Anda di halaman 1dari 152

serpihan sastra

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta


Lingkup Hak Cipta
Pasal 2
1. Hak cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan
atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan
tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan Pidana Pasal 72:


1. Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud da-
lam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara mas-
ing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu
juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada
umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/ atau
denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
serpihan
Seduhan
sastra
Bahasa
Abdul Hamid
Abdul Hamid
SERPIHAN SASTRA

Copyright @2017, Abdul Hamid

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang.


Dilarang mengutip atau meperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku tanpa izin tertulis dari Penerbit.

Cetakan ke-1, Februari 2017


Diterbitkan oleh Balatin Pratama
Jln. Sukagalih No. 39, RT 04/ RW 04, Kel. Sukabungah,
Kec. Sukajadi, Kota Bandung 40162
Telp. (022) 2036175
popups_balatin@yahoo.co.id

Editor: Abdul Hamid


Desain Sampul dan Tata Letak: Dani R. Hasanudin

Perpustakaan Nasional : Katalag Dalam Terbitan (KDT)

Abdul Hamid
Serpihan Sastra
--Cet. 1 – Bandung; Balatin Pratama; 2016
92 hlm.; 21 cm

ISBN 978-979-1361-69-9
I . Judul II. Abdul Hamid
KATA PENGANTAR

Ada empat jalan menuju kebenaran: agama, filsafat, ilmu, dan


sastra. Begitulah kata filsuf Aristoteles. Begitu pula buku ini disusun
sebagai pembelajaran menuju kebenaran melalui kesastraan. Tentu
saja kesastraan sebagai jalan keempat memiliki banyak perbedaan
dengan jalan ketiga dan kedua, apa lagi dengan jalan kesatu sebagai
kebenaran hakiki: agama. Namun, kesastraan tetap berhubungan erat
dengan ilmu, filsafat, dan agama karena di dalam karya sastra ter-
kandung nilai-nilai yang berkaitan dengan ketiga jalan itu.

Pembaca budiman, buku ini merupakan kumpulan artikel


yang berasal dari artikel yang dimuat di media massa dan juga hasil
diskusi dalam seminar. Selain itu, artikel lepas sebagai bahan perkuli-
ahan dan diskusi kelas. Karena itu, tema dalam buku ini berma-
cam-macam, begitu pula dengan teori yang digunakan dalam men-
ganalisis karya sastra. Tentu saja sebagai artikel, pembahasan yang
dilakukan pada setiap artikel mungkin saja tidak tuntas karena ket-
erbatasan ruang. Boleh dikatakan buku ini sebagai pengantar untuk
menikmati karya sastra. Walaupun begitu, mudah-mudahan buku ini
mendatangkan manfaat bagi kita semua, terutama bagi para pelajar
dan mahasiswa yang berminat pada kesastraan, dalam rangka menu-
ju kebenaran.

Serpihan Sastra v
vi Abdul Hamid
DAFTAR ISI

Kata Pengantar —v
Daftar Isi —vii
Absurditas dalam Novel Orang Asing Karya Albert Camus — 1
Al-Qur’an sebagai Teks Sastra? — 5
Beranjak dari Kata Masuki Makna, Selanjutnya Terserah Anda — 9
Catatan atas Karya Juniarso Ridwan dan Yessi Anwar:
Pengarang dan Karyanya — 17
Chairil Anwar dalam Sorotan Paul Ricoeur — 23
Hakikat Sastra Anak — 30
Lilin Bersinar di Gilli — 39
Malam Lebaran dalam Teropong Barthes — 47
Menguak Kebersalahan dalam Cerita Pendek Kurnia Effendi — 54
Menilai Karya Sastra Secara Objektif, Mungkinkah? — 59
Orang Malam dalam Bayangan Cinta:
Semacam Catatan untuk Semacam Soni — 64
Putri Cina: Perempuan dalam Sejarah, Mitos, dan Realita — 68
Refleksi Kesadaran Diri dalam Lelaki Tua dan Laut — 74
Rumah Boneka: Sumber Daya Pembangkit Rumah Manusia — 80
Mitos — 93
Esai-Esai Kebudayaan Sunda:
Tinjauan Kritis Mengenai Pemikiran Rustandi Kartakusumah — 104
Topeng Sapardi dalam Pandangan Riffaterre — 127
Warna Jeihan dalam Puisi — 135

Serpihan Sastra vii


viii Abdul Hamid
ABSURDITAS DALAM NOVEL
ORANG ASING KARYA ALBERT CAMUS

Albert Camus dan Absurditas


Albert Camus adalah salah satu tokoh filsafat pencetus teori
absurditas. Sebelum Albert Camus adalah Jean Paul Sartre dan
Heidegger yang memiliki paham sama tentang eksistensialisme.
Novel Orang Asing karya Albert Camus ini bercerita tentang
ketidakberdayaan seorang tokoh bernama Meursault dalam
menghadapi kehidupan. Akibatnya, apa pun yang terjadi
padanya dianggap tidak memiliki makna walaupun dia akan
dihukum mati sekalipun atas kesalahan yang tidak
dilakukannya. Sebenarnya makna dari keabsurdan cerita dalam
novel ini adalah ateis (atheis).
Pengarang novel ini menggunakan teori absurditas yang
pada saat itu perkembangan teori eksistensialisme dibicarakan
banyak orang. Sejarah mengatakan bahwa paham
eksistensialisme dianut oleh orang Jerman ketika terjadi Perang
Dunia II dan pada saat itu Jerman menjajah beberapa negara.
Negara-negara jajahan Jerman berharap Jerman dapat dikalahkan
dalam Perang Dunia II. Namun, kenyataan Jerman terus-
menerus menang dan inilah yang yang memacu Albert Camus
meragukan keberadaan Tuhan, bahkan ia menjadi ateis dengan
mencetuskan paham absurditas.
Dengan latar belakang itulah Albert Camus menggiring
tokoh Meursault dalam novel Orang Asing ke arah ateis yang
menjadi absurd. Karena tokohnya bersifat ateis, tokoh Meursault
diberi kebebasan untuk menentukan pilihannya sendiri,
menanggung risiko sendiri, dan bertanggung jawab atas
pilihannya sendiri juga, tanpa menghiraukan keberadaan Tuhan.
Dalam novel Orang Asing, Albert Camus sebagai pengarang
tampaknya mencoba membuktikan dan mengungkapkan
perasaannya melalui tokoh cerita sehubungan dengan peristiwa
yang terjadi pada zamannya. Tentu hal ini taklepas dari fungsi
sastra sebagai alat pengungkapan emosi pengarang dan
pembaca. Dengan perkataan lain, sebagaimana diungkapkan

Serpihan Sastra 1
Wellek dan Warren, fungsi sastra adalah untuk membebaskan
pembaca dan penulisnya dari tekanan emosi dan
mengekspresikan emosi berarti melepaskan diri darei emosi itu.
Pembahasan absurditas menafsirkan maksud pengarang
dalam teks dan data di luar teks sebab bagaimanapun isi cerita
tidak lepas dari latar belakang pengarang dan zamannya.
Luxemburg menyebut interpretasi semacam ini sebagai
interpretasi historis, yaitu penafsiran yang berusaha menyusun
kembali arti historis dengan berpedoman pada maksud
pengarang seperti tampak dalam teks dan data di luar teks.
Selain itu, usaha penafsiran dapat dilakukan dengan
menyusunkembali cakrawala harapan pembaca waktu itu.
Absurditas dianggap sebagai titik pemikiran
eksistensialisme yang dikembangkan oleh Albert Camus menjadi
filsafat tersendiri. Karena itu, muncullah filsafat absurdisme yang
tidak lain merupakan pengembangan dari pemikiran
eksistensialisme. Pemikiran Jean Paul Sartre menjadi landasan
kuat filsafat absurdisme ini. Makna absurd bisa bermacam-
macam. Namun, makna pokok dalam filsafat absurdisme adalah
kesia-sian dan ketakbermaknaan. Hidup adalah sia-sia. Hidup
adalah tanpa makna.
Penerapan paham absurditas dapat dilihat dalam novel
Orang Asing melalui tokoh protagonis Meursault. Meursault
bebas untuk membunuh atau tidak membunuh. Karena
membunuh, Meursault tidak berkeberatan dihukum mati.
Pendeta berkali-kali datang mengingatkan Meursault agar
mohon ampun kepada Tuhan. Namun, berkali-kali juga
Meursault menolak karena baginya Tuhan tidak ada. Dia
menjalani hukuman mati dengan tenang karena jika dia tetap
hidup, bagi dia hidup itu absurd, sia-sia, tiada makna. Karena itu,
dapat dikatakan bahwa Meursault merupakan penganut paham
ateis. Inilah yang membuktikan bahwa Albert Camus adalah
pencetus paham eksistensialisme yang berakar dari ateis yang
tidak percaya akan adanya Tuhan karena kekalahan negaranya
dalam perang melawan Jerman.
Konon, albert Camus sendiri menghubungkan paham
absurditasnya dengan cara bunuh diri. Dia beranggapan bahwa
orang bisa bunuh diri karena berpikir, yang menyebabkan krisis
batin. Albert Camus menyatakan bahwa ada banyak penyebab

2 Abdul Hamid
bunuh diri, dan pada umumnya yang paling jelas bukanlah
penyebab yang paling menentukan jarang orang bunuh diri
karena berpikir. Namun, praduga seperti itu tidak
dikesampingkan. Yang mencetuskan krisi batin itu hampir selalu
tidak dapat dikendalikan.
Selanjutnya, Albert Camus menjelaskan bahwa pokok
pembicaraan justru hubungan yang absurd dan bunuh diri.
Seberapa tepatnya bunuh diri merupakan suatu jalan keluar yang
absurd. Suatu keinginan yang sah bahwa orang bertanya-tanya
dengan jernih tanpa perasaan palsu. Apakah simpulan semacam
itu menuntut tindakan untujk meninggalkan suatu kondisi yang
tidak bisa dimengerti secapat mungkin. Untuk masalah bunuh
diri dikatakannya bahwa suasana itu membunuh bukan sekadar
bermain kata. Hidup di bawah langit yang menyesakkan ini
memaksa manusia untuk tetap tinggal atau keluar. Yang perlu
diketahui adalah bagaimana cara keluar dari hidup pada kasus
pertama, atau cara untuk tetap tinggal dalam hidup pada kasus
kedua. Begitulah Albert Camus mendefinisikan masalah bunuh
diri dan kepentingan yang dapat diberikan pada simpulan-
simpulan filsafat eksistensialisme.
Seseorang berusaha untuk keluar dari permasalahan
tanpa ada tanggung jawab untuk menyelesaikannya, dan
kemudian juga memilih masalah kedua yang tidak
diselesaikannya juga. Semakin lama, ketika ada ketakseimbangan
niat dan kenyataan yang ia hadapi, ia akan sampai pada titik
tertentu: akan mati pun ia tetap menganggap bahwa dunia ini
tanpa makna.

Meursault dan Ketakbermaknaan


Ketakbermaknaan hidup Meursault dirasakan olehnya bahwa
semua itu tidak ada artinya. Walaupun mempunyai seorang
teman yang sebenarnya baik hati, Meursault merasakan bahwa
semuanya biasa-biasa saja. Dia menganggap tidak ada yang
istimewa pada diri temannya. Begitu pula halnya dalam
hubungan pertemanan, tidak ada yang luar biasa. Semuanya
biasa-biasa saja.
Dua hari setelah kematian ibunya, Meursault mulai dekat
dengan seorang pria yang tinggal di lantai yang sama. Pria itu
tiada lain adalah Raymond. Mereka sering makan-minum

Serpihan Sastra 3
bersama dan saling bercerita tentang masalah masing-masing.
Begitulah hubungan pertemanan Meursault dengan Raymond.
Namun, tampaknya yang sering menjadi pembicara aktif adalah
Raymond, sedangkan Meursault sering hanyalah sebagai
pendengar yang tidak banyak memberikan tanggapan
memuaskan atas pernyataan Raymond.
“Aku tahu betul bahwa kau mengenal hidup.” Pada
mulanya aku tidak sadar bahwa ia berengkau-engkau
terhadapku. Baru ketika ia menyatakan padaku,
“Sekarang kau benar-benar seorang sahabat,” aku
menyadari hal itu. Ia mengulangi kalimatnya dan aku
mengatakan, “Ya.” Sama saja bagiku menjadi sahabatnya
atau tidak dan ia benar-benar nampak ingin menjadi
sahabat.” (hlm. 28).

Memiliki pekerjaan yang baik pun bagi Meursault merupakan hal


yang biasa-biasa saja padahal majikannya ramah dan jenis
pekerjaannya pun menyenangkan. Saat itu secara datar saja ia
menjawab pertanyaan majikannya tentang usia ibunya yang
meninggal.
“Hari itu aku banyak bekerja di kantor. Majikanku
bersikap baik. Ia bertanya apakah aku tidak terlalu lelah
dan ia juga ingin mengetahui umur ibu. Aku berkata,
“kira-kira enam puluh tahun” supaya tidak keliru dan
aku tidak mengerti mengapa ia nampak lega
menganggap bahwa itu merupakan soal yang selesai.”
(hlm. 21)

Meursault pun tidak menangis ketika ibunya meninggal


dan justru hal itulah yang menyebabkan para penghuni panti
jompo bertanya-tanya mengapa ia tampak tegar saat-sat seperti
itu. Bahkan, Meursault merasa tidak begitu kehilangan. Justru ia
yang berusaha meredakan tangis teman-teman ibunya

AL-QUR’AN SEBAGAI TEKS SASTRA?

Tahun 1978 almarhum H.B. Jassin sempat

4 Abdul Hamid
itu. Bahkan, Meursault merasa tidak begitu kehilangan. Justru ia
yang berusaha meredakan tangis teman-teman ibunya

AL-QUR’AN SEBAGAI TEKS SASTRA?

Tahun 1978 almarhum H.B. Jassin sempat


menghebohkan dunia penerjemahan Al-Qur’an dalam bahasa
Indonesia. Pasalnya, Hans Bague Jassin –yang lebih dikenal
sebagai kritikus sastra Indonesia– menganggap kitab suci Al-
Qur’an sebagai teks sastra, lalu menerjemahkan kitab suci itu
dengan cara puitisasi. Judulnya Al-Qur’anul Karim Bacaan Mulia.
Tentu saja kebaruan bentuk tersebut bikin murka para pemuka
agama Islam, terutama para penerjemah dan penafsir Al-Qur’an.
Protes beruntun menyerang Jassin. Inti protes: Jassin takpantas
menerjemahkan kitab suci itu karena dianggap banyak kesalahan
yang terkandung di dalam terjemahannya itu, baik ilustrasi
kaligrafi maupun tipografinya yang puitis. Apalagi pilihan
katanya, konon, banyak yang ngaco, yang dapat menyesatkan
umat. Polemik pun berlanjut. Bahkan di lembaga ilmiah seperti
Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran, pada tahun 1984 ada
skripsi yang mengkaji terjemahan Jassin dilarang dipublikasikan,
cukup sampai kepada penguji saja.
Ternyata H.B. Jassin tidak sendirian. Muhammad Ahmad
Khalafullah (Mesir, 1916 – 1997) pun, melalui disertasinya yang
berjudul Al-Fann al-Qashashî fî al-Qur’ân al-Karîm –yang
diterbitkan dua tahun kemudian setelah ia wafat– berpendapat
sama bahwa Al-Qur’an lebih merupakan teks sastra. Karya
Khalafullah itu diindonesiakan menjadi Al-Qur’an Bukan “Kitab
Sejarah”: Seni, Sastra, dan Moralitas dalam Kisah-Kisah Al-Qur’an
diterbitkan oleh Paramadina Jakarta tahun 2002. Dalam bukunya
ia mengkaji kisah-kisah yang ada dalam Al-Qur’an dengan
pendekatan sastra. Takurung, karena kebaruan cara, Khalafullah
pun mendapat kritikan tajam dari berbagai penjuru di
universitasnya.
Buku yang berasal dari disertasi ini terdiri atas dua
bagian. Bagian pertama berisi Kisah-kisah Sastra dalam Al-
Qur’an dan bagian kedua berisi Epilog oleh Khalil Abd al-Karim.
Bagian pertama terdiri atas Pengantar Penulis; Pendahuluan;
Pendekatan Metodologis; Bab I: Dimensi Sejarah, Sosial, dan
Teologis-Moralitas Kisah-kisah Al-Qur’an; Bab II: Kisah-kisah Al-
Qur’an dalam Perspektif Sastra; Bab III: Sumber-sumber Kisah
Al-Qur’an; dan Bab IV: Kepribadian Rasul dan Kisah-kisah Al-
Qur’an. Ada enam alasan mengapa Khalafullah –yang dididik
dalam lingkungan keluarga religius– memilih Al-Qur’an sebagai
Serpihan Sastra 5
objek kajian disertasinya.
Bagian pertama terdiri atas Pengantar Penulis; Pendahuluan;
Pendekatan Metodologis; Bab I: Dimensi Sejarah, Sosial, dan
Teologis-Moralitas Kisah-kisah Al-Qur’an; Bab II: Kisah-kisah Al-
Qur’an dalam Perspektif Sastra; Bab III: Sumber-sumber Kisah
Al-Qur’an; dan Bab IV: Kepribadian Rasul dan Kisah-kisah Al-
Qur’an. Ada enam alasan mengapa Khalafullah –yang dididik
dalam lingkungan keluarga religius– memilih Al-Qur’an sebagai
objek kajian disertasinya.
Pertama, menurut pengamatannya, Al-Qur’an dengan
hebatnya memanfaatkan unsur emosional dan psikologis yang
melekat dalam kisah sebagai salah satu senjata untuk berdebat,
berdialog, menyampaikan berita gembira, mengancam dan
sekaligus menjelaskan dasar-dasar dakwah Islam di samping
membesarkan hati Nabi Muhammad dan para sahabatnya.
Kedua, metodologi yang digunakan secara umum untuk
menafsirkan kisah dalam Al-Qur’an adalah pendekatan sejarah.
Artinya, kisah yang ada dianggap sebagai teks sejarah. Padahal,
untuk menangkap pesan kisah dari Al-Qur’an adalah dengan
membacanya sebagai teks keagamaan dan teks sastra yang
memiliki keindahan dan keistimewaan tersendiri.
Ketiga, kesatuan kisah yang diangkat dalam Al-Qur’an
kadang kala tidak menonjolkan kepribadian para rasul dan nabi.
Di dalamnya justru banyak menonjolkan materi kegamaan dan
pesan khusus seperti pesan sosial dan moral.
Keempat, Al-Qur’an jarang sekali menampilkan kisah
yang berhubungan dengan sejarah tertentu, bahkan sering
dengan sengaja menyembunyikan unsur sejarah dari suatu kisah,
baik waktu, tempat, maupun pelakunya.
Kelima, ada orang yang menolak untuk memosisikan
kejadian dan para pelaku kisah dalam Al-Qur’an sebagai
mukjizat yang harus disakralkan. Mereka menganggap kejadian
dan pelaku kisah sebagai bagian dari sejarah manusia yang
pernah terjadi. Maka muncul pertanyaan dari mereka: benarkah
kisah terjadi? Kapan? Di mana? Bagaimana? Padahal tujuan
utama pengisahan adalah sebagai peringatan, nasihat,
pengalaman, dan petunjuk yang harus diperhatikan.
Keenam, pada dasarnya pemahaman kaum orientalis
terhadap gaya bahasa dan teknik Al-Qur’an dalam
mengonstruksi kisah sangat lemah. Mereka juga kurang
memahami struktur dan kesatuan unsur sastra yang digunakan
Al-Qur’an dalam menceritakan kisah. Kelemahan tersebut pada
akhirnya mengantarkan mereka kepada kesalahan pendapat
yang fatal. Lebih bahaya lagi, mereka pun tidak mengenali
karakteristik materi kisah dan rahasia Al-Qur’an memilih kisah
untuk disajikan.
6 Abdul Hamid
Sebagaimana diakuinya, metode pendekatan sastra
dalam menafsirkan kisah-kisah yang terdapat dalam Al-Qur’an
mengonstruksi kisah sangat lemah. Mereka juga kurang
memahami struktur dan kesatuan unsur sastra yang digunakan
Al-Qur’an dalam menceritakan kisah. Kelemahan tersebut pada
akhirnya mengantarkan mereka kepada kesalahan pendapat
yang fatal. Lebih bahaya lagi, mereka pun tidak mengenali
karakteristik materi kisah dan rahasia Al-Qur’an memilih kisah
untuk disajikan.
Sebagaimana diakuinya, metode pendekatan sastra
dalam menafsirkan kisah-kisah yang terdapat dalam Al-Qur’an
masih tergolong baru dan belum pernah diterapkan. Melalui
pendekatan metodologis ini akan banyak terungkap dimensi seni
dan sastra yang dimiliki Al-Qur’an sebagai salah satu
kemukjizatannya. Dalam kajiannya ini, tampak Khalafullah
menentukan tiga langkah pendekatan sastra sebagaimana yang
dilakukan oleh Michael Riffaterre melalui semiotiknya.
Pertama, pengumpulan teks. Syarat mutlak sebuah studi
teks adalah adanya teks itu sendiri. Kedua, sistematisasi historis
atas teks: internal dan eksternal. Sistematisasi internal
memperlihatkan perkembangan naluri dan pemikiran penulis
atau perkembangan pengalaman seni dan aktivitas jiwa seninya.
Sistematisasi eksternal menguakkan posisi teks dalam
perkembangan umum sejarah sastra dan seni dilihat dari segi
hubungannya dengan karya sastra sebelum dan sesudahnya serta
peranan yang dimainkannya dalam dinamika sastra secara
global. Ketiga, interpretasi teks: pemahaman tekstual (harfiah)
dan pemahaman sastra. Pemahaman tektstual menurut
Khalafullah adalah pemahaman terhadap arti kata, susunan dan
bentuk kalimat, serta hubungan antarkata dan tanda-tanda
sejarah. Pemahaman sastra yaitu kemampuan mengapresiasikan
sisi logika, psikologis, dan seni yang dimiliki teks. Di sini seorang
penafsir dituntut untuk menentukan satu konstruksi teks-teks
dan interpretasi tertentu atas teks yang ia yakini kebenarannya.
Penafsir juga perlu mengetahui apa di balik konstruksi teks
dengan interpretasi tersebut.
Berkaitan dengan metodologi, Khalafullah memberikan
catatan penting bahwa sebenarnya kisah-kisah Al-Qur’an itu
memiliki tujuan metodologis yang perlu dan layak dipelajari
sebagai salah satu kajian sastra di bangku universitas.
Pada bagian penutupnya, Khalafullah memberikan
beberapa catatan yang menjadi tujuan pengkajiannya:
mengantarkan pembaca pada satu bentuk gagasan atau teori
yang akan membawanya kepada satu pemahaman komprehensif
berkenaan dengan pelbagai sikap dan perilaku negatif kaum kafir
dan musyrik terhadap kisah-kisah yang terdapat dalam Al-
Qur’an. Alih-alih teori ini merupakan solusi yang tepat untuk
menjawab problematika penafsiran teks kisah-kisah Al-Qur’an
Serpihan Sastra 7
yang dihadapi para penafsir klasik. Ujung-ujungnya, teori ini
akan dapat menjadi sebilah pedang metodologis untuk
Pada bagian penutupnya, Khalafullah memberikan
beberapa catatan yang menjadi tujuan pengkajiannya:
mengantarkan pembaca pada satu bentuk gagasan atau teori
yang akan membawanya kepada satu pemahaman komprehensif
berkenaan dengan pelbagai sikap dan perilaku negatif kaum kafir
dan musyrik terhadap kisah-kisah yang terdapat dalam Al-
Qur’an. Alih-alih teori ini merupakan solusi yang tepat untuk
menjawab problematika penafsiran teks kisah-kisah Al-Qur’an
yang dihadapi para penafsir klasik. Ujung-ujungnya, teori ini
akan dapat menjadi sebilah pedang metodologis untuk
menghadang pemikiran-pemikiran kaum orientalis atau
sebangsanya atas validitas kewahyuan Al-Qur’an dan kenabian
Muhammad saw.
Secara arif, Khalafullah menutup disertasinya dengan
paragraf ini: Inilah pemikiran saya. Pembaca, atau siapa pun
boleh berseberangan dengan saya. Anda pun boleh untuk
mengikuti pemikiran ini. Semoga bermanfaat. Dan terakhir,
hayatilah firman Alloh berikut ini, “Katakanlah, ‘Inilah jalan
(agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak
(kamu) kepada Alloh dengan hujjah yang nyata. Mahasuci Alloh,
dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.” (Q 12:108).
Sebagaimana dikemukakan Khalil Abdul Karim (tercetak
pada kulit buku bagian belakang), buku ini sangat berwibawa,
dan dapat dikategorikan sebagai salah satu peretas jalan
pembaruan pemikiran Islam kontemporer dalam dunia tafsir.***

