya adalah makhluk hermafrodit yang seharusnya layak
untuk hidup tanpa rasa malu. Hal ini berarti bahwa beberapa masyarakat tidak
menginginkannya hadir diantara mereka karena keadaannnya yang berbeda.
Pandangan manusia diciptakan hanya ada laki-laki dan perempuan telah membuat
manusia memiliki konsep bahwa diluar dari itu maka telah terjadi penyimpangan.
Dampak dari itu semua terjadi penolakan dan pengucilan. Hal ini dapat dilihat
pada masyarakat kita bahwa belum ada kesempatan yang luas yang diberikan pada
jiwa perempuan yang terjebak dalam raga laki-laki, sehingga merekapun bekerja
terbatas hanya pada pengamen, hair-stylist, dan banyak yang jadi wanita tuna
susila. Mereka tidak memiliki kesempatan untuk memaksimalkan bakat dan
keterampilannya. Ini pun yang tergambar pada tokoh Krisna, Krisna terpaksa
mengamen di lampu merah untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia.
Aku terus bernyayi, terus menari hingga pijar sang hijau menghentikanku.
Keeping-keping logam kini menari dalam genggamanku (hlm.73).

Keadaan masyarakat yang tidak bersahabat membuat ketetapan hati itupun


goyah. Tuntutan masyarakat bahwa hanya ada dua jenis kelamin membuat Krisna
harus melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak ingin dilakukannya. Fromm
(dalam Widodo, 2005: 39) menambahkan bahwa manusia modern adalah manusia
yang lumpuh tanpa daya, kebebasannya hilang. Kebebasan tidak hanya berarti
kebebasan dari kekuasaan eksternal, melainkan kebebasan positif untuk

14
menguatarakan pikiran, perasaan, dan kehendak aslinya. Ketika manusia berfikir,
pikiran, perasaan dan kehendak dapat saja ditanamkan dari luar kemudian secara
subjektif dihayati sebagai perasaan, pikiran serta kehendak sendiri. Krisna telah
kehilangan kebebasannya untuk mengutarakan pikiran dan kehendaknya. Dengan
kepergiannya ke Thailand untuk melakukan operasi itu membuktikan bahwa
dirinya ingin diterima oleh masyarakat, ingin diakui keberadaannya, dan ingin
diperlakukan sebagai manusia. Disisi lain operasi itu juga dapat diartikan sebagai
representasi visual mengingat jiwa yang ada dalam tubuhnya berbeda dengan
raganya. Sehingga dapat dikatakan bahwa Krisna beranggapan melalui operasi itu
dia akan mendapatkan kekuatan dan jiwanya.
. . . lalu kataku, keputusan pergi ke Thailand untuk operasi kelamin lebih baik
daripada dicemooh, dihina, direndahkan oleh orang lain hingga mengakhiri
hidup dengan tragedy membunuh diri sendiri. Akupun pergi ke Thailand
meninggalkan seorang Krisna jauh dibelakang untuk membuka pintu yang
menunjukkan padaku cerita yang baru (hlm. 76-77).

Dalam ‘ Man n Crisis’ Weiss (Davis, 1969: 296) mengatakan bahwa


individu yang mengalami alienasi bukanlah mereka yang terlahir dalam keadaan
teralienasi atau dia memilih hidup teralienasi, kurangnya perhatian, cinta, dan
kepedulian pada individualitynya pada masa kanak-kanak menyebabkan dia
mengalami kecemasan. Awalnya dia akan menjauh dari dirinya yang dirasanya
tidak pantas untuk dicintai. Dia melihat dirinya sebagai orang ketiga sehingga dia
menjadi tidak peduli terhadap apapun atau menginginkan sesuatu. Bagi mereka
yang mengalami alienasi; bahagia, sedih, hidup, mati adalah sama. Apa yang
diakatakan oleh Weiss dialami oleh tokoh Krisna sebagaimana kutipan berikut:

Pekak gendang indraku mendengarnya. Orang-orang ramai membicarakanku


sebagai pembohong publik . . . kuputuskan untuk undur dari dunia mereka.
Kuputuskan untuk menjadi diriku sebagai diri tanpa kelamin, tanpa alat yang
mengangkangi nafsu. Cuma alat yang berfungsi sebagai saluran kencing belaka.
Pada sebuah halte yang lenggang, namaku tidak lagi Krisna atau Ina karena aku
bukan siapa bukan apa dan itu tidak mengapa (hlm. 85).

