Zola
Nadya Yahya 1606890990
Pendahuluan
Émile Zola adalah seorang novelis, kritikus, dan aktivis politik Prancis yang lahir di Paris
pada 2 April 1840 dan meninggal pada 28 September 1902. Meskipun lahir di Paris, Zola
melewatkan masa kecilnya di Aix en Provence karena tuntutan pekerjaan ayahnya, François Zola,
yang merupakan seorang insinyur. Zola berasal dari keluarga borjuis, namun semenjak kematian
ayahnya yang mendadak pada tahun 2847, Zola dan ibunya terpaksa hidup secara sederhana dan
kembali ke Paris.
pendidikannya di Lycée Saint-Louis, Paris hingga beasiswa yang ia terima sebagai anak yatim
terpaksa ditarik. Semenjak itu, pada 1859 Zola kemudian memutuskan untuk tidak
menggantungkan hidupnya pada ibunya dan mulai mencari pekerjaan. Akan tetapi, Zola
menghabiskan sebagian besar dari dua tahun ke depannya menganggur dan hidup dalam
kemiskinan. Pada 1862, Zola dipekerjakan sebagai pegawai di perusahaan L.-C.-F. Hachette.
Selain itu, Zola kemudian juga memutuskan untuk menulis untuk menambah penghasilannya dan
menyalurkan idenya.
Sejak kecil, Zola memang memiliki ketertarikan pada dunia sastra, ia sangat mengagumi
karya-karya para penulis besar Prancis, seperti Victor Hugo dan Musset. Kecintaannya pada sastra
intelektual liberal. Hal itu kemudian membuatnya akrab dengan gagasan positivis pada saat itu.
Hal tersebutlah yang antara lain memberikan pengaruh pada Zola dalam mencetuskan gagasannya
1
mengenai pemikiran naturalisme. Gagasannya ini kemudian didukung dan diikuti oleh rekan-
reekannya, antara lain Maupassant, Huysmans, Céard, Heuniqe, dan Alexis atau yang kemudian
Pada 1865, Zola merilis novel pertamanya yang berjudul La Confession de Claude, sebuah
kisah semi-autobiografi yang cukup kontroversial hingga menarik perhatian banyak publik,
bahkan polisi. Setelah berhasil mengangkat reputasinya sebagai penulis untuk menghidupi diri dan
keluarganya, Zola meninggalkan pekerjaannya di Hachette untuk mengejar minat sastranya. Pada
tahun-tahun berikutnya, Zola melanjutkan kariernya dalam dunia sastra dengan menerbitkan
karya-karya lainnya. Zola memaparkan mengenai perbedaan pengarang realis dan naturalis
melalui bukunya Le Roman Expérimental. Zola menjelaskan bahwa naturalisme dibedakan dengan
fenomena dan kejadian yang ada dan kemudian dituangkan dalam bentuk roman. Sementara itu,
pengarang naturalis melakukan pengamatan terhadap fenomena-fenomena yang ada dan kemudian
melakukan interpretasi terhadap hasil pengamatan tersebut berdasarkan pengalaman dan ilmu
pengetahuan yang dimiliki, dan selanjutnya digunakan untuk menemukan kebenaran dari asumsi
yang dibentuk. Beberapa karyanya yang menjunjukkan identitasnya sebagai pengarang naturalis
antara lain roman serialnya yang terdiri atas 20 buku berjudul Les Rougon-Macquart (1871),
Thérèse Raquin (1867), Germinal (1885), L’Assommoir (1877), dan Le Ventre de Paris (1873).