8 Abdul Hamid
Beranjak dari Kata Masuki Makna,
Selanjutnya Terserah Anda

Ada sesuatu yang menarik ketika ada enam orang


penyair Tasikmalaya bersepakat untuk menghisap knalpot. Saya
bayangkan knalpot bus yang mengeluarkan asap hitam dan bau.
Saya bayangkan pula knalpot mobil-mobil mewah (entah apa
namanya). Bedanya cuma sedikit: yang pertama hitam dan bau
dan yang kedua abu dan bau. Samanya juga sedikit: bahaya bagi
paru. Lalu? Jika asap itu terambung, paru kita terganggu. Apalagi
jika kita menghisapnya, pasti paru kita sangat terganggu. Nanti
dulu, keenam penyair Tasikmalaya ini hanya menghisap knalpot,
bukan menghisap asap. Bisa saja yang dihisap adalah knalpot
yang sedang mengeluarkan asap; bisa juga yang dihisapnya
adalah knalpot baru yang terbungkus rapi di toko. Jadi, bisa
bahaya kalau kita melihat knalpot dari sudut fungsinya, dari
maknanya. Bisa juga tidak, kalau kita hanya melihat knalpot
hanya sebagai sebuah benda. Kutau yang kutaktau. Wallohu
‘alam bissawab.
Ketertarikan saya makin mendalam kala kutau sudah ada
delapan belas penyair lainnya yang terbagi ke dalam tiga
kelompok “jawara” berkumpul dalam antologi puisi: jawara 1
menembus udara; jawara 2 membentur tembok; dan jawara 3
meminum aspal. Ternyata, konon, akan ada satu kelompok
jawara lagi yang juga terdiri atas enam orang juga. Kelompok ini
sepakat untuk menunggu ajal.
Jika beranjak dari kata, tampak tema-tema yang
disodorkan itu kronologis: menembus udara, membentur
tembok, meminum aspal, menghisap knalpot, dan menunggu
ajal. Namun, tidak, kalau kita masuki makna. Kala enam penyair
membentur tembok kutau ada penyair yang tetap jagjag belejag,
tak terluka sedikit pun. Dia sampai pada peraihan makna.
Namun, kutau juga ada penyair yang babak belur karena
ketaktepatan memilih kata dalam puisinya (mengapa pembuat
puisi disebut penyair, bukankah lebih tepat disebut pemuisi?
Lalu apa bedanya syair dan puisi?).

Serpihan Sastra 9
Nah! Apakah enam penyair menghisap knalpot sekarang
kondisinya kritis, koma, gawat darurat, atau sehat-sehat saja?
Kini kita tengok enam penyair yang menghisap knalpot. Mereka
berada di lembah suara, di keheningan, di rumah sakit, di 17
agustusan, di dalam darah, di dalam keputusan, di dalam cermin,
dan ada juga dalam bilangan. Untuk menengok mereka, saya
bawakan segenggam oleh-oleh dari Sutardji Calzoum Bachri dan
Afrizal Malna.
Sutardji, dalam “Catatan Kebudayaan”, Horison
XXXVI/10/2002, mengatakan bahwa “puisi selalu mewasadai
kenyataan, menyerap kenyataan, menyedot, dan
memadatkannya dalam metafor-metafor dan berbagai ungkapan
dan berharap akan menciptakan suatu dunia imajinatif yang
memelihara dan mengutuhkan kemanusiaan yang mungkin
kelak akan menetas dalam suatu kenyataan lain di masa depan.
Jika ada keluhan terhadap kelemahan dari sebagaian puisi kita
masa kini, itu bukanlah terutama hanya bersumber pada
kelemahan penyair dalam berbahasa; dalam arti mereka belum
mampu menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar
indah dalam puisi, tetapi menurut hemat saya adalah antara lain
terutama kekurangmampuan mereka dalam berdialog dengan
kenyataan sehari-hari. Suatu dialog yang mampu mkenyerap
kenyataan dalam esensi yang melahirkan visi kreatif dan
imajinatif bagi puisi demi keutuhan nilai dan harkat
kemanusiaan.”
Dalam Horison yang itu juga, Afrizal Malna memberi
kita sebuah puisi dengan judul “Lorong Gelap dalam Bahasa”.
Begini: Si maut itu sudah datang membuat kamar dalam/
perutku. Ia membeli lemari baru, tempat tidur/ baru, meja dan
lampu kamar. Ia juga memasang/ sebuah cermin. Si maut itu
tidak pernah keluar/ dari kamarku. Setiap malam ia menyetel
radio dan/ tv. Koran pagiku selalu diambilnya. Si maut itu,/
membuatku harus menggotong tubuhku sendiri/ untuk berdiri.
Lemari goyah menahan berat/ tubuhku. Kamar seperti akan
tenggelam ke dalam/ pagar-pagar jiwa. Si maut itu mengatakan,
semua/ yang aku rasakan bukan milikku.// Aku bertengkar
dengannya. Ia telah mengambil/ semua yang aku rindukan,
semua mimpi-mimpiku./ Si maut itu telah membuat kamar
tidurku seperti/ sebuah gereja yang rusak. Seluruh

10 Abdul Hamid
penghuninya/ telah pergi. Lonceng berdentang seperti/
menggemakan lorong gelap dalam bahasa. Dan/ Si maut itu
membuat mulutku seperti peti besi./ Kata-kata yang (cetak tebal
dan miring bukan dari AM) tak pernah lagi menemui anak-/anak
kucing bermain. Bulunya halus dan lembut,/ tubuhnya gugup
menghadapi setiap gerak dari/ dunia luar. Ibunya datang,
memanggilnya dengan/ suara yang datang dari lorong kematian
dan/ kelahiran, menggigit lehernya, dan membawanya/ ke
dalam sebuah kardus.// // Si maut itu, api dari kaki-kaki
bahasa.
Apa yang dikemukakan Sutardji tampak pada puisi
Afrizal Malna. Dialog sudah ada dan biasa dalam puisi AM.
Namun sebagaimana judulnya, dalam puisi tersebut ada yang
terpeleset hingga menidakjelaskan makna. Perhatikan saja kata
yang dicetak tebal dan miring. Dari sudut pandang negatif,
bahasa menurut puisi tersebut kematian terjadi karena landasan
(kaki) bahasa yang berupa api. Pada pihak lain, bahasa dan api
punya sudut pandang positif. Intinya: bermain dengan bahasa,
kita bisa bahagia. Dengan bahasa pula, kita bisa celaka.
Maizer Alzou mengantar kita dengan lima puisi: “Dari”,
“Habitat di Negeriku”, “Bukan Orang Normal”, “Salinan
Lampau”, dan “Dari Lembah Suara”.
Puisi “Dari” pada bagian awal menampakkan kelincahan
berdialog. Kelincahan ini didukung pula dengan pemotongan
larik dan pilihan kata dan bunyi yang tepat. Sayangnya, hal itu
terganggu oleh penulisan “antar jiwa” yang seharusnya
“antarjiwa”. Juga oleh malammu terang yang akan lebih baik jika
ditulis dengan M (kapital) sebagai penanda bait baru atau juga
sebagai pembatas peristiwa tabrakan. Sayangnya lagi, bait
terakhir, Dari harimu/ Tanah minta migrasi dari bumi. Takbisa
kumengerti. Lebih disayangkan judulnya tidak menyeruduk
pada isi.
“Habitat di Negeriku” memiliki dialog yang sangat
bagus dengan keseharian. Begitu pula dengan enjambemen alias
pemotongan larik atau kalimat dan ejaan seperti penulisan
UANG! Pas. Akan lebih bagus lagi seandainya kata kisah pada
bagian awal dihilangkan. Peringkat bagus akan menjadi naik
seandainya telah jadi almarhum diganti saja dengan telah mati. Kata
almarhum berkonotasi positif dan bunyinya taksepadan dengan

Serpihan Sastra 11
negeriku; ku pada negeriku dan ti pada mati memiliki asosiasi
bunyi yang tajam dan juga kata mati berkonotasi negatif.
“Bukan Orang Normal” hanya terganjal oleh bait kedua
karena pemakaian kata esokmu terbias dan karnaval kebekuan.
Mengapa bukan aku terbias? Sulit saya memahami karnaval –yang
berasosiasi pada gerak iringan dan kebekuan yang berasosiasi
pada takgerak.
“Salinan Lampau” segalanya bagus jika kita
mengabaikan bait kedua. Bait kedua bisa membingungkan
karena luka jalan-jalan di kamar memiliki dua maksud: luka
berjalan-jalan (walking: bhs. Inggris, leuleumpangan: bhs. Sunda) di
kamar atau luka jalan-jalan (streets). Kutaktau yang kaumau.
“Dari Lembah Suara” memiliki metafora,pilihan kata,
dan pilihan bunyi yang mendukung makna. Apalagi jika kata
karena pada bait kedua dan terakhir takada, takperlu
dieksplisitkan sebab tiga suku kata pada kata itu menghambat
ketegasan, kecuali jika dijadikan karna, tetapi tidak juga kalau
dengan kata sebab (Ingat lisensia puitika!, maaf saya takterbiasa
menuliskan licensia poetica).

Anggie Sri Mulyati menyambut kita dengan lima puisi:


“Malam Hening”,”Kenangan”, “Pergantian Cuaca”, “Menuju
Keheningan”, dan “Dalam Keheningan”.
Dalam “Malam Hening” ada ejaan yang mengurangi nilai: tak
cukup yang harus disatukan dan diantara yang harus dipisahkan.
Itu takada. “Malam Hening” patut diheningi karena baik pilihan
bunyi, kata, dan kalimat juga enjembennya. Apalagi jika aku
serupa debu tertiup angin dikebawahkan dan tanpa kata serupa.
Sungguh!
“Kenangan” akan mudah dipahami jika definisi kedua
dikeataskan dan definisi kesatu dikebawahkan. Ini berhubungan
dengan logika bahasa. –mu dalam kehadiranmu jika posisinya di
bawah berarti ‘kenangan’. Namun, jika bait itu dikeataskan, -mu
bisa berarti ‘seseorang’. Logikanya, setelah deretan kenangan
mengalir dan menyebrang, lalu membangunkan, menyeret, dan
menjadi bayangan sejarah.
Pada “Pergantian Cuaca” bisa kita lihat ada keterbacaan
yang tersendat. Hal ini akibat ketaksejajaran pilihan kata dan
struktur dan juga kerancuan kalimat. Juga isi puisi yang tidak

12 Abdul Hamid
mencuaca. Kita lihat: Biar tidak terlalu pendek riwayat dituliskan dan
Biar pengembaraan tak sedangkal pergantian cuaca. Bandingkan
dengan Biar riwayat takterlalu pendek dituliskan dan Biar
pengembaraan tak sedangkal pergantian cuaca. Begitu pula pada bait
berikutnya, menggali dan mencari taksejajar dengan kutulis. Jadi,
sebaiknya disejajarkan: kutulis, kugali, dan kucari agar pesan yang
dimaksud lebih tegas. Kata meski dan tetapi dalam bahasa
Indonesia memiliki fungsi yang sama, yaitu menyatakan
pertentangan. Karena itu, pilih salah satu dan dalam puisi ini
akan lebih baik jika tetapi dihilangkan, takdipakai.
“Menuju Keheningan” memiliki banyak kekuatan
sebagai puisi karena faktor keterbacaannya. Kelemahannya
hanya satu: kata kembali pada larik Tumbuh dalam batin agar tubuh
dan ruh kita kembali. Kembali ke mana? Takjelas. Padahal di atas
sudah dinyatakan biar istirah mempertemukan jiwa kita kembali.
Nah, karena sudah bertemu kembali, tubuh dan ruh kita menyatu.
Betapa asyiknya bunyi /u/ dalam tumbuh, tubuh, ruh, dan
menyatu.
“Dalam Keheningan” tidak memiliki cacat gawat sebab
hanya kesalahan penulisan ejaan diantara yang seharusnya di
antara. Puisi ini berada di luar tudingan Sutardji, di luar
kegelapan Afrizal Malna.

Dian Jaka Sudrajat menyalami kita dengan puisi:


“Keputusan”, “Tolong Aku Tuhan”, “Dua Cahaya”, “Kau
Datang Lagi”, dan “Sampai Kapankah”.
Berbeda dengan puisi “Dalam Keheningan”, tampaknya empat
dari lima puisi terserempet tudingan Sutardji dan kegelapan
Afrizal Malna. Hasil dialog dengan keseharian tanpa
diendapkan, langsung dijadikan “Keputusan” yang emosional
dan dangkal, lalu minta tolong pada Tuhan melalui “Tolong Aku
Tuhan”. Alhamdulillah, “Dua Cahaya” datang untuk Mila
Karmila. Ternyata “Kau Datang Lagi”, tapi “Sampai Kapankah”.
Emosionalitas tampak pada pilihan kata pahamilah dan maka sekali
lagi dalam “Keputusan”. Kedangakalan bisa diatasi, misalnya,
judul “Tolong Aku Tuhan” diganti dengan “Doa” dan dengan
pilihan kata. Misalnya, dalam “Tolong Aku Tuhan”, kalimat
Tuhan, aku lebih percaya pada kuasa dan takdir-Mu”
berkonotasi positif dan “Dan kini aku pun terperangkap dalam

Serpihan Sastra 13
dua pilihan:” berkonotasi negatif. Mengapa digunakan kata
“Dan” yang berfungsi menyatakan kesetaraan. Untuk
menyatakan pertentangan, sebaiknya kita menggunakan kata
tetapi atau tapi atau namun dalam bait seperti itu.
“Dua Cahaya” tampak memberikan berbeda empat puisi
lainnya. Puisi ini menggunakan cahaya sebagai metafor cinta.
Pilihan kata yang didominasi bunyi terbuka /a/ disertai bunyi
/m/ memberikan kesan mesra pada kita. Ini sesuai dengan
judulnya.

Semmi Ikra Anggara menyuguhi kita dengan enam


puisi: “Cinta?”, “Kosong”, “Sambutan”, “17 Agustus 2002”,
“Kaki Langit/Demonstrasi Kata”, dan “Atas Nama Darah”.
Ada dua puisi yang dapat dibanggakan di sini, yaitu “Cinta?”
dan “17 Agustus 2002”. Puisi “Cinta?” berhasil karena metafora
“segelas darah”, “serpihan kafan”, dan “serat kubur” untuk
memahami cinta. Kekerasan dan kematian sebagai lambang cinta.
“17 Agustus 2002” tajam dalam menyindir. Kuat pilihan katanya.
Apalagi dominasi bunyi /u/ dikombinasi dengan bunyi /ng/.
Pada “Kosong” dapat pula dibanggakan, tetapi kita bisa
mempertanyakan masa membungkus dengan seutas karena seutas
berasosiasi dengan tali pendek. Kata kapan bisa tertukar dengan
kafan. Pada sajak ini kata pun yang berarti juga ditulis disatukan
dengan kata lainnya, padahal aturannya dipisahkan. Kembali
bahasa Indonesia mengganggu puisi. Kita perhatikan pemakaian
huruf: Rumah Sakit Purba Merdeka dan Rumah Sakit Jiwa
Bernama “INDONESIAKAH”. Jika tertulis begitu bisa diganti
dengan Rumah Sakit Muhammadiyah atau Rumah Sakit Dr.
Hasan Sadikin, atau yang lainnya. Jika takmau, agar sesuai
dengan yang dimaksud puisi, terpaksa kita ikuti kaidah bahasa
Indonesia: rumah sakit purba merdeka dan rumah sakit jiwa bernama
Indonesia. Mau?
Dalam “Kaki Langit/Demontrasi Kata” tampaknya
pilihan katanya puitis dan sensasional, namun lagi-lagi dialog
dengan keseharian tidak diendapkan dan disaring hingga
puisinya tidak informatif. Siapa Cecep Syamsul Hari dan apa
pula itu Bendera Abu Gegap Gempita. Takada yang mengetahui
kecuali pemuisinya dan orang yang bernama Cecep Syamsul
Hari. Yakinlah!

14 Abdul Hamid
Lagi-lagi lisensia puitika disalahgunakan: di provokasi dalam
bahasa Indonesia disatukan penulisannya: diprovokasi. Ini terjadi
juga dalam puisi “Atas Nama Darah”. Inilah puisi paling getir
sudah menunjukkan tempat, tetapi dipertanyakan lagi (sambil
salah menulisnya) dimana aku harus terus mencumbunya,
mengikatnya juga menikamnya. Kalau saja kata dimana atau juga di
mana dalam puisi itu diganti dengan kata tempat dan akupun
menjadi aku pun, sempurnalah sudah puisi tersebut.

Dwi Feb melayani kita dengan lima puisi: “Calon


Permaisuriku Keraguanku”, “Rindu Melayari Sunyi”, Metamor
Cinta 1”, “Metamor Cinta 2”, dan “Calon Putra Mahkotaku
Kedukaanku”.
Kelima puisi Dwi Feb patut dibanggakan. Apalagi jika
bahasa Indonesianya lebih diperhatikan. Misalnya, penulisan
disampingku yang semestinya di sampingku dan permai suriku yang
berbeda maknanya dengan permaisuriku pada “CPK”.
Menjadikan satu puisi sebagai hipogram untuk puisi lainnya,
bukan masalah. Pesimistis atau optimistis, bukan masalah. Yang
penting puisinya Bung!
Iwan Koeswana melayani kita juga seperti Dwi Feb. Lima
puisi Iwan adalah “Dalam Satu Cermin”, “Begitu Juga
0987654321”, Republik Anak-Anak”,”Masih Belum Jelas” dan
“Makan Mie Baso di atas Pesawat Terbang”. Puisinya pun patut
dibanggakan. Bahasa Indonesia yang digunakan hampir sama
dengan Dwi Feb. Misalnya pemakaian kata depan di yang
disambung, padahal harus dipisah: diwajahku, dibawah, disaat
(“Dalam Satu Cermin”) yang seharusnya di wajahku, di bawah,
pada saat; ketembok (“Begitu Juga 0987654321”) yang seharusnya
ke tembok; sikodok dan kemana pada “Masih Belum Jelas” yang
sebenarnya si kodok dan ke mana. Begitu juga penulisan dirumah
dan diatas dalam “Makan Mie Baso di atas Pesawat Terbang”
yang seharus di rumah dan di atas. Percaya atau tidak, ejaan pun
mengganggu kelancaran kita berkomunikasi dalam berpuisi.
Dialog Iwan keseharian dengan negerinya tampak cukup
berhasil. Kata cukup sebenarnya bisa diganti dengan kata sangat
seandainya larik Orang mati sangat murah dalam “Republik
Anak-Anak” posisinya setelah Persoal kecil cepat marah sesuai
dengan urutan dari larik pertama yang kian memuncak.

