Disusun oleh :
Pengantar
Kisah pilu yang dialami Erich Fromm pada masa kecilnya menghantarkan Fromm
menyusun pemikirannya tentang filsafat kemanusiaan. Pandangan Erich Fromm terhadap
sifat manusia terbentuk oleh pengalaman masa kecil. Biografi Erich Fromm menceritakan
beberapa kejadian yang menjadikan Fromm belajar mengenai manusia. Fromm lahir pada
tanggal 23 Maret 1900 di Frankurt, Jerman. Fromm lahir dari keluarga Yahudi Ortodoks.
Pada masa kecilnya, Fromm tumbuh dengan keluarga yang tidak biasa karena memiliki
orang tua yang neurotik. Fromm mendapati peristiwa bunuh diri yang dilakukan oleh
seorang seniman wanita muda dengan tujuan agar dapat dimakamkan bersama ayahnya
yang sudah meninggal. Fromm mempunyai pertanyaan dari dalam diri mengenai peristiwa
bunuh diri tersebut, “bagaimana mungkin wanita muda ini lebih memilih kematian daripada
menikmati kehidupannya sebagai seniman?”. Karena kejadian itu, Fromm tertarik
mempelajari teori psikoanalisis Sigmund Freud. Menurut Fromm dengan mempelajari
oedipus complex, kejadian bunuh diri itu mungkin saja terjadi (Feist & Feist, 2014).
Cerita selanjutnya saat Fromm berusia 14 tahun yang merasakan dan mengalami
pecahnya perang dunia I. Fromm usia remaja memandang negara-negara yang terlibat
perang dunia I yang terkesan bertindak irasional. Kemudian, Fromm dilanda oleh
pertanyaan “bagaimana mungkin orang-orang yang awalnya damai dan rasional berubah
menjadi sangat ingin membunuh dan siap untuk mati?”. Fromm selanjutnya mulai tertarik
dengan tulisan Freud dan Marx. Fromm sangat ingin mengerti hukum yang mengatur
kehidupan manusia secara individu dan hukum masyarakat (Feist & Feist, 2014).
Pasca perang dunia I selesai, Fromm menuntut ilmu pada bidang psikologi, filosofi
dan sosiologi di Universitas Heidelberg. Fromm masih belum puas dengan ilmu yang
diraihnya itu, kemudian Fromm mempelajari psikoanalisis pada tahun 1925 sampai 1930
dengan harapan dapat menjawab dua pertanyaan penting atas peristiwa yang dilihatnya
tersebut. Erich Fromm memulai karir sebagai psikoterapis menggunakan psikoanalisis
ortodoks. Selanjutnya, Fromm mengembangkan metode pendekatan sendiri yang lebih aktif
dan konfrontasional (Feist & Feist, 2014).
Penulis tertarik membahas teori Erich Fromm untuk ditelusuri basis filosofisnya
karena beberapa literasi artikel jurnal membahas filsafat manusia menurut Erich Fromm
seperti jurnal yang ditulis oleh Nana Sutikna (2008) membahas tentang ideologi manusia
menurut Erich Fromm, Drs. Joko Wicoyo, MS menulis tentang konsep manusia menurut
erich Fromm dan Kasdin Sitohang (2009) menulis tentang wujud kehampaan eksistensi
sebuah tinjauan etis atas pemikiran Erich Fromm. Penulis ingin mengetahui lebih lanjut
pembahasan Erich Fromm terkait filsafat manusia. Berdasarkan penjelasan diatas, penulis
ingin membahas lebih lanjut tentang filolosofi dibalik teori yang dibangun oleh Erich Fromm
yang berlandaskan pandangan filsafat.
Bab II
Rumusan Masalah
Pembahasan
2. Keunggulan (Transcendence)
Keunggulan disini yang dimaksud adalah dorongan untuk melampaui
keberadaan yang pasif dan menuju alam penuh makna dan kebebasan. Manusia
dapat mengungguli sifat pasif mereka baik dengan cara menciptakan maupun
menghancurkan kehidupan. Menurut Fromm, manusia juga dapat menjadi kreatif
dengan banyak cara dan juga dapat menciptakan kreasi seni, agama, gagasan,
hukum, produksi materi dan cinta. Disisi lain, manusia dapat mengungguli hidup
dengan menghancurkan (Feist & Feist, 2014).
