Abdul Hamid
Serpihan Sastra
--Cet. 1 – Bandung; Balatin Pratama; 2016
92 hlm.; 21 cm
ISBN 978-979-1361-69-9
I . Judul II. Abdul Hamid
KATA PENGANTAR
Serpihan Sastra v
vi Abdul Hamid
DAFTAR ISI
Kata Pengantar —v
Daftar Isi —vii
Absurditas dalam Novel Orang Asing Karya Albert Camus — 1
Al-Qur’an sebagai Teks Sastra? — 5
Beranjak dari Kata Masuki Makna, Selanjutnya Terserah Anda — 9
Catatan atas Karya Juniarso Ridwan dan Yessi Anwar:
Pengarang dan Karyanya — 17
Chairil Anwar dalam Sorotan Paul Ricoeur — 23
Hakikat Sastra Anak — 30
Lilin Bersinar di Gilli — 39
Malam Lebaran dalam Teropong Barthes — 47
Menguak Kebersalahan dalam Cerita Pendek Kurnia Effendi — 54
Menilai Karya Sastra Secara Objektif, Mungkinkah? — 59
Orang Malam dalam Bayangan Cinta:
Semacam Catatan untuk Semacam Soni — 64
Putri Cina: Perempuan dalam Sejarah, Mitos, dan Realita — 68
Refleksi Kesadaran Diri dalam Lelaki Tua dan Laut — 74
Rumah Boneka: Sumber Daya Pembangkit Rumah Manusia — 80
Mitos — 93
Esai-Esai Kebudayaan Sunda:
Tinjauan Kritis Mengenai Pemikiran Rustandi Kartakusumah — 104
Topeng Sapardi dalam Pandangan Riffaterre — 127
Warna Jeihan dalam Puisi — 135
Serpihan Sastra 1
Wellek dan Warren, fungsi sastra adalah untuk membebaskan
pembaca dan penulisnya dari tekanan emosi dan
mengekspresikan emosi berarti melepaskan diri darei emosi itu.
Pembahasan absurditas menafsirkan maksud pengarang
dalam teks dan data di luar teks sebab bagaimanapun isi cerita
tidak lepas dari latar belakang pengarang dan zamannya.
Luxemburg menyebut interpretasi semacam ini sebagai
interpretasi historis, yaitu penafsiran yang berusaha menyusun
kembali arti historis dengan berpedoman pada maksud
pengarang seperti tampak dalam teks dan data di luar teks.
Selain itu, usaha penafsiran dapat dilakukan dengan
menyusunkembali cakrawala harapan pembaca waktu itu.
Absurditas dianggap sebagai titik pemikiran
eksistensialisme yang dikembangkan oleh Albert Camus menjadi
filsafat tersendiri. Karena itu, muncullah filsafat absurdisme yang
tidak lain merupakan pengembangan dari pemikiran
eksistensialisme. Pemikiran Jean Paul Sartre menjadi landasan
kuat filsafat absurdisme ini. Makna absurd bisa bermacam-
macam. Namun, makna pokok dalam filsafat absurdisme adalah
kesia-sian dan ketakbermaknaan. Hidup adalah sia-sia. Hidup
adalah tanpa makna.
Penerapan paham absurditas dapat dilihat dalam novel
Orang Asing melalui tokoh protagonis Meursault. Meursault
bebas untuk membunuh atau tidak membunuh. Karena
membunuh, Meursault tidak berkeberatan dihukum mati.
Pendeta berkali-kali datang mengingatkan Meursault agar
mohon ampun kepada Tuhan. Namun, berkali-kali juga
Meursault menolak karena baginya Tuhan tidak ada. Dia
menjalani hukuman mati dengan tenang karena jika dia tetap
hidup, bagi dia hidup itu absurd, sia-sia, tiada makna. Karena itu,
dapat dikatakan bahwa Meursault merupakan penganut paham
ateis. Inilah yang membuktikan bahwa Albert Camus adalah
pencetus paham eksistensialisme yang berakar dari ateis yang
tidak percaya akan adanya Tuhan karena kekalahan negaranya
dalam perang melawan Jerman.
Konon, albert Camus sendiri menghubungkan paham
absurditasnya dengan cara bunuh diri. Dia beranggapan bahwa
orang bisa bunuh diri karena berpikir, yang menyebabkan krisis
batin. Albert Camus menyatakan bahwa ada banyak penyebab
2 Abdul Hamid
bunuh diri, dan pada umumnya yang paling jelas bukanlah
penyebab yang paling menentukan jarang orang bunuh diri
karena berpikir. Namun, praduga seperti itu tidak
dikesampingkan. Yang mencetuskan krisi batin itu hampir selalu
tidak dapat dikendalikan.
Selanjutnya, Albert Camus menjelaskan bahwa pokok
pembicaraan justru hubungan yang absurd dan bunuh diri.
Seberapa tepatnya bunuh diri merupakan suatu jalan keluar yang
absurd. Suatu keinginan yang sah bahwa orang bertanya-tanya
dengan jernih tanpa perasaan palsu. Apakah simpulan semacam
itu menuntut tindakan untujk meninggalkan suatu kondisi yang
tidak bisa dimengerti secapat mungkin. Untuk masalah bunuh
diri dikatakannya bahwa suasana itu membunuh bukan sekadar
bermain kata. Hidup di bawah langit yang menyesakkan ini
memaksa manusia untuk tetap tinggal atau keluar. Yang perlu
diketahui adalah bagaimana cara keluar dari hidup pada kasus
pertama, atau cara untuk tetap tinggal dalam hidup pada kasus
kedua. Begitulah Albert Camus mendefinisikan masalah bunuh
diri dan kepentingan yang dapat diberikan pada simpulan-
simpulan filsafat eksistensialisme.
Seseorang berusaha untuk keluar dari permasalahan
tanpa ada tanggung jawab untuk menyelesaikannya, dan
kemudian juga memilih masalah kedua yang tidak
diselesaikannya juga. Semakin lama, ketika ada ketakseimbangan
niat dan kenyataan yang ia hadapi, ia akan sampai pada titik
tertentu: akan mati pun ia tetap menganggap bahwa dunia ini
tanpa makna.
Serpihan Sastra 3
bersama dan saling bercerita tentang masalah masing-masing.
Begitulah hubungan pertemanan Meursault dengan Raymond.
Namun, tampaknya yang sering menjadi pembicara aktif adalah
Raymond, sedangkan Meursault sering hanyalah sebagai
pendengar yang tidak banyak memberikan tanggapan
memuaskan atas pernyataan Raymond.
“Aku tahu betul bahwa kau mengenal hidup.” Pada
mulanya aku tidak sadar bahwa ia berengkau-engkau
terhadapku. Baru ketika ia menyatakan padaku,
“Sekarang kau benar-benar seorang sahabat,” aku
menyadari hal itu. Ia mengulangi kalimatnya dan aku
mengatakan, “Ya.” Sama saja bagiku menjadi sahabatnya
atau tidak dan ia benar-benar nampak ingin menjadi
sahabat.” (hlm. 28).
4 Abdul Hamid
itu. Bahkan, Meursault merasa tidak begitu kehilangan. Justru ia
yang berusaha meredakan tangis teman-teman ibunya
8 Abdul Hamid
Beranjak dari Kata Masuki Makna,
Selanjutnya Terserah Anda
Serpihan Sastra 9
Nah! Apakah enam penyair menghisap knalpot sekarang
kondisinya kritis, koma, gawat darurat, atau sehat-sehat saja?
Kini kita tengok enam penyair yang menghisap knalpot. Mereka
berada di lembah suara, di keheningan, di rumah sakit, di 17
agustusan, di dalam darah, di dalam keputusan, di dalam cermin,
dan ada juga dalam bilangan. Untuk menengok mereka, saya
bawakan segenggam oleh-oleh dari Sutardji Calzoum Bachri dan
Afrizal Malna.
Sutardji, dalam “Catatan Kebudayaan”, Horison
XXXVI/10/2002, mengatakan bahwa “puisi selalu mewasadai
kenyataan, menyerap kenyataan, menyedot, dan
memadatkannya dalam metafor-metafor dan berbagai ungkapan
dan berharap akan menciptakan suatu dunia imajinatif yang
memelihara dan mengutuhkan kemanusiaan yang mungkin
kelak akan menetas dalam suatu kenyataan lain di masa depan.
Jika ada keluhan terhadap kelemahan dari sebagaian puisi kita
masa kini, itu bukanlah terutama hanya bersumber pada
kelemahan penyair dalam berbahasa; dalam arti mereka belum
mampu menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar
indah dalam puisi, tetapi menurut hemat saya adalah antara lain
terutama kekurangmampuan mereka dalam berdialog dengan
kenyataan sehari-hari. Suatu dialog yang mampu mkenyerap
kenyataan dalam esensi yang melahirkan visi kreatif dan
imajinatif bagi puisi demi keutuhan nilai dan harkat
kemanusiaan.”
Dalam Horison yang itu juga, Afrizal Malna memberi
kita sebuah puisi dengan judul “Lorong Gelap dalam Bahasa”.
Begini: Si maut itu sudah datang membuat kamar dalam/
perutku. Ia membeli lemari baru, tempat tidur/ baru, meja dan
lampu kamar. Ia juga memasang/ sebuah cermin. Si maut itu
tidak pernah keluar/ dari kamarku. Setiap malam ia menyetel
radio dan/ tv. Koran pagiku selalu diambilnya. Si maut itu,/
membuatku harus menggotong tubuhku sendiri/ untuk berdiri.
Lemari goyah menahan berat/ tubuhku. Kamar seperti akan
tenggelam ke dalam/ pagar-pagar jiwa. Si maut itu mengatakan,
semua/ yang aku rasakan bukan milikku.// Aku bertengkar
dengannya. Ia telah mengambil/ semua yang aku rindukan,
semua mimpi-mimpiku./ Si maut itu telah membuat kamar
tidurku seperti/ sebuah gereja yang rusak. Seluruh
10 Abdul Hamid
penghuninya/ telah pergi. Lonceng berdentang seperti/
menggemakan lorong gelap dalam bahasa. Dan/ Si maut itu
membuat mulutku seperti peti besi./ Kata-kata yang (cetak tebal
dan miring bukan dari AM) tak pernah lagi menemui anak-/anak
kucing bermain. Bulunya halus dan lembut,/ tubuhnya gugup
menghadapi setiap gerak dari/ dunia luar. Ibunya datang,
memanggilnya dengan/ suara yang datang dari lorong kematian
dan/ kelahiran, menggigit lehernya, dan membawanya/ ke
dalam sebuah kardus.// // Si maut itu, api dari kaki-kaki
bahasa.
Apa yang dikemukakan Sutardji tampak pada puisi
Afrizal Malna. Dialog sudah ada dan biasa dalam puisi AM.
Namun sebagaimana judulnya, dalam puisi tersebut ada yang
terpeleset hingga menidakjelaskan makna. Perhatikan saja kata
yang dicetak tebal dan miring. Dari sudut pandang negatif,
bahasa menurut puisi tersebut kematian terjadi karena landasan
(kaki) bahasa yang berupa api. Pada pihak lain, bahasa dan api
punya sudut pandang positif. Intinya: bermain dengan bahasa,
kita bisa bahagia. Dengan bahasa pula, kita bisa celaka.
Maizer Alzou mengantar kita dengan lima puisi: “Dari”,
“Habitat di Negeriku”, “Bukan Orang Normal”, “Salinan
Lampau”, dan “Dari Lembah Suara”.
Puisi “Dari” pada bagian awal menampakkan kelincahan
berdialog. Kelincahan ini didukung pula dengan pemotongan
larik dan pilihan kata dan bunyi yang tepat. Sayangnya, hal itu
terganggu oleh penulisan “antar jiwa” yang seharusnya
“antarjiwa”. Juga oleh malammu terang yang akan lebih baik jika
ditulis dengan M (kapital) sebagai penanda bait baru atau juga
sebagai pembatas peristiwa tabrakan. Sayangnya lagi, bait
terakhir, Dari harimu/ Tanah minta migrasi dari bumi. Takbisa
kumengerti. Lebih disayangkan judulnya tidak menyeruduk
pada isi.
“Habitat di Negeriku” memiliki dialog yang sangat
bagus dengan keseharian. Begitu pula dengan enjambemen alias
pemotongan larik atau kalimat dan ejaan seperti penulisan
UANG! Pas. Akan lebih bagus lagi seandainya kata kisah pada
bagian awal dihilangkan. Peringkat bagus akan menjadi naik
seandainya telah jadi almarhum diganti saja dengan telah mati. Kata
almarhum berkonotasi positif dan bunyinya taksepadan dengan
Serpihan Sastra 11
negeriku; ku pada negeriku dan ti pada mati memiliki asosiasi
bunyi yang tajam dan juga kata mati berkonotasi negatif.
“Bukan Orang Normal” hanya terganjal oleh bait kedua
karena pemakaian kata esokmu terbias dan karnaval kebekuan.
Mengapa bukan aku terbias? Sulit saya memahami karnaval –yang
berasosiasi pada gerak iringan dan kebekuan yang berasosiasi
pada takgerak.
“Salinan Lampau” segalanya bagus jika kita
mengabaikan bait kedua. Bait kedua bisa membingungkan
karena luka jalan-jalan di kamar memiliki dua maksud: luka
berjalan-jalan (walking: bhs. Inggris, leuleumpangan: bhs. Sunda) di
kamar atau luka jalan-jalan (streets). Kutaktau yang kaumau.
“Dari Lembah Suara” memiliki metafora,pilihan kata,
dan pilihan bunyi yang mendukung makna. Apalagi jika kata
karena pada bait kedua dan terakhir takada, takperlu
dieksplisitkan sebab tiga suku kata pada kata itu menghambat
ketegasan, kecuali jika dijadikan karna, tetapi tidak juga kalau
dengan kata sebab (Ingat lisensia puitika!, maaf saya takterbiasa
menuliskan licensia poetica).
12 Abdul Hamid
mencuaca. Kita lihat: Biar tidak terlalu pendek riwayat dituliskan dan
Biar pengembaraan tak sedangkal pergantian cuaca. Bandingkan
dengan Biar riwayat takterlalu pendek dituliskan dan Biar
pengembaraan tak sedangkal pergantian cuaca. Begitu pula pada bait
berikutnya, menggali dan mencari taksejajar dengan kutulis. Jadi,
sebaiknya disejajarkan: kutulis, kugali, dan kucari agar pesan yang
dimaksud lebih tegas. Kata meski dan tetapi dalam bahasa
Indonesia memiliki fungsi yang sama, yaitu menyatakan
pertentangan. Karena itu, pilih salah satu dan dalam puisi ini
akan lebih baik jika tetapi dihilangkan, takdipakai.
“Menuju Keheningan” memiliki banyak kekuatan
sebagai puisi karena faktor keterbacaannya. Kelemahannya
hanya satu: kata kembali pada larik Tumbuh dalam batin agar tubuh
dan ruh kita kembali. Kembali ke mana? Takjelas. Padahal di atas
sudah dinyatakan biar istirah mempertemukan jiwa kita kembali.
Nah, karena sudah bertemu kembali, tubuh dan ruh kita menyatu.
Betapa asyiknya bunyi /u/ dalam tumbuh, tubuh, ruh, dan
menyatu.
“Dalam Keheningan” tidak memiliki cacat gawat sebab
hanya kesalahan penulisan ejaan diantara yang seharusnya di
antara. Puisi ini berada di luar tudingan Sutardji, di luar
kegelapan Afrizal Malna.
Serpihan Sastra 13
dua pilihan:” berkonotasi negatif. Mengapa digunakan kata
“Dan” yang berfungsi menyatakan kesetaraan. Untuk
menyatakan pertentangan, sebaiknya kita menggunakan kata
tetapi atau tapi atau namun dalam bait seperti itu.
“Dua Cahaya” tampak memberikan berbeda empat puisi
lainnya. Puisi ini menggunakan cahaya sebagai metafor cinta.
Pilihan kata yang didominasi bunyi terbuka /a/ disertai bunyi
/m/ memberikan kesan mesra pada kita. Ini sesuai dengan
judulnya.
14 Abdul Hamid
Lagi-lagi lisensia puitika disalahgunakan: di provokasi dalam
bahasa Indonesia disatukan penulisannya: diprovokasi. Ini terjadi
juga dalam puisi “Atas Nama Darah”. Inilah puisi paling getir
sudah menunjukkan tempat, tetapi dipertanyakan lagi (sambil
salah menulisnya) dimana aku harus terus mencumbunya,
mengikatnya juga menikamnya. Kalau saja kata dimana atau juga di
mana dalam puisi itu diganti dengan kata tempat dan akupun
menjadi aku pun, sempurnalah sudah puisi tersebut.
Serpihan Sastra 15
Puncaknya adalah Orang mati sangat murah. Satu hal yang masih
harus diselidiki adalah pemakaian angka. Janganlah disangka itu
pekerjaan iseng menekan ketikan dari kanan ke kiri saja. Setiap
angka memiliki nilai tertentu bagi orang tertentu pula. Kita ingat
saja pada celaka 12, nomor 13, aki-aki tujuh mulud, mandi di
tujuh sumur, tiga atau tujuh atau empat puluh atau seratus
harian memperingati orang wafat, langit ketujuh, tujuh turunan.
Cag!****
16 Abdul Hamid
Catatan atas Karya Juniarso Ridwan
dan Yessi Anwar:
Pengarang dan Karyanya
Serpihan Sastra 17
nama lain. Mereka tidak disebutkan di sini bukan takpenting,
melainkan karena memang tidak ingat. Di antara anggota
persekongkolan dan simpatisannya itu ada yang melepaskan
tanda petik ganda pada kata sastrawan, bahkan ditambah dengan
kata wartawan. Dan terakhir ada lagi yang menambahkan kata
pelukis. Mungkin juga ada yang menambahkan kata pengemis,
karena kekentalan kesadaran ruang dan waktu yang dulu mereka
miliki telah terkikis habis dan berganti dengan kesadaran uang
dan akte, tapi itu cukup dikatakan dalam hati. Jadi, lengkaplah
sudah predikatnya menjadi sastrawan-wartawan-pelukis seperti
halnya anggota DPR yang merangkap sebagai wakil keluarga-
pengusaha-penipu-koruptor. Hebat euy! (Maklum mereka masih
termasuk manusia Indonesia seutuhnya, takkalah rame dengan
gelar dan pangkat yang ditempelkan pada kartu nama atau kartu
undangan oleh manusia Indonesia lainnya). Hampir lupa. Di
antara mereka ada juga yang melepaskan predikat sastrawan
atau senimannya. Jadi, yang tinggal adalah tanda petik
gandanya. Mereka pensiun muda dari dunia sastra atau seni.
Mengapa ada catatan untuk karya Juniarso Ridwan dan
Yessi Anwar? Hal yang menarik bukan karena mereka memiliki
predikat rangkap walaupun kerangkapannya berbeda dengan
teman seangkatannya. Juniarso Ridwan kini lebih banyak
berkecimpung dengan taman yang ada di kota Bandung dan
sesekali masih menulis esai dan puisi, baik dalam bahasa
Indonesia maupun dalam bahasa Sunda. Jadi, dia adalah kuncen
pertamanan kota Bandung. Lain lagi Yessi Anwar. Dia lebih
banyak membolak-balik kitab-kitab dan mengutip pasal-pasal
dan ayat-ayat yang berhubungan dengan hukum dan
mendiskusikannya di kelas. Ya, dia adalah dosen. Tapi, tentu saja
di sentero perguruan tinggi se-Bandung Raya, kita atau bahkan
juragan intel tidak akan menemukan nama Yessi Anwar karena
ketika mengajar di kelas, dia menggunakan nama aslinya.
Takusah disebutkan. Jangan-jangan kalau di sini disebutkan bisa
melanggar kode etik peraliasan. Sebut saja Yessi Anwar alias
Anu. Dan peraliasan tidak akan dibicarakan di sini. Cukup
karyanya.
**
Setelah sekian tahun bermain-main, berjalan-jalan, dan bermimpi
di taman, serta kegiatan entah lainnya, rupanya Juniarso Ridwan
18 Abdul Hamid
terinspirasi oleh berbagai jenis tanaman atau pohon yang
dibelinya (atau diutang?), dilihatnya, dipegangnya, dan
ditanamnya atau ditebangnya. Kita perhatikan saja cerita pendek
(cerpen) karyanya yang dimuat dalam Pikiran Rakyat, Minggu,
25 Agustus 2002, yang berjudul “Tentang Pohon”.
“Aku bukanlah seorang Rumphius. Aku hanya sebagai
tukang kebun. Mengembara dari satu daerah ke daerah lain.
Mengarungi bentangan alam. Kadang perlu melepaskan lelah
dan dahaga di suatu tempat. Ingatanku selalu dijejali oleh
berbagai hal yang berkaitan dengan pohon dan tanaman. Apabila
pikiranku terlalu berat menampung masalah, maka aku ingin
tidur pulas sepanjang musim. Seperti sungai yang mencatat
tempat-tempat persinggahan, aku mencatat pula segala hal
tentang pohon. Ini beberapa saja.”
Itulah paragraf pembukaan cerpen Juniarso Ridwan.
Sebuah pembukaan yang bagus. Sebagai pembaca tentu punya
horizon harapan karena karya sastra tidak lahir dari kekosongan.
Diharapkan yang akan diceritakan itu adalah filsafat pohon dan
di situ terdapat ikon-ikon, indeks, tanda, dan simbol yang harus
diraih pembaca.
Harapan tinggal harapan, Juniarso berjalan sendiri
(takmau kompromi dengan pembaca) sebagai tukang kebun yang
diwawancarai oleh wartawan atau ditanya cucunya. Maka dia
mendeskripsikan apa dan bagaimana lima jenis pohon: angsana,
beringin, dadap cangkring, tanjung, dan bungur disertai nama
latinnya pada catatan akhir: Pterocarpus Indicus, Ficus
Benjamina, Erythrina fusca, Mimusops elengi, Lagerstroemia
speciosa. Menyimak deskripsi tentang lima pohon itu, teringatlah
pada ensiklopedi, ingat juga pernah ada buku Haryoto Kunto
tentang Bandung tempo dulu, juga ingat pada Hembing yang
membukukan pengobatan alternatif dengan segala tanaman.
Mau bukti? Siapa taku? Lihat saja catatan yang 100%
catatan tentang angsana.