Serpihan Sastra 15
Puncaknya adalah Orang mati sangat murah. Satu hal yang masih
harus diselidiki adalah pemakaian angka. Janganlah disangka itu
pekerjaan iseng menekan ketikan dari kanan ke kiri saja. Setiap
angka memiliki nilai tertentu bagi orang tertentu pula. Kita ingat
saja pada celaka 12, nomor 13, aki-aki tujuh mulud, mandi di
tujuh sumur, tiga atau tujuh atau empat puluh atau seratus
harian memperingati orang wafat, langit ketujuh, tujuh turunan.
Cag!****

16 Abdul Hamid
Catatan atas Karya Juniarso Ridwan
dan Yessi Anwar:
Pengarang dan Karyanya

Pembaca karya sastra tentu kenal dekat dengan Ahmad Tohari,


Y.B. Mangunwijaya, atau Pramoedia Ananta Toer. Karya-karya
yang mereka hasilkan dipangaruhi oleh ide dan pengalaman
hidupnya. Ahmad Tohari, misalnya, hingga karya terbarunya
Orang-Orang Proyek sangat gemar mendeskripsikan alam
pedesaan. Mangunwijaya dan Pramoedia dengan ide-idenya.
Bagaimana dengan sastrawan Bandung dan karyanya, adakah
pengaruh pengalaman hidup? Bagaimana pula mereka mengolah
dan mendesain endapan pengalaman menjadi puisi atau cerpen?
Kita tengok sebentar ke belakang.
Awal tahun 1980-an. Zamannya Saini K.M. mengasuh
“Pertemuan Kecil” di Pikiran Rakyat tahun 1980-an
bermunculanlah “sastrawan” atau “seniman” muda Bandung.
Mereka berbondong-bondong mengisi ruangan itu setiap hari
Selasa (kalau taksalah), mereka rame-rame menulis puisi, cerpen,
dan esai. Mereka beradu kata di Gedung Kesenian Rumentang
Siang, Taman Maluku, Taman Lalu Lintas, dan Kebun Binatang.
Sebagai para “sastrawan” atau “seniman” muda tentu mereka
gelisah karena kesadaran ruang dan waktu mereka sangat kental.
Untuk lebih mengentalkan kesadaran itu, dari adu kata tersebut –
bukan adu domba seperti yang kini banyak dilakukan domba
yang berpenampilan seperti orang melalui terornya–, mereka
melahirkan suatu persekongkolan penyair Bandung. Entah apa
namanya. Forum Sastrawan Bandung? Lupa. Maklum: pengamat
bukan dokumentator.
Di antara nama-nama yang masih ingat (kalau taksalah)
adalah Muhammad Ridlo Eisy, Beni Setia, Diro Aritonang, Iwan
Sukri Munaf, Herman Hermit, Herry Dim, Rahman Sabur,
Bambang Budi Asmara, Acep Zamzam Noor, Ari F. Batubara,
Juniarso Ridwan, Yessi Anwar. Sebenarnya masih ada nama-

Serpihan Sastra 17
nama lain. Mereka tidak disebutkan di sini bukan takpenting,
melainkan karena memang tidak ingat. Di antara anggota
persekongkolan dan simpatisannya itu ada yang melepaskan
tanda petik ganda pada kata sastrawan, bahkan ditambah dengan
kata wartawan. Dan terakhir ada lagi yang menambahkan kata
pelukis. Mungkin juga ada yang menambahkan kata pengemis,
karena kekentalan kesadaran ruang dan waktu yang dulu mereka
miliki telah terkikis habis dan berganti dengan kesadaran uang
dan akte, tapi itu cukup dikatakan dalam hati. Jadi, lengkaplah
sudah predikatnya menjadi sastrawan-wartawan-pelukis seperti
halnya anggota DPR yang merangkap sebagai wakil keluarga-
pengusaha-penipu-koruptor. Hebat euy! (Maklum mereka masih
termasuk manusia Indonesia seutuhnya, takkalah rame dengan
gelar dan pangkat yang ditempelkan pada kartu nama atau kartu
undangan oleh manusia Indonesia lainnya). Hampir lupa. Di
antara mereka ada juga yang melepaskan predikat sastrawan
atau senimannya. Jadi, yang tinggal adalah tanda petik
gandanya. Mereka pensiun muda dari dunia sastra atau seni.
Mengapa ada catatan untuk karya Juniarso Ridwan dan
Yessi Anwar? Hal yang menarik bukan karena mereka memiliki
predikat rangkap walaupun kerangkapannya berbeda dengan
teman seangkatannya. Juniarso Ridwan kini lebih banyak
berkecimpung dengan taman yang ada di kota Bandung dan
sesekali masih menulis esai dan puisi, baik dalam bahasa
Indonesia maupun dalam bahasa Sunda. Jadi, dia adalah kuncen
pertamanan kota Bandung. Lain lagi Yessi Anwar. Dia lebih
banyak membolak-balik kitab-kitab dan mengutip pasal-pasal
dan ayat-ayat yang berhubungan dengan hukum dan
mendiskusikannya di kelas. Ya, dia adalah dosen. Tapi, tentu saja
di sentero perguruan tinggi se-Bandung Raya, kita atau bahkan
juragan intel tidak akan menemukan nama Yessi Anwar karena
ketika mengajar di kelas, dia menggunakan nama aslinya.
Takusah disebutkan. Jangan-jangan kalau di sini disebutkan bisa
melanggar kode etik peraliasan. Sebut saja Yessi Anwar alias
Anu. Dan peraliasan tidak akan dibicarakan di sini. Cukup
karyanya.
**
Setelah sekian tahun bermain-main, berjalan-jalan, dan bermimpi
di taman, serta kegiatan entah lainnya, rupanya Juniarso Ridwan

18 Abdul Hamid
terinspirasi oleh berbagai jenis tanaman atau pohon yang
dibelinya (atau diutang?), dilihatnya, dipegangnya, dan
ditanamnya atau ditebangnya. Kita perhatikan saja cerita pendek
(cerpen) karyanya yang dimuat dalam Pikiran Rakyat, Minggu,
25 Agustus 2002, yang berjudul “Tentang Pohon”.
“Aku bukanlah seorang Rumphius. Aku hanya sebagai
tukang kebun. Mengembara dari satu daerah ke daerah lain.
Mengarungi bentangan alam. Kadang perlu melepaskan lelah
dan dahaga di suatu tempat. Ingatanku selalu dijejali oleh
berbagai hal yang berkaitan dengan pohon dan tanaman. Apabila
pikiranku terlalu berat menampung masalah, maka aku ingin
tidur pulas sepanjang musim. Seperti sungai yang mencatat
tempat-tempat persinggahan, aku mencatat pula segala hal
tentang pohon. Ini beberapa saja.”
Itulah paragraf pembukaan cerpen Juniarso Ridwan.
Sebuah pembukaan yang bagus. Sebagai pembaca tentu punya
horizon harapan karena karya sastra tidak lahir dari kekosongan.
Diharapkan yang akan diceritakan itu adalah filsafat pohon dan
di situ terdapat ikon-ikon, indeks, tanda, dan simbol yang harus
diraih pembaca.
Harapan tinggal harapan, Juniarso berjalan sendiri
(takmau kompromi dengan pembaca) sebagai tukang kebun yang
diwawancarai oleh wartawan atau ditanya cucunya. Maka dia
mendeskripsikan apa dan bagaimana lima jenis pohon: angsana,
beringin, dadap cangkring, tanjung, dan bungur disertai nama
latinnya pada catatan akhir: Pterocarpus Indicus, Ficus
Benjamina, Erythrina fusca, Mimusops elengi, Lagerstroemia
speciosa. Menyimak deskripsi tentang lima pohon itu, teringatlah
pada ensiklopedi, ingat juga pernah ada buku Haryoto Kunto
tentang Bandung tempo dulu, juga ingat pada Hembing yang
membukukan pengobatan alternatif dengan segala tanaman.
Mau bukti? Siapa taku? Lihat saja catatan yang 100%
catatan tentang angsana.
“Yang aku ingat tentang pohon ini adalah khasiat
daunnya untuk mengurangi kadar gula darah. Pohon ini
ditanam, bisa dengan biji atau stekan batang. Pohon bisa
mencapai ketinggian lebih dari 20 meter. Untuk halaman luas
biasanya digunakan sebagai peneduh. Tapi belakangan dipakai
untuk penghijauan di sepanjang jalan. Pertumbuhannya terbilang

Serpihan Sastra 19
cepat. Sehingga hampir seluruh kota di Indonesia memakai
angsana untuk kegiatan program penghijauannya. Angsana
identik dengan program Adipura, yaitu kejuaraan kebersihan
dan keindahan di tingkat kota masa Orba. Meski dicibir banyak
orang, tapi jejak program ini masih terasa hingga sekarang. Kota-
kota menjadi teduh berkat pohon angsana.
Karena akarnya menjalar ke segala arah, bahkan bisa
menyembul ke permukaan, keberadaan pohon angsana
memerlukan ruang yang cukup bagi pertumbuhannya. Bila
berada di lokasi trotoar yang sempit, maka bentuk fisik trotoar
itu akan hancur didorong oleh pertumbuhan akar yang begitu
kuat. Pada musim kemarau rata-rata pohon angsana mengalami
masa gugur daun. Jalan-jalan dipenuhi guguran daun,
menciptakan permadani kuning kecoklat-coklatan. Cabang-
cabangnya mendongkak ke angkasa luas. Sebagian rantingnya
patah dan jatuh. Kelak dari bekas patahan ranting itu akan
muncul tunas baru, untuk menjaga kelangsungan hidup pohon.”
Hal semacam dipakai juga untuk mendeskripsikan empat
pohon lainnya. Titik. Tidak ada tegangan. Tidak ada klimaks dan
antiklimaks. Atau apalah yang berkaitan dengan apa yang
disebut cerpen. Ini terjadi karena kini tidak ada departemen
penerangan. Yang ada hanyalah tukang kebun yang harus
memberi tahu cucunya tentang pohon dalam arti harfiah. Titik.
**
Mau puisi pendek? Ingatlah pada karya-karya Sapardi Djoko
Damono, Sitor Situmorang, atau Sutardji Calzoum Bachri. Mau
puisi panjang dengan pilihan kata sehari-hari, ya harus ingat
W.S. Rendra atau juga Ajip Rosidi atau lainnya. Termasuk Yessi
Anwar? Kita lihat dulu karya Yessi Anwar yang dimuat Pikiran
Rakyat, Kamis, 3 Oktober 2002. Judulnya: “Siapakah Sang
Teroris? (sebuah pertanyaan buat camus). Di sini Yessi mencoba
menangkap situasi hangat tentang teror, teroris, dan terorisme.
Namun situasi tersebut tanpa diendapkan, langsung diberitakan.
Berita tanpa ikon, indeks, tanda, atau pun simbol. Jadilah puisi
yang taksarat makna. Puisi tersebut –kalau boleh dibilang puisi–
dimuat di bawah judul kolom “Sajak-sajak Yessi Anwar” yang
ternyata hanya satu sajak atau puisi, tapi panjang sampai delapan
bait. Kita lihat dua bait pertama.
“Heboh teroris melanda dunia / Menyedihkan sekaligus

20 Abdul Hamid
menggelikan / Betapa tidak? / Ketika Osama bin Laden dihujat
sebagai teroris kaliber dunia / pada saat yang sama santonya
teroris itu dinobatkan sebagai / pahlawan oleh para idolanya. //
Kaos oblong bergambar Osama laku keras / membuka peluang
bisnis yang menggiurkan. / Ketika di suatu hari jumat / oblong
Osama digunakan beberapa orang jamaah / ada sebentuk tanya
dalam hati: / “Betapa Tuhan tengah merencanakan sesuatu?” /
Juga, aneh bin ajaib ketika gedung WTC dihancurkan teroris /
warga Amerika terbelalak dan dicekam kengerian / namun
bersamaan dengan itu dalam peradaban yang lain / ada yang
menyatakan bahwa hal itu suatu “prestasi” besar / pelajaran
berharga bagi negara yang dianggap “zalim” / dan mereka pun
syukuran.” //
Secara lahiriah, dilihat dari adanya enjambemen, karya
tersebut pastilah puisi. Jika enjambemen ditiadakan, tampak
Yessi Anwar berpanjang ria dengan kalimat-kalimatnya. Ditinjau
dari segi pemakaian kalimatnya tampak Yessi Anwar seperti
sedang berdiri di depan kelas dan menerangkan kepada
mahasiswanya apa dan siapa lalu bagaimana teror, teroris, dan
terorismenya.
Sesuai dengan judulnya, Yessi bertanya kepada Albert
Camus siapakah sang teroris, tapi ternyata dia sendiri sudah
menjawab pada bait pertama: Osama bin Laden adalah biang
terorisme. Masya Alloh! Apa dasar hukumnya dan bukti
hukumnya (kata orang hukum) mendakwa Osama begitu? Ikutan
ya? Kayu gaharu cendana pula. Sudah tahu bertanya pula si Uda
ini. Namun, jawabannya ternyata tidak tepat jika dilihat segi
pemakaian bahasa Indonesia. Kita perhatikan kata idola.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, idola adalah orang,
gambar, patung, dan sebagainya yang menjadi pujaan. Misalnya,
Ia senang sekali karena penyanyi idolanya tampil dalam pertunjukan
itu. Pada contoh kalimat itu, kata –nya mengacu pada Ia. Jadi,
kata yang sama pada bait pertama “sajak” Yessi mengacu pada
Osama bin Laden. Dengan perkataan lain, Osama mempunyai
idola. Siapa idola Osama? Wallohu ‘alam bissawab. Padahal,
yang dimaksud adalah orang yang mengidolakan Osama.
Pada bait selanjutnya dikemukakan tentang adanya teror
dan terorisme dalam beberapa kategori. Ada teroris internasional
yang dahsyat, teroris nasional yang militan, ada teroris negara

Serpihan Sastra 21
yang tidak bertanggung jawab dan gemar jadi sponsor teroris,
ada pula teroris borongan maupun teroris ketengan yang
kerjanya berdasarkan pesanan: pendek kata segala kategori
teroris dapat kesempatan untuk menyatakan dirinya siapa
sebenarnya mereka.
Lalu pada bait terakhir pertanyaan itu dijawab pula
dengan kalimat retoris ini:
“Jika teror layak dibalas dengan teror
Bukankah ini berarti kita tengah
Menteror diri sendiri?
Setelah membaca kedua karya orang Bandung ini, timbul
pertanyaan apa sebenarnya yang disebut cerpen dan puisi.
Segeralah buku-buku teori sastra dibuka. Mencari definisi cerpen
dan puisi. Tidak ditemukan definisi yang sesuai dengan kedua
karya itu. Bingung. Mau menelepon untuk sekadar bertanya
pada guru sastra yang pernah mengajar di SD, SLTP, dan SMU,
malu dan jangan-jangan telepon mereka bersuara “sedang dalam
perbaikan” karena pulsa belum terbayar. Mungkin harus
bertanya pada Ebiet G. Ade yang pernah melagukan “tanyakan
saja pada rumput yang bergoyang.” Pertanyaan serupa bisa juga
diberlakukan pada karya-karya cerpen atau puisi yang dihasilkan
oleh “sastrawan” muda dan atau pemula yang dilahirkan oleh
Soni Farid Maulana melalui Lembaran Khusus Budaya Khazanah
ini.***

22 Abdul Hamid
CHAIRIL ANWAR
DALAM SOROTAN PAUL RICOEUR

Setelah bumi kita dilanda tiga kenaikan: naiknya air laut


ke daratan, naiknya harga BBM dan sembako (ini pinjam istilah
saja karena sebetulnya yang harganya naik lebih dari sembilan
bahan pokok), naiknya darah anggota DPR sekaligus turunnya
harga diri, bumi kita pun diterpa banjir, longsor, sampah, dan
gempa. Secara umum kita mesti berucap Inna lillahi wa inna ilaihi
roji’un. Secara khusus untuk BBM dan DPR kita berucap Masya
Alloh karena keduanya sudah menurunkan harga. Tentu saja
harga diri. Bukan sembako. Lho gitu eh … gitu lo!
Bulan April tampaknya cukup istimewa atau bahkan
sangat istimewa bagi kita, bangsa Indonesia, untuk memupus
landaan dan terpaan. Paling tidak, ada tiga peristiwa yang
senantiasa kita ingat pada bulan April ini. Pertama, Konferensi
Asia Afrika yang memunculkan semangat Dasasila Bandung dan
kini mendeklarasikan suatu kemitraan. Kedua, kelahiran R.A.
Kartini (21 April) yang menggagas semangat emansipasi wanita.
Ketiga, kemeninggalan Chairil Anwar (28 April1949) sang
pelopor pembaruan sastra yang menggaungkan semangat hidup
melalui puisi-puisinya.
Kalau ketiga peristiwa April tersebut kita kejar dan kita
gali sampai sedalam-dalamnya, sebetulnya akan kembali pada
keakuan kita masing-masing. Segala macam pertanyaan tentang
“aku” pastilah akan muncul. Oleh karena itu, kita sorot saja satu
contoh puisi karya Chairil Anwar yang berjudul “Aku” dengan
kamera buatan Paul Ricoeur yang banyak disebut sebagai ilmu
tafsir alias hermeneutik.
Chairil Anwar sebagai pelopor angkatan 45 dikenal oleh
seluruh lapisan masyarakat, termasuk di dalamnya para pejabat
dan birokrat (minimal mengenal namanya dan puisinya yang
berjudul “Aku”. Sang genius Chairil Anwar kita kenal melalui
pendidikan formal sampai tingkat SMA. Perbincangan mengenai
Chairil Anwar dan karyanya, baik di dunia pendidikan maupun

Serpihan Sastra 23
non-pendidikan, selalu menarik karena metafor dan kalimat yang
digunakannya sangat berbeda dengan sastrawan lain pada
masanya. Sebagai contoh pemakaian metafor “binatang jalang”
dan “aku ingin hidup seribu tahun lagi” pada puisi “Aku” .
AKU
Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang


Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembak kulitku


Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari


Berlari
Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak perduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi

Menurut Paul Ricoeur, ada tiga langkah untuk


memahami karya sastra, yaitu langkah simbolik yang
berlangsung dari penghayatan atas simbol-simbol ke gagasan
tentang “berpikir dari” simbol-simbol; langkah pemberian makna
oleh simbol serta “penggalian” yang cermat atas makna; langkah
yang benar-benar filosofis, yaitu berpikir dengan menggunakan
simbol sebagai titik tolaknya.

Pemahaman dengan Langkah Simbolik


Untuk menghidupkan lukisan dan memberikan gambaran
yang jelas, dalam puisi “Aku” karya Chairil Anwar banyak
dipergunakan simbol-simbol, yang menyatakan sesuatu secara

24 Abdul Hamid
tidak langsung. Judul puisi “Aku” merupakan simbol
keberadaan bangsa Indonesia awal tahun 1940-an selepas Perang
Dunia II. Waktu itu bangsa Indonesia –yang baru lepas dari
tangan penjajah Belanda– masih dalam kemelut hidup yang
penuh ketidakmenentuan, ketakutan, dan masih jauh dari rasa
aman dan tenteram.

Bait ke-1
Larik pertama; “Kalau sampai waktuku” merupakan simbol
penggambaran waktu aku larik, yaitu bangsa Indonesia; bangsa
yang belum menentu, takpasti. Larik ini merupakan salah satu
bagian untuk menunjukkan perjuangan bangsa Indonesia yang
belum mencapai titik kulminasi. “Aku” digunakan pula untuk
menyatakan keseluruhan diri “aku larik”. Kalau sampai waktuku
menyatakan ada suatu cita-cita yang sangat diharapkan.
Larik kedua, ‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu’ sebagai
simbol bahwa “aku larik” tidak menghendaki ada pihak lain
yang beraktivitas melakukan rayuan. Ungkapan ini lebih
menegaskan makna yang terkandung pada larik pertama, yang
berarti bahwa “aku larik” semakin memperlihatkan keakuannya,
eksistensinya.
Larik ketiga, “Tidak juga kau” merupakan simbol dari
keenggan yang amat dari “aku larik”, kau merupakan pusat
perhatian yang sangat menarik bagi “aku larik”. “Kau” dalam
larik ini dapat berarti orang-orang Jepang atau bisa pula siapa
saja yang akan merayu. Tampak di sini ada ketegasan “aku larik”
yang memperkuat makna larik kedua.

Bait ke-2
Bait kedua yang hanya terdiri atas satu larik merupakan
simbol ketegasan yang memperkuat bait pertama. Begitu kuatnya
keinginan “aku lirik” pada bait pertama sehingga rayuan
segombal apa pun sampai rayuan berupa tangisan tersedu-sedu
pun tidak dihiraukan, tidak perlu lagi. Oleh karena itu, “aku

Serpihan Sastra 25
larik” mengatakan “Tak perlu sedu sedan itu” tanpa penjelasan
lagi.

Bait ke-3
Larik pertama; “Aku ini binatang jalang” adalah simbol
vitalitas, semangat hidup yang menggebu-gebu, “semangat
banget gitu lo” kata bahasa ragam gaul. Kesemangatan ini
ditunjukkan “aku lirik” dengan menyebut dirinya sebagai
binatang; sudah binatang, jalang lagi..
Larik kedua; “Dari kumpulannya terbuang” sebagai simbol
keperkasaan dan kesemangatan “binantang-binantang” dan “aku
lirik” berbeda dengan ”kumpulannya” dan kata “terbuang”
merupakan simbol pembeda. Pembedaan ini menunjukkan
bahwa “aku lirik” lebih jalang daripada yang lainnya.

Bait ke-4
Larik pertama; ”Biar peluru menembus kulitku” simbol
untuk menggambarkan perjuangan “aku larik” dalam mencapai
cita-cita. Untuk mendapatkan apa yang dicita-citakan harus ada
perjuangan yang sungguh-sungguh.
Larik kedua; “Aku tetap meradang menerjang” merupakan
simbol dalam berusaha tidak patahnya semangat “aku lirik”;
walaupun sakit, ia terus menerjang; melawan siapa pun yang
merayu.”

Bait ke-5
Larik pertama; “Luka dan bisa kubawa berlari” simbol
untuk menyatakan keperkasaan dan kesemangatan yang tiada
henti walaupun terhadang berbagai rintangan yang
membahayakan.
Larik kedua; “Berlari” merupakan penegasan dari larik
pertama

26 Abdul Hamid
Larik ketiga; “Hingga hilang pedih peri” masih merupakan
simbol semangat juang “aku lirik” yang tiada mau berhenti
mencapai cita-cita sebelum rintangan yang menghadangnya
teratasi.

Bait ke-6
Bait keenam yang hanya terdiri atas satu larik, “Dan aku
akan lebih tidak perduli” merupakan simbol penegasan tentang
semangat juang untuk mencapai cita-cita yang belum diraih.

Bait ke-7
Bait terakhir yang juga hanya satu larik ini merupakan jawaban
atas semua pernyataan pada bait 1 sampai dengan 6 sebab “Aku
mau hidup seribu tahun lagi” yang merupakan simbol untuk
menyatakan keabadian.

Penggalian dan Pemberian Makna


Puisi ini diawali dengan kalimat “Kalau sampai waktuku”
yang bermakna bahwa aku masih punya waktu untuk bebas,
merdeka. Waktu yang dimiliki “aku lirik” belum tentu, belum
diketahui kapan datang. Seandainya waktu tersebut datang, aku
mau tenang, bebas, merdeka, takada yang menganggu, takada
yang merayu mematahkan semangat.
Dalam keadaan terjajah dan kehidupan yang serbasusah,
kita selalu terburu-buru dan selalu dihina sebagai bangsa
sehingga banyak yang patah semangat, menyerah pada keadaan.
Kita tidak pernah tahu apakah nanti akan terjadi akhir yang
membahagiakan atau bahkan akhir yang menyedihkan. Namun,
aku optimis. Aku semangat, penuh vitalitas. Vitalitas “aku lirik”
terus memuncak, melabrak segala rintangan demi tercapainya
kemerdekaan yang abadi.
Bila suasana sudah aman, kita tidak akan merasa takut
dan khawatir lagi diburu-buru seperti anjing buruan. Jika perang
telah berakhir, yang tinggal hanya kenangan yang mengerikan.

