Anda di halaman 1dari 6

TEORI BELAJAR HUMANISTIK

Kelompok 5:
Miftahul Huda, Mohammad Nabil Fadlli, Ahmad Zidan Akbar Reza, Sulthon
Abdul Aziz, Ahmad Irfannudin Azhar Setiawan

Konsep Dasar Teori Belajar Humanistik


Teori humanisme muncul pada pertengahan abad 20 sebagai reaksi terhadap
teori psikodinamik dan behavioristik. Para teoritikus humanisme meyakini bahwa
tingkah laku manusia tidak dapat dijelaskan sebagai hasil dari konflik-konflik
yang tidak disadari maupun sebagai hasil (conditioning) yang sederhana. Teori ini
berfokus pada pentingnya pengalaman disadari yang bersifat subyektif dan self-
direction.1 Kata "Humanistik" dapat berarti berbagai hal. Humanistik mengacu
pada minat non-ilahi pada nilai-nilai kemanusiaan. Humanistik akademis, seperti
studi klasik tentang budaya Yunani dan Romawi, bertujuan untuk memahami
budaya manusia Sebagai istilah untuk teori pendidikan, "pendidikan humanistik"
mengacu pada instruksi yang menggunakan humanisme sebagai lensa. Paradigma
pembelajaran humanistik yang muncul pada tahun 1970 didasarkan pada tiga
asumsi filosofis (pragmatism, progresifme, dan eksistensialisme).2
Secara psikologis, humanisme merupakan suatu aliran psikologi yang
berlandaskan pada eksistianisme, yaitu aliran yang menganggap bahwa setiap
manusia bebas dalam bertindak, menentukan nasib serta keberadaannya, dan
bukan semata-mata merupakan hasil dari lingkungan. Apabila dibandingkan
dengan teori belajar yang lain, maka teori ini merupakan teori yang paling abstrak,
karena lebih banyak berbicara tentang gagasan dan ide bukan apa yang dilakukan
dalam keseharian seseorang. Hal terpenting yang diutamakan dalam teori ini
adalah lebih menekankan kehidupan kejiwaan manusia, di mana terdapat berbagai
potensi yang khas untuk diberdayakan. Artinya bahwa, teori humanistik melihat

1
Aulia Diana Devi, ‘Implementasi Teori Belajar Humanisme Dalam Proses Belajar Mengajar
Pendidikan Agama Islam’, At-Tarbawi: Jurnal Pendidikan, Sosial Dan Kebudayaan, 8.1 (2021),
74.
2
Bakhrudin Ali Habsy and others, ‘Teori Humanistik Dalam Proses Pembelajaran’, Jurnal
Teknologi Pendidikan, 1.2 (2023), 4.
bahwa setiap individu selayaknya diberi hal dalam mengembangkan potensi yang
ada didalam dirinya.3
Humanisme meyakini pusat belajar ada pada peserta didik dan pendidik
berperan hanya sebagai fasilitator. Sikap serta pengetahuan merupakan syarat
untuk mencapai tujuan pengaktualisasian diri dalam lingkungan yang mendukung.
Manusia pada dasarnya adalah makhluk yang spesial, mereka mempunyai potensi
dan motivasi dalam pengembangan diri maupun perilaku, oleh karenanya setiap
individu adalah merdeka dalam upaya pengembangan diri serta
pengaktualisasiannya.
Penerapan teori humanistic pada kegiatan belajar hendaknya pendidik
menuntun peserta didik berpikir induktif, mengutamakan praktik serta
menekankan pentingnya partisipasi peserta didik dalam pembelajaran. Hal
tersebut dapat diaplikasikan dengan diskusi sehingga peserta didik mampu
mengungkapkan pemikiran mereka di hadapanaudience. Pendidik mempersilakan
peserta didik menanyakan materi pelajaran yang kurang dimengerti. Proses belajar
menurut pandangan humanistik bersifat pengembangan kepribadian, kerohanian,
perkembangan tingkah laku serta mampu memahami fenomena di masyarakat.
Tanda kesuksesan penerapan tersebut yaitu peserta didik merasa nyaman dan
bersemangat dalam proses pembelajaran serta adanya perubahan positif cara
berpikir, tingkah laku serta pengendalian diri.4
Namun, teori Humanisme terlihat sulit diterapkan dalam konteks yang lebih
praktis. Teori ini dianggap lebih dekat dengan bidang filsafat dan teori kepribadian
daripada bidang pendidikan, sehingga sukar menerjemahkannya ke dalam
langkah-langkah yang lebih konkret dan praktis, namun karena sifatnya yang
ideal, yaitu memanusiakan manusia, oleh karena itu teori humanisme mampu
memberikan arah terhadap semua komponen pembelajaran untuk mendukung
tercapainya tujuan tersebut.
Tokoh-Tokoh Teori Belajar Humanistik
Tokoh penting dalam teori belajar humanistik diantara lain:

3
Esti Regina Boiliu, Noh Ibrahim Boiliu, and Djoys Aneke Rantung, ‘Teori Belajar Humanistik
Sebagai Landasan Dalam Teknologi Pendidikan Agama Kristen’, Edukatif: Jurnal Ilmu
Pendidikan, 4.2 (2022), 2.
4
Fikri Armedyatama, ‘Teori Belajar Humanistik Dan Implikasinya Dalam Mata Pelajaran
Pendidikan Agama Islam’, An-Nuha: Jurnal Pendidikan Agama Islam, 1.1 (2021), 14.
1. Arthur W. Combs (1912-1999)
Combs berpendapat bahwa banyak guru membuat kesalahan dengan
berasumsi bahwa siswa mau belajar apabila materi pelajarannya disusun dan
disajikan sebagaimana mestinya. Combs memberikan lukisan persepsi diri
dan dunia seseorang seperti 2 lingkaran yang terdiri dari lingkaran besar dan
kecil yang bertitik pusat:

Gambar tersebut memiliki makna bahwa pengalaman manusia bertitik tolak


dari gambar titik yang menggambarkan bahwa persepsi diri manusia itu
berdasarkan gambaran yang ada dalam benaknya, kemudian dari interaksi
manusia dengan sesama dan lingkungannya maka persepsi itu berkembang
menjadi lebih besar lagi yang mencitrakan bahwa persepsi itu adalah
gambaran dunia nyata yang berada disekitarnya, sehingga oleh Comb
digambarkan sebagai lingkaran-lingkaran yang mengelilingi titik pusat.
Pemikiran Combs memberikan implikasi terhadap pengakuan potensi siswa,
artinya siswa mempunyai potensi sebelum mereka masuk ke dalam ruang
kelas, sehingga siswa dalam proses pembelajarannya harus diakui sebagai
manusia yang punya potensi.5
2. Carl R. Rogers (1902-1987)
Sementara Carl Rogers mengemukakan, bahwa siswa yang belajar
hendaknya tidak dipaksa, melainkan dibiarkan belajar bebas, siswa
diharapkan dapat mengambil keputusan sendiri dan berani bertanggung
jawab atas keputusan-keputusan yang diambilnya sendiri. Dalam konteks
tersebut Rogers mengemukakan lima hal penting dalam proses belajar
humanistik:
a. Hasrat untuk belajar: hasrat untuk belajar disebabkan adanya hasrat
ingin tahu manusia yang terus menerus terhadap dunia sekelilingnya
5
Prof. Dr. Ali Mudlofir and Dr. Evi Fatimatur Rusydiyah, Desain Pembelajaran Inovatif, Dari
Teori Ke Praktik (Surabaya: PT. Raja Grafindo Persada, 2019), 20.
dalam proses mencari jawabnya seseorang mengalami aktivitas -
aktivitas.
b. Belajar bermakna: seseorang yang beraktivitas akan selalu
menimang-nimbang apakah aktivitas tersebut mempunyai makna
bagi dirinya jika tidak tentu tidak akan dilakukannya.
c. Belajar tanpa hukuman: belajar yang terbebas dari ancaman
hukuman mengakibatkan anak bebas melakukan apa saja.
Mengadakan eksperimentasi hingga menemukan sendiri sesuatu
yang baru.
d. Belajar dengan inisiatif sendiri: menyiratkan tingginya motvasi
internal yang dimiliki. Siswa yang banyak berinisiatif mampu
mengarahkan dirinya sendiri. Menentukan pilihannya sendiri serta
berusaha menimbang sendiri hal yang baik bagi dirinya.
e. Belajar dan perubahan: dunia terus berubah, karena itu siswa harus
belajar untuk dapat menghadapi kondisi dan situasi yang terus
berubah. Dengan demikian yang hanyabelajar sekedar mengingat
fakta atau menghafal sesuatu dipandang tak cukup.6
3. Abraham Maslow (1908-1970)
Abraham Maslow merupakan seorang teoris kepribadian yang realistik,
dipandang sebagai bapak spiritual, pengembang teori, dan juru bicara yang
paling cakap bagi psikologi humanistik. Terutama pengukuhan Maslow
yang gigih atas keunikan dan aktualisasi diri manusialah yang menjadi
symbol orientasi humanistik Teori Maslow didasarkan pada asumsi bahwa
di dalam diri individu ada dua hal. pertama suatu usaha yang positif untuk
berkembang, dan kedua kekuatan untuk melawan atau menolak
perkembangan itu. Maslow mengemukakan bahwa individu berperilaku
dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan yang besifat hierarkis. Pada diri
setiap orang terdapat berbagai perasaan takut seperti rasa takut untuk
berusaha atau berkembang, takut untuk mengambil kesempatan, takut
dengan apa yang sudah ia miliki, dan sebagainya. tetapi di sisi lain
seseorang juga memiliki dorongan untuk lebih maju ke arah keutuhan,
6
Dr. Yuberti, Teori Pembelajaran Dan Pengembangan Bahan Ajar Dalam Pendidikan (Bandar
Lampung: Anugrah Utama Raharja (AURA), 2014), 44.
keunikan diri, ke arah berfungsinya semua kemampuan, ke arah
kepercayaan diri menghadapi dunia luar dan pada saat itu juga ia dapat
menerima diri sendiri.7
Teorinya yang sangat terkenal sampai dengan hari ini adalah teori tentang
Hierarchy of Needs (Hirarki Kebutuhan). Menurut Maslow, manusia
termotivasi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Kebutuhan-
kebutuhan tersebut memiliki tingkatan atau hirarki, mulai dari yang paling
rendah (bersifat dasar atau fisiologis) sampai yang paling tinggi (aktualisasi
diri). Hierarki kebutuhan manusia tersebut mempunyai implikasi yang
pentingyang seyogyanya diperhatikan oleh guru dalam kegiatan
pembelajaran. Barangkali guru akan menghadapi kesukaran memahami
mengapa anak-anak tertentu tidak mengerjakan pekerjaan rumahnya,
mengapa anak-anak yang lain tidak tenang di dalam kelas atau mengapa
anak-anak lain lagi sama sekali tidak berminat dalam belajar.8
Guru beranggapan bahwa hasrat untuk belajar itu merupakan kebutuhan
yang penting bagi semua anak, tetapi menurut Maslow minat atau motivasi
untuk belajar tidak dapat berkembang kalau kebutuhan-kebutuhan pokok
tidak terpenuhi. Anak-anak yang dating ke sekolah tanpa makan pagi yang
cukup atau sebelumnya tidak tidur dengan nyenyak, atau membawa
persoalan-persoalan keluarga yang bersifat pribadi, cemas atau pun takut,
tidak berminat mengaktualisasikan dirinya dengan memanfaatkan belajar
sebagai sarana untuk mengembangkan potensi-potensi yang dipunyainya.

7
Dr. Emilda Sulasi, Konsep Pendidikan Humanis Dalam Pengelolaan Pendidikan Di Indonesia
(Yogyakarta: Bildung, 2020), 51-52.
8
Sulasi, 52-53.
DAFTAR PUSTAKA

Armedyatama, Fikri, ‘Teori Belajar Humanistik Dan Implikasinya Dalam Mata


Pelajaran Pendidikan Agama Islam’, An-Nuha: Jurnal Pendidikan Agama
Islam, 1.1 (2021)
Boiliu, Esti Regina, Noh Ibrahim Boiliu, and Djoys Aneke Rantung, ‘Teori
Belajar Humanistik Sebagai Landasan Dalam Teknologi Pendidikan Agama
Kristen’, Edukatif: Jurnal Ilmu Pendidikan, 4.2 (2022)
Devi, Aulia Diana, ‘Implementasi Teori Belajar Humanisme Dalam Proses
Belajar Mengajar Pendidikan Agama Islam’, At-Tarbawi: Jurnal Pendidikan,
Sosial Dan Kebudayaan, 8.1 (2021)
Dr. Yuberti, Teori Pembelajaran Dan Pengembangan Bahan Ajar Dalam
Pendidikan (Bandar Lampung: Anugrah Utama Raharja (AURA), 2014)
Habsy, Bakhrudin Ali, Falisa Oktafiani, Dona Maretta Salsabila, and Cintya
Inarotus Zahro, ‘Teori Humanistik Dalam Proses Pembelajaran’, Jurnal
Teknologi Pendidikan, 1.2 (2023)
Mudlofir, Prof. Dr. Ali, and Dr. Evi Fatimatur Rusydiyah, Desain Pembelajaran
Inovatif, Dari Teori Ke Praktik (Surabaya: PT. Raja Grafindo Persada, 2019)
Sulasi, Dr. Emilda, Konsep Pendidikan Humanis Dalam Pengelolaan Pendidikan
Di Indonesia (Yogyakarta: Bildung, 2020)

Anda mungkin juga menyukai