Fromm menyatakan bahwa manusia adalah satu-satunya spesies yang
menggunakan agresi keji (malignant aggresion), yaitu membunuh untuk alasan
selain mempertahankan diri. Meskipun agresi keji dominan dan kuat pada
beberapa individu dan budaya, hal ini tidak umum dimiliki semua manusia. Hal ini
ternyata tidak diketahui oleh banyak masyarakat prasejarah sebagaimana
masyarakat primitive kontemporer (Feist & Feist, 2014).
3. Keberakaran (rootedness)
Keberakaran ini artinya adalah kebutuhan untuk berakar atau merasa
pulang kembali di dunia. Saat manusia berevolusi sebagai spesies yang terpisah,
mereka kehilangan rumah di dunia alam. Pada waktu yang bersamaan, kapasitas
pikiran mereka membuat mereka menyadari bahwa tidak memliki rumah dan tidak
memiliki akar. Konsekuensi dari hal ini adalah perasaan keterasingan dan
ketidakberdayaan yang tidak dapat ditahan (Feist & Feist, 2014).
Keberakaran dapat diraih dengan cara produktif dan non produktif. Cara
produktif dapat berupa ketika manusia berhenti disapih oleh ibu dan lahir secara
utuh. Dengan begitu manusia secara aktif dan kreatif berhubungan dengan dunia
dan menjadi utuh atau terintegrasi. Ikatan baru dengan dunia alam ini
memberikan rasa aman dan menciptakan kembali rasa keterlibatan dan
keberakaran. Sedangkan cara non produktif dapat berupa fiksasi yang artinya
keinginan yang kuat untuk bergerak melampaui keamanan dan perlindungan yang
diberikan oleh seorang ibu. Menurut Fromm, orang-orang yang mencari kelahiran
dan berhenti disapih oleh ibu adalah mereka yang memiliki keinginan kuat untuk
dirawat, diasuh, dilindungi oleh figur ibu. Mereka yang termasuk dalam kelompok
ini adalah orang-orang yang bergantung secara eksternal dan takut serta merasa
tidak aman ketika tidak lagi mendapat perlindungan dari ibu (Feist & Feist, 2014).
Untuk lebih jelasnya sebagai gambaran kebutuhan manusia oleh Erich Fromm,
dapat dilihat melalui tabel berikut ini:
D. Beban Kebebasan
Erich Fromm menyatakan bahwa manusia adalah satu-satunya spesies yang
memiliki kesadaran diri, imajinasi dan akal pikiran, manusia adalah suatu keganjilan
dalam alam semesta. Menurut Fromm, akal pikiran dapat berupa anugerah dan juga
kutukan. Akal pikiran bertanggung jawab atas timbulnya perasaan keterasingan dan
kesendirian namun juga merupakan proses yang membiarkan manusia bersatu
kembali dengan dunia. Seiring manusia semakin memperoleh kebebasan ekonomi
dan politik, mereka semakin merasa terasing. Mereka terkurung peran yang
diberikan oleh masyarakat. Peran yang menyediakan rasa aman, tempat bergantung
dan kepastian. Setelah itu mereka mendapatkan kebebasan untuk bergerak secara
sosial dan geografis. Manusia juga paham akan bebas dari rasa aman pada tempat
tertentu di dunia. Kemudian, mereka menjadi terpisah dari asal mereka dan
terasingkan satu sama lain (Feist & Feist, 2014).
Hal yang sama terjadi pada tingkat pribadi seperti anak menjadi lebih mandiri
dan tidak membutuhkan ibunya. Anak tersebut mendapat kebebasan lebih untuk
mengungkapkan individualitas mereka, contohnya bergerak tanpa diawasi, memilih
teman, memilih pakaian sendiri, dan lain lain. Pada saat yang bersamaan, mereka
merasakan beban dari kebebasan, yaitu bebas dari rasa aman saat berada dekat
dengan ibunya. Pada tingkat sosial dan individu, beban ini menciptakan kecemasan
dasar, yaitu perasaan bahwa kita merasa sendiri di dunia (Feist & Feist, 2014).