Serpihan Sastra 27
Namun kita harus membangun kembali dengan bekerja keras
untuk mencari makna hidup. Kalau tidak demikian, nasib bangsa
hanya akan tergantung kepada penjajah. Oleh karena itu, “aku
lirik” tetap berjuang tanpa kenal menyerah melebihi binatang,
lebih jalang daripada binatang, berjuang hidup terus-menerus.
Sebab hidup ini perlu diberi makna. Untuk mempertahankan
hidup kita harus merebut kehidupan itu sendiri agar terhindar
dari kesukaran dan penderitaan yang selalu mengintai.

Langkah Filosifis
Puisi yang berjudul “Aku” karya Chairil Anwar
menggambarkan perjuangan hidup yang menampakkan suasana
vitalitas, optimis. Puisi ini berisi tentang renungan hidup
manusia dalam perjuangan hidupnya yang penuh dengan
semangat pantang mundur.
Manusia hidup harus memiliki kekuatan karena dengan
kekuatan itulah manusia akan mampu berusaha dengan baik
sehingga akan dapat mengendalikan kehidupan ini. Mata dan
hati harus dibuka lebar-lebar agar tidak salah melihat dan
memilih arah sehingga tetap selamat dalam perjuangan yang
berlandaskan cinta kasih sesama. Perjuangan hidup harus
menghasilkan suatu karya yang baik dan bermanfaat bagi
kehidupan.
Hidup ini penuh pertentangan dan pertikaian, tantangan dan
rintangan. Manusia hidup di dunia ini selalu berpacu dengan
waktu. Bagi orang yang dapat mengendalikan kehidupan akan
terhormat, sedangkan bagi orang yang terlindas dalam ganasnya
kehidupan akan terhinakan, terjajah. Dalam kehidupan manusia
belum dapat memastikan akhir kehidupan, apakah akan
mendapatkan kebahagiaan atau penderitaan. Semua itu
bergantung pada manusia itu sendiri secara pribadi, maka
manusia harus selalu penuh vitalitas hidup.
Dalam keadaan serbasukar, kita sulit untuk beristirahat, sulit
merasakan ketentraman. Yang ada hanyalah ketakutan dan
kegelisahan. Dalam suasana seperti itu, bangsa harus berjuang,

28 Abdul Hamid
harus semangat menentang maut, menentukan nasib sendiri,
merdeka, tidak bergantung kepada bangsa lain.
Puisi yang berjudul “Aku” karya Chairil Anwar diresapi latar
sejarah. Tahun 1940-an, bangsa Indonesia dalam situasi
konfrontasi dengan Belanda yang berkeinginan menjajah
Indonesia kembali, maka amat wajar bila terjadi pemberontakan
dari jiwa yang tertindas dan selalu gelisah dalam pencarian
ketentraman dan kedamaian hidup.***

Serpihan Sastra 29
HAKIKAT SASTRA ANAK
Abdul Hamid
Sastra Kontemporer Unpad

Garis batas perbedaan yang tegas antara sastra anak dan


sastra orang dewasa masih sangat samar. Dapat saja dikatakan
bahwa sastra anak-anak adalah genre sastra untuk konsumsi
anak-anak dan sastra orang dewasa adalah genre sastra untuk
konsumsi orang dewasa. Akan tetapi, sering juga orang dewasa
tertarik dan membaca sastra untuk konsumsi anak-anak.
Barangkali hal ini terjadi karena orang dewasa pernah menjadi
anak-anak. Perbedaan antara sastra orang dewasa dengan sastra
anak terdapat pada “kedalaman”. Ini berkaitan erat dengan
pengalaman anak yang lebih terbatas daripada orang dewasa
sehingga anak “belum dapat” memahami ide-ide rumit. Ide
dalam sastra anak harus disampaikan dalam bentuk dan bahasa
yang lebih sederhana.
Pemakaian bahasa pada kegiatan bersastra
memperlihatkan sifat yang khusus. Sifat-sifat yang diangkat dari
corak bahasanya mewujudkan karya sastra sebagai organisme
yang hidup, yang terbangun sebagai satu sistem. Apabila bahasa
dalam kehidupan sehari-hari merupakan sistem pembentuk yang
pertama, sastra merupakan sistem yang kedua (Lotman, 1972).
Bahasa sastra dalam banyak hal terlihat menyimpang (Riffaterre,
1978).
Untuk merumuskan pengertian sastra anak yang tepat
dan jelas bukanlah suatu upaya yang mudah. Seperti halnya
upaya merumuskan “ciri khas sastra” sudah banyak dilakukan
para ahli, tetapi sampai sekarang agaknya belum memuaskan
semua kalangan. Van Luxemburg (1986: 3-13) menyebutkan
alasan-alasan mengapa definisi-definisi mengenai sastra tidak
pernah memuaskan. Ada beberapa alasan dikemukakan.
Pertama, definisi yang mencakup aspek terlalu banyak, tanpa
membedakan definisi deskriptif (yang menerangkan apakah
sastra itu) dari definisi evaluatif (yang menilai sesuatu teks
termasuk sastra atau tidak); kedua, definisi yang ada merupakan

30 Abdul Hamid
definisi ontologis (yakni definisi yang mengungkapkan hakikat
sebuah karya sastra). Definisi semacam ini cenderung
mengabaikan fakta bahwa karya tertentu bagi sebagian orang
merupakan sastra, tetapi bagi orang lain bukan sastra; ketiga,
definisi yang ada cenderung mendefinisikan sastra menurut
standar sastra Barat; dan keempat, definisi yang cukup
memuaskan hanya berkaitan dengan jenis sastra tertentu
(misalnya puisi), tetapi tidak relevan diterapkan pada sastra
secara umum.
Para ahli kesusastraan umumnya sepakat untuk
mengatakan bahwa tidak mungkin dirumuskan suatu definisi
mengenai sastra secara universal. Apa yang disebut “sastra”
sangatlah bergantung pada lingkungan kebudayaan tertentu di
mana sastra itu dijalankan. “Sastra” hanyalah sebuah istilah yang
dipergunakan untuk menyebut sejumlah karya dengan alasan
tertentu dalam lingkup kebudayaan tertentu pula.
Meskipun definisi sastra anak sulit untuk dirumuskan,
kiranya perlu diambil suatu rumusan agar dapat dijadikan
sebagai dasar pemikiran sehingga sastra anak mampu
memperlihatkan eksistensinya. Adanya istilah sastra anak
(children’s literature) menunjukkan eksistensi tersendiri dari karya
fiksi untuk anak meskipun istilah ini kurang popular
dibandingkan dengan istilah bacaan anak (children’s literature).
Sastra anak (children’s literature) bukan bacaan anak (children’s
reading). Children’s literature writings designed to appeal to children –
either to be read to them or by them including fiction, poetry, biography,
and history. Children’s literature also includes riddles, precepts, fables,
myths, and folk poems and folktales based on spoken tradition …(Sastra
anak adalah karya tulis yang dibuat untuk menarik anak-anak
apakah itu untuk dibacakan kepada mereka atau pun untuk
dibaca oleh mereka sendiri – berupa fiksi, puisi, biografi, dan
kisah sejarah. Yang termasuk juga sastra anak adalah teka-teki,
pelajaran, fabel, legenda, mitos, dan syair atau cerita rakyat yang
berasal dari sastra lisan ..… (Microsoft, 2008: entri Children’s
Literature).
Untuk lebih mempertegas perbedaan antara istilah sastra
anak dengan istilah bacaan anak, perlu pula diungkapkan
pengertian dan jenis bacaan anak. Istilah bacaan anak (children’s
reading) lebih umum dipakai daripada sastra anak (children’s

Serpihan Sastra 31
literature). Sarumpaet (1976: 23) merumuskan secara khusus apa
yang disebut bacaan anak-anak, sebagai berikut.
1. Tradisional: Bacaan anak-anak adalah yang tumbuh
dari lapisan rakyat sejak zaman dahulu kala dalam
bentuk mitologi, cerita-cerita binatang, dongeng,
legenda, dan kisah-kisah kepahlawanan yang
romantis.
2. Idealistis: Bacaan anak-anak harus bersifat patut dan
universal, dalam arti, didasarkan pada bahan-bahan
terbaik yang diambil dari zaman yang telah lalu dan
karya-karya penulis terbaik masa kini.
3. Popular: Bacaan anak-anak adalah bacaan yang
bersifat menghibur, sesuatu yang menyenangkan
anak-anak.
4. Teoretis: Bacaan anak-anak adalah bacaan yang
dikonsumsi anak-anak dengan bimbingan dan
arahan anggota-anggota dewasa suatu masyarakat,
sedangkan penulisannya juga dilakukan oleh orang-
orang dewasa.

Sarumpaet (1976: 24) menyebutkan tiga ciri yang


membedakan bacaan anak dengan bacaan orang dewasa, sebagai
berikut.
1. Adanya sejumlah pantangan. Artinya, karena
pembacanya anak-anak dari berbagai kelompok usia,
hanya hal-hal tertentu dapat dikisahkan pada anak-
anak dari kelompok-kelompok usia tertentu. Dalam
hal inilah, kita dapat memanfaatkan sumber-sumber
sebagaimana yang tersebut dalam rumusan (1) secara
efektif, juga sasaran yang termaksud dalam (2) dan
(3), masing-masing dalam konteksnya yang sesuai.
2. Penyajian dengan gaya langsung.
3. Adanya fungsi terapan.

Apa yang dimaksud rumusan (1), (2), dan (3) oleh Sarumpaet
adalah rumusan bacaan anak secara khusus, yaitu (1) tradisional,
(2) idealistis, dan (3) popular (1976: 24).
Jenis bacaan untuk anak-anak cukup beragam, menurut
Bunanta (1998: 41), dilihat dari isinya, selain sastra tradisional

32 Abdul Hamid
jenis bacaan anak lainnya adalah puisi, fantasi modern, fiksi
realistis kontemporer, fiksi sejarah, biografi, dan buku informasi.
Pembagian ini sebetulnya dapat diperluas lagi, yaitu buku
misteri, petualangan, humor, olah raga, dan lain sebagainya.
Menurut bentuk penulisannya, jenis bacaan anak diklasifikasikan
ke dalam buku bacaan bergambar (picture book), komik, buku
berilustrasi, dan novel. Dilihat dari fungsinya, ada pula buku
untuk pemula yang disebut sebagai buku konsep, buku
partisipasi, dan toybooks. Bila dilihat dari bahannya, selain kertas,
buku untuk pemula ada yang terbuat dari kain, plastik, foam,
dan karton tebal. Dilihat dari ukurannya, selain yang biasa
seperti pada umumnya, ada yang berukuran kecil, sedang, dan
besar.
Berkaitan dengan rumusan, ciri-ciri, dan jenis bacaan
untuk anak, maka sastra anak sebagai salah satu jenis bacaan
anak harus disesuaikan dengan pembacanya (audiences). Pembaca
sastra anak adalah makhluk yang spesifik. Karena itu, karya yang
diperuntukkan bagi anak harus spesifik pula. Sastra anak
hendaknya mampu memperluas horizon dan memperdalam
pengetahuan anak, serta memberikan wawasan sosial yang lebih
luas. Pemilihan sastra anak harus mempertimbangkan beberapa
hal, antara lain; (1) untuk memberikan hiburan agar anak tertawa
terpingkal-pingkal dan senang hatinya (to amuse the children), (2)
memberikan informasi kepada anak tentang fenomena fisik,
objek-objek, cuaca, hewan, siang, malam, waktu, hukum-hukum
fisik, dan khayalan (to inform the children), (3) memberikan
tuntunan hal tingkah laku dan perkembangan pola tingkah laku
(to advise children in matters of behaviour and develop certain
behaviour pattern).
Hal lain dalam pemilihan materi sastra anak adalah: (1)
pengalaman jiwa yang terdiri atas: (a) interes, biasanya anak
memiliki perhatian pada hewan, tumbuh-tumbuhan, sungai,
serangga, dan jagad fisik secara luas, (b) latar belakang
(bacground), perlu diketahui bahwa anak itu belum kenyang
dengan pengalaman jiwanya, (c) kosakata anak, anak biasanya
masih terbatas kosakatanya, karena itu dipilih yang sederhana,
(d) keterampilan membaca (children’s reading skills), (e) perhatian,
perhatian anak sering berganti-ganti dan berpindah-pindah, (f)
technique of fact-finding, kadang-kadang anak masih bingung,

Serpihan Sastra 33
harus melihat ensiklopedi, sedangkan orang dewasa cukup
melihat kamus saja, (g) anak sering bertanya: “is this thing likely to
happen, or at least to happen in this way?”; (2) umur, umur 6-12
semestinya diberikan karya sastra yang bersangkut paut dengan
kekeluargaan; (3) struktur: tema (seharusnya mengembangkan
imajinasi, yang tidak mengandung kebengisan, kenistaan,
pornografi), gaya: segar dan mudah dimengerti, membantu
mengasah otak anak, pelaku bisa memberikan teladan, isi:
mendidik anak ke arah kritis dan berinisiatif (Endraswara, 1992);
(4) siviliasi: memilih karya yang memuat moral, religius,
persuasif, sosiologis, kultural, dan artistik (Sugihastuti, 1996).
Karya sastra untuk anak yang baik adalah: (1) batas
rentangan pengalaman yang ditampilkan jelas, (2) bahasa tidak
terlalu tinggi, karakter tidak terlalu sulit diikuti, dan tidak terlalu
kompleks, (3) bersifat fleksibel dan menumbuhkan kecerdasan,
(4) lebih ke arah menunjukkan pola-pola visual dari verbal.
Berkaitan dengan kriteria sastra anak, Tarigan (1995: 6-
11), berpendapat bahwa sastra dapat memberi nilai intrinsik
(intrinsic values) dan nilai ekstrinsik (extrinsic values) bagi anak-
anak. Nilai intrinsik sastra bagi anak terdiri atas: (1) memberi
kegembiraan, (2) mengembangkan imajinasi, (3) memberi
pengalaman baru, (4) mengembangkan wawasan menjadi
perilaku insani, (5) memperkenalkan kesemestaan pengalaman,
dan (6) menurunkan warisan sastra. Nilai ekstrinsik sastra anak-
anak terdiri atas: (1) perkembangan bahasa, (2) perkembangan
kognitif, (3) perkembangan personalitas, dan (4) perkembangan
sosial.
Dengan banyaknya jenis bacaan anak, termasuk di
dalamnya sastra anak, seorang anak akan menentukan pilihan
sesuai dengan minatnya, jenis bacaan dan sastra apa yang akan
dijadikan sebagai bahan bacaan. Ada enam alasan mengapa anak
menyukai karya sastra tertentu, yakni: (1) ingin tahu, (2) ingin
menemukan fakta di luar kehidupannya (to find out the facts of
living), dan ingin mengetahui eksistensi dirinya, (3) ingin kembali
pada kenyataan, (4) ingin menentramkan hati dan mencari
ketenangan, (5) ingin mencari tokoh atau figur yang dapat ditiru,
(6) ingin mencari kenikmatan.
Dilihat dari alur, tema, dan penokohan, Budak Teuneung
bisa dikatakan sebagai bacaan anak yang baik pada zamannya

34 Abdul Hamid
karena memiliki ciri-ciri yang dikemukakan di atas.

BUDAK TEUNEUNG SEBAGAI BACAAN ANAK

Samsoedi (Bandung, 1899 – Bandung, 9 Mei 1987) bukan saja


memiliki keahlian dalam mengarang cerita, tetapi juga pakar
dalam menggambar dan mengaransemen lagu. Karya
pertamanya Carita Nyi Halimah terbit tahun 1928. Dua tahun
setelah itu terbut lagi tiga bukunya, Carita Budak Teuneung, Carita
Budak Minggat, dan Carita si Dirun. Karya lainnya terbit pada
tahun 1931, yaitu Jatining Sobat dan Babalik Pikir.
Samsoedi merupakan pengarang Indonesia pertama yang
mengkhususkan diri menulis cerita-cerita untuk anak-anak.
Karya-karyanya dibangun dalam narasi, bukan wawacan
sebagaimana popular pada zaman itu dalam sastra Sunda.
Setamat Sekolah Guru (1917), Samsoedi diangkat menjadi
guru bantu di Tangerang selama enam tahun. Selama itu, ia pun
ikut membantu-bantu di Penjara Kanak-Kanak Tangerang. Tahun
1923 ia dipindahkan ke Bandung. Setelah tujuh tahun bekerja di
Bandung, ia ke Jakarta karena pindah bekerja sebagai redaktur di
Balai Pustaka hingga zaman pendudukan Jepang.
Setelah zaman merdeka, Samsoedi mengarang dalam
bahasa Indonesia, Pasundan, terbit tahun 1949. Kemudian tahun
1956 menerbitkan lagi buku dalam bahasa Sunda, Pangeran
Dipanegara. Lama sekali ia tidak menulis lagi. Baru pada tahun
1979 menerbitkan lagi buku berbahasa Indonesia, Kisah Syafe’I
Sumarja dan tahun 1980 Minah dan Imran, lalu tahun 1983 Kisah
Mandor Hutan. Tahun 1980 pun terbit bukunya dalam bahasa
Sunda, Bohim jeung Tukang Sulap. Berdasarkan jasanya, sejak
tahun 1993 nama Samsoedi diabadikan menjadi nama hadiah
untuk buku bacaan anak-anak dalam bahasa Sunda.
Buku Budak Teuneung mengalami lima kali cetak ulang.
Cetakan I (1930) oleh Balai Pustaka, cetakan kedua sampai
keempat oleh Pusaka Sunda Bandung, dan cetakan kelima (2002)
oleh Kiblat Buku Utama, Bandung. Budak Teuneung dibagi ke
dalam delapan bagian, yaitu Jadi Yatim, Nandonkeun Baju,
Maradukeun, Telenges, Gelut, Diajar Maca, Sasar Pikir, dan
Katangkep.

Serpihan Sastra 35
Diceritakan bahwa Warji yang berumur 11 tahun biasa
disebut Si Wajit, baik oleh orang tua maupun oleh anak-anak
sebayanya. Warji menanyakan kepada ibunya, mengapa ia
disebut Si Wajit. Padahal, namanya Warji, bukan Wajit. Warji
merasa heran karena teman sebayanya apabila dipanggil
namanya dengan tambahan si, teman itu akan marah. Terbukti
ketika ia menyebut Si Onon, kepada Asep Onon, anak lurah,
langsung saja ditempeleng oleh Asep Onon dan dua kawannya,
Si Begu dan Si Utun.
Menurut ibunya, dengan sebutan Si Wajit, anaknya
takperlu marah dan takperlu melawan karena sebutan tersebut
tidak mengakibatkan luka. Namun, pendapat ibunya meleset
karena ternyata kepala Warji bengkak karena pukulan Asep
Onon, Begi, dan Utun. Ibuya merasa nelangsa dengan keadaan
nasib anaknya yang sudah jadi anak yatim itu. Ia pun berdoa
agar Warji mendapat rahmat dari Tuhan.
Pada suatu hari Asep Onon terperosok ke dalam sumur
yang sudah tidak pernah dipakai. Walaupun sering disakiti oleh
Asep Onon, ternyata karena didikan ibunya, Warji takbalas
dendam kepada Asep Onon. Warji malah menolong Asep Onon.
Karena itu, lurah, orang tua Asep Onon, memberikan hadiah
berupa baju kepada Warji. Baju yang dihadiahkan itu merupakan
baju Asep Onon.
Ambu Warji (ibunya Warji) sudah beberapa hari sakit
batuk dan sesak dan akibatnya ia tidak bekerja sebagai buruh tani
dan karena itu pula sudah beberapa hari takpunya beras untuk
dimasak. Ambu Warji menyuruh anaknya ke warung ibunya
Utun untuk mengutang beras. Namun, pemilik warung tidak
memberikan pinjaman karena utang Ambu Warsih dianggap
sudah terlalu besar dan juga dianggap takmampu membayar.
Dengan cerdasnya, Warji membuka baju yang sedang
dipakainya. Baju hadiah dari Asep Onon itu digadaikannya ke
pemilik warung. Pemilik warung menyanggupi asal jika dalam
waktu seminggu takdapat ditebus, baju itu menjadi milik Utun,
anaknya.
Utun dan sahabatnya, Begu, menyangka baju tersebut
merupakan baju curian. Untun dan Begu akan melaporkan
kepada lurah. Karena itu, mereka bersepakat ketika bertemu
dengan Warji yang akan mencari bahan bakar. Begu pergi

36 Abdul Hamid
melapor kepada lurah, sedangkan Utun menjaga Warji agar
takkabur. Namun, ternyata ketika diajak berkelahi oleh Warji,
Utun malah lari sebab takut kalau satu lawan satu. Karena lari
itulah Utun jatuh terantuk batu hingga kepalanya berdarah. Utun
mengadu kepada ibunya bahwa kepalanya berdarah akibat
dipukuli Warji.
Begu dan Utun merasa dendam kepada Warji, maka
mereka berniat mencelakakan Warji. Ketika Warji memancing,
mereka mendorong Warji. Kemudian datang Asep Onon yang
kebetulan sedang mencari Warji. Dalam perkelahian Utun dan
Begu kalah telak. Mereka pun lalu berjanji takakan mengulang
perbuatannya.
Asep Onon yang kemudian menjadi sahabat Warji
memberi pekerjaan kepada Warji sebagai pengangon kerbau
milik orang tuanya, lurah. Selain itu, Asep Onon pun megajari
Warji baca tulis. Beberapa tahun kemudian, Warji diangkat lurah
sebagai juru tulis desa. Sebaliknya, Utun dan Begu yang sudah
habis kekayaannya malah menjadi penjudi dan pencuri ulung di
desa. Suatu malam kerbau lurahlah yang jadi sasarannya.
Warkilah yang menemukan bahwa pencurinya adalah Utun dan
Begu. Warji pula yang menangkap mereka setelah dalam
perkelahian mengalahkan mereka. Kembali Warji diberi hadiah
uang oleh lurah.

***

DAFTAR PUSTAKA

Bunanta, Murti. 1998. Problematika Penulisan Cerita Rakyat untuk


Anak di Indonesia.Jakarta: Balai Pustaka.