Krisna merasa bahwa apa yang telah dilakukannya sia-sia, masyarakat


tidak mau menerima penjelasan apapun. Perbuatan baik ataupun prestasi gemilang
yang telah dibuatnya tertutup oleh status dirinya. Dunia menghakiminya,
menyalahkanya karena dia telah menyalahi kodrat manusia. Ketika masyarakat
tidak lagi menerima keberadaan seseorang maka timbul sikap defensive melalui

15
penarikan diri. Pada tahap dimana seseorang itu sudah tidak mampu lagi
berusaha dan merasa gagal atas apa yang telah diusahakannya. Mereka merasa
tidak pantas untuk dicintai maka mereka akan merasa kehilangan identitas
mereka. Krisna mengalami alienasi diri yang tercermin melalui sikapnya yaitu dia
menarik diri dari perusahaan, dan tidak lagi mempedulikan keinginannya dan
tidak menginginkan apapun baginya memiliki atau tidak memiliki alat kelamin
adalah sama. Krisna telah melepaskan impiannya. Disini jelas sekali membuktikan
bahwa Krisna telah kehilangan eksistensinya sebagai manusia. Dia membiarkan
keinginan-keinginan orang lain membelenggunya dan merenggut kebebasanya.

D. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa alienasi adalah suatu


keadaan dimana seseorang itu merasa asing dengan dirinya karena adanya
tindakan dari luar dirinya yang mengendalikan keinginan sehingga dia melakukan
sesuatu bukan atas kehendaknya. Ada beberapa hal yang menyebabkan alieniasi
diri pada tokoh utama cerpen “Taman Trembesi” dan pada cerpen“Mereka Benci
Aku Banci” yaitu; adanya penolakan dari lingkungan, tunduk pada tindakan
irasional yang memperturutkan hasrat/nafsu (misal; melakukan coitus sesama
jenis, operasi kelamin), pemujaan (misal; love idoltry and physical idoltry),
tuntutan eksternal; keinginan dari luar yang menuntut seseorang melakukan
sesuatu diluar keinginan diri.
Proses alienasi dapat terjadi dimanapun, kapanpun, dan pada siapapun.
Meskipun keadaan kedua tokoh utama diatas berbeda yakni Danang seorang
homoseksual dan Krisna seorang transeksual namun alienasi diri yang terjadi pada
keduannya tidak menunjukkan perbedaan yang significant. Alienasi diri yang
dialami keduanya karena faktor internal dan eksternal dan ini dapat pula terjadi
pada manusia normal lainnya. Ketika manusia tidak mampu mengendalikan alam
bawah sadarnya, ketika mereka melalukan sesuatu atas keinginan orang lain, dan
ketika manusia melakukan pemberhalaan terhadap sesuatu maka terjadilah proses
alienasi.

16
REFERENSI

Aminudin. 1990. Sekitar Masalah Sastra (Beberapa Prinsip & Model


Pengembangan). Malang: Yayasan Asih Asah Asuh.

Burrows, J David and Frederick R. Lapides. 1969. Alienation : A Casebook. New


York: Thomas Y. Crowell Company.

Davis, J.K. 1970. Man in Crisis: Perspectives on the Individual & His World.
Illionis: Scott, Foresman, & Company.

Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra: Epistimologi, Model,


Teori, & Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.

Frederick A. Weiss. Self-Alienation: Dynamics & Theraphy. Man in Crisis:


Perspectives on the Individual & His World. 1970: 294-296.

Fromm, Erich. 1955. The Sane Society. Greenwich: Fawcett Publications Inc.

Hall, Calvins., & Gardner Lindzey. 1993. Teori-Teori Psikodinamik. Yogyakarta:


Kanisius.

Hardjana, Andre. 1994. Kritik Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Tama.

17
Jayadikarta, D. “Mereka Benci Aku Banci”. Rahasia Bulan (ed. Is Mujiarso).
2006. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Tama.

Mujiarso, Is. “Taman Trembesi”. Rahasia Bulan (ed. Is Mujiarso). 2006. Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Tama.

Nurgiantoro, Burhan. 2003. Apresiasi Prosa Fiksi. Surabaya: Unesa Press.

Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode & Teknik Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Wellek, Rene & Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan. Jakarta: PT. Gramedia

Widodo, Martius Satya. 2005. Cinta & Keterasingan dalam Masyarakat


Modern.Yogyakarta: Narasi.

LAMPIRAN

1. SINOPSIS CERPEN “MEREKA BENCI AKU BANCI”


Krisna yang selalu mengahbiskan waktunya di lampu merah untuk
mendapatkan uang demi sesuap nasi. Keberadaannya yang menjadi bahan
olok-olok orang disekelilingnya karena kejatiannya di mata mereka
hanyalah kelamin yang berdiri diantara dua gender, bukan laki-laki bukan
perempuan. Lalu ia mendengar orang-orang mulai memanggilnya banci.
Anggapan bahwa dia adalah mahluk hermafrodit membuat dirinya
bersikeras pergi ke Thailand untuk mengoperasi dirinya menjadi
perempuan. Operasi yang dijalaninya bisa dibilang sempurna, Krisna telah
memiliki payudara dengan tubuh langsing juga telah memiliki labio yang
kemudian disadarinya sebagai vagina. Kepercayaan dirinya bertambah
hingga dia memberanikan diri untuk melamar pekerjaan di beberapa kantor.
Krisna yang telah memiliki nama panggilan Ina akhirnya diterima disebuah
perusahaan kondom sebagai seorang sekretaris. Karena perjuangannya
yang gigih dalam bekerja, akhirnya ia membawa perusahaan itu pada

18
puncak yang gemilang sehingga perusahaan mengangkatnya menjadi
Direktur Utama Pemasaran. Sampai pada suatu hari, sahabat dekatnya yang
bernama Sabat datang ke kantornya untuk bernostalgia, namun sayang
tanpa disengaja percakapan mereka didengar oleh Manager Personalia.
Rahasia yang tersimpan rapi itu pada akhirnya terbongkar. Semua orang
tahu siapa Ina yang sebenarnya, banyak yang diantara mereka yang sedih,
mencemooh, mencibir, dan menghina. Komentar-komentar yang
memojokkan dan mengadili membuatnya harus mundur dari perusahaan
dan kembali pada kehidupannya semula yaitu pada persimpangan lampu
merah.

2. SINOPSIS CERPEN “TAMAN TREMBESI”


Danang belajar dari hasrat-hasratnya sendiri., hasrat yang sejak dia
duduk di kelas enam SD yang dia sadari berbeda dari teman-teman
sebayanya. Danang sering bertanya mengapa dia lebih suka memperhatikan
guru laki-laki dan lebih suka berteman dengan cowok-cowok tampan.
Hingga sampai pada suatu hari, Danang bersama ibunya pindah kesuatu
kota yang mempertemukannya dengan Reno. Reno adalah anak seorang
wanita yang bekerja di rumah Danang. Reno sering mengajak Danang
bermain dan menghabiskan waktu bersama di Taman Trembesi. Kedekatan
keduanya membuat mereka mandi bersama, yang pada akhirnya untuk
pertama kalinya mereka saling mengagumi dan bercoitus. Mereka
menyadari bahwa apa yang mereka lakukan itu adalah sebuah kesalahan,
yang menyebabkan mereka memutuskan tidak saling bertemu. Namun,
keadaan itu justru membuat mereka tersiksa akan kerinduan yang
mendalam sehingga pertemuan mereka membuat mereka mengulang apa
yang pernah terjadi di kamar mandi. Mereka berjanji untuk saling bersama,
namun kebersamaan mereka harus berakhir ketika Danang dan ibunya
harus pindah ke kota lain. Keadaan itu membuat keduanya bersedih dan
tersiksa. Reno bersikeras membujuk Danang untuk tetap tinggal tetapi
Danang yang baru berumur 14 tahun tidak bisa melakukan apa-apa kecuali
menuruti ibunya.

19
20

Anda mungkin juga menyukai