“Yang aku ingat tentang pohon ini adalah khasiat
daunnya untuk mengurangi kadar gula darah. Pohon ini
ditanam, bisa dengan biji atau stekan batang. Pohon bisa
mencapai ketinggian lebih dari 20 meter. Untuk halaman luas
biasanya digunakan sebagai peneduh. Tapi belakangan dipakai
untuk penghijauan di sepanjang jalan. Pertumbuhannya terbilang
Serpihan Sastra 19
cepat. Sehingga hampir seluruh kota di Indonesia memakai
angsana untuk kegiatan program penghijauannya. Angsana
identik dengan program Adipura, yaitu kejuaraan kebersihan
dan keindahan di tingkat kota masa Orba. Meski dicibir banyak
orang, tapi jejak program ini masih terasa hingga sekarang. Kota-
kota menjadi teduh berkat pohon angsana.
Karena akarnya menjalar ke segala arah, bahkan bisa
menyembul ke permukaan, keberadaan pohon angsana
memerlukan ruang yang cukup bagi pertumbuhannya. Bila
berada di lokasi trotoar yang sempit, maka bentuk fisik trotoar
itu akan hancur didorong oleh pertumbuhan akar yang begitu
kuat. Pada musim kemarau rata-rata pohon angsana mengalami
masa gugur daun. Jalan-jalan dipenuhi guguran daun,
menciptakan permadani kuning kecoklat-coklatan. Cabang-
cabangnya mendongkak ke angkasa luas. Sebagian rantingnya
patah dan jatuh. Kelak dari bekas patahan ranting itu akan
muncul tunas baru, untuk menjaga kelangsungan hidup pohon.”
Hal semacam dipakai juga untuk mendeskripsikan empat
pohon lainnya. Titik. Tidak ada tegangan. Tidak ada klimaks dan
antiklimaks. Atau apalah yang berkaitan dengan apa yang
disebut cerpen. Ini terjadi karena kini tidak ada departemen
penerangan. Yang ada hanyalah tukang kebun yang harus
memberi tahu cucunya tentang pohon dalam arti harfiah. Titik.
**
Mau puisi pendek? Ingatlah pada karya-karya Sapardi Djoko
Damono, Sitor Situmorang, atau Sutardji Calzoum Bachri. Mau
puisi panjang dengan pilihan kata sehari-hari, ya harus ingat
W.S. Rendra atau juga Ajip Rosidi atau lainnya. Termasuk Yessi
Anwar? Kita lihat dulu karya Yessi Anwar yang dimuat Pikiran
Rakyat, Kamis, 3 Oktober 2002. Judulnya: “Siapakah Sang
Teroris? (sebuah pertanyaan buat camus). Di sini Yessi mencoba
menangkap situasi hangat tentang teror, teroris, dan terorisme.
Namun situasi tersebut tanpa diendapkan, langsung diberitakan.
Berita tanpa ikon, indeks, tanda, atau pun simbol. Jadilah puisi
yang taksarat makna. Puisi tersebut –kalau boleh dibilang puisi–
dimuat di bawah judul kolom “Sajak-sajak Yessi Anwar” yang
ternyata hanya satu sajak atau puisi, tapi panjang sampai delapan
bait. Kita lihat dua bait pertama.
“Heboh teroris melanda dunia / Menyedihkan sekaligus
20 Abdul Hamid
menggelikan / Betapa tidak? / Ketika Osama bin Laden dihujat
sebagai teroris kaliber dunia / pada saat yang sama santonya
teroris itu dinobatkan sebagai / pahlawan oleh para idolanya. //
Kaos oblong bergambar Osama laku keras / membuka peluang
bisnis yang menggiurkan. / Ketika di suatu hari jumat / oblong
Osama digunakan beberapa orang jamaah / ada sebentuk tanya
dalam hati: / “Betapa Tuhan tengah merencanakan sesuatu?” /
Juga, aneh bin ajaib ketika gedung WTC dihancurkan teroris /
warga Amerika terbelalak dan dicekam kengerian / namun
bersamaan dengan itu dalam peradaban yang lain / ada yang
menyatakan bahwa hal itu suatu “prestasi” besar / pelajaran
berharga bagi negara yang dianggap “zalim” / dan mereka pun
syukuran.” //
Secara lahiriah, dilihat dari adanya enjambemen, karya
tersebut pastilah puisi. Jika enjambemen ditiadakan, tampak
Yessi Anwar berpanjang ria dengan kalimat-kalimatnya. Ditinjau
dari segi pemakaian kalimatnya tampak Yessi Anwar seperti
sedang berdiri di depan kelas dan menerangkan kepada
mahasiswanya apa dan siapa lalu bagaimana teror, teroris, dan
terorismenya.
Sesuai dengan judulnya, Yessi bertanya kepada Albert
Camus siapakah sang teroris, tapi ternyata dia sendiri sudah
menjawab pada bait pertama: Osama bin Laden adalah biang
terorisme. Masya Alloh! Apa dasar hukumnya dan bukti
hukumnya (kata orang hukum) mendakwa Osama begitu? Ikutan
ya? Kayu gaharu cendana pula. Sudah tahu bertanya pula si Uda
ini. Namun, jawabannya ternyata tidak tepat jika dilihat segi
pemakaian bahasa Indonesia. Kita perhatikan kata idola.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, idola adalah orang,
gambar, patung, dan sebagainya yang menjadi pujaan. Misalnya,
Ia senang sekali karena penyanyi idolanya tampil dalam pertunjukan
itu. Pada contoh kalimat itu, kata –nya mengacu pada Ia. Jadi,
kata yang sama pada bait pertama “sajak” Yessi mengacu pada
Osama bin Laden. Dengan perkataan lain, Osama mempunyai
idola. Siapa idola Osama? Wallohu ‘alam bissawab. Padahal,
yang dimaksud adalah orang yang mengidolakan Osama.
Pada bait selanjutnya dikemukakan tentang adanya teror
dan terorisme dalam beberapa kategori. Ada teroris internasional
yang dahsyat, teroris nasional yang militan, ada teroris negara
Serpihan Sastra 21
yang tidak bertanggung jawab dan gemar jadi sponsor teroris,
ada pula teroris borongan maupun teroris ketengan yang
kerjanya berdasarkan pesanan: pendek kata segala kategori
teroris dapat kesempatan untuk menyatakan dirinya siapa
sebenarnya mereka.
Lalu pada bait terakhir pertanyaan itu dijawab pula
dengan kalimat retoris ini:
“Jika teror layak dibalas dengan teror
Bukankah ini berarti kita tengah
Menteror diri sendiri?
Setelah membaca kedua karya orang Bandung ini, timbul
pertanyaan apa sebenarnya yang disebut cerpen dan puisi.
Segeralah buku-buku teori sastra dibuka. Mencari definisi cerpen
dan puisi. Tidak ditemukan definisi yang sesuai dengan kedua
karya itu. Bingung. Mau menelepon untuk sekadar bertanya
pada guru sastra yang pernah mengajar di SD, SLTP, dan SMU,
malu dan jangan-jangan telepon mereka bersuara “sedang dalam
perbaikan” karena pulsa belum terbayar. Mungkin harus
bertanya pada Ebiet G. Ade yang pernah melagukan “tanyakan
saja pada rumput yang bergoyang.” Pertanyaan serupa bisa juga
diberlakukan pada karya-karya cerpen atau puisi yang dihasilkan
oleh “sastrawan” muda dan atau pemula yang dilahirkan oleh
Soni Farid Maulana melalui Lembaran Khusus Budaya Khazanah
ini.***
22 Abdul Hamid
CHAIRIL ANWAR
DALAM SOROTAN PAUL RICOEUR
Serpihan Sastra 23
non-pendidikan, selalu menarik karena metafor dan kalimat yang
digunakannya sangat berbeda dengan sastrawan lain pada
masanya. Sebagai contoh pemakaian metafor “binatang jalang”
dan “aku ingin hidup seribu tahun lagi” pada puisi “Aku” .
AKU
Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau
24 Abdul Hamid
tidak langsung. Judul puisi “Aku” merupakan simbol
keberadaan bangsa Indonesia awal tahun 1940-an selepas Perang
Dunia II. Waktu itu bangsa Indonesia –yang baru lepas dari
tangan penjajah Belanda– masih dalam kemelut hidup yang
penuh ketidakmenentuan, ketakutan, dan masih jauh dari rasa
aman dan tenteram.
Bait ke-1
Larik pertama; “Kalau sampai waktuku” merupakan simbol
penggambaran waktu aku larik, yaitu bangsa Indonesia; bangsa
yang belum menentu, takpasti. Larik ini merupakan salah satu
bagian untuk menunjukkan perjuangan bangsa Indonesia yang
belum mencapai titik kulminasi. “Aku” digunakan pula untuk
menyatakan keseluruhan diri “aku larik”. Kalau sampai waktuku
menyatakan ada suatu cita-cita yang sangat diharapkan.
Larik kedua, ‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu’ sebagai
simbol bahwa “aku larik” tidak menghendaki ada pihak lain
yang beraktivitas melakukan rayuan. Ungkapan ini lebih
menegaskan makna yang terkandung pada larik pertama, yang
berarti bahwa “aku larik” semakin memperlihatkan keakuannya,
eksistensinya.
Larik ketiga, “Tidak juga kau” merupakan simbol dari
keenggan yang amat dari “aku larik”, kau merupakan pusat
perhatian yang sangat menarik bagi “aku larik”. “Kau” dalam
larik ini dapat berarti orang-orang Jepang atau bisa pula siapa
saja yang akan merayu. Tampak di sini ada ketegasan “aku larik”
yang memperkuat makna larik kedua.
Bait ke-2
Bait kedua yang hanya terdiri atas satu larik merupakan
simbol ketegasan yang memperkuat bait pertama. Begitu kuatnya
keinginan “aku lirik” pada bait pertama sehingga rayuan
segombal apa pun sampai rayuan berupa tangisan tersedu-sedu
pun tidak dihiraukan, tidak perlu lagi. Oleh karena itu, “aku
Serpihan Sastra 25
larik” mengatakan “Tak perlu sedu sedan itu” tanpa penjelasan
lagi.
Bait ke-3
Larik pertama; “Aku ini binatang jalang” adalah simbol
vitalitas, semangat hidup yang menggebu-gebu, “semangat
banget gitu lo” kata bahasa ragam gaul. Kesemangatan ini
ditunjukkan “aku lirik” dengan menyebut dirinya sebagai
binatang; sudah binatang, jalang lagi..
Larik kedua; “Dari kumpulannya terbuang” sebagai simbol
keperkasaan dan kesemangatan “binantang-binantang” dan “aku
lirik” berbeda dengan ”kumpulannya” dan kata “terbuang”
merupakan simbol pembeda. Pembedaan ini menunjukkan
bahwa “aku lirik” lebih jalang daripada yang lainnya.
Bait ke-4
Larik pertama; ”Biar peluru menembus kulitku” simbol
untuk menggambarkan perjuangan “aku larik” dalam mencapai
cita-cita. Untuk mendapatkan apa yang dicita-citakan harus ada
perjuangan yang sungguh-sungguh.
Larik kedua; “Aku tetap meradang menerjang” merupakan
simbol dalam berusaha tidak patahnya semangat “aku lirik”;
walaupun sakit, ia terus menerjang; melawan siapa pun yang
merayu.”
Bait ke-5
Larik pertama; “Luka dan bisa kubawa berlari” simbol
untuk menyatakan keperkasaan dan kesemangatan yang tiada
henti walaupun terhadang berbagai rintangan yang
membahayakan.
Larik kedua; “Berlari” merupakan penegasan dari larik
pertama
26 Abdul Hamid
Larik ketiga; “Hingga hilang pedih peri” masih merupakan
simbol semangat juang “aku lirik” yang tiada mau berhenti
mencapai cita-cita sebelum rintangan yang menghadangnya
teratasi.
Bait ke-6
Bait keenam yang hanya terdiri atas satu larik, “Dan aku
akan lebih tidak perduli” merupakan simbol penegasan tentang
semangat juang untuk mencapai cita-cita yang belum diraih.
Bait ke-7
Bait terakhir yang juga hanya satu larik ini merupakan jawaban
atas semua pernyataan pada bait 1 sampai dengan 6 sebab “Aku
mau hidup seribu tahun lagi” yang merupakan simbol untuk
menyatakan keabadian.
Serpihan Sastra 27
Namun kita harus membangun kembali dengan bekerja keras
untuk mencari makna hidup. Kalau tidak demikian, nasib bangsa
hanya akan tergantung kepada penjajah. Oleh karena itu, “aku
lirik” tetap berjuang tanpa kenal menyerah melebihi binatang,
lebih jalang daripada binatang, berjuang hidup terus-menerus.
Sebab hidup ini perlu diberi makna. Untuk mempertahankan
hidup kita harus merebut kehidupan itu sendiri agar terhindar
dari kesukaran dan penderitaan yang selalu mengintai.
Langkah Filosifis
Puisi yang berjudul “Aku” karya Chairil Anwar
menggambarkan perjuangan hidup yang menampakkan suasana
vitalitas, optimis. Puisi ini berisi tentang renungan hidup
manusia dalam perjuangan hidupnya yang penuh dengan
semangat pantang mundur.
Manusia hidup harus memiliki kekuatan karena dengan
kekuatan itulah manusia akan mampu berusaha dengan baik
sehingga akan dapat mengendalikan kehidupan ini. Mata dan
hati harus dibuka lebar-lebar agar tidak salah melihat dan
memilih arah sehingga tetap selamat dalam perjuangan yang
berlandaskan cinta kasih sesama. Perjuangan hidup harus
menghasilkan suatu karya yang baik dan bermanfaat bagi
kehidupan.
Hidup ini penuh pertentangan dan pertikaian, tantangan dan
rintangan. Manusia hidup di dunia ini selalu berpacu dengan
waktu. Bagi orang yang dapat mengendalikan kehidupan akan
terhormat, sedangkan bagi orang yang terlindas dalam ganasnya
kehidupan akan terhinakan, terjajah. Dalam kehidupan manusia
belum dapat memastikan akhir kehidupan, apakah akan
mendapatkan kebahagiaan atau penderitaan. Semua itu
bergantung pada manusia itu sendiri secara pribadi, maka
manusia harus selalu penuh vitalitas hidup.
Dalam keadaan serbasukar, kita sulit untuk beristirahat, sulit
merasakan ketentraman. Yang ada hanyalah ketakutan dan
kegelisahan. Dalam suasana seperti itu, bangsa harus berjuang,
28 Abdul Hamid
harus semangat menentang maut, menentukan nasib sendiri,
merdeka, tidak bergantung kepada bangsa lain.
Puisi yang berjudul “Aku” karya Chairil Anwar diresapi latar
sejarah. Tahun 1940-an, bangsa Indonesia dalam situasi
konfrontasi dengan Belanda yang berkeinginan menjajah
Indonesia kembali, maka amat wajar bila terjadi pemberontakan
dari jiwa yang tertindas dan selalu gelisah dalam pencarian
ketentraman dan kedamaian hidup.***
Serpihan Sastra 29
HAKIKAT SASTRA ANAK
Abdul Hamid
Sastra Kontemporer Unpad
30 Abdul Hamid
definisi ontologis (yakni definisi yang mengungkapkan hakikat
sebuah karya sastra). Definisi semacam ini cenderung
mengabaikan fakta bahwa karya tertentu bagi sebagian orang
merupakan sastra, tetapi bagi orang lain bukan sastra; ketiga,
definisi yang ada cenderung mendefinisikan sastra menurut
standar sastra Barat; dan keempat, definisi yang cukup
memuaskan hanya berkaitan dengan jenis sastra tertentu
(misalnya puisi), tetapi tidak relevan diterapkan pada sastra
secara umum.
Para ahli kesusastraan umumnya sepakat untuk
mengatakan bahwa tidak mungkin dirumuskan suatu definisi
mengenai sastra secara universal. Apa yang disebut “sastra”
sangatlah bergantung pada lingkungan kebudayaan tertentu di
mana sastra itu dijalankan. “Sastra” hanyalah sebuah istilah yang
dipergunakan untuk menyebut sejumlah karya dengan alasan
tertentu dalam lingkup kebudayaan tertentu pula.
Meskipun definisi sastra anak sulit untuk dirumuskan,
kiranya perlu diambil suatu rumusan agar dapat dijadikan
sebagai dasar pemikiran sehingga sastra anak mampu
memperlihatkan eksistensinya. Adanya istilah sastra anak
(children’s literature) menunjukkan eksistensi tersendiri dari karya
fiksi untuk anak meskipun istilah ini kurang popular
dibandingkan dengan istilah bacaan anak (children’s literature).
Sastra anak (children’s literature) bukan bacaan anak (children’s
reading). Children’s literature writings designed to appeal to children –
either to be read to them or by them including fiction, poetry, biography,
and history. Children’s literature also includes riddles, precepts, fables,
myths, and folk poems and folktales based on spoken tradition …(Sastra
anak adalah karya tulis yang dibuat untuk menarik anak-anak
apakah itu untuk dibacakan kepada mereka atau pun untuk
dibaca oleh mereka sendiri – berupa fiksi, puisi, biografi, dan
kisah sejarah. Yang termasuk juga sastra anak adalah teka-teki,
pelajaran, fabel, legenda, mitos, dan syair atau cerita rakyat yang
berasal dari sastra lisan ..… (Microsoft, 2008: entri Children’s
Literature).
Untuk lebih mempertegas perbedaan antara istilah sastra
anak dengan istilah bacaan anak, perlu pula diungkapkan
pengertian dan jenis bacaan anak. Istilah bacaan anak (children’s
reading) lebih umum dipakai daripada sastra anak (children’s
Serpihan Sastra 31
literature). Sarumpaet (1976: 23) merumuskan secara khusus apa
yang disebut bacaan anak-anak, sebagai berikut.
1. Tradisional: Bacaan anak-anak adalah yang tumbuh
dari lapisan rakyat sejak zaman dahulu kala dalam
bentuk mitologi, cerita-cerita binatang, dongeng,
legenda, dan kisah-kisah kepahlawanan yang
romantis.
2. Idealistis: Bacaan anak-anak harus bersifat patut dan
universal, dalam arti, didasarkan pada bahan-bahan
terbaik yang diambil dari zaman yang telah lalu dan
karya-karya penulis terbaik masa kini.
3. Popular: Bacaan anak-anak adalah bacaan yang
bersifat menghibur, sesuatu yang menyenangkan
anak-anak.
4. Teoretis: Bacaan anak-anak adalah bacaan yang
dikonsumsi anak-anak dengan bimbingan dan
arahan anggota-anggota dewasa suatu masyarakat,
sedangkan penulisannya juga dilakukan oleh orang-
orang dewasa.
Apa yang dimaksud rumusan (1), (2), dan (3) oleh Sarumpaet
adalah rumusan bacaan anak secara khusus, yaitu (1) tradisional,
(2) idealistis, dan (3) popular (1976: 24).
Jenis bacaan untuk anak-anak cukup beragam, menurut
Bunanta (1998: 41), dilihat dari isinya, selain sastra tradisional
32 Abdul Hamid
jenis bacaan anak lainnya adalah puisi, fantasi modern, fiksi
realistis kontemporer, fiksi sejarah, biografi, dan buku informasi.
Pembagian ini sebetulnya dapat diperluas lagi, yaitu buku
misteri, petualangan, humor, olah raga, dan lain sebagainya.
Menurut bentuk penulisannya, jenis bacaan anak diklasifikasikan
ke dalam buku bacaan bergambar (picture book), komik, buku
berilustrasi, dan novel. Dilihat dari fungsinya, ada pula buku
untuk pemula yang disebut sebagai buku konsep, buku
partisipasi, dan toybooks. Bila dilihat dari bahannya, selain kertas,
buku untuk pemula ada yang terbuat dari kain, plastik, foam,
dan karton tebal. Dilihat dari ukurannya, selain yang biasa
seperti pada umumnya, ada yang berukuran kecil, sedang, dan
besar.
Berkaitan dengan rumusan, ciri-ciri, dan jenis bacaan
untuk anak, maka sastra anak sebagai salah satu jenis bacaan
anak harus disesuaikan dengan pembacanya (audiences). Pembaca
sastra anak adalah makhluk yang spesifik. Karena itu, karya yang
diperuntukkan bagi anak harus spesifik pula. Sastra anak
hendaknya mampu memperluas horizon dan memperdalam
pengetahuan anak, serta memberikan wawasan sosial yang lebih
luas. Pemilihan sastra anak harus mempertimbangkan beberapa
hal, antara lain; (1) untuk memberikan hiburan agar anak tertawa
terpingkal-pingkal dan senang hatinya (to amuse the children), (2)
memberikan informasi kepada anak tentang fenomena fisik,
objek-objek, cuaca, hewan, siang, malam, waktu, hukum-hukum
fisik, dan khayalan (to inform the children), (3) memberikan
tuntunan hal tingkah laku dan perkembangan pola tingkah laku
(to advise children in matters of behaviour and develop certain
behaviour pattern).
Hal lain dalam pemilihan materi sastra anak adalah: (1)
pengalaman jiwa yang terdiri atas: (a) interes, biasanya anak
memiliki perhatian pada hewan, tumbuh-tumbuhan, sungai,
serangga, dan jagad fisik secara luas, (b) latar belakang
(bacground), perlu diketahui bahwa anak itu belum kenyang
dengan pengalaman jiwanya, (c) kosakata anak, anak biasanya
masih terbatas kosakatanya, karena itu dipilih yang sederhana,
(d) keterampilan membaca (children’s reading skills), (e) perhatian,
perhatian anak sering berganti-ganti dan berpindah-pindah, (f)
technique of fact-finding, kadang-kadang anak masih bingung,
Serpihan Sastra 33
harus melihat ensiklopedi, sedangkan orang dewasa cukup
melihat kamus saja, (g) anak sering bertanya: “is this thing likely to
happen, or at least to happen in this way?”; (2) umur, umur 6-12
semestinya diberikan karya sastra yang bersangkut paut dengan
kekeluargaan; (3) struktur: tema (seharusnya mengembangkan
imajinasi, yang tidak mengandung kebengisan, kenistaan,
pornografi), gaya: segar dan mudah dimengerti, membantu
mengasah otak anak, pelaku bisa memberikan teladan, isi:
mendidik anak ke arah kritis dan berinisiatif (Endraswara, 1992);
(4) siviliasi: memilih karya yang memuat moral, religius,
persuasif, sosiologis, kultural, dan artistik (Sugihastuti, 1996).
Karya sastra untuk anak yang baik adalah: (1) batas
rentangan pengalaman yang ditampilkan jelas, (2) bahasa tidak
terlalu tinggi, karakter tidak terlalu sulit diikuti, dan tidak terlalu
kompleks, (3) bersifat fleksibel dan menumbuhkan kecerdasan,
(4) lebih ke arah menunjukkan pola-pola visual dari verbal.
Berkaitan dengan kriteria sastra anak, Tarigan (1995: 6-
11), berpendapat bahwa sastra dapat memberi nilai intrinsik
(intrinsic values) dan nilai ekstrinsik (extrinsic values) bagi anak-
anak. Nilai intrinsik sastra bagi anak terdiri atas: (1) memberi
kegembiraan, (2) mengembangkan imajinasi, (3) memberi
pengalaman baru, (4) mengembangkan wawasan menjadi
perilaku insani, (5) memperkenalkan kesemestaan pengalaman,
dan (6) menurunkan warisan sastra. Nilai ekstrinsik sastra anak-
anak terdiri atas: (1) perkembangan bahasa, (2) perkembangan
kognitif, (3) perkembangan personalitas, dan (4) perkembangan
sosial.
Dengan banyaknya jenis bacaan anak, termasuk di
dalamnya sastra anak, seorang anak akan menentukan pilihan
sesuai dengan minatnya, jenis bacaan dan sastra apa yang akan
dijadikan sebagai bahan bacaan. Ada enam alasan mengapa anak
menyukai karya sastra tertentu, yakni: (1) ingin tahu, (2) ingin
menemukan fakta di luar kehidupannya (to find out the facts of
living), dan ingin mengetahui eksistensi dirinya, (3) ingin kembali
pada kenyataan, (4) ingin menentramkan hati dan mencari
ketenangan, (5) ingin mencari tokoh atau figur yang dapat ditiru,
(6) ingin mencari kenikmatan.
Dilihat dari alur, tema, dan penokohan, Budak Teuneung
bisa dikatakan sebagai bacaan anak yang baik pada zamannya
34 Abdul Hamid
karena memiliki ciri-ciri yang dikemukakan di atas.
Serpihan Sastra 35
Diceritakan bahwa Warji yang berumur 11 tahun biasa
disebut Si Wajit, baik oleh orang tua maupun oleh anak-anak
sebayanya. Warji menanyakan kepada ibunya, mengapa ia
disebut Si Wajit. Padahal, namanya Warji, bukan Wajit. Warji
merasa heran karena teman sebayanya apabila dipanggil
namanya dengan tambahan si, teman itu akan marah. Terbukti
ketika ia menyebut Si Onon, kepada Asep Onon, anak lurah,
langsung saja ditempeleng oleh Asep Onon dan dua kawannya,
Si Begu dan Si Utun.
Menurut ibunya, dengan sebutan Si Wajit, anaknya
takperlu marah dan takperlu melawan karena sebutan tersebut
tidak mengakibatkan luka. Namun, pendapat ibunya meleset
karena ternyata kepala Warji bengkak karena pukulan Asep
Onon, Begi, dan Utun. Ibuya merasa nelangsa dengan keadaan
nasib anaknya yang sudah jadi anak yatim itu. Ia pun berdoa
agar Warji mendapat rahmat dari Tuhan.
Pada suatu hari Asep Onon terperosok ke dalam sumur
yang sudah tidak pernah dipakai. Walaupun sering disakiti oleh
Asep Onon, ternyata karena didikan ibunya, Warji takbalas
dendam kepada Asep Onon. Warji malah menolong Asep Onon.
Karena itu, lurah, orang tua Asep Onon, memberikan hadiah
berupa baju kepada Warji. Baju yang dihadiahkan itu merupakan
baju Asep Onon.
Ambu Warji (ibunya Warji) sudah beberapa hari sakit
batuk dan sesak dan akibatnya ia tidak bekerja sebagai buruh tani
dan karena itu pula sudah beberapa hari takpunya beras untuk
dimasak. Ambu Warji menyuruh anaknya ke warung ibunya
Utun untuk mengutang beras. Namun, pemilik warung tidak
memberikan pinjaman karena utang Ambu Warsih dianggap
sudah terlalu besar dan juga dianggap takmampu membayar.
Dengan cerdasnya, Warji membuka baju yang sedang
dipakainya. Baju hadiah dari Asep Onon itu digadaikannya ke
pemilik warung. Pemilik warung menyanggupi asal jika dalam
waktu seminggu takdapat ditebus, baju itu menjadi milik Utun,
anaknya.
Utun dan sahabatnya, Begu, menyangka baju tersebut
merupakan baju curian. Untun dan Begu akan melaporkan
kepada lurah. Karena itu, mereka bersepakat ketika bertemu
dengan Warji yang akan mencari bahan bakar. Begu pergi
36 Abdul Hamid
melapor kepada lurah, sedangkan Utun menjaga Warji agar
takkabur. Namun, ternyata ketika diajak berkelahi oleh Warji,
Utun malah lari sebab takut kalau satu lawan satu. Karena lari
itulah Utun jatuh terantuk batu hingga kepalanya berdarah. Utun
mengadu kepada ibunya bahwa kepalanya berdarah akibat
dipukuli Warji.
Begu dan Utun merasa dendam kepada Warji, maka
mereka berniat mencelakakan Warji. Ketika Warji memancing,
mereka mendorong Warji. Kemudian datang Asep Onon yang
kebetulan sedang mencari Warji. Dalam perkelahian Utun dan
Begu kalah telak. Mereka pun lalu berjanji takakan mengulang
perbuatannya.
Asep Onon yang kemudian menjadi sahabat Warji
memberi pekerjaan kepada Warji sebagai pengangon kerbau
milik orang tuanya, lurah. Selain itu, Asep Onon pun megajari
Warji baca tulis. Beberapa tahun kemudian, Warji diangkat lurah
sebagai juru tulis desa. Sebaliknya, Utun dan Begu yang sudah
habis kekayaannya malah menjadi penjudi dan pencuri ulung di
desa. Suatu malam kerbau lurahlah yang jadi sasarannya.
Warkilah yang menemukan bahwa pencurinya adalah Utun dan
Begu. Warji pula yang menangkap mereka setelah dalam
perkelahian mengalahkan mereka. Kembali Warji diberi hadiah
uang oleh lurah.
***
DAFTAR PUSTAKA
Serpihan Sastra 37
Perkembangan Anak-anak Sebuah Bunga Rampai. Bandung:
Mimbar Pendidikan Bahasa dan Seni FPBS IKIP Bandung.
38 Abdul Hamid
LILIN BERSINAR DI GILLI
Serpihan Sastra 39
ada cuaca buruk, tidak ada pula cuaca baik; yang ada adalah
cuaca cerah dan cuaca mendung.
Bagaimana dengan Matahari di atas Gilli (selanjutnya ditulis
MG)? Matahari beneran atau cuma metafora untuk sesuatu yang
positif atau negatif? Jawabannya adalah novel Lintang Sugianto
ini puitis judulnya sehingga jawaban yang sesungguhnya akan
diperoleh setelah kita membacanya. Karena itu, kita kuak
jawabannya.
MG disajikan dalam lima belas bagian yang memiliki judul
masing-masing, yaitu Tragedi Dua Sabam; Ubur-ubur; Ia pun
Membangkang; Apakah Gilli juga Indonesia; Gua Kucing Itu;
Suamar dan Suhada; Kambing Makan Kertas; Walau; Hada…!; Di
Gilli, Lima Tahun Kemudian; Sekeping dan Rayap-Rayap Bodoh;
Agar Bening; Bola-Bola Api yang Tak Bernyali; Ia Hanya Seorang
Sarkawi; Jangan-Jangan Ia Sembunyi di Balik Awan.
Pada bagian I cerita dimulai dengan “Suhada masih duduk di
ujung dermaga.” Kalimat pembuka itu yang bagus tersebut
menginformasikan pada kita tentang waktu yang sudah dan
sedang berlangsung. Peristiwa ini dilakoni sang tokoh yang
sedang hamil itu hampir setiap senja. Dia bukan menunggu
perahu yang merapat, melainkan menunggu pulangnya sang
suami, ayah sang bayi yang masih di dalam kandungan. Kalimat
semacam inilah, barangkali, yang dipuji oleh W.S. Rendra dalam
pesan sponsornya.
Sebelum Suhada datang, orang Gilli tidak mengerti bahasa
lain, selain bahasa Madura (hlm. 4). Sebelum Suhada datang
pula, di Gilli pernah terjadi musibah akibat adanya badai. Kapal
Sabam milik Pak No tenggelam. Pak No dan anaknya –yang
senama dengan kapal– pun ikut tenggelam. Orang Gilli
menyebut musibah itu “Tragedi Dua Sabam”. Adakah kata
tragedi dalam bahasa Madura sebelum Suhada datang ke Gilli?
Dalam bagian ini ada dua tema: kerinduan Suhada pada Suamar
dan pengenalan tokoh Bu No sebagai penduduk asli Gilli, ibu
angkat Suhada. Tragedi dua sabam sebagai judul bagian sangat
lemah hubungannya dengan tema walaupun ada.
Dalam pesan sponsornya Sholahuddin Wahid menyebut MG
sebagai novel Islami. Pada ceritaan hlm. 9 tanpa dikomentari
tokoh terdapat kalimat penampakan: ” …nelayan-nelayan (yang
sudah mati; pen.) Sabam masih nampak [sic!] melambai-lambaikan
40 Abdul Hamid
tangannya.” Pada hlm. 2, 61, dan 128 pun ada yang patut
dipertanyakan pada Sholahuddin, bukan pada Lintang sebagai
pengarang.
Bagian II mengajak kita flesbek ‘flashback’ alias sorot balik.
Bagian II merupakan pengenalan Suhada dan Suamar. Ubur-
ubur yang biasa diasosiasikan negatif karena bentuknya yang
“takkaruan”, di sini malah sebaliknya. Kepositifan ubur-ubur
karena perilaku dan juga “ketakkaruannya” yang mengundang
kesukacitaan Suhada terhadap Suamar sehingga “Aku ingin
serupa ubur-ubur untukmu.” (hlm. 21-22). Pada halaman tersebut
terdapat kalimat yang dikatakan Eep Saiful Fatah dalam pesan
sponsornya: gaya puitis dalam novel. Sayangnya, walaupun
judul sangat sesuai dengan tema, ada kalimat yang mengganjal
pada hlm. 211: “Sesekali perahu mereka pun sering berpapasan ….”
Kata sesekali bersinonim dengan kadang-kadang atau jarang, tapi
dalam kutipan itu ada kata sering yang jelas merupakan lawan
kata jarang. Ini membingungkan. Hal yang mirip dapat kita
jumpai juga pada hlm. 51, misalnya, seluruh ikan-ikan besar.
Kata seluruh menyatakan jamak. Begitu juga kata ikan.
Bagian III Ia pun Membangkang menceritakan dua
bangkangan (hlm. 30–31): Pertama, Suamar takmau menetap di
Gilli. Ia meninggalkan Gilli untuk sekadar melihat bahwa
kampung halamannya itu cukup jauh tertinggal dari tempat lain;
Kedua, Suamar berniat membawa Suhada –orang Sukabumi,
Jawa Barat– sebagai istrinya ke Gilli yang gersang, kering, dan
tertinggal dari tempat lain. Banyak orang Gilli mengingatkan
agar Suamar membatalkan pernikahannya dengan Suhada. “Gilli
pasti menolak pendatang, Amar …! Batalkan saja. Kasihan gadis itu,
pasti dapat petaka./ Dan Suamar hanya memoncongkan mulutnya.
Suamar jadi menikahi Suhada dan membawanya ke Gilli.
Pada cerita selanjutnya ternyata Suhada meninggal kerena
mengalami pendarahan saat melahirkan. Lalu ada penampakan
beberapa saat setelah Suhada meninggal. Petakakah,
musibahkah, takdirkah itu?
Tidak ada tegangan, baik melalui narasi mapun dialog. Hal
1
Banyak kalimat yang mengganggu keterbacaan akibat kurang tepatnya pemakaian ejaan
(pemakaian huruf dan tanda baca), pilihan kata, penulisan kata, tumpang tindihnya kalimat dengan
klausa, penyusunan paragraf.
Serpihan Sastra 41
ini terus berlanjut sejak bagian pertama sampai bagian akhir.
Karena itu, tokoh-tokoh yang ada di dalam novel ini datar-datar
saja. Cukup dengan memoncongkan mulut, jadilah
pembangkang. Cukup dengan membuat beberapa perahu, jadilah
pekerja ulet. Takada kelanjutan. Takada deskripsi lain.
Bagian IV hanya menggelitik dengan pertanyaan lugu dari
seorang murid kepada Suhada “Apakah Gilli juga Indonesia, Hada
…??” Suhada tertegun sejenak, “Oh … tentu, cong …!!! Gilli ini juga
bagian dari negara kita yaitu Indonesia …!!!2” Buktinya, bendera dan
lagu kebangsaan kita sama. Gilli tidak ada dalam peta karena
peta yang dimiliki sangat kecil hingga takbisa mencantum Gilli.
Titik. Cukupkah tertegunnya cuma sejenak, mengapa tidak
beberapa jenak? Sayang sekali. Padahal ini bisa dikembangkan
lebih jauh dengan mengeksploitasi Suhada sebagai tokoh.
Bagian V bercerita tentang tempat keramat yang disebut Gua
(pada judul tertulis gua, sedangkan dalam teks tertulis goa)
Kucing sebagai petilasan wali Syekh Maulana Iskhak. Orang Gilli
terbiasa datang ke Gua Kucing yang telah dipercaya sebagai
penjawab segala bentuk permasalahan yang menggantung dan
tak terselesaikan. Umi Suamar (ibunya Suamar) pun datang ke
sana karena Suamar belum pulang juga. Dia heran karena diikuti
kucing hitam dengan tatapan mata tajam. Dia pun bertanya pada
diri sendiri, “… akan ada apa ini..??” Takada permasalahan.
Cerita berjalan terus sampai akhirnya Bu No berbisik pada
dirinya sendiri bahwa ia harus bisa menyembunyikan kabar
kecelakaan Suamar kepada Suhada.
Bagian VI dibuka dengan keinginan Suhada ke Probolinggo
agar kabar tentang Suamar jelas dan menghapus semua
pertanyaan yang belum terjawab satu pun. Padahal di dalam teks
takada satu pun pertanyaan yang memerlukan jawaban. Teks
hanya mengungkapkan bahwa Suahad rindu pada Suamar dan
menantikan kepulangannya. Titik. Tidak pula diceritakan
bagaimana gelisahnya Suhada dalam kerinduan dan penantian
itu.
Dalam bagian ini lagi-lagi ada ancang-ancang yang
2
Tanda seru dan tanda tanya dalam novel ini rupanya takcukup satu. Ada yang sebaiknya dua tanda,
yang dipakai malah satu, atau bahkan tidak ada. Begitu juga awalan di tertukar dengan kata depan
di.
42 Abdul Hamid
mengisyaratkan akan datangnya kematian Suhada. Dia bermimpi
dirinya terjatuh ke samudera ketika menjemput Suamar. Saat
ombak semakin membawa hanyut, Suamar takmampu meraih
tangannya (hlm. 77). Suatu alur seperti yang banyak ditemukan
dalam sinetron kita akhir-akhir ini. Mudah ditebak.
Bagian VII dengan judul Kambing Makan Kertas
memperjelas apa yang dikemukakan pada bagian III, yaitu
kegersangan dan kepanasan Gilli (hlm. 30). Untuk membuktikan
hal itu, tiba-tiba ada dua orang wisatawan asing. Kepada mereka
diperlihatkan bahwa kambing di Gilli tidak makan rumput,
tetapi makan ikan dan juga kertas. Tampaknya kehadiran
wisatawan itu hanya dipinjam untuk memperlihatkan bahwa
secara geografis Gilli berpotensi menjadi tempat wisata.
Dalam bagian ini ada konflik batin, tetapi tidak nyambung.
Kita lihat halaman 94 yang bercerita tentang Suhada. “Ia pun
sangat menyesal dengan sikapnya yang sangat emosional tadi. Ia sangat
menghormati perempuan tua itu.” Bagaimana penyesalannya,
ternyata tidak ditindaklanjukan. Padahal teks sebelumnya tidak
ada narasi atau dialog Suhada dengan Bu No. Yang ada hanyalah
narasi tentang tidurnya Suhada karena dikidungi Bu No, lalu
Suhada terbangun lagi karena ada yang memanggil-manggil
namanya. Para pemanggil itu adalah orang Gilli yang
mengantarkan wisatawan asing: Jassica dan Clara.
Bagian VIII bercerita tentang puncak kerinduan Suhada
kepada Suamar. Sayangnya, kerinduan tersebut kurang
tergambarkan, baik dalam narasi, cakapan batin, maupun dalam
dialog. Namun, bagian ini memiliki amanat yang menarik untuk
disimak, yaitu tentang keikhlasan ibu yang rela berkorban demi
anak yang sedang dikandungnya. Bagian ini pun memiliki diksi
yang kuat dengan hadirnya Tuhan sebagai sahabat dan karena
itu diajak bernegosiasi singkat demikian:
Serpihan Sastra 43
Pada pembicaraan di atas, saya sudah menyinggung tentang
kesalahan berbahasa karena tidak bermakna atau bahkan
merusak makna, seperti penulisan buk No, pak No, bu bidan, pak
Lurah, dan bu Lurah yang seharusnya Bu No, Pak No, Bu Bidan,
Pak Lurah, dan Bu Lurah sebagai sapaan. Namun, pada bagian
ini ada kesalahan berbahasa yang justru dapat memberikan
makna lain atau bahkan menguatkan. Hal ini bisa juga begitu
(tanpa lho) karena nego Suhada dinyatakan dalam bentuk puisi
yang saya kutip seujratnya (seadanya).
Kita perhatikan kutipan itu hanya memiliki tiga huruf kapital
(Gusti, Selamatkan, dan Suamar) dan dua tanda titik pada kata aku.
Kata Gusti merupakan sapaan untuk Tuhan dalam bahasa
Sunda, Jawa, Madura dan Suamar merupakan nama diri sesuai
dengan kaidah ejaan. Penyimpangan berbahasa yang
menguatkan makna adalah pada kata selamatkan. Pengapitalan
huruf s pada kata tersebut dapat memberikan tekanan tentang
kesangatan permintaan Suhada yang ikhlas sebagai ibu. Tiada
pilihan lain. Kesangatan ini diulang dengan tanda titik pada
kedua kata aku. Tiada pilihan lain lagi. Hal ini dikuatkan pula
dengan vokal [u] yang dalam bahasa Indonesia menunjukkan
ketajaman. Kata aku juga dalam keseharian menunjukkan
keakraban. Di sini keakraban Tuhan dengan Suhada. Bandingkan
nuansanya jika kata aku diganti dengan kata saya. Larik-larik lain
ditulis dengan huruf kecil semua dan tanpa tanpa titik. Ini juga
kekuatan karena hal itu menandakan masih ada pilihan lain.
Kutipan ini juga tampaknya sebagai ancang-ancang bahwa
tokoh Suhada akan meninggal. Yang menjadi pertanyaan adalah
mengapa muncul jangan pilih aku dalam hal keselamatan padahal
dalam teks sebelumnya tidak ada satu kata pun, baik implisit
maupun eksplisit, yang menyatakan adanya kelainan kandungan
atau Suhada mengidap penyakit tertentu yang membahayakan
jiwanya dan atau janinnya.
Tampaknya jawaban untuk itu adalah mitos yang
menyatakan bahwa orang yang meninggal ketika melahirkan
anaknya berarti mati syahid sebab berjuang di jalan
Alloh.(wallohu’alam bissawab) Karena itu pula, tokoh novel ini
diberi nama Suhada.
Bagian IX bercerita tentang Suhada melahirkan, meninggal,
dan arwahnya menampakkan diri pada Suamar. Sayang dalam
44 Abdul Hamid
bagian ini pun tokoh Suhada didiamkan, tidak diekploitasi.
Suhada hanya diceritakan merintih, memanggil Bu No,
menggigit kuat bibirnya sendiri, matanya menatap lurus semerah
udang penuh bintil-bintil keringat yang sebentar lagi berjatuhan.
Orang-orang di sekitarnyalah yang diekploitasi untuk menolong
dan menyambut kelahiran jabang bayi dengan upacara adat.
Suahada mengalami pendarahan, lalu bayi lahir, dan akhirnya
Suhada meninggal karena kehabisan darah.
Meninggalnya Suhada diungkapkan secara implisit sehingga
sebagai pembaca saya sempat bertanya mengapa baru saja
melahirkan dan mengalami pendarahan, Suhada bisa langsung
melangkah keluar dari kamar bersalin (hlm. 128-129). Ternyata
seperti sinetron dan tayangan TV kita, Suhada yang keluar dari
kamar bersalin tersebut adalah Suhada yang dihadirkan untuk
penampakan bagi Suamar yang persis saat itu baru tiba di
dermaga. Ya, Suhada sudah berada di dunia lain. Wafat. Lalu
arwah Suhada (begitulah menurut TV kita) menampakkan diri
pada Suamar.
Bagian X menceritakan Gilli lima tahun kemudian setelah
kematian Suhada. Dalam lima tahun ini Gilli mengalami
kemajuan pesat dalam bidang ekonomi dan bahasa Indonesia,
dan bidang lain. Pokoknya maju. Hal itu berkat matahari Suhada
sebagai guru. Karena kemajuan ekonomi itulah, pada hlm. 161
tiba-tiba ada ajaran Islam dalam sebuah paragraf yang nyelonong
masuk tanpa basa-basi alias tidak ada hubungan dengan teks-
teks sebelumnya, bahkan dengan teks itu sendiri.
“Penghasilan mereka yang sekedar [sic!] nelayan nyaris tak
pernah surut, bahkan terasa kian menjulang. Dengan munculnya
kembali pembuatan kapal-kapal besar, mereka pun berinfak dan
berzakat besar.”
Penampakan pada bagian IX itulah yang mengakibatkan
Suamar pada bagian XI, XII, dan XIII selama lima tahun hidup
dalam dua dunia: dunia nyata dan dunia gilacinta. Selama itu
Suamar menganggap Suhada masih hidup. Dia katakan pada
semua orang hal itu termasuk kepada anaknya, yang juga
bernama Sabam. Sabam pula yang mengakibatkan Suamar sangat
berang karena Sabam mengetahui di kamar Suamar ada bantal
guling yang yang dibajui pakaian Suhada. Sabam makin gila. Dia
mengamuk dan mengakibatkan ayahnya (Pak Haji) murka, lalu
Serpihan Sastra 45
Pak Haji mengajak carok.
Bagian XIV membicarakan ketakberdayaan Pak Haji dan
kerinduannya pada Suamar yang kabur. Pak Haji ternyata hanya
seorang Sarkawi. Secara implisit kehajiannya tidak berarti apa-
apa. Ia lelah menghadapi Suamar, anaknya.
Pada bagian akhir, dari persembunyiannya, Suamar yang
masih dalam gilacinta pada Suhada menelepon Pak Haji bahwa
ia akan pulang dari Semarang. Mereka saling meminta maaf.
Lalu, esok paginya di koran ada berita seorang laki-laki mati
karena terjatuh atau terdorong dari kereta api jurusan Semarang-
Surabaya. Suamarkah yang meninggal? Secara implisit, secara
sinetronis: Ya.
Kalau saja dikemas lebih baik lagi, baik bahasa, gagasan,
penceritaan, tokoh maupun penokohannya, novel ini tentu akan
lebih enak dibaca dan perlu. Seperti pesan Irena Handono, saya
berharap mudah-mudahan novel ini menjadi amal ibadah bagi
Lintang Sugianto dan juga pembaca. Cag!***
46 Abdul Hamid
Malam Lebaran dalam Teropong Barthes
Serpihan Sastra 47
familinya. Ada baju baru, ada cat baru bagi rumah, ada
kendaraan baru dan barang baru lainnya di samping masakan
dan kue yang juga istimewa dan baru. Kalau kebetulan orang tua
dan atau familinya telah meninggal dunia, orang-orang beramai-
ramai pula “mudik” ke kuburan mereka.
Begitu istimewanya lebaran bagi sebagian besar bangsa
Indonesia, bukan saja mereka yang beragama Islam, melainkan
juga mereka yang menganut agama lain –termasuk di dalamnya
seorang penyair Nasrani yang sudah beberapa tahun tinggal di
Perancis: Sitor Situmorang. Bagi Sitor Situmorang, lebaran
meninggalkan kesan yang begitu mendalam. Kemendalamannya
itu dimanifestasikan melalui puisi yang hanya satu larik. Judul
puisi itu adalah “Malam Lebaran” dan isinya yang hanya satu
larik itu adalah bulan di atas kuburan.
Puisi tersebut mengundang banyak kontroversi penafsiran
dan pemaknaan. Pada satu pihak, para kritikus sastra melibatkan
Sitor sebagai penganut Nasrani yang tidak mengetahui bahwa
malam lebaran bertepatan dengan tanggal 1 Syawal. Karena
sistem penanggalan Islam berdasarkan rotasi bulan, berarti
malam itu “tidak ada bulan”. Dengan perkataan lain, malam itu
bulan tidak terlihat secara kasat mata. Pada pihak lain, para
kritikus berpendapat bahwa Sitor justru beranjak dari
kemengetahuiannya tentang tanggal 1 Syawal walaupun Sitor
seorang Nasrani. Sitor tahu persis bagaimana suasana malam
lebaran di atas kuburan, dan bagaimana pula suasana dan
nuansa malam itu di tempat-tempat yang jauh dari kuburan.
Pendapat pertama menafsirkan puisi itu absurd, tidak
tertib khayal, tidak tertib akal, dan sebagainya. Pendapat kedua
justru sebaliknya karena dalam ilmu sastra –sebagaimana
dikemukakan Ann Balfield dalam bukunya The Concept of Style–
ada fakta alamiah yang dapat dipalsukan walaupun dalam hal ini
Sitor tidak melakukan pemalsuan ada-tidaknya bulan. Sitor
hanya berlindung pada bulan –sebagai fakta alamiah– yang tidak
tampak di depan mata. Tampaknya Sitor bersandar pada ahli
hisab dan atau rukyat.
Menurut Roland Barthes dalam buku Elements of Semiology,
semiologi (semiotik) mempelajari segala sistem tanda, apa pun
substansi dan batasannya: gerak, bunyi musik, objek, asosiasi
kompleks antara semua itu. Jadi, wilayah kerja semiotika menjadi
48 Abdul Hamid
sangat luas. Setiap sistem semiologis mempunyai campuran
linguistiknya. Karena itu, bagi sistem tanda yang lain, bahasa
tidak hanya berposisi sebagai model, tetapi juga sebagai
komponen, pemancar, atau petanda dari sistem tanda lain.
Barthes membedakan bahasa dengan tutur. Ia memahami
bahasa sebagai sebuah lembaga sosial dalam pengertian kontrak
kolektif yang harus diterima seseorang dalam keseluruhannya
jika orang itu ingin berkomunikasi. Sebagai produk sosial, bahasa
bersifat otonom dan sebagai lembaga sosial bahasa tidak dapat
diciptakan dan diubah oleh individu. Adapun tutur merupakan
suatu tindakan seleksi dan aktualisasi individual terhadap
kemungkinan yang disediakan oleh bahasa. Barthes
mengemukakan pula bahwa bahasa dan tutur berhubungan
secara dialektis. Menurutnya, praksis bahasa terjadi dalam
pertukaran antara kedua hal tersebut. Seseorang tidak dapat
menguasai tutur kecuali dengan mendasarkan diri pada bahasa,.
Sebaliknya, suatu bahasa hanya mungkin dengan berangkat dari
tutur. Suatu bahasa takpernah ada kecuali dalam diri “masa yang
berbicara”.
Lebaran bagi orang Indonesia, terutama yang beragama
Islam, adalah tutur sebab ia merupakan aktualisasi dari
“kemeriahan” tentang tradisi. Begitu pun perayaan peristiwa
besar lainnya, baik hari kemerdekaan, hari Natal, atau tahun
baru, maupun bulan Ramadan atau pun hari besar lainnya
merupakan aktualisasi yang dibangun oleh tradisi. Tradisi adalah
tutur. Perayaan tersebut mengacu pada tradisi yang sama, tapi
selalu memiliki keragaman dalam aktualisasinya. Kemeriahannya
selalu bervariasi karena pelaku dan waktunya berbeda-beda.
Meriah bagi seseorang, belum tentu bagi orang lain. Kemeriahan
perayaan kemerdekaan, Natal, tahun baru, atau yang lainnya,
takpernah sama. Hal ini berbeda dengan kemeriahan lebaran
yang sudah dikemas menjadi satu paket dengan bulan Ramadan.
Bahasa yang merujuk pada lebaran adalah “tradisi”
perayaannya. Apabila kita gambarkan bahasa lebaran itu adalah
sebagai berikut: Lebaran = saum + takbir + mudik + (lainnya). Hal
ini dimungkinkan karena yang disebut lebaran itu selain
“lulubaran” pada sesama manusia –baik yang masih hidup
maupun yang telah wafat– dan pada Allah swt., ada pula tradisi
lainnya yang mengacu pada kemeriahan. Dengan begitu,
Serpihan Sastra 49
sebenarnya bahasa kemeriahan lebaran bisa menjadi bahasa
lebaran sebab pada dasarnya yang dinamakan lebaran adalah
memfitrikan diri. Caranya tentu bervariasi.
Dalam meneropong semiotika lebaran ini diambil arah
yang meluas. Menurut Barthes, dalam konteks semiotika pakaian,
analisis meluas adalah analisis yang berusaha menemukan
pertalian tanda-tanda vestimentary (kain dan pakaian) yang satu
dengan yang lain dalam kerangka prinsip kesamaan dan
perbedaan. Dalam menganalisis pakaian yang ditulis, Barthes
sendiri mengambil dua arah analisis yakni yang mendalam dan
yang meluas. Adapun analisis mendalam dilakukan untuk
membuka seluk-beluk dari sistem-sistem (kata-kata, pakaian,
dunia, mode), sedangkan analisis meluas terarah pada rangkaian
tanda yang terdapat pada setiap level dari sistem itu.
Dengan membandingkan kemeriahan lebaran dengan
kemeriahan lainnya dan sekaligus menggunakan tes komutatif,
akan diketahui bahwa kemeriahan pada lebaran hanya dapat
diisi oleh saum, takbir, dan “lulubaran”. Ketiga hal itu tidak
dapat digantikan dengan yang lain. Kegiatan lainnya (baca:
mudik, pakaian baru, kendaraan baru, makanan melimpah) bisa
ditambah atau diganti sesuai dengan konvensi perayaan.
Misalnya perayaan kemerdekaan dilaksanakan dengan upacara
dan berbagai macam pertandingan seni dan olah raga. Tahun
baru dilaksanakan dengan berbagai macam pesta.
Bagi Barthes, seperti halnya bagi Saussure, produksi
makna tidak hanya menyangkut hubungan antara penanda dan
petanda, melainkan juga akibat suatu tindakan pemotongan
terhadap massa yang tanpa bentuk. Pemotongan itulah yang
membuat penanda tidak hanya terkait dengan petanda, tetapi
terkait pula dengan penanda lain yang merupakan potongan lain
dari massa itu. Dengan pengertian yang terakhir ini, tugas
semiotika, bukanlah terutama membangun leksikon objek-objek,
melainkan menemukan kembali artikulasi (tindakan
pemotongan) yang diterapkan seseorang atas realitas.
Tradisi lebaran tidak hanya berhubungan dengan
pelaksanaan ritualnya, tetapi juga berbagai muatannya seperti
telah dikemukakan. Selain itu, bagi sebagian orang lebaran pun
berhubungan dengan status sosial. Lebaran bagi mereka biasanya
diasosiasikan pada keserbabaruan lahiriah atau kemeriahan
50 Abdul Hamid
(adanya banyak parsel, kartu lebaran, dan berbagai acara seperti
mudik). Bagi sebagian lagi keserbabaruan secara batiniah, yaitu
fitrah, kembali pada kesucian, pada fitrah manusia setelah
menang perang mengendalikan diri selama bulan Ramadan.
Dilihat dari teropong semiotik Roland Barthes, tampaknya
Sitor Situmorang terhenyak pada golongan pertama, yakni
mereka yang memeriahkan lebaran secara lahiriah. Mereka
bersuka ria dengan berbagai suasana dan nuansanya dalam
terang benderang. Mereka melupakan kuburan yang sunyi, sepi,
bisu, dan gelap gulita karena hanya ditunggui bulan yang tidak
tampak. Dalam hal ini, walaupun seorang Nasrani, Sitor
Situmorang tampaknya mengingatkan mereka. Karena itu, Sitor
tidak menyinggung bahwa golongan batiniah pada malam
lebaran “meriah” dengan suara takbir mengagungkan nama
Allah swt.
Dalam ajaran Islam dikatakan bahwa orang yang sudah
menghuni alam kubur (bukan di dalam kubur karena yang ada di
dalam kubur hanya jasad, bukan roh) hanya memiliki satu arah
komunikasi dengan orang yang masih hidup. Artinya mereka
tidak bisa lagi memberi atau meminta apa pun, termasuk di
dalamnya doa, kepada orang yang masih hidup. Dan sebaliknya,
orang hidup hanya bisa memberi –doa kepada Allah swt.– bagi
mereka, tetapi takbisa meminta apa pun (termasuk minta maaf)
dari mereka. Karena itu, pada dasarnya lebaran bagi golongan
batiniah merupakan kesempatan istimewa untuk “lulubaran”
dengan orang lainnya, baik yang masih hidup maupun yang
sudah wafat. Karena itu pula, mereka mudik untuk berjumpa
dan sekaligus “lulubaran” dengan sanak saudaranya di udik.
Mereka pun “berjumpa” dengan orang yang ada di alam kubur
untuk mengimpaskan segala urusan duniawi.
Dengan demikian, sesuai dengan Barthes, hubungan
penanda lebaran dengan petandannya bersifat kontrakstual yang
bersifat kolektif. Status sosial pelaksanaan lebaran pun bisa
berubah. Sebagai contoh, seluruh stasiun televisi dan berbagai
instansi menyelenggarakan berbagai acara yang berkaitan
dengan lebaran sesuai dengan misi masing-masing. Dengan
begitu, lebaran yang hakikatnya berasosiasi pada citra kesucian
kini memasuki citra meriah sebagaimana diperlihatkan dalam
puisi Sitor.
Serpihan Sastra 51
Secara paradigmatik lebaran lahiriah bisa dibandingkan
dengan lebaran batiniah. Dalam deretan muatannya akan terlihat
mana yang dapat digantikan dan mana yang tidak. Dalam hal ini
akan terlihat kemudian hubungan sintagmatik dan paradigmatik
yang mencakup dua macam lebaran.
52 Abdul Hamid
menjadi ekspresi darinya. Metabahasa adalah sistem signifikasi
yang keseluruhan dataran isinya merupakan sistem signifikasi
yang lain.
Menurut Barthes, ideologi merupakan bentuk petanda
konotasi, sedangkan retorika merupakan bentuk konotator-
konotatornya. Dan, jika dalam semiotika konotatif, penanda-
penanda sistem kedua dibentuk oleh tanda-tanda sistem
pertama, dalam metabahasa petanda-petanda sistem kedua
dibentuk oleh tanda-tanda sistem pertama.
Lebaran adalah sebuah penanda. Petandanya adalah
lebaran yang dilaksanakan dengan pulang dan lulubaran pada
semua orang. Lebaran sebagai penanda dan petandanya menjadi
petanda baru, yakni kegiatan pulang yang dilakukan setelah
selesai melaksanakan saum bulan Ramadan. Secara metabahasa,
hal ini membentuk penanda baru, yaitu mudik: kembali ke asal,
kembali pada fitrah. Untuk kembali, kita harus punya bekal:
bekal lahir dan atau bekal batin.
Apabila diteruskan, penanda dan petanda baru ini, yang
merupakan sistem terminologis, akan membentuk penanda baru
yang merupakan bidang garapan sosiologi. Hal ini kemudian
mengacu pada petanda baru yang merupakan ideologi, yakni
pulang ke tempat asal. Dalam konteks yang lebih luas, pulang ini
akan bersaing: pulang lahiriah atau batiniah. Pulang ke asal atau
pulang ke “asal”. Menang memperoleh tiket untuk ke udik atau
menang mengendalikan diri untuk ke “udik”. Apa pun pilihan
kita, memang malam lebaran, bulan di atas kuburan. ***
Serpihan Sastra 53
MENGUAK KEBERSALAHAN DALAM
CERITA PENDEK KURNIA EFFENDI
54 Abdul Hamid
mengerti”. Pun kata kaki, kanan, dan kiri. Kata kaki dapat
ditafsirkan sebagai ‘langkah kehidupan’, dan dalam konvensi
kita kata kanan dan kiri melambangkan ‘baik’ dan ‘buruk’. Jadi,
karena kesalahan telah tersuap akibat kebutuhan ekonomi untuk
biaya istrinya ke rumah sakit, kaki yang mesti diamputasi itu
yang “baik” atau “buruk”? (dalam ajaran agama, jika sangat
darurat untuk menyelamatkan nyawa, sesuatu yang haram bisa
menjadi halal). Nah, yang menjadi beban Heru (Golly), sebagai
penjaga gawang, untuk menyelamatkan nyawa istrinya, dia
merasa telah mengkhianati bangsa dengan menerima suapan.
Perasaan bersalah kembali muncul dalam “Serenada
Jakarta”. Namun, di sini tidak ada pengelanaan tokoh. Diyan,
calon sarjana seni rupa ITB, berkenalan dengan Marlini,
tunawisma di Jakarta. Marlini menjadi model lukisannya untuk
menyelesaikan tugas akhir kemahasiswaannya. Suatu waktu
Diyan menerima surat dari Marlini yang menyatakan
ketakutannya karena hamil dan ingin mati. Hanya Diyan yang
bisa menolongnya. Ketika Diyan sampai di “rumah” Marlini,
yang ditemukannya hanya sepotong calon jalan layang. Perasaan
Diyan sangat ngilu, “Jangan pernah memaafkan aku, Lini!”
Serenada (Inggris: serenade, Jerman: Ständchen) yang berarti
‘potongan musik bernuansa cinta yang dimainkan/dinyanyikan
malam di udara terbuka’ sangat cocok dengan cerpen ini. Diyan
mencintai Marlini yang rumahnya “di udara terbuka” kota
Jakarta. Kebersalahan Diyan dalam ini adalah tidak bisa
menolong Marlini, orang yang dicintainya. Padahal, menurut
Marlini, hanya Diyan yang dapat menolongnya.
Dalam “Pelupuk Mata” kebersalahan tokoh kembali
terkuak. Kali ini tampil tokoh yang selalu berkeinginan untuk
mengintip peristiwa terakhir yang terekam pelupuk mata
seseorang yang baru saja diresmikan sebagai jenazah. Akhirnya si
tokoh berhasil memasuki pelupuk mata itu. “Ternyata itu sebuah
ruang yang luas dan hangat. … Suara itu memanggilku.” “Itu
suaramu menghiba. Melampaui batas takut. Siapa yang hendak
kautemui?” (130-131).
Apa yang diungkapkan Warih Wisatsana dalam sampul
belakang SC bahwa Kurnia Effendi tidak hanya piawai dalam
Serpihan Sastra 55
bertutur, ia juga terlatih “mengendalikan” hasrat liar
imajinasinya, juga komentar Acep Zamzam Noor tentang bahasa
Kurniawan yang komunikatif, tampaknya mesti ditinjau ulang
karena dalam “Pelupuk Mata” terdapat tuturan yang kurang pas
dan tidak komunikatif. Si tokoh sedang menceritakan mendiang
Suyatna Anirun kepada pembaca. Tokoh sebagai persona I (aku)
dan Suyatna Anirun persona III (nya). Persona III tampak ujug-
ujug menjadi persona II seperti dalam kutipan ini: //Air mataku
titik ketika seorang muridnya membacakan sajak “Doa” karya
Chairil Anwar di hadapan jasadnya. Puisi yang juga menjadi
favoritmu, sampai perlu kaupasang di dinding kamar dengan
pigura. // Pak Suyatna berangkat dengan khidmad. Tirai teater
hidupnya ditutup. Aku yakin. Adakah ini saat untuk
memasukinya? Keragu-raguan membuat harapanku kandas.
Untuk yang kesekian kali, aku tetap tegak dengan rasa ingin tahu
yang menyakitkan (126).
Kebersalahan terkuak juga dalam “Menemani Ayah
Merokok”. Si tokoh yang sedang berada di Jepang harus segera
pulang kampung karena ayahnya sakit keras dan pikun. Sang
ayah menunggu tokoh yang juga anak bungsunya. Satu-satunya
anak yang belum menikah. Sang ayah menunggu si bungsu yang
sedang “ngantor” dan menganggap anaknya itu sudah bisa
berbahasa Arab. Dengan kepikunannya, sambil merokok sang
ayah menanyakan kapan si bungsu melamar Lyra yang pernah
dikenalkan. Si tokoh memanfaatkan kepikunan ayahnya. Dia
mengatakan bahwa “Lyra” besok akan menjenguk ayah.
Ayahnya bahagia. Beristigfar, lalu mengisap rokok begitu dalam.
Hembusan asap putih rokok merupakan hembusan akhir
nafasnya. Ayah wafat. Si tokoh bertanya, apa penyebab kematian
ayah sesungguhnya? “Apakah ibu jariku menekan terlalu kuat
pada pangkal nadinya?”(106).
Pada cerpen “Lelaki yang Menghilang dalam Gerimis”
terceritakan seorang perempuan Indonesia yang bersekolah dan
sekaligus bekerja di Jepang. Sebagai pelayan di restoran,
Rohayati berkenalan dengan pelanggan bernama Oh Chol Su dari
Pyongyang. Diam-diam di hati pelayan dan pelanggan ini
tumbuh cinta. Dengan alur linear pertumbuhan cinta itu terus
berlanjut tanpa terkatakan. Pada waktunya, Oh Chol Su harus
pulang ke negaranya karena penelitiannya sudah selesai. Waktu
56 Abdul Hamid
perpisahan, Oh Chol Su, yang mengaku sudah beristri, berkata,
“Mungkin aku mencintaimu, Rohayati.” (117) yang dijawab oleh
Rohayati “Terus terang aku sedih Mr. Oh. Tapi itu salahku.”
Lagi-lagi dalam cerpennya Kurnia menyebutkan kebersalahan
tokoh. Di sini tidak diungkapkan secara tersurat apa
kesalahannya walaupun secara tersirat kesalahannya adalah
“aku” mencintai lelaki yang sudah beristri.
Tiba-tiba alur dalam cerpen ini loncat jauh. “Sekali lagi aku
meyakinkan diri untuk pulang ke tanah air. … Meninggalkan
cinta yang tak sampai. … Gerimis yang tak akan kulupakan”
(118). Padahal sebelumnya, tidak terceritakan bahwa “aku” akan
pulang ke Indonesia. Selesaian gaya sinetron pun – yang
serbakebetulan – muncul di sini dengan mengada-adakan
antologi kumpulan puisi The Man Who Disappeared in The Rain
sebagai kado yang diberikan Oh Chol Su kepada Rohayati pada
waktu gerimis. Biarkan pula. Ini cerpen masih dalam
perkembangan.
Menyimak judul “Relung Telinga” sudah ada kecerdasan
berbahasa karena yang biasa digunakan adalah relung hati.
Cerpen ini bercerita tentang kesetiaan seorang suami kepada
istrinya setelah lima tahun bersatu dan walaupun, menurut
dokter, istrinya tidak akan bisa hamil. “Aku” beberapa kali
memasukkan bisikan ke dalam relung telinga istrinya yang telah
kaku. “… Membisikkan kembali ke relung telingamu: Aku selalu
mencintaimu. Sekalipun sia-sia” (16). Atau Percayalah aku tak akan
pernah melupakanmu atau Sampai kapan pun aku terus mencintaimu.
Takada cacat tuturan dalam cerpen ini. Yang perlu dicatat
barangkali adalah ada juga kebersalahan yang diungkapkan
“aku”: “Ingin kuusir kenyataan. Namun dalam pelarianku yang
penuh duka lara, seorang perempuan tak dikenal nyaris
membuat perasaanku berubah. Maafkan aku” (18). Cerpen ini
tidak berklimaks. Datar saja.
Dalam “Rasa Takut” ada lagi kecerdasan berbahasa. Belum
ada yang berani membedakan bangkai dengan jenazah kecuali
Kurnia. Padahal itu perlu. Kata bangkai kita gunakan untuk jasad
binatang yang sudah mati dan beraroma taksedap. Kata jenazah
digunakan untuk jasad orang yang baru saja ditinggalkan nyawa
tanpa melibatkan aroma. Dalam “Rasa Takut” ada dua jenazah
Serpihan Sastra 57
tikus yang meringkuk dalam posisi saling berpelukan di dalam
kulkas (135).
Dalam cerpen ini pun tersirat kebersalahan “aku” karena
telah ngerjain calon pacarnya dengan rasa takut yang
diciptakannya. Tujuan “aku” menciptakan rasa takut agar dia
bisa dekat lahir batin dengan calon pacar. Dan ternyata rasa takut
itu dikembalikan kepadanya. Akibatnya: “Mendadak perutku
mual. Telepon yang kugenggam masih memperdengarkan suara
merdunya. Entah menjelaskan apa. Aku mulai gemetar. Aku mau
muntah. Kini ketakutan menjalari pikiranku, melumuri
perasaanku” (144).
Dari dua belas cerpen, tampak ada perkembangan dalam
gaya penulisan cerpen Kurnia Effendi. Delapan dari dua belas
cerpen bercerita pengakuan kebersalahan tokoh. “Senapan
Panjang” sebagai judul kumpulan tampak hanya mewakili
cerpen “Laras Panjang Senapan Cinta”. Namun demikian, untuk
menarik perhatian calon pembaca, judul kumpulan itu bagus
sekali. ***
58 Abdul Hamid
Menilai Karya Sastra Secara Objektif,
Mungkinkah?
Ajip Rosidi sekitar tiga puluh tahunan yang lalu menulis puisi
tentang ular. Karyanya itu “dibantai” oleh kritikus akademis M.S.
Hutagalung. Dengan emosional – karena dianggap telah
melecehkan karya sastra(nya) – Ajip balik “membantai”
Hutagalung. Genderang perang tanggapan ihwal karya sastra
yang baik pun dimulai. Hutagalung mengeluarkan senjata
keilmusastraannya, Ajip mengacungkan senjata kepenyairannya.
Mirip Ajip Rosidi, tahun ini Acep Iwan Saidi dengan
“Laki-laki yang Malas Membaca: Tanggapan untuk Surat Kang
Nono” yang dimuat Pikiran Rakyat 15 Januari 2005 menanggapi
Sapardi Djoko Damono yang menulis “Peran Perempuan dalam
Kesastraan Kita: Surat Sastra untuk Neng Ina” yang dimuat
Pikiran Rakyat 11 Desember 2004. Secara emosional, dalam
tanggapannya Acep mengemukakan ketidaksetujuannya pada
Sapardi dalam penjurian lomba penulisan novel yang diadakan
Dewan Kesenian Jakarta.
Sapardi menulis “Neng, surat ini adalah semacam
kesimpulan dari berbagai hal seputar perkembangan sastra yang
sepanjang tahun ini sering kita bicarakan. Pertengahan tahun ini
Dewan Kesenian Jakarta mengumumkan pemenang lomba
penulisan novel; hasilnya harus diakui bisa saja membuat kita
bertanya-tanya mengenai apa yang sebenarnya sedang terjadi
dalam perkembangan sastra kita. Tiga pemenang urutan teratas
hadiah itu itu adalah perempuan muda, setidaknya seorang di
antaranya bisa dikatakan baru “belajar” menulis.”
Selanjutnya dia mengemukakan “Perbantahan mengenai
nilai karya sastra tahun ini terjadi lagi, terutama mengenai novel-
novel yang memenangkan lomba yang diselenggarakan DKJ itu.
Nilai karya sastra tidak bisa dipisahkan dari selera. Dalam
sebuah penjurian, selera – di samping kompromi – merupakan
faktor utama. Oleh karenanya perbincangan mengenai perbedaan
selera justru harus disyukuri. Masyarakat toh yang menilai
pandangan mana yang pantas dihormati, bukan dalam hal benar-
Serpihan Sastra 59
tidaknya, tetapi lebih karena pandangan masing-masing pihak
menunjukkan kualitas pemikiran dan pengalamannya dalam
berdiskusi.”
Tampaknya kedua paragraf itulah yang mengakibatkan
Acep berang atau bahkan murka sehingga tanggapannya jelas-
jelas emosional, dan bahkan tidak proporsional sebagaimana
tereksplisitkan dalam judulnya. Acep tidak berbicara bagaimana
seharusnya menjurii lomba, tetapi justru menyerang Sapardi
sebagai pribadi.
Ada yang dapat dipahami mengapa Acep begitu. Pertama,
mengapa penulis pemula sebagaimana diakui Sapardi – bisa
menjadi pemenang. Kedua, Sapardi juga mengemukakan bahwa
dalam penentuan nilai karya sastra dalam lomba takbisa lepas
dari selera dan juga kompromi juri.
Barangkali untuk jawaban pertama Sapardi dan juri
lainnya tersangkut pada pepatah lama yang mengatakan Tidak
ada rotan, akar pun jadi. Jadi, para pemenang lomba itu merupakan
yang terbaik dari sekelompok yang terburuk. Bisa juga karena
para juri kebetulan berprofesi sebagai guru yang mengemong
siswanya, mereka memberi motivasi pada penulis lain bahwa
menciptakan karya sastra, termasuk novel, itu mudah. Atau
sebagaimana dikatakan Arswendo Atmowiloto, mengarang itu
gampang. Ya, dari sekian puluh peserta lomba (terlepas dari
apakah penulisnya laki-laki atau perempuan), muncullah Abidah
El Khalieqy dengan novel Geni Jora dan Dewi Sartika dengan
novel Dadaisme sebagai pemenang lomba.
Sayangnya, untuk masalah kedua, Sapardi dalam tulisan
tersebut tidak merinci selera dan kompromi juri. Memang, selera
dan kompromi takbisa lepas dalam penjurian karya sastra.
Namun, karena karya sastra bisa dikaji secara ilmiah, tentu saja
selera dan kompromi yang dimaksud harus bersifat ilmiah. Dan
karena itu pula, dasar penjurian harus berdasarkan objek.
Dengan begitu, yang muncul adalah selera ilmiah dan kompromi
ilmiah.
Kita lihat, sebagai contoh, Geni Jora. Dalam Geni Jora ada
beberapa hal yang patut dipertimbangkan. Pertama, judul
mengindikasikan cerita. Kata geni diambil dari bahasa Jawa yang
berarti ‘api’ dan Jora alias Kejora (si tokoh utama) adalah nama
bintang yang terbit dini hari; bintang timur. Dalam budaya
60 Abdul Hamid
Indonesia, kata kejora memiliki konotasi positif. Dengan judul
tersebut berarti ada sesuatu yang dianggap positif diharapkan
pengarang. Kedua, tata nama dalam Geni Jora pun tampaknya
dipilih pengarang agak ketat, disesuaikan atau bahkan
dieksplisitkan dengan tokoh dan penokohan. Tokoh yang
dimaksud di antaranya adalah Kejora, Zakky, Bianglala, dan
Prahara.
Geni Jora merupakan sebuah novel yang berisi tentang
kisah seorang perempuan bernama Kejora. Ia adalah seorang
perempuan yang memiliki kesempurnaan dilihat dari segi fisik
maupun kecerdasan. Kesempurnaan Kejora terlihat dari beberapa
narasi dan dialog yang diucapkan oleh tokoh Kejora sendiri dan
tokoh lainnya. Kejora tidak ingin kalah dari laki-laki karena ia
ingin membuktikan bahwa perempuan memiliki kemampuan
yang sama dengan laki-laki sehingga laki-laki tidak bisa
melecehkan perempuan. Perempuan memiliki hak untuk
melakukan apa saja yang diinginkan, termasuk mengekspresikan
cinta dan menolak cumbuan laki-laki saat ia tidak
menginginkannya. Untuk melindungi haknya itu, Kejora
memanfaatkan ayat-ayat Al Quran.
Serpihan Sastra 61
nas-nas Al Quran.
Zakky merupakan tokoh pembantu dalam novel Geni Jora.
Ia adalah anak mudirul ma’had di pesantren tempat Kejora pernah
belajar. Ia merupakan seorang laki-laki yang sangat tampan dan
memiliki cukup banyak uang. Ia adalah seorang aktivis yang
pandai bicara dan pandai pula merayu. Selain itu, ia memiliki
kegemaran yang buruk, yaitu suka meminum khamr. Zakky
dapat diasosiasikan dengan zakar. Zakar adalah kemaluan laki-
laki; penis; pelir. Nama Zakky sesuai dengan penokohannya,
yaitu mencerminkan stereotip gender laki-laki.
Bianglala merupakan tokoh pembantu dalam novel Geni
Jora. Ia adalah kakak perempuan Kejora yang sama-sama
mengalami pelecehan seksual oleh pamannya. Ia merupakan
gadis yang memiliki kecantikan, keanggunan, dan keindahan
yang sempurna. Namun, ia merupakan gadis yang pendiam.
Bianglala adalah pelangi Prahara adalah tokoh pembantu
dalam novel Geni Jora. Ia adalah adik laki-laki Kejora yang
menjadi awal malapetaka bagi Kejora, yaitu keharusan mengalah
pada laki-laki. Prahara adalah orang yang tidak menghargai
kakaknya bahkan mengandalkan kekuatan fisik untuk melawan
kakaknya.
Bianglala dapat diasosiasikan dengan keindahan dan
kecantikan. Bianglala muncul akibat kekuatan yang dimiliki air
hujan untuk menguraikan sinar matahari menjadi spektrum
warna. Jadi, nama Bianglala sesuai dengan penokohannya, yaitu
kecantikan yang muncul dari kekuatan wibawa dan
keanggunannya.
Prahara adalah tokoh pembantu dalam novel Geni Jora. Ia
adalah adik laki-laki Kejora yang menjadi awal malapetaka bagi
Kejora, yaitu keharusan mengalah pada laki-laki. Prahara adalah
orang yang tidak menghargai kakaknya bahkan mengandalkan
kekuatan fisik untuk melawan kakaknya.
Hal lain yang perlu disorot dalam Geni Jora adalah
pengarang berusaha memadukan feminisme dengan ajaran
Islam. Pengarang pun mengobral kemahirannya berbahasa Arab
karena latar kehidupannya di pesantren cukup lama. Kata,
istilah, atau ungkapan berbahasa Arab banyak yang tidak
diperlukan alias mubazir, atau bahkan mengganggu cerita karena
ruang individu ikut bermain. Dia pun mengobral kata feminisme
62 Abdul Hamid
secara sporadis seolah memperlihatkan bahwa pengarang tahu
betul tentang feminisme. Dan karena itulah, bisa dikatakan
bahwa pengarang tidak bisa mengontrol cerita.
Di satu sisi, Geni Jora mengandung ideologi feminisme, di
sisi lain novel tersebut mengandung perbedaan gender. Hal
tersebut terlihat dari penokohan tokoh-tokohnya. Penokohan
Kejora sesuai dengan stereotip gender perempuan, yaitu luar
biasa cantik dan bersifat pencemburu yang menandakan bahwa
ia bukan orang yang rasional, ia lebih mengutamakan perasaan
daripada pikiran. Selain penokohan yang demikian, stereotip
perempuan pun dapat dimaknai bahwa Kejora, sebagai
perempuan, hanya menjadi pengikut yang meniru tindakan
orang lain, terutama laki-laki. Hal itu mencerminkan bahwa
sehebat apa pun perempuan, ia tetap berada di belakang laki-laki.
Adanya penokohan yang bertentangan dengan ideologi
feminisme menunjukkan ketidakkonsistenan pengarang dalam
memberikan ideologi terhadap novelnya. Pengarang memberikan
ideologi feminisme, menentang adanya perbedaan gender, tetapi
sekaligus menciptakan perbedaan gender. Ketidakkonsistenan
pengarang dalam hal tersebut menunjukkan bahwa
sesungguhnya pengarang tidak memahami feminisme dengan
baik.
Hal yang mirip-mirip dengan apa yang dikemukakan di
atas mungkin dapat ditemukan juga dalam novel lain pemenang
lomba. Misalnya, dalam Dadaisme kita dapat menemukan kalimat
yang acak-acakan. Tapi, takapalah. Takada rotan, bukit pun
longsor.***
Serpihan Sastra 63
Orang Malam dalam Bayangan Cinta:
Semacam Catatan untuk Semacam Soni
Dua macam buku dari dua penerbit saya perhatikan judul dan
gambar sampulnya plus penulisnya sebelum saya baca. Setelah
itu –seperti biasa– saya loncat mencari jejak cerita. Sebagai calon
pembaca, saya berhak memiliki horizon harapan dari apa yang
akan saya baca. Buku pertama novel Dalam Bayangan Cinta
(Pustaka Latifah, 2005) dan yang kedua kumpulan cerpen Orang
Malam (Pustaka Hidayah, 2005). Ternyata penulisnya orang yang
sama, yang selama ini dikenal sebagai pemuisi dan juga pewarta,
pun pernah corat-coret bermain-main warna di atas semacam
kanvas. Ya, itulah Soni Farid Maulana. Kini bermain-main
dengan bermacam-macam kata di dalam semacam cerpen dan
semacam novel.
Permainan kata orang semacam Soni takperlu diragukan
lagi dalam perpuisian karena beberapa puisinya sudah lama
menjadi semacam TKI, tepatnya TPI (Tenaga Puisi Indonesia), di
beberapa negara luar. Lalu, bagaimana permainan katanya dalam
cerpen dan novel? Kita cermati saja.
Orang Malam terdiri atas sepuluh cerita pendek pilihan
disertai semacam kata pengantar dari pecerpen dan semacam
kata penutup, ya dari petutup (bukan penutup) Bambang Q-
Annes. Sepuluh cerpen itu adalah “Opera Malam”, “Kegelapan”,
“Sangkuriang”, “Orang Malam”, “Tangis Rahwana”, “Zabaza”,
“Paris la Nuit”, “Sumerah”, “Kolektor”, dan “Anak Kabut”.
Salah satu yang menarik untuk dicermati, baik dalam novel
Dalam Bayangan Cinta maupun dalam kumpulan Orang Malam
(yang juga sebagai judul cerpen) adalah tema religi dan latar
waktu. Hampir semuanya malam. Hampir semuanya gelap. Latar
ini mendukung tema-tema yang diusung, yaitu tentang
kegelapan. Latar waktu ini dieksplisitkan dengan kalimat-kalimat
yang sama atau mirip secara berulang-ulang, baik dalam cerpen-
cepen maupun dalam novel. Misalnya, malam makin larut dan
tua, suara tiang listrik dipukul (menandakan adanya petugas
ronda malam), dan lolongan anjing. Begitu pula kekentalan
kalimat yang hanya terdiri atas satu kata, yaitu hening, diulang-
ulang.
64 Abdul Hamid
Pengulangan tersebut merupakan penguat bagi pembaca
puisi, namun bagi pembaca cerpen dan novel bisa jadi pelemah.
Hal tersebut dapat dipahami karena Soni berakar dari puisi.
Metafora-metafora yang hadir terasa segar seperti menjahit kata,
berhati babi hutan, tangannya berkemah atau berselancar di balik
bajuku. Kekentalan kata-kata yang mengkristal sebagaimana
lazimnya dalam puisi masih terasa dalam novelnya. Karena itu,
dengan berendah hati Dalam Bayangan Cinta disebutnya sebagai
semacam novel. Dalam Orang Malam pun kembali Soni berendah
hati dengan menyebut dirinya sebagai orang biasa. Karena itu
pula, kumpulan cerpennya diawali dengan semacam kata
pengantar dan diakhiri dengan semacam kata penutup.
Dalam novelnya, para tokoh hadir wajar mendukung tema
religius. Alur pun berjalan mulus tanpa hambatan, tanpa
loncatan. Yang menarik justru konflik yang hadir. Ternyata
kedua orang tua tokoh utama datang dari “kegelapan” masa
lalu.. Namun, tampaknya ada satu konflik yang dipaksakan,
yaitu penyesalan Kundera yang telah membunuh orang satu
agama (yang tidak bersalah kepadanya) karena alasan politik.
Penyesalan itu dapat diartikan bahwa membunuh orang dari
agama lain tidak perlu disesali. Inilah sesuatu yang lasut karena
tema utamanya religius.
Hal lain yang menarik perhatian dalam novel itu adalah
tata nama, baik nama tokoh maupun nama tempat, yang terasa
asing, namun suasana dan peristiwa yang dilakoni sangat
indonesiawi. Nama para tokoh yang hadir merupakan jelmaan
dari nama para pemikir dan musikus. Hal tersebut tentu saja
menambah kerjaan pembaca yang tahu sejarah untuk
mengasosiasikan tokoh dan peristiwa yang ada dalam novel
dengan peristiwa nyata. Namun, kerjaan itulah yang membuat
pembaca yang mengetahuinya mesem-mesem.
Dibandingkan dengan Dalam Bayangan Cinta, tampaknya
Orang Malam lebih menarik perhatian walaupun tema yang
diusungnya relatif sama: dari kegelapan kita dapat dengan jelas
melihat kehidupan yang sebenar-benarnya. Kemenarikan ini di
antaranya gaya penceritaan dan tipografinya. Layaknya kita
pergi berbelanja ke pasar swalayan, ada bonusnya. Beli satu
dapat tiga. Kita baca kumpulan cerpen Orang Malam, selain
memperoleh cerita pendek, kita pun sekaligus dapat bonus puisi
Serpihan Sastra 65
dan juga drama (dialog dan monolog). Dengan gaya semacam ini
ketika membaca kita mau-takmau bisa terhentak-hentak
mengikuti dialog ataupun monolog tokoh.
Cerita “Opera Malam” menghidupkan tokoh mirip dengan
Dalam Bayangan Cinta. Kedua tokoh Dalam Bayangan Cinta adalah
anak pembunuh orang-orang yang dianggap anggota suatu
partai terlarang. Dalam “Opera Malam” sebaliknya. Ki Pandan,
ayah Asri, dibunuh karena dianggap gembong partai terlarang.
Keduanya sama mengingatkan kita pada rangkaian peristiwa 30
September 1965 di Indonesia.
Dari sepuluh cerpen yang terkumpul dalam Orang Malam,
ada delapan cerpen yang menarik disimak lebih dalam dan
sisanya, yaitu “Paris la Nuit” dan Kolektor” tampaknya hanya
nimbrung, belum diendapkan sehingga terasa hambar. “Paris la
Nuit” hanya bercerita tentang “pertemuan” tokoh dengan
pemuisi Perancis abad lalu yang dikaguminya Charles Budelaire
dan penolakan anggapan bahwa Bandung sama dengan Paris.
Namun, lumayan di dalamnya bisa kita temukan metafora baru:
membuat batin saya hamil oleh pengalaman aneh dan ganjil pula (hlm.
123). Kita temukan juga (hlm. 122) sindiran halus si tokoh yang
pusing minum anggur karena di kampungnya ia terbiasa minum
lahang (minuman yang berasal dari pohon kawung). “Kolektor”
tampak seperti pledoi dari pelukis otodidak atau bahkan
penghukuman bagi pelukis akademis seperti tampak dalam teks
halaman 156: “Zaman ini memang zaman kematian para pelukis
akademis.” Namun, ada lumayan juga metaforanya seperti yang
terlihat dari kalimat penutup lanjutan kalimat tadi: Sementara itu
di langit jauh tampak seekor burung hitam terbang di bawah bulan.
Dua cerpen yang paling menarik adalah “Sangkuriang”
dan “Tangis Rahwana” – tampaknya Soni terinspirasi lagu
tembang Cianjuran yang berjudul “Ceurik Rahwana”. Kedua
cerpen ini tampak merupakan dekonstruksi dari mitos tentang
kedua cerita yang sudah melegenda di masyarakat kita.
Sangkuriang dan Rahwana dibedah sesar dari mitos, maka
lahirlah keduanya menjadi tokoh cerpen. Reinkarnasi terambung
sebagai pembersihan dosa tokoh-tokoh gelap, tokoh negatif.
Hasilnya, kedua tokoh itu terbebas dari kesalahan-kesalahan
yang pernah dilakukannya. Bisa jadi budayawan yang kukuh
pengkuh pada pakem menggelengkan kepala, lalu berunjuk rasa
66 Abdul Hamid
atau berunjuk budaya. Tepatnya berunjuk pamor.
Satu lagi hal dapat kita temukan dalam cerpen “Sumerah”
yang berkaitan dengan kesadaran religi tokoh. “Yang aku
korupsi, tentu saja, bukan hanya uang kantor, tetapi juga korupsi
waktu. Jika waktu menghadap Tuhan tiba, aku sering
mengabaikan waktu yang telah ditetapkan-Nya” (hlm.136). Nah,
itulah semacam catatan untuk semacam karya sastra semacam
Soni Farid Maulana. Ada banyak semacam kelebihan. Ada pula
sedikit semacam kelemahan. Wajar. Takpercaya? Baca saja
karyanya. Cag!***
Serpihan Sastra 67
Putri Cina: Perempuan dalam Sejarah,
Mitos, dan Realita
Kali ini Sindhunata menulis novel untuk mengenang ibunya
sebagaimana dimaktub pada halaman persembahan: “Mengenang
Koo Soen Ling, ibuku.” Dalam halaman dengan judul “Sepatah
Kata” Sindhunata mengemukakan bahwa pada awalnya novel ini
adalah sebuah katalog berjudul Babad Putri Cina yang ditulis
untuk mengiringi Pameran Lukisan “Putri Cina” karya Hari
Budianto pada Mei 2006. Lalu, ide dan ceritanya diperdalam dan
dikembangkan. Jadilah ia novel Putri Cina. Novel ini
dipersembahkan untuk ayahnya (Liem Swie Bie), ibunya (Koo
Soen Ling), kakak dan adik perempuannya (Liem Sioe Lan dan
Liem Hwie Lian).
Sebagian dari cerita ini pun menurut Sindhunata pernah
dipentaskan ketoprak dalam lakon “Putri Cina” yang naskahnya
ditulis Indra Tranggono. Ia pun dalam novel ini mengisahkan
kembali cerita Jaka Prabangkara, sebuah bagian dari “Babad Jaka
Tingkir” dari buku Nancy K. Florida, Menyurat yang Silam
Menggurat yang Menjelang (2003).
Memperhatikan judul novel yang takmuluk, minat saya
sebagai calon pembaca tiadalah terangsang. Namun, ketika ada
halaman persembahan dan itu ditujukan untuk orang yang
disebut-sebut sebagai ibu, gairah baca pun tergoda. Kedudukan
ibu bagi Sindhunata dapat dipastikan amat istimewa bila
dibandingkan dengan kedudukan ayahnya dan kakak serta adik
perempuannya. Ada banyak mitos postf tentang ibu: sebagai
perempuan, sebagai ibu yang melahirkan anak, sebagai sahabat,
dan sebagainya.
Cerita dimulai dengan pernyataan dan pertanyaan
sederhana yang menggelitik pikiran: Manusia ini takpunya akar.
Dia diterbangkan ke mana-mana seperti debu yang berhamburan di
jalanan. Ke segala arah, bertumbukan dengan angin, ia jatuh terguling-
guling. Memang hidup kita ini sangat pendek. Kita datang ke dunia ini
sebagai saudara; tapi mengapa kita mesti diikat dengan daging dan
darah?
Novel yang terdiri atas 304 halaman (294 halaman cerita,
10 halaman sebagai pelengkap) pada bagian pertama
68 Abdul Hamid
menyodorkan persoalan siapa ia sesungguhnya dan mengapa ia
bernama Putri Cina? Pada bagian 2, cerita dimulai dengan alur
mundur untuk mengetahui identitas tokoh. Pencarian identitas
dimulai dengan dongeng Jawa yang menyatakan bahwa Putri
Cina sebenarnya adalah istri Raja Majapahit terakhir, Prabu
Brawijaya Kelima. Prabu Brawijaya beranak Jaka Prabangkara.
Prabu Brawijaya menyuruh Jaka Prabangkara melukis Putri
Cempa, permaisuri yang amat dicintainya.
Melihat hasil lukisan, Prabu Brawijaya murka karena ada
noda hitam dekat kemaluan pada lukisan itu. Padahal, menurut
Jaka Prabangkara, noda itu hanya tinta menetes taksengaja. Dia
beranggapan anaknya telah bersetubuh dengan Putri Cempa
sehingga tahu ada noda tersebut. Karena itu, Jaka Prabangkara
diusir dan sampailah di negeri Cina. Dia kawin dengan Siti
Umiyan, cucu Kaisar Cina., dan juga kawin dengan Kim Muwah,
putri Kim Liyong yang menerimanya ketika mendarat di Cina.
Dari bagian 1 hingga bagian 31, takada hubungan
langsung antara Putri Cina, istri Prabu Brawijaya, dengan Putri
Cina alias Giok Tien, istri Gurdo Paksi alias Setyoko. Penceritaan
Putri Cina istri Prabu Brawijaya (hlm. 15 – 74) mengungkapkan
adanya peleburan Cina-Jawa seperti Jin Bun (Raden Patah)
menjadi Jimbun Ngabdur-Rahman dan pertikaian raja-raja di
Tanah Jawa yang didalangi oleh Semar dan Togog.
“Jauh hari sebelum Sarameya ada, Semar dan Togog
sudah berkelahi dan bertikai. Sebelum turunan Janamejaya
terkutuk menjadi makhluk seperti anjing kerah yang suka
berkelahi, Semar dan Togog pun sudah menjadi seperti
Sarameya. Jadi, jika di Tanah Jawa orang suka berkelahi dan
bertikai tanpa pernah damai, Semar dan Togoglah pemulanya.
Maka Semar dan Togog sesungguhnya adalah bayang-bayang
setiap manusia Jawa yang menjadi Sarameya. Dewa itulah
bayang-bayang manusia yang suka bertikai seperti anjing, “ jelas
Sabdopalon-Nayagenggong (hlm. 64).
Sabdopalon-Nayagenggong yang tiada lain adalah
Semar-Togog (hlm. 66) mengungkapkan bahwa Putri Cina, istri
Prabu Brawijaya, yang Cina bukan, Jawa bukan. Cina ya, Jawa ya
“adalah manusia seperti mereka karena sama dengan mereka. Tapi
ketika keadaan pecah dalam pertikaian, Paduka bukanlah manusia
karena Paduka tidak sama dengan mereka,” tegas Sabdopalon-
Serpihan Sastra 69
Nayagenggong.
Anggapan sebagai bukan manusia terbukti dengan
adanya pembantaian terus-menerus. Tahun 1740 sekitar 10.000
orang Cina mati sia-sia di Batavia oleh VOC (hlm. 85)
sebagaimana diungkap juga oleh Hembing Wijayakusuma dalam
bukunya Pembantaian Massal 1740: Tragedi Berdarah Angke.
Peristiwa pembunuhan dan pemerkosaan itu terjadi pada 1916 di
Kudus, 1946 di Sungai Tangerang, 1947 di Malang, di Lawang,
dan di Singasari, kemudian tahun 1949 terjadi juga di Surabaya
dan beberapa kota lainnya.
Peristiwa-peristiwa yang dianggap sebagai ramalan
Sabdopalon-Nayagenggong itulah yang selalu menghantui Giok
Tien yang kemudian disebut sebagai Putri Cina juga lantaran
berperan sebagai Eng Tay dalam sandiwara ketoprak Sam Pek
Eng Tay. Karena itu, Putri Cina berharap “Semoga tiada lagi ketika-
ketika itu ….” (hlm. 85). Dari sinilah cerita yang sebenarnya
muncul.
Putri Cina melihat ada orang membawa wayang potehi
(wayang Cina) dan serdadu berbaris sambil bernyanyi-nyanyi
Heppypye- heppypye-heppypye… yang diplesetkan oleh anak-anak
yang menonton menjadi Iki piye- iki piye – iki piye … yang ternyata
lagu Cucak Rowo yang sedang digandrungi di Tanah Jawa. Itu
semua menjadi pertanyaan baginya.
Narator menyatakan bahwa hal itu merupakan gambaran
peristiwa yang dialami dalam keseharian hidup yang diselimuti
kekerasan. Putri Cina berada dalam cengkeraman kekerasan
seperti wayang potehi. Kekerasan begitu akrab dengannya
seperti halnya lagu Cucak Rowo yang mengandung kekerasan
lelaki terhadap wanita. Disadari atau tidak, kekerasan jadi enak
didengar.
Putri Cina hidup di Tanah Jawa, tepatnya di Kerajaan
Medang Kamulan Baru yang dirajai oleh Prabu Murhardo.
Kerajaan itu awalnya bernama Medang Kamulan dengan rajanya
Prabu Ajisaka, kemudian Prabu Murhardo menambahnya
dengan kata baru dan jadilah Medang Kamulan Baru.
Pada mulanya Prabu Murhardo disenangi rakyat, tetapi
beberapa tahun kemudian sangat dibenci. Rakyat kemudian
menyebutnya sebagai Prabu Amurco Sabdo karena mengkhianati
kata-katanya sendiri; dan menyebut kerajaannya menjadi Negara
70 Abdul Hamid
Pedang Kemulan ‘negara yang diselimuti pedang’. Di Negara
Pedang Kemulan orang-orang hidup seperti melayang-layang.
Kapan saja, nyawanya bisa pergi. Nyawa itu seperti badan
membelakangi dunia, seakan dunia ini bukan tempat mereka.
Putri Cina –yang kemudian diketahui sebagai primadona
ketoprak dan bersuamikan orang Jawa– benar-benar takut karena
banyak kaumnya yang mengikuti begitu saja kehendak Prabu
Amurco Sabdo. Mereka banyak diberi kesempatan. Tapi
tujuannya semata-mata hanyalah untuk membantu Prabu
Amurco Sabdo dan keluarganya memperkaya diri. Makin diberi
kesempatan, makin orang-orang Cina mengembangkan
kemampuannya dalam berdagang. Mereka memang hebat. Tapi
mereka lupa bahwa mereka hanyalah diperalat … mengapa
kaumnya tidak mau belajar dari sejarah kelam mereka? Tidakkah
di Tanah Jawa ini pernah terjadi, kemakmuran mereka ternyata
adalah sumber pembinasaan mereka. (hlm. 104)
“Putri Cina sungguh takhabis mengerti, mengapa orang
Cina di Pedang Kemulan ini membiarkan dirinya dimanjakan
oleh Prabu Amurco Sabdo agar mereka mau terus –menerus
membangun keamanan dirinya hanya dengan menumpuk
harta?” (hlm. 112).
Ramalan Sabdopalon-Nayagenggong menjadi kenyataan,
rakyat meminta Prabu Amurco Sabdo lengser keprabon. Huru-hara
pun terjadi. Rakyat mengamuk dan merusak. Negara Pedang
Kemulan menjadi lautan api. Putri Cina takut setengah mati
ketika melihat bagaimana wanita-wanita Cina lari tunggang
langgang karena dikejar-kejar lelaki-lelaki berambut cepak
setengah telanjang. Ketika akhirnya terpegang, para lelaki itu
dengan beringas menelanjangi wanita-wanita Cina itu,
merebahkan mereka, dan melampiaskan nafsu mereka, sepuas-
puasnya. Wanita-wanita Cina itu hanya menjerit, menangis,
takberdaya.
Bayang-bayang kematian membawa Putri Cina menuju
Gunung Merapi. Di sana ia berjumpa dengan Nyai Gadhung
Mlati yang memberinya sepasang sayap kupu-kupu. Nyai
Gadhung memberi sayap supaya Putri Cina dapat terbang,
menjatuhkan hujan ke bumi dan menyuburkan bumi, untuk
kemudian mati.
Putri Cina merasa terbebas dari pertanyaan kematian dan
Serpihan Sastra 71
kehidupan karena ia sudah berada dalam kebenaran yang
diajarkan Lao Tze bahwa kehidupan dan kematian adalah satu,
takterpisahkan. Karena itu, Putri Cina pasrah seperti air yang
mengaliri apa saja tanpa terikat pada apa yang dialirinya. Air
mengalir ke bawah, dan tinggal di bawah, tempat orang tidak
suka, padahal sesungguhnya di tempat itulah tao berada (hlm.
131).
Pada bagian 20, novel ini menarik diri lagi ke belakang.
Siok Nio gemar sekali menonton ketoprak walaupun ia Cina. Ia
mengizinkan anaknya, Giok Tien, menjadi pemain ketoprak.
Bahkan ia mengharapkan Giok Tien menjadi bintang ketoprak
dan memainkan sandiwara Sam Pek Eng Tay yang menjadi
kesukaannya.
“Ya, Mama berharap kamu bisa menjadi bintangnya
ketoprak. Dan Mama akan sangat bangga dan bahagia bila suatu
saat nanti, Mama bisa melihat kamu main dalam lakon Sam Pek
Eng Tay,” kata Siok Nio lagi (hlm. 158).
72 Abdul Hamid
menomorsatukan kekuasaan. Melalui Radi Prawiro alias Joyo
Sumengah, narator secara tragis membunuh Gurdo Paksi dan
Putri Cina.
Pembunuhan dilakukan memakai panah.Tampaknya ini
bertentangan dengan bagian awal yang menerangkan ada lelaki
memakai kereta angin membawa wayang Cina. Ketradisionalan
senjata pun tampak bertentangan dengan latar waktu Medang
Kamulan Baru adalah pascakemerdekaan. Bahkan dengan
tambahan kata baru, Medang Kamulan Baru bisa ditafsirkan Orde
Barunya Soeharto dan kerusuhan yang terjadi pun bisa saja tahun
1998.
Barangkali itulah sedikit ketidakcermatan novel ini. Tapi
takapa karena yang disorot adalah temanya. Sebagaimana awal
cerita, akhir cerita pun ditutup dengan pertanyaan yang bernas.
“Di dunia ini semua manusia menanggung nasib yang
sama karena kita semua hanyalah debu, Cina dan Jawa, sama-
sama debunya, mengapa kita masih bertanya, siapakah kita? Toh
dengan dilahirkan di dunia, kita semua adalah saudara?”
****
Serpihan Sastra 73
Refleksi Kesadaran Diri
dalam Lelaki Tua dan Laut
74 Abdul Hamid
Perjuangan terus berlanjut, kali ini si lelaki tua harus
mengusir hiu-hiu yang terus berdatangan untuk menggerogoti
ikan tangkapannya. Semuanya memang pada akhirnya berujung
pada kemauan alam, perjuangan lelaki tua yang memaksa ikan
besar tangkapannya agar takluk berhasil ia lakukan, tetapi ia
harus pula takluk pada kemauan alam.
Banyak kritikus sastra dunia menilai bahwa karya-karya
Hemingway merupakan karya yang melahirkan pesimisme.
Hemingway memang hidup dalam zaman masyarakat
merasakan kegetiran, putus asa, dan ketakutan sebagai akibat
Perang Dunia II. Rupanya Hemingway adalah penulis fiksi yang
realistis yang banyak menulis materi-materi karangannya
berdasarkan pengalaman nyata yang dialami dan dilihatnya
sebagai seorang jurnalis di berbagai media cetak. Selama
hidupnya, ia senang bepergian, memancing, atau berburu. Tahun
1953 ia memperoleh Hadiah Pulitzer atas novelnya The Old Man
and The Sea dan sebagai puncaknya Hemingway memperoleh
Hadiah Nobel Sastra 1954 untuk penguasaannya dalam seni
bercerita, dan pengaruhnya pada gaya sastra mutakhir.
Novel Lelaki Tua dan Laut sering dirujuk sebagai novel
eksistensialis paling berhasil. Pembuktian bahwa manusia
mampu mengalahkan alam. "Mereka mengalahkanku, Manolin,"
kata lelaki tua itu. "Mereka benar-benar mengalahkanku."
Akhir dari kisah itu sesungguhnya takhanya bahwa si lelaki
mengalahkan marlin besar. Marlin itu sepanjang jalan pulang
digerogoti ikan-ikan hiu. Akhir cerita sesungguhnya adalah:
tampak sebujur tulang punggung yang putih panjang dan besar
yang berujung ekor yang lebar yang terangkat dan bergoyang
oleh air pasang .... Dengan kata lain, ia tetap membawa kerangka
ikan itu ke pantai. Ia ingin memamerkan kepada orang-orang apa
yang telah dibuktikannya. Dengan kata lain, ini sesungguhnya
kisah tentang psikologis manusia. Sebuah novel psikologis.
Setiap novel, yang berarti kisah tentang manusia, selalu
merupakan kisah mengenai psikologis manusia.
Novel-novel yang berhasil adalah novel yang selalu gigih
menemukan cara menggambarkannya. Novel yang buruk tidak
menggambarkan apa pun, bahkan meskipun psikologi menjadi
subjeknya. Tapi bagaimana sesuatu yang bersemayam jauh di
dalam diri manusia, sesuatu yang barangkali abstrak, bisa
Serpihan Sastra 75
diungkapkan? Dalam filsafat, psikoanalisis merupakan aliran
psikologi yang dengan cara analisis bawah sadar mencoba
mengeluarkan yang di dalam itu menjadi sesuatu yang
terdefinisikan dan terjelaskan. Di dalam sastra, kehendak
mengeluarkan yang di dalam melahirkan begitu banyak aliran
pengungkapan, yang pada akhirnya juga cara pandang terhadap
hidup ini
sendiri.
Pada masa-masa tertentu, monolog interior pernah
menjadi suatu tren dalam mengungkapkan bagian dalam
manusia: pikiran, hasrat, dan lanturan. Kita tahu bahwa kegilaan,
atau penyimpangan dari sudut pandang psikologi kebanyakan,
juga buah dari pikiran, hasrat, dan lanturan ini, yang bentuk
dasarnya selalu bersifat nomina. Ini kategori Kant untuk
menyebut hal yang adanya di dalam segala sesuatu, tidak
terindera.
Hemingway merupakan sosok paling ekstrem dalam
pendekatan ini. Seperti contoh di awal tulisan ini, juga di
sebagian besar novel- novelnya, dan terutama paling nyata dalam
cerita-cerita pendeknya, Hemingway hanya percaya kepada apa
yang sungguh-sungguh bisa tertangkap indera.
Membaca karya Hemingway ini, bagi saya serupa
melihat film. Kita tahu, di layar, apa pun yang ada di dalam
manusia, harus bisa dimunculkan menjadi sesuatu yang tampak.
Kesedihan dan kebahagiaan harus tergambarkan, baik melalui
mimik muka maupun gerak tubuh. Begitulah kurang-lebih
Hemingway. Meskipun apa yang digambarkannya melulu
"tindakan-tindakan", sekali lagi, bagi saya ia sesungguhnya
berkisah tentang bagian dalam itu.
***
Akhir perjalanan hidup lelaki tua itu adalah akhir kariernya
sebagai nelayan, yaitu akhir kekuatan dirinya untuk
menaklukkan laut dan menangkap ikan. Cerita novel tersebut
bahkan diawali oleh sebuah kalimat yang jelas, terang, dan
nantinya akan mewakili isi keseluruhan cerita, yaitu: Ia seorang
lelaki tua yang sendiri saja dalam sebuah perahu menangkap
ikan di arus teluk Meksiko dan kini sudah genap delapan puluh
empat hari lamanya tidak berhasil menangkap seekor ikan pun
(1983:5)
76 Abdul Hamid
Awal cerita ini terkesan hiperbol karena menunjukkan sebuah
rentang waktu lama (selama delapan puluh empat hari) dalam
sebuah pencarian yang sudah sangat biasa seorang nelayan
lakukan. Bahkan, tidak menemukan satu ekor ikan pun. Namun,
justru ini sebuah awal yang kuat untuk landasan logika cerita
selanjutnya karena seluruh isi cerita pada novel Lelaki Tua dan
Laut ini adalah sebuah pencerminan semangat seorang nelayan
yang takpernah menyerah walaupun sendirian, tidak memiliki
masa depan dalam bentuk penurunan segala kepakarannya pada
gererasi selanjutnya. Ia seorang lelaki tua yang sendiri saja (hlm
5). Walaupun sebenarnya awalnya tidaklah sendiri, anak muda
itu tidak dapat bertahan dalam kondisi yang tidak realistis di atas
lautan selama itu akhirnya ia pun meninggalkan lelaki tua pada
hari keempat puluh satu (hlm. 5).
Namun, di sisi lain si pemuda justru menemukan figur
seorang pelaut terbaik pada lelaki tua itu. Hanya karena
pengaruh lingkungan dan anggapan lelaki tua yang salao, yakni
paling sial di antara yang sial, dari orang tua pemuda itu, maka
pemuda itu hanya menjadi penyemangat saja selanjutnya.
Begitulah, kedekatan lelaki tua dengan anak muda itu
menjadi simbol keterpilihan generasi yang melihat dengan mata
hati. Karena itu pulalah pada cerita selanjutnya lelaki tua selalu
menyayangkan ketidakhadiran anak muda itu di sampingnya.
“Seandainya anak laki-laki itu di sini sekarang.” (hlm. 48, 53, 58, 81).
Pada titik itu kesadarannya penuh. Kesadaran itu bagai arus
yang membawanya kepada refleksi-refleksi setiap detik peristiwa
yang begitu saja terhubungkan dengan alam, masa lalu,
kefanaan, dan Tuhan.
1. Refleksi kesadaran kesendirian pada usia tua terwakili oleh
ungkapan-ungkapannya:
Seandainya anak laki- laki itu di sini sekarang (hlm.
48,53,58, 81) yang terus diulang-ulang. Ini semacam kesadaran
mendalam tentang eksistensi dirinya yang telah hambar. Dan
untuk itu dia menyimbolkan dengan garam. “Seandainya ada
garam,” (hlm. 53). Kehidupanya memang telah hambar,
padahal ia berada di laut. Ini sebuah indeks akan
keterpisahannya dengan dunianya, dengan pengalamannya,
dengan laut.
2. Refleksi kesadaran keterikatannya dengan laut
Serpihan Sastra 77
diungkapkannya dalam peristiwa-peristiwa saat ia
mendapatkan ikan besar dan ia takmau melepaskan talinya
sampai terbawa jauh (hlm. 47,49). Namun pada hampir akhir
cerita ia begitu menyadari bahwa itu telah terlalu jauh ia
lakukan (hlm 120).
3. Refleksi kesadaran hilangnya kekuatan dirinya terungkap
lewat kenangan dan mimpinya, yaitu kenangan pada
peristiwa menghebohkan dalam hal panco. Saat ia
mengalahkan seorang negro (hlm. 66). Selain itu terefleksi
oleh teriakannya tentang “Seandainya anak laki-laki itu ada di
sini. (hlm. 48, 53, 58, 81). Mimpi pada akhir ceritanya adalah
mimpi tentang singa. Singa yang semula ia lihat dengan
matanya, saat itu hanya ada dalam mimpi (hlm. 126).
4. Refleksi kesadaran religiusitas sebagai ujung dari pengakuan
dirinya yang telah lemah ia ungkapkan segala keluh kesahnya
dengan melibatkan Tuhan. Setelah ia putus asa
mengembalikan kekuatan tangannya, Ia berucap, “Tuhan
semoga menolongku mengusir kejang-kejang ini,” katanya,
“Sebab aku takbisa menduga tingkah si ikan selanjutnya.”
(hlm. 56). Bahkan selanjutnya ia bernazar pada Tuhan (hlm.
61) dan berdoa (62, 63) yang itu semua sepertinya jarang atau
pantang ia lakukan sebelumnya. Hal ini terbukti dengan
sebelum ia sadar akan keberadaan Tuhan ia hanya mengajak
dialog tangannya untuk kembali bekerja dan tidak kejang-
kejang bahkan dengan memohon-mohon (hlm. 54, 55, &56).
Reflesi kesadaran religius lainnya adalah ketika lelaki
tua itu seolah memetaforkan laut sebagai akhirat yang
berlawanan dengan daratan yang ia simbolkan dengan
baseball sebagai dunia saat ia mengenang kesukaannya
terhadap permainan tersebut (hlm.64,65).
5. Refleksi kesadaran bahwa menjadi tua sebenarnya lebih
banyak tantangannya karena kekuatan dan kesendirian yang
menyelimuti ia ungkapkan dengan keberadaan ikan besar
yang berhasil ia tangkap, sedangkan ia sendiri (hlm. 60). Ikan
besar itu adalah simbol tantangan hidup dan ia sendiri adalah
simbol ketuaan. Kesadaran ini kemudian berimbas pada
kesadaran selanjutnya. Ia sadar bahwa ikan-ikan itu telah
mengalahkannya, dan ia sudah tua (hlm 111-112). Selain itu,
refleksi kesadaran tentang tantangan pada masa tua semakin
78 Abdul Hamid
berat adalah dengan setelah tertangkapnya ikan besar itu
ternyata mengundang hiu-hiu yang terus merongrongnya
sampai ia kalah (hlm. 97, 99, 106, 111, 112, 118).
6. Terakhir, refleksi kesadaran bahwa lelaki tua itu telah selesai
karier sebagai nelayan disimbolkan oleh keharusan dirinya
untuk melakukan sesuatu yang berbeda dengan apa yang
dilakukannya pada masa mudanya. Kesadaran bahwa perahu
menjadi ringan setelah ikan besar itu dimakan hiu (hlm. 119,
120). Keberadaan ikan seolah menjadi simbol beban bagi
dirinya. Dan ia juga menyadari bahwa dirinya telah terlalu
jauh melangkah (hlm. 120). Selain itu, akhir cerita
menyimpulkan refleksi kesadaran diri sang lelaki tua, yaitu ia
bermimpi tentang singa-singa (hlm. 126). Kekuatan itu kini
hanya ada dalam mimpi atau menjadi mitos baginya dan ia
sadari itu.
Serpihan Sastra 79
Rumah Boneka:
Sumber Daya Pembangkit
Rumah Manusia
80 Abdul Hamid
sosial yang diterima: bekerja karena kekurangan keamanan,
kekerasan terhadap wanita-wanita, menyebarnya HIV/AIDS,
peperangan yang menelantarkan anak. Nora menghendaki
rumah bukan rumah boneka, tetapi rumah tempat mereka
menjadi anggota dan menjadi sumber daya pembangkit
pemerintah tempat mereka dapat membantu membentuk suatu
masa depan manusia yang lebih baik.
Feminis
Di dalam 1970s, masa jaya dari feminisme, tidak ada keraguan:
Nora telah menjadi pejuang hak wanita. Dia berhenti memakai
kutang dan pergi ke Femø, perkemahan wanita-wanita; dia
ditemukan di dalam setiap kelompok orang desa berkampanye
melawan patriliniet, falokrasi dan souvinisme. Kritikus Denmark
mempertanyakan ke mana Nora pergi. Dia telah memperoleh
pengertian yang mendalam: Nora mengetahui bahwa dia harus
mendidik dirinya secara baru. Pil kontraseptif itu adalah batu
penjuru dari pembebasan 1970-an dan keseluruhan revolusi di
dalam hubungan-hubungan yang menyentuh hati.
Serpihan Sastra 81
Rumah Boneka tentang Hari Ini
Kejutan yang pertama adalah para tokoh. Kita menemukan
Torvald Helmer, seorang pengacara sebagai tokoh utama. Ia
mempunyai tiga anak-anak kecil, tetapi bukan dari Nora, dan
apakah kita benar-benar mengenal di mana istrinya hidup,
seperti “Tindakan berlangsung datar Helmer”. Ini tidak perlu
rumah dari kedua-duanya.
Di mana rumah Nora? Di mana dia menjadi anggota?
Kalimat tersebut mengisyaratkan di mana tempat Nora.
Dua pintu dilewati dulu, mulai dari ruang kamar yang
membentuk latar belakang drama. Satu mengarah ke ruang
Helmer, dan yang lain ke aula, dan ke atas dunia luar. Antara
kedua pintu terdapat sebuah piano. Dan di sini, barangkali, kita
akan menempatkan Nora – di suatu lapisan musik, mimpi-
mimpi, dan khayalan.
Di suatu tempat antara permintaan-permintaan bagian
dalam dan yang luar, di luar asas realitas –Ibsen mengantisipasi
Freud – beban-beban dari kultur dapat mencatat daftar waktu
yang diperlukan untuk memainkan suatu tari dahulu kala –atau,
sebetulnya, suatu tarian Italia. Ibsen mempunyai timbang rasa
cukup untuk memperlengkap ruang; kamar dengan berbagai
keramik menghiasi. Apakah sumbangan rumah tangga itu tidak
memiliki tempat riil untuknya?
Nora dilukiskan pada awal drama sebagai suatu isi, nona
murah hati dan gembira, seorang pencinta makanan dan
kesenangan, dengan macaroons di dalam sakunya, seorang istri
yang muda. Tetapi kita merasakan ketegangan dasar di awal
drama: di sini ia adalah seseorang yang akan memberi petanyaan
ganda, yang barangkali mempunyai suatu kepribadian rangkap.
Seorang wanita yang murah hati yang dilihat oleh mitranya
sebagai suatu makhluk kecil yang manis.
Nora kelihatannya percaya bahwa empat dinding rumah
tersebut adalah perlindungan yang terakhir melawan bahaya-
bahaya dari dunia luar, termasuk kreditur – “hanya orang asing”
– sementara tujuan Ibsen menunjukkan bahwa dia di bawah satu
ilusi – begitu juga kita. Keleluasaan pribadi dari rumah tersebut,
salah satu barang rampasan dari revolusi borjuis sosial, bukanlah
benteng keluarga-keluarga kelas menengah dengan setia
menaruh kepercayaan mereka di dalam. Ketika hari ini, ketika
82 Abdul Hamid
keluarga inti yang kudus, anak diperlakukan sebagai jimat,
menunjukkan suatu bangunan yang tidak mengindahkan
kreditur kita yang sekarang ini, karena yang global memegang
buku yang sedang disiapkan di luar gerbang kebun itu:
tunawisma, terorisme, dan peperangan. Kita melindungi diri kita
sendiri dari ketidakamanan dengan nama dagang dan gaya,
mencita-citakan dapur rancangan baru yang mempromosikan
hidup keluarga bahagia.
Suami Nora, Torvald Helmer, Manajer Bank Tabungan,
sadar akan tanggung jawab yang diperlukan oleh keamanan,
posisi permanen, dan pendapatan baiknya. posisinya pada
fondasi keluarga, dan ia mengenal dengan baik bahwa itu
menjadi pegangan kesangupan membayar utang. Karena itu,
logis Nora harus menyadarkan Torvald dari tanggung jawab dan
kenyataan: “Baik sekali, Torvald, jika anda yang
mengatakannya.” Ada suatu kesadaran dari yang tidak menaruh
kasihan di dalam drama Ibsen. Akankah wanita muda tidak
bertanggung jawab ini bertumbuh? Akankah pihak yang lebih
lemah berkembang? Dan apa akibatnya? Atau di dalam istilah
lebih modern: Akankah gelap, sisi-sisi lemah setiap pertumbuhan
dan mengancam keseluruhan keselarasan (yang palsu) tanpa
tedeng aing-aling menyembunyikan dan mengisyaratkan.
Kita semuanya taksimetris dengan kepribadian-
kepribadian yang terbelah dan permukaan-permukaan mentah.
Inilah alasan kenapa kita mempunyai permasalahan dua orang
yang kekal di suatu hubungan yang bekembang di dalam arah
berbeda, sisanya antara mereka yang sedang terganggu, dan
semua konflik yang takbisa terelakkan terjadi. Selama
pembaharuan –individualisme –tinggal suatu nilai, masihkah ada
pengembangan dan penyimpangan pribadi sehingga
pertanyaannya adalah: Bagaimana mungkin dua orang
berkembang bersama-sama tanpa suatu risiko berkembang di
dalam arah yang berbeda?
Pertanyaan-pertanyaan di dalam drama itu takdapat
dilarutkan, takterpecahkan, dan hanya dapat dipecahkan jika
mereka tinggal ke luar. Helmer bisa merasakan benar dari awal
itu di balik nyanyian burung “bodoh” pendekatan kepada uang
di sana mungkin suatu aspek lebih maskulin. Ceria, nyanyian
burung, tidak akan sangat kekanak-kanakan feminin. Bagaimana
Serpihan Sastra 83
pun dia hanyalah seperti ayahnya –itu ada di darahnya, hal-hal
ini bersifat bawaan, ketika Helmer menunjuk ke luar. Tetapi Nora
hanya mengharapkan dia menerima warisan lebih banyak
kualitasnya. Ibsen mempunyai suatu talenta yang unik untuk
membiarkan bawah sadar berbicara, dan membiarkan tokoh-
tokohnya untuk ditarik sekalipun hanya dengan rasa segan, dari
arus kata-kata yang mengalir dari bibir-bibir mereka. Nora telah
menunjukkan bahwa ada ketakseimbangan di dalam
kepribadiannya, di dalam asuhannya, antara aspek feminin dan
maskulin. Dia menginginkan mengganti kerugiannya, sementara
Helmer menyukai keadaan status quo dan berniat
mempertahankan ketakseimbangan itu sama artinya.
Namun, tokoh-tokoh di dalam drama-drama Ibsen disetir
oleh bawah sadar mereka, apakah mereka ingin atau tidak. Dan
kita menemukan diri kita sendiri ditangkap di dalam drama,
sebagai bagian dari pendengar, ketimbang pembaca, atau orang
sombong yang mempunyai semua jawab. Kita seolah tidak
berdaya untuk campur tangan, hanya kita berempati dengan
tokoh-tokoh ketika mereka bergerak ke arah jurang ngarai yang
dalam sekali. Siapa yang berutang dan kepada siapa harus
membayar? Pekerjaan-pekerjaan Ibsen yang dikumpulkan
melembagakan satu penggetar hati yang tidak ada akhirnya.
“Mukjizat”
Di dalam Rumah Boneka itu yang perbedaan antara rahasia-
rahasia Natal yang kecil dan wahyu yang besar, mukjizat, akan
disingkapkan. Dan hal yang paling penting yang dapat
berhutang kepada siapa pun adalah hidup. Nora telah
mengamankan hidup Torvald. Dia bukanlah wanita penghias
natal; dia menyatakan adanya; merahasiakan suatu keluhuran
budi yang benar dan satu keengganan untuk berkompromi.
Bagaimana mungkin penipuan ini dipertahankan?
Di dalam keceriaan hal ini percuma, ada pencari nafkah
keluarga yang tidak bertanggung jawab dengan kakinya di
tempat dan suatu tanggung jawab yang berat di bahu-bahunya,
seorang petapa, yang mau menyangkal kesenangan-kesenangan.
Ini adalah satu aspek dari Nora yang jelas diwujudkan melalui
sahabatnya, Mrs. Linde. Nora mempunyai kebangkitan sampai
setelah tengah malam untuk membayar uang muka pinjaman
84 Abdul Hamid
yang memungkinkan mereka bepergian ke Italia, perjalanan yang
mengamankan hidup Torvald.
“Ia hampir seperti menjadi manusia,” dia berkata.
Kebanyakan ketakseimbangan hubungan adalah ketika
salah satu dari para mitra harus menyembunyikan talenta-talenta
mereka untuk menghindari iri hati, gangguan, atau hanya satu
suasana hati yang tidak enak. Nora mengatakannya lurus. Jika
Torvald mengetahui itu, rahasianya akan merusak segalanya
antara mereka, dan rumah mereka yang menyenangkan tidak
pernah akan kembali. Dan, orang bisa menambahkan,
masyarakat secara keseluruhan boleh jadi sungguh berbeda jika
ada lebih besar dan penyajian sama lebih wanita-wanita di dalam
pengelolaan memposisikan, di atas kapal dan di dalam politik.
Fakta bahwa para aktris terus menerus mengeluh karena tidak
cukup bagian untuk wanita-wanita yang sudah tidak lagi cerias
mencerminkan kondisi-kondisi masyarakat hari ini –meskipun
suatu abad tentang berkampanye untuk persamaan.
Metode Ibsen
Mrs. Linde bukan satu-satunya peran yang menerangi Nora.
Ibsen juga mengungkapkan aspek tokoh Nora melalui dua
bagian kecil yang lain, Krogstad dan Dr. Rank. Ia menggunakan
tokoh-tokoh untuk mencerminkan bawah sadar satu sama lain.
Ibsen diilhami sejumlah penulis lain di Denmark, terutama sekali
Karen Blixen. Pertanyaan inti drama itu adalah apakah keluarga
Helmer dapat tinggal bersama-sama, apakah meninggalkan Nora
atau tidak, tetapi apakah mereka sebagai individu akan mampu
dijadikan orang-orang utuh dan menyembuhkan berbagai
kepribadian mereka yang terbelah dengan pengertian yang
mendalam ke dalam motivasi-motivasi mereka sendiri yang
tersembunyi. Tidak satu pun dari tokoh-tokoh Ibsen menyatakan
ada. Mereka yang dilukiskan kelihatannya kebanyakan naif,
kebanyakan menghitung seperti pada kasus Nora.
Krogstad adalah laki-laki yang dapat menangkap orang-
orang yang tersangkut dan mencoba mendapat keuntungan dari
keadaan sulit. Krogstad mengenal di mana kelemahan Nora.
Krogstad, sangkutan Nora yang sedang menggantung,
menunjukkan hukum masyarakat yang formal, yang tidak
memperhatikan hukum manusia yang lebih dalam berkenaan
Serpihan Sastra 85
dengan hidup mati –hukum bahwa Krogstad tunduk kepada
dirinya. Akankah Nora menyelamatkan jiwa ketika dia
mengamankan milik suami? Kewajiban moral ini belum
diformalkan. Hukum itu tidak terkait dengan motivasi-motivasi
dan seperti itu merupakan suatu hukum sangat dungu. Nora
dan Krogstad adalah komplotan, kedua-duanya di tepi jurang
yang dalam sekali, kedua-duanya kemungkinan bunuh diri.
Siapa yang menggerakkan mereka? Siapa yang mengendalikan
reputasi?
“Teroris domestik”
Helmer memberi suatu nama kepada kejahatan Nora dan
mengenalkannya untuk menjadi jenis “teroris domestik”.
Seseorang yang menempa suatu tanda tangan menyebar ke
seluruh kehidupan rumah dan meracuni anak-anak. Peracunan
seperti itu secara umum adalah kesalahan dari ibu. Para ayah
menunjukkan hukum formal. Dengan kesadaran hukum kita
yang feminin ditarik ke dalam suatu tanah lapang masa lampau.
86 Abdul Hamid
“Hampir semua pemuda yang menjadi tidak bermoral pernah
berbaring pada para ibu,” Helmer menyimpulkan.
Ia adalah uap-uap dari rawa masa lampau ini karena
Nora dapat merasakan pada awal berbuat sesuatu –dia
merasakan sedang mendekati orang-orang yang bisa
membahayakan dirinya dan orang lain, tempat mereka tidak lagi
mengenal diri. Helmer digunakan untuk cemburu ketika Nora
menyebutkan orang-orang yang telah menyukai punggung di
rumah. Nora telah memotong dirinya dari latar belakangnya
untuk berkait dengan ruang borjuis, idaman dari rumah boneka
itu. Satu-satunya mata rantai dengan dunianya sendiri adalah
perawat tuanya, Anne-Marie, tetapi perawatnya juga suatu
pengingat karena dia masih seorang anak. Dan ini merupakan
seorang anak terbaik dalam lapisan feminin dari rumah boneka
itu, yang dirampas semua kuasa tanggung jawab dan
pengambilan keputusan. Dia bahkan tidak memilih seragam
pakaian untuk fancy-ball-nya sendiri. Torvald pernah
memilikinya yang dibuat ala Italia, dan Torvald telah
memutuskan bahwa dia akan memakainya saat pesta pakaian
fancy-ball mendatang, ketika ia memutuskan akan melaksanakan
tarian Italia sebagai nelayan Neapolitan. anak perempuan. Untuk
Manager Bank Tabungan itu adalah juga berbakat musik; ia
memainkan piano dan mempedulikan seni tari balet. Dan ia
dapat menggambarkan perbedaan estetik sulam-menyulam dan
merajut.
Serpihan Sastra 87
cahaya bulan untuk suaminya. Tetapi, dia mempunyai utang
yang harus dibayar. Di dunia luar, dia berutang uang kepada
Krogstad, dan dia mempunyai utang yang harus dibayar kepada
masyarakat karena kejahatannya. Tetapi di atas semuanya, dia
mempunyai kewajiban pada dirinya untuk hidup menurut
kebenarannya sendiri. Drama itu bisa mempunyai akhir yang
berbahagia jika Torvald merupakan bagian dari rencana kerja.
Tetapi amat sayang, ia tidak. Nora mengira bahwa ia akan
bergabung dengannya pada sisi kebenarannya. Karena itu,
dengan cara mereka diceraikan, rumah mereka telah (secara
moral) rusak dengan mengabaikan berapa banyak silang sembur
tersinari.
Sahabat keluarga Dr. Rank adalah bayangan lain Nora.
Melalui sifat yang paling hakiki penyakitnya, ia mengajukan
pertanyaan-pertanyaan tentang psikologis dan sosiologis naluri
seksual, dan mengira disolusi makhluk bagian dalam. Hasil
diagnosisnya adalah pailit.
Nora dan Dr. Rank berbagi nasib dari makhluk yang
dijatuhi hukuman oleh tindakan-tindakan lain. Nora akan pergi
ke penjara untuk menyelamatkan hidup suaminya. Dr. Rank
akan membayar kelebihan-kelebihan ayahnya dengan nyawanya
sendiri. Untuk Dr. Rank, ayah terlalu gemar akan asparagus, fois
gras, truffles, tiram-tiram, angur, dan sampanye.
Dr. Rank mengetahui, sebagaimana Nora juga, bahwa
Helmer tidak bisa melanggar kebenaran di balik penglihatan, dan
karena itu ia harus mencegah tempat tidur sahabatnya yang sakit,
segera untuk menjadi ranjang orang mati. Kita mestinya tidak
menyingkirkan kepalsuan hidup seseorang, tetapi ini adalah apa
yang selalu dikerjakan Ibsen. Dan keceriaan di rumah boneka
bukanlah hanya hidup Nora. Ada lebih dibandingkan nyanyian
burung dan pakaian fancy-ball. Ada juga daya tarik keluarga
sahabat yang erotik sejati ini dengannya, yang dia pilih untuk
menginterpretasikan sebagai kasih sayang yang bebas bahaya.
Meskipun demikian, dia mempertimbangkan kemungkinan
minat pemanfaatannya untuk membayar uang muka angsuran
lain pinjaman dari Krogstad.
88 Abdul Hamid
Hentakan dari genius
Kembali ini adalah suatu hentakan dari genius Ibsen. Nora tidak
lebih baik daripada Helmer ketika datang kepada kepalsuan
hidup. Dan Nora juga menemukan keamanan. Mengapa Nora
menyelamatkan hidup suaminya? Apakah alasan yang riil bahwa
dia ingin meneruskan figur ayah yang berwibawa akan
melindunginya dari keinginan-keinginannya sendiri yang benar
dan menghancurkan derita? Ketika kita mencoba untuk
menyeimbangkan memegang buku tentang kasih, kita melihat
bahwa ada satu unsur kewajiban di dalam perasaan Nora untuk
suaminya. Dia takut akan suami, dia memerlukan suami karena
kepala keluarga, tetapi di sana tidak banyak kesenangan
dilibatkan. Ia, sebaliknya, menginginkan rahasianya, perempuan
kecilnya, boneka cantiknya.
Dapatkah rumah boneka itu mengakomodasi situasi
baru? Nora menari sedikit tarian Italia terlalu dengan mudah. Dia
mengungkapkan bahwa di bawah gambaran keceriaan ada
burung buas. Kinerja suksesnya memberi kendali merdeka
kepada corak erotisnya, yang juga suatu tarian kematian. Nora
dan Dr. Rank sudah menjadi musuh Jerman PD I, dan bersama-
sama mereka sudah menari ke dalam kerajaan kematian. Dia
kembali jatuh pada perkembangan suaminya dan adalah jauh
lebih memperhatikan apa yang mereka kerjkan –dia dan dokter–
di pesta pakaian fancy-ball berikutnya, dokter menjawab bahwa
ia akan mengenakan “Topi yang Takkelihatan.”
Serpihan Sastra 89
Helmer menyadari bahwa dokter penting baginya dan
kebahagiaan Nora. Mungkin saja itu karena sahabat keluarga
mereka membuatnya mungkin untuk Mr. dan Mrs. Helmer
hidup bersama-sama. Mereka sedang ditarik semakin dekat
kepada krisis, kepada tepi jurang yang dalam sekali, tempat
rumah boneka itu dalam bahaya roboh seperti rumah-rumahan
kartu. Di sini “mukjizat” terjadi.
“Aku sering kali mempunyai keinginan bahwa anda bisa
terancam oleh beberapa bahaya sehingga aku bisa mengambil
risiko segala hal yang aku punyai –bahkan hidup saya –untuk
menyelamatkan anda.”
Ini adalah satu garis penunjuk Helmer. perubahan
pakaian Nora setelah pesta pakaian fancy-ball menunjukkan
hubungan perkawinan mereka. Kebenaran-kebenaran
diperlihatkan.
Helmer sesungguhnya telah menjaga bagian kontrak
keluarga borjuis, dan ia berniat untuk melakukannya di masa
datang. Nora akan meninggalkan pasangan anak perempuannya,
dan ia mau seorang ayah untuknya. Ia mau suara hatinya. Ia
adalah Nora yang pecah kontrak, dan mulai sekarang harus
mengira tanggung jawabnya akan suara hati dan dirinya.
Kesadaran diri sendiri Nora yang baru membawanya ke
dalam kontak dengan aspek maskulin dirinya, dan dia
memutuskan untuk meninggalkan lapisan kekanak-kanakan
keluarga, kecenderungan-kecenderungan dan atraksi-atraksinya
yang represif.
Pertanyaan kekal
Bagaimana mungkin siapa pun yang berkembang di dalam suatu
keluarga? Ini adalah pertanyaan yang kekal. Seperti halnya
Helmer, Nora telah mencita-citakan “mukjizat”, suaminya akan
kelihatan sebagai ksatria di dalam baju besi bersinar dan
pertolongan dari dunia nyata. Mukjizat itu akan sesungguhnya
adalah Torvald mengorbankan hidupnya, kehormatannya, untuk
Nora.
Tetapi Torvald telah mengungkapkan dengan segera
kemarahan itu dan hal yang sama Nora telah mengharapkan ia
akan bertindak seperti seorang manusia, ia tidak. Dan yang
barangkali hal paling mengesankan sekitar pernikahan.
90 Abdul Hamid
“mukjizat” akan menjadi kemampuan untuk mengalahkan
kekecewaan-kekecewaan yang kumat
Serpihan Sastra 91
tokoh kompleks dan berjalin antara mereka ke dalam pabrik-
pabrik yang kompleks karena tidak ada orang yang sungguh
mampu menguraikan benang yang terpilin.
92 Abdul Hamid
MITOS
Serpihan Sastra 93
mitos langsung, penulis beradaptasi ke pertimbangan tentang
munculnya realisme lebih besar.
Suatu konsep mitos yang berbeda diselidiki oleh Roland
Barthes. Di dalam Mitologi (1957), ia menguji mitos itu atau
artefak budaya tentang kebudayaan masal Perancis, menulis,
olah raga, film, iklan, dan makanan. Mengenai bahasa bukan
sebagai suatu sarana komunikasi transparan, tetapi sebagai alat
penindasan oleh kaum borjuis, dibantah Barthes karena bahasa
menguatkan suatu ideologi tertentu. Mempelajari berbagai teks,
Barthes mengembangkan suatu mode pembacaan paradoksikal.
Di dalamnya, pembaca harus mencari sampai menemukan
dongeng atau makna baru terasing dengan logika permukaan
bahasa suatu teks. Pembaca harus “belajar meninggalkan” nilai
sosial tradisional yang sudah tampak “alami” dan harus
memperoleh kembali perspektif yang lebih pluralistik.
Karena itu, di dalam mitos masalah kepercayaan
menduduki tempat yang penting. Berg (1974:7) mengatakan
bahwa mitos adalah seperangkat linguistik yang memasyarakat,
yang dapat dipertentangkan dengan seperangkat linguistik lain
yang tidak memasyarakat. Dalam kata memasyarakat, terdapat
proses “menetapkan.” Penetapan ini baru akan terjadi jika ada
kepercayaan. Kepercayaan itu, menurut Berg, adalah kesediaan
kita untuk menerima nilai tertentu dan meneruskannya kepada
pihak lain. Dalam penerimaan, masalah kebenaran bukanlah
pertimbangan. Hal ini berlaku universal. Berg memberikan
perbandingan antara seorang murid di Jawa pada masa lalu dan
di Amerika. Anak Jawa percaya pada perkataan gurunya bahwa
“Bharada terbang untuk menentukan batas wilayah Erlangga”
sama dengan kepercayaan anak Amerika bahwa “bumi berputar
pada sumbunya dan mengelilingi matahari.”
Jadi, sebagaimana dikemukakan Barbour (1974:20-23),
Kennedy (1987:627), dan Encyclopedia Encarta, masalah dalam
mitos bukan salah atau benar, melainkan sesuatu yang berguna
untuk memenuhi fungsi-fungsi sosial yang penting seperti
mengembangkan integritas masyarakat, memadukan kekuatan
bersama untuk solidaritas sosial, identitas, kelompok, alat kontrol
sosial, dan harmonisasi komunal. Salah satu contoh adalah mitos
Dipati Ukur bagi masyarakat Sunda. Ekadjati (1982:69)
mengatakan bahwa tokoh Dipati Ukur sampai sekarang (1982)
94 Abdul Hamid
masih aktual sebagai keturunan bupati. Masyarakat yang
mengagumi tokoh tersebut memujanya sebagai mitos, seorang
tokoh yang dikeramatkan. Mereka juga meyakini bahwa tokoh
ini juga merupakan nenek moyangnya. Pemitosan ini telah
menimbulkan sikap solidaritas sosial dan integritas bagi
kelompok masyarakat yang bersangkutan.
Dapat disimpulkan di sini bahwa mitos merupakan cerita
yang kebenarannya tercipta karena ada kepercayaan yang
tertanam pada masyarakat terhadap cerita yang dimaksud.
Selanjutnya, kepercayaan itu berpengaruh pada pola perilaku
dan pandangan hidup masyarakat. Sebuah cerita terjadinya
sesuatu, misalnya cerita Gunung Tangkuban Perahu dengan
tokoh Sangkuriang dan Dayang Sumbi, di Jawa Barat, telah
membentuk kepercayaan tertentu bagi sebagian masyarakat
Sunda.
Serpihan Sastra 95
Dengan demikian, terdapat relasi kuat antara sastra dan
mitos. Hal ini dapat dilihat bahwa karya sastra bisa menciptakan
mitos; dan sebaliknya, mitos hadir dalam karya sastra. Keadaan
tersebut terjadi karena sastra dan mitos merupakan ekspresi
tentang suatu realitas masyarakat pada zaman tertentu. Sastra,
sebagaimana telah banyak diungkapkan, merupakan cermin
realitas dan karena itu dikatakan pula sastra tidak lahir dari
kekosongan melainkan lahir dari realitas dan budaya tertentu.
Pada pihak lain, sebagaimana dinyatakan Umar Junus (1981:84),
realitas dikuasai oleh mitos. Sikap kita terhadap sesuatu
ditentukan oleh mitos yang ada dalam diri kita. Mitos ini
menyebabkan kita menyukainya atau membencinya.
Dalam karya sastra klasik Indonesia, antara karya sastra,
mitos, dan juga sejarah sulit dibedakan. Ekadjati (1978:1)
mengatakan bahwa dari sudut sastra, babad yang dianggap
sebagai sumber sejarah adalah karya sastra. Mitos tentang
terjadinya suatu daerah seperti Gunung Tangkuban Parahu,
tokoh terkenal seperti Hang Tuah, raja-raja besar seperti Air
Langga pada dasarnya banyak terdapat dalam sumber yang
disebut karya sastra tersebut.
Pada sisi lain, dalam karya sastra modern keeratan
hubungan sastra dengan mitos juga tampak. Dalam buku yang
sama, Junus (1981:84) mengatakan bahwa suatu karya sastra,
terutama sebuah cerita, mungkin novel, drama, dan cerpen –
kalau kita berbicara tentang sastra modern – adalah mitos. Dalam
hal ini dia mengatakan bahwa karya sastra bertugas
mengukuhkan sesuatu (= myth of concern) dan bisa juga
merombak sesuatu (= myth of freedom). Untuk myth of concern,
Junus menunjuk hikayat sebagai contoh dan untuk myth of
freedom menunjuk naskah drama Puti Bungsu karya Wisran Hadi.
Karya yang dipilih sebagai objek penelitian didasarkan
pada pertimbangan-pertimbangan berikut:
Pertama, dapat dipandang memiliki nilai kesastraan yang relatif
tinggi dan patut diapresiasi atau diteliti;
Kedua, secara ketandaan merupakan aktualisasi pengalaman
lahir batin pengarang sehingga tampak banyak gejala
sosiopsikologis yang mewakilinya.
96 Abdul Hamid
Ketiga, merupakan hasil transformasi dari situasi sosial budaya
zamannya yang diolah pengarang melalui kreativitas seninya.
Keempat, memperlihatkan ragam tanda yang unik sehingga
diperlukan kejelian dan kemampuan analisis ketika
memahaminya.
Keempat pertimbangan tersebut mengimplikasikan
adanya fenomena unik yang menarik untuk dikaji. Fenomena
yang dimaksud adalah adanya tegangan antara hal-hal yang
normatif dengan peristiwa di luar norma dapat dipandang
sebagai tanda-tanda yang perlu dibongkar maknanya. Untuk
sampai pada sasaran tersebut, perlu diikutkan beberapa aspek
yang berperan dalam keseluruhan sistem sastra dengan
pendekatan yang menunjang.
Berkaitan dengan persoalan tersebut, Teeuw (1983b:15)
menyatakan bahwa untuk memahami karya sastra, pembaca
harus menguasai berbagai sistem kode: kode bahasa, kode
budaya, dan kode sastra. Karya sastra merupakan sistem tanda
integral yang memiliki konvensi bahasa tersendiri di luar kaidah
kebahasaan umumnya. Untuk membongkar makna keseluruhan
karya sebagai sistem tanda, digunakan pendekatan semiotik.
Pendekatan ini didasarkan pada pengertian bahwa
menginterpretasi karya sastra dengan tujuan menemukan makna
melalui tanda-tanda kebahasaan dalam suatu proses signifikansi
dan komunikasi merupakan kerja semiotik.
Semiotik
Semiotik atau semiologi berasal dari bahasa Yunani,
semeion, yang berarti ‘tanda’. Semiotik merupakan istilah yang
populer di Amerika, sedangkan semiologi populer di Perancis.
Sejalan dengan etimologinya, semiotik merupakan ilmu yang
berkaitan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang ada
relasinya dengan tanda seperti sistem tanda dan proses yang
berlaku bagi penggunaan tanda. Semiotik sebagai ilmu
dipelopori oleh dua orang terkenal dari satu zaman, yakni
Charles Sanders Peirce (1834-1914) dan Ferdinand de Saussure
(1857-1913).
Tanda dianggap sebagai temuan manusia yang paling
penting yang dapat menjembatai subjek dan objek. Tanda (signs)
Serpihan Sastra 97
sebagai sesuatu yang tampil untuk hal lain atau aliquid stat pro
aliquo. Menurut Saussure, sebuah tanda adalah sebuah hubungan
manasuka (arbitrer) antara penanda (signifier) dan yang ditandai
(signified). Berbeda dengan tokoh tersebut, Peirce mendefinisikan
tanda dalam konsep ketigaan (triadic). Menurut Peirce, sebuah
tanda adalah suatu hal yang mewakili (stand for) sesuatu yang
disebut objek (called is object) yang dengan cara tertentu
menghasilkan tanda lain (its interpretant). Tanda dalam
pandangan Peirce adalah sesuatu yang hidup dan dihidupi
(cultivated). Ia hadir dalam proses interpretasi (semiosis) yang
mengalir. Dengan perkataan lain, dalam semiotik struktural
Saussure, makna didapat dari perbedaan atau kontras difference,
sedangkan dalam pandangan Peirce makna didapat dari proses
dan keterhubungan (Halton dalam Christomy, 2001).
Tampak bahwa dalam mendefinisikan tanda, Peirce
beranjak dari logika, sedangkan Saussure melandaskan bahasa
bagi definisinya. Kenyataan ini, menurut Zoest (1993:1),
menyebabkan semiotik memiliki dua aliran, yakni aliran Peirce
tidak mengambil contoh dari ilmu bahasa dan aliran Saussure
menganggap ilmu bahasa sebagai pemandu, guru, atau pengajar.
Dalam tesis ini semiotik yang digunakan adalah semiotik
gagasan Saussure yang kemudian dikembangkan oleh Roland
Barthes. Sebagai konsekuensinya, semiotik Peirce tidak akan
dijelaskan lebih lanjut. Pada pihak lain, gagasan Saussure pun
hanya akan disinggung dalam posisinya sebagai basis bagi
Roland Barthes dalam mengembangkan semiotik.
Menurut Saussure (Zaimar, 1991:21), bagian terpenting
dari analisis yang dilakukannya adalah tanda-tanda linguistik
karena bahasa sebagai sistem tanda yang paling lengkap. Ada
kemiskinan sistem dalam tanda-tanda lain selain dalam bahasa,
dan untuk masuk ke dalam semiotik sering kita harus melalui
ilmu bahasa. Lebih lanjut Saussure menjelaskan sebagai berikut:
Bahasa adalah sistem tanda yang mengungkapkan
gagasan, dengan demikian dapat dibandingkan dengan
tulisan, abjad orang-orang bisu-tuli, upacara-upacara
simbolik, bentuk sopan santun, tanda-tanda kemiliteran,
dan lain-lain. Bahasa hanyalah yang paling penting dari
sistem-sistem ini. Jadi, kita dapat menanam benih suatu
ilmu yang mempelajari tanda-tanda di tengah-tengah
98 Abdul Hamid
hidup kemasyarakatan; ia akan menjadi bagian dari
psikologi umum; akan kami namakan semiologi (dari
bahasa Yunani semeion yang berarti ‘tanda’). Ilmu ini
akan mengajarkan kepada kita terdiri dari apa saja tanda-
tanda itu, kaidah mana yang mengaturnya. Karena ilmu
itu belum ada, kita belum dapat mengatakan bagaimana
ilmu itu; tetapi ia berhak hadir, tempatnya telah
ditentukan lebih dahulu. Linguistik hanyalah sebagian
dari ilmu umum itu, kaidah-kaidah yang digunakan
dalam semiologi akan dapat digunakan dalam linguistik
dan dengan demikian, linguistik akan terikat pada suatu
bidang tertentu dalam keseluruhan fakta manusia.
Signifikasi
Signifikasi adalah teori pemaknaan yang dikembangkan
Roland Barthes dari teori Saussure tentang dikotomi signifiant
Serpihan Sastra 99
(penanda) dan signifie (petanda). Menurut Saussure, bahasa
sebagai sistem tanda terdiri atas dua aspek yang tidak
terpisahkan, yakni penanda dan petanda. Penanda adalah aspek
formal atau bunyi pada tanda, sebuah citra akustis, sedangkan
petanda adalah aspek makna atau konsep. Kesatuan penanda
dan petanda disebut sebagai tanda. Relasi tersebut sekaligus juga
menunjukkan bahwa jika citra akustis berubah, berubah pula
konsepnya. Begitu pula sebaliknya. Berdasarkan hal itu, Saussure
kemudian mengatakan bahwa bahasa merupakan bagian
terpenting dalam sistem tanda.
Pandangan Saussure tersebut kemudian dikembangkan
Roland Barthes menjadi teori pemaknaan (signifikasi). Dalam
bukunya, Mythology, Barthes menjelaskan signifikasi dengan
melakukan pengkajian terhadap mitos. Pada bagian terakhir
bukunya dengan subjudul Myth Today (1993: 109-159), Barthes
membahas mitos secara khusus. Menurut dia, mitos merupakan
sebuah tipe ujaran (parole). Di dalam mitos selalu muncul tiga hal
secara bersamaan, yaitu penanda, petanda, dan tanda. Berikut ini
merupakan skema proses terjadinya mitos melalui pemaknaan
sekunder.
1. penanda 2. petanda
3. tanda
II. PETANDA
I. PENANDA
III. TANDA
DAFTAR PUSTAKA
3. “Elmu Susastra”. Mangle No. 77, taun VII, Maret 1964, kaca
30
Esai ini dimuat ketika MRK menjadi redaksi majalah
Manglé. Pada prinsipnya dia tidak sependapat dengan adanya
penelitian karya sastra dengan dasar-dasar ilmu. Bahkan,
menurut MRK ilmu sastra itu hanya mengada-ada, namun dia
tidak memberikan cara baru bagaimana menilai atau meneliti
karya sastra. Sebagaimana terbaca dalam kutipan, MRK berani
menentang pendapat William Hudson bahkan merendahkannya
bahwa kritik ilmiah Hudson jauh dari ilmiah, padahal
keberadaan Hudson telah diakui para ahli sastra. Dia menolak
ilmu sastra karena dianggapnya sulit.
Wiliam Hudson dina bukuna A Study of Litterature
ngabagi kritik sastra jadi tilu: 1) kritik nangtukeun
pangajén, 2) kritik napsirkeun, 3) kritik ilmiah, (judicial,
interpretative jeung scientific). Tapi masing disebut ilmiah
ogé, kritik ilmiah Hudson jajauheun tina kritik sacara
ilmiah nu dimaksud ku urang di dieu, nya éta kritik nu
maké dasar-dasar jeung ukuran-ukuran nu sacara ilmiah
geus ditangtukeun saméméhna, ditangtukeun jeung
ditarima.
Écés: hésé, malah pamohalan, ayana élmu susastra
téh.
Kaayaan kieu, mawa akibat nu henteu leutik:
pamadegan urang ngeunaan hiji hasil sastra henteu bisa
ditangtukeun ku batur. Pamadegan tetep subyéktip.
Sualna mah, kumaha jalanna ngaronjatkeun pamadegan
éta kana tahapan semesta atawa universal.
SIMPULAN
MRK menyatakan bahwa seni klasik suatu daerah bisa
dihargai oleh daerah lainnya, asalkan purbasangka dan
keangkuhan kedaerahan atau kesukuan sudah tidak berperan
lagi, bahkan oleh bangsa yang lain, termasuk bangsa barat yang
modern itu. Pada pihak lain, MRK menyatakan bahwa
penerjemahan ungkapan mengangkat bahu adalah perbuatan
biadab. Lebih biadab lagi dengan mengangkat pundak karena
pundak berasal dari bahasa Jawa. Pemikiran kontradiksi seperti
ini yang mengundang kontroversi.
Menurut MRK, seni dan sastra adalah terhormat, mulia,
luhur, malahan juga suci. Seni dan sastra adalah nilai kehidupan,
nilai kebudayaan. Lebih dari yang lain, seni dan sastra
merupakan inti suatu kebudayaan.
MRK menyindir mau dibawa ke mana peradaban kita,
apakah mau mentah-mentah menelan kebudayaan Barat atau
mau menyaringnya. Pendapatnya ini sebenarnya merupakan
ulangan dari beberapa esainya. Ini pula yang menjadi keunikan
MRK yang selalu menyarankan bahwa kita jangan hanya meniru-
niru Barat dalam hal kebudayaan. Tidak disadarinya dia sering
memberikan contoh bacaan dari Barat. Ini juga yang
mengundang pertentangan dengan berbagai pihak.
MRK selalu memuji dan kagum kepada orang non-Sunda
yang mencintai Sunda. Karena itu, MRK mempertanyakan
adakah orang Sunda yang mau bergabung dengan etnik lain. Di
sinilah gagasan kebangsaan MRK jelas sekali. Dia menginginkan
ada orang Sunda yang menghargai etnik lain. Namun, tidak
ditemukan adanya data yang menyatakan MRK mencintai
kebudayaan etnik non-Sunda.
TOPENG
untuk Danarto
/1/
Ia gemar membuat topeng. Dikupasnya
wajahnya sendiri satu demi satu
dan digantungkannya di dinding. “Aku
ingin memainkannya,” kata seorang sutradara.
/2/
“Di mana topengku?” tanyanya, entah kepada
siapa. Dalam kamar rias: cermin retak, pemerah
pipi, dan bedak berceceran di mana-mana;
dan tak ada topeng. “Di mana
/3/
Tapi topeng tak boleh menjelma manusia;
ia, tentu saja, hafal sabda raja
dan sekarat hulubalang. Ia kenal benar sorot mata
dan debar jantung penonton. Ia, ya Allah,
1985
Penggantian Arti
Penggantian arti disebabkan oleh metafora dan
metonimi. Yang dimaksud dengan metafora dan metonimi
adalah bahasa kiasan pada umumnya, yaitu simile
(perbandingan), metafora, personifikasi, sinekdoki, dan
metonimi. Penggantian arti dapat disimak sebagaimana uraian di
bawah ini.
Dalam bait pertama terdapat kiasan berupa metafora: Ia
gemar membuat topeng. /Dikupasnya /wajahnya sendiri satu demi satu
/dan digantungkannya di dinding. “Aku /ingin memainkannya,” kata
seorang sutradara. Metafora yang terdapat dalam bait tersebut
mengiaskan kegemaran seseorang membuat kepalsuan perilaku.
Dia membuka berbagai macam kepalsuan perilaku dan
menyimpannya untuk digunakan/dimainkan dalam dan untuk
keperluan tertentu sesuai dengan perannya pada waktu tertentu
pula.
Adanya penggantian arti di samping melalui metafora,
juga melalui gaya perbandingan seperti digunakannya kata
“topeng”, “wajah”, dan “lakon” yang berulang serta kata-kata
Pembacaan Heuristik
Pembacaan heuristik ini adalah pembacaan menurut
sistem bahasa, menurut sistem tata bahasa normatif. Puisi ditulis
secara sugestif, hubungan antarbaris dan baitnya bersifat implisit.
Hal ini disebabkan oleh puisi itu hanya mengekspresikan inti
gagasan atau pikiran. Oleh karena itu, hal-hal yang “tidak perlu”
tidak usah dinyatakan. Ada awalan dan akhiran yang
Jeihan saya ‘kenal’ sejak tahun 1970-an. Setiap hari saya pergi dan
pulang sekolah selalu melewati rumahnya di Gang Masjid.
Cicadas. Bandung. yang berjarak sekitar 1 km dari rumah orang
tua saya di Sukarisi (sekarang Sukakarya, belakang Borma
Antapani). Rumah kecil dan sederhana Jeihan terbuat dari papan
bercat putih. Di dinding luarnya terdapat lukisan hitam yang
tidak saya mengerti. Karena lukisan itulah, kemudian saya tahu
bahwa itu adalah rumah Jeihan, rumah pelukis. Pelukis sengsara.
Lalu, beberapa tahun kemudian berubah total menjadi pelukis
kaya raya. Jeihan pun pindah ke Padasuka, sekitar 5 km dari
Cicadas. Tahun 1979 saya berkenalan lagi di Fakultas Sastra
Unpad dengan Jeihan sebagai tokoh Puisi Mbeling. Tahun 2009
kembali berkenalan dengan beliau lewat buku puisinya yang
ditafsiri sahabat medoknya sejak SMA: Sapardi Djoko Damono.
Subhanallah, enak betul ketika pertama kali saya melihat buku
Jeihan, Gambar, Bunyi. Latar sampul buku abu-abu, dihiasi sketsa
Jeihan Sukmantoro. Lalu tulisan tangan nama Jeihan warna putih,
kata gambar dicetak lebih tebal daripada kata bunyi. Warna putih
melambangkan kesucian atau kesempurna-an. Nama dan kata
memakai huruf kapital semua. Berdasarkan konvensi, abu-abu
bisa ditafsirkan mendua. Kenyataannya, Jeihan memang mendua:
perupa dan pepuisi (kata lain untuk penyoksigen. Pepuisi orang
yang berprofesi mencipta puisi; pemuisi orang yang iseng
mencipta puisi). Secara konvensi juga hal itu ditegaskan dengan
kata gambar yang divisualkan lebih tebal daripada kata bunyi.
Kenyataan pula, Jeihan lebih berat berkecimpung dalam seni
rupa daripada seni bunyi (kata). Karena itu, saya tertarik untuk
berkenalan lebih jauh dengan puisi-puisi Jeihan.
Ada 39 puisi yang dimuat dalam buku tersebut. Ada
semacam pengantar yang dituliskan dengan tafsir dari Sapardi
Djoko Damono di dalam buku ini. Buku ini diawali dengan puisi
berjudul ”Buat Kau D. Sudiana” dan diakhiri dengan ”Syukur
dan Tafakur”. Mari kita nikmati dan kita dalami puisi Jeihan.
”Buat Kau D. Sudiana” bisa dipastikan ditujukan kepada
karikaturis yang juga dosen tetap Fikom Unpad, dosen luar biasa
dan