Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

TEORI KEPRIBADIAN
“TEORI PSIKOANALISIS HUMANISTIS, TEORI
INTERPERSONAL, TEORI PASCA-ALIRAN FREUD”

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 4
Triana Malenita Dewi 2130901232
Muhamad Akbar 2130901244
Jimi Mardiansyah 2130901245
Belly Lestari 2130901252

DOSEN PENGAMPU:
Rizka Kurniawati, S.Psi, M.Si

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI ISLAM


FAKULTAS PSIKOLOGI
UIN RADEN FATAH PALEMBANG
2022
PENDAHULUAN

Dalam mengenali seseorang, tentunya kita melihat tingkah laku yang biasa
dia lakukan. Ketika tingkah laku tersebut sudah menjadi kebiasaan, maka kita
akan mengetahui bagaimana kepribadian orang tersebut. Berbagai macam teori
kepribadian dapat kita temukan di berbagai sumber. Teori-teori ini timbul karena
banyaknya pendapat dari para ahli psikologi zaman dulu mengenai tingkah laku
yang timbul pada saat itu. Teori-teori ini pula masih berlaku untuk zaman kita
sekarang.
Seiring berjalannya waktu, terdapat teori yang digagas oleh Erich Fromm
mengenai teori Psikoanalisis Humanistis. Teori ini lebih membahas tentang
perngaruh kecintaan individu terhadap tingkah laku yang ditimbulkannya. Adapun
teori selanjutnya adalah teori yang disampaikan oleh Harry Stack Sullivan
mengenai teori Interpersonal. Teori ini membahas tentang hubungan manusia
yang satu dengan manusia yang lainnya. Kemudian ada pula teori yang digagas
oleh Erik Erikson mengenai ego dan kreativitas. Teori ini merupakan lanjutan atau
perkembangan dari teori Freud. Tentunya masih terdapat banyak teori tentang
kepribadian individu ini, namun pada kesempatan kali ini kami hanya akan
membahas tiga teori tersebut saja. Bagaimana pandangan ketiga tokoh tersebut
tentang kepribadian individu? Apa saja gangguan yang dapat terjadi pada
individu? Bagaimana tahapan perkembangan menurut tiga tokoh tersebut?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan kami bahas pada bagian pembahasan
di makalah ini. Kami membahas teori ini dikarenakan untuk memenuhi tugas
kelompok dari mata kuliah Teori Kepribadian. Semoga penjelasan dari kelompok
kami dapat dengan mudah dipahami oleh para pembaca.
PEMBAHASAN

A. Teori Psikoanalisis Humanistis

Erich Fromm merupakan seorang yang cenderung pengikut Karl


Marx, tetapi dia lebih senang disebut sebagai humanis dialektik atau dapat juga
disebut psikososialisme Fromm. Hal ini dikarenakan Fromm membandingkan ide-
ide Freud dengan Marx, dan hasilnya Fromm memandang Karl Marx sebagai
pemikir lebih ulung daripada Freud. Erich Fromm lahir di Frankfurt, Jerman pada
tahun 1900. Karya-karya tulis Fromm dipengaruhi oleh pengetahuannya yang luas
tentang sejarah, kesusastraan, sosiologi dan filsafat (Fudyartanta, 2012).
Dalam tulisan-tulisannya Fromm mengambil tema pokok, bahwa
manusia merasa kesunyian, terisolasi, karena manusia dipisahkan oleh alam dan
orang-orang lain. Fromm mengajukan tesis yang ditulisnya dalam buku Escape
from Freedom (1941), bahwa karena manusia menjadi semakin bebas dari abad
ke abad, maka mereka juga semakin merasa kesepian. Jadi, kebebasan menjadi
keadaan yang negatif dari manusia melarikan diri. Fromm mengatakan bahwa
seseorang dapat bersatu dengan orang lain dalam semangat cinta dan kerja sama
atau dapat menemukan rasa aman dengan tunduk kepada penguasa dan
menyesuaikan diri dengan masyarakat. Bahwa dengan semangat cinta, manusia
dapat memakai kebebasannya untuk mengembangkan suatu masyarakat yang
lebih baik. Tetapi dengan kerja sama, manusia mendapat perbudakan baru
(Fudyartanta, 2012).

1) Orientasi Karakter

Sebagai manusia, orang mempunyai kesadaran diri, pikiran dan daya


khayal. Manusia mempunyai pengalaman yang khas, misalnya lemah
lembut, cinta, perasaan iba, sikap-sikap perhatian, tanggung jawab, identitas,
integrasi, dapat tersinggung, transendensi, dan kebebasan; nilai-nilai serta
norma. Orang mempunyai dua aspek, yaitu aspek hewan dan aspek manusia.
Kedua aspek ini merupakan kondisi dasar eksistensi manusia. Fromm
menyatakan bahwa pemahaman tentang psike manusia harus berdasarkan
analisis tentang kebutuhan-kebutuhan manusia yang berasal dari kondisi-
kondisi eksistensinya. Adapun kebutuhan spesifik manusia yang dimaksud
adalah sebagai berikut (Fudyartanta, 2012):
1) Kebutuhan akan keterhubungan (hubungan-hubungan dengan pihak
lain); Fromm menyebut kebutuhan ini sebagai frame of devotion,
berasal dari fakta, bahwa manusia dalam menjadi manusiawi telah
direnggut, dipisahkan dari kesatuan primer hewan dengan alam.
Manusia dengan kemampuan berpikir dan berkhayalnya, telah
kehilangan interdependensi intim dengan alam. Manusia harus
menciptakan hubungan-hubungan sendiri, yang paling memberi
kepuasan adalah hubungan-hubungan yang berdasarkan cinta
produktif. Hubungan-hubungan cinta produktif sebagai gantinya
ikatan-ikatan instingtif yang dimiliki oleh hewan. Dalam cinta
produktif selalu mengandung perhatian, tanggung jawab, respek, dan
pemahaman timbal balik (saling pengertian).
2) Kebutuhan akan transendensi; menyadari tentang ketuhanan sehingga
manusia itu menjadi orang yang kreatif dan bukan hanya menjadi
makhluk belaka. Jika dorongan kreatif itu terhambat, maka manusia
menjadi perusak, destruktor alam.
3) Kebutuhan akan keterberakaran (mempunyai dasar keterkaitan);
artinya manusia ingin menjadi bagian integral dunia ini, merasakan
bahwa memilikinya.
4) Kebutuhan akan identitas; artinya menjadi seorang individu yang
unik.
5) Kebutuhan akan kerangka orientasi; yakni suatu cara yang stabil dan
konsisten dalam memandang dan memahami dunia ini. Mungkin
berupa peraturan-peraturan yang rasional atau irasional, atau mungkin
mempunyai unsur-unsur dari rasional dan irasional.
Kebutuhan-kebutuhan itu tidak diciptakan oleh masyarakat, tetapi
telah ditanamkan dalam kodrat manusia melalui evolusi. Penyesuaian diri
seseorang dalam masyarakat biasanya merupakan kompromi antara
kebutuhan-kebutuhan batin dan tuntutan-tuntutan dari luar. Ia
mengembangkan karakter atau watak sosial dengan memenuhi harapan-
harapan masyarakat. Maka timbullah problema karakter atau watak sosial
manusia. Fromm mengemukakan lima macam karakter sosial manusia
sebagai berikut:
1) Orang berkarakter reseptif (menerima)
Orang yang memiliki sifat yang mengharapkan untuk mendapat apa
saja yang mereka inginkan yaitu dicintai, pengetahuan atau
kesenangan. Orang seperti ini sangat tergantung pada orang lain dan
merasa tidak berdaya ketika ditinggal sendiri. Mereka merasa tak
mampu melakukan hal–hal yang kecil tanpa adanya bantuan dari luar
dirinya. Adanya suatu kesamaan antara sifat penerima ini dengan tipe
kepribadian mengalah (compliant) yang digagaskan oleh Horney,
orang yang digambarkan seperti yang selalu bergerak menuju ke
orang lain. Masyarakat yang membantu tipe karakter penerima ini
adalah masyarakat yang mempraktekkan eksploitasi (pemanfaatan)
kepada kelompok lainnya.
2) Orang berkarakter eksploitatif
Dalam penyesuaian pemanfaatan, seseorang juga diarahkan kepada
orang lain untuk hal–hal yang diinginkan. Oleh sebab itu, daripada
mengharapkan orang lain, orang–orang tipe ini lebih cenderung untuk
mengambil baik dengan cara pemaksaan maupun dengan cara
kecerdikan. Kalau sesuatu diberikan kepada mereka, mereka
memandangnya seperti tidak berharga. Bagi orang yang
berkepribadian seperti ini, apa yang dicuri atau yang pantas memiliki
nilai yang lebih besar dibanding dengan sesuatu yang diberikan secara
cuma–cuma. Tipe eksploitatif ini sama dengan yang digagaskan oleh
Freud dan tipe yang digagaskan oleh Horney.
3) Orang berkarakter penimbunan
Seseorang mengarahkan keamanan dari apa yang ia dapat selamatkan
atau dapat ia timbun (simpan). Perilaku yang kikir ini berlaku tidak
hanya untuk uang dan barang–barang material, tetapi juga emosi dan
juga pemikiran. Orang–orang seperti ini membangun dinding di
sekelilingnya dan duduk dikelilingi oleh semua yang telah ia
kumpulkan, menjaganya dari gangguan–gangguan dari luar dan
membiarkan sesedikit mungkin yang keluar. Suatu kesamaan muncul
disini dengan kepribadian penyimpangan anal yang digagaskan oleh
Freud dan tipe terpisah (menghindar dari orang) yang digagaskan oleh
Horney. Fromm menyarankan bahwa penyesuaian penimbunan atau
penyimpanan ini biasa terjadi pada abad ke–18 dan ke-19 di negara–
negara yang mempunyai stabilitas ekonomi kelas menengah yang
dilambangkan oleh tata susila Protestan untuk praktek-praktek,
konservatisme dan bisnis sederhana.
4) Orang berkarakter pemasaran
Fromm mengatakan orientasi ini hanya berkembang pada masyarakat
industri. Dalam masyarakat yang demikian, orang belajar untuk
memperlakukan diri mereka sendiri dan orang lain seperti komoditi
atau barang dengan suatu nilai tukar tertentu dalam satu interaksi
paralel dalam ekonomi yang semu.
Akhirnya orang dengan orientasi pasar hanya memiliki sedikit
ketertarikan dengan kesejahteraan orang lain. Orang lain diperlakukan
sebagai objek untuk dimanfaatkan untuk mencapai tujuan
mereka. Sebagai konsekuensinya, hubungan pasar secara umum
dicirikan dengan keseragaman.
5) Orang berkarakter produktif
Tipe kepribadian yang merupakan orientasi yang ideal dan merupakan
tujuan utama dari setiap individu. Tipe ini juga mengutamakan
kehidupan mencintai dan ingin membentuk atau mempengaruhi orang
lain dengan cinta. Meliputi kemampuan mental emosional dan respons
kepada orang lain, kepada diri sendiri dan kepada benda–benda dan
kemampuan ini digunakan untuk mengetahui potensi yang dimiliki,
sehingga dapat mengembangkannya. Orang tipe ini hanya dapat
menggunakan kekuatan atau kekuasaan jika mereka bebas dan
independen dari kontrol orang lain. Berikut ini aspek-aspek
kepribadian yang sehat dengan orientasi produktif menurut Fromm,
yaitu:
a. Cinta yang produktif; merupakan suatu hubungan manusia yang
bebas dan sederajat dimana partner-partner dapat
mempertahankan individualitas mereka. Cinta yang produktif
menyangkut empat sifat yaitu: perhatian, tanggung jawab, respek
dan pengetahuan.
b. Pikiran yang produktif; meliputi kecerdasan, pertimbangan dan
objektifitas.
c. Kebahagiaan; merupakan suatu bagian integral dan hasil
kehidupan yang berkenaan dengan orientasi produktif.
d. Suara Hati; Fromm membedakan suara hati menjadi 2 bagian
yaitu: Suara hati otoriter adalah nilai penguasa dari luar yang
diinternalisasikan yang memimpin tingkah laku orang tersebut;
Suara hati humanist adalah suara hati dari diri sendiri, bukan dari
suatu perantara dari luar.
Masing-masing tipe karakter orang tersebut menggambarkan cara-cara
yang berlainan dengan individu-individu dapat berhubungan dengan dunia
ini dan dengan satu sama lainnya. Hanya tipe produktif yang dianggap
sebagai sesuatu yang sehat dan merupakan perwujudan dari apa yang
disebut oleh Karl Marx sebagai “free conscious activity” - aktivitas
kesadaran merdeka, kegiatan sadar merdeka. Pada umumnya, setiap orang
merupakan campuran dari kelima tipe atau orientasi terhadap dunia ini,
walaupun satu atau dua orientasi lebih dominan daripada yang lainnya.
Seseorang mungkin bertipe reseptif-penimbun, atau penimbun-produktif,
ataupun tipe penimbun-tidak produktif. Misalnya, seseorang senang
membeli tanah dan dipakai untuk usaha produksi, maka ia bertipe
penimbun-produktif. Ada orang yang mempunyai rumah mewah dimana-
mana, tetapi tidak diproduksikan, hanya untuk koleksi atau bahan untuk
menyombongkan diri saja, maka orang ini bertipe penimbun-tidak produktif
(Fudyartanta, 2012).
Tahun 1964, Fromm menggambarkan tipe pasangan karakter keenam
yang disebutnya nekrofilus, yakni orang yang tertarik kepada kematian,
yang dipasangkan dengan biofilus, yakni orang senang atau mencintai
kepada kehidupan. Tipe nekrofilus-biofilus ini tidak sama dengan konsep
Freud dengan insting hidup dan mati. Bedanya adalah bahwa insting hidup
dan mati pada Freud inheren dalam biologi manusia, sedangkan konsep
Fromm, hidup adalah satu-satunya potensialitas primer, dan kematian hanya
sekunder, dan hanya muncul jika daya-daya hidup gagal atau dikecewakan
(Fudyartanta, 2012)

2) Gangguan Kepribadian

Jika kebutuhan spesifik manusia tidak terpenuhi, maka seseorang akan


mengalami gangguan kepribadian diantaranya gangguan-necrophilia,
narsisme ganas, dan simbiosis incest (Andrianto, 2018).
1) Nekrofilia; Istilah “necrophilia” berarti cinta akan kematian dan
biasanya mengacu pada penyimpangan seksual di mana seseorang
menginginkan kontak seksual dengan mayat. Namun, Fromm
menjelaskan necrophilia dalam arti yang lebih umum untuk
menunjukkan daya tarik apapun untuk kematian. Necrophilia adalah
orientasi karakter alternatif untuk Biophilia. Secara alami, manusia
mencintai kehidupan, tetapi ketika kondisi sosial aksi menghambat
Biophilia, mereka dapat mengadopsi orientasi necrophilic.
Kepribadian Necrophilic membenci umat manusia; mereka adalah
rasis, penghasut perang, dan pengganggu; mereka mencintai
pertumpahan darah, kehancuran, teror, dan penyiksaan; dan mereka
senang dalam hidup untuk menghancurkan kehidupan. Mereka adalah
pendukung kuat dari hukum dan ketertiban; senang berbicara tentang
penyakit, kematian, dan pengerusakan. Gaya hidup orang
necrophilous berkisar kematian, kehancuran, dan teror.
2) Narsisme; Yaitu mementingkan kepentingan di dalam tubuh mereka
sendiri. Sesuatu milik orang narsis sangat dihargai dan semuanya
milik lain mendevaluasi. Individu narsis sangat sibuk dengan dirinya
sendiri dan mengabaikan kepentingan dan kebutuhan orang lain.
Orang narsis memiliki anggapan bahwa mereka memiliki keunggulan
atas orang lain. keunggulan yang mereka miliki baik penampilan,
fisik, kekayaan yang begitu indah, bergantung pada citra diri mereka
dan bukan pada prestasi mereka. Ketika keunggulan mereka dikritik
oleh orang lain, mereka bereaksi dengan marah dan tidak segan untuk
berbuat anarkis. Namun jika mereka tidak mampu meluapkannya
mereka menjadi depresi dan merasa tidak berharga.
Simbiosis inses; Orientasi patologis ketiga adalah simbiosis incest,
atau ketergantungan ekstrim pada ibu. Simbiosis incest adalah bentuk
berlebihan terhadap peran ibu yang dianggap lebih baik dan segala-
galanya. Pria dengan ketergantungan terhadap ibu membutuhkan
seorang wanita untuk merawat mereka, menyayangi mereka, dan
mengagumi mereka; mereka merasa agak cemas dan tertekan ketika
kebutuhan mereka tidak terpenuhi. Simbiosis incest berasal dari masa
bayi sebagai keterkaitan alami dengan keibuan. Masyarakat yang
tinggal dalam hubungan simbiosis incest merasa sangat cemas dan
takut jika hubungan itu terancam. Mereka percaya bahwa mereka
tidak dapat hidup tanpa pengganti ibu mereka.

B. Teori Interpersonal

Teori ini digagas oleh Harry Stack Sullivan. Sullivan lahir pada
tanggal 2 Februari 1892 di Norwich, New York. Sullivan dipandang sebagai
negarawan ilmuwan dan juru bicara ulung bidang psikiatri, pemimpin sekolah
parapsikiater, ahli terapi yang luar biasa, teoretikus yang berani, dan dokter yang
produktif.
Sebagai salah satu tokoh Neo-Freudianisme, Sullivan menciptakan
pandangan baru tentang kepribadian dengan nama interpersonal theory of
psychiatry. Ia berpendapat, bahwa kepribadian adalah pola yang relatif menetap
dari situasi-situasi antarpribadi yang berulang yang menjadi ciri kehidupan
manusia. Kepribadian merupakan entitas hipotetis yang tidak dapat dipisahkan
dari situasi-situasi antarpribadi, dan tingkah laku antarpribadi merupakan satu-
satunya segi yang dapat diamati sebagai kepribadian. Seterusnya Sullivan
berpendapat, bahwa tidak ada gunanya membahas individu sebagai objek riset,
sebab individu tidak dapat dipisahkan dengan orang lain. Sullivan tetap mengakui
adanya unsur-unsur keturunan (hereditas) pada manusia, tetapi adanya kekhasan
tingkah laku individu tetaplah sebagi hasil interaksi-interaksi sosial (Fudyartanta,
2012).
Di dalam buku Harry Stack Sullivan yang berjudul The Interpersonal
Theory of Psychiatry (1953), dijelaskan beberapa hal mengenai tingkah laku
manusia, yaitu sebagai berikut:

1. Ketegangan

1) Ketegangan adalah potensi untuk bertingkah laku yang disadari atau tidak
disadari, 3 sumber tegangan yaitu :
a. Ketegangan yang timbul akibat ketidak seimbangan biologis dalam diri
individu.
b. Kebutuhan yang berasal dari hubungan interpersonal palaing dasar yaitu
kelembutan.
c. Kebutuhan umum dan khusus.
2) Kecemasan
a. Kecemasan ditransfer memalui orang tua bayi melalui proses empati.
b. Kecemasan juga memiliki efek buruk pada proses perkembangan
hubungan interpersonal orang dewasa.
c. Kecemasan juga menghasilkan perilaku:
 Mencegah seseorang untuk belajar dari kesalahan sendiri.
 Membuat seseorang tetap mengejar keinginan demi rasa aman.
 Kecemasan menghambat kepuasan kebutuhan sedangkan rasa takut
bisa memenuhi kebutuhan.
3) Transformasi Energi
a. Tegangan yang ditransformasikan menjadi tingkah laku. Tingkah laku
yang terbuka maupun tertutup, disebut transformasi energi.
b. Tegangan yang ditransformasikan itu meliputi gerakan yang kasatmata
dan kegiatan mental.

2. Dinamisme

Terdiri dari :
1) Malevolence
Melevolance merupakan dinamisme disjungtif tentang kejahatan dan
kebencian. Melevolance berawal pada umur 2 atau 3 tahun Ketika Tindakan
anak yang pada awalnya membawa kelembutan ibu dihilangkan sehingga
menimbulkan kecemasan.
2) Intimacy
Intimacy tumbuh dari kebutuhan untuk tenderness tapi lebih spesifik dan
melibatkan hubungan interpersonal yang dekat. Intimacy bukan hanya
perihal seksual saja, bahkan intimacy berkembang sebelum pubertas, secara
ideal pada masa preadolescence, intimacy biasanya ada antara dua anak,
yang masing-masing saling memandang satu sama lain dengan nilai yang
sama.
3) Lust
Di pihak lain, lust (nafsu) adalah tendensi mengisolasi, tidak membutuhkan
orang lain untuk memuaskan. Lust memanifestasikan diri sebagai perilaku
autoerotic bahkan Ketika orang lain menjadi objek lust seseorang. Lust
adalah dinamisme yang kuat pada masa adolescence (remaja), pada masa
itu, lust sering mengarah pada pengurangan rasa percaya diri.
4) Self-system
Dorongan atau energi yang membuat seseorang terus maju dan bergerak dan
memenuhi kebutuhan, Ketika seseorang melakukan tingkah laku untuk
memenuhi needs tertentu maka ini disebut transformasi energi.
Dinamis terdapat 2 kategori :
a. Berhubungan dengan tubuh
b. Berhubungan dengan ketegangan

3. Personifikasi

1) Bad-Mother, Good-Mother
a. Selama masa pertengahan seorang anak memperoleh tiga personifikasi
yaitu bad-me, good-me, dan not-me.
b. Bad-me, dipengaruhi oleh pengalaman hukuman dan ketidaksetujuan
yang diterima bayi dari ibu mereka Bad-me dibentuk dari situasi
interpersonal.
c. Personifikasi good-me, dihasilkan dari pengalaman bayi dengan hadiah
dan persetujuan. Bayi meresa nyaman dengan diri mereka sendiri
Ketika mereka merasakan ekspresi kelembutan ibu mereka, mengurangi
kecemasan dan menumbuhkan identitas.
2) Me Personality
a. Selama masa pertengahan seorang anak memperoleh tiga personifikasi
yaitu bad-me, good-me, not-me.
b. Bad-me, dipengaruhi oleh pengalaman hukuman dan ketidaksetujuan
yang diterima bayi dari ibu mereka Bd-me dibentuk drai situasi
interpersonal.
c. Personifikasi Good-me, dihasilkan dari pengalaman bayi dengan hadiah
dan persetujuan. Bayi merasa nyaman dengan diri mereka sendiri
Ketika mereka merasakan ekspresi kelembutan ibu mereka, mengurangi
kecemasan dan menumbuhkan identitas.
d. Kecemasan berat, menyebabkan seorang bayi membentuk personifikasi
yang not-me dan secara selektif mengabaikan pengalaman yang terkait
dengan kecemasan itu
e. Personifikasi Not-me, ditemui oleh orang dewasa dan diekspresikan
dalam mimpi. Sullivan percaya bahwa pengalaman mimpi buruk ini
selalu didahului dengan peringatan.

4. Tingkat Kognisi

1) Prototaxic Level
a. Prototaxic Level, pengalaman paling awal dari seorang bayi, terjadi
pada tingkat prototaxic, pengalaman tidak dapat dikomunikasikan
b. Pada orang dewasa, berupa sensasi, perasaan, suasana hati, dan kesan
yang melintas sesaat, contoh : jatuh cinta.
2) Parataxic Level
a. Parataxic Level, pemahaman hubungan sebab- akibat yang tidak logis,
adanya dua kejadian yang muncul secara tidak sengaja.
Contoh: Seorang anak kecil yang berkali-kali mendapat permen setiap
mengatakan tolong akan percaya bahwa ada hubungan antara tolong
dan permen.
3) Syntaxic Level
a. Syntaxic Level, pengalaman yang divalidasi berdasarkan kesepakatan
dan dapat dikomunukasikan secara simbolis. Contoh : Kata- kata
b. Sullivian hipnotis, orang tua dan anak dapat berkomunikasi pada
tingkat syntaxic jika keduanya telat menyepakati kata-kata dan ekspresi
yang sama.
c. Semua orang yang telah mencapai tingkat kognisi syntaxic tidak
kehilangan tingkat prototaxic maupun parataxic. Pada orang dewasa
ketiganya berfungsi.
5. Tahapan Perkembangan

1) Infancy
a. 0-2 tahun
b. Akan bertahan hidup dipenuhi jika kebetulan makan dan kelembutan
dari ibu
c. Orientasi bayi pada cara ibu menyusi dan zona mulut
d. Perlindungan bawaan pada bayi (apathy) rasa tidak peduli dan
somnolent detachment (pertahanan dengan tidur)
e. Autistic language yaitu Bahasa bayi yang tidak bisa atau sedikit
dipahami oleh orang lain.
2) Childhood
a. 2-5/6 tahun
b. Menggabungkan me-personification menjadi self-dynamism
c. Meniru dan menilai perilaku orang tua
d. Personifikasi ganda tentang ibu bergabung menjadi 1
e. Emosi anak timbal balik
f. Eidetic friend membantu menjalin relasi pertemanan di real life
g. belajar dramatis dan kesibukan
h. belajar tentang norma dimasyarakat
3) Juvenile Era
a. 6-8 tahun
b. Remaja belajar tentang bersaing berkompetisi, dan berjasama
c. Remaja mulai membedakan diri dengan orang dewasa
d. Pada akhir tahap ini, mereka seharusnya lebih mudah menangani
kecemasan, mencapai kebutuhan, dan punya tujuan dimasa depan
4) Preadolescence
a. 8,5 tahun – 13 tahun
b. Menjalin keintiman dengan sesame gander
c. Pada masa ini, disukai dengan teman lebih penting
d. Masa yang paling sulit bagi individu
e. Peran orang tua sangat penting
f. Pengalaman praremaja penting untuk perkembangan kepribadian
dimasa depan
5) Early Adolescence
a. 13- 15 tahun
b. Masa pubertas dan menjalin hubungan dengan lawan jenis
c. Konflik yang dialami pada tahap ini adalah keintiman, nafsu, dan
keamanan yang saling bertabrakan yang menyebabkan stress.
d. Melihat lawan jenis hanya sebagai objek seksual
e. Menurut Sukkivan, early Adolescence adalah titik balik dr
pengembangan kepribadian, walaupun penyesuaian seksual penting tapi
ia merasa masalahnya terletak pada bagaimana bergaul dengan yang
lain.
6) Late Adolescence
a. 15 tahun
b. Menjalin keintiman dan merasakan nafsu pada orang yang sama
c. Karakteristik pada remaja akhir adalah keintiman dan nafsu
d. Remaja mengandalkan mode parataxic untuk mengabaikan kecemasan
dan mempertahankan harga diri
7) Adulthood
a. Menjalain habungan yang lebih serius dengan 1 lawan jenis
b. Orang dewasa berpikir pada tingkat sintaksis, mampu mengetahui
kecemasan, kebutuhan, dan keamanan orang lain, dan menemukan
kehidupan yang menarik dan menyenangkan.

6. Gangguan Psikologis

1) Sullvian, gangguan psikologi berasal dari interpersonal, dan hanya bisa


dipahami dengan dasar lingkungan sosial pasien.
2) Studi pasien (schizophrenia)
3) Schizophrenia dibagi 2 kelas,
a. Orang yang mengalami gangguan ini dengan penyebab organic
b. Orang yang mengalami gangguan ini dengan penyebab faktor
situasional
4) Reaksi terpisah (orang yang terganggu psychological-nya) yang terjadi
sebelum terjadinya schizophrenia
a. Kesepian
b. Harga diri rendah
c. Emosi berlebihan
d. Hubungan yang tidak memuaskan dengan orang lain
e. Kecemasan yang semakin meningkat
5) Perbandingan strategi masalah dalam interpersonal
a. Individu dengan gangguan kepribadian , merasa terancam dalam
hubungan interpersonalnya, dan terus bergantung pada disosiasi
(mekanisme perlindungan diri), dan mengurangi kecemasan dengan
membangun system perlindungan diri yang rumit untuk dipecahkan
oleh yang mengancam mereka.
b. Individu normal, merasa relative aman dalam hubungan
interpersonalnya, tidak terus menerus bergantung pada disosiasi
(Sullivan, Perry, Gawel, & Cohen, 1953).

1) Teori Pasca-Aliran Freud

Teori Pasca-Aliran Freud ini digagas oleh Erik Erikson yang mana
juga merupakan Freudian dan penulis utama ego. Pada dasarnya Erikson
menerima gagasan Freud termasuk gagasan yang belum pasti seperti oedipal
complex, dan juga menerima gagasan tentang ego yang didukung oleh para
pendukung setia Freudian seperti Heinz Hartmann dan Anna Freud. Teori Erikson
lebih banyak dipengaruhi oleh antropologi dan berorientasi pada budaya (Yusuf &
Nurihsan, 2012).
Erikson memandang identitas ego sebagai polaritas dari apa seseorang
itu menurut perasaan dirinya sendiri dan apa seseorang itu menurut anggapan
orang lain. Menurut Yusuf dan Nurihsan (2012), seseorang yang mencapai
identitas memperoleh rasa memiliki. Menurut Erikson pun masa lampau
seseorang itu memiliki makna bagi masa depannya, maka akan terdapat
kesinambungan perkembangan yang direfleksikan oleh tahap-tahap
perkembangan, masing-masing tahap perkembangan berhubungan dengan tahap-
tahap perkembangan yang lainnya.

1. Ego dalam Teori Pasca-Aliran Freud

Erikson memandang ego sebagai kemampuan seseorang untuk


menyesuaikan diri secara kreatif dan otonom. Menurutnya, ego itu
mempunyai kreativitas dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya,
tidak hanya ditentukan oleh faktor internal yang berasal dari dalam diri
individu, tetapi juga ditentukan oleh faktor sosial dan budaya tempat
individu itu berada.
Erikson menggambarkan adanya sejumlah kualitas yang dimiliki ego,
yang tidak ada pada psikoanalisis Freud, yakni kepercayaan, penghargaan,
otonomi, kemauan, kerajinan, kompetensi, identitas dan kesetiaan,
keakraban, cinta, generativitas, pemeliharaan, dan integritas. Ego yang
dimaksudnya adalah ego-kreatif, yang mana ego tersebut dapat menemukan
pemecahan kreatif atas masalah pada setiap tahap kehidupan. Apabila
menemukan hambatan atau konflik, ego tidak menyerah tetapi bereaksi
dengan menggunakan kombinasi antara kesiapan batin dan kesempatan yang
disediakan oleh lingkungan. Ego bukan budak tetapi justru menjadi
pengatur id, superego, dan dunia luar. Jadi, ego di samping hasil proses
faktor-faktor genetik, fisiologik, dan anatomis, juga dibentuk oleh konteks
kultural dan historis (Yusuf & Nurihsan, 2012).
Teori ego dari Erikson ini dapat dipandang sebagai pengembangan
dari teori perkembangan seksual-infantil dari Freud, hal ini pun mendapat
pengakuan yang luas sebagai teori yang khas, berkat pandangannya bahwa
perkembangan kepribadian mengikuti prinsip epigenetic. Bagi organisme,
untuk mencapai perkembangan penuh dari struktur biologis potensialnya,
lingkungan harus memberi stimulasi yang khusus. Menurut Erikson (dalam
Yusuf & Nurihsan, 2012), fungsi psikoseksual dari Freud yang bersifat
biologis juga bersifat epigenesist, artinya psikoseksual untuk berkembang
membutuhkan stimulasi khusus dari lingkungan, dalam hal ini yang
terpenting adalah lingkungan sosial.
Sama seperti Freud, Erikson menganggap hubungan ibu-anak menjadi
bagian penting dari perkembangan kepribadian. Akan tetapi Erikson tidak
membatasi teori hubungan id-ego dalam bentuk usaha memuaskan
kebutuhan id oleh ego. Menurutnya, situasi memberi makan merupakan
model interaksi sosial antara bayi dengan dunia luar. Lapar merupakan
manifestasi biologis atau id-nya, setelah ibu memberikan makan kepada
bayi konsekuensi dari pemuasan id (oleh ibu) itu akan menimbulkan kesan
bagi bayi tentang dunia luar. Dari pengalaman makannya, bayi belajar untuk
mengantisipasi interaksinya dalam bentuk kepercayaan dasar (basic trust),
yakni mereka memandang kontak mata dengan ibunya sangat
menyenangkan karena pada masa lalu (saat bayi diberi makan dan hubungan
semacam itu) menimbulkan rasa aman dan menyenangkan. Sebaliknya,
tanpa basic trust bayi akan mengantisipasi interaksi interpersonal dengan
kecemasan, karena masa lalu hubungan dengan interpersonalnya
menimbulkan frustrasi dan rasa sakit (Yusuf & Nurihsan, 2012).
Menurut Yusuf dan Nurihsan (2012), ciri khas psikologi ego dari
Erikson dapat diringkas sebagai berikut.
1) Erikson menekankan kesadaran individu untuk menyesuaikan diri
dengan pengaruh sosial. Pusat perhatian psikologi ego adalah pengaruh
sosial.
2) Erikson berusaha mengembangkan teori insting dari Freud dengan
menambahkan konsep epigenetic kepribadian.
3) Erikson secara eksplisit mengemukakan bahwa motif mungkin berasal
dari impuls id yang tak sadar, namun motif itu bisa membebaskan diri
dari id seperti individu meninggalkan pesan sosial di masa lalunya.
Fungsi ego dalam pemecahan masalah, persepsi, identitas ego, dan
dasar kepercayaan bebas dari id, membangun sistem kerja sendiri yang
terlepas dari sistem kerja id.
4) Erikson menganggap ego sebagai sumber kesadaran diri seseorang.
Selama menyesuaikan diri dengan realita, ego mengembangkan
perasaan berkelanjutan diri dengan masa lalu dari masa yang akan
datang.

2. Tahapan Perkembangan

Erikson terkenal dalam memperluas teori tahap-tahap perkembangan


kepribadian dari Freud. Erikson mengatakan bahwa perkembangan itu
memiliki prinsip epigenetic. Prinsip ini menjelaskan bahwa kehidupan
organisme yang baru itu berkembang dari sumber yang memiliki identitas
yang tidak berbeda dengan organisme yang baru tersebut dan bagaimanapun
perkembangannya itu bertahap. Perkembangan individu meliputi
perkembangan psikoseksual dan psikososial. Ada delapan tahapan
perkembangan menurut Erikson. Kemajuan atau ketekunan dalam suatu
tahap akan berpengaruh pada sukses atau tidaknya seseorang dalam tahap
berikutnya (Yusuf & Nurihsan, 2012). Sebagai contoh kecilnya yaitu pada
perkembangan tanaman cabai dalam waktu yang pasti dan secara alami. Jika
kita mengganggu perkembangan alaminya maka tanaman cabai akan lambat
atau bahkan gagal berkembang dan menghasilkan cabai.
Jika dalam tingkat perkembangan itu dapat diatur dengan baik tentu
akan berpengaruh baik terhadap kekuatan psikososial kita. Namun, jika kita
tidak bisa mengaturnya dengan baik maka akan tumbuh sikap maladaptif
dan kekacauan yang akan membahayakan masa depan.
Adapun delapan tahapan perkembangan menurut Erikson adalah
sebagai berikut (Yusuf & Nurihsan, 2012).
Maladaption
Tahap Krisis Lingkungan Modalities Virtue
&
(Usia) Psikososial Sosial Utama Psikososial Psikososial
Malignancies
Mengambil, Sensory
Trust vs Harapan,
I (0-1) bayi Ibu mengembali- Distortion-
mistrust kepercayaan
kan Withdrawal
Mempertahan
II (2-3) Autonomy vs Keinginan, Impulsivity-
Orangtua kan,
awal anak shame, adoubt penentuan Compulsion
merelakan
III (3-6) Initiative vs Kegunaan, Ruthlessness-
Keluarga Bermain
prasekolah guilt keberanian Inhibition
IV (7-12 Melengkapi,
Narrow
atau lebih) Industry vs Tetangga dan membuat
Kompetensi Virtuosity-
anak usia Isolation sekolah sesuatu
Inertia
sekolah bersama
V (12-18 Ego-identity Teman
Menjadi diri Ketaatan, Fanaticism-
atau lebih) vs role sebaya, role
sendiri kesetiaan Repudiation
remaja confusion models
Kehilangan
VI (20) dan
Intimacy vs Partner, Promiseuity-
dewasa menemukan Cinta
isolation teman Exclusivity
awal diri dalam
orang lain
VII (20- Generativity Rumah Ingin suatu hal
Overextension,
50) dewasa vs self tangga, terjadi, Kepedulian
penolakan
madya absorption teman kerja menjaga
To be, through
VIII (50) Integrity vs Kehidupan having been, Kebijaksanaa Kesombongan,
usia tua despair manusia to face not n putus asa
being

1) Tahap Pertama (Usia 0 - 1 : bayi)


Menurut Erikson usia ini merupakan masa secara psikososial sangat
fundamental bagi tahap perkembangan selanjutnya. Masa ini ditandai
dengan sifat dasar “trust-mistrust” yang tugas perkembangannya adalah
mengembangkan sikap percaya dan menghindari sifat curiga. Untuk
menimbulkan sikap percaya dibutuhkan pengalaman yang terus-menerus
dan pengalaman yang sama saat dia memenuhi kebutuhkannya. Jika si anak
tidak mendapatkan kasih sayang serta kebutuhannya tidak dipenuhi maka
akan timbul kecurigaan. Ketercapaian sikap ini sangat dipengaruhi oleh
lingkungan dan akan menjadi dasar perkembangan kepribadian anak
tersebut.

2) Tahap Kedua (Usia 2 - 3 : awal anak)


Pada tahap ini anak mempelajari apa yang dihadapkan pada dirinya.
Jika si anak diberi kebebasan yang berbatas maka dia akan belajar mandiri.
Orangtua hendaknya memberi kepercayaan serta membimbing anak karena
jika anak salah mengambil jalan maka akan timbul perasaan bersalah
sehingga dia tidak akan percaya dan menjadi ragu pada kemampuan dirinya
serta dia akan tumbuh menjadi orang yang pemalu dan kurang percaya diri.

3) Tahap Ketiga (Usia 3 - 6 : prasekolah)


Pada tahap ini anak akan mampu mengontrol diri dan lingkungannya.
Anak mulai memahami perbedaannya dengan orang lain. Karena hal ini,
maka timbul inisiatif pada diri anak, anak belajar untuk mencapai tujuannya.
Anak butuh dorongan untuk melakukan sesuatu dan memenuhi
keinginannya dan jika si anak tidak mendapat dorongan tersebut maka akan
mengalami hambatan dan mengalami rasa bersalah. Perasaan ini akan
membuat anak tumbuh menjadi anak yang nakal.

4) Tahap Keempat (Usia 7 - 12 atau lebih : anak usia sekolah)


Pada tahap ini anak-anak harus memulai pendidikannya serta
mempelajari keterampilan sosial yang sesuai dengan tuntutan yang ada di
lingkungan masyarakat tempat mereka tinggal hingga mereka mulai
mempelajari rasa keberhasilan baik itu di bidang akademik maupun sosial.
Semua orang di sekitar anak-anak tersebut (orangtua, guru, dan teman
sebaya) hendaknya mendukung perkembangan mereka pada saat ini.

5) Tahap Kelima (Usia 12 - 18 : remaja)


Tahap ini dimulai dengan pubertas dan diakhiri pada usia 18-20 tahun.
Yang harus dipenuhi pada tahap ini adalah mencapai identitas diri. Daya
penggerak batin dalam membentuk identitas adalah ego dalam aspeknya
yang sadar dan tidak sadar. Ego mempunyai kapasitas untuk membentuk
identitas psikososial seseorang. Pada tahap ini anak dihadapkan pada
pembentukan identitas yang akan merasakan penderitaan di masa lalu
sehingga jika si anak tidak dapat mengatasinya maka akan timbul krisis
identitas.

6) Tahap Keenam (20 : dewasa awal)


Dalam tahap ini orang dewasa awal siap dan ingin menyatukan
identitasnya dengan orang lain. Mereka mendambakan cinta dan mulai
mengembangkan genitalitas seksual yang sesungguhnya. Orang dewasa
mulai mampu melibatkan diri dalam hubungan bersama, mereka saling
berbagi hidup dengan seorang mitra yang intim (pasangan). Menurut
Erikson, cinta adalah pengabdian timbal balik yang mengalahkan
antagonisme yang melekat dalam fungsi yang terpecah.

7) Tahap Ketujuh (20 - 50 : dewasa madya)


Tahap ini terjadi pada masas dewasa. Krisis psikososial yang dialami
adalah gairah hidup lawan kejenuhan. Ciri tahap ini adalah perhatian
terhadap apa yang dihasilkan serta pembentukan dan penetapan garis
pedoman untuk generasi mendatang. Nilai pemeliharaan berkembang pada
tahap ini. Pemeliharaan ini terungkap dalam kepedulian seseorang pada
orang lain dan dalam keinginannya memberikan perhatian pada orang lain
yang membutuhkan serta berbagi dan membagi pengetahuan dan
pengalaman dengan meraka.

8) Tahap Kedelapan (50 : usia tua)


Integritas dilukiskan sebagai sebuah keadaan yang dicapai seseorang
setelah memelihara benda maupun ide serta setelah berhasil menyesuaikan
diri dengan keberhasilan-keberhasilan ataupun kegagalan-kegagalan dalam
hidup. Sedangkan keputusasaan merupakan sikap individu yang kurang bisa
menyesuaikan dengan perubahan siklus yang terjadi dalam hidup.
Kebijaksanaan merupakan nilai yang berkembang dari integritas dan
keputusasaan. Aktivitas baik fisik maupun mental menjadi berkurang
sehingga kebijaksanaan ini menjaga integritas dan merupakan keprihatinan
objektif terhadap kehidupan, di hadapan kematian.
PENUTUP

A. Kesimpulan

Teori Psikoanalisis Humanistis yang digagas oleh Fromm mengatakan


bahwa seseorang dapat bersatu dengan orang lain dalam semangat cinta dan kerja
sama atau dapat menemukan rasa aman dengan tunduk kepada penguasa dan
menyesuaikan diri dengan masyarakat. Sedangkan teori Interpersonal menurut
Sullivan mengatakan bahwa kepribadian adalah pola yang relatif menetap dari
situasi-situasi antarpribadi yang berulang yang menjadi ciri kehidupan manusia.
Adapun teori Pasca-Aliran Freud, Erikson memandang identitas ego sebagai
polaritas dari apa seseorang itu menurut perasaan dirinya sendiri dan apa
seseorang itu menurut anggapan orang lain.
DAFTAR PUSTAKA

Andrianto, N. (2018). Diskusi Periodik. Retrieved 9 26, 2022, from Pemikiran


Pendidikan Erich Fromm tentang Perkembangan Kepribadian Anak:
https://lpm.uinkhas.ac.id/download/file/Nino_andrianto.pdf

Fudyartanta, K. (2012). Psikologi Kepribadian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sullivan, H. S., Perry, H. S., Gawel, M. L., & Cohen, M. B. (1953). The
Interpersonal Theory of Psychiatry. Great Britain: Tavistock Publication
Limited.

Yusuf, S., & Nurihsan, A. J. (2012). Teori Kepribadian. Bandung: PT Remaja


Rosdakarya.

Anda mungkin juga menyukai