Endraswara, Suwardi. 1999. “Tak Ada Sastra Anak dan


Pengajaran Tidak Adil?”. Makalah Pilda III HISKI
Komda DIY di Universitas Negeri Yogyakarta, 13
Nopember.

Harras dan Henry Guntur Tarigan (ed). 1993. Sastra dan

Serpihan Sastra 37
Perkembangan Anak-anak Sebuah Bunga Rampai. Bandung:
Mimbar Pendidikan Bahasa dan Seni FPBS IKIP Bandung.

Lotman, Jurij. 1972. The Structure of The Artistic Text. UMP:


Michigan.

Riffaterre, Michael. 1978. Semiotic of Poetry. London: Metheun &


Co. Ltd.

Sarumpaet, Riris K. 1976. Bacaan Anak-Anak Suatu Penyelidikan


Pendahuluan ke dalam Hakekat, Sifat dan Corak Bacaan Anak-
Anak Serta Minat Anak pada Bacaan. Jakarta: Pustaka Jaya.

Sugihastuti. 1996. Serba-Serbi Cerita Anak. Yogyakarta: Pustaka


Pelajar.

Tarigan, Henry Guntur. 1995. Dasar-Dasar Psikosastra. Bandung:


Angkasa.

Van Luxemburg, Jan, dkk. 1986. Pengantar Ilmu Sastra.


(terjemahan Dick Hartoko). Jakarta: Gramedia.

38 Abdul Hamid
LILIN BERSINAR DI GILLI

Ketika melihat tampilan novel Lintang Sugianto yang berderet


menantang bersama dengan buku baru lainnya, saya tergoda
untuk menjamahnya. Kala menjamahnya, ternyata saya
terangsang untuk mencoba menggaulinya. Mata berbinar ketika
melihat ada pesan sponsor yang mencoba merangsang calon
penggaul seperti saya. Sponsor utama W.S. Rendra; didukung
oleh Sholahuddin Wahid, Yuslam Chaniago, Eep Saifullah Fatah,
dan Irena Handono. Tentu saja berahi saya makin membara
untuk menggauli novel itu setelah tahu apa yang disampaikan
para sponsor. Terbersit juga keriangan karena ada berita baru:
politisi Indonesia baca novel, yang biasanya cuma nyanyi
dangdut.
Muncul pikiran dalam benak. Benarkah apa yang
disampaikan kelima tokoh tersebut? Samakah semuanya dengan
horizon harapan yang saya miliki? Saya senantiasa berkenalan
dulu dengan nama (baca: judul) karena saya terpengaruh ajaran
Islam dan juga ajaran sastra A. Teeuw (1984) yang selalu
Tergantung pada Kata. Nama merupakan identitas bagi
penyandangnya. Artinya, setiap kata punya makna, setiap nama
punya makna. Ini terbukti ketika kita memberi nama pada orang,
binatang, lembaga, atau lainnya, kita pikir-pikir dulu cocok
tidaknya. Berbeda dengan William Shakespeare yang
mengabaikan nama.
Matahari memberikan asosiasi negatif dan juga positif,
bergantung pada konteksnya. Dalam hal-hal tertentu matahari
diasosiasikan secara negatif karena panasnya yang
mengisyaratkan pada kekeringan dan kegersangan. Untuk ini,
kita ingat saja pada novel Iwan Simatupang: Kering. Pada pihak
lain, matahari bernilai positif karena sinarnya yang
mengisyaratkan pada kebenderangan, kecerahan, kesegaran,
kebaruan, asa positif. Contoh jentrenya adalah bila sinar matahari
terhalang oleh awan calon hujan, petani yang akan menjemur
padi mengatakan cuaca buruk. Sebaliknya, penjual bandrek dan
bajigur akan mengatakan cuaca baik. Jadi, secara objektif tidak

Serpihan Sastra 39
ada cuaca buruk, tidak ada pula cuaca baik; yang ada adalah
cuaca cerah dan cuaca mendung.
Bagaimana dengan Matahari di atas Gilli (selanjutnya ditulis
MG)? Matahari beneran atau cuma metafora untuk sesuatu yang
positif atau negatif? Jawabannya adalah novel Lintang Sugianto
ini puitis judulnya sehingga jawaban yang sesungguhnya akan
diperoleh setelah kita membacanya. Karena itu, kita kuak
jawabannya.
MG disajikan dalam lima belas bagian yang memiliki judul
masing-masing, yaitu Tragedi Dua Sabam; Ubur-ubur; Ia pun
Membangkang; Apakah Gilli juga Indonesia; Gua Kucing Itu;
Suamar dan Suhada; Kambing Makan Kertas; Walau; Hada…!; Di
Gilli, Lima Tahun Kemudian; Sekeping dan Rayap-Rayap Bodoh;
Agar Bening; Bola-Bola Api yang Tak Bernyali; Ia Hanya Seorang
Sarkawi; Jangan-Jangan Ia Sembunyi di Balik Awan.
Pada bagian I cerita dimulai dengan “Suhada masih duduk di
ujung dermaga.” Kalimat pembuka itu yang bagus tersebut
menginformasikan pada kita tentang waktu yang sudah dan
sedang berlangsung. Peristiwa ini dilakoni sang tokoh yang
sedang hamil itu hampir setiap senja. Dia bukan menunggu
perahu yang merapat, melainkan menunggu pulangnya sang
suami, ayah sang bayi yang masih di dalam kandungan. Kalimat
semacam inilah, barangkali, yang dipuji oleh W.S. Rendra dalam
pesan sponsornya.
Sebelum Suhada datang, orang Gilli tidak mengerti bahasa
lain, selain bahasa Madura (hlm. 4). Sebelum Suhada datang
pula, di Gilli pernah terjadi musibah akibat adanya badai. Kapal
Sabam milik Pak No tenggelam. Pak No dan anaknya –yang
senama dengan kapal– pun ikut tenggelam. Orang Gilli
menyebut musibah itu “Tragedi Dua Sabam”. Adakah kata
tragedi dalam bahasa Madura sebelum Suhada datang ke Gilli?
Dalam bagian ini ada dua tema: kerinduan Suhada pada Suamar
dan pengenalan tokoh Bu No sebagai penduduk asli Gilli, ibu
angkat Suhada. Tragedi dua sabam sebagai judul bagian sangat
lemah hubungannya dengan tema walaupun ada.
Dalam pesan sponsornya Sholahuddin Wahid menyebut MG
sebagai novel Islami. Pada ceritaan hlm. 9 tanpa dikomentari
tokoh terdapat kalimat penampakan: ” …nelayan-nelayan (yang
sudah mati; pen.) Sabam masih nampak [sic!] melambai-lambaikan

40 Abdul Hamid
tangannya.” Pada hlm. 2, 61, dan 128 pun ada yang patut
dipertanyakan pada Sholahuddin, bukan pada Lintang sebagai
pengarang.
Bagian II mengajak kita flesbek ‘flashback’ alias sorot balik.
Bagian II merupakan pengenalan Suhada dan Suamar. Ubur-
ubur yang biasa diasosiasikan negatif karena bentuknya yang
“takkaruan”, di sini malah sebaliknya. Kepositifan ubur-ubur
karena perilaku dan juga “ketakkaruannya” yang mengundang
kesukacitaan Suhada terhadap Suamar sehingga “Aku ingin
serupa ubur-ubur untukmu.” (hlm. 21-22). Pada halaman tersebut
terdapat kalimat yang dikatakan Eep Saiful Fatah dalam pesan
sponsornya: gaya puitis dalam novel. Sayangnya, walaupun
judul sangat sesuai dengan tema, ada kalimat yang mengganjal
pada hlm. 211: “Sesekali perahu mereka pun sering berpapasan ….”
Kata sesekali bersinonim dengan kadang-kadang atau jarang, tapi
dalam kutipan itu ada kata sering yang jelas merupakan lawan
kata jarang. Ini membingungkan. Hal yang mirip dapat kita
jumpai juga pada hlm. 51, misalnya, seluruh ikan-ikan besar.
Kata seluruh menyatakan jamak. Begitu juga kata ikan.
Bagian III Ia pun Membangkang menceritakan dua
bangkangan (hlm. 30–31): Pertama, Suamar takmau menetap di
Gilli. Ia meninggalkan Gilli untuk sekadar melihat bahwa
kampung halamannya itu cukup jauh tertinggal dari tempat lain;
Kedua, Suamar berniat membawa Suhada –orang Sukabumi,
Jawa Barat– sebagai istrinya ke Gilli yang gersang, kering, dan
tertinggal dari tempat lain. Banyak orang Gilli mengingatkan
agar Suamar membatalkan pernikahannya dengan Suhada. “Gilli
pasti menolak pendatang, Amar …! Batalkan saja. Kasihan gadis itu,
pasti dapat petaka./ Dan Suamar hanya memoncongkan mulutnya.
Suamar jadi menikahi Suhada dan membawanya ke Gilli.
Pada cerita selanjutnya ternyata Suhada meninggal kerena
mengalami pendarahan saat melahirkan. Lalu ada penampakan
beberapa saat setelah Suhada meninggal. Petakakah,
musibahkah, takdirkah itu?
Tidak ada tegangan, baik melalui narasi mapun dialog. Hal

1
Banyak kalimat yang mengganggu keterbacaan akibat kurang tepatnya pemakaian ejaan
(pemakaian huruf dan tanda baca), pilihan kata, penulisan kata, tumpang tindihnya kalimat dengan
klausa, penyusunan paragraf.

Serpihan Sastra 41
ini terus berlanjut sejak bagian pertama sampai bagian akhir.
Karena itu, tokoh-tokoh yang ada di dalam novel ini datar-datar
saja. Cukup dengan memoncongkan mulut, jadilah
pembangkang. Cukup dengan membuat beberapa perahu, jadilah
pekerja ulet. Takada kelanjutan. Takada deskripsi lain.
Bagian IV hanya menggelitik dengan pertanyaan lugu dari
seorang murid kepada Suhada “Apakah Gilli juga Indonesia, Hada
…??” Suhada tertegun sejenak, “Oh … tentu, cong …!!! Gilli ini juga
bagian dari negara kita yaitu Indonesia …!!!2” Buktinya, bendera dan
lagu kebangsaan kita sama. Gilli tidak ada dalam peta karena
peta yang dimiliki sangat kecil hingga takbisa mencantum Gilli.
Titik. Cukupkah tertegunnya cuma sejenak, mengapa tidak
beberapa jenak? Sayang sekali. Padahal ini bisa dikembangkan
lebih jauh dengan mengeksploitasi Suhada sebagai tokoh.
Bagian V bercerita tentang tempat keramat yang disebut Gua
(pada judul tertulis gua, sedangkan dalam teks tertulis goa)
Kucing sebagai petilasan wali Syekh Maulana Iskhak. Orang Gilli
terbiasa datang ke Gua Kucing yang telah dipercaya sebagai
penjawab segala bentuk permasalahan yang menggantung dan
tak terselesaikan. Umi Suamar (ibunya Suamar) pun datang ke
sana karena Suamar belum pulang juga. Dia heran karena diikuti
kucing hitam dengan tatapan mata tajam. Dia pun bertanya pada
diri sendiri, “… akan ada apa ini..??” Takada permasalahan.
Cerita berjalan terus sampai akhirnya Bu No berbisik pada
dirinya sendiri bahwa ia harus bisa menyembunyikan kabar
kecelakaan Suamar kepada Suhada.
Bagian VI dibuka dengan keinginan Suhada ke Probolinggo
agar kabar tentang Suamar jelas dan menghapus semua
pertanyaan yang belum terjawab satu pun. Padahal di dalam teks
takada satu pun pertanyaan yang memerlukan jawaban. Teks
hanya mengungkapkan bahwa Suahad rindu pada Suamar dan
menantikan kepulangannya. Titik. Tidak pula diceritakan
bagaimana gelisahnya Suhada dalam kerinduan dan penantian
itu.
Dalam bagian ini lagi-lagi ada ancang-ancang yang

2
Tanda seru dan tanda tanya dalam novel ini rupanya takcukup satu. Ada yang sebaiknya dua tanda,
yang dipakai malah satu, atau bahkan tidak ada. Begitu juga awalan di tertukar dengan kata depan
di.

42 Abdul Hamid
mengisyaratkan akan datangnya kematian Suhada. Dia bermimpi
dirinya terjatuh ke samudera ketika menjemput Suamar. Saat
ombak semakin membawa hanyut, Suamar takmampu meraih
tangannya (hlm. 77). Suatu alur seperti yang banyak ditemukan
dalam sinetron kita akhir-akhir ini. Mudah ditebak.
Bagian VII dengan judul Kambing Makan Kertas
memperjelas apa yang dikemukakan pada bagian III, yaitu
kegersangan dan kepanasan Gilli (hlm. 30). Untuk membuktikan
hal itu, tiba-tiba ada dua orang wisatawan asing. Kepada mereka
diperlihatkan bahwa kambing di Gilli tidak makan rumput,
tetapi makan ikan dan juga kertas. Tampaknya kehadiran
wisatawan itu hanya dipinjam untuk memperlihatkan bahwa
secara geografis Gilli berpotensi menjadi tempat wisata.
Dalam bagian ini ada konflik batin, tetapi tidak nyambung.
Kita lihat halaman 94 yang bercerita tentang Suhada. “Ia pun
sangat menyesal dengan sikapnya yang sangat emosional tadi. Ia sangat
menghormati perempuan tua itu.” Bagaimana penyesalannya,
ternyata tidak ditindaklanjukan. Padahal teks sebelumnya tidak
ada narasi atau dialog Suhada dengan Bu No. Yang ada hanyalah
narasi tentang tidurnya Suhada karena dikidungi Bu No, lalu
Suhada terbangun lagi karena ada yang memanggil-manggil
namanya. Para pemanggil itu adalah orang Gilli yang
mengantarkan wisatawan asing: Jassica dan Clara.
Bagian VIII bercerita tentang puncak kerinduan Suhada
kepada Suamar. Sayangnya, kerinduan tersebut kurang
tergambarkan, baik dalam narasi, cakapan batin, maupun dalam
dialog. Namun, bagian ini memiliki amanat yang menarik untuk
disimak, yaitu tentang keikhlasan ibu yang rela berkorban demi
anak yang sedang dikandungnya. Bagian ini pun memiliki diksi
yang kuat dengan hadirnya Tuhan sebagai sahabat dan karena
itu diajak bernegosiasi singkat demikian:

“Gusti yang kusembah


Selamatkan bayiku dan jangan pilih aku.
jadikan ia terkuat di dalam kelemahannya
jadikan ia perkasa di dalam kebenaranya
jadikan ia lembut di dalam cintanya
jadikan ia dirinya sendiri
bukan Suamar, bukan pula aku.”

Serpihan Sastra 43
Pada pembicaraan di atas, saya sudah menyinggung tentang
kesalahan berbahasa karena tidak bermakna atau bahkan
merusak makna, seperti penulisan buk No, pak No, bu bidan, pak
Lurah, dan bu Lurah yang seharusnya Bu No, Pak No, Bu Bidan,
Pak Lurah, dan Bu Lurah sebagai sapaan. Namun, pada bagian
ini ada kesalahan berbahasa yang justru dapat memberikan
makna lain atau bahkan menguatkan. Hal ini bisa juga begitu
(tanpa lho) karena nego Suhada dinyatakan dalam bentuk puisi
yang saya kutip seujratnya (seadanya).
Kita perhatikan kutipan itu hanya memiliki tiga huruf kapital
(Gusti, Selamatkan, dan Suamar) dan dua tanda titik pada kata aku.
Kata Gusti merupakan sapaan untuk Tuhan dalam bahasa
Sunda, Jawa, Madura dan Suamar merupakan nama diri sesuai
dengan kaidah ejaan. Penyimpangan berbahasa yang
menguatkan makna adalah pada kata selamatkan. Pengapitalan
huruf s pada kata tersebut dapat memberikan tekanan tentang
kesangatan permintaan Suhada yang ikhlas sebagai ibu. Tiada
pilihan lain. Kesangatan ini diulang dengan tanda titik pada
kedua kata aku. Tiada pilihan lain lagi. Hal ini dikuatkan pula
dengan vokal [u] yang dalam bahasa Indonesia menunjukkan
ketajaman. Kata aku juga dalam keseharian menunjukkan
keakraban. Di sini keakraban Tuhan dengan Suhada. Bandingkan
nuansanya jika kata aku diganti dengan kata saya. Larik-larik lain
ditulis dengan huruf kecil semua dan tanpa tanpa titik. Ini juga
kekuatan karena hal itu menandakan masih ada pilihan lain.
Kutipan ini juga tampaknya sebagai ancang-ancang bahwa
tokoh Suhada akan meninggal. Yang menjadi pertanyaan adalah
mengapa muncul jangan pilih aku dalam hal keselamatan padahal
dalam teks sebelumnya tidak ada satu kata pun, baik implisit
maupun eksplisit, yang menyatakan adanya kelainan kandungan
atau Suhada mengidap penyakit tertentu yang membahayakan
jiwanya dan atau janinnya.
Tampaknya jawaban untuk itu adalah mitos yang
menyatakan bahwa orang yang meninggal ketika melahirkan
anaknya berarti mati syahid sebab berjuang di jalan
Alloh.(wallohu’alam bissawab) Karena itu pula, tokoh novel ini
diberi nama Suhada.
Bagian IX bercerita tentang Suhada melahirkan, meninggal,
dan arwahnya menampakkan diri pada Suamar. Sayang dalam

44 Abdul Hamid
bagian ini pun tokoh Suhada didiamkan, tidak diekploitasi.
Suhada hanya diceritakan merintih, memanggil Bu No,
menggigit kuat bibirnya sendiri, matanya menatap lurus semerah
udang penuh bintil-bintil keringat yang sebentar lagi berjatuhan.
Orang-orang di sekitarnyalah yang diekploitasi untuk menolong
dan menyambut kelahiran jabang bayi dengan upacara adat.
Suahada mengalami pendarahan, lalu bayi lahir, dan akhirnya
Suhada meninggal karena kehabisan darah.
Meninggalnya Suhada diungkapkan secara implisit sehingga
sebagai pembaca saya sempat bertanya mengapa baru saja
melahirkan dan mengalami pendarahan, Suhada bisa langsung
melangkah keluar dari kamar bersalin (hlm. 128-129). Ternyata
seperti sinetron dan tayangan TV kita, Suhada yang keluar dari
kamar bersalin tersebut adalah Suhada yang dihadirkan untuk
penampakan bagi Suamar yang persis saat itu baru tiba di
dermaga. Ya, Suhada sudah berada di dunia lain. Wafat. Lalu
arwah Suhada (begitulah menurut TV kita) menampakkan diri
pada Suamar.
Bagian X menceritakan Gilli lima tahun kemudian setelah
kematian Suhada. Dalam lima tahun ini Gilli mengalami
kemajuan pesat dalam bidang ekonomi dan bahasa Indonesia,
dan bidang lain. Pokoknya maju. Hal itu berkat matahari Suhada
sebagai guru. Karena kemajuan ekonomi itulah, pada hlm. 161
tiba-tiba ada ajaran Islam dalam sebuah paragraf yang nyelonong
masuk tanpa basa-basi alias tidak ada hubungan dengan teks-
teks sebelumnya, bahkan dengan teks itu sendiri.
“Penghasilan mereka yang sekedar [sic!] nelayan nyaris tak
pernah surut, bahkan terasa kian menjulang. Dengan munculnya
kembali pembuatan kapal-kapal besar, mereka pun berinfak dan
berzakat besar.”
Penampakan pada bagian IX itulah yang mengakibatkan
Suamar pada bagian XI, XII, dan XIII selama lima tahun hidup
dalam dua dunia: dunia nyata dan dunia gilacinta. Selama itu
Suamar menganggap Suhada masih hidup. Dia katakan pada
semua orang hal itu termasuk kepada anaknya, yang juga
bernama Sabam. Sabam pula yang mengakibatkan Suamar sangat
berang karena Sabam mengetahui di kamar Suamar ada bantal
guling yang yang dibajui pakaian Suhada. Sabam makin gila. Dia
mengamuk dan mengakibatkan ayahnya (Pak Haji) murka, lalu

Serpihan Sastra 45
Pak Haji mengajak carok.
Bagian XIV membicarakan ketakberdayaan Pak Haji dan
kerinduannya pada Suamar yang kabur. Pak Haji ternyata hanya
seorang Sarkawi. Secara implisit kehajiannya tidak berarti apa-
apa. Ia lelah menghadapi Suamar, anaknya.
Pada bagian akhir, dari persembunyiannya, Suamar yang
masih dalam gilacinta pada Suhada menelepon Pak Haji bahwa
ia akan pulang dari Semarang. Mereka saling meminta maaf.
Lalu, esok paginya di koran ada berita seorang laki-laki mati
karena terjatuh atau terdorong dari kereta api jurusan Semarang-
Surabaya. Suamarkah yang meninggal? Secara implisit, secara
sinetronis: Ya.
Kalau saja dikemas lebih baik lagi, baik bahasa, gagasan,
penceritaan, tokoh maupun penokohannya, novel ini tentu akan
lebih enak dibaca dan perlu. Seperti pesan Irena Handono, saya
berharap mudah-mudahan novel ini menjadi amal ibadah bagi
Lintang Sugianto dan juga pembaca. Cag!***

46 Abdul Hamid
Malam Lebaran dalam Teropong Barthes

Lebaran, dalam cita rasa orang Islam di Indonesia


khususnya dan orang Indonesia umumnya, sangatlah penting.
Bahkan teramat penting walaupun sangat berbeda dengan situasi
dan kondisi di negara lahirnya agama Islam, yakni Arab. Secara
etimologis, kata lebaran yang merupakan kata lain dari idul fitri
atau idul adha bagi masyarakat Sunda berakar dari kata lubar
yang berarti ‘impas’. Kemudian kata itu diimbuhi –an menjadi
lubaran, lalu berubah bunyi dari lulubaran menjadi lebaran
(bandingkan: kabupatian menjadi kabupaten, kapapatian menjadi
kapapatenan). Lulubaran dimaksudkan di sini adalah saling
mengimpaskan dosa (kesalahan) antarorang. Saling
mengimpaskan dosa merupakan salah satu dari sekian banyak
muatan yang diemban dalam idul fitri atau idul adha. Karena itu,
muncul tradisi mudik alias pulang ke kampung halaman.
Dalam bahasa Jawa, yang pengertiannya tidak begitu
berbeda dengan bahasa Sunda, kata lebaran mengandung maksud
lebar-lebur-luber-labur. Lebar artinya kita akan bisa lebaran dari
kemaksiatan. Lebur artinya lebur dari dosa. Luber artinya luber
dari pahala, luber dari keberkahan, luber dari rahmat Allah SWT.
Labur artinya bersih sebab bagi orang yang benar-benar
melaksanakan ibadah saum, hati kita akan dilabur menjadi putih
bersih tanpa dosa. Karena itu, tradisi tempo dulu, menjelang
lebaran rumah-rumah dan pagar halaman banyak yang dilabur
dengan kapur; dan kemudian beberapa dekade kemudian
dilabur dengan cat. Hal ini mengandung makna pembersihan
dan pencerahan lahir di samping juga pembersihan batin dari
perilaku yang tidak semestinya.
Salah satu tujuan mudik tiada lain adalah mengimpaskan
dosa antarorang, terutama anak dengan orang tuanya dan
sebaliknya. Orang meninggalkan kampung halamannya
sekaligus meninggalkan orang tua dan familinya. Dan
momentum lebaran merupakan hari istimewa bagi mereka.
Karena keistimewaannya inilah, muncul muatan tambahan lain
dalam lebaran. Mereka mudik mengunjungi orang tua dan atau

