Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam dunia pendidikan terdapat banyak teori tentang pembelajaran. Salah satu teori
pendidikan yang diterapkan adalah humanisme. Namun tentu saja masih menimbulkan
pertanyaan tentang “Apakah yang dimaksud dengan teori  humanisme? “ dan berbagai
pertanyaan lainpun akan bermunculan mengenai teori ini.
 Humanisme tidak memandang bangsa, agama, daerah, suku, warna kulit dan
sejenisnya. Ia memperlakukan dan berusaha membantu siapa pun itu manusianya. Tidak
memandang ia baik atau jahat, kawan atau musuh. Humanisme merupakan pendidikan
dan pembelajaran di sekolah selama ini dinilai kurang demokratis. Kurangnya ruang bagi
peserta didik untuk berimajinasi dan berkreasi menunjukkan eksistensinya dengan
perspektif mereka sendiri menunjukkan hal itu. Padahal, kreativitas dan kemampuan
berpikir kritis merupakan kecakapan yang menjadi modal anak agar mampu menghadapi
tantangan dan lebih kompetitif .
Pendidikan sering kali kita harapkan sebagai “pabrik intelektual” yang dituntut agar
mampu menciptakan pelaku-pelaku pembangunan yang tangguh dan handal di masa
mendatang. Akibatnya, pendidikan tidak lagi diarahkan kepada hal-hal penanaman potensi
kemanusiaan lainnya. Terutama yang bermuara pada sisi emosial peserta didik. Padahal,
inti dari sebuah pendidikan ialah agar menjadikan manusia-manusia yang cerdas, kreatif
dan humanis. Untuk itu, harus dicarikan sebuah konsep pendidikan yang berangkat dan
beroerientasi pada potensi dasar manusia secara lebih sistematik dan realistik.
Menciptakan konsep pendidikan yang disebut dehumanisasi di negara kita tidaklah
mudah membalikkan telapak tangan. Selain pendidikan kita yang tidak pernah jelas dan
terarah sistem dan metodenya, apalagi jika kita melihat out put pendidikan itu sendiri yang
faktanya sangat mengkhawatirkan. Belum lagi jika meneropong lebih jauh atas kasus-
kasus tindak kriminal yang dilakukan oleh peserta didik. Tawuran antar pelajar, terjebak
dalam lingkaran narkoba, miras dan berbagai tindakan amoral lainnya menjadi hal yang
lumrah terjadi dalam keseharian kita..
Banyaknya persoalan yang menjadi beban pengelolaan pendidikan dan pengajaran di
neggara kita. Mulai dari beban ajar yang terlalu banyak dan padat, sampai pada
profesionalitas guru yang masih belum memadai dan penghargaan finansial terhadap para
pendidik yang masih sangat rendah. Dalam bahasan ini masalah yang terkait erat adalah
standar keberhasilan belajar yang masih menekankan bidang intelektual dan sekaligus
sentralisasi standar mutu contohnya UNAS: Ujian Nasional, yang mengakibatkan
masyarakat terjerumus pada keyakinan bahwa hasil UNAS adalah satu-satunya ukuran
keberhasilan peserta didik dan juga sekolah sebagai lembaga pendidikan.
Pendidikan dan pembelajaran hendaknya diperbaiki sehingga memberi keseimbangan
pada aspek individualitas ke aspek sosialitas atau kehidupan kebersamaan sebagai
masyarakat manusia. Pendidikan dan pembelajaran hendaknya juga dikembalikan kepada
aspek-aspek kemanusiaan yang perlu ditumbuhkembangkan pada diri peserta didik.
Landasan filosofi pendidikan yang bertujuan mengembangkan dan mengharai aspek
manusia adalah landasan dan teori belajar humanisme.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai
berikut:
1. Apakah yang dimaksud dengan teori belajar humanisme?
2. Bagaimanakah pemahaman belajar menurut teori belajar humanisme?
3. Siapa saja tokoh-tokoh yang mempelopori teori belajar humanisme?
4. Bagaimana implikasi teori belajar humanisme dalam proses belajar mengajar?

C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian teori belajar humanisme.
2. Untuk mengetahui pandangan teori belajar humanisme terhadap belajar.
3. Untuk mengertahui siapa saja tokoh-tokoh yang mempelopori teori belajar
humanisme.
4. Untuk mengetahui implikasi teori belajar humanisme dalam proses belajar
mengajar.
BAB II
PEMBAHASAN
A.Teori Belajar Humanisme
Dalam teori belajar humanistik proses belajar harus berhulu dan bermuara  pada
manusia itu sendiri. Meskipun teori ini sangat menekankan pentingya isi dari proses
belajar, dalam kenyataan teori ini lebih banyak berbicara tentang pendidikan dan proses
belajar dalam bentuknya yang paling ideal. Dengan  kata lain, teori ini lebih tertarik pada
ide belajar dalam bentuknya yang paling ideal dari pada belajar seperti apa adanya, seperti
apa yang bisa kita amati dalam dunia keseharian. Teori apapun dapat dimanfaatkan asal
tujuan untuk “memanusiakan manusia” (mencapai aktualisasi diri dan sebagainya) dapat
tercapai.
Teori Belajar Humanisme adalah suatu teori dalam pembelajaran yang
mengedepankan bagaimana manusia serta peserta didik mampu mengembangkan potensi
dirinya. Manusia bertanggung jawab terhadap pilihan hidup mereka sendiri, sehingga
mampu berbuat segala hal positif untuk membangun dirinya, hal ini karena pada dasarnya
manusia mempunyai potensi untuk menjadi lebih baik asalkan mau mengaktulisasikan diri.
Dalam  teori humanisme, tujuan belajar adalah untuk memanusiakan manusia. Proses
belajar berhasil jika si pelajar telah memahami lingkungannya dan dirinya sendiri.Teori ini
berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan dari sudut
pandang pengamatnya. Tujuan utama para pendidikan ialah membantu siswa untuk
mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal diri
mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu mewujudkan potensi yang ada
pada dirinya.
Teori Humanisme dilihat dari adanya dua bagian pada proses belajar, yaitu :
1. Proses pemerolehan informasi
2. Personalisasi informasi ini pada individu

B. Belajar Menurut Teori Humanisme


Teori belajar humanisme ini memandang bahwa perilaku manusia ditentukan oleh
dirinya sendiri, oleh factor internal dirinya dan bukan oleh kondisi lingkungan ataupun
pengetahuan. Menurut teori belajar humanisme, aktualisasi diri merupakan puncak
perkembangan individu. Ia mampu mengembangkan potensinya dan merasa dirinya utuh,
bermakna dan berfungsi, kebermaknaan perwujudan dirinya itu bahkan bukan saja
dirasakan oleh dirinya sendiri, tetapi juga oleh lingkungan sekitarnya. Teori belajar
humanisme ini yakin bahwa motivasi belajar harus datang dari dalam individu. Bahkan
aliran ini mengabaikan factor intelektual dan emosional. Menurutnya, kedua factor tersebut
tidak terlibat di dalam proses belajar.
Menurut teori ini, proses belajar yang bermakna adalah belajar yang melibatkan
pengalaman langsung, berpikir dan merasakan, atas kehendak sendiri dan melibatkan
seluruh pribadi peserta didik. Belajar yang bermakna tidak lain adalah belajar yang dapat
memenuhi kebutuhan nyata individu. menurut teori humanisme, salah satu karasteristik
yang harus ada pada guru / pendidik adalah memiliki kemampuan memotivasi belajar
peserta didiknya. Selain itu guru memiliki sikap empati, terbuka, keaslian, kekonkritan,dan
kehangatan. Sikap empati merujuk kepada sikap guru yang mampu memposisiskan dirinya
pada kerangka berpikir peserta didik sehingga guru dapat merasakan apa yang peserta
didik rasakan dan alami. Keterbukaan merujuk pada kemampuan guru untuk membuka
diri, sikap dikritik, diberi masukan, siap dinilai, dan diberi ujian. Keaslian merujuk kepada
pemampilan apa adanya dan tidak dibuat-buat. Kekonkretan merujuk pada kejelasan dalam
menyatakan sesuatu.memberi tanggung jawab sesuai dengan kemampuan peserta didik dan
realistis. Kehangatan merujuk pada jalanan komunikasi yang secara psikologis terasa
nyaman dan aman bagi peserta didik disertai ketulusan dalam memberikan pelayanan
pendidikan.
Prof. Dr. Armai Arief, MA.(Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta)
menyatakan bahwa hampir tidak kita sadari bersama saat ini, trend pendidikan yang
berkembang pada beberapa dekade terakhir ini adalah belajar untuk belajar. Bukan lagi
belajar untuk dapat bertahan hidup dalam kondisi yang jauh makin komplek ke depan. Tak
heran proses pembelajaran yang ada di sekolah dapat dinilai kurang demokratis-
humanistik. Kurang adanya ruang bagi peserta didik untuk berimajinasi dan berkreasi guna
menunjukkan eksistensinya sendiri masing-masing. Padahal, kreativitas dan kemampuan
berpikir kritis merupakan kecakapan yang menjadi modal awal anak agar mampu
menghadapi tantangan masa depan yang jauh lebih kompetitif.

C. Tokoh – tokoh teori belajar humanistik


Adapun tokoh – tokoh yang mempelopori psikologi humanistik yang digunakan
sebagai teori belajar humanisme sebagai berikut :
a)    Abraham Maslow
Di kenal sebagai pelopor aliran humanistik.Maslow percaya bahwa manusia
bergerak untuk memahami dan menerima dirinya sebisa mungkin. Teorinya yang paling di
kenal adalah teori tentangHierarchy of Needs( Hirarki kebutuhan ). Dia mengemukakan
bahwa individu berperilaku dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat
hirarkis. Pada diri orang memiliki rasa takut yang dapat membahayakan apa yang sudah ia
miliki dan sebagainya, tetapi di sisi lain memiliki dorongan untuk lebih maju ke arah
keutuhan. Manusia juga bermotivasi untuk memenuhi kebutuhan – kebutuhan hidupnya.
Kebutuhan – kebutuhan tersebut memiliki hirarki ( tingkatan ) mulai dari yang rendah
sampai yang tinggi. Adapun hirarki – hirarki tersebut adalah :
 Kebutuhan fisiologis atau dasar
 Kebutuhan akan aman dan tenteram
 Kebutuhan akan dicintai dan disayangi
 Kebutuhan untuk dihargai
 Kebutuhan untuk aktualisasi diri

b)    Arthur Combs
Bersama dengan Donald Syngg ( 1904 – 1967 ) mereka mencurahkan banyak
perhatian pada dunia pendidikan. Meaning( makna atau arti ) konsep sering yang di
gunakan. Belajar terjadi bila mempunyai arti bagi individu. Guru tidak bisa memaksakan
materi yang tidak di sukai atau tidak relevan dengan kehidupan mereka. Untuk itu guru
harus memahami perilaku siswa dengan mencoba memahami dunia persepsi siswa
tersebut, sehingga apabila merubah perilakunya, seorang guru harus berusaha merubah
keyakinan atau pandangan siswa yang ada.
Combs berpendapat bahwa banyak guru membuat kesalahan dengan berasumsi
bahwa siswa mau belajar apabila materi pelajarannya disusun dan disajikan sebagaimana
mestinya.Padahal arti tidak menyatu pada materi pelajaran itu.Sehingga yang terpenting
adalah bagaimana membawa siswa untuk memperoleh arti bagi kepribadiannya dari materi
pelajaran tersebut dan menghubungkan dalam kehidupan. Combs memberikan persepsi diri
dan dunia seseorang seperti dua lingkaran ( kecil dan besar ).
 Lingkaran kecil adalah gambaran dari persepsi diri
 Lingkaran besar adalah persepsi dunia.
c)    Carl Rogers
Seorang psikolog humanistik yang menekankan perlunya sikap saling menghargai
dan tanpa prasangka dalam membantu mengatasi masalah – masalah kehidupannya.
Menurutnya hal yang terpenting dalam proses pembelajaran adalah pentingnya guru
memperhatikan prinsip pendidikan dan pembelajaran yaitu :
 Menjadi manusia berarti memiliki kekuatan yang wajar untuk belajar. Siswa tidak
harus belajar tentang hal – hal yang tidak ada artinya.
 Siswa akan mempelajari hal – hal yang bermakna bagi dirinya. Pengorganisasian
bahan pelajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai bahan dan
ide baru sebagai bagian yang bermakna bagi siswa.
 Pengorganisasian bahan pengajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru
sebagai bahan yang bermakna bagi siswa.
 Belajar yang bermakna dalam masyarakat modern berarti belajar tentang proses.
Dari bukunya Freedom to learn, ia menunjukan sejumlah prinsip – prinsip yang
terpenting adalah :
 Manusia itu mempunyai kemampuan belajar secara alami
 Belajar yang signifikan terjadi apabila materi pelajaran dirasakan murid
mempunyai relevansi dengan maksud – maksud tersendiri.
 Belajar yang menyangkut perubahan di dalam persepsi mengenai dirinya sendiri
di anggap mengancam dan cenderung untuk ditolaknya.
 Belajar yang bermakna di peroleh siswa dengan melakukanya.
 Belajar diperlancar bilamana siswa dilibatkan dalam proses belajar dan ikut
bertanggung jawab terhadap proses belajar itu.
Salah satu model pendidikan terbuka mencakup konsep mengajar guru yang
fasilitatif yang dikembangkan Rogers diteliti oleh Aspy dan Roebuck pada tahun 1975
mengenai kemampuan para guru untuk menciptakan kondisi yang mendukung yaitu
empati, penghargaan dan umpan balik positif.  Ciri-ciri guru yang fasilitatif adalah :
 Merespon perasaan siswa
 Menggunakan ide-ide siswa untuk melaksanakan interaksi yang sudah dirancang
 Berdialog dan berdiskusi dengan siswa
 Menghargai siswa
 Kesesuaian antara perilaku dan perbuatan
 Menyesuaikan isi kerangka berpikir siswa ( penjelasan untuk memantapkan
kebutuhan segera dari siswa )
 Tersenyum pada siswa
Dari penelitian itu diketahui guru yang fasilitatif mengurangi angka bolos siswa,
meningkatkan angka konsep diri siswa, meningkatkan upaya untuk meraih prestasi
akademik termasuk pelajaran bahasa dan matematika yang kurang disukai, mengurangi
tingkat problem yang berkaitan dengan disiplin dan mengurangi perusakan pada peralatan
sekolah, serta siswa menjadi lebih spontan dan menggunakan tingkat berpikir yang lebih
tinggi.
Bagaimana proses belajar dapat terjadi menurut teori belajar humanisme? Orang
balajar karena ingin mengetahui dunianya. Individu memilih sesuatu untuk dipelajari,
mengusahakan proses belajar dengan caranya sendiri, dan menilainya sendiri tentang
apakah proses belajarnya berhasil.

d)   Bloom dan Krathwohl


Dalam hal ini, Bloom dan Krathwohl menunjukkan apa yang mungkin dikuasai
( dipelajari ) oleh siswa, yang tercakup dalam tiga kawasan berikut.
1.    Kognitif
Kognitif terdiri dari tiga tingkatan:
a. Pengetahuan ( mengingat, menghafal );
b. Pemahaman ( menginterpretasikan );
c. Aplikasi ( menggunakan konsep untuk memecahkan suatu masalah );
d. Analisis ( menjabarkan suatu konsep );
e. Sintesis ( menggabungkan bagian-bagian konsep menjadi suatu konsep utuh);
f. Evaluasi ( membandingkan ide, nilai, metode, dsb ).
2.    Psikomotor
Psikomotor terdiri dari lima tingkatan, yaitu:
a. Peniruan ( menirukan gerak );
b. Penggunaan ( menggunakan konsep untuk melakukan gerak );
c. Ketepatan ( melakukan gerak dengan benar );
d. Perangkaian ( melakukan beberapa gerakan sekaligus dengan benar );
e. Naturalisasi ( melakukan gerak secara wajar ).
3.    Afektif
Afektif terdiri dari lima tingkatan, yaitu:
a. Pengenalan ( ingin menerima, sadar akan adanya sesuatu );
b. Merespon ( aktif berpartisipasi );
c. Penghargaan ( menerima nilai-nilai, setia kepada nilai-nilai tertentu);
d. Pengorganisasian ( menghubung - hubungkan nilai-nilai yang dipercayai );
e. Pengalaman ( menjadikan nilai-nilai sebagai bagian dari pola hidup ).

e)    Kolb
Sementara itu, Kolb membagi tahapan belajar menjadi empat tahap, yaitu:
1. Pengalaman konkret;
Pada tahap ini seorang siswa hanya mampu sekedar ikut mengalami suatu
kejadian.Dia belum mempunyai kesadaran tentang hakikat kejadian
tersebut.Dia pun belum mengerti bagaimana dan mengapa suatu kejadian harus
terjadi seperti itu.
2. Pengalaman aktif dan reflektif;
Siswa lambat laun mampu mengadakan observasi aktif terhadap kejadian itu,
serta mulai berusaha memikirkan dan memahaminya.
3. Konseptualisasi;
Siswa mulai belajar untuk membuat abstraksi atau “teori” tentang sesuatu hal
yang pernah diamatinya. Pada tahap ini siswa diharapkan sudah mampu untuk
membuat aturan-aturan umum ( generalisasi ) dari berbagai contoh kejadian
yang meskipun tampak berbeda-beda, tetapi mempunyai landasan aturan yang
sama.
4. Eksperimentasi aktif
Siswa sudah mampu mengaplikasikan suatu aturan umum ke situasi yang baru.
Dalam dunia matematika misalnya, siswa tidak hanya memahami “ asal-usul”
sebuah rumus, tetapi ia juga mampu memakai rumus tersebut untuk
memecahkan suatu masalah yang belum pernah ia temui sebelumnya.

f)    Honey dan Mumford


Berdasarkan teori Kolb ini, Honey dan Mumford menggolongkan siswa menjadi
empat tipe, yakni:
1. Aktivis
2. Ciri dari siswa ini adalah suka melibatkan diri pada pengalaman-pengalaman baru
dan cenderung berpikiran terbuka serta mudah diajak berdialog.Namun, siswa
seperti ini biasanya kurang skeptis terhadap sesuatu.Dalam belajar mereka
menyukai metode yang mampu mendorong seseorang menemukan hal-hal baru,
seperti brainstorming atau problem solving.Akan tetapi mereka cepat merasa
bosan dengan hal-hal yang perlu waktu lama dalam implementasi.
3. Reflektor
4. Siswa tipe ini cenderung sangat berhati-hati mengambil langkah sehingga dalam
mengambil keputusan mereka lebih suka menimbang-nimbang secara cermat baik
buruknya.
5. Teoris
6. Siswa tipe ini biasanya sangat kritis, senang menganalisis, dan tidak menyukai
pendapat atau penilaian yang sifatnya subjektif.Berpikir rasional adalah sangat
penting.Dan mereka cenderung sangat skeptis dan tidak suka hal-hal yang
spekulatif.
7. Pragmatis
8. Siswa pada tipe ini menaruh perhatian besar pada aspek-aspek praktis dari segala
hal. Bagi mereka teori memang penting, tapi tidak akan berguna jika tidak
dipraktikkan.
g) Habermas
Menurutnya belajar sangat dipengaruhi oleh interaksi, baik dari lingkungan maupun
dengan sesama manusia. Dengan asumsi ini Habermas membagi belajar menjadi tiga
bagian, yaitu:
1. Belajar teknis ( technical learning )
2. Dalam belajar teknis siswa belajar bagaimana berinteraksi dengan alam
sekelilingnya. Mereka berusaha menguasai dan mengelola alam dengan cara
mempelajari ketrampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk itu.
3. Belajar praktis ( practical learning )
4. Pada belajar ini siswa juga belajar berinteraksi, tetapi yang lebih dipentingkan
adalah interaksi dia dengan orang-orang di sekelilingnya.
5. Belajar emansipatoris ( emancipatory learning)
6. Pada belajar ini siswa berusaha mencapai pemahaman dan kesadaran yang sebaik
mungkin tentang perubahan ( transformasi ) kultural dari suatu lingkungan. Inilah
tujuan pendidikan yang paling tinggi.
Psikologi humanistik dan pengajaran di dalam bagian ini berisi tentang bagaimana para
psikolog humanistik berupaya menggabungkan keterampilan dan informasi kognitif
dengan segi efektif , nilai – nilai,  dan perilaku antar pribadi. Sehubungan dengan itu akan
di bicarakan tiga macam program :
a. Confluent education
Adalah proses pendidikan yang memadukan atau mempertemukan pengalaman
–  pengalaman efektif dengan belajar kognitif di dalam kelas. Sebagai contoh  guru
bahasa indonesia memberikan tugas pada para siswa untuk membaca sebuah novel,
katakanlah misalnya tentang “keberanian” sebuah novel perang. Melalui tugas itu
siswa diharapkan memahami isi bacaan tersebut dengan sebaik – sebaiknya tetapi
juga memperoleh kesadaran antar pribadi yang lebih baik dengan jalan membahas
pengertian mereka sendiri mengenai keberanian dan perasaan takut. Untuk
keperluan itu tugas tersebut di lengkapi dengan tugas – tugas yang berkaitan, antara
lain :
1. Mewawancarai orang – orang yang tahu tentang perang.
2. Mendengarkan musik perang, menuliskan pikiran – pikiran dan perasaan
yang timbul secara bebas, kemudian menghayatinya dalam kelompok –
kelompok kecil.
3. Memperdebatkan apakah perang itu dapat dihindari ataukah tidak.
4. Membandingkan perang saudara dengan sajak – sajak perang.
b. Open Education
Adalah proses pendidikan terbuka, Menurut Walberg dan Thomas (1972), open
education itu memiliki delapan kriteria :
1. Kemudahan belajar tersedia, artinya berbagai macam bahan yang di
perlukan untuk belajar tersedia
2. Penuh kasih sayang, hormat, terbuka dan hangat artinya menggunakan
bahan buatan siswa : guru menangani masalah – masalah tingkah laku
dengan jalan berkomunikasi secara pribadi dengan siswa yang bersangkutan
saja.
3. Mendiagnosis peristiwa – peristiwa belajar , artinya siswa – siswa
memeriksa pekerjaan mereka sendiri.
4. Pengajaran, artinya pengajaran individual ; tidak ada tes ataupun buku kerja.
5. Penilaian, artinya guru membuat penilaian secara individual : hanya sedikit
sekali di adakan test formal.
6. Mencari kesempatan untuk pertumbuhan profesional, artinya guru
menggunakan bantuan orang lain, guru bekerja dengan teman – teman
sekerjanya.
7. Persepsi guru sendiri, artinya guru berusaha mengamati semua siswa untuk
memantau kegiatan mereka.
8. Asumsi tentang para siswa dan proses belajar, artinya suasana kelas hangat
dan ramah, sehingga para siswa asyik melakukan sesuatu.
Meskipun pendidikan terbuka itu memberikan kesempatan pada para siswa untuk
bergerak secara bebas di sekitar ruangan dan memilih aktifitas belajar mereka sendiri,
namun bimbingan guru tetap di perlukan. Kira-kira perlu di catat bahwa open education ini
lebih efektif dari pada pendidikan tradisional dalam hal meningkatkan hal belajar yang
bersifat efektif, kerja sama, kreatifitas, dll.
c. Cooperative learning
Belajar cooperative merupakan fondasi yang baik untuk meningkatkan dorongan
berprestasi siswa. Menurut Slavin (1980) cooperative memiliki tiga karakterisik sebagai
berikut :
1. Siswa belajar dalam tim – tim yang kecil (4-6 orang anggota) komposisi ini
tetap selama berminggu – minggu.
2. Siswa di dorong untuk saling membantu dalam mempelajari bahan yang
bersifat akademik atau dalam melakukan tugas kelompok.
3. Siswa diberi imbalan atau hadiah bagi yang berprestasi.
Adapun teknik dalam belajar cooperative learning itu ada empat macam :
1. Team game tournament (TGT); dalam teknik ini siswa –siswa yang
kemampuan dan jenis kelaminnya berbeda di satukan dalam team (4 orang).
Setelah itu guru menyajikan soal dan team lalu mengerjakan, saling
mengajukan pertanyaan dan belajar bersama se team untuk menghadapi
tournament yang biasanya di selenggarakan seminggu sekali.
2. Teams– achievement divisions; teknik ini juga menggunakan team (4 orang)
tetapi kegiatan tournament  di ganti dengan bertanya selama lima belas
menit. Skor – skor pertanyaan menjadi skor team.
3. Jigsaw, dalam teknik ini siswa di masukan dalam tim –tim kecil yang
bersifat heterogen. Bahan pelajaran di bagikan kepada anggota anggota
team. Kemudian siswa tersebut mempelajari bahan pelajaran yang sama
dengan team lain kemudian mereka kembali ke kelompoknya masing –
masing dan menjelaskan apa yang telah dipelajari dari kelompok lain
tersebut kepada kelompoknya.
4. Group investigation adalah teknik di mana para siswa bekerja di dalam
kelompok – kelompok kecil yang menangani berbagai macam proyek kelas.
Setiap kelompok membagi tugas tersebut menjadi sub topik – sub topik,
kemudian setiap anggota kelompok melakukan penelitian yang di perlukan
untuk mencapai tujuan kelompok, setelah itu kelompok mengajukan hasil
penelitiannya kepada kelas. Dalam metode ini hadiah atau point tidak di
berikan.
          Menurut cooperative learning itu pada umumnya mempunyai efek yang positif
terhadap prestasi akademik.Keberhasilan cooperative learning ini juga tergantung dengan
kemampuan siswa berinteraksi di dalam kelompok.

D. Implikasi Teori Belajar Humanisme


Guru sebagai fasilitator Psikologi, paham humanistik memberi perhatian atas guru
sebagai fasilitator, berikut ini adalah berbagai cara untuk memberi kemudahan belajar dan
berbagai kualitas si fasilitator. Ini merupakan ikthisar yang sangat singkat dari beberapa
petunjuk.
1. Fasilitator sebaiknya memberi perhatian kepada penciptaan suasana awal, situasi
kelompok, atau pengalaman kelas.
2. Fasilitator membantu untuk memperoleh dan memperjelas tujuan-tujuan
perorangan didalam kelas, dan juga tujuan-tujuan kelompok ang bersifat umum.
3. Dia mempercayai adanya keinginan dari masing-masing siswa untuk melaksanakan
tujuan-tujuan yang bermakna bagi dirinya, sebagai kekuatan pendorong yang
tersembunyi didalam belajar ang bermakna tadi.
4. Dia mencoba mengatur dan menyediakan sumber-sumber untuk belajar ang paling
luas dan mudah dimanfaatkan para siswa untuk membantu mencapai tujuan
mereka.
5. Dia menempatkan dirinya sendiri sebagai suatu sumber yang fleksibel untuk dapat
dimanfaatkan oleh kelompok.
6. Didalam menaggapi ungkapan-ungkapan dalam kelompok kelas, dan menerima
baik isi yang bersifat intelektual dan sikap-sikap perasaan dan mencoba untuk
menaggapi dengan cara ang sesuai, baik bagi individu maupun kelompok.
7. Bilamana cuaca penerima kelas telah mantap, fasilitator berangsur-angsur dapat
berperan sebagai seorang siswa yang turut berpartisipasi, seorang anggota
kelompok, dan turut menyatakan pandangannya sebagai seorang individu, seperti
siswa yang lain.
8. Dia mengambil prakarsa untuk ikut serta dalam kelompok, perasaan dan juga
pikirannya dengan tidak menuntut dan juga tidak memaksakan, tetapi sebagai suatu
andil secara pribadi yang boleh saja digunakan atau ditolak oleh siswa.
9. Dia harus tetap waspada terhadap ungkapan-ungkapan yang menandakan adanya
perasaan yang dalam dan kuat selama belajar.
10. Didalam berperan sebagai seorang fasilitator, pimpinan harus mencoba untuk
mengenali dan menerima keterbatasanna sendiri
Pada hakikatnya seorang pendidik adalah seorang fasilitator. Fasilitator baik dalam
aspek kognitif, afektif, psikomotorik, maupun konatif. Seorang pendidik hendaknya mampu
membangun suasana belajar yang kondusif untuk belajar-mandiri (self-directed learning).
Ia juga hendaknya mampu menjadikan proses pembelajaran sebagai kegiatan eksplorasi
diri. Galileo menegaskan bahwa “sebenarnya kita tidak dapat mengajarkan apapun, kita
hanya dapat membantu peserta didik untuk menemukan dirinya dan mengaktualisasikan
dirinya”. Setiap pribadi manusia memiliki ldquo, (mutiara talenta yang tersembunyi di
dalam diri), tugas pendidikan yang sejati adalah membantu peserta didik untuk
menemukan dan mengembangkannya seoptimal mungkin.
Mendidik yang efektif pada dasarnya merupakan kemampun seseorang yang
menghadirkan diri sedemikian sehingga pendidik memiliki relasi bermakna pendidikan
dengan para peserta didik sehingga mereka mampu menumbuhkembangkan dirinya
menjadi pribadi dewasa dan matang. Pendidikan yang efektif adalah yang berpusat pada
siswa atau pendidikan bagi siswa. Dasar pendidikannya adalah apa yang menjadi & ldquo;
dunia & idquo;, minat, dan kebutuhan-kebutuhan peserta didik. Pendidik membantu
peserta didik untuk menemukan, mengembangkan dan mencoba mempraktikkan
kemampuan-kemampuan yang mereka miliki (the learners-centered teaching). Ciri utama
pendidikan yang berpusat pada siswa adalah bahwa pendidik menghormati, menghargai
dan menerima siswa sebagaimana adanya. Komunikasi dan relasi yang efektif sangat
diperlukan dalam model pendidikan yang berpusat pada siswa, sebab hanya dalam suasana
relasi dan komunikasi yang efektif, peserta didik akan dapat mengeksplorasi dirinya,
mengembangkan dirinya dan kemudian mem - ldquo; fungsi & idquo; -kan dirinya di
dalam masyarakat secara optimal.
Tujuan sejati dari pendidikan adalah pertumbuhan dan perkembangan diri peserta didik
secara utuh sehingga mereka menjadi pribadi dewasa yang matang dan mapan, mampu
menghadapi berbagai masalah dan konflik dalam kehidupan sehari-hari. Agar tujuan ini
dapat tercapai maka diperlukan sistem pembelajaran dan pendidikan yang humanis serta
mengembangkan cara berpikir aktif-positif dan keterampilan yang memadai (income
generating skills). Pendidikan dan pembelajaran yang bersifat aktif-positif dan berdasarkan
pada minat dan kebutuhan siswa sangat penting untuk memperoleh kemajuan baik dalam
bidang intelektual, emosi/perasaan (EQ), afeksi maupun keterampilan yang berguna untuk
hidup praktis.
Tujuan pendidikan pada hakikatnya adalah memanusiakan manusia muda (N.
Driyarkara). Pendidikan hendaknya membantu peserta didik untuk bertumbuh dan
berkembang menjadi pribadi-pribadi yang lebih bermanusiawi (semakin & ldquo; penuh &
idquo; sebagai manusia), berguna dan berpengaruh di dalam masyarakatnya, yang
bertanggungjawab dan bersifat proaktif dan kooperatif. Masyarakat membutuhkan pribadi-
pribadi yang handal dalam bidang akademis, keterampilan atau keahlian dan sekaligus
memiliki watak atau keutamaan yang luhur. Singkatnya pribadi yang cerdas, berkeahlian,
namun tetap humanis.
Ki Hajar Dewantara, pendidik asli Indonesia, melihat manusia lebih pada sisi kehidupan
psikologiknya. Menurutnya manusia memiliki daya jiwa yaitu cipta, karsa dan karya.
Pengembangan manusia seutuhnya menuntut pengembangan semua daya secara seimbang.
Pengembangan semua daya secara seimbang. Pengembangan yang terlalu menitikberatkan
pada satu daya saja akan menghasilkan ketidakutuhan perkembangan sebagai manusia.
Beliau mengatakan bahwa pendidikan yang menekankan pada aspek intelektual belaka
hanya akan menjauhkan peserta didik dari masyarakatnya. Dan ternyata pendidikan sampai
sekarang ini hanya menekankan pada pengembangan daya cipta, dan kurang
memperhatikan pengembangan olah rasa dan karsa. Jika berlanjut terus akan menjadikan
manusia kurang humanis atau manusiawi. Dari titik pandang sosio-anthropologis,
kekhasan manusia yang membedakannya dengan makhluk lain adalah bahwa manusia itu
berbudaya, sedangkan makhluk lainnya tidak berbudaya. Maka salah satu cara yang efektif
untuk menjadikan manusia lebih manusiawi adalah dengan mengembangkan
kebudayaannya. Persoalannya budaya dalam masyarakat itu berbeda-beda.
Saat ini model pendidikan yang dibutuhkan adalah model pendidikan yang demokratis,
partisipatif, dan humanis: adanya suasana saling menghargai, adanya kebebasan
berpendapat/berbicara, kebebasan mengungkapkan gagasan, adanya keterlibatan peserta
didik dalam berbagai aktivitas di sekolah, dan kemampuan hidup bersama dengan teman
yang mempunyai pandangan berbeda. Oleh karena itu, paradigma pembelajaran dan
pendidikan seyogianya merupakan sebuah paradigma pembelajaran yang sedari tingkat
filosofis, strategi, pendekatan proses dan teknologi pembelajarannya menuju ke arah
pembebasan anak didik dengan segala eksistensinya. Dengan demikian, baru anak didik
bisa bebas mewujudkan keseluruhan potensi dirinya.
Sistem pendidikan hendaknya berpusat pada peserta didik, artinya kurikulum,
administrasi, kegiatan ekstrakurikuler maupun kokurikulernya, sistem pengelolaannya
harus dirumuskan dan dilaksanakan demi kepentingan peserta didik, bukan demi
kepentingan guru, sekolah atau lembaga lain. Pendidikan yang hanya memusatkan pada
kepentingan kebutuhan kerja secara sempit harus dikembalikan kepada kepentingan
pertumbuhan dan perkembangan kepribadian peserta didik secara utuh. Seperti misalnya
kemampuan bernalar, berpikir aktif-positif, kreatif, menemukan alternatif dan prosesnya
menjadi pribadi yang utuh (process of becoming). Peserta didik hendaknya benar-benar
dikembalikan sebagai subyek (dan juga obyek) pendidikan dan bukannya obyek semata-
mata.
Pembudayaan nilai kreativitas, otonomi/kemandirian, dan relevansi pendidikan
merupakan kunci rekulturasi. UNESCO merekomendasikan pembaharuan pendidikan dan
pembelajaran yang amat menunjang proses ini, pada lima konsep pokok paradigma
pembelajaran dan pendidikan, yaitu:
1. Learning to know
Guru hendaknya mampu menjadi fasilitator bagi peserta didiknya. Information
supplier (ceramah, putar pita kaset) sudah tidak jamannya lagi. Peserta didik
dimotivasi sehingga timbul kebutuhan dari dirinya sendiri untuk memperoleh
informasi, keterampilan hidup (income generating skills), dan sikap tertentu yang
ingin dikuasainya.
2. Learning to do
Peserta didik dilatih untuk secara sadar mampu melakukan suatu perbuatan atau
tindakan produktif dalam ranah pengetahuan, perasaan dan penghendakan. Peserta
didik dilatih untuk aktif-positif daripada aktif-negatif. Pengajaran yang hanya
menekankan aspek intelektual saja sudah usang.
3. Learning to live together
Adalah tanggapan nyata terhadap arus deras spesialisme dan individualisme. Nilai
baru seperti kompetisi, efisiensi, keefektifan, kecepatan, telah diterapkan secara
keliru dalam dunia pendidikan. Sebagai misal, sebenarnya kompetisi hanya akan
bersifat adil kalau berada dalam paying kooperatif dan didasarkan pada kesamaan
kemampuan, kesempatan, lingkup, sarana, tanpa itu semua hanyalah merupakan
kompetisi yang akan mengakibatkan yang “kalah” akan selalu “kalah”. Sekolah
sebagai suatu masyarakat mini seharusnya mengajarkan “cooperatif learning”,
kerjasama dan bersama-sama, dan bukannya pertandingan intelektualistik semata-
mata, yang hanya akan menjadikan manusia pandai tetapi termakan oleh
kepandaiannya sendiri dan juga membodohi orang lain. Sekolah menjadi suatu
paguyuban penuh kekeluargaan dan mengembangkan daya cipta, rasa dan karsa,
atau aspek-aspek kemanusiaan manusia.
4. Learning to be
Dihayati dan dikembangkan untuk memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Setiap
peserta didik memiliki harga diri berdasarkan diri yang senyatanya. Peserta didik
dikondisikan dalam suasana yang dipercaya, dihargai, dan dihormati sebagai
pribadi yang unik, merdeka, berkemampuan, adanya kebebasan untuk
mengekspresikan diri, sehingga terus menerus dapat menemukan jati dirinya.
Subyek didik diberikan suasana dan sistem yang kondusif untuk menjadi dirinya
sendiri.
5. Learning throughout life
Yaitu bahwa pembelajaran tidak dapat dibatasi oleh ruang dan waktu.
Pembelajaran dan pendidikan berlangsung seumur hidup. Pelaku pendidikan
formal hendaknya berorientasi pada proses dan bukan pada hasil atau produk
semata.

E. Kelebihan dan Kekurangan Teori Belajar Humanisme


 Kelebihan Teori Belajar Humanisme
1. Teori ini cocok untuk diterapkan dalam materi pembelajaran yang bersifat
pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, dan analisis terhadap
fenomena sosial.
2. Indikator dari keberhasilan aplikasi ini adalah siswa merasa senang bergairah,
berinisiatif dalam belajar dan terjadi perubahan pola pikir, perilaku dan sikap atas
kemauan sendiri.
3. Siswa diharapkan menjadi manusia yang bebas, tidak terikat oleh pendapat orang
lain dan mengatur pribadinya sendiri secara bertanggung jawab tanpa mengurangi
hak-hak orang lain atau melanggar aturan, norma, disiplin atau etika yang berlaku.
 Kekurangan Teori Belajar Humanisme
1. Siswa yang tidak mau memahami potensi dirinya akan ketinggalan dalam proses
belajar.
2. Siswa tidak aktif dan malas belajar akan merugikan diri sendiri dalam proses
belajar

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian pembahasan, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Teori belajar humanisme adalah teori belajar yang menyatakan bahwa tujuan belajar
adalah untuk memanusiakan manusia. Proses belajar berhasil jika si pelajar telah
memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Tujuan utama para pendidikan ialah
membantu siswa untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing individu
untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu
mewujudkan potensi yang ada pada dirinya.
2. Belajar menurut paham Humanisme adalah proses belajar yang bermakna adalah belajar
yang melibatkan pengalaman langsung, berpikir dan merasakan, atas kehendak sendiri dan
melibatkan seluruh pribadi peserta didik. Belajar yang bermakna tidak lain adalah belajar
yang dapat memenuhi kebutuhan nyata individu.
3. Implikasi pembelajaran humnisme adala adanya sistem pendidikan yang hendaknya
berpusat pada peserta didik, artinya kurikulum, administrasi, kegiatan ekstrakurikuler
maupun kokurikulernya, sistem pengelolaannya harus dirumuskan dan dilaksanakan demi
kepentingan peserta didik, bukan demi kepentingan guru, sekolah atau lembaga lain.

3.2 Saran
Kami menyarankan dan berharap pemerintah mengusahakan pembaharuan dalam
institusi pendidikan di negara Indonesia, harus dicarikan sebuah konsep pendidikan yang
beroerientasi pada potensi dasar manusia secara lebih sistematik dan realistik. Pendidikan
dan pembelajaran hendaknya diperbaiki sehingga memberi keseimbangan pada aspek
individualitas ke aspek sosialitas atau kehidupan kebersamaan sebagai masyarakat
manusia. Pendidikan dan pembelajaran hendaknya juga dikembalikan kepada aspek-aspek
kemanusiaan yang perlu ditumbuhkembangkan pada diri peserta didik.

DAFTAR PUSTAKA
Annonimus. 2008. Teori Humanistik. (online)http://apadefinisinya.blogspot.com
/2008/05/teori-humanistik.html.Diakses pada tanggal 6 September 2013.
Baharuddin, dan Makin, Moh. 2007. Pendidikan Humanistik (Konsep, Teori dan Aplikasi
dalam Dunia Pendidikan). Ar-Ruzz Media :Yogyakarta.
Haqiqi. 2007. Teori Humanisme. (online) http://haqiqie.wordpress.com/humanisme-dalam-
pikiranku-apakah-itu. Diakses pada tanggal 6 September 2013.
Karwono, dan Mularsih, Heni. 2010. Belajar dan Pembelajaran Serta Pemanfaatan
Sumber Belajar. Jakarta: Cerdas Jaya.
Riyanto. 2007. Pendidikan yang Humanis. (online) http://www.sfeduresearch.org. Diakses
pada tanggal 6 September 2013.

Anda mungkin juga menyukai