Anda di halaman 1dari 29

KEGIATAN BELAJAR 2:

TEORI BELAJAR HUMANISTIK,


KONSTRUKTIVISTIK, DAN TEORI BELAJAR
SOSIAL SERTA PENERAPANNYA DALAM
KEGIATAN PEMBELAJARAN

Sub-Capaian Pembelajaran

1. Menentukan aplikasi teori belajar humanistik dalam kegiatan


pembelajaran
2. Menentukan aplikasi teori belajar konstruktivistis dalam kegiatan
pembelajaran
3. Menentukan aplikasi teori belajar sosial dalam Kegiatan Pembelajaran

Materi Pembelajaran

A. Teori Belajar Humanistik


1. Pengertian Belajar Menurut Teori Humanistik
2. Teori Belajar Menurut Para Ahli Humanistik
3. Prinsip-prinsip Teori Belajar Humanistik
4. Aplikasi Teori Belajar Humanistik dalam Kegiatan Pembelajaran

B. Teori Belajar Konstruktivisme


1. Konsep belajar menurut konstruktivistik
2. Proses mengkonstruksi pengetahuan
3. Proses Belajar Menurut Teori Konstruktivistik
4. Konstruksi Pengetahuan Menurut Lev Vygotsky (1896-1934)
5. Aplikasi Teori Belajar Konstruktivistik dalam Kegiatan Pembelajaran

39
C. Teori Belajar Sosial
1. Konsep Belajar Menurut Teori Belajar Sosial
2. Aplikasi Teori Belajar Sosial terhadap Kegiatan Pembelajaran

URAIAN MATERI

A. Toeri Belajar Humanistik


Pendidikan harus berkualitas untuk menghasilkan lulusan yang mampu
menghadapi dinamika perkembangan masyarakat dan teknologi yang begitu
pesat. Di satu sisi teknologi mampu digunakan untuk membantu menyelesaikan
berbagai masalah, di sisi lain merupakan tantangan yang sangat besar bagi dunia
pendidikan untuk bertransformasi (Christensen, 1997). Pendidikan harus
dikelola untuk menghasilkan lulusan yang memiliki kecakapan yang
dibutuhkan di abad 21, yaitu mampu belajar dan berinovasi, berpikir kritis dan
mampu memecahkan masalah, memiliki kreativitas serta mampu
berkomunikasi dan berkolaborasi.

Siswa harus menguasai literasi digital meliputi literasi informasi, literasi


media dan literasi teknologi. Siswa perlu memiliki kecakapan hidup yaitu
fleksibilitas dan adaptabilitas, inisiatif dan mandiri, mampu berinteraksi lintas
sosial budaya, produktivitas dan akuntabilitas serta sikap kepemimpinan dan
tanggung jawab. Di samping hal-hal tersebut, siswa harus kuat karakter
moralnya, seperti cinta tanah air, memiliki nilai-nilai budi pekerti luhur, jujur,
adil, empati, penyayang, rasa hormat dan kesederhanaan, pengampun dan
rendah hati. Guna mencapai semua tujuan tersebut diperlukan pembelajaran
yang berkualitas. Ini semua menjadi tantangan bagi para guru untuk membekali
para siswanya dengan berbagai pengetahuan keterampilan dan sikap, guna
mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan di atas.

40
Apa yang bapak/ibu ketahui tentang teori belajar humanistik?

Dalam kegiatan belajar ini, bapak/ibu akan menemukan jawaban dari


pertanyaan di atas melalui uraian materi yang diberikan.

1. Pengertian Belajar Menurut Teori Humanistik


Teori humanistik berangkat dari aliran humanisme sebagai reaksi atas
aliran behaviorisme. Teori belajar ini berusaha memahami perilaku belajar
dari sudut pandang pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatnya
(Uno, 2006: 13). Tujuan utama para pendidik adalah membantu peserta didik
untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing individu
untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan
membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka.

Dalam teori belajar humanistik proses belajar harus berhulu dan


bermuara pada siswa itu sendiri sebagai manusia. Meskipun teori ini sangat
menekankan pentingya isi dari proses belajar, dalam kenyataan teori ini lebih
banyak berbicara tentang pendidikan dan proses belajar dalam bentuknya
yang paling ideal bukan pada belajar seperti apa adanya, sebagaimana apa
yang bisa kita amati dalam dunia keseharian. Teori apapun dapat
dimanfaatkan asal tujuan untuk “memanusiakan manusia” (mencapai
aktualisasi diri dan sebagainya) dapat tercapai. Dalam teori belajar
humanistik, belajar dianggap berhasil jika si pelajar memahami
lingkungannya dan dirinya sendiri. Peserta didik dalam proses belajarnya
harus berusaha agar secara lambat laun mampu mencapai aktualisasi diri
dengan sebaik-baiknya.

Tujuan utama para pendidik adalah membantu peserta didik untuk


mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk
mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu

41
dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka. Jadi, teori
belajar humanistik adalah suatu teori dalam pembelajaran yang
mengedepankan bagaimana memanusiakan peserta didik agar mampu secara
mandiri mengembangkan potensi dirinya.

2. Teori Belajar Menurut Para Ahli Humanistik


Banyak tokoh penganut aliran humanistik yang menyampaikan teorinya
tentang belajar, diantaranya Carl Rogers, Arthur Combs, dan Abraham
Maslow.

a. Carl R. Rogers
Carl Rogers dalam Hadis (2006: 71) kurang menaruh perhatian kepada
mekanisme proses belajar, tetapi lebih menaruh perhatian terhadap isi yang
dipelajarinya, sehingga belajar dipandang sebagai fungsi keseluruhan
pribadi. Menurutnya, belajar yang sebenarnya tidak dapat berlangsung bila
tidak ada keterlibatan intelektual maupun emosional peserta didik. Oleh
karena itu, menurut teori belajar humanisme bahwa motivasi belajar harus
bersumber pada diri peserta didik.

Roger membedakan dua ciri belajar, yaitu: (1) belajar yang bermakna dan
(2) belajar yang tidak bermakna. Belajar yang bermakna terjadi jika dalam
proses pembelajaran melibatkan aspek pikiran dan perasaan peserta didik,
sedangkan belajar yang tidak bermakna terjadi jika dalam proses
pembelajaran melibatkan aspek pikiran akan tetapi tidak melibatkan aspek
perasaan peserta didik.

Bagaimana proses belajar dapat terjadi menurut teori belajar


humanisme? Seseorang belajar karena ingin mengetahui dunianya, ia akan
memilih sesuatu untuk dipelajari, mengusahakan proses belajar dengan
caranya sendiri, dan menilai sendiri apakah proses belajarnya berhasil atau
tidak.

42
Menurut Roger, peranan guru dalam kegiatan belajar adalah sebagai
fasilitator yang berperan aktif dalam : (1) membantu menciptakan iklim kelas
yang kondusif agar peserta didik bersikap positif terhadap belajar, (2)
membantu peserta didik untuk memperjelas tujuan belajarnya dan
memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk belajar, (3) membantu
peserta didik untuk memanfaatkan dorongan dan cita-cita mereka sebagai
kekuatan pendorong belajar, (4) menyediakan berbagai sumber belajar
kepada peserta didik, dan (5) menerima pertanyaan dan pendapat, serta
perasaan dari berbagai peserta didik sebagaimana adanya (Hadis, 2006: 72).

b. Arthur Combs
Comb mencurahkan banyak perhatian terhadap dunia pendidikan.
Meaning (makna atau arti) adalah konsep dasar yang sering digunakan dan
belajar terjadi bila mempunyai arti bagi individu. Guru tidak bisa
memaksakan materi yang tidak disukai atau tidak relevan dengan kehidupan
mereka. Ketidakberhasilan siswa pada mata pelajaran tertentu bukan karena
ia bodoh, tetapi karena ia terpaksa dan merasa tidak ada alasan penting
baginya harus mempelajarinya. Perilaku buruk itu tidak lain adalah
ketidakmampuan seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak akan
memberikan kepuasan baginya (Iskandar, 2009:107).

Untuk itu guru harus memahami perilaku peserta didik dengan


mencoba memahami dunia persepsi peserta didik tersebut, sehingga apabila
ingin merubah perilakunya, guru harus berusaha merubah keyakinan atau
pandangan yang ada pada peserta didik.

Perilaku internal membedakan seseorang dari yang lain. Combs


berpendapat bahwa banyak guru membuat kesalahan dengan berasumsi
bahwa peserta didik mau belajar apabila materi pelajarannya disusun dan
disajikan sebagaimana mestinya, padahal materi pelajaran itu belum tentu
berarti bagi siswa. Menurutnya yang penting ialah bagaimana membuat

43
peserta didik memperoleh arti bagi pribadinya dari materi pelajaran tersebut
dan menghubungkannya dengan kehidupannya.

Combs memberikan lukisan persepsi diri dalam dunia seseorang seperti


dua lingkaran (besar dan kecil) yang bertitik pusat pada satu. Lingkaran kecil
(1) adalah gambaran dari persepsi diri dan lingkungan besar (2) adalah
persepsi dunia. Makin jauh peristiwa-peristiwa itu dari persepsi diri makin
berkurang pengaruhnya terhadap perilakunya. Jadi, hal-hal yang
mempunyai sedikit hubungan dengan diri, makin mudah hal itu terlupakan
(Wasti Sumanto, 1998:107)

c. Abraham Maslow
Maslow mengemukakan bahwa individu berperilaku dalam upaya
untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat hirarkis. Pada diri masing-masing
orang mempunyai berbagai perasaan takut seperti rasa takut untuk berusaha
atau berkembang, takut untuk mengambil kesempatan, takut
membahayakan apa yang sudah ia miliki dan sebagainya, tetapi di sisi lain
seseorang juga memiliki dorongan untuk lebih maju ke arah keutuhan,
keunikan diri, ke arah berfungsinya semua kemampuan, ke arah kepercayaan
diri menghadapi dunia luar dan pada saat itu juga ia dapat menerima diri
sendiri (self).

Maslow percaya bahwa manusia tergerak untuk memahami dan


menerima dirinya sebisa mungkin. Teorinya yang sangat terkenal sampai
dengan hari ini adalah teori tentang Hierarchy of Needs (Hirarki Kebutuhan).
Menurut Maslow, manusia termotivasi untuk memenuhi kebutuhan-
kebutuhan hidupnya. Kebutuhan-kebutuhan tersebut memiliki tingkatan
atau hirarki, mulai dari yang paling rendah (bersifat dasar/fisiologis) sampai
yang paling tinggi (aktualisasi diri).

Tingkatan kebutuhan seseorang menurut Maslow adalah sebagai


berikut: 1) kebutuhan fisiologis, 2) Kebutuhan akan rasa aman dan

44
keselamatan. Setiap individu mempunyai kebutuhan akan rasa aman dan
keselamatan. 3) Kebutuhan untuk diterima dan dicintai. 4) Kebutuhan akan
penghargaan. 5) Kebutuhan akan aktualisasi diri. Setiap orang harus
berkembang sepenuh kemampuannya. Pemaparan tentang kebutuhan
psikologis untuk menumbuhkan, mengembangkan dan menggunakan
kemampuan disebut aktualisasi diri, dan merupakan salah satu aspek
penting teorinya tentang motivasi manusia. Kebutuhan untuk
mengungkapkan diri atau aktualisasi diri merupakan hierarki kebutuhan
dasar manusia yang paling tinggi dalam Maslow. Kebutuhan ini akan
muncul apabila kebutuhan-kebutuhan yang ada di bawahnya telah
terpuaskan dengan baik. Self Actualization menurut istilah Maslow ialah
pemenuhan dirinya sendiri dan realisasi dari potensi pribadi. Aktualisasi diri
didefinisikan sebagai “the desire to become everything that one is capable of
becoming” (keinginan untuk menjadi apa pun yang ingin dia lakukan)
(Djiwandono, 2004: 346).

Dengan kata lain, aktualisasi diri merupakan hasrat individu untuk


menjadi orang yang sesuai dengan keinginan dan realisasi dari potensi yang
dimilikinya. Maslow berpendapat bahwa guru dalam mengajar dan
mendidik anak harus dapat memberikan kepuasan terhadap kebutuhan-
kebutuhan (need) anak. Ia mengatakan bahwa motivasi dan perhatian belajar
anak akan tumbuh jika yang ia pelajari sesuai dengan kebutuhannya (Wasti
Sumanto, 1998:138).

Menurut teori humanisme, proses belajar harus dimulai dan ditujukan


untuk kepentingan memanusiakan manusia, yaitu mencapai aktualisasi diri,
pemahaman diri, dan realisasi diri peserta didik yang belajar secara optimal.
Proses belajar dikatakan berhasil apabila peserta didik telah memahami
lingkungannya dan dirinya sendiri (Bambang Warsita, 2008:75).

Dengan kata lain, teori ini lebih tertarik pada ide belajar dalam
bentuknya yang paling ideal dari pada belajar seperti apa adanya, seperti apa

45
yang bisa kita amati dalam dunia keseharian. Teori apapun dapat
dimanfaatkan asal tujuan untuk “memanusiakan manusia” (mencapai
aktualisasi diri dan sebagainya) dapat tercapai (Dakir, 1993:66)

d. Pandangan Jurgen Habermas terhadap belajar.

http://ceipelenaquiroga.blogspot.co.id/2011/05/nos-vamos-al-instituto.html

Tokoh humanis lain adalah Hubermas (1929-sekarang). Menurutnya,


belajar baru akan terjadi jika ada interaksi antara individu dengan
lingkungannya. Lingkungan belajar yang dimaksud di sini adalah lingkungan
alam maupun lingkungan sosial, sebab antara keduanya tidak dapat
dipisahkan. Dengan pandangannya yang demikian, ia membagi tipe belajar
menjadi tiga, yaitu; 1) belajar teknis (technical learning), 2) belajar praktis
(practical learning), dan 3) belajar emansipatoris (emancipatory learning).
Masing-masing tipe memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1. Belajar Teknis (technical learning)


Belajar teknis adalah tipe belajaragar seseorang dapat berinteraksi
dengan lingkungan alamnya secara benar. Belajar teknis membekali siswa
dengan pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk
menguasai dan mengelola lingkungan alam sekitarnya dengan baik. Oleh
sebab itu, ilmu-ilmu alam atau sain amat dipentingkan dalam belajar
teknis.