Serpihan Sastra 47
familinya. Ada baju baru, ada cat baru bagi rumah, ada
kendaraan baru dan barang baru lainnya di samping masakan
dan kue yang juga istimewa dan baru. Kalau kebetulan orang tua
dan atau familinya telah meninggal dunia, orang-orang beramai-
ramai pula “mudik” ke kuburan mereka.
Begitu istimewanya lebaran bagi sebagian besar bangsa
Indonesia, bukan saja mereka yang beragama Islam, melainkan
juga mereka yang menganut agama lain –termasuk di dalamnya
seorang penyair Nasrani yang sudah beberapa tahun tinggal di
Perancis: Sitor Situmorang. Bagi Sitor Situmorang, lebaran
meninggalkan kesan yang begitu mendalam. Kemendalamannya
itu dimanifestasikan melalui puisi yang hanya satu larik. Judul
puisi itu adalah “Malam Lebaran” dan isinya yang hanya satu
larik itu adalah bulan di atas kuburan.
Puisi tersebut mengundang banyak kontroversi penafsiran
dan pemaknaan. Pada satu pihak, para kritikus sastra melibatkan
Sitor sebagai penganut Nasrani yang tidak mengetahui bahwa
malam lebaran bertepatan dengan tanggal 1 Syawal. Karena
sistem penanggalan Islam berdasarkan rotasi bulan, berarti
malam itu “tidak ada bulan”. Dengan perkataan lain, malam itu
bulan tidak terlihat secara kasat mata. Pada pihak lain, para
kritikus berpendapat bahwa Sitor justru beranjak dari
kemengetahuiannya tentang tanggal 1 Syawal walaupun Sitor
seorang Nasrani. Sitor tahu persis bagaimana suasana malam
lebaran di atas kuburan, dan bagaimana pula suasana dan
nuansa malam itu di tempat-tempat yang jauh dari kuburan.
Pendapat pertama menafsirkan puisi itu absurd, tidak
tertib khayal, tidak tertib akal, dan sebagainya. Pendapat kedua
justru sebaliknya karena dalam ilmu sastra –sebagaimana
dikemukakan Ann Balfield dalam bukunya The Concept of Style–
ada fakta alamiah yang dapat dipalsukan walaupun dalam hal ini
Sitor tidak melakukan pemalsuan ada-tidaknya bulan. Sitor
hanya berlindung pada bulan –sebagai fakta alamiah– yang tidak
tampak di depan mata. Tampaknya Sitor bersandar pada ahli
hisab dan atau rukyat.
Menurut Roland Barthes dalam buku Elements of Semiology,
semiologi (semiotik) mempelajari segala sistem tanda, apa pun
substansi dan batasannya: gerak, bunyi musik, objek, asosiasi
kompleks antara semua itu. Jadi, wilayah kerja semiotika menjadi

48 Abdul Hamid
sangat luas. Setiap sistem semiologis mempunyai campuran
linguistiknya. Karena itu, bagi sistem tanda yang lain, bahasa
tidak hanya berposisi sebagai model, tetapi juga sebagai
komponen, pemancar, atau petanda dari sistem tanda lain.
Barthes membedakan bahasa dengan tutur. Ia memahami
bahasa sebagai sebuah lembaga sosial dalam pengertian kontrak
kolektif yang harus diterima seseorang dalam keseluruhannya
jika orang itu ingin berkomunikasi. Sebagai produk sosial, bahasa
bersifat otonom dan sebagai lembaga sosial bahasa tidak dapat
diciptakan dan diubah oleh individu. Adapun tutur merupakan
suatu tindakan seleksi dan aktualisasi individual terhadap
kemungkinan yang disediakan oleh bahasa. Barthes
mengemukakan pula bahwa bahasa dan tutur berhubungan
secara dialektis. Menurutnya, praksis bahasa terjadi dalam
pertukaran antara kedua hal tersebut. Seseorang tidak dapat
menguasai tutur kecuali dengan mendasarkan diri pada bahasa,.
Sebaliknya, suatu bahasa hanya mungkin dengan berangkat dari
tutur. Suatu bahasa takpernah ada kecuali dalam diri “masa yang
berbicara”.
Lebaran bagi orang Indonesia, terutama yang beragama
Islam, adalah tutur sebab ia merupakan aktualisasi dari
“kemeriahan” tentang tradisi. Begitu pun perayaan peristiwa
besar lainnya, baik hari kemerdekaan, hari Natal, atau tahun
baru, maupun bulan Ramadan atau pun hari besar lainnya
merupakan aktualisasi yang dibangun oleh tradisi. Tradisi adalah
tutur. Perayaan tersebut mengacu pada tradisi yang sama, tapi
selalu memiliki keragaman dalam aktualisasinya. Kemeriahannya
selalu bervariasi karena pelaku dan waktunya berbeda-beda.
Meriah bagi seseorang, belum tentu bagi orang lain. Kemeriahan
perayaan kemerdekaan, Natal, tahun baru, atau yang lainnya,
takpernah sama. Hal ini berbeda dengan kemeriahan lebaran
yang sudah dikemas menjadi satu paket dengan bulan Ramadan.
Bahasa yang merujuk pada lebaran adalah “tradisi”
perayaannya. Apabila kita gambarkan bahasa lebaran itu adalah
sebagai berikut: Lebaran = saum + takbir + mudik + (lainnya). Hal
ini dimungkinkan karena yang disebut lebaran itu selain
“lulubaran” pada sesama manusia –baik yang masih hidup
maupun yang telah wafat– dan pada Allah swt., ada pula tradisi
lainnya yang mengacu pada kemeriahan. Dengan begitu,

Serpihan Sastra 49
sebenarnya bahasa kemeriahan lebaran bisa menjadi bahasa
lebaran sebab pada dasarnya yang dinamakan lebaran adalah
memfitrikan diri. Caranya tentu bervariasi.
Dalam meneropong semiotika lebaran ini diambil arah
yang meluas. Menurut Barthes, dalam konteks semiotika pakaian,
analisis meluas adalah analisis yang berusaha menemukan
pertalian tanda-tanda vestimentary (kain dan pakaian) yang satu
dengan yang lain dalam kerangka prinsip kesamaan dan
perbedaan. Dalam menganalisis pakaian yang ditulis, Barthes
sendiri mengambil dua arah analisis yakni yang mendalam dan
yang meluas. Adapun analisis mendalam dilakukan untuk
membuka seluk-beluk dari sistem-sistem (kata-kata, pakaian,
dunia, mode), sedangkan analisis meluas terarah pada rangkaian
tanda yang terdapat pada setiap level dari sistem itu.
Dengan membandingkan kemeriahan lebaran dengan
kemeriahan lainnya dan sekaligus menggunakan tes komutatif,
akan diketahui bahwa kemeriahan pada lebaran hanya dapat
diisi oleh saum, takbir, dan “lulubaran”. Ketiga hal itu tidak
dapat digantikan dengan yang lain. Kegiatan lainnya (baca:
mudik, pakaian baru, kendaraan baru, makanan melimpah) bisa
ditambah atau diganti sesuai dengan konvensi perayaan.
Misalnya perayaan kemerdekaan dilaksanakan dengan upacara
dan berbagai macam pertandingan seni dan olah raga. Tahun
baru dilaksanakan dengan berbagai macam pesta.
Bagi Barthes, seperti halnya bagi Saussure, produksi
makna tidak hanya menyangkut hubungan antara penanda dan
petanda, melainkan juga akibat suatu tindakan pemotongan
terhadap massa yang tanpa bentuk. Pemotongan itulah yang
membuat penanda tidak hanya terkait dengan petanda, tetapi
terkait pula dengan penanda lain yang merupakan potongan lain
dari massa itu. Dengan pengertian yang terakhir ini, tugas
semiotika, bukanlah terutama membangun leksikon objek-objek,
melainkan menemukan kembali artikulasi (tindakan
pemotongan) yang diterapkan seseorang atas realitas.
Tradisi lebaran tidak hanya berhubungan dengan
pelaksanaan ritualnya, tetapi juga berbagai muatannya seperti
telah dikemukakan. Selain itu, bagi sebagian orang lebaran pun
berhubungan dengan status sosial. Lebaran bagi mereka biasanya
diasosiasikan pada keserbabaruan lahiriah atau kemeriahan

50 Abdul Hamid
(adanya banyak parsel, kartu lebaran, dan berbagai acara seperti
mudik). Bagi sebagian lagi keserbabaruan secara batiniah, yaitu
fitrah, kembali pada kesucian, pada fitrah manusia setelah
menang perang mengendalikan diri selama bulan Ramadan.
Dilihat dari teropong semiotik Roland Barthes, tampaknya
Sitor Situmorang terhenyak pada golongan pertama, yakni
mereka yang memeriahkan lebaran secara lahiriah. Mereka
bersuka ria dengan berbagai suasana dan nuansanya dalam
terang benderang. Mereka melupakan kuburan yang sunyi, sepi,
bisu, dan gelap gulita karena hanya ditunggui bulan yang tidak
tampak. Dalam hal ini, walaupun seorang Nasrani, Sitor
Situmorang tampaknya mengingatkan mereka. Karena itu, Sitor
tidak menyinggung bahwa golongan batiniah pada malam
lebaran “meriah” dengan suara takbir mengagungkan nama
Allah swt.
Dalam ajaran Islam dikatakan bahwa orang yang sudah
menghuni alam kubur (bukan di dalam kubur karena yang ada di
dalam kubur hanya jasad, bukan roh) hanya memiliki satu arah
komunikasi dengan orang yang masih hidup. Artinya mereka
tidak bisa lagi memberi atau meminta apa pun, termasuk di
dalamnya doa, kepada orang yang masih hidup. Dan sebaliknya,
orang hidup hanya bisa memberi –doa kepada Allah swt.– bagi
mereka, tetapi takbisa meminta apa pun (termasuk minta maaf)
dari mereka. Karena itu, pada dasarnya lebaran bagi golongan
batiniah merupakan kesempatan istimewa untuk “lulubaran”
dengan orang lainnya, baik yang masih hidup maupun yang
sudah wafat. Karena itu pula, mereka mudik untuk berjumpa
dan sekaligus “lulubaran” dengan sanak saudaranya di udik.
Mereka pun “berjumpa” dengan orang yang ada di alam kubur
untuk mengimpaskan segala urusan duniawi.
Dengan demikian, sesuai dengan Barthes, hubungan
penanda lebaran dengan petandannya bersifat kontrakstual yang
bersifat kolektif. Status sosial pelaksanaan lebaran pun bisa
berubah. Sebagai contoh, seluruh stasiun televisi dan berbagai
instansi menyelenggarakan berbagai acara yang berkaitan
dengan lebaran sesuai dengan misi masing-masing. Dengan
begitu, lebaran yang hakikatnya berasosiasi pada citra kesucian
kini memasuki citra meriah sebagaimana diperlihatkan dalam
puisi Sitor.

Serpihan Sastra 51
Secara paradigmatik lebaran lahiriah bisa dibandingkan
dengan lebaran batiniah. Dalam deretan muatannya akan terlihat
mana yang dapat digantikan dan mana yang tidak. Dalam hal ini
akan terlihat kemudian hubungan sintagmatik dan paradigmatik
yang mencakup dua macam lebaran.

Lebaran lahiriah = pulang (ke kampung) + lulubaran + gembira


Lebaran batiniah = pulang (ke fitrah) + lulubaran + bahagia

Secara sintagmatik lebaran terdiri atas campuran antara


pulang, lulubaran, dan sesuatu yang lain. Adapun secara
paradigmatik lulubaran terletak pada posisi pertama dan
taktergantikan. Posisinya takbisa digantikan dengan yang lain.
Pulang berada pada posisi kedua dan bisa digantikan dengan
pulang ke kampung atau pulang ke fitrah. Pokoknya pulang.
Meskipun lelah melekat pada pergi, ia takbisa menggantikan
posisi pulang dalam lebaran. Posisi ketiga dan seterusnya bisa
ditempati dengan tindakan lain secara bergantian. Misalnya,
pada lebaran haji (idul qurban) yang berbeda dengan lebaran
(idul fitri). Dalam konteks margin Barthes, lulubaran dan pulang
berada pada medan margin keamanan, sedangkan tindakan lain
berada pada medan margin yang tersebar. Margin tersebar,
menurut Barthes, berkaitan dengan terbukanya kemungkinan
variasi, sedangkan margin keamanan terkait dengan batas-batas
toleransi bagi variasi sampai pada tidak hilangnya kesatuan arti.
Setelah lebaran dianalisis dari sudut pandang bahasa dan
tutur, penanda dan petanda, serta sintagmatik dan
paradigmatiknya. Sekarang tinggal menganalisis denotasi dan
konotasinya. Sebelum menjelaskan hal ini terlebih dahulu akan
dijelaskan pikiran-pikiran Barthes yang berkenaan dengan
hubungan sistem signifikasi.
Sistem signifikasi, menurut Barthes, terdiri atas tiga
komponen, yaitu ekspresi (E), isi (C), dan relasi antara E dan C,
yaitu R. Secara keseluruhan membentuk sistem ERC. Tapi,
dalam bahasa, dimungkinkan adanya sistem-sistem signifikasi
lain yang bertopang pada sistem pertama. Sistem pertama
disebut sistem denotasi, sedangkan yang kedua atau yang
lainnya sistem konotasi dan metabahasa. Sistem konotasi adalah
sistem signifikasi yang di dalamnya sistem signifikasi pertama

52 Abdul Hamid
menjadi ekspresi darinya. Metabahasa adalah sistem signifikasi
yang keseluruhan dataran isinya merupakan sistem signifikasi
yang lain.
Menurut Barthes, ideologi merupakan bentuk petanda
konotasi, sedangkan retorika merupakan bentuk konotator-
konotatornya. Dan, jika dalam semiotika konotatif, penanda-
penanda sistem kedua dibentuk oleh tanda-tanda sistem
pertama, dalam metabahasa petanda-petanda sistem kedua
dibentuk oleh tanda-tanda sistem pertama.
Lebaran adalah sebuah penanda. Petandanya adalah
lebaran yang dilaksanakan dengan pulang dan lulubaran pada
semua orang. Lebaran sebagai penanda dan petandanya menjadi
petanda baru, yakni kegiatan pulang yang dilakukan setelah
selesai melaksanakan saum bulan Ramadan. Secara metabahasa,
hal ini membentuk penanda baru, yaitu mudik: kembali ke asal,
kembali pada fitrah. Untuk kembali, kita harus punya bekal:
bekal lahir dan atau bekal batin.
Apabila diteruskan, penanda dan petanda baru ini, yang
merupakan sistem terminologis, akan membentuk penanda baru
yang merupakan bidang garapan sosiologi. Hal ini kemudian
mengacu pada petanda baru yang merupakan ideologi, yakni
pulang ke tempat asal. Dalam konteks yang lebih luas, pulang ini
akan bersaing: pulang lahiriah atau batiniah. Pulang ke asal atau
pulang ke “asal”. Menang memperoleh tiket untuk ke udik atau
menang mengendalikan diri untuk ke “udik”. Apa pun pilihan
kita, memang malam lebaran, bulan di atas kuburan. ***

Serpihan Sastra 53
MENGUAK KEBERSALAHAN DALAM
CERITA PENDEK KURNIA EFFENDI

Kesastraan Indonesia dalam bidang percerpenan kini tambah lagi


penghuninya dengan munculnya Kurnia Effendi. Senapan Cinta
merupakan kumpulan cerita pendek Kurnia Effendi yang
diterbitkan KataKita bulan April 2004. Di dalam SC dapat kita
temukan dua belas cerita pendek yang ditulis antara 1986 hingga
2003. Dari kedua belas itu, hanya sebagian yang akan
dibicarakan. Hal tersebut menarik karena adanya kesamaan tema
besar yang dikandung oleh cerpen-cerpennya. Pembicaraan
dilakukan secara kronologis.
“Déjà Vu” mengelanakan pikiran Heru si penjaga gawang
sepak bola yang tersuapi sogokan karena kebutuhan ekonomi.
Perasaan bersalah selalu mengganggu pikiran Heru. Hal yang
persis sama terjadi pada Golly. “O, saya bisa memahami. Saya
pun pernah mengalami gangguan pikiran semacam itu. Memang
menggelisahkan. Seperti Teror.” “Ya, seperti teror,” ia
membenarkan (76). Pengelanaan tokoh terus berlanjut hingga ia
tersadarkan ada di ruang operasi hendak diamputasi. Pertanyaan
yang muncul berkaitan dengan gerak menangkap bola. Ke arah
kanan atau kiri? Kanan atau kiri yang mesti diamputasi?
Dalam perjanjian dengan penyuap, Heru (dan juga Golly),
harus menangkap bola ke arah kanan dan si penendang akan
mengarahkan bola ke arah kiri. Entah bagian dari skenario atau
bukan, ketika ada hukuman tendangan finalti, si penendang
ternyata mengarahkan bolanya ke arah kanan. Entah gol atau
tidak, yang jelas Heru berada di rumah sakit dan harus
diamputasi salah satu kakinya.
Yang menarik di sini adalah tata nama Heru dan Golly. Ini
bisa ditafsirkan: Heru berasal dari bahasa Arab yang hairu berarti
‘baik’ dan Golly, bernada keinggrisan dengan adanya penyifat –
ly, berarti ‘kegolan’ alias ‘bola tidak sengaja masuk ke gawang’.
Juga lagu “Déjà Vu” yang berarti “sudah lihat/tahu/paham/

54 Abdul Hamid
mengerti”. Pun kata kaki, kanan, dan kiri. Kata kaki dapat
ditafsirkan sebagai ‘langkah kehidupan’, dan dalam konvensi
kita kata kanan dan kiri melambangkan ‘baik’ dan ‘buruk’. Jadi,
karena kesalahan telah tersuap akibat kebutuhan ekonomi untuk
biaya istrinya ke rumah sakit, kaki yang mesti diamputasi itu
yang “baik” atau “buruk”? (dalam ajaran agama, jika sangat
darurat untuk menyelamatkan nyawa, sesuatu yang haram bisa
menjadi halal). Nah, yang menjadi beban Heru (Golly), sebagai
penjaga gawang, untuk menyelamatkan nyawa istrinya, dia
merasa telah mengkhianati bangsa dengan menerima suapan.
Perasaan bersalah kembali muncul dalam “Serenada
Jakarta”. Namun, di sini tidak ada pengelanaan tokoh. Diyan,
calon sarjana seni rupa ITB, berkenalan dengan Marlini,
tunawisma di Jakarta. Marlini menjadi model lukisannya untuk
menyelesaikan tugas akhir kemahasiswaannya. Suatu waktu
Diyan menerima surat dari Marlini yang menyatakan
ketakutannya karena hamil dan ingin mati. Hanya Diyan yang
bisa menolongnya. Ketika Diyan sampai di “rumah” Marlini,
yang ditemukannya hanya sepotong calon jalan layang. Perasaan
Diyan sangat ngilu, “Jangan pernah memaafkan aku, Lini!”
Serenada (Inggris: serenade, Jerman: Ständchen) yang berarti
‘potongan musik bernuansa cinta yang dimainkan/dinyanyikan
malam di udara terbuka’ sangat cocok dengan cerpen ini. Diyan
mencintai Marlini yang rumahnya “di udara terbuka” kota
Jakarta. Kebersalahan Diyan dalam ini adalah tidak bisa
menolong Marlini, orang yang dicintainya. Padahal, menurut
Marlini, hanya Diyan yang dapat menolongnya.
Dalam “Pelupuk Mata” kebersalahan tokoh kembali
terkuak. Kali ini tampil tokoh yang selalu berkeinginan untuk
mengintip peristiwa terakhir yang terekam pelupuk mata
seseorang yang baru saja diresmikan sebagai jenazah. Akhirnya si
tokoh berhasil memasuki pelupuk mata itu. “Ternyata itu sebuah
ruang yang luas dan hangat. … Suara itu memanggilku.” “Itu
suaramu menghiba. Melampaui batas takut. Siapa yang hendak
kautemui?” (130-131).
Apa yang diungkapkan Warih Wisatsana dalam sampul
belakang SC bahwa Kurnia Effendi tidak hanya piawai dalam