E. Kebebasan Positif
Munculnya kebebasan politik dan ekonomi mau tidak mau mendorong
manusia ke arah perbudakan akan keterasingan dan ketidakberdayaan. Menurut
Fromm, seseorang dapat bebas dan tidak sendiri, kritis namun tidak dipenuhi
keraguan, mandiri namun tetap menjadi bagian dari kesatuan umat manusia.
Manusia dapat mencapai kebebasan seperti itu yang biasa disebut dengan
kebebasan positif dengan pengungkapan penuh dan spontan dari potensi rasional
maupun emosionalnya. Kebebasan positif merepresentasikan keberhasilan mencari
solusi bagi dilemma manusia yang menjadi bagian dari dunia alam namun juga
terpisah darinya. Dengan kebebasan positif dan aktivitas spontan, manusia dapat
mengatasi ketakutan akan kesendirian, mencapai kesatuan dengan dunia dan
mempertahankan individualitas. Erich Fromm menyatakan bahwa cinta dan kerja
merupakan dua komponen kembar dari kebebasan positif. Cinta dan kerja yang aktif
membuat manusia bersatu dengan dunia dan yang lainnya tanpa mengorbankan
integritas mereka. Selanjutnya, manusia menegaskan keunikan mereka sebagai
individu dan mencapai kesadaran penuh akan potensinya (Feist & Feist, 2014).
F. Konsep Kemanusiaan
Erich Fromm menekankan perbedaan antara manusia dan hewan bahwa sifat
esensial manusia terletak pada keunikan pengalaman. Fromm mengatakan bahwa
manusia berada di alam dan subjek bagi semua hukumnya dan mengungguli alam
dengan serentak. Fromm percaya bahwa hanya manusia lah yang sadar akan diri
mereka sendiri dan keberadaannya. Fromm menyatakan pandangannya terhadap
kemanusiaan, yaitu spesies manusia dapat didefinisikan sebagai primate yang
muncul ketika titik evolusi dimana determinisme instingtif telah mencapai minimum
dan perkembangan otak maksimum. Kelangsungan hidup manusia terbayar dengan
harga kecemasan dasar, kesendirian dan ketidakberdayaan. Dalam tiap usia dan
budaya, manusia dihadapkan pada masalah fundamental yang sama, yaitu
bagaimana manusia itu melarikan diri dari perasaan terasingkan dan menemukan
kesatuan kembali dengan alam dan orang-orang lainnya (Feist & Feist, 2014).
Fromm secara umum merasa pesimis dan optimis. Fromm percaya bahwa
sebagian besar manusia tidak mencapai kesatuan kembali dengan alam dan orang
lain serta hanya sedikit orang yang mencapai kebebasan positif. Akan tetapi, Fromm
cukup memiliki harapan untuk percaya bahwa sebagian orang akan mencapai
kesatuan kembali dan akan menyadari potensi kemanusiaan mereka. Fromm juga
percaya bahwa manusia dapat mencapai kepekaan akan identitas, kebebasan positif
dan mengembangkan individualitas dalam lingkungan masyarakat kapitalis.
Pada dimensi pilihan bebas versus determinisme, Fromm mengambil posisi
tengah dan menyatakan bahwa persoalan ini tidak dapat diaplikasikan pada seluruh
spesies melainkan Fromm percaya bahwa individu memiliki derajat kecenderungan
terhadap tindakan yang dipilih dengan bebas. Kemampuan bernalar manusia
memungkinkan untuk mengambil bagian secara aktif dalam menentukan nasib
mereka sendiri.
Pada dimensi hubungan kasualitas versus teleologi, Fromm cenderung
memilih teleologi. Fromm percaya bahwa manusia terus-menerus berusaha demi
kerangka orientasi, sebuah peta jalan, dengan manusia merencanakan hidup mereka
di masa depan.
Pada dimensi motivasi sadar versus bawah sadar, Fromm sedikit
menekankan motivasi dalam sadar dan beranggapan bahwa salah satu sifat unik
manusia adalah kesadaran diri. Fromm menyatakan bahwa kesadaran diri adalah
anugerah yang tercampur dan banyak orang merasa tertekan karena karakter dasar
mereka untuk menghindari kecemasan yang memuncak.
Pada dimensi pengaruh sosial versus pengaruh biologi, Fromm menganggap
pengaruh sejarah, budaya dan masyarakat lebih penting daripada pengaruh biologi.
Fromm menganggap bahwa kepribadian manusia telah ditentukan secara historis
dan budaya. Tetapi, Fromm juga tidak mengabaikan faktor biologi karena Fromm
mendefinisikan manusia sebahai keganjilan dari alam semesta.
Fromm memberikan ruang untuk individualitas meskipun Fromm
menempatkan penekanan moderat pada kesamaan antara manusia. Fromm percaya
walaupun sejarah dan budaya mengganggu kepribadian, manusia tetap dapat
mempertahankan keunikan mereka dalam tingkat tertentu. Fromm beranggapan
bahwa manusia adalah satu spesies yang dapat berbagi kebutuhan yang sama
namun pengalaman interpersonal sepanjang hidup manusia memberikan mereka
beberapa keunikan.
Bab IV
Basis Filosofis
A. Basis Filosofis
Pada usia 14 Tahun Fomm melihat perilaku irrasional di tanah kelahirannya,
Jerman. Mulai dari keluarga, guru, teman-temannya memiliki kebencian yang amat
tidak wajar dan menjamurnya fanatisme pada perang dunia satu. Kemudian ia
berpikir “mengapa orang-orang baik dan bijaksana tiba-tiba menjadi gila?” Dia
menduga perilaku irrasional tersebut timbul karena kondisi sosio-ekonomis, politis,
dan historis yang sangat memiliki andil besar dalam pembentukan kepribadian
manusia (Schultz, 1991). Meskipun Fromm memiliki basik psikoanalisis yang kuat,
akan tetapi ia tidak setuju dengan psikoanalisis abad 19 yang berlandaskan
positivisme. Pemikiran Fromm sangat menitikberatkan pada landasan berpikir
eksistensialisme, dalam tulisannya from juga menulis “kita adalah orang-orang yang
harus menjadi sesuai dengan keperluan-keperluan masyarakat di mana kita hidup.”
seperti yang diungkapkannya:
“Human’s main task in life is to give birth to themselves, to become what they
potentially are. The most important product of their effort is their own personality”
(Nastiti, 2015).
Fromm yang beraliran pasikoanalisis berusaha mengkritik dominasi dari
positivisme. Selain itu, tulisan-tulisan from yang tajam merupakan penjelasan
tentang masyarakat modern yang sudah banyak mengidap penyakit (patologis).
Selanjutnya, Fromm dalam bukunya “to have and to be” mengungkapkan bahwa
manusia modern cenderung untuk lebih berusaha memiliki daripada berusaha untuk
“menjadi.” Padahal, untuk bertumbuh dan berkembang manusia harus selalu terlibat
dalam proses untuk “menjadi.” Pemikiran Fromm ini terilhami oleh pemikiran
eksistensialisme sehingga prognosis psikologis yang berhubungan dengan
masyarakat modern sangat dipengaruhi oleh pemikiran filsuf prancis, Sartre
(Supraja, 2018).
Filsafat Eksistensialisme
Eksistensialisme secara etimologi berasal dari kata “eks” yang berarti “ke” luar
dan “sistensi” berarti menempatkan atau berdiri. Sehingga dapat diketahu bahwa
yang dimaksud dengan eksistensi adalah cara manusia untuk berada di dunia ini
sendiri (Tafsir, 1990). Kemudian, apakah dapat dikatakan bahwa batu, ketombe,
kutu, papan tulis, itu bereksistensi? Ternyata tidak demikian, yang bereksistensi
hanyalah manusia, yaitu cara manusia untuk “mengada.” (Driyarkara, 2006). Jean
Paul Sartre merupakan filsuf yang juga sastrawan yang banyak mempengaruhi
pemikiran Fromm tentang kepribadian. Sartre juga konsen terhadap pemikiran Karl
Marx tetapi juga masih tetap mengkritiknya di negara komunis karena banyaknya
penindasan-penindasan kejam terhadap pemberontakan Hungaria oleh Uni Soviet
membuatnya ragu apakah marxisme benar-benar sesuai dengan kebebasan. Dalam
pemikiran filsafat Sartre juga merupakan murid dari Husserl yang tertarik dengan
“ada” dan “etika” (Smith & Raeper, 2000).
B. Elemen-Elemen Filosofis
1. Esensi dan Eksistensi
Esensi merupakan bagaimana menemukan benda itu apa adanya.
Sedangkan eksistensi merupakan hal yang membedakan benda satu dengan
benda lainnya. Esensi merupakan bentuk sesuatu apa adanya tanpa keterlibatan
pengalaman apapun. Asumsi esensi muncul terlebih daulu dibantah oleh kaum
eksistensialis, mereka berusaha membuktikan bahwa esensi tidak memiliki
makna apapun tanpa keterlibatan pengalaman manusia. Manusia merupakan
pusat hubungan tersebut dan sebagai subyek pengalaman itu sendiri (Yunus,
2011).
Manusia dilihat hakikatnya melalui eksistensi manusia tersebut. Dalam
essai yang ia tulis “eksistensialism and humanism,” sartre mencontohkan ketika
seseorang membuat pisau kertas, sebelum pisau itu jadi manusia sudah memiliki
gambaran ide bagaimana penampakan pisau itu dan untuk apa pisau tersebut
dibuat (Smith & Raeper, 2000). Hal ini merupakan negas dari ungkapan Rene
Descartes “aku berpikir maka aku ada” (cogito ergo sum). Sebagaimana hadits
Nabi Muhammad “Barang siapa berbohong dan membiasakan berbohong maka
dia seorang yang kadzab.” Artinya bagaimana manusia adalah penampakan
perilaku sehari-hari dia menunjukkan dirinya. Ketika seorang presiden melakukan
pencitraan diri sebagai “orang yang suka membantu” berdasarkan filsafat
eksistensialisme ini sah-sah saja karena itulah hakikat manusia sesungguhnya.
Filsafat ini bagus untuk membangun rasa percaya diri dan kemandirian
dalam hidup. Berbeda dengan filosof yang berbau sufistik juga akan berbeda lagi
meskipun objeknya sama yaitu membaca dunia dimana kita hidup ini. Menurut
Sartre manusia memiliki hakikat dari eksistensinya, bukan bentukan bawaan dari
sang pencipta tidak ada manusia baik dan buruk semuanya tergantung pada
bagaimana manusia tersebut meng-eksiskan dirinya. Seperti yang dikemukakan
oleh Sartre:
“Man is nothing else but what he makes of himself” (Faiz, 2018)
Manusia tidak lain adalah apa yang ia buat untuk dirinya sendiri. Manusia
tidak menunggu bentukan awal tetapi manusia memiliki kemampuan harus
membangun karakter dirinya sendiri sesuai dengan apa yang ia inginkan dengan
cara mengaktualisasikan dirinya sehari-hari. Karena menurut Sartre segala
sesuatu sudah terlihat jelas, kecuali bagaimana cara kita hidup (how to life). Faiz
(2018) menjelaskan pandangan Sartre ini bahwa segalanya dalam hidup sudah
terlihat jelas menurut Sartre adalah kehidupan di dunia ini sudah berjalan sesuai
dengan kehendak Allah (sunnatullah), sedangkan satu-satunya yang diserahkan
kepada manusia adalah cara manusia untuk hidup. Sedangkan dalam al-Qur’an
juga Allah menjelaskan bahwa:
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah suatu kaum sebelum mereka
mengubahnya sendiri” (Ar-Ra’ad: 13:11)
Eksistensi manusia representasi dari kesadaran, terutama yang
berhubungan dengan urusan duniawi. Pada dasarnya, manusia tidak memiiki
hakikat apapun hidup di dunia ini termasuk beragama akan tetapi satu-satunya
watak kesadaran manusia adalah ketakutan (Bierman dan Gauld, dalam Tafsir
1990). Struhl dan Struhl dalam Tafsri (1990) menjelaskan bahwa ketakutan
datang dari kesadaran manusia yang menyadari bahwa ia ada di dunia dan
harus menentukan segala sesuatunya sendiri, akhirnya manusia menyadari
bahwa ia sendiri tidak mampu bertanggungjawab atas segala urusannya
begitulah bentuk ketakutan tersebut. Jadi, alasan manusia harus
mengeksistensikan diri adalah kesadaran yang dimiliki manusia dan benda-
benda dan situasi di sekeliling manusialah yang membantu menyadarkan diri
manusia.
2. Kebebasan
Dalam hal eksistensi mendahului esensi, ketika manusia menyadari dirinya
maka ia berada dalam “ketiadaan” dan harus segera diisi dengan sesuatu.
Sehingga, pada dasarnya manusia memiliki kebebasan untuk memilih nasib yang
diinginkannya. Hanya saja, sebagian manusia tidak menyadari bahwa ia memiliki
kebebasan untuk memilih dan senantiasa hidup dalam “kepercayaan buruk” yang
bertingkah laku seperti robot yang sudah ditentukan tujuannya (Smith dan
Raeper, 2000). Konsep manusia terbaik menurut Sartre ialah kemampuan
manusia untuk bebas memilih apa yang diinginkan. Kebebasan bukanlah atribut
yang dimiliki manusia karena manusia itu adalah kebebasan itu sendiri. Jika
manusia menghindar dari kebebasan maka akan senantiasa dihantui dengan
kecemasan, kesedihan, dan keputusasaan. Contoh: mahasiswa memilih
kewajiban mengerjakan tugas, disamping itu mahasiswa juga bebas memilih
tidak mengerjakan atau mengerjakan. Jika manusia terpaksa (tidak bebas)
mengerjakan manusia tetap akan merasa cemas, sedih, dan putus asa. Begitu
juga ketika mahasiswa memilih tidak mengerjakan maka ia juga akan
memperoleh ketenangan yang ia inginkan tetapi ia juga harus menanggung
segala konsekuensi dari perbuatan tersebut.
Jika dikembalikan pada esensi mendauhului eksistensi, maka jika manusia
menyadari diri sendiri ia mengalami “ketiadaan” yang harus segera diisi dengan
sesuatu. Oleh karena itu, manusia memiliki kebebasan karena setiap orang
harus memiliki cara tertentu menjalani hidup ini. Akan tetapi, kebanyakan
manusia tidak menyadari itu dan senantiasa hidup dalam bayang-bayang
“kepercayaan buruk” selalu hidup seperti objek atau robot yang sudah ditentukan
tujuannya (Smith & Raeper, 2000).
Eksistensi menunjukkan kesadaran manusia karena kehidupan di dunia
dan harus bertanggung jawab untuk diri dan masa depannya. Sedangkan,
kebebasan merupakan esensi manusia karena manusia yang bebas selalu
berusaha menciptakan dirinya. Mampu mengatur, memilih, dan dapat
memberikan makna pada realita yang ada (Yunus, 2011).
Manusia memang dapat mengatur hidupnya sendiri, akan tetapi manusia
selalu terlempar dalam faktisitas. Faktisitas merupakan segala sesuatu yang
tidak dapat dihindarkan, oleh karena itu manusia harus mampu mengatur,
mengolah, dan bahkan memanipulasi. Misalnya manusia meskipun bebas akan
tetapi fakta di lapangan ia bertemu dengan kebebasan dengan orang lain, inilah
yang mendasar ungkapan Sartre bahwa “orang lain adalah neraka.” (Faiz, 2018).
Sehingga pada filsafat eksistensialisme, Sartre mengungkapkan tiga
konsekuensi yaitu: sangat menderita, karena kesadaran akan semua hal yang
harus manusia tanggung sendiri termasuk keputusan-keputusan yang merugikan
diri sendiri dan orang lain. Terasing sendiri, merupakan dasar filsuf
eksistensialisme mengatakan bahwa tuhan tidak ada karena manusia harus
mengatur segala sesuatunya sendiri. Putus asa, karena segala sesuatu yang
terjadi pada manusia merupakan konsekuensi dari apa yang ia putuskan sendiri
tanpa ada campur tangan apapun diluar dirinya, baik buruknya dampak yang
diterima karena manusia itu sendiri. Meskipun demikian, sartre menolak untuk
dikritik sebagai pesimis, sebaliknya hal ini mengajarkan kepada manusia untuk
tangguh menempa dirinya menghadapi dunia agar tidak cengeng dan memupuk
optimisme. Manusia sepenuhnya memegang kendali atas kehidupannya, jika
Rhenald Kasali mengatakan bahwa manusia seharusnya adalah sebagai driver
bukan passenger.
Bab V
Kesimpulan
Daftar Pustaka