Anda di halaman 1dari 3

Kebijakan Pertahanan Dalam UU Cipta Kerja Untuk Mendukung Investasi Dan

Pembangunan Infrastruktur

Peraturan pemerintah (PP) No 64 Tahun 2021 tentang badan Bank Tanah (BT) adalah
membuat perencanaan, perolehan tanah, pengadaan tanah, pengelolaan tanah, pemanfaatan
tanah, dan pendistrbusian tanah (Pasal 3).

Dalam rangka bekerja sama dengan pihak lain, tanah yang diperuntukan badan bank tanah
(BBT) diberikan dengan hak pengelolaan (HPL). Di atas HPL itu dapat diberikan hak guna
usaha (HGU), hak guna bangunan (HGB), dan hak pakai (HP), sebagai catatan, pemberian
HGU di atas HPL, itu bertentangan dengan UU No 5 Tahun 1960 (UUPA) walaupun definisi
HGU, HGB, dan HP tetap didasarkan UUPA.

Reforma Agraria

Rumusan reforma agraria (A) dalam UU Cipta Kerja itu berasal dari rumusan RA di RUU
Pertahanan (RUUP) versi setelah Mei 2019 ketika pemerintahan bermaksud membentuk
lembaga pengelola tanah (LPT) dengan tujuan menyediakan tanah untuk; a) kepentingan
umum; b) kepentingan sosial; c) kepentingan pembangunan; d) pemerataan ekonomi; dan e)
konsolidasi lahan.

Kritik tajam dari berbagai pihak yang menengarai bahwa pembentukan LPT sangat bias pada
kepentingan investasi diredam dengan menambahkan “RA dan keadilan pertanian”

Dalam PP, ketersediaan tanah untuk RA dirumuskan dalam pasal 2 ayat (1) huruf f dan
diulang lagi dalam pasal 16 huruf f.

Kontestagi Atau Sinergi

Pencantuman RA dalam PP yang sejak awal tidak diniatkan untuk diatur dalam UU CiPta
Kerja, Jika tidak diklarifikasi, berpotensi memutar balik perjalanan RA.

Berbagai kendala yang menyebabkan kurang gesitnya kerja-kerja gugus tugas reforma agraria
(GTRA) sesuai pengamatan di lapangan dikarenakan belum tersedianya kebijakan dan
mekanisme penyelesaian tersebut

Kekuranglancaran kerja GTRA itu dijawab dengan komitmen presiden untuk akselerasi
penyelesaian konflik agraria dan redistribusi tanah pada pengunjung 2020. Realisasi
komitmen tersebut adalah terbentuknya "Tim percepatan Penyelesaian konflik agraria dan
penguatan kebijakan reforma agraria tahun 2021".
Komentar

Di tingkat global telah menguat konsepsi pembangunan yang berkelanjutan yang meletakkan
3 (tiga) pilar Pembangunan Berkelanjutan: aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Pemerintah harus mengoptimalkan agar ketiga pilar Pembangunan Berkelanjutan tersebut
berjalan simultan dan bukan hanya mengedepankan salah satu aspek saja. Sayangnya di
dalam UU Cipta Kerja paradigma pendekatan pembangunan yang dianut menekankan
pembangunan di ranah ekonomi dan cenderung mengabaikan aspek sosial (keadilan sosial)
dan lingkungan. Tendensi ini adalah kemunduran dari pendekatan yang sebelumnya sudah
mengarah pada inklusivitas dengan model pembangunan berkelanjutan (sustainable
development).

Paradigam di atas terlihat dalam penekanan substansi UU Cipta Kerja. Secara substansi; dari
delapan bidang yang dianalisis Tim menyimpulkan bahwa bidang-bidang yang masih sangat
bermasalah adalah bidang peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha khususnya
a) persyaratan Investasi; b) tata ruang; c) kehutanan; d) lingkungan hidup), ketenagakerjaan,
pertanahan, dukungan riset dan inovasi pidana. Bidang-bidang ini memiliki dampak yang
luas dalam kehidupan sosial dan lingkungan. Bidang-bidang yang relative sudah ada
perubahan adalah bidang Kemudahan, Perlindungan, dan Pemberdayaan Koperasi, Usaha
Mikro, Kecil, dan Menengah (UMK-M), kemudahan berusaha (perpajakan), pertanahan, dan
penerapan Sanksi (sanksi pidana). Walaupun demikian terhadap ketiga bidang ini tetap ada
persoalan-persoalan substansi yang masih harus atur lebih lanjut.

Untuk meletakkan kepentingan utama bahwa kesuksesan untuk mendapatkan investasi, maka
ada penerabasan prinsip dasar dari proses legislasi dan teknis penyusunan peraturan
perundang-undangan. Proses legislasi terhadap sebuah peraturan perundang-undangan
harusnya mencerminkan proses yang partisipatif dan memenuhi prinsip kehati-hatian
khususnya dalam masyarakat yang demokratis dalam kontek negara hukum (rule of law).
Pengubahan sekurang-kurangnya 79 Undang-undang cenderung dilakukan secara
serampangan dan tidak hati-hati. Selain itu ada pengabaian partisipasi masyarakat yang
beragam dalam penyusunan UU ini. Bahkan, dalam substansi di dalam UU, partisipasi
masyarakat atau kelompok sosial lainnya dalam perencanaan pembangunan dianggap sebagai
proses yang penghambat investasi. Secara teknis peraturan perundang-undangan UU Cipta
melakukan pendelegasian setidaknya 476 aturan turunan. Dalam rancangan Pemerintah akan
dibuat 36 PP dan 5 Perpres dan beberapa aturan lainnya dengan jangka waktu sangat pendek
yaitu tiga bulan. Proses yang cenderung tertutup dengan jangka waktu mendesak berpotensi
menimbulkan peraturan yang tidak matang secara substansi. Belum lagi penyusunan 36 PP
akan berpengaruh terhadap ratusan PP yang berarti akan memunculkan model PP yang
omnibus.

Anda mungkin juga menyukai