Serpihan Sastra 55
bertutur, ia juga terlatih “mengendalikan” hasrat liar
imajinasinya, juga komentar Acep Zamzam Noor tentang bahasa
Kurniawan yang komunikatif, tampaknya mesti ditinjau ulang
karena dalam “Pelupuk Mata” terdapat tuturan yang kurang pas
dan tidak komunikatif. Si tokoh sedang menceritakan mendiang
Suyatna Anirun kepada pembaca. Tokoh sebagai persona I (aku)
dan Suyatna Anirun persona III (nya). Persona III tampak ujug-
ujug menjadi persona II seperti dalam kutipan ini: //Air mataku
titik ketika seorang muridnya membacakan sajak “Doa” karya
Chairil Anwar di hadapan jasadnya. Puisi yang juga menjadi
favoritmu, sampai perlu kaupasang di dinding kamar dengan
pigura. // Pak Suyatna berangkat dengan khidmad. Tirai teater
hidupnya ditutup. Aku yakin. Adakah ini saat untuk
memasukinya? Keragu-raguan membuat harapanku kandas.
Untuk yang kesekian kali, aku tetap tegak dengan rasa ingin tahu
yang menyakitkan (126).
Kebersalahan terkuak juga dalam “Menemani Ayah
Merokok”. Si tokoh yang sedang berada di Jepang harus segera
pulang kampung karena ayahnya sakit keras dan pikun. Sang
ayah menunggu tokoh yang juga anak bungsunya. Satu-satunya
anak yang belum menikah. Sang ayah menunggu si bungsu yang
sedang “ngantor” dan menganggap anaknya itu sudah bisa
berbahasa Arab. Dengan kepikunannya, sambil merokok sang
ayah menanyakan kapan si bungsu melamar Lyra yang pernah
dikenalkan. Si tokoh memanfaatkan kepikunan ayahnya. Dia
mengatakan bahwa “Lyra” besok akan menjenguk ayah.
Ayahnya bahagia. Beristigfar, lalu mengisap rokok begitu dalam.
Hembusan asap putih rokok merupakan hembusan akhir
nafasnya. Ayah wafat. Si tokoh bertanya, apa penyebab kematian
ayah sesungguhnya? “Apakah ibu jariku menekan terlalu kuat
pada pangkal nadinya?”(106).
Pada cerpen “Lelaki yang Menghilang dalam Gerimis”
terceritakan seorang perempuan Indonesia yang bersekolah dan
sekaligus bekerja di Jepang. Sebagai pelayan di restoran,
Rohayati berkenalan dengan pelanggan bernama Oh Chol Su dari
Pyongyang. Diam-diam di hati pelayan dan pelanggan ini
tumbuh cinta. Dengan alur linear pertumbuhan cinta itu terus
berlanjut tanpa terkatakan. Pada waktunya, Oh Chol Su harus
pulang ke negaranya karena penelitiannya sudah selesai. Waktu

56 Abdul Hamid
perpisahan, Oh Chol Su, yang mengaku sudah beristri, berkata,
“Mungkin aku mencintaimu, Rohayati.” (117) yang dijawab oleh
Rohayati “Terus terang aku sedih Mr. Oh. Tapi itu salahku.”
Lagi-lagi dalam cerpennya Kurnia menyebutkan kebersalahan
tokoh. Di sini tidak diungkapkan secara tersurat apa
kesalahannya walaupun secara tersirat kesalahannya adalah
“aku” mencintai lelaki yang sudah beristri.
Tiba-tiba alur dalam cerpen ini loncat jauh. “Sekali lagi aku
meyakinkan diri untuk pulang ke tanah air. … Meninggalkan
cinta yang tak sampai. … Gerimis yang tak akan kulupakan”
(118). Padahal sebelumnya, tidak terceritakan bahwa “aku” akan
pulang ke Indonesia. Selesaian gaya sinetron pun – yang
serbakebetulan – muncul di sini dengan mengada-adakan
antologi kumpulan puisi The Man Who Disappeared in The Rain
sebagai kado yang diberikan Oh Chol Su kepada Rohayati pada
waktu gerimis. Biarkan pula. Ini cerpen masih dalam
perkembangan.
Menyimak judul “Relung Telinga” sudah ada kecerdasan
berbahasa karena yang biasa digunakan adalah relung hati.
Cerpen ini bercerita tentang kesetiaan seorang suami kepada
istrinya setelah lima tahun bersatu dan walaupun, menurut
dokter, istrinya tidak akan bisa hamil. “Aku” beberapa kali
memasukkan bisikan ke dalam relung telinga istrinya yang telah
kaku. “… Membisikkan kembali ke relung telingamu: Aku selalu
mencintaimu. Sekalipun sia-sia” (16). Atau Percayalah aku tak akan
pernah melupakanmu atau Sampai kapan pun aku terus mencintaimu.
Takada cacat tuturan dalam cerpen ini. Yang perlu dicatat
barangkali adalah ada juga kebersalahan yang diungkapkan
“aku”: “Ingin kuusir kenyataan. Namun dalam pelarianku yang
penuh duka lara, seorang perempuan tak dikenal nyaris
membuat perasaanku berubah. Maafkan aku” (18). Cerpen ini
tidak berklimaks. Datar saja.
Dalam “Rasa Takut” ada lagi kecerdasan berbahasa. Belum
ada yang berani membedakan bangkai dengan jenazah kecuali
Kurnia. Padahal itu perlu. Kata bangkai kita gunakan untuk jasad
binatang yang sudah mati dan beraroma taksedap. Kata jenazah
digunakan untuk jasad orang yang baru saja ditinggalkan nyawa
tanpa melibatkan aroma. Dalam “Rasa Takut” ada dua jenazah

Serpihan Sastra 57
tikus yang meringkuk dalam posisi saling berpelukan di dalam
kulkas (135).
Dalam cerpen ini pun tersirat kebersalahan “aku” karena
telah ngerjain calon pacarnya dengan rasa takut yang
diciptakannya. Tujuan “aku” menciptakan rasa takut agar dia
bisa dekat lahir batin dengan calon pacar. Dan ternyata rasa takut
itu dikembalikan kepadanya. Akibatnya: “Mendadak perutku
mual. Telepon yang kugenggam masih memperdengarkan suara
merdunya. Entah menjelaskan apa. Aku mulai gemetar. Aku mau
muntah. Kini ketakutan menjalari pikiranku, melumuri
perasaanku” (144).
Dari dua belas cerpen, tampak ada perkembangan dalam
gaya penulisan cerpen Kurnia Effendi. Delapan dari dua belas
cerpen bercerita pengakuan kebersalahan tokoh. “Senapan
Panjang” sebagai judul kumpulan tampak hanya mewakili
cerpen “Laras Panjang Senapan Cinta”. Namun demikian, untuk
menarik perhatian calon pembaca, judul kumpulan itu bagus
sekali. ***

58 Abdul Hamid
Menilai Karya Sastra Secara Objektif,
Mungkinkah?

Ajip Rosidi sekitar tiga puluh tahunan yang lalu menulis puisi
tentang ular. Karyanya itu “dibantai” oleh kritikus akademis M.S.
Hutagalung. Dengan emosional – karena dianggap telah
melecehkan karya sastra(nya) – Ajip balik “membantai”
Hutagalung. Genderang perang tanggapan ihwal karya sastra
yang baik pun dimulai. Hutagalung mengeluarkan senjata
keilmusastraannya, Ajip mengacungkan senjata kepenyairannya.
Mirip Ajip Rosidi, tahun ini Acep Iwan Saidi dengan
“Laki-laki yang Malas Membaca: Tanggapan untuk Surat Kang
Nono” yang dimuat Pikiran Rakyat 15 Januari 2005 menanggapi
Sapardi Djoko Damono yang menulis “Peran Perempuan dalam
Kesastraan Kita: Surat Sastra untuk Neng Ina” yang dimuat
Pikiran Rakyat 11 Desember 2004. Secara emosional, dalam
tanggapannya Acep mengemukakan ketidaksetujuannya pada
Sapardi dalam penjurian lomba penulisan novel yang diadakan
Dewan Kesenian Jakarta.
Sapardi menulis “Neng, surat ini adalah semacam
kesimpulan dari berbagai hal seputar perkembangan sastra yang
sepanjang tahun ini sering kita bicarakan. Pertengahan tahun ini
Dewan Kesenian Jakarta mengumumkan pemenang lomba
penulisan novel; hasilnya harus diakui bisa saja membuat kita
bertanya-tanya mengenai apa yang sebenarnya sedang terjadi
dalam perkembangan sastra kita. Tiga pemenang urutan teratas
hadiah itu itu adalah perempuan muda, setidaknya seorang di
antaranya bisa dikatakan baru “belajar” menulis.”
Selanjutnya dia mengemukakan “Perbantahan mengenai
nilai karya sastra tahun ini terjadi lagi, terutama mengenai novel-
novel yang memenangkan lomba yang diselenggarakan DKJ itu.
Nilai karya sastra tidak bisa dipisahkan dari selera. Dalam
sebuah penjurian, selera – di samping kompromi – merupakan
faktor utama. Oleh karenanya perbincangan mengenai perbedaan
selera justru harus disyukuri. Masyarakat toh yang menilai
pandangan mana yang pantas dihormati, bukan dalam hal benar-

Serpihan Sastra 59
tidaknya, tetapi lebih karena pandangan masing-masing pihak
menunjukkan kualitas pemikiran dan pengalamannya dalam
berdiskusi.”
Tampaknya kedua paragraf itulah yang mengakibatkan
Acep berang atau bahkan murka sehingga tanggapannya jelas-
jelas emosional, dan bahkan tidak proporsional sebagaimana
tereksplisitkan dalam judulnya. Acep tidak berbicara bagaimana
seharusnya menjurii lomba, tetapi justru menyerang Sapardi
sebagai pribadi.
Ada yang dapat dipahami mengapa Acep begitu. Pertama,
mengapa penulis pemula sebagaimana diakui Sapardi – bisa
menjadi pemenang. Kedua, Sapardi juga mengemukakan bahwa
dalam penentuan nilai karya sastra dalam lomba takbisa lepas
dari selera dan juga kompromi juri.
Barangkali untuk jawaban pertama Sapardi dan juri
lainnya tersangkut pada pepatah lama yang mengatakan Tidak
ada rotan, akar pun jadi. Jadi, para pemenang lomba itu merupakan
yang terbaik dari sekelompok yang terburuk. Bisa juga karena
para juri kebetulan berprofesi sebagai guru yang mengemong
siswanya, mereka memberi motivasi pada penulis lain bahwa
menciptakan karya sastra, termasuk novel, itu mudah. Atau
sebagaimana dikatakan Arswendo Atmowiloto, mengarang itu
gampang. Ya, dari sekian puluh peserta lomba (terlepas dari
apakah penulisnya laki-laki atau perempuan), muncullah Abidah
El Khalieqy dengan novel Geni Jora dan Dewi Sartika dengan
novel Dadaisme sebagai pemenang lomba.
Sayangnya, untuk masalah kedua, Sapardi dalam tulisan
tersebut tidak merinci selera dan kompromi juri. Memang, selera
dan kompromi takbisa lepas dalam penjurian karya sastra.
Namun, karena karya sastra bisa dikaji secara ilmiah, tentu saja
selera dan kompromi yang dimaksud harus bersifat ilmiah. Dan
karena itu pula, dasar penjurian harus berdasarkan objek.
Dengan begitu, yang muncul adalah selera ilmiah dan kompromi
ilmiah.
Kita lihat, sebagai contoh, Geni Jora. Dalam Geni Jora ada
beberapa hal yang patut dipertimbangkan. Pertama, judul
mengindikasikan cerita. Kata geni diambil dari bahasa Jawa yang
berarti ‘api’ dan Jora alias Kejora (si tokoh utama) adalah nama
bintang yang terbit dini hari; bintang timur. Dalam budaya

60 Abdul Hamid
Indonesia, kata kejora memiliki konotasi positif. Dengan judul
tersebut berarti ada sesuatu yang dianggap positif diharapkan
pengarang. Kedua, tata nama dalam Geni Jora pun tampaknya
dipilih pengarang agak ketat, disesuaikan atau bahkan
dieksplisitkan dengan tokoh dan penokohan. Tokoh yang
dimaksud di antaranya adalah Kejora, Zakky, Bianglala, dan
Prahara.
Geni Jora merupakan sebuah novel yang berisi tentang
kisah seorang perempuan bernama Kejora. Ia adalah seorang
perempuan yang memiliki kesempurnaan dilihat dari segi fisik
maupun kecerdasan. Kesempurnaan Kejora terlihat dari beberapa
narasi dan dialog yang diucapkan oleh tokoh Kejora sendiri dan
tokoh lainnya. Kejora tidak ingin kalah dari laki-laki karena ia
ingin membuktikan bahwa perempuan memiliki kemampuan
yang sama dengan laki-laki sehingga laki-laki tidak bisa
melecehkan perempuan. Perempuan memiliki hak untuk
melakukan apa saja yang diinginkan, termasuk mengekspresikan
cinta dan menolak cumbuan laki-laki saat ia tidak
menginginkannya. Untuk melindungi haknya itu, Kejora
memanfaatkan ayat-ayat Al Quran.

… Secepat itu ia melupakan tamparanku dan


kembali mengelus leherku, bergerak ke bawah dan
meremas-remasnya.
“Kau lebih suka bogem atau pecut, Zakky?”
…. “Pecutku ada di sini, dalam ingatanku.
Kuambil dari salah satu ayat Tuhan yang
mengirimnya untuk kita. Walaa taqrabuzzina innahu
kaana faakhisatan wa saa’asabiila, kata Al Quran.”
(hlm. 132)

Kejora memandang aturan-aturan agama yang dipahami


dan diterapkan oleh keluarganya sebagai batas-batas yang
mengurung perempuan dan tidak memberikan kesempatan dan
hak untuk melakukan hal-hal yang sama dengan laki-laki. Ia
berusaha melakukan penafsiran berdasarkan sudut pandangnya
sendiri dan memandang ayat-ayat Al Quran sebagai alat yang
dapat digunakan untuk melindungi dirinya dari penindasan laki-
laki. Sebaliknya, untuk memenuhi keinginannya, Jora melupakan

Serpihan Sastra 61
nas-nas Al Quran.
Zakky merupakan tokoh pembantu dalam novel Geni Jora.
Ia adalah anak mudirul ma’had di pesantren tempat Kejora pernah
belajar. Ia merupakan seorang laki-laki yang sangat tampan dan
memiliki cukup banyak uang. Ia adalah seorang aktivis yang
pandai bicara dan pandai pula merayu. Selain itu, ia memiliki
kegemaran yang buruk, yaitu suka meminum khamr. Zakky
dapat diasosiasikan dengan zakar. Zakar adalah kemaluan laki-
laki; penis; pelir. Nama Zakky sesuai dengan penokohannya,
yaitu mencerminkan stereotip gender laki-laki.
Bianglala merupakan tokoh pembantu dalam novel Geni
Jora. Ia adalah kakak perempuan Kejora yang sama-sama
mengalami pelecehan seksual oleh pamannya. Ia merupakan
gadis yang memiliki kecantikan, keanggunan, dan keindahan
yang sempurna. Namun, ia merupakan gadis yang pendiam.
Bianglala adalah pelangi Prahara adalah tokoh pembantu
dalam novel Geni Jora. Ia adalah adik laki-laki Kejora yang
menjadi awal malapetaka bagi Kejora, yaitu keharusan mengalah
pada laki-laki. Prahara adalah orang yang tidak menghargai
kakaknya bahkan mengandalkan kekuatan fisik untuk melawan
kakaknya.
Bianglala dapat diasosiasikan dengan keindahan dan
kecantikan. Bianglala muncul akibat kekuatan yang dimiliki air
hujan untuk menguraikan sinar matahari menjadi spektrum
warna. Jadi, nama Bianglala sesuai dengan penokohannya, yaitu
kecantikan yang muncul dari kekuatan wibawa dan
keanggunannya.
Prahara adalah tokoh pembantu dalam novel Geni Jora. Ia
adalah adik laki-laki Kejora yang menjadi awal malapetaka bagi
Kejora, yaitu keharusan mengalah pada laki-laki. Prahara adalah
orang yang tidak menghargai kakaknya bahkan mengandalkan
kekuatan fisik untuk melawan kakaknya.
Hal lain yang perlu disorot dalam Geni Jora adalah
pengarang berusaha memadukan feminisme dengan ajaran
Islam. Pengarang pun mengobral kemahirannya berbahasa Arab
karena latar kehidupannya di pesantren cukup lama. Kata,
istilah, atau ungkapan berbahasa Arab banyak yang tidak
diperlukan alias mubazir, atau bahkan mengganggu cerita karena
ruang individu ikut bermain. Dia pun mengobral kata feminisme

62 Abdul Hamid
secara sporadis seolah memperlihatkan bahwa pengarang tahu
betul tentang feminisme. Dan karena itulah, bisa dikatakan
bahwa pengarang tidak bisa mengontrol cerita.
Di satu sisi, Geni Jora mengandung ideologi feminisme, di
sisi lain novel tersebut mengandung perbedaan gender. Hal
tersebut terlihat dari penokohan tokoh-tokohnya. Penokohan
Kejora sesuai dengan stereotip gender perempuan, yaitu luar
biasa cantik dan bersifat pencemburu yang menandakan bahwa
ia bukan orang yang rasional, ia lebih mengutamakan perasaan
daripada pikiran. Selain penokohan yang demikian, stereotip
perempuan pun dapat dimaknai bahwa Kejora, sebagai
perempuan, hanya menjadi pengikut yang meniru tindakan
orang lain, terutama laki-laki. Hal itu mencerminkan bahwa
sehebat apa pun perempuan, ia tetap berada di belakang laki-laki.
Adanya penokohan yang bertentangan dengan ideologi
feminisme menunjukkan ketidakkonsistenan pengarang dalam
memberikan ideologi terhadap novelnya. Pengarang memberikan
ideologi feminisme, menentang adanya perbedaan gender, tetapi
sekaligus menciptakan perbedaan gender. Ketidakkonsistenan
pengarang dalam hal tersebut menunjukkan bahwa
sesungguhnya pengarang tidak memahami feminisme dengan
baik.
Hal yang mirip-mirip dengan apa yang dikemukakan di
atas mungkin dapat ditemukan juga dalam novel lain pemenang
lomba. Misalnya, dalam Dadaisme kita dapat menemukan kalimat
yang acak-acakan. Tapi, takapalah. Takada rotan, bukit pun
longsor.***

Serpihan Sastra 63
Orang Malam dalam Bayangan Cinta:
Semacam Catatan untuk Semacam Soni
Dua macam buku dari dua penerbit saya perhatikan judul dan
gambar sampulnya plus penulisnya sebelum saya baca. Setelah
itu –seperti biasa– saya loncat mencari jejak cerita. Sebagai calon
pembaca, saya berhak memiliki horizon harapan dari apa yang
akan saya baca. Buku pertama novel Dalam Bayangan Cinta
(Pustaka Latifah, 2005) dan yang kedua kumpulan cerpen Orang
Malam (Pustaka Hidayah, 2005). Ternyata penulisnya orang yang
sama, yang selama ini dikenal sebagai pemuisi dan juga pewarta,
pun pernah corat-coret bermain-main warna di atas semacam
kanvas. Ya, itulah Soni Farid Maulana. Kini bermain-main
dengan bermacam-macam kata di dalam semacam cerpen dan
semacam novel.
Permainan kata orang semacam Soni takperlu diragukan
lagi dalam perpuisian karena beberapa puisinya sudah lama
menjadi semacam TKI, tepatnya TPI (Tenaga Puisi Indonesia), di
beberapa negara luar. Lalu, bagaimana permainan katanya dalam
cerpen dan novel? Kita cermati saja.
Orang Malam terdiri atas sepuluh cerita pendek pilihan
disertai semacam kata pengantar dari pecerpen dan semacam
kata penutup, ya dari petutup (bukan penutup) Bambang Q-
Annes. Sepuluh cerpen itu adalah “Opera Malam”, “Kegelapan”,
“Sangkuriang”, “Orang Malam”, “Tangis Rahwana”, “Zabaza”,
“Paris la Nuit”, “Sumerah”, “Kolektor”, dan “Anak Kabut”.
Salah satu yang menarik untuk dicermati, baik dalam novel
Dalam Bayangan Cinta maupun dalam kumpulan Orang Malam
(yang juga sebagai judul cerpen) adalah tema religi dan latar
waktu. Hampir semuanya malam. Hampir semuanya gelap. Latar
ini mendukung tema-tema yang diusung, yaitu tentang
kegelapan. Latar waktu ini dieksplisitkan dengan kalimat-kalimat
yang sama atau mirip secara berulang-ulang, baik dalam cerpen-
cepen maupun dalam novel. Misalnya, malam makin larut dan
tua, suara tiang listrik dipukul (menandakan adanya petugas
ronda malam), dan lolongan anjing. Begitu pula kekentalan
kalimat yang hanya terdiri atas satu kata, yaitu hening, diulang-
ulang.

64 Abdul Hamid
Pengulangan tersebut merupakan penguat bagi pembaca
puisi, namun bagi pembaca cerpen dan novel bisa jadi pelemah.
Hal tersebut dapat dipahami karena Soni berakar dari puisi.
Metafora-metafora yang hadir terasa segar seperti menjahit kata,
berhati babi hutan, tangannya berkemah atau berselancar di balik
bajuku. Kekentalan kata-kata yang mengkristal sebagaimana
lazimnya dalam puisi masih terasa dalam novelnya. Karena itu,
dengan berendah hati Dalam Bayangan Cinta disebutnya sebagai
semacam novel. Dalam Orang Malam pun kembali Soni berendah
hati dengan menyebut dirinya sebagai orang biasa. Karena itu
pula, kumpulan cerpennya diawali dengan semacam kata
pengantar dan diakhiri dengan semacam kata penutup.
Dalam novelnya, para tokoh hadir wajar mendukung tema
religius. Alur pun berjalan mulus tanpa hambatan, tanpa
loncatan. Yang menarik justru konflik yang hadir. Ternyata
kedua orang tua tokoh utama datang dari “kegelapan” masa
lalu.. Namun, tampaknya ada satu konflik yang dipaksakan,
yaitu penyesalan Kundera yang telah membunuh orang satu
agama (yang tidak bersalah kepadanya) karena alasan politik.
Penyesalan itu dapat diartikan bahwa membunuh orang dari
agama lain tidak perlu disesali. Inilah sesuatu yang lasut karena
tema utamanya religius.
Hal lain yang menarik perhatian dalam novel itu adalah
tata nama, baik nama tokoh maupun nama tempat, yang terasa
asing, namun suasana dan peristiwa yang dilakoni sangat
indonesiawi. Nama para tokoh yang hadir merupakan jelmaan
dari nama para pemikir dan musikus. Hal tersebut tentu saja
menambah kerjaan pembaca yang tahu sejarah untuk
mengasosiasikan tokoh dan peristiwa yang ada dalam novel
dengan peristiwa nyata. Namun, kerjaan itulah yang membuat
pembaca yang mengetahuinya mesem-mesem.
Dibandingkan dengan Dalam Bayangan Cinta, tampaknya
Orang Malam lebih menarik perhatian walaupun tema yang
diusungnya relatif sama: dari kegelapan kita dapat dengan jelas
melihat kehidupan yang sebenar-benarnya. Kemenarikan ini di
antaranya gaya penceritaan dan tipografinya. Layaknya kita
pergi berbelanja ke pasar swalayan, ada bonusnya. Beli satu
dapat tiga. Kita baca kumpulan cerpen Orang Malam, selain
memperoleh cerita pendek, kita pun sekaligus dapat bonus puisi

Serpihan Sastra 65
dan juga drama (dialog dan monolog). Dengan gaya semacam ini
ketika membaca kita mau-takmau bisa terhentak-hentak
mengikuti dialog ataupun monolog tokoh.
Cerita “Opera Malam” menghidupkan tokoh mirip dengan
Dalam Bayangan Cinta. Kedua tokoh Dalam Bayangan Cinta adalah
anak pembunuh orang-orang yang dianggap anggota suatu
partai terlarang. Dalam “Opera Malam” sebaliknya. Ki Pandan,
ayah Asri, dibunuh karena dianggap gembong partai terlarang.
Keduanya sama mengingatkan kita pada rangkaian peristiwa 30
September 1965 di Indonesia.
Dari sepuluh cerpen yang terkumpul dalam Orang Malam,
ada delapan cerpen yang menarik disimak lebih dalam dan
sisanya, yaitu “Paris la Nuit” dan Kolektor” tampaknya hanya
nimbrung, belum diendapkan sehingga terasa hambar. “Paris la
Nuit” hanya bercerita tentang “pertemuan” tokoh dengan
pemuisi Perancis abad lalu yang dikaguminya Charles Budelaire
dan penolakan anggapan bahwa Bandung sama dengan Paris.
Namun, lumayan di dalamnya bisa kita temukan metafora baru:
membuat batin saya hamil oleh pengalaman aneh dan ganjil pula (hlm.
123). Kita temukan juga (hlm. 122) sindiran halus si tokoh yang
pusing minum anggur karena di kampungnya ia terbiasa minum
lahang (minuman yang berasal dari pohon kawung). “Kolektor”
tampak seperti pledoi dari pelukis otodidak atau bahkan
penghukuman bagi pelukis akademis seperti tampak dalam teks
halaman 156: “Zaman ini memang zaman kematian para pelukis
akademis.” Namun, ada lumayan juga metaforanya seperti yang
terlihat dari kalimat penutup lanjutan kalimat tadi: Sementara itu
di langit jauh tampak seekor burung hitam terbang di bawah bulan.
Dua cerpen yang paling menarik adalah “Sangkuriang”
dan “Tangis Rahwana” – tampaknya Soni terinspirasi lagu
tembang Cianjuran yang berjudul “Ceurik Rahwana”. Kedua
cerpen ini tampak merupakan dekonstruksi dari mitos tentang
kedua cerita yang sudah melegenda di masyarakat kita.
Sangkuriang dan Rahwana dibedah sesar dari mitos, maka
lahirlah keduanya menjadi tokoh cerpen. Reinkarnasi terambung
sebagai pembersihan dosa tokoh-tokoh gelap, tokoh negatif.
Hasilnya, kedua tokoh itu terbebas dari kesalahan-kesalahan
yang pernah dilakukannya. Bisa jadi budayawan yang kukuh
pengkuh pada pakem menggelengkan kepala, lalu berunjuk rasa

66 Abdul Hamid
atau berunjuk budaya. Tepatnya berunjuk pamor.
Satu lagi hal dapat kita temukan dalam cerpen “Sumerah”
yang berkaitan dengan kesadaran religi tokoh. “Yang aku
korupsi, tentu saja, bukan hanya uang kantor, tetapi juga korupsi
waktu. Jika waktu menghadap Tuhan tiba, aku sering
mengabaikan waktu yang telah ditetapkan-Nya” (hlm.136). Nah,
itulah semacam catatan untuk semacam karya sastra semacam
Soni Farid Maulana. Ada banyak semacam kelebihan. Ada pula
sedikit semacam kelemahan. Wajar. Takpercaya? Baca saja
karyanya. Cag!***

Serpihan Sastra 67
Putri Cina: Perempuan dalam Sejarah,
Mitos, dan Realita
Kali ini Sindhunata menulis novel untuk mengenang ibunya
sebagaimana dimaktub pada halaman persembahan: “Mengenang
Koo Soen Ling, ibuku.” Dalam halaman dengan judul “Sepatah
Kata” Sindhunata mengemukakan bahwa pada awalnya novel ini
adalah sebuah katalog berjudul Babad Putri Cina yang ditulis
untuk mengiringi Pameran Lukisan “Putri Cina” karya Hari
Budianto pada Mei 2006. Lalu, ide dan ceritanya diperdalam dan
dikembangkan. Jadilah ia novel Putri Cina. Novel ini
dipersembahkan untuk ayahnya (Liem Swie Bie), ibunya (Koo
Soen Ling), kakak dan adik perempuannya (Liem Sioe Lan dan
Liem Hwie Lian).
Sebagian dari cerita ini pun menurut Sindhunata pernah
dipentaskan ketoprak dalam lakon “Putri Cina” yang naskahnya
ditulis Indra Tranggono. Ia pun dalam novel ini mengisahkan
kembali cerita Jaka Prabangkara, sebuah bagian dari “Babad Jaka
Tingkir” dari buku Nancy K. Florida, Menyurat yang Silam
Menggurat yang Menjelang (2003).
Memperhatikan judul novel yang takmuluk, minat saya
sebagai calon pembaca tiadalah terangsang. Namun, ketika ada
halaman persembahan dan itu ditujukan untuk orang yang
disebut-sebut sebagai ibu, gairah baca pun tergoda. Kedudukan
ibu bagi Sindhunata dapat dipastikan amat istimewa bila
dibandingkan dengan kedudukan ayahnya dan kakak serta adik
perempuannya. Ada banyak mitos postf tentang ibu: sebagai
perempuan, sebagai ibu yang melahirkan anak, sebagai sahabat,
dan sebagainya.
Cerita dimulai dengan pernyataan dan pertanyaan
sederhana yang menggelitik pikiran: Manusia ini takpunya akar.
Dia diterbangkan ke mana-mana seperti debu yang berhamburan di
jalanan. Ke segala arah, bertumbukan dengan angin, ia jatuh terguling-
guling. Memang hidup kita ini sangat pendek. Kita datang ke dunia ini
sebagai saudara; tapi mengapa kita mesti diikat dengan daging dan
darah?
Novel yang terdiri atas 304 halaman (294 halaman cerita,
10 halaman sebagai pelengkap) pada bagian pertama

68 Abdul Hamid
menyodorkan persoalan siapa ia sesungguhnya dan mengapa ia
bernama Putri Cina? Pada bagian 2, cerita dimulai dengan alur
mundur untuk mengetahui identitas tokoh. Pencarian identitas
dimulai dengan dongeng Jawa yang menyatakan bahwa Putri
Cina sebenarnya adalah istri Raja Majapahit terakhir, Prabu
Brawijaya Kelima. Prabu Brawijaya beranak Jaka Prabangkara.
Prabu Brawijaya menyuruh Jaka Prabangkara melukis Putri
Cempa, permaisuri yang amat dicintainya.
Melihat hasil lukisan, Prabu Brawijaya murka karena ada
noda hitam dekat kemaluan pada lukisan itu. Padahal, menurut
Jaka Prabangkara, noda itu hanya tinta menetes taksengaja. Dia
beranggapan anaknya telah bersetubuh dengan Putri Cempa
sehingga tahu ada noda tersebut. Karena itu, Jaka Prabangkara
diusir dan sampailah di negeri Cina. Dia kawin dengan Siti
Umiyan, cucu Kaisar Cina., dan juga kawin dengan Kim Muwah,
putri Kim Liyong yang menerimanya ketika mendarat di Cina.
Dari bagian 1 hingga bagian 31, takada hubungan
langsung antara Putri Cina, istri Prabu Brawijaya, dengan Putri
Cina alias Giok Tien, istri Gurdo Paksi alias Setyoko. Penceritaan
Putri Cina istri Prabu Brawijaya (hlm. 15 – 74) mengungkapkan
adanya peleburan Cina-Jawa seperti Jin Bun (Raden Patah)
menjadi Jimbun Ngabdur-Rahman dan pertikaian raja-raja di
Tanah Jawa yang didalangi oleh Semar dan Togog.
“Jauh hari sebelum Sarameya ada, Semar dan Togog
sudah berkelahi dan bertikai. Sebelum turunan Janamejaya
terkutuk menjadi makhluk seperti anjing kerah yang suka
berkelahi, Semar dan Togog pun sudah menjadi seperti
Sarameya. Jadi, jika di Tanah Jawa orang suka berkelahi dan
bertikai tanpa pernah damai, Semar dan Togoglah pemulanya.
Maka Semar dan Togog sesungguhnya adalah bayang-bayang
setiap manusia Jawa yang menjadi Sarameya. Dewa itulah
bayang-bayang manusia yang suka bertikai seperti anjing, “ jelas
Sabdopalon-Nayagenggong (hlm. 64).
Sabdopalon-Nayagenggong yang tiada lain adalah
Semar-Togog (hlm. 66) mengungkapkan bahwa Putri Cina, istri
Prabu Brawijaya, yang Cina bukan, Jawa bukan. Cina ya, Jawa ya
“adalah manusia seperti mereka karena sama dengan mereka. Tapi
ketika keadaan pecah dalam pertikaian, Paduka bukanlah manusia
karena Paduka tidak sama dengan mereka,” tegas Sabdopalon-

Serpihan Sastra 69
Nayagenggong.
Anggapan sebagai bukan manusia terbukti dengan
adanya pembantaian terus-menerus. Tahun 1740 sekitar 10.000
orang Cina mati sia-sia di Batavia oleh VOC (hlm. 85)
sebagaimana diungkap juga oleh Hembing Wijayakusuma dalam
bukunya Pembantaian Massal 1740: Tragedi Berdarah Angke.
Peristiwa pembunuhan dan pemerkosaan itu terjadi pada 1916 di
Kudus, 1946 di Sungai Tangerang, 1947 di Malang, di Lawang,
dan di Singasari, kemudian tahun 1949 terjadi juga di Surabaya
dan beberapa kota lainnya.
Peristiwa-peristiwa yang dianggap sebagai ramalan
Sabdopalon-Nayagenggong itulah yang selalu menghantui Giok
Tien yang kemudian disebut sebagai Putri Cina juga lantaran
berperan sebagai Eng Tay dalam sandiwara ketoprak Sam Pek
Eng Tay. Karena itu, Putri Cina berharap “Semoga tiada lagi ketika-
ketika itu ….” (hlm. 85). Dari sinilah cerita yang sebenarnya
muncul.
Putri Cina melihat ada orang membawa wayang potehi
(wayang Cina) dan serdadu berbaris sambil bernyanyi-nyanyi
Heppypye- heppypye-heppypye… yang diplesetkan oleh anak-anak
yang menonton menjadi Iki piye- iki piye – iki piye … yang ternyata
lagu Cucak Rowo yang sedang digandrungi di Tanah Jawa. Itu
semua menjadi pertanyaan baginya.
Narator menyatakan bahwa hal itu merupakan gambaran
peristiwa yang dialami dalam keseharian hidup yang diselimuti
kekerasan. Putri Cina berada dalam cengkeraman kekerasan
seperti wayang potehi. Kekerasan begitu akrab dengannya
seperti halnya lagu Cucak Rowo yang mengandung kekerasan
lelaki terhadap wanita. Disadari atau tidak, kekerasan jadi enak
didengar.
Putri Cina hidup di Tanah Jawa, tepatnya di Kerajaan
Medang Kamulan Baru yang dirajai oleh Prabu Murhardo.
Kerajaan itu awalnya bernama Medang Kamulan dengan rajanya
Prabu Ajisaka, kemudian Prabu Murhardo menambahnya
dengan kata baru dan jadilah Medang Kamulan Baru.
Pada mulanya Prabu Murhardo disenangi rakyat, tetapi
beberapa tahun kemudian sangat dibenci. Rakyat kemudian
menyebutnya sebagai Prabu Amurco Sabdo karena mengkhianati
kata-katanya sendiri; dan menyebut kerajaannya menjadi Negara

70 Abdul Hamid
Pedang Kemulan ‘negara yang diselimuti pedang’. Di Negara
Pedang Kemulan orang-orang hidup seperti melayang-layang.
Kapan saja, nyawanya bisa pergi. Nyawa itu seperti badan
membelakangi dunia, seakan dunia ini bukan tempat mereka.
Putri Cina –yang kemudian diketahui sebagai primadona
ketoprak dan bersuamikan orang Jawa– benar-benar takut karena
banyak kaumnya yang mengikuti begitu saja kehendak Prabu
Amurco Sabdo. Mereka banyak diberi kesempatan. Tapi
tujuannya semata-mata hanyalah untuk membantu Prabu
Amurco Sabdo dan keluarganya memperkaya diri. Makin diberi
kesempatan, makin orang-orang Cina mengembangkan
kemampuannya dalam berdagang. Mereka memang hebat. Tapi
mereka lupa bahwa mereka hanyalah diperalat … mengapa
kaumnya tidak mau belajar dari sejarah kelam mereka? Tidakkah
di Tanah Jawa ini pernah terjadi, kemakmuran mereka ternyata
adalah sumber pembinasaan mereka. (hlm. 104)
“Putri Cina sungguh takhabis mengerti, mengapa orang
Cina di Pedang Kemulan ini membiarkan dirinya dimanjakan
oleh Prabu Amurco Sabdo agar mereka mau terus –menerus
membangun keamanan dirinya hanya dengan menumpuk
harta?” (hlm. 112).
Ramalan Sabdopalon-Nayagenggong menjadi kenyataan,
rakyat meminta Prabu Amurco Sabdo lengser keprabon. Huru-hara
pun terjadi. Rakyat mengamuk dan merusak. Negara Pedang
Kemulan menjadi lautan api. Putri Cina takut setengah mati
ketika melihat bagaimana wanita-wanita Cina lari tunggang
langgang karena dikejar-kejar lelaki-lelaki berambut cepak
setengah telanjang. Ketika akhirnya terpegang, para lelaki itu
dengan beringas menelanjangi wanita-wanita Cina itu,
merebahkan mereka, dan melampiaskan nafsu mereka, sepuas-
puasnya. Wanita-wanita Cina itu hanya menjerit, menangis,
takberdaya.
Bayang-bayang kematian membawa Putri Cina menuju
Gunung Merapi. Di sana ia berjumpa dengan Nyai Gadhung
Mlati yang memberinya sepasang sayap kupu-kupu. Nyai
Gadhung memberi sayap supaya Putri Cina dapat terbang,
menjatuhkan hujan ke bumi dan menyuburkan bumi, untuk
kemudian mati.
Putri Cina merasa terbebas dari pertanyaan kematian dan

Serpihan Sastra 71
kehidupan karena ia sudah berada dalam kebenaran yang
diajarkan Lao Tze bahwa kehidupan dan kematian adalah satu,
takterpisahkan. Karena itu, Putri Cina pasrah seperti air yang
mengaliri apa saja tanpa terikat pada apa yang dialirinya. Air
mengalir ke bawah, dan tinggal di bawah, tempat orang tidak
suka, padahal sesungguhnya di tempat itulah tao berada (hlm.
131).
Pada bagian 20, novel ini menarik diri lagi ke belakang.
Siok Nio gemar sekali menonton ketoprak walaupun ia Cina. Ia
mengizinkan anaknya, Giok Tien, menjadi pemain ketoprak.
Bahkan ia mengharapkan Giok Tien menjadi bintang ketoprak
dan memainkan sandiwara Sam Pek Eng Tay yang menjadi
kesukaannya.
“Ya, Mama berharap kamu bisa menjadi bintangnya
ketoprak. Dan Mama akan sangat bangga dan bahagia bila suatu
saat nanti, Mama bisa melihat kamu main dalam lakon Sam Pek
Eng Tay,” kata Siok Nio lagi (hlm. 158).

Siok Nio memberikan izin pada Giok Tien untuk menjadi


seorang istri punggawa negeri orang Jawa. Alasannya bahwa
cinta tidak mengenal perbedaan Jawa atau Cina.
“Tien sekarang kamu telah menjadi Eng Tay. Maka mulai
hari ini kamu harus mencintai suamimu dengan sepenuh jiwa
ragamu. Percayalah Tien, cinta tak mengenal perbedaan. Maka
meskipun kamu kawin dengan orang Jawa, Mama
menyetujuinya karena Mama tahu, kamu mencintainya. Bawalah
cintamu sampai mati seperti Eng Tay membawa cintanya sampai
ke kuburan Sam Pek. (hlm. 213)

Peran Korsinah dalam novel ini cukup penting juga karena


ia mewakili wanita Jawa yang menerima Giok Tien sebagai
pemain ketoprak. Bahkan bagi Giok Tien, Korsinah bukan hanya
emban di panggung, tapi juga pamomong di luar panggung. Dia
sering menasihati Giok Tien dan memberi rapalan (mantera) agar
permainan ketopraknya sukses dan selamat dirinya dari
cengkraman laki-laki yang menggoda dengan berbagai rayuan
Pada bagian akhir, Putri Cina menyadari
kesalahpahamannya pada Gurdo Paksi, suaminya. Begitu pula
Gurdo Paksi alias Setyoko sadar akan kesalahannya yang

72 Abdul Hamid
menomorsatukan kekuasaan. Melalui Radi Prawiro alias Joyo
Sumengah, narator secara tragis membunuh Gurdo Paksi dan
Putri Cina.
Pembunuhan dilakukan memakai panah.Tampaknya ini
bertentangan dengan bagian awal yang menerangkan ada lelaki
memakai kereta angin membawa wayang Cina. Ketradisionalan
senjata pun tampak bertentangan dengan latar waktu Medang
Kamulan Baru adalah pascakemerdekaan. Bahkan dengan
tambahan kata baru, Medang Kamulan Baru bisa ditafsirkan Orde
Barunya Soeharto dan kerusuhan yang terjadi pun bisa saja tahun
1998.
Barangkali itulah sedikit ketidakcermatan novel ini. Tapi
takapa karena yang disorot adalah temanya. Sebagaimana awal
cerita, akhir cerita pun ditutup dengan pertanyaan yang bernas.
“Di dunia ini semua manusia menanggung nasib yang
sama karena kita semua hanyalah debu, Cina dan Jawa, sama-
sama debunya, mengapa kita masih bertanya, siapakah kita? Toh
dengan dilahirkan di dunia, kita semua adalah saudara?”

****

Serpihan Sastra 73
Refleksi Kesadaran Diri
dalam Lelaki Tua dan Laut

Manusia adalah makhluk superior dibandingkan dengan


makhluk ciptaan Tuhan lainnya. Manusia diberi akal dan kuasa
untuk mengendalikan dan mengolah semua unsur alam yang
ada. Kadang kesuperioran manusia membuat manusia lupa diri
dan merasa dirinyalah yang paling berkuasa dan bisa melakukan
apa pun yang menjadi keinginannya. Namun, dalam banyak hal
manusia sering dibuat tidak berdaya. Kekuatan alam kadang
takbisa dikompromikan dan diatur. Jika alam sudah
menampakkan kekuasaannya, kepandaian manusia takakan
mampu melawan kekuasaannya.
Tampak, pesan itulah yang ingin disampaikan Ernest
Hemingway (1899-1961) dalam salah satu karya puncaknya The
Old Man and the Sea (1952) yang mengantarnya untuk meraih
hadiah Nobel Sastra 1954. Novel ini menyiratkan bahwa
kekuatan manusia itu sia-sia. Santiago, seorang lelaki tua
penangkap ikan di arus teluk Meksiko, sudah delapan puluh
empat hari lamanya tidak berhasil menangkap seekor pun (hlm
5). Selama itu ia ditemani oleh seorang anak laki-laki. Namun,
setelah empat puluh hari berlalu tanpa seekor pun ikan yang
berhasil ditangkap, orang tua anak laki-laki itu menyuruhnya
untuk ikut pada perahu lain. Akhirnya, lelaki tua itu seorang diri
mengarungi laut untuk menangkap ikan.
Setelah dengan sabar menunggu umpannya dimakan
oleh ikan, akhirnya apa yang dinanti-nantikan diperolehnya. Ia
merasa seekor ikan besar menarik tali pancingnya. Dengan sisa-
sisa kekuatan yang dimilikinya dan kesabaran yang luar biasa ia
harus menunggu ikan itu untuk menyerah dan berhenti berputar-
putar di sekitar perahunya. Setelah berhari-hari menunggu,
akhirnya ikan itu menyerah dan menyembul ke permukaan.
Seketika itu juga, di tengah kelelahannya, lelaki tua itu akhirnya
berhasil mengait ikan besar itu ke pinggir perahu dan
membunuhnya. Namun, malang, rupanya ikan-ikan hiu tertarik
dengan ikan tangkapan itu.

74 Abdul Hamid
Perjuangan terus berlanjut, kali ini si lelaki tua harus
mengusir hiu-hiu yang terus berdatangan untuk menggerogoti
ikan tangkapannya. Semuanya memang pada akhirnya berujung
pada kemauan alam, perjuangan lelaki tua yang memaksa ikan
besar tangkapannya agar takluk berhasil ia lakukan, tetapi ia
harus pula takluk pada kemauan alam.
Banyak kritikus sastra dunia menilai bahwa karya-karya
Hemingway merupakan karya yang melahirkan pesimisme.
Hemingway memang hidup dalam zaman masyarakat
merasakan kegetiran, putus asa, dan ketakutan sebagai akibat
Perang Dunia II. Rupanya Hemingway adalah penulis fiksi yang
realistis yang banyak menulis materi-materi karangannya
berdasarkan pengalaman nyata yang dialami dan dilihatnya
sebagai seorang jurnalis di berbagai media cetak. Selama
hidupnya, ia senang bepergian, memancing, atau berburu. Tahun
1953 ia memperoleh Hadiah Pulitzer atas novelnya The Old Man
and The Sea dan sebagai puncaknya Hemingway memperoleh
Hadiah Nobel Sastra 1954 untuk penguasaannya dalam seni
bercerita, dan pengaruhnya pada gaya sastra mutakhir.
Novel Lelaki Tua dan Laut sering dirujuk sebagai novel
eksistensialis paling berhasil. Pembuktian bahwa manusia
mampu mengalahkan alam. "Mereka mengalahkanku, Manolin,"
kata lelaki tua itu. "Mereka benar-benar mengalahkanku."
Akhir dari kisah itu sesungguhnya takhanya bahwa si lelaki
mengalahkan marlin besar. Marlin itu sepanjang jalan pulang
digerogoti ikan-ikan hiu. Akhir cerita sesungguhnya adalah:
tampak sebujur tulang punggung yang putih panjang dan besar
yang berujung ekor yang lebar yang terangkat dan bergoyang
oleh air pasang .... Dengan kata lain, ia tetap membawa kerangka
ikