Anda di halaman 1dari 5

BAB 2 

PEMBAHASAN 

2.1 Sejarah Konseling Eksistensial Humanistik 


Sejarah dari humanistik ini bermula pada saat memasuki tahun 1950 an yang mulai 
muncul teori-teori besar yang sangat berpengaruh dalam dunia psikologi yang berada di Eropa 
dan Amerika. Yang pertama munculnya teori psikoanalisis yang dicetuskan oleh Sigmund Freud 
di Wina dengan mempopulerkan bahwa motif tidak sadar dapat mengendalikan sebagian besar 
perilaku atau tingkah laku manusia. Dan yang kedua aliran behaviorisme yang dikembangkan 
oleh John B. Watson, dimana aliran tersebut menjelaskan mengenai proses belajar asosiatif  atau
pembahasan terkait pemberian stimulus-respon yang menjadi peran penting dalam tingkah  laku
manusia. Menurut (Utomo, 2017) bahwasannya dari kedua teori tersebut dapat dikatakan  jikalau
Psikoanalisa berorientasi pada dorongan atau pemberian rangsangan dari dalam  (intrinsik)
sebagai sumbernya, sedangkan Behaviorisme berorientasi pada kekuatan yang  bersumber dari
lingkungan sekitar atau pengaruh luar lainnya (ekstrinsik).  
Kemudian karena kuatnya teori dari masing-masing teori tersebut, akhirnya timbul 
penolakan-penolakan atau yang tidak sepemahaman dengan teori psikoanalisa maupun teori 
behavior. Selanjutnya Abraham Harold Maslow (1908 – 1970) terangsang untuk mencetuskan 
teori Humanistik, yang pokok teori nya bersumber dari pemikiran dua tokoh teori 
pendahulunya. Teori Humanistik ini menjadi wadah atau bentuk perlawanan dari teori yang 
lainnya, membuat pandangan dunia yang lebih luas, dan membuat teori ini menjadi suatu 
gerakan yang lebih besar yang menyatakan akan bertindak adil terhadap kemanusiaan manusia, 
dan juga berusaha membangun ilmu pengetahuan yang membahas terkait manusia dan ditujukan
untuk  manusia juga (Misiak & Staudt, 2005). 
Pada sejarah humanistik ini tidak luput juga adanya beberapa peranan dari tokoh 
tokohnya. Menurut dari tokoh pertama yaitu Arthur combs, ia berpendapat bahwasannya belajar 
adalah suatu hal yang dapat terjadi karena memiliki arti. Sedangkan seorang guru takkan bisa
memaksakan sesuatu yang bukan kesukaan dari siswa/i, untuk belajar seseuatu yang bukan
kesukaan dari siswa/i  dianggap tidak relevan dengan keinginan siswa/i. Apabila terjadi
perlawanan itu adalah suatu  bentuk perilaku yang jelek, dimana ia tidak mencerminkan
ketidakmampuan untuk  belajar sesuatu yang bukan keinginannya.  
Lalu menurut Abraham Maslow, menyatakan pendapatnya yang bertolak dari teori 
humanistik ini. Maslow menjelaskan bahwasannya proses belajar pada diri manusia adalah suatu
bentuk proses  yang harus dialaminya agar dapat mengaktualisasikan dirinya. Menurut Maslow,
belajar adalah bentuk proses agar dapat memahami dan mengerti sebenarnya siapa diri kita,
mulai dari bagaimana caranya agar kita dapat menjadi diri sendiri, kemudian apa potensi kita
miliki agar dapat berkembang kearah yang  ingin kita mau.  
Dan menurut Carl Rogers bagi Carl Roger pengalaman merupakan fenomena atau
kejadian  logika yang dialami oleh individu itu sendiri. Carl Rogers menyatakan bahwasannya
kecenderungan untuk sampai pada kesempurnaan hidup pasti dimiliki oleh setiap individu,
seorang individu juga akan membuat keunikan dalam konsep hidupnya, dan juga memiliki
perilaku yang sesuai dengan konsep kehidup yang sudah ia tentukan sebelumnya. Carl Rogers
juga menjelaskan bahwa suatu pembelajaran dapat terjadi karena pengalaman yang dialami oleh
setiap  orang. 
2.2 Konsep Dasar Konseling Eksistensial Humanistik 
Menurut Abraham Maslow (bapak psikologi humanistik), ia pernah berkata bahwa
belajar merupakan sederetan proses yang harus dilalui untuk pengaktualisasikan dirinya.
diharapkan dalam kegiatan belajar, individu bisa mengerti tentang dirinya sendiri. 
Menurut Rogers, ia mengemukakan bahwa dalam proses belajar digunakan sikap
toleransi dan tidak memiliki prasangka antara siswa maupun dengan guru. Sehingga saat proses
kegiatan belajar antar individu dan pihak yang memberikan pembelajaran berlangsung, maka
dari itu dalam proses kegiatan belajar antar individu dan pihak yang memberikan pembelajaran
membutuhkan sikap saling menghargai dan tanpa berprasangka satu sama lain.   
Menurut Arthur Combs, menyatakan bahwasannya belajar adalah suatu bentuk aktivitas
yang dapat dilaksanakan dimana pun dan dapat menciptakan sesuatu untuk individu itu sendiri.
Sehingga saat proses kegiatan belajar,  guru tidak diperkenankan untuk memaksa siswa untuk
melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan dirinya.
Dari beberapa pendapat ahli yang sudah disampaikan, maka dapat dikatakan
bahwasannya teori humanistik adalah salah satu dari teori belajar dimana mengutamakan pada
proses kegiatan belajar, bukan pada hasil kegiatan belajar. Sehingga individu dapat memahami
dirinya sendiri beserta lingkungan sekitarnya dengan baik. Maka dari itu teori ini lebih
memperhatikan bagaimana manusia belajar, dan mengalami perubahan pada tingkah laku
individu yang dihasilkan dari pertumbuhan dan perkembangan dirinya. 
Pada pendekatan eksistensial lebih tertuju akan keadaan manusia dan menekankan
pengetahuan tentang dirinya. Humanistik percaya bahwa manusia memiliki kesadaran dan 
kekuasaan penuh atas diri mereka sendiri dan dapat secara mandiri menentukan orientasi dan 
keinginan mereka sendiri.


Pada konseling yang menggunakan pendekatan eksistensial memiliki prinsip-prinsip,
yakni : (1) Membangun interaksi secara baik, dengan tujuan agar konseling dapat berlangsung
secara baik, komunikasi  yang baik antar konselor dengan konseli dapat membentuk
keterbukaan; (2) Menciptakan hubungan menggunakan potensi dan keterbatasan yang dimiliki
konselor agar konseli bisa menerima diri; (3) Memancing kepekaan emosi konseli, yang mana
emosi tersebut dapat merangsang kesadaran diri dari konseli; (4) Mendorong konseli agar
mampu menemukan solusi  dari masalah yang dimilikinya, tujuan dari itu agar menciptakan
konseli yang mandiri ; (5) Meningkatkan emosi positif dan potensi konseli, hal ini sejalan
dengan tujuan konseling eksistensial humanistik yaitu membantu  konseli menyadari atas potensi
yang dimiliki lalu membantu mengembangkan yang tentunya  tergantung berdasarkan pilihan
konseli sendiri (Khoirina, 2018). 
Eksistensialisme awalnya adalah filsafat bahwa, apapun yang terjadi pasti berakhir  dari
eksistensi atau kehadiran. Eksistensialisme lebih berfokus kepada kehadiran daripada esensi 
atau hakikat. Eksistensi umumnya adalah keberadaan, tetapi secara khusus adalah bagaimana
manusia hidup di dunia. 
Pendekatan eksistensial lebih tertuju pada diri manusia. Dalam hal ini  menekankan
bagaimana pentingnya pemahaman manusia. Pendekatan humanistik eksistensial mencoba 
membawa fokus sentral ke manusia, yaitu untuk menyampaikan citra manusia pada tingkat 
tertinggi. Eksistensial ini fokusnya pada esensi keberadaan individu, hal ini mencangkup 
kapasitas dalam diri, individu secara sukarela untuk menentukan keputusan sendiri, tanggung
jawab dan kebebasan, ketakutan selaku elemen fundamental, pencarian makna unik di dunia 
yang tidak berarti, sendiri dalam hubungan dengan orang lain tak terbatas dan kematian, dan 
kecenderungan aktualisasi diri. 
Corey menyatakan dalam Yulianti tahun 2019, yaitu: (1) kesadaran diri, kesadaran diri
seseorang  dapat mewujudkan dirinya. Makin besar kesadaran individu, maka makin besar pula
keleluasaan yang dimilikinya agar dapat memutuskan sesuatu dengan penuh tanggung jawab; (2)
Kecemasan, kebebasan dan tanggung jawab. 

; (3) Penciptaan makna. Manusia berusaha menemukan tujuan hidup dari hidupnya dan 
menghasilkan nilai yang mampu mempengaruhi makna hidup. Eksistensial humanistik memiliki
enam aspek positif dasar yang ada pada manusia,  yaitu: (1) Kapasitas akan kesadaran diri; (2)
Kebebasan dan tanggung jawab; (3) Membangun  identitas diri sendiri dan membangun
hubungan yang bermakna dengan orang lain; (4) Mencari  makna, tujuan, nilai dan sasaran; (5)
Kecemasan sebagai kondisi hidup; (6) Kesadaran akan  datangnya kematian dan ketidakadaan,
keenam dimensi tersebut dapat dikaitkan dengan  konseling Islam (Anwar, 2011). 

2.3 Tujuan Konseling Eksistensial Humanistik 


Tujuan konseling eksistensial humanistik untuk membantu konseli agar  mempunyai
kesadaran penuh akan potensi yang dimiliki. Lalu, menyadarkan konseli  akan tanggung jawab
dari keputusannya. selanjutnya, mengidentifikasi permasalahan  yang dialami oleh konseli dalam
proses pengembangan diri konseli. Konseling ini lebih berfokus pada pribadi konseli daripada
pokok permasalahan yang telah  diutarakan oleh konseli. Agar konseli dapat memperbaiki fungsi
pribadinya diharapkan konseli  mampu menyelesaikan masalahnya secara mandiri daripada
fokus untuk menyelesaikan  masalah yang diutarakan oleh konseli.  
Ada beberapa tujuan konseling eksistensial  humanistik yaitu (Gerald Corey (2010): 
1. Konseli menjadi sadar atas  keberadaan dan potensi dirinya serta sadar bahwa ia dapat
membuka diri dan berperilaku berdasarkan kemampuannya. 
2. Meningkatkan kesanggupan atas pilihannya yakni menjadi bebas dan bertanggung jawab atas
tujuan hidupnya. 
3. Agar konseli dapat menghadapi kecemasan dalam memilih diri dan menerima fakta bahwa ia
lebih dari sekedar korban  kekuatan-kekuatan deterministic di luar dirinya.  

2.4 Tahapan Konseling Eksistensial Humanistik 


Tahapan konseling pada pendekatan eksistensial terbagi menjadi tiga tahapan, yaitu: 1.
Tahapan Awal 
Pada tahapan ini konselor bertugas untuk membantu konseli dalam  mengidentifikasi
asumsi mereka terhadap dunia, tentang cara mereka melihat dunia. Konselor 

menanyakan tentang bagaimana mereka melihat diri mereka, menanyai tentang bagaimana
mereka  memandang dan menjadikan eksistensi mereka bisa diterima. 
2. Tahapan Pertengahan 
Di tahap ini konselor mendorong konseli agar bersemangat dalam meneliti sumber 
sistem nilai mereka lebih dalam lagi. Proses ini akan membawa konseli ke sebuah  pemahaman
baru tentang diri mereka, mendapatkan cita rasa yang lebih baik akan jenis  kehidupan.  
3. Tahapan Akhir 
Pada tahap terakhir , konselor membantu konseli untuk melakukan apa yang sudah
dipelajari selama proses konseling eksistensial. Di tahapan ini, rata-rata  konseli akan 
menemukan kelebihan atau kekuatan baru dalam dirinya, dan mereka dapat menggunakan 
kekuatan itu dalam kegiatan kesehariannya. 

2.5 Peran Konselor dalam Konseling Eksistensial Humanistik 


Corey (2013) mengatakan, konselor eksistensial memahami dunia subjektif individu dan
menemukan pemahaman yang baru. Konselor  eksistensial yang menjadi pemimpin dalam
kegiatan kelompok  harus mengawasi klien yang menghindari tanggung jawab mereka secara
terus menerus dengan cara mengawal mereka untuk bertanggung jawab atas urusan pribadinya. 
Fokus konselor saat ini adalah keadaan konseli di masa sekarang. Tugas utama seorang
konselor pada pendekatan ini adalah menghadapkan siswa dengan keterbatasan gaya hidup
mereka dan membantu menyadari bahwa mereka memiliki peran dalam menciptakan kondisi
saat ini.
Berdasarkan apa yang disampaikan diatas dapat disimpulkan bahwa peran konselor di
pendekatan eksistensial humanistik adalah mampu memperluas kesadaran diri klien, mengawal
klien untuk memilih tanggung jawabnya sendiri, meyakinkan klien atas pilihannya, 
membimbing klien untuk menemukan jalan hidupnya kembali. 

2.6 Kelebihan dan Kelemahan dalam Konseling Eksistensial Humanistik 


Dalam penerapan pendekatan konseling eksistensial humanistik juga memiliki
kekurangan  dan kelebihan. Kelebihan tersebut antara lain yaitu:

1. Penggunaan pendekatan eksistensial humanistik cocok untuk klien yang menghadapi


kesulitan dalam perkembangan dan kepercayaan diri
2. Klien memiliki kebebasan untuk memutuskan sendiri.
3. Timbulnya perasaan penghargaan dan penghormatan dari diri klien terhadap dirinya.
4. Sifatnya membentuk adanya kepribadian, perbaikan sikap, hati nurani, serta kecakapan dalam
menganalisis fenomena sosial.
5. Klien yang sedang mengalami hambatan perkembangan misalnya masalah karier, kandasnya
hubungan pernikahan, pengasingan yang dilakukan oleh teman, ataupun masa peralihan
remaja menuju dewasa sangat tepat untuk diberikan pendekatan terapi eksistensial.  
Adapaun kelemahan dari penerapan pendekatan ini diantaranya: 
1. Secara metodologi, bahasa dan konsep penerapan pendekatan eksistensial tidak dapat
dijangkau dengan akal manusia yang artinya bersifat mistikal.
2. Penggunaan teknik pendekatan eksistensial masih tidak jelas atau samar-samar dan
memerlukan rentang waktu yang lama.
3. Terlalu percaya pada kemampuan klien dalam mengatasi masalahnya (keputusan  ditentukan
oleh klien sendiri. 

Anda mungkin juga menyukai