Le Ventre de Paris adalah novel ketiga dalam serial 20 volume Les Rougon-Macquart
yang mengisahkan tentang seorang pemuda bernama Florent Quenu yang kembali ke kota asalnya,
Paris setelah bebas dari penjara di Setelah lolos dari penjara. Akan tetapi, ketika Florent kembali
ke Paris, kota itu nyaris tidak lagi dikenalinya. Daerah-daerah pekerja telah digantikan dengan
bulevar-bulevar lebar dan flat-flat borjuis. Florent menumpang tinggal pada keluarga adiknya di
2
daerah pasar Les Halles yang baru dibangun. Tak lama, Florent terjerat dalam pusaran berbahaya
dunia makanan dan politik. Di tengah intrik antara para pedagang pasar serta bahan-bahan
makanan yang melimpah ruah itu, terdapat jurang yang sangat besar antara yang “gemuk” dan
yang “kurus”, si kaya dan si miskin, dan pada akhirnya hal ini menimbulkan ketegangan yang
tidak terhindarkan roman ini menunjukkan bagaimana keadaan sosial, politik, dan ekonomi dapat
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap penduduk. Oleh karena itu, berdasarkan uraian di
atas, penulisan ini bertujuan untuk memaparkan bagaimana keterasingan tokoh Florent
Sejak abad ke-18 di Eropa, novel menjadi karya yang paling mendominasi dari karya sastra
lainnya. Didukung oleh adanya peningkatan edukasi masyarakat kelas menengah dan terciptanya
mesin cetak, novel menjadi sebuah refleksi sosial dan sejarah, juga menjadi cermin dari peradaban
baru yang lebih modern dan menentang semangat zaman Abad Pertengahan, yaitu ketika gereja
masih mendominasi (Klarer 2004: 11). Sebagai bagian dari Eropa yang sedang berkembang,
Prancis turut mengalami revolusi industri pada abad XIX yaitu transformasi dari masyarakat
agrikultur menjadi masyarakat industri, serta menyebabkan terjadinya migrasi dari desa ke kota
pusat industri. Abad XIX ditandai dengan perkembangan dalam dunia ilmu pengetahuan serta
kemajuan yang pesat dalam bidang industri dan ekonomi. Akan tetapi, abad XIX di Prancis juga
ditandai sebagai masa yang penuh gejolak akibat keadaan politik yang tidak stabil. Dalam satu
abad, Prancis mengalami sembilan kali perubahan bentuk pemerintah. Periode yang tidak stabil
itu tentunya mempengaruhi kehidupan sosial dan ekonomi Prancis. Terdapatnya perubahan bentuk
3
pemerintah mengalihkan peranan kaum bangsawan dan gereja dalam kehidupan sosial dan
Perubahan situasi sosial ini membawa dampak besar bagi kesusastraan Prancis. Pengarang-
pengarang yang muncul pada abad tersebut memberikan reaksinya terhadap berbagai perubahan
dengan menghasilkan karya-karya yang ditulis berdasarkan pada kenyataan yang ada dalam
masyarakat, salah satunya adalah munculnya novel-novel dengan yang mengangkat kisah-kisah
kehidupan masyarakat kelas menengah ke bawah serta kaum borjuis Prancis. Para pengarang pada
masa itu juga memiliki karakteristik yang sama yakni kesungguhannya dalam menggambarkan
kenyataan dalam masyarakat, berbeda dengan karya-karya klasik yang sangat fanatik pada
golongan tertentu dalam pemilihan tokoh-tokoh yang berasal dari kalangan bangsawan.
Pada roman Le Ventre de Paris karya Émile Zola, terdapat penggambaran tokoh pemuda
bernama Florent yang merupakan bagian dari masyarakat kelas menengah ke bawah. Florent
dikirim ke penjara setelah kudeta Louis-Napoleon tahun 1851 yang mana Florent secara keliru
l’île du Diable di Guyenne selama tujuh tahun. Begitu Florent tiba kembali ke Paris, ia mendapati
kota itu mengalami perubahan yang drastis karena bawah program rekonstruksi perkotaan
Haussmann. Kota yang pernah dicintainya telah menjadi tempat mencari makan bagi para petits-
bourgeois. Roman ini mengungkap tema besar suasana suram dan penderitaan yang dirasakan
oleh pemuda sebagai bagian dari masyarakat kelas pekerja pada abad XIX.
Roman ini memiliki alur gabungan dari alur progresif dan regresif. Zola menyajikannya
ceritanya secara urut dan kemudian pada suatu waktu diceritakan kembali kisah yang terjadi di
4
masa lalu atau flashback. Hal ini juga merupakan salah satu ciri umum karya-karya Zola yang
kerap menggunakan alur gabungan dengan penggunaan kilas balik untuk memaparkan memori
atau peristiwa yang terdahulu yang melandasi peristiwa pada saat ini.
Bagian pemaparan pada roman diawali dengan kembalinya Florent ke Paris setelah
melarikan diri dari penjara di l’île du Diable di mana ia ditahan selama tujuh tahun akibat tuduhan
berpartisipasi untuk menggulingkan pemerintah. Pada bagian ini diberikan informasi mengenai
latar ruang dan waktu keseluruhan cerita, yakni Paris pada abad XIX. Pada periode ini,
dideskripsikan kondisi Paris yang sangat berbeda dari tujuh tahun yang lalu ditandai dengan pasar-
pasar yang bermunculan di Les Halles, tempat tinggal Florent. Pada pemaparan, pembaca
dikenalkan dengan tokoh Florent sebagai tokoh yang akan menjadi sorotan dan berperan dalam
cerita. Pemaparan tersebut berlanjut semakin dekat ke arah konflik ketika Florent menyadari
tempat tinggal lamanya, Paris telah berubah dari keadaan awal. Perubahan itu merupakan suatu
hal yang tidak ia sukai, ia tidak pernah membayangkan Paris dengan banyak pasar di sekelilingnya.
Konflik dimulai saat Florent dihadapi dengan masalah pekerjaan. Ketika ia melihat
perubahan yang terjadi pada paris, yakni kota kesayangannya telah berubah menjadi sebuah pasar,
Florent kemudian menyimpan perasaan benci pada peradaban yang sedang terjadi ini, sehingga
ketika ia diberikan tawaran untuk bekerja di pasar sebagai inspektur ikan. Hal tersebut
menimbulkan Konflik batin atau konflik pribadi yang disebabkan oleh adanya dua atau lebih
keinginan atau gagasan yang saling bertentangan dan menguasai diri Florent hingga
mempengaruhi sikapnya.
Klimaks pada konflik terjadi ketika rahasia Florent terungkap akibat Mlle Saget yang
menyebarkan informasi pada masyarakat bahwa Florent merupakan buron yang melarikan diri dari
penjara l’île du Diable. Segala permasalahan di Les Halles dan kondisi keterasingan Florent
5
kemudian berhenti dan ia diposisikan kembali di bagian awal sebagai seseorang yang secara fisik
diasingkan ke tempat lain. Selanjutnya, cerita diselesaikan oleh ditangkapnya Florent oleh polisi.
Berdasarkan penjelasan tersebut, Florent ditampakkan sebagai tokoh yang sedari awal
benar-benar diasingkan, yakni ia ditangkap oleh negara dan dideportasi serta dipenjarakan di
Guyenne. Selanjutnya walaupun ia sudah melarikan diri dari tempat dia diasingkan untuk kembali
lagi ke kota kebanggaannya, Florent justru merasa terasingkan karena perubahan-perubahan yang
ia temukan. Pada akhir cerita, keadaan Florent kembali lagi ke awal. Florent yang merasa
teralienasi pada akhirnya benar-benar diasingkan karena memiliki pola hidup yang berbeda dari
Secara garis besar, roman Le Ventre de Paris berlatar di Les Halles, Paris pada abad XIX.
Pada masa ini, Paris digambarkan sebagai kota dengan pertumbuhan ekonomi yang berkembang
dengan pesat, didukung dengan kemajuan pada bidang industri dan teknologi yang semakin
canggih. Masyarakat Paris juga digambarkan terobsesi dengan ekonomi, pasar, dan bersifat
konsumtif. Berikut adalah latar ruang dan waktu yang lebih terperinci pada roman tersebut:
1. Le Charcuterie Quenu-Gradelle, nama toko daging yang dimiliki oleh paman Florent
dan Quenu, Monsieur Gradelle. Setelah kematiannya, La Belle Lisa dan Quenu
dalam referensi ke toko yang mengkhususkan diri hanya pada daging babi, namun
2. Kafe Monsieur Lebrige, terletak tidak jauh dari charcuterie, kafe Lebigre adalah
Prancis. Kafe ini terletak di Rue Pirouette, tidak jauh dari toko daging Quenu-
Gradelles.
6
3. Nanterres, merupakan daerah pinggiran Paris yang terkenal. Mme François tinggal di
daerah itu. Florent dan Claude Lantier pernah mengunjunginya di rumahnya suatu hari,
4. Les Halles, pasar sentral yang sangat besar dan sibuk di Paris abad ke XIX. Les Halles
dibangun kembali dalam bentuk besi dan kaca selama Second Empire.
Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa mayoritas latar berada di dalam
ruangan; toko, rumah, kafe. Penggunaan latar ruang tertutup secara tidak langsung dapat
menunjukkan bahwa tokoh dalam roman ini gerak-geriknya tidak bebas, bahwa ada ruang-ruang
yang membatasi mereka. Hal ini tercermin dalam roman bahwa hampir semua tokoh, terlebih lagi
Florent yang menjadi fokus dari penulisan ini, tidak ada yang benar-benar bebas, setiap tokoh
dihadapi oleh keterbatasan. Meskipun Florent telah bebas dari penjara, ia tetap merasa
terperangkap dan menderita di Paris akibat suasana dan kondisi kota yang berbeda dari apa yang
Tokoh merupakan individu rekaan dalam sebuah cerita rekaan yang memainkan perannya
macam tokoh dengan karakter yang cukup beragam dan mewarnai peristiwa-peristiwa di
fungsi tokoh sebagaimana yang disampaikan oleh Sudjiman (1991: 17—22) yang membagi fungsi
tokoh menjadi dua, yaitu tokoh sentral dan tokoh bawahan, serta tokoh tambahan yang juga
berperan mewarnai cerita. Terkait hal ini, Grimes (dalam Sudjiman, 1992: 19) mengatakan, bahwa
tokoh bawahan adalah tokoh yang tidak sentral kedudukannya di dalam cerita, tetapi kehadirannya
7
1. Florent Quenu, merupakan protagonis utama Le Ventre de Paris. Seorang pemuda yang
temperamennya lembut, Florent digambarkan sebagai tokoh yang tinggi dan kurus,
berbeda dengan tokoh-tokoh lain di sekitarnya. Florent juga tidak memiliki kepedulian
pada uang dan penampilan. Dia tidak memedulikan tampilannya ditandai dengan
kebiasaannya yang hanya mengenakan celana panjang dan mantel hitam. Sifatnya yang
lembut ini juga ditunjukkan melalui Florent yang memiliki titik lemah untuk anak-anak.
Florent merasa terganggu dengan kondisi Paris ketika ia kembali hingga pemandangan dan
bau makanan justru menjadi hal yang menjijikan baginya. Hal ini dijelaskan pada bagian
2. Lisa Quenu, merupakan perempuan cantik yang digambarkan dengan penampilan yang
sempurna dan perawakan yang pendiam. Lisa merupakan istri dari Quenu, saudara tiri
Florent. Lisa juga digambarkan sebagai seseorang yang jujur, misalnya ketika ia
Quenu, atau ketika ia langsung memberikan Florent warisan pamannya yang layak
diterimanya. Lisa juga sangat menjunjung tinggi ketenangan dalam hidupnya, hal inilah
yang kemudian mendorongnya untuk mencari cara dengan melaporkan Florent pada polisi
agar ia keluar dari Les Halles karena dianggap menyebabkan masalah dan merusak
ketenangannya.
3. Quenu, merupakan saudara tiri Florent. Di awal kehidupannya ia diurus oleh Florent dan
kemudian oleh Lisa. Quenu mewarisi charcuterie semenjak kematian pamannya, Gradelle.
Quenu adalah karakter yang lemah karena sebagian besar waktu ia didominasi oleh Lisa
8
yang memanipulasi demi kepentingan egonya. Quenu digambarkan sebagai tokoh yang
4. Pauline Quenu, putri dari Quenu dan Lisa yang digambarkan dengan postur yang gemuk
dan pendek. Pauline memiliki hubungan yang dekat dengan pamannya, Florent, berkat
5. Claude Lantier, pelukis muda dengan cita-cita tinggi yang tinggal di sekitar Les Halles.
Kerabat langsung satu-satunya yang dia miliki adalah bibinya, Lisa. Sepanjang buku itu ia
bertindak sebagai pengamat perilaku tanpa memihak pada siapapun. Claude berteman
6. Louise Méhudin, atau yang sering dijuluki dengan nama “ La Belle Normande”.
Layaknya Lisa, ia digambarkan sebagai perempuan yang cantik dan montok. Hal ini
“Elle avait une beauté hardie, très blanche et délicate de peau, presque aussi forte
que Lisa, mais d’oeil plus effronté et de poitrine plus vivante.”
‘Dia memiliki kecantikan yang berani, kulit yang sangat putih dan halus, hampir
sekuat Lisa, tetapi dengan mata yang lebih cerah dan payudara yang lebih cantik’
Sebelumnya ia memiliki hubungan yang tidak baik dengan Florent ketika Florent bekerja
sebagai inspektur. Akan tetapi, ketika melihat Florent berhasil mengambil hati anaknya,
7. Claire Méhudin, saudari Louise yang diam-diam jatuh cinta dengan Florent. Ia cemburu
melihat keintiman tumbuh antara saudarinya dan Florent. Louise adalah salah satu karakter
dalam novel yang tidak pernah iri pada Florent dan tidak senang ketika Florent terjerat
9
8. Mademoiselle Saget, merupakan teman Mme. Lecoeur. Wanita ini sangat senang
mencampuri urusan orang lain, terpesona oleh keintiman orang-orang di sekitarnya, dan
“sa langue était redoutée [...] Elle ne causait que des autres”
‘lidahnya ditakuti [...] Ia hanya merugikan orang lain’
mengungkapkan segala hal yang diketahui tentang Florent, dan juga menciptakan beberapa
9. Gavard, adalah pria berusia 50 tahun yang sedari dulu menjalankan charcuterie hingga
istrinya meninggal pada tahun 1848. Gavard sekarang bekerja sebagai penjual ayam itik di
Les Halles. Ia tinggal di Rue de Cossonerie, digambarkan sebagai seseorang yang kaya
raya. Dia berteman dengan Florent dan Quenu setelah kematian ibu mereka dan merupakan
teman pertama yang ditemui Florent sekembalinya ke Paris. Gavard sering terlihat di kedai
10. Marjolin dan Cadine, Marjolin berusia 18 tahun, sedangkan Cadine 16 tahun. Mereka
adalah dua anak yang ditemukan dan diberi makan oleh La Mère Chantemesse. Di akhir
masa remajanya, ia bekerja untuk Gavard untuk menjual ayam itiknya. Marjolin juga
merupakan sumber inspirasi untuk lukisan Claude Lantiers. Sementara itu, Cadine adalah
perempuan berambut hitam, digambarkan sebagai sosok yang penuh semangat dan pekerja
keras. Di Les Halles, Cadine menjual karangan bunga kecil dan menjajakannya di jalan-
11. Madame François, seorang pedagang pasar dari Nanterre. Mme François merupakan
sosok yang pertama kali muncul bersama Florent, ia membantu Florent dengan
memberikannya tumpangan ke Les Halles, ketika pria malang itu baru saja tiba dari
10
penjara. Ia memiliki hubungan yang cukup dekat dengan Florent. Madame François
membenci Paris dan kerap mengundang Florent dan Claude untuk menghabiskan waktu di
Berdasarkan penjelasan tersebut, karakter-karakter novel ini adalah representasi sempurna dari
masyarakat seperti apa di Paris abad XIX. Mereka dibagi ke dalam kelas sosial tergantung pada
Dalam Roman Le Ventre de Paris, latar kejadian terletak di Les Halles, Paris yang
merupakan sebuah jantung kota dan rumah dari Pasar Makanan Sentral Besar Paris pada abad XIX.
Pasar Makanan Sentral Besar dibangun oleh Victor Baltard di awal Second Empire dan merupakan
pasar makanan terbesar di dunia pada saat itu. Pasar Makanan Sentral Besar Paris dibentuk untuk
memuaskan selera para penduduk Paris kelas menengah ke atas yang mampu. Pasar Makanan
Sentral Besar adalah simbol bagi ketidakadilan sosial dan politik. Selama masa itu, konsumerisme
meningkat pesat di masa tersebut. Terdapat jalan-jalan baru, pajak baru, dan pemerintahan baru.
Pasar lama Innocents telah digantikan oleh pasar monolitik Les Halles.
Berbagai macam sayuran dan buah-buahan, daging dan ikan, keju dan mentega adalah hal
yang memotivasi warga konsumer Paris untuk mengemis, barter, menjual dan mencuri untuk
memenuhi kebutuhan fisik dan sosial mereka. Pada roman ini, masyarakat Prancis terbagi antara
kelas dan posisi sosial tergantung pada status fisik mereka. Ukuran tubuh tiap individu kemudian
dilihat sebagai hal yang menandakan kelas mereka di masyarakat. Orang-orang yang memiliki
badan berukuran besar dan penuh lemak dilihat sebagai orang-orang kaya dan terpandang karena
11
dianggap berperan dalam ekonomi dan memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pangan
mereka. Sementara itu, orang-orang bertubuh kurus dilihat sebagai bagian dari rakyat jelata.
Masyarakat di Prancis pada abad XIX didominasi oleh dua kelompok besar yaitu kelompok borjuis
yang menguasai ekonomi dan sekaligus menduduki tempat-tempat penting dalam pemerintah dan
Dalam roman ini, walaupun kaum borjuis digambarkan sebagai pihak-pihak yang berkuasa
dan memiliki kemampuan, Zola juga memberikan pandangannya terhadap kaum borjuis di Paris
yang digambarkan sebagai orang-orang yang bodoh. Hal ini dapat dilihat di teks ketika Zola
membahas salah satu tokoh, yakni Quenu. Saudara tiri dari Florent ini dideskripsikan sebagai
sosok yang gemuk dan tidak lebih cerdas daripada Florent walaupun ia merupakan bagian dari
kaum borjuis. Quenu digambarkan sebagai tokoh yang sukses dalam menjalankan bisnisnya, akan
tetapi ketika ia menikahi Lisa, ia justru digambarkan sebagai sosok yang posisinya di bawah Lisa
dan mudah dimanipulasi oleh istrinya. Quenu dipandang sebagai sosok yang sangat bodoh oleh
masyarakat di sekitarnya, hal ini dapat ditunjukkan dalam roman sebagai berikut,
“Le cousin ! répondit la Normande d’une voix aiguë, vous croyez au cousin, vous !…
Quelque amoureux, ce grand dadais ! […] Elle a un mari trop serin pour ne pas le faire
cocu.”
‘Sepupunya itu! Jawab La Normande dengan suara melengking, “Kamu percaya pada pada
sepupumu! Ah, seseorang sedang jatuh cinta, idiot hebat ini! [...] Suaminya itu terlalu
bodoh untuk tidak mengkhianatinya’
Berdasarkan kutipan di atas, dapat dilihat bahwa dalam menggambarkan Quenu sebagai orang
bodoh, Zola menunjukkan bahwa seseorang yang merupakan kaum borjuis dan identik dengan
kerakusan dikaitkan dengan orang yang tidak cerdas dan ceroboh. Lebih jauh lagi, implikasi bahwa
Quenu adalah sosok yang mudah dikhianati menunjukkan kelemahan dari karakternya. Zola
12
mengimplikasikan di sini bahwa kaum borjuis yang makmur dan gemuk adalah orang-orang lemah
Keterasingan yang dimaksud pada penulisan ini mengacu pada kata alienasi dan isolasi.
Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, “alienasi” adalah suatu keadaan merasa terasing
(terisolasi) atau penarikan diri seseorang dari suatu kelompok masyarakat. Sedangkan kata
“isolasi” adalah pemisahan suatu hal dari hal lain atau usaha untuk memencilkan manusia dari
manusia lain.
Dalam Le Ventre de Paris terdapat dua unsur bentuk keterasingan. Bentuk pertama adalah
keterasingan yang diakibatkan oleh tindakan pemencilan oleh orang lain. Pada roman Le Ventre
de Paris, tokoh Florent diasingkan secara fisik dari Paris dan dijauhkan dari identitasnya sebagai
parisien. Tindakan mengasingkan Florent dari rumahnya dan mengurungnya dalam penjara
membuat dirinya asing akan peradaban. Dalam bahasa Prancis, makna “asing” yang dimaksud
adalah « se sentir étranger » ‘merasa asing’ atau « qui n’appartient pas ou qui est consideré comme
n’appartenant pas à un groupe (familial ou social)» ‘yang tidak memiliki atau yang dianggap tidak
termasuk pada suatu kelompok, keluarga atau sosial’. Kesan asing (étrangeté) atau seakan-akan
asing (impression d’étrangeté) dicoba diatasinya dengan berusaha untuk membebaska diri dari
perasaan tersebut dengan melarikan diri dari penjara untuk kembali pada kota tempat ia tinggal di
Bentuk keterasingan yang kedua adalah keterasingan yang dikehendaki oleh dirinya sendiri
dengan cara mengasingkan diri. Ketika Florent kembali ke Paris ia mendapati kota ini sebagai
sebuah mimpi buruk karena tidak mencerminkan Paris yang dahulunya ia kenali. Ketidaksesuaian
13
ini membuat Florent memiliki pandangan yang berbeda akan prinsip-prinsip yang dianut oleh
masyarakat umum. Kedua bentuk keterasingan inilah yang diungkapkan oleh Émile Zola dalam
Le Ventre de Paris.
yang bersifat konsumtif. Selain itu, penduduk Paris yang ditunjukkan dalam roman ini juga
digambarkan sebagai kaum borjuis yang bodoh dan mudah dimanipulasi. Adanya pemujaan yang
berlebihan pada makanan serta konstruksi anggapan dari badan kurus dan gemuk juga menjadi ciri
khas dari masyarakat pada masa itu. Dari 11 tokoh yang telah dipaparkan di bagian atas, dapat
dilihat bahwa hanya tiga dari mereka yang bukan bagian dari kaum borjuis, dan Florent, sebagai
Meskipun terus-menerus dikelilingi oleh makanan yang lezat, Florent tidak menunjukkan
keinginan untuk memakannya atau menandakan kelaparan. Makanan yang dipuja-puja oleh para
kaum borjuis justru dianggap sebagai sesuatu yang menjijikan bagi Florent. Perbedaan antara
masyarakat umum dan tokoh Florent membuktikan bahwa dirinya dalam roman ini
Kesimpulan
Pada abad XIX, Paris berubah secara sosial, ekonomi, dan politik. Di tengah pemerintahan
Kekaisaran Kedua Napoleon III, upaya pembaruan perkotaan mengarah pada pembangunan pasar
sentral Les Halles dan ketersediaan pegunungan makanan. Roman karya Zola ini berisikan kritik
sosial yang mendasar bahwa kaum borjuis mengonsumsi terlalu banyak makanan dan memiliki
obsesi yang tidak sehat dengan makanan sementara kesenjangan ekonomi antara kelas pekerja dan
borjuis melebar. Budaya yang didominasi makanan di Paris versi Zola mendikte struktur kelas
14
sosial sehingga mereka yang gemuk dianggap terhormat, sementara mereka yang kurus dianggap
membuat dirinya terasingkan. Keterasingan yang dialami Florent merupakan akibat dari
ketiadaannya pada suatu periode ketika kota sedang direkontruksi, sehingga ketika ia tiba-tiba
ditempatkan di masyarakat, ia merasakan adanya ketidakselarasan antara apa yang ia percaya dan
ketahui dengan realitas yang ada. Keterasingan yang Florent rasakan selama ini tidak hanya
membuatnya jauh dari masyarakat, namun sudah mencapai titik di mana ia dikucilkan dan tidak
dianggap oleh masyarakat hingga masyarakat sekitar melakukan upaya untuk mendiskreditkan dan
Referensi
Beaumarchais, J.P. 1987. Dictionnaire des littératures de langue française. Paris: Bordas
Castex, P.G, P. Surer, G. Becker. 1974. Histoire de la Littérature franç aise. Paris: Hachette.
Guerard, Albert. A Great Life in Brief: Napoleon I. New York. Alfred A. Knopf. 1956.
Lagarde, André dan Laurent Michard. XIXème Siècle: Les Grands Auteurs Français du
15