46
2. Belajar Praktis (practical learning)
Belajar praktis adalah tipe belajar agar seseorang dapat berinteraksi
dengan lingkungan sosialnya, yaitu dengan orang-orang di sekelilingnya
dengan baik. Kegiatan belajar ini lebih mengutamakan terjadinya interaksi
yang harmonis antar sesama manusia. Untuk itu bidang-bidang ilmu yang
berhubungan dengan sosiologi, komunikasi, psikologi, antropologi, dan
semacamnya, amat diperlukan.

3. Belajar Emansipatoris (emancipatory learning)


Belajar emansipatoris menekankan upaya agar seseorang mencapai
suatu pemahaman dan kesadaran yang tinggi akan terjadinya perubahan
atau transformasi budaya dalam lingkungan sosialnya. Dengan pengertian
demikian maka dibutuhkan pengetahuan dan keterampilan serta sikap
yang benar untuk mendukung terjadinya transformasi kultural tersebut.
Untuk itu, ilmu-ilmu yang berhubungan dengan budaya dan bahasa amat
diperlukan. Pemahaman dan kesadaran terhadap transformasi kultural
inilah yang oleh Habermas dianggap sebagai tahap belajar yang paling
tinggi, sebab transformasi kultural adalah tujuan pendidikan yang paling
tinggi.

3. Prinsip-prinsip Teori Belajar Humanistik


Pendekatan humanistik menganggap peserta didik sebagai a whole person
atau orang sebagai suatu kesatuan. Dengan kata lain, pembelajaran tidak
hanya mengajarkan materi atau bahan ajar yang menjadi sasaran, tetapi juga
membantu peserta didik mengembangkan diri mereka sebagai manusia.

Sebagai ahli dari teori belajar humanisme, Roger Roger mengemukakan


beberapa prinsip belajar yang penting yaitu:

a. Manusia itu memiliki keinginan alamiah untuk belajar, memiliki rasa ingin
tahu alamiah terhadap dunianya, dan keinginan yang mendalam untuk
mengeksplorasi dan asimilasi pengalaman baru;

47
b. Belajar akan cepat dan lebih bermakna bila bahan yang dipelajari relevan
dengan kebutuhan peserta didik;
c. Belajar dapat ditingkatkan dengan mengurangi ancaman dari luar;
d. Belajar secara partisipatif jauh lebih efektif daripada belajar secara pasif
dan orang belajar lebih banyak bila belajar atas pengarahan diri sendiri;
e. Belajar atas prakarsa sendiri yang melibatkan keseluruhan pribadi, pikiran
maupun perasaan akan lebih baik dan tahan lama; dan
f. Kebebasan, kreatifitas, dan kepercayaan diri dalam belajar dapat
ditingkatkan dengan evaluasi diri orang lain tidak begitu penting (Dakir,
1993: 64).
4. Aplikasi Teori Belajar Humanistik dalam Kegiatan Pembelajaran
Berdasarkan beberapa teori dari para ahli humanistik di atas, maka
dalam proses pembelajaran harus menggunakan pendekatan student centered,
yaitu pendekatan yang menjadikan siswa sebagai pusat pembelajaran, artinya
siswa sebagai objek dan sekaligus subjek dalam pembelajaran. Guru berfungsi
sebagai fasilitator dan motivator agar siswa mau belajar.

Adapun strategi yang mesti dilakukan oleh guru dalam menerapkan


pembelajaran humanistik, sebagaimana dihimpun oleh R. Agung SP dan
Latifatul Choir adalah:

a Merumuskan tujuan belajar yang jelas;


b Mengusahakan partisipasi aktif siswa melalui kontrak belajar yang bersifat
jelas, jujur, dan positif;
c Mendorong siswa untuk mengembangkan kesanggupan siswa untuk
belajar atas inisiatif sendiri;
d Mendorong siswa untuk peka berpikir kritis, memaknai proses
pembelajaran secara mandiri;
e Siswa diberi keleluasaan mengemukakan pendapat, memilih pilihannya
sendiri, melakukan apa yang diinginkan dan menanggung resiko dari
perilaku yang ditunjukkan;

48
f Guru menerima keadaan masing-masing siswa apa adanya; dengan tidak
memihak, memahami karakter pemikiran siswa, dan tidak menilai siswa
secara normatif belaka melainkan dengan cara memberikan 2 pandangan
dua sisi dalam hal moral dan etika berkomunikasi;
g Menawarkan kesempatan kepada siswa untuk maju (tampil);

B. Teori Belajar Konstruktivisme


1. Konsep Belajar Menurut Konstruktivistik
Teori belajar konstruktivisme adalah sebuah teori yang memberikan
kebebasan terhadap manusia yang ingin belajar atau mencari kebutuhannya
dengan kemampuan menemukan keinginan atau kebutuhannya tersebut dengan
bantuan orang lain, sehingga teori ini memberikan keaktifan terhadap seseorang
untuk belajar menemukan sendiri kompetensi, pengetahuan, atau teknologi dan
hal lain yang diperlukan guna mengembangkan dirinya sendiri.

Teori pembelajaran konstruktivisme berpendapat bahwa orang


menghasilkan pengetahuan dan membentuk makna berdasarkan pengalaman
mereka. Dalam konstruktivisme, pembelajaran direpresentasikan sebagai proses
konstruktif di mana siswa membangun ilustrasi internal pengetahuan,
interpretasi pengalaman pribadi. Pengajaran konstruktivisme didasarkan pada
pembelajaran yang terjadi melalui keterlibatan aktif siswa dalam konstruksi
makna dan pengetahuan

Pandangan konstruktivistik menjelaskan bahwa realitas ada pada pikiran


seseorang dan manusia mengkonstruksi dan menginterpretasikannya
berdasarkan pengalamannya. Konstruktivistik mengarahkan perhatiannya
pada bagaimana seseorang mengkonstruksi pengetahuan dari
pengalamannya, struktur mental, dan keyakinan yang digunakan untuk
menginterpretasikan obyek dan peristiwa-peristiwa. Pandangan
konstruktivistik mengakui bahwa pikiran adalah instrumen penting dalam
menginterpretasikan kejadian, obyek, dan pandangan terhadap dunia nyata,

49
di mana interpretasi tersebut terdiri dari pengetahuan dasar manusia secara
individual.

Teori belajar konstruktivistik mengakui bahwa siswa hanya dapat


menginterpretasikan informasi ke dalam pikirannya, dalam konteks pengalaman
dan pengetahuan mereka sendiri, pada kebutuhan, latar belakang dan minatnya.
Dalam upaya memperkaya pengalaman siswa, guru dapat membantunya untuk
mengkonstruksi pemahaman representasi fungsi konseptual dunia eksternal.

Menurut Brooks & Brooks (1993), semula konstruktivisme lebih merupakan


suatu filosofi dan bukan suatu strategi, pendekatan, maupun model
pembelajaran. Bahkan menurut Von Glasersfeld (1987: 204) konstruktivisme
sebagai "teori pengetahuan dengan akar dalam-filosofi, psikologi dan
cybernetics". Von Glasersfeld mendefinisikan konstruktivisme secara aktif dan
kreatif akan selalu membentuk konsepsi pengetahuan. Dia melihat pengetahuan
sebagai sesuatu hal yang dengan aktif menerima apapun melalui pikiran sehat
atau melalui komunikasi dan interaksinya.

Tidak ada teori konstruktivisme tunggal, tetapi sebagian besar


konstruktivisme memiliki dua ide utama yang sama, yaitu pembelajar aktif
dalam mengkonstruksikan pengetahuannya sendiri, dan bahwa interaksi sosial
penting bagi pengkonstruksian pengetahuan (Bruning, Schraw, Norby &
Ronning, 2004: 195).

Konstruktivisme memandang belajar lebih dari sekedar menerima dan


memproses informasi yang disampaikan oleh guru maupun teks, tetapi
pembelajaran adalah mengkonstruksi pengetahuan yang bersifat aktif dan
personal (de Kock, Sleegers, dan Voeten, 2004).

Teori pembelajaran konstruktivisme adalah sebuah teori pendidikan yang


mengedepankan peningkatan perkembangan logika dan konseptual pembelajar.
Seorang konstruktivis percaya bahwa belajar hanya terjadi ketika ada
pemrosesan informasi secara aktif sehingga mereka meminta pembelajar untuk

50
membuat motif mereka sendiri dengan menghubungkan pengetahuan baru
dengan motif tersebut.

Konstruktivisme percaya bahwa siswa belajar untuk membangun


pengetahuan untuk dirinya, dan pengajar berperan penting sebagai fasilitator
yang membantu pembelajar membangun pengetahuan tersebut. Pengetahuan
bukanlah suatu barang yang dapat dipindahkan dari pikiran seseorang yang
telah mempunyai pengetahuan kepada pikiran orang lain yang belum memiliki
pengetahuan tersebut. Bila guru bermaksud untuk mentransfer konsep, ide, dan
pengetahuannya tentang sesuatu kepada siswa, hal itu akan diinterpretasikan
dan dikonstruksikan oleh siswa sendiri melalui pengalaman dan pengetahuan
mereka sendiri.

2. Proses mengkonstruksi pengetahuan


Manusia dapat mengetahui sesuatu dengan menggunakan indranya.
Melalui interaksinya dengan obyek dan lingkungan, misalnya dengan melihat,
mendengar, menjamah, membau, atau merasakan, seseorang dapat mengetahui
sesuatu. Pengetahuan bukanlah sesuatu yang sudah ditentukan, melainkan
sesuatu yang dihasilkan dari proses pembentukan. Semakin banyak seseorang
berinteraksi dengan obyek dan lingkungannya, maka pengetahuan dan
pemahamannya akan obyek dan lingkungan tersebut akan meningkat dan lebih
rinci.

Von Galserfeld (dalam Paul, S., 1996) mengemukakan bahwa ada beberapa
kemampuan yang diperlukan dalam proses mengkonstruksi pengetahuan, yaitu;
1) kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman, 2)
kemampuan membandingkan dan mengambil keputusan akan kesamaan dan
perbedaan, dan 3) kemampuan untuk lebih menyukai suatu pengalaman yang
satu dari pada lainnya.

Faktor-faktor yang juga mempengaruhi proses mengkonstruksi


pengetahuan adalah konstruksi pengetahuan seseorang yang telah ada, domain

51
pengalaman, dan jaringan struktur kognitif yang dimilikinya. Proses dan hasil
konstruksi pengetahuan yang telah dimiliki seseorang akan menjadi pembatas
konstruksi pengetahuan yang akan datang. Pengalaman akan fenomena yang
baru menjadi unsur penting dalam membentuk dan mengembangkan
pengetahuan. Keterbatasan pengalaman seseorang pada suatu hal juga akan
membatasi pengetahuannya akan hal tersebut. Pengetahuan yang telah dimiliki
orang tersebut akan membentuk suatu jaringan struktur kognitif dalam dirinya.

3. Proses Belajar Menurut Teori Konstruktivistik


Secara konseptual, proses belajar jika dipandang dari pendekatan
konstruktivistis, bukan sebagai perolehan informasi yang berlangsung satu
arah dari luar ke dalam diri siswa, melainkan sebagai pemberian makna oleh
siswa kepada pengalamannya melalui proses asimilasi dan akomodasi yang
bermuara pada pemutakhiran struktur kognitifnya. Kegiatan belajar lebih
dipandang aspek prosesnya dibandingkan dengan aspek perolehan
pengetahuannya dari fakta-fakta yang terlepas-lepas.

Pemberian makna terhadap obyek dan pengalaman oleh individu tersebut


tidak dilakukan secara sendiri-sendiri oleh siswa, melainkan melalui interaksi
dalam jaringan sosial yang unik yang terbentuk dalam budaya kelas dan di luar
kelas. Oleh sebab itu pengelolaan pembelajaran harus diutamakan pada
pengelolaan siswa dalam memproses gagasannya, bukan semata-mata pada
pengelolaan siswa dan lingkungan belajarnya, bahkan pada unjuk kerja atau
prestasi belajarnya yang dikaitkan dengan sistem penghargaan dari luar seperti
nilai, ijasah, dan sebagainya.

Peranan Siswa

Menurut pandangan konstruktivistik, belajar merupakan suatu proses


pembentukan pengetahuan dan harus dilakukan oleh siswa. Dia harus aktif
melakukan kegiatan, aktif berpikir, menyusun konsep dan memberi makna
tentang hal-hal yang sedang dipelajari. Guru memang dapat dan harus
mengambil prakarsa untuk menata lingkungan yang memberi peluang optimal

52
bagi terjadinya belajar. Namun yang akhirnya paling menentukan terwujudnya
gejala belajar adalah niat belajar siswa sendiri. Dengan istilah lain, dapat
dikatakan bahwa pada hakekatnya kendali belajar sepenuhnya ada pada siswa.

https://tahjud69.blogspot.co.id/2016/12/teori-belajar-
konstruktivisme.html

Paradigma konstruktivistik memandang siswa sebagai pribadi yang sudah


memiliki kemampuan awal sebelum mempelajari sesuatu. Kamampuan awal
tersebut akan menjadi dasar dalam mengkonstruksi pengetahuan yang baru.
Oleh sebab itu meskipun kemampuan awal tersebut masih sangat sederhana
atau tidak sesuai dengan pendapat guru, sebaiknya diterima dan dijadikan dasar
pembelajaran dan pembimbingan.

Peranan Guru. Dalam belajar konstruktivistik, guru atau pendidik berperan


membantu agar proses pengkonstruksian belajar oleh siswa berjalan lancar.
Guru tidak mentransferkan pengetahuan yang telah dimilikinya, melainkan
membantu siswa untuk membentuk pengetahuannya sendiri. Guru dituntut
untuk lebih memahami jalan pikiran atau cara pandang siswa dalam belajar.
Guru tidak dapat mengklaim bahwa satu-satunya cara yang tepat adalah yang
sama dan sesuai dengan kemauannya.

Peranan kunci guru dalam interaksi pendidikan adalah pengendalian yang


meliputi:

53
a) Menumbuhkan kemandirian dengan menyediakan kesempatan untuk
mengambil keputusan dan bertindak;
b) Menumbuhkan kemampuan mengambil keputusan dan bertindak, dengan
meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan siswa;
c) Menyediakan sistem dukungan yang memberikan kemudahan belajar agar
siswa mempunyai peluang optimal untuk berlatih.
Sarana belajar. Pendekatan konstruktivistik menekankan bahwa peranan
utama dalam kegiatan belajar adalah aktifitas siswa dalam mengkonstruksi
pengetahuannya sendiri. Segala sesuatu seperti bahan, media, peralatan,
lingkungan, dan fasilitas lainnya disediakan untuk membantu pembentukan
tersebut. Siswa diberi kebebasan untuk mengungkapkan pendapat dan
pemikirannya tentang sesuatu yang dihadapinya. Dengan cara demikian, siswa
akan terbiasa dan terlatih untuk berpikir sendiri, memecahkan masalah yang
dihadapinya, mandiri, kritis, kreatif, dan mampu mempertanggungjawabkan
pemikirannya secara rasional.

4. Konstruksi Pengetahuan Menurut Lev Vygotsky (1896-1934)


Teori belajar kokonstruktivistik merupakan teori belajar yang dipelopori
oleh Lev Vygotsky. Teori belajar ko-kontruktinvistik atau yang sering disebut
sebagai teori belajar sosiokultur merupakan teori belajar yang titik tekan
utamanya adalah pada bagaimana seseorang belajar dengan bantuan orang lain
dalam suatu zona keterbatasan dirinya yaitu Zona Proksimal Developmen (ZPD)
atau Zona Perkembangan Proksimal dan mediasi. Di mana anak dalam
perkembangannya membutuhkan orang lain untuk memahami sesuatu dan
memecahkan masalah yang dihadapinya

Teori yang juga disebut sebagai teori konstruksi sosial ini menekankan
bahwa intelegensi manusia berasal dari masyarakat, lingkungan dan budayanya.
Teori ini juga menegaskan bahwa perolehan kognitif individu terjadi pertama
kali melalui interpersonal (interaksi dengan lingkungan sosial) intrapersonal
(internalisasi yang terjadi dalam diri sendiri).

54
Vygotsky berpendapat bahwa menggunakan alat berfikir akan
menyebabkan terjadinya perkembangan kognitif dalam diri seseorang. Yuliani
(2005: 44) Secara spesifik menyimpulkan bahwa kegunaan alat berfikir menurut
Vygotsky adalah :

1. Membantu memecahkan masalah


Alat berfikir mampu membuat seseorang untuk memecahkan
masalahnya. Kerangka berfikir yang terbentuklah yang mampu
menentukan keputusan yang diambil oleh seseorang untuk menyelesaikan
permasalahan hidupnya.

2. Memudahkan dalam melakukan tindakan


Vygotsky berpendapat bahwa alat berfikirlah yang mampu membuat
seseorang mampu memilih tindakan atau perbuatan yang seefektif dan
seefisien mungkin untuk mencapai tujuan.

3. Memperluas kemampuan
Melalui alat berpikir setiap individu mampu memperluas wawasan
berpikir dengan berbagai aktivitas untuk mencari dan menemukan
pengetahuan yang ada di sekitarnya.

4. Melakukan sesuatu sesuai dengan kapasitas alaminya.


Semakin banyak stimulus yang diperoleh maka seseorang akan
semakin intens menggunakan alat berfikirnya dan dia akan mampu
melakukan sesuatu sesuai dengan kapasitasnya.

Inti dari teori belajar kokonstruktivistik ini adalah penggunaan alat


berfikir seseorang yang tidak dapat dilepaskan dari pengaruh lingkungan
sosial budayanya. Lingkungan sosial budaya akan menyebabkan semakin
kompleksnya kemampuan yang dimiliki oleh setiap individu.

Guruvalah berpendapat bahwa teori-teori yang menyatakan bahwa “siswa


itu sendiri yang harus secara pribadi menemukan dan menerapkan informasi
kompleks, mengecek informasi baru dibandingkan dengan aturan lama dan

55
memperbaiki aturan itu apabila tidak sesuai lagi”. Teori belajar
kokonstruktivistik ini menekankan bahwa perubahan kognitif hanya terjadi
jika konsepsi-konsepsi yang telah dipahami diolah melalui suatu proses
ketidakseimbangan dalam upaya memakai informasi-informasi baru. Teori
belajar kokonstruktivistik meliputi tiga konsep utama, yaitu:

1. Hukum Genetik tentang Perkembangan

Perkembangan menurut Vygotsky tidak bisa hanya dilihat dari fakta-


fakta atau keterampilan-keterampilan, namun lebih dari itu,
perkembangan seseorang melewati dua tataran. Tataran sosial
(interpsikologis dan intermental) dan tataran psikologis (intrapsikologis).
Di mana tataran sosial dilihat dari tempat terbentuknya lingkungan sosial
seseorang dan tataran psikologis yaitu dari dalam diri orang yang
bersangkutan.

Teori kokonstruktivistik menempatkan intermental atau lingkungan


sosial sebagai faktor primer dan konstitutif terhadap pembentukan
pengetahuan serta perkembangan kognitif seseorang. Fungsi-fungsi
mental yang tinggi dari seseorang diyakini muncul dari kehidupan
sosialnya. Sementara itu, intramental dalam hal ini dipandang sebagai
derivasi atau turunan yang terbentuk melalui penguasaan dan internalisasi
terhadap proses-proses sosial tersebut, hal ini terjadi karena anak baru
akan memahami makna dari kegiatan sosial apabila telah terjadi proses
internalisasi. Oleh sebab itu belajar dan berkembang satu kesatuan yang
menentukan dalam perkembangan kognitif seseorang.

Seperti yang dikutip oleh Yuliani (2005: 44) Vygotsky meyakini bahwa
kematangan merupakan prasyarat untuk kesempurnaan berfikir. Secara
spesifik, namun demikian ia tidak yakin bahwa kematangan yang terjadi
secara keseluruhan akan menentukan kematangan selanjutnya.

56
Zona Perkembangan Proksimal

Zona Perkembangan Proksimal/Zona Proximal Development (ZPD)


merupakan konsep utama yang paling mendasar dari teori belajar
konstruktivistik Vygotsky. Dalam Luis C. Moll (1993: 156-157), Vygotsky
berpendapat bahwa setiap anak dalam suatu domain mempunyai ‘level
perkembangan aktual’ yang dapat dinilai dengan menguji secara
individual dan potensi terdekat bagi perkembangan domain dalam
tersebut. Vygotsky mengistilahkan perbedaan ini berada di antara dua
level Zona Perkembangan Proksimal, Vygotsky mendefinisikan Zona
Perkembangan Proksimal sebagai jarak antara level perkembangan aktual
seperti yang ditentukan untuk memecahkan masalah secara individu dan
level perkembangan potensial seperti yang ditentukan lewat pemecahan
masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau dalam kolaborasi dengan
teman sebaya yang lebih mampu. Secara jelas Vygotsky memberikan
pandangan yang matang tentang konsep tersebut seperti yang dikutip oleh
Luis C. Moll (1993: 157):

Zona Perkembangan Proksimal mendefinisikan fungsi-fungsi


tersebut yang belum pernah matang, tetapi dalam proses
pematangan. Fungsi-fungsi tersebut akan matang dalam situasi
embrionil pada waktu itu. Fungsi-fungsi tersebut dapat
diistilahkan sebagai “kuncup” atau “bunga” perkembangan yang
dibandingkan dengan “buah” perkembangan.

Yuliani (2005: 45) mengartikan “Zona Perkembangan Proksimal


sebagai fungsi-fungsi atau kemampuan yang belum matang yang masih
berada pada proses pematangan”. Karena fungsi-fungsi yang belum
matang ini maka anak membutuhkan orang lain untuk membantu proses
pematangannya. Sedangkan I Gusti Putu Suharta dalam makalahnya
berpendapat bahwa :
Zone of Proximal Development (ZPD) merupakan jarak antara
tingkat perkembangan sesungguhnya yang didefinisikan sebagai

57
kemampuan pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat
perkembangan potensial yang didefinisikan sebagai kemampuan
pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau
melalui kerjasama dengan teman sejawat yang lebih mampu.

Zona Perkembangan Proksimal terdekat adalah ide bahwa siswa


belajar konsep paling baik apabila konsep itu berada pada zona
perkembangan terdekat mereka (Guruvalah). Sedangkan Marysia (2003)
dalam makalahnya menyatakan bahwa “ZPD merupakan suatu wilayah
aktifitas-aktifitas di mana individu dapat mengemudikan dengan kawan-
kawan sebaya, orang-orang dewasa, ataupun orang yang lebih ahli yang
memiliki kemampuan lebih”. Pandangan Vygotsky tentang interaksi
antara kawan sebaya dan percontohan adalah cara-cara penting untuk
memfasilitasi perkembangan kognitif individu dan kemahiran
pengetahuan.

Dalam kesempatan lain, Julia berpendapat bahwa “ZPD merupakan


level perkembangan yang dicapai ketika anak-anak ikut serta dalam
tingkah laku sosial”. Hal ini dapat diartikan bahwa perkembangan penuh
ZPD tergantung pada interaksi sosial yang penuh, di mana keahlian dapat
diperoleh dengan bimbingan orang dewasa atau kolaborasi antar kawan
sebaya ataupun orang yang lebih faham melampaui apa yang
dipahaminya.

Dalam Yuliani (2005: 45) Vygotsky mengemukakan ada empat


tahapan PD yang terjadi dalam perkembangan dan pembelajaran, yaitu :

Tahap 1 : Tindakan anak masih dipengaruhi atau dibantu orang lain.

Seorang anak yang masih dibantu memakai baju, sepatu dan kaos
kakinya ketika akan berangkat ke sekolah ketergantungan anak pada
orang tua dan pengasuhnya begitu besar, tetapi ia suka memperhatikan
cara kerja yang ditunjukkan orang dewasa

Tahap 2 : Tindakan anak yang didasarkan atas inisiatif sendiri.

58
Anak mulai berkeinginan untuk mencoba memakai baju, sepatu dan
kaos kakinya sendiri tetapi masih sering keliru memakai sepatu antara kiri
dan kanan. Memakai baju pun masih membutuhkan waktu yang lama
karena keliru memasangkan kancing.

Tahap 3 : Tindakan anak berkembang spontan dan terinternalisasi.

Anak mulai melakukan sesuatu tanpa adanya perintah dari orang


dewasa. Setiap pagi sebelum berangkat ia sudah mulai faham tentang apa
saja yang harus dilakukannya, misalnya memakai baju kemudian kaos
kaki dan sepatu.

Tahap 4 : Tindakan anak spontan akan terus diulang-ulang hingga anak siap
untuk berfikir abstrak.

Terwujudnya perilaku yang otomatisasi, anak akan segera dapat


melakukan sesuatu tanpa contoh tetapi didasarkan pada pengetahuannya
dalam mengingat urutan suatu kegiatan. Bahkan ia dapat menceritakan
kembali apa yang dilakukannya saat ia hendak berangkat ke sekolah.

Pada empat tahapan ini dapat disimpulkan bahwa. Seseorang akan


dapat melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak bisa dia lakukan dengan
bantuan yang diberikan oleh orang dewasa maupun teman sebayanya
yang lebih berkompeten terhadap hal tersebut.

2. Mediasi
Mediasi merupakan tanda-tanda atau lambang-lambang yang
digunakan seseorang untuk memahami sesuatu di luar pemahamannya.
Ada dua jenis mediasi yang dapat mempengaruhi pembelajaran yaitu, (1)
tema mediasi semiotik di mana tanda-tanda atau lambang-lambang yang
digunakan seseorang untuk memahami sesuatu diluar pemahamannya
ini didapat dari hal yang belum ada di sekitar kita, kemudian dibuat oleh
orang yang lebih faham untuk membantu mengkonstruksi pemikiran kita
dan akhirnya kita menjadi faham terhadap hal yang dimaksudkan;

59
scaffolding di mana tanda-tanda atau lambang-lambang yang digunakan
seseorang untuk memahami sesuatu di luar pemahamannya ini didapat
dari hal yang memang sudah ada di suatu lingkungan, kemudian orang
yang lebih faham tentang tanda-tanda atau lambang-lambang tersebut
akan membantu menjelaskan kepada orang yang belum paham sehingga
menjadi paham terhadap hal yang dimaksudkan.

Kunci utama untuk memahami proses sosial psikologis adalah


tanda-tanda atau lambang-lambang yang berfungsi sebagai mediator.
Tanda-tanda atau lambang-lambang tersebut sebenarnya merupakan
produk dari lingkungan sosiokultural di mana seseorang berada. Untuk
memahami alat-alat mediasi ini, anak-anak dibantu oleh guru, orang
dewasa maupun teman sebaya yang lebih faham. Wertsch dalam Yuliana
(2005: 45-46) berpendapat bahwa:

Mekanisme hubungan antara pendekatan sosiokultural dan


fungsi-fungsi mental didasari oleh tema mediasi semiotik.
Artinya tanda atau lambang beserta makna yang terkandung di
dalamnya berfungsi sebagai penghubung antara rasionalitas-
sosiokultural (intermental) dengan individu sebagai tempat
berlangsungnya proses mental.

Berdasarkan teori Vygotsky, Yuliani (2005: 46) menyimpulkan


beberapa hal yang perlu untuk diperhatikan dalam proses pembelajaran,
yaitu:

a) Dalam kegiatan pembelajaran hendaknya anak memperoleh


kesempatan yang luas untuk mengembangkan zona perkembangan
proksimalnya atau potensinya melalui belajar dan berkembang.
b) Pembelajaran perlu dikaitkan dengan tingkat perkembangan
potensialnya dari pada perkembangan aktualnya.
c) Pembelajaran lebih diarahkan pada penggunaan strategi untuk
mengembangkan kemampuan intermentalnya daripada kemampuan
intramentalnya.

60
d) Anak diberikan kesempatan yang luas untuk mengintegrasikan
pengetahuan deklaratif yang telah dipelajarinya dengan pengetahuan
prosedural untuk melakukan tugas-tugas dan memecahkan masalah
e) Proses Belajar dan pembelajaran tidak sekedar bersifat transferal tetapi
lebih merupakan ko-konstruksi
Dalam teori belajar kokonstruktivistik ini, pengetahuan yang
dimiliki seseorang berasal dari sumber-sumber sosial yang terdapat di
luar dirinya. Untuk mengkonstruksi pengetahuan, diperlukan peranan
aktif dari orang tersebut. Pengetahuan dan kemampuan tidak datang
dengan sendirinya, namun harus diusahakan dan dipengaruhi oleh orang
lain. Prinsip-prinsip utama teori belajar kokonstruktivistik yang banyak
digunakan dalam pendidikan menurut Guruvalah :

a) Pengetahuan dibangun oleh siswa secara aktif


b) Tekanan proses belajar mengajar terletak pada Siswa
c) Mengajar adalah membantu siswa belajar
d) Tekanan dalam proses belajar lebih pada proses dan bukan pada hasil
belajar
e) Kurikulum menekankan pada partisipasi siswa
f) Guru adalah fasilitator
Dapat disimpulkan bahwa dalam teori belajar kokonstruktivistik,
proses belajar tidak dapat dipisahkan dari aksi (aktivitas) dan interaksi,
karena persepsi dan aktivitas berjalan seiring secara dialogis. Belajar
merupakan proses penciptaan makna sebagai hasil dari pemikiran
individu melalui interaksi dalam suatu konteks sosial. Dalam hal ini, tidak
ada perwujudan dari suatu kenyataan yang dapat dianggap lebih baik
atau benar. Vygotsky percaya bahwa beragam perwujudan dari kenyataan
digunakan untuk beragam tujuan dalam konteks yang berbeda-beda.
Pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari aktivitas di mana pengetahuan
itu dikonstruksikan, dan di mana makna diciptakan, serta dari komunitas

61
budaya di mana pengetahuan didiseminasikan dan diterapkan. Melalui
aktivitas, interaksi sosial, tersebut penciptaan makna terjadi.

5. Aplikasi Teori Belajar Konstruktivistik dalam Kegiatan Pembelajaran


Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh para tokoh konstruktivisme di
atas, maka implikasi dari dari penerapan teori belajar konstruktivistik ini
dalam kegiatan pembelajaran adalah:

a. Proses pembelajaran harus menggunakan pendekatan student centered,


dimana fungsi guru hanya sebagai fasilitator yang bisa mendorong siswa
untuk menemukan sendiri potensi yang dimilikinya;
b. Proses pembelajaran tidak terlalu berorientasi kepada hasil, tetapi lebih
diorientasikan kepada proses bagaimana siswa memperoleh pemahaman;
c. Guru harus memberikan kebebasan kepada siswa untuk menggunakan
pengalaman dan pemahamannya untuk berpikir, sehingga menumbuhkan
kemandirian pada siswa dalam mengambil keputusan dan tindakan;
d. Guru harus mengembangkan pembelajaran yang collaborative, sehingga
siswa bisa mendapatkan pemahaman dan pengalaman melalui interaksi
sosial dengan teman-temannya.
e. Guru harus menghindari pola pembelajaran yang memberikan tekanan
kepada siswa untuk bertindak sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh
guru;
f. Guru harus membantu siswa menginternalisasi dan mentransformasi
informasi baru, sehingga menghasilkan pengetahuan baru yang
selanjutnya akan membentuk struktur kognitif baru bagi siswa;
g. Guru harus memfasilitasi siswa agar dia bisa belajar dengan sumber yang
tidak terbatas pada apa yang diberikan oleh guru, oleh karenanya guru
harus membantu siswa agar bisa memanfaatkan media internet untuk
memperoleh pengetahuan dan pemahaman.

62
C. Teori Belajar Sosial
1. Konsep Belajar Menurut Teori Belajar Sosial
Teori belajar sosial merupakan perluasan dari teori belajar perilaku yang
tradisional (behavioristik) yang dikembangkan oleh Albert Bandura (1986).
Teori ini menerima sebagian besar dari prinsip-prinsip teori-teori belajar
perilaku, tetapi memberi lebih banyak penekanan pada efek-efek dari
isyarat-isyarat pada perilaku, dan pada proses-proses mental internal.

Salah satu asumsi paling awal yang mendasari teori pembelajaran


sosial Bandura adalah manusia cukup fleksibel dan sanggup mempelajari
bagaimana kecakapan bersikap maupun berperilaku. Titik pembelajaran
dari semua ini adalah pengalaman-pengalaman tak terduga (vicarious
experiences). Meskipun manusia dapat dan sudah banyak belajar dari
pengalaman langsung, namun lebih banyak yang mereka pelajari dari
aktivitas mengamati perilaku orang lain.

Asumsi awal yang memberi isi sudut pandang teoretis Bandura dalam
teori pembelajaran sosial adalah: (1) Pembelajaran pada hakikatnya
berlangsung melalui proses peniruan (imitation) atau pemodelan (modeling);
(2) Dalam proses imitation atau modeling tersebut, individu dipahami sebagai
pihak yang memainkan peran aktif dalam menentukan perilaku mana yang
hendak ditiru dan bagaimana frekuensi serta intensitas peniruan yang hendak
dijalankannya; (3) Imitation atau modeling adalah jenis pembelajaran perilaku
tertentu yang dilakukan tanpa harus melalui pengalaman langsung; (4) Dalam
Imitation atau modeling terjadi penguatan tidak langsung pada perilaku
tertentu yang sama efektifnya dengan penguatan langsung untuk
memfasilitasi dan menghasilkan peniruan. Individu dalam penguatan tidak
langsung perlu menyumbangkan komponen kognitif tertentu (seperti
kemampuan mengingat dan mengulang) pada pelaksanaan proses peniruan;
dan (5) Mediasi internal sangat penting dalam pembelajaran, karena saat
terjadi adanya masukan inderawi yang menjadi dasar pembelajaran dan

63
perilaku dihasilkan, terdapat operasi internal yang mempengaruhi hasil
akhirnya.

Bandura yakin bahwa tindakan mengamati memberikan ruang bagi


manusia untuk belajar tanpa berbuat apapun. Manusia belajar dengan
mengamati perilaku orang lain. Vicarious learning adalah pembelajaran dengan
mengamati orang lain. Fakta ini menantang ide behaviorisme bahwa faktor-
faktor kognitif tidak dibutuhkan dalam penjelasan tentang pembelajaran. Bila
orang dapat belajar dengan mengamati, maka mereka pasti memfokuskan
perhatiannya, mengkonstruksikan gambarannya, mengingat, menganalisis,
dan membuat keputusan-keputusan yang mempengaruhi proses
pembelajarannya. Bandura percaya penguatan bukan esensi dari
pembelajaran meskipun dapat memfasilitasi pembelajaran, namun bukan
syarat utama. Pembelajaran manusia yang utama adalah mengamati model-
model, dan pengamatan inilah yang terus menerus diperkuat.

Fungsi penguatan dalam proses modeling, yaitu sebagai fungsi informasi


dan fungsi motivasi. Penguat memiliki fungsi informatif maksudnya,
tindakan penguatan dan proses penguatan itu sendiri bisa memberitahukan
pada manusia perilaku mana yang paling adaptif. Sedangkan, penguat
memiliki fungsi motivasi maksudnya bahwa manusia belajar melakukan
antisipasi terhadap penguat yang akan muncul dalam situasi tertentu, dan
perilaku antisipasi awal ini menjadi langkah awal dalam banyak tahapan
perkembangan. Orang tidak memiliki kemampuan untuk melihat masa
depan, tetapi mereka bisa mengantisipasi konsekuensi-konsekuensi apa yang
akan muncul dari perilaku tertentu berdasarkan apa yang mereka pelajari dari
pengalaman baik dan buruk yang telah dialami orang lain, tanpa langsung
menjalani sendiri pengalaman itu.

Dengan demikian inti dari pembelajaran modeling adalah: (1) Mencakup


penambahan dan pencarian perilaku yang diamati, untuk kemudian
melakukan generalisasi dari satu pengamatan ke pengamatan lain. (2)

64
Modeling melibatkan proses-proses kognitif, jadi tidak hanya meniru, tetapi
menyesuaikan diri dengan tindakan orang lain dengan representasi informasi
secara simbolis dan menyimpannya untuk digunakan di masa depan. (3)
Karakteristik modeling sangat penting. Manusia lebih menyukai model yang
statusnya lebih tinggi daripada sebaliknya, pribadi yang berkompeten
daripada yang tidak kompeten dan pribadi yang kuat daripada yang lemah.
Artinya konsekuensi dari perilaku yang dimodelkan dapat memberikan efek
bagi pengamatnya. (4) Manusia bertindak berdasarkan kesadaran tertentu
mengenai apa yang bisa ditiru dan apa yang tidak bisa.

Ada lima kemungkinan hasil dari modeling, yaitu: 1). Mengarahkan


perhatian. Dengan modeling orang lain, kita bukan hanya belajar tentang
berbagai tindakan, tetapi juga melihat berbagai objek terlibat dalam tindakan-
tindakan tersebut. 2). Menyempurnakan perilaku yang sudah dipelajari.
Modeling menunjukkan perilaku mana yang sudah kita pelajari digunakan.
3). Memperkuat atau memperlemah hambatan. Modeling perilaku dapat
diperkuat atau diperlemah tergantung konsekuensi yang dialami. 4).
Mengajarkan perilaku baru. Jika dalam modeling berperilaku cara baru
(melakukan hal-hal baru), maka terjadi efek pemodelan. 5). Membangkitkan
Emosi. Melalui modeling, orang dapat mengembangkan reaksi emosional
terhadap situasi yang pernah dialami secara pribadi

2. Aplikasi Teori Belajar Sosial terhadap Kegiatan Pembelajaran


Berdasarkan konsep belajar yang dikemukakan oleh Albert Bandura di
atas, maka ada beberapa implikasi yang harus diperhatikan dalam kegiatan
pembelajaran, yaitu:

a. Guru harus menampilkan contoh perilaku yang baik dan yang buruk dari
tokoh-tokoh yang dikenal oleh siswa, misalnya dengan menampilkan para
sahabat nabi atau orang-orang terkenal yang memiliki pengalaman untuk
ditiru dalam hidupnya;

65
b. Dalam menentukan model, karakteristik model perlu diperhatikan karena
akan mempengaruhi efektif tidaknya modeling itu untuk siswa. Pilih model
yang memiliki kelebihan atau kekuatan di atas yang lain, sehingga siswa
dapat menentukan apakah perbuatan atau pengalamannya perlu ditiru
atau tidak;
c. Observasi adalah kegiatan pembelajaran yang paling utama dilakukan oleh
siswa, sehingga penggunaan media pembelajaran yang bisa merangsang
inderawi siswa untuk mengamati secara maksimal menjadi penting untuk
diperhatikan;
d. Mengamati perilaku orang lain lebih penting, dibandingkan dengan
mengalami sendiri, karena siswa akan lebih mudah mempelajari
konsekuensi-konsekuensi dari pengalaman orang dibandingkan dengan
konsekuensi-konsekuensi yang dialami sendiri;
e. Reinforcement bukanlah syarat yang utama untuk terjadinya proses
pembelajaran, karena yang paling penting adalah mengamati model-model
yang harus terus menerus diperkuat

Contoh Soal HOTS:

Dalam kegiatan pembelajaran, guru meminta beberapa orang peserta didik


untuk menjelaskan isi kandungan Q.S. Al-Nashr. Peserta didik lainnya yang
ada di dalam kelas diberi kesempatan untuk menyampaikan komentar atas
kekurangan penjelasan temannya. Guru memberikan penguatan atas
penjelasan yang tepat dari peserta didik. Berdasarkan deskripsi kegiatan
tersebut, teori belajar apa yang digunakan oleh guru dan peserta didik?

A. Behavioristik
B. Kognitivistik
C. Humanistik
D. Konstruktivistik
E. Teori belajar sosial

66
TINDAK LANJUT BELAJAR

Untuk meningkatkan kemampuan analisis, Saudara dapat


melakukan beberapa aktivitas tindak lanjut dari kegiatan belajar ini, di
antaranya sebagai berikut:

1. Simaklah sumber belajar dalam bentuk video/artikel pada LMS


Program PPG. Kemudian lakukan analisis berdasarka konten!
2. Kaitkan konten video/artikel dengan nilai-nilai moderasi dalam
proses pembelajarannya di sekolah/madrasah!
3. Ikuti tes akhir modul dan cermati hasil tesnya. Bila hasil tes akhir
modul di bawah standar minimum ketuntasan (70), maka Saudara
melakukan pembelajaran remedial dengan memperhatikan
petunjuk dalam LMS program PPG.
4. Aktifitas tindak lanjut lebih detail, silahkan mengikuti tagihan
tugas yang ada di LMS.

67

Anda mungkin juga menyukai