Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH KEPRIBADIAN DAN KESEHETAN MENTAL MENURUT ERICH

FROMM

Mata Kuliah Kesehatan Mental dan Gangguan Mental

Dosen Pengampu :

Gita Irianda Rizkyani Medellu, M.Psi & Mauna, M.Psi

Disusun Oleh :

Kelompok 4

Rabu, Pukul 11.00

Amearah Bellarosa 1801617177

Dhea Mutiara Lubis 1801617175

Dwita Utami Damayanti 1801617072

Fakultas Pendidikan Psikologi

Universitas Negeri Jakarta

2019
I. ASUMSI DASAR FROMM

Fromm berasumsi bahwa kepribadian manusia dapat dimengerti dengan memahami


sejarah manusia. Fromm (1947) juga percaya bahwa manusia berbeda dengan binatang, karena
menurutnya manusia “tercerai berai” dari kesatuan prasejarahnya dengan alam. Manusia tidak
memiliki insting yang kuat untuk beradaptasi dengan dunia yang berubah, melainkan mereka telah
memperoleh kemampuan bernalar – keadaan yang disebut Fromm sebagai dilema manusia.

Dilema ini dialami manusia karena mereka telah terpisah dengan alam, tapi masih
mempunyai kemampuan untuk menyadari bahwa diri mereka telah menjadi makhluk yang
terasing. Kemampuan bernalar ini bisa dianggap sebagai anugerah atau kutukan, karena
kemampuan ini membiarkan manusia bertahan, namun di sisi lain hal ini memaksa manusia untuk
menyelesaikan dikotomi dasar yang tidak ada jalan keluarnya. From menyebut hal tersebut sebagai
“dikotomi eksistensial” (existential dichotomies). Manusia hanya bisa bereaksi terhadap dikotomi
ini tergantung pada kultur dan kepribadian masing-masing individu.

Dikotomi paling fundamental adalah antara hidup dan mati. Realisasi dan nalar manusia
mengatakan bahwa dirinya akan mati suatu hari nanti, namun manusia berusaha untuk
mengingkari hal ini dengan menganggap adanya kehidupan setelah kematian, usaha yang tidak
merubah fakta bahwa hidup kita diakhiri dengan kematian.

Dikotomi eksistensial kedua adalah bahwa manusia mampu membentuk konsep tujuan
dari realisasi diri utuh, namun kita juga menyadari bahwa hidup terlalu singkat untuk mencapai
tujuan tersebut. Beberapa orang mencoba mengatasi dikotomi ini dengan berasumsi bahwa masa
lalunya dalam sejarah mereka adalah pencapaian sempurna dalam kemanusiaan, sedangkan
lainnya menganggap adanya kelanjutan hidup setelah kematian.

Dikotomi eksistensial ketiga adalah bahwa manusia pada akhirnya hanya sendiri, namun
kita tetap tidak bisa menerima pengucilan atau isolasi. Mereka sadar bahwa diri mereka adalah
individu yang terpisah, tapi mereka meyakini bahwa kebahagiaan mereka bergantung pada
hubungan mereka dengan manusia lain.
II. KEBUTUHAN MANUSIA

Kebutuhan dasar manusia secara fisiologis adalah rasa lapar, seks dan keamanan.
Kebutuhan-kebutuhan eksistensial telah wujud saat bermulanya evolusi budaya manusia berusaha
untuk menemukan jawaban atas keberadaan mereka dan untuk menghindari ketidakwarasan. Satu
perbedaan antara manusia yang sehat mental dan manusia neurotic adalah saat mereka menemukan
jawaban atau esensi dari keberadaan mereka – jawaban yang lebih sesuai dengan jumlah kebutuhan
manusia (Fromm, 1955). Dengan kata lain, individu yang sehat lebih mampu menemukan cara
untuk bersatu kembali dengan dunia, dengan secara produktif, memenuhi kebutuhan manusiawi
akan keterhubungan, keunggulan, keberakan, kepekaan akan identitas, dan kerangka orientasi.

Tabel Rangkuman Kebutuhan Manusia Menurut Fromm

Komponen Negatif Komponen Positif

1. Keterhubungan Kepasrahan atau dominasi Cinta

2. Keunggulan Hal-hal destruktif Hal-hal kreatif

3. Keberakaran Fiksasi Keutuhan

4. Kepekaan akan identitas Penyesuaian dengan kelompok Individualitas

5. Kerangka orientasi Tujuan Irasional Tujuan Rasional

Sumber: Feist & Feist, 2010, hlm. 234


1. Keterhubungan

Kebutuhan manusia atau kebutuhan eksistensial pertama adalah keterhubungan


(relatedness), dorongan yang bersatu dengan satu orang atau lebih. Fromm menyatakan
tiga cara dasar bagi manusia untuk berhubung dengan dunia:

a. Kepasrahan

b. Kekuasaan (dominasi)

c. Cinta

Seseorang dapat pasrah pada orang lain, kelompok, atau institusi agar menjadi satu
dunia. “Dengan cara ini keberadaannya sebagai individu tidak lagi terpisah dan ia menjadi
bagian dari seseorang atau sesuatu yang lebih besar dari dirinya dan merasakan jati diri
dalam hubungannya dengan kekuasaan yang dimiliki oleh siapapun tempat manusia
tersebut memasrahkan dirinya (Fromm, 1981, hlm. 2). Sedangkan kemungkinan yang lain
untuk mengatasi kesendiriannya, adalah dengan cara berlawanan, yaitu manusia mencoba
untuk menyatukan dirinya dengan dunia melalui pemikiran kekuatan yang melebihinya.
Dengan demikian ia mengangkat eksistensi dirinya melalui bentuk dominasi (Fromm,
1965: 35-36). Untuk mengatasi dua cara yang dipilih manusia tersebut, Fromm
mengemukakan cinta sebagai yang tidak mendominasi dan tidak ditundukkan. Menurut
Fromm (1987), cinta merupakan kesatuan dengan syarat, tetapi tetap mempertahankan
keutuhan orangnya dan individualitasnya.

Apabila dalam hubungan dengan dunia sekitarnya seseorang menyadari


keterpisahan, maka pada kebalikannya, dapat disebut narsisme. Pada narsisme primer,
seseorang tidak mengalami keterpisahan, ia masih menganggap bahwa dirinya adalah satu
dalam dunia luarnya, yaitu sejauh ia bisa memuaskan kebutuhannya sendiri. Pribadi
seseorang telah kehilangan kontak atau hubungan dengan dunia; ia telah menarik ke dalam
dirinya, sehingga ia tidak dapat mengalami realitas, baik secara fisik atau realitas manusia.
2. Keunggulan

Kebutuhan untuk menjadi unggul mengandung dua unsur dalam diri manusia.
Manusia menunjukkan dirinya sebagai pencipta kehidupan, namun ia juga mampu untuk
menghancurkan. Berkreasi berarti aktif dan peduli akan hal-hal yang diciptakan. Manusia
menjadi kreatif dengan banyak cara seperti seni, agama, gagasan, hukum, produksi materi,
dan cinta. Sedangkan dalam anatomi sifat merusak manusia, Fromm (1973) menyatakan
bahwa manusia adalah satu-satunya spesies yang menggunakan agresi keji, yaitu
membunuh untuk alasan selain mempertahan diri. Kehendak untuk menghancurkan
muncul pada saat keinginan untuk mencipta tidak dapat dipuaskan (Fromm, 1965).

3. Keberakaran

Ketika manusia berevolusi sebagai spesies terpisah, mereka kehilangan rumah di


dunia alam. Di saat yang bersamaan, kapasitas pikiran mereka membuat mereka menyadari
bahwa mereka tidak memiliki rumah dan tidak memiliki akar. Konsekuensinya adalah
perasaan keterasingan dan ketidakberdayaan ini tak tertahankan. Ikatan paling elementer
secara alami adalah ikatan antara ibu dan anak. Seseorang dilahirkan mendapatkan cinta,
makanan dan perawatan dari seorang ibu. Di sanalah ia menemukan akar. Dalam
pandangan Freud, keterikatan antara seorang anak dan ibu, merupakan masalah yang
sangat penting bagi perkembangan manusia. Fromm, seperti Freud, menduga bahwa hal
tersebut mempunyai pengaruh pada hubungan yang lain. Setelah memutuskan
ketergantungan rasa aman dan perawatan oleh ibu, manusia akan mencari akar baru dalam
keterikatannya; atau sebaliknya ia tetap mencari bentuk ikatan baru yang diberikan ibunya.
Pada ikatan yang baru, ia mulai mencari ikatan persaudaraan manusia dengan
membebaskan diri dari masa lampau. Sedang pada bentuk yang lain, ia tetap mencari ikatan
simbolis seperti diberikan oleh ibunya; atau ikatan pada tanah, alam, negara, atau Tuhan.

Jika individu tidak dapat menemukan akar pada pengalaman baru, maka
terbentuklah bentuk-bentuk menyimpang, yang dalam konteks hubungan antara dirinya
dan di luar dirinya berubah menjadi bentuk ‘pelanggaran’. Menurut Fromm, contoh yang
mudah adalah perilaku seksual yang menuju pada ibu, atau keluarga sekelilingnya. Pada
bentuk lain, ia bisa dianggap sebagai sosok individu yang tidak dapat hidup dalam suatu
masyarakat yang menganggap hal itu adalah tabu.

Ketidakmampuan untuk melepaskan ikatan primer ini dianggap sebagai


ketidakmampuan seseorang untuk melepaskan diri dalam memperoleh kebebasan dan
kemerdekaan ketika ia baru saja dilahirkan. Saat ia dilahirkan, ia memperoleh kebebasan
dan mendapatkan bentuk keterikatan pada ibu, tanah, dan ikatan daerah. Saat ia memasuki
tahap baru dalam kehidupannya, sudah seharusnya ia mulai mencari akar baru bagi
keterikatan dalam bentuk lain. Inilah yang mengakibatkan incest, sebagai perilaku
menyimpang, muncul pada saat ia mengalami jalan buntu.

4. Kepekaan akan identitas

Kebutuhan rasa identitas bermula pada manusia sebagai entitas yang terpisah. Ia
dibedakan dengan manusia lain yang ada di sekelilingnya. Rasa identitas ini berkembang
dalam proses pemunculan diri dari ‘ikatan primer’ yang mengikat seseorang pada ibu atau
alam. Fromm (1981) percaya bahwa manusia primitif mengidentifikasi diri mereka lebih
dekat dengan klan mereka dan tidak melihat dirinya sebagai individu yang terpisah dari
kelompok.

Fromm setuju dengan kapitalisme Marx yang memberikan kebebasan politik dan
ekonomi kepada manusia. Identitas sebagian besar orang tetap bergantung pada keterikatan
mereka dengan orang-orang lain atau institusi, seperti bangsa, agama, pekerjaan, dan
kelompok sosial.

Bentuk individualitas muncul pada bentuk pernyataan seperti ‘Saya orang


Indonesia’, ‘Saya seorang mahasiswa’, yang menunjukkan secara benar-benar rasa
identitas mereka. Bentuk pernyataan seperti di atas, oleh Fromm dianggap menolong
seseorang untuk mengalami rasa identitasnya setelah identitas klan yang asli lenyap dan
sebelum rasa identitas yang benar-benar individual dicapai. Sedangkan, orang neurotik
berusaha untuk mengikat diri mereka dengan orang yang lebih berkuasa atau institusi sosial
atau politik.
5. Kerangka Orientasi

Kebutuhan terakhir manusia adalah kerangka orientasi. Oleh karena terpisah dari
dunia alam, maka manusia membutuhkan peta jalan, kerangka arah atau orientasi, untuk
mencari jalannya dalam dunia. Tanpa peta tersebut, “manusia tidak akan mampu dan
kebingungan melakukan tindakan dengan tujuan dan konsistensi” (Fromm, 1973, hlm.
230). Kerangka orientasi ini mampu mengatur berbagai macam rangsang yang
mengganggu mereka. Manusia yang memiliki kerangka yang kuat dan utuh, akan dapat
menjelaskan kejadian dan fenomena yang terjadi dalam kehidupannya, sedangkan apabila
lemah akan menempatkan kejadian-kejadian tersebut dalam suatu kerangka agar ia
mendapat penjelasan yang masuk akan mengenainya.

Setiap orang memiliki suatu cara konsisten dalam memandang sesuatu. Banyak
orang yang terlalu menganggap benar filosofi dan kerangka panduan mereka sehingga
apapun yang asing dalam pandangan mereka akan dinilai “gila” atau “tidak masuk akal”.
Apapun yang dianggap konsisten dan sejalan dengan filosofi dan kerangka panduan
mereka akan dianggap sebagai “akal sehat” (common sense).

III. BEBAN KEBEBASAN

Menurut sejarah, seiring manusia semakin memperoleh kebebasan ekonomi dan poltik,
mereka semakin terasing. Contohnya, selama abad pertengahan manusia memiliki kebebasan
pribadi yang terbatas. Mereka terkurung peran yang diberikan oleh masyarakat, peran yang
menyediakan rasa aman, tempat bergantung, dan kepastian. Kemudian, setelah mereka
mendapatkan kebebasan untuk bergerak secara sosial dan geografis, mereka paham bahwa mereka
bebas dari rasa aman pada tempat tertentu di dunia. Mereka tidak lagi terikat pada wilayah
geografis, suatu urutan sosial, atau suatu pekerjaan. Mereka menjadi terpisah dari asal (akar)
mereka dan terasingkan dari satu sama lain. Di tingkat sosial dan individu, beban ini menciptakan
kecemasan dasar (basic anxiety), yaitu perasaan kita sendiran di dunia.
a. Mekanisme Pelarian Diri
Kabur dari kebebasan (escape from freedom), Fromm (1941) menyebutkan tiga
mekanisme dasar dari pelarian – authoritarianism, merusak, dan komformitas. Berbeda dengan
kecenderungan neurotic Horney, mekanisme pelarian Fromm adalah kekuatan yang mendorong
manusia, baik secara individu maupun kolektif.

1. Authoritarianism
Fromm (1941) mendefinisikan authoritarianism sebagai “kecenderungan untuk
menyerahkan kemandirian seseorang secara individu dan meleburkannya dengan seseorang
atau sesuatu di luar dirinya demi mendapatkan kekuatan yang tidak dimilikinya”. Kebutuhan
untuk bersatu dengan mitra yang kuat ini dapat berupa dua hal – masokisme atau sadisme.
Masokisme timbul dari rasa ketidakberdayaan, lemah, serta rendah diri dan bertujuan untuk
menggabungkan diri dengan orang atau institusi yang lebih kuat.

Sedangkan sadisme bertujuan mengurangi kecemasan dasar dengan mencapai


kesatuan dengan satu orang atau lebih. Fromm (1941) memperkenalkan tiga jenis
kecenderungan sadisme yang semuanya lebih kurang tergolong sama.

a. Kebutuhan untuk membuat orang lain bergantungan pada dirinya dan berkuasa
akan mereka yang lemah.
b. Keinginan untuk mengeksploitasi orang lain, memanfaatkan mereka, dan
mengunakan mereka untuk keuntungan dan kesenangan dirinya sendiri.
c. Keinginan untuk melihat orang lain menderita, baik secara fisik maupun
psikologis.
2. Sifat merusak
Sifat merusak (destructiveness) berasal dari perasaan kesendirian, keterasingan, dan
ketidakberdayaan. Namun berbeda dengan sadisme dan masokisme, sifat merusak tidak
bergantung pada hubungan berkesinambungan dengan orang lain; melainkan mencari jalan
untuk menghilangkan orang lain.
Baik individu maupun bangsa dapat merusak sebagai sebagai mekanisme pelarian.
Dengan menghancurkan objek atau orang, seseorang atau sebuah bangsa berusaha untuk
mendapatkan kembali rasa kekuasaan yang hilang.

3. Konformitas
Orang yang melakukan konformitas berusaha melarikan diri dari rasa kesendirian dan
keterasingan dengan menyerahkan individualitas mereka dan menjadi apapun yang orang
lain inginkan. Dengan demikian, mereka jadi seperti robot, memberikan reaksi yang dapat
diperkirakan secara otomatis sesuai dengan olah orang lain. Mereka jarang mengungkapkan
pendapat mereka sendiri, berpegangan erat pada patokan perilaku, dan sering tampak kaku
dan terpogram.

4. Kebebasan Positif
Munculnya kebebasan politik dan ekonomi mau tidak mau mendorong kita kearah
perbudakan akan keterasingan dan ketidakberdayaan. Seseorang “dapat bebas dan tidak
sendiri, kritis namun tidak dipenuhi keraguan, mandiri namun tetap menjadi bagian dari
kesatuan umat manusia”. (Fromm, 1941, hlm127). Manusia bisa mendapatkan kebebasan
positif dengan pengungkapan spontan dari potensi rasional maupun emosionalnya.

IV. ORIENTASI KARAKTER


Menururt Fromm, kerpribadian tercemin pada orientasi karakter seseorang, yaitu cara
relative manusia yang permanen untuk berhubungan dengan orang atau hal lain. Fromm (1947)
mendefinisikan kepribadian sebagai “keseluruhan kualitas psikis yang di warisi dan diperoleh
yang merupakan karakteristik individu dan menjadikannya individu yang unik”.

Karakter didefinisikan sebagai “system yang relative permanen dari semua dorongan
noninstigtif di mana melaluinya manusia menghubungkan dirinya dengan dunia manusia dan
alam” (Fromm, 1973, hlm, 226). Fromm (1992) percaya bahwa karakter adalah pengganti
kurangnya insting. Bukannya bertindak sesuai dengan insting, manusia malah bertindak
menurut karakter mereka. Apabila mereka harus berhenti dan memikirkan akibat dari perilaku
mereka, maka tindakan mereka akan menjadi tidak efisien dan tidak konsisten.

a. Orientasi Nonproduktif
Fromm menggunakan istilah “nonproduktif” untuk menerangkan cara-cara yang gagal
untuk menggerakkan manusia lebih dekat pada kebebasan positf dan realisasi diri.
Orientasi nonproduktif, bagaimanapun, tidak sepenuhnya negatif dan positif. Kepribadian
selalu merupakan paduan atau kombinasi dari beberapa orientasi, walaupun salah satunya
dominan.

1. Respretif
Karakter resperetif merasa bahwa sumber segala hal yang baik berada di luar diri
mereka dan satu-satunya cara untuk berhubungan dengan dunia adalah dengan
menerima sesuatu, termasuk cinta, pengetahuan dan kepemilikan materi. Mereka lebih
berpikir untuk menerima daripada memberi dan mereka ingin orang lain menyirami
mereka dengan cinta, gagasan dan hadiah.

Sifat positif mereka adalah kesetiaan, penerimaan, dan rasa percaya. Sedangkan sifat
negatifnya mencakup kepasifan, kepasrahan, dan kurangnya rasa percaya.

2. Eksploitatif
Karakter eksploitatif percaya bahwa sumber segala hal yang baik berada diluar
mereka. Berbeda dengan orang-orang reseptif, mereka mengambil dengan agresif apa
yang mereka inginkan, bukannya menerima secara pasif. Dalam hubungan sosial
mereka, mereka cenderung menggunakan kelicikan atau kekuatan untuk mengambil
pasangan, gagasan, atau milik orang lain. Seorang pria ekploitatif akan mungkin “jatuh
cinta” dengan istri seseorang, bukan karena ia benar-benar menyukainya, namun karena
ia ingin memeras suaminya.

Sifat positifnya yaitu implusif, bangga, menarik, dan percaya diri. Sifat negatifnya
yaitu egosentris, angkuh, arogan, dan penggoda.
3. Menimbun
Karakter menimbun bertujuan untuk menyimpan apa yang sudah mereka
dapatkan. Mereka memegang segala sesuatu tetap dalam dirinya dan tidak membiarkan
satu hal pun lepas. Mereka menyimpan uang, perasaan, dan pikiran untuk mereka
sendiri. Dalam hubungan cinta mereka berusaha memiliki cinta seseorang dan menjaga
hubungan itu daripada membiarkannya berusaha dan tumbuh.

Sifat positifnya mencakup suka kerapihan, suka kebersihan, hemat, dan ketepatan
waktu. Sedangkan sifat negatifnya mencakup kekakuan, kegersangan, bersikeras,
kompulsif, dan kurang kreatif.

4. Memasarkan
Karakter memasarkan tumbuh dari perdagangan modern di mana perdagangan
bukan lagi milik personal melainkan dilakukan koperasi-koperasi raksasa tak berwajah.
Konsisten dengan tuntutan-tuntutan karakter perdagangan modern, mereka melihat diri
mereka sebagai komoditas di mana nilai pribadi mereka bergantung kepada nilai tukar
mereka, yaitu kemampuan untuk menjual diri mereka sendiri.

Mereka harus membuat orang lain percaya bahwa mereka harus memiliki
kecakapan khusus dan pandai menjual. Rasa aman pribadi terletak diatas landasan yang
labil karena mereka harus menyesuaikan kepribadian mereka dengan apa yang sedang
diminati. Mereka memainkan banyak peran dan dituntun oleh motto. “Aku adalah apa
yang kamu inginkan”. (Fromm, 1947, hlm. 73). Dan pada dasarnya, mereka memiliki
sedikit saja sifat positif dibandingkan orientasi yang lain

Sifat positif mereka mencakup kesediaan mau berubah, berpikiran terbuka, adaptif
dan murah hati. Sedangkan sifat negatifnya mencakup tidak memiliki tujuan, oportunis,
dan tidak konsisten dan menyia-nyiakan diri sendiri.

b. Orientasi Produktif
Orientasi yang produktif memiliki tiga dimensi yakni, kerja, cinta, dan penalaran. Karena
manusia produktif bekerja menuju kebebasan positif yang realisasi terus menerus potensi
mereka, maka mereka adalah orang-orang yang paling sehat dari semua tipe karakter. Hanya
melalui aktivitas yang produktif barulah manusia dapat menjawab dilemma mereka, yaitu
menyatu dengan dunia dan orang lain. Sembari mempertahankan keunikan dan
individualitasnya. Solusi ini dapat dicapai hanya melalui kerja, cinta, dan pemikiran yang
produktif.

Manusia yang sehat menilai kerja bukan sebagai akhir, melainkan sebagai cara
pengekspresian diri secara kreatif. Mereka tidak bekerja untuk mengeksploitasi orang lain
atau mengakumulasi kepemilikian material yang tidak dibutuhkan. Mereka tidak malas atau
aktif, namun kompulsif, melainkan menggunakan kerja sebagai cara memproduksi hal-hal
yang dibutuhkan untuk hidup.

Cinta yang produktif dicirikan oleh empat kualitas cinta seperti perhatian, tanggung
jawab, penghargaan, dan pengenalan. Sebagai tambahan empat karateristik ini, manusia
yang sehat memiliki biophilia (bio = hidup, philos/philia = cinta), yaitu cinta yang
menggebu-gebu terhadap kehidupan dan semua yang hidup. Mereka fokus pada
pertumbuhan dan perkembangan diri mereka seperti terhadap orang lain. Individu-individu
ingin mempengaruhi manusia lewat cinta, rasio, dan keteladanan – bukan dengan kekuatan
ataupun pemaksaan. Fromm yakin bahwa cinta kepada orang lain dan cinta kepada diri
sendiri tidak dapat dipisahkan namun bahwa cinta pada diri harus datang lebih dulu. Semua
orang memiliki kemampuan untuk melakukan cinta yang produktif namun, sebagian besar
tidak dapat mencapainya karena pertama-pertama mereka tidak dapat mencintai diri mereka
sendiri apa adanya.

Pemikiran yang produktif, merupakan pemikiran yang tidak dapat dipisahkan dari kerja
dan cinta yang produktif, dimotivasi oleh minat besar terhadap orang atau objek lain.
Manusia yang sehat melihat orang lain sebagaimana adanya dan bukan seperti yang mereka
inginkan terhadap orang-orang itu. Dengan cara yang sama mereka mengenal diri mereka
sendiri apa adanya dan tidak perlu menipu diri sendiri.

V. KESEHATAN MENTAL MENURUT FROMM

Fromm menyatakan bahwa satu perbedaan penting antara manusia yang sehat secara
mental dan manusia neurotik atau tidak waras adalah bahwa manusia yang sehat secara mental
menemukan jawaban atas keberadaan mereka- jawaban yang lebih sesuai dengan jumlah
kebutuhan manusia. Dengan kata lain, individu yang sehat lebih mampu menemukan cara untuk
bersatu kembali dengan dunia, dengan secara produktif memenuhi kebutuhan manusiawi akan
keterhubungan, keunggulan, kepekaan akan identitas, dan kerangka orientasi. karena ketika
seseorang tidak memenuhinya ia tidak dapat mempertahankan kewarasannya dan ancaman ini
mendorong seseorang untuk melakukan segala hal untuk memenuhinya.

Fromm memberikan suatu gambaran jelas tentang kepribadian yang sehat. Orang yang
demikian mencintai seutuhnya, kreatif, memiliki kemampuan-kemampuan pikiran yang sangat
berkembang, mengamati dunia dan diri secara obejektif, memiliki suatu perasaan identitas yang
kuat, berhubungan dengan dan berakar di dunia, subjek atau pelaku dari diri dan takdir, dan
bebas dari ikatan-ikatan sumbang.

Fromm menyebutkan kepribadian yang sehat: orientasi produktif, yakni suatu konsep
yang serupa dengan kepribadian yang matang dari Allport, dan orang yang mengaktualisasikan
diri dari Maslow. Konsep itu menggambarkan penggunaan yang sangat penuh atau realisasi dari
potensi manusia. Dengan menggunakan kata “orientasi”, Fromm menunjukan kata itu merupakan
suatu sikap umum atau segi pandangan yang meliputi semua segi kehidupan, respons-respons
intelektual, emosional, dan sensoris terhadap orang-orang, benda-benda, dan peristiwa-peristiwa
di dunia dan juga terhadap diri sendiri.

Empat segi tambahan dalam kepribadian yang sehat dapat membantu menjelaskan apa
yang dimaksudkan Fromm dengan orientasi produktif. Keempat segi tambahan itu adalah cinta
yang produktif, pikiran yang produktif, kebahagian dan suara hati.

1. Cinta yang produktif


Cinta yang Produktif adalah suatu hubungan manusia yang bebas dan sederajat dimana
rekan-rekan dapat mempertahankan individualitas mereka. Tercapainya cinta yang
produktif merupakan salah satu dalam prestasi-prestasi kehidupan yang lebih sulit. Kita
tidak “jatuh” dalam cinta; kita harus berusaha sekuat tenaga karena cinta yang produktif
menyangkut empat sifat yang menantang – perhatian, tanggung jawab, respek, dan
pengetahuan.

2. Pikiran yang produktif


Pikiran yang Produktif meliputi kecerdasan, pertimbangan, dan objektivitas. Pemikir
yang produktif didorong oleh perhatian yang kuat terhadap objek pikiran. Pemikir yang
produktif dipengaruhi olehnya dan memperhatikannya.

3. Kebahagiaan
Kebahagiaan adalah suatu bagian integral dan hasil kehidupan yang berkenaan dengan
orientasi produktif; kebahagian itu menyertai seluruh kegiatan produktif. Fromm
menuliskan bahwa suatu perasaan kebahagian merupakan bukti bagaimana berhasilnya
seseorang “dalam seni kehidupan”. Kebahagian merupakan prestasi kehidupan yang
paling luhur.

4. Suara hati
Suara hati memiliki dua tipe, yakni suara hati otoriter dan suara hati humanistis.

 Suara hati otoriter adalah penguasa yang berasal dari luar yang di internalisasikan,
yang memimpin tingkah laku orang itu.
 suara hati humanistis ialah suara dari dalam diri dan bukan juga dari suatu perantara
dari luar diri.

Menurut Fromm, orang yang berkepribadian sehat memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
 Mampu mengembangkan hidupnya sebagai makhluk sosial di dalam masyarakat.
 Mampu mencintai dan dicintai.
 Mampu mempercayai dan dipercayai tanpa memanipulasi kepercayaan itu,
 Mampu hidup bersolidaritas dengan orang lain tanpa syarat.
 Mampu menjaga jarak antar dirinya dengan masyarakat tanpa merusaknya.
 Memiliki watak sosial yang produktif.

VI. GANGGUAN KEPRIBADIAN

Menurut Erich Fromm, tokoh psikoanalisis humanistik (1900-1980), menyatakan bahwa


orang yang mengalami gangguan psikologis tidak mampu mencintai dan telah gagal menegakkan
persatuan dengan orang lain.
Perkembangan jiwa yang sehat dicapai dengan memenuhi kebutuhan eksistensial secara
positif, yaitu mengembangkan cinta, kreativitas, keutuhan, individualitas, dan tujuan hidup yang
rasional. Dalam masyarakat kita, berapa banyak kita menemukan hal sebaliknya?

Berikut ini jenis-jenis gangguan kepribadian yang lebih khusus menurut Fromm, yaitu
necrophilia (nekrofilia), malignant narcissism, incestuous symbiosis (IS). Kita perlu menyadari
bentuk gangguan kepribadian ini, terutama yang berpengaruh besar di masyarakat. Kita juga perlu
menyadari kemungkinan kita memiliki andil membentuk kepribadian tidak sehat ini dalam
lingkungan kita.

a. Nekrofilia
Istilah ini berarti kecintaan pada kematian. Biasanya menunjuk pada perbuatan seksual
yang tidak lumrah, di mana seseorang membutuhkan kontak seksual dengan mayat. Namun,
Fromm mengunakan istilah nekrofilia untuk hal yang lebih luas, menyangkut ketertarikan
pada kematian. Ini merupakan kebalikan dari biofilia. Secara alami orang mencintai
kehidupan, tetapi bila kondisi sosial menghalangi perkembangan biofilia, orang mungkin
mengadopsi nekrofilia.

Kepribadian nekrofili membenci kemanusiaan. Mereka rasis, diskriminatif, penghasut


perang, senang menggertak orang yang lemah. Mereka menyukai darah, kerusakan, teror,
dan penyiksaan. Mereka suka merusak kehidupan, menganjurkan hukum dan aturan secara
keras, menyenangi malam daripada siang, dan senang beroperasi dalam kegelapan.

Pribadi nekrofilia tidak memilih untuk bersikap destruktif, karena lebih tepatnya, perilaku
destruktif mereka justru cerminan dari karakter dasar mereka itu sendiri. Semua orang dapat
bersikap agresif dan destruktif pada waktu-waktu tertentu namun, di sepanjang hidupnya,
pribadi nekrofili memberontak di sekitar kematian, destruksi, penyakit, dan kemerosotan.

Orang nekrofili berperilaku destruktif sebagai refleksi dari karakter dasar mereka. Tidak
sama dengan orang yang hanya sesekali berbuat agresif.

Dalam konteks situasi sekarang, kepribadian nekrofilia dapat ditemukan pada orang yang
senang menciptakan kerusuhan massal (ingat konflik Ambon, Poso, dsb), pembantaian atau
pembunuhan massal (ingat peristiwa G30S PKI, Mei 1998, peristiwa orang hilang, dsb),
teroris, dan juga pembunuh berantai. Pelakunya melakukan dengan model gerakan bawah
tanah. Dalam kehidupan sehari-hari mereka tampil sebagai pribadi yang baik dan bermoral.

b. Narsisme Berat
Orang berkepribadian sehat kadang menunjukkan bentuk narsisme lunak, yakni
ketertarikan terhadap tubuhnya sendiri. Dalam bentuk yang berbahaya, narsisme
menghalangi persepsi yang objektif terhadap realitas, sehingga segala sesuatu yang dimiliki
menjadi sangat berharga, sebaliknya yang dimiliki orang lain kurang berharga.

Individu yang narsis asyik dengan dirinya sendiri, bukan hanya terbatas mengagumi
dirinya di depan kaca. Keasyikan dengan tubuh sendiri sering mengakibatkan hipokondriasis
(merasa sakit meski secara medis tidak ada gangguan fisik), atau memberi perhatian yang
obsesif terhadap kesehatan sendiri. Fromm juga menyebutkan adanya hipokondriasis moral
atau suatu keasyikan terhadap kesalahan akibat pelanggaran pada masa lalu. Orang yang
terfiksasi, pada dirinya sangat mungkin menginternalisasi pengalaman (mengidentifikasi
siapa dirinya berdasar yang dialami) dan memikirkan kesehatan fisik dan kebajikan moral
secara obsesif.

Orang narsis mencapai rasa aman dengan mengembangkan keyakinan menyimpang,


bahwa kualitas pribadi luar biasa melebihi orang lain. Karena apayang dimilikinya dirasa
sedemikian luar biasa, mereka yakin bahwa dirinya tidak perlu melakukan apa-apa untuk
menjamin nilai-nilai pribadinya. Rasa harga diri tergantung pada imajinasi dirinya yang
narsistik, tidak berdasarkan prestasi. Bila usahanya dikritisi oleh orang lain; mereka marah,
dan mungkin mengamuk. Bila kritik itu bertubi-tubi, mungkin mereka tidak mampu
melawan, lalu berbalik marah pada dirinya sendiri. Hasilnya depresi, merasa dirinya tidak
berharga.

Pribadi narsistik memiliki apa yang disebut Horney “klaim-klaimneurotik”. Mereka


mencapai rasa aman dengan memegang erat-erat keyakinan yang terdistorsi bahwa kualitas
personal mereka yang luar biasa sudah memberi mereka superioritas di atas siapa pun.
Karena apa yang mereka miliki termasuk penampilan, kesehatan fisik, kekayaan, begitu
menakjubkan sehingga mereka percaya tidak perlu melakukan apapun untuk membuktikan
nilai mereka. Rasa keberhargaan mereka bergantung pada gambar diri mereka yang narsistik
dan bukannya kepada pencapaian-pencapaian mereka yang sebenarnya. Ketika upaya-upaya
mereka dikritik orang lain mereka akan bereaksi dengan penuh kemarahan dan kekerasan,
seringkali balik membalasa pengkritiknya dan berusaha menghancurkan mereka. Jika kritik
terlalu menohok sehingga mereka tidak sanggup menerimanya maka mereka menyimpan
kemarahan itu di dalam dirinya. Hasilnya adalah depresi perasaan tak berharga. Meskipun
depresi rasa bersalah yang besar dan hipokonriasis bias tampak sebagai apapun kecuali
pengagungan diri, Fromm percaya bahwa masing-masing hal ini dapat mengarah kepada
sindrom narsisme yang lebih dalam.

Individu narsistik juga mudah ditemukan di tengah masyarakat kita. Mereka adalah
orang-orang yang berhenti berkembang (mengalami fiksasi) karena asyik memperhatikan
diri sendiri dan merasa dirinya luar biasa. Mereka tidak tahan dikritik, sebaliknya senang
menunjuk kekurangan orang lain, tampaknya untuk meyakinkan bahwa dirinya tetap yang
terbaik.

Mereka tergantung pada orang-orang tertentu, yang diharapkan dapat mendukung konsep
dirinya dengan selalu mengamini apa saja yang dikatakan dan dilakukan. Mereka sangat
marah bila orang-orang terdekat ini ternyata mengkritisi dirinya.

Mereka memosisikan diri sebagai orang yang berintegritas, tetapi kenyataannya tidak
mampu melakukan suatu usaha jangka panjang karena tidak tahan bekerja sama dengan
orang lain yang berbeda pendapat dengan dirinya, atau menurut anggapan tidak memiliki
moral setingkat dirinya.

c. Incest Symbiosis
Ini merupakan orientasi patologis dengan ciri utama ketergantungan yang sangat tinggi
pada ibu atau pengganti ibu. Incestuous symbiosis (IS) merupakan bentuk luar biasa dari
fiksasi terhadap ibu (orang yang tetap bergantung pada ibu). Fiksasi pada ibu dalam bentuk
yang lebih umum, sebagai contoh adalah pria yang membutuhkan wanita untuk merawat-
menyukai dan memuja dirinya; mengalami kecemasan serta depresi bila kebutuhannya tidak
terpenuhi.
Pada penderita IS, kepribadiannya bercampur pribadi lain, dan kehilangan identitas
dirinya secara individual. Hal ini bermula di masa bayi sebagai kelekatan alami terhadap ibu
yang mengasuh. Kelekatan ini berkembang sedemikian rupa.

Mereka merasakan kecemasan dan ketakutan yang ekstrem bila hubungan itu terancam.
Mereka yakin tidak sanggup hidup tanpa pengganti ibu. Dalam hal ini yang berperan sebagai
pengganti ibu tidak perlu seseorang, melainkan berupa keluarga, perusahaan, agama, negara.
Orang IS mendistorsi alasan kekuasaan atau kapasitasnya untuk mencintai secara otentik,
menghalanginya mencapai kemandirian dan integritas.

Dalam sejarah, Hitler sebagai penguasa Jerman menggunakan kekuasaannya untuk


pembunuhan besar-besaran terhadap orang Yahudi. Ini merupakan wujud kelekatan pada ras
Jerman sebagai pengganti ibu. Ia melakukan kekejaman itu atas nama kecintaannya pada ras
Jerman.

Dalam masyarakat kita, IS ditemukan pada orang yang memiliki fanatisme membabibuta,
yang paling menonjol adalah terhadap agama. Atas nama kecintaan pada agama, mereka
menginginkan kekuasaan dan menyerang kelompok lain yang berbeda pandangan.

Beberpa individu patologis memiliki ketiga gangguan kepribadian ini yaitu mereka
tertarik kepada hal-hal yang mati atau nekrofilia, memperoleh kesenangan dari
menghancurkan orang-orang yang dianggap sebagai inferior (narsisme sadistic), dan
memilki hubungan simbiotik, neoritik dengan ibu atau figure pengganti ibu mereka
(simbiosis insestik). Pribadi yang seperti ini membentuk apa yang disebut Fromm Sindrom
kemerosotan (Syndrom of decay). Dia mengontraskan pribadi patologis ini dengan mereka
yang ditandai dengan sindrom pertumbuhan atau syndrome of growth yang disusun oleh
kualitas-kualitas yang berlawanan yaitu biofilia, cinta, dan kebebasan positif.

VII. PSIKOTERAPI

Psikoterapi adalah suatu metode penyembuhan yang berusaha untuk menelaah secara detail
penyebab utama munculnya suatu penyakit yang sangat terkait dengan bagaimanakah kondisi
psikis seseorang penderita penyakit tersebut. Psikoterapi merupakan sebuah teknik yang intensif
dan berdurasi panjang (baca: lama), dimana tujuannya hendak mengungkap motif-motif dan
konflik alam bawah sadar pada individu yang neurotik dan mengalami kecemasan (individu yang
memiliki gangguan, bukan pada individu “normal”). Freud melihat bahwa suatu gangguan
disebabkan oleh konflik antara id dan superego, serta kurangnya integrasi ego dalam diri individu.
Akibatnya, individu pun melakukan represi, yang turut pula memicu suatu mekanisme pertahanan
diri.

Fromm mengembangkan sistem terapi sendiri yang dinamakannya: Psikoanalisis


Humanistik. Dibanding Psikoanalisa Freud. Fromm lebih memperdulikan dengan aspek
interpersonal dari hubungan teraputik. Menurutnya tujuan klien dalam terapi adalah untuk
memahami diri sendiri. Tanpa pengetahuan tentang diri sendiri, orang tidak akan tahu orang lain.
Fromm yakin bahwa klien mengikuti terapi untuk mencari kepuasan dari kebutuhan dasar
kemanusiaannya, yakni keterhubungan, keberasalan, transendensi, perasaan identitas, dan
kerangka orientasi. Karena itu terapi harus dibangun melalui hubungan pribadi antara terapis
dengan kliennya.

Fromm (1963) yakin bahwa terapis mestinya tidak terlalu bersikap ilmiah dalam
memahami pasiennya. Hanya dengan sikap keterhubungan barulah orang lain dapat sungguh-
sungguh dipahami. Terapis mestinya tidak melihat pasien sebagai sebuah penyakit atau sesuatu
selain sebagai sebuah pribadi dengan kebutuhan manusiawi yang sama seperti yang dimiliki semua
orang lain termasuk dirinya.
DAFTAR PUSTAKA

Fadilah, A., & Sari, D. P. (2014). Humanistic Psychoanalysis. 1-27.

Feist, J., & Feist, G. J. (2010). Teori Kepribadian. Jakarta: Salemba Humanika.

Schultz, D. Psikologi Pertumbuhan. Yogyakarta: KANISUS, 1991

Suryabarata, Sumadi.2007.Psikologi Kepribadian.Jakarta: Raja Grafindo

Sutikna, N. (2008). Ideologi Manusia Menurut Erich Fromm (Perpaduan Psikoanalisis Sigmun
Freud Dan Kritik Sosial Karl Marx). Jurnal Filsafat, 205-222.

Anda mungkin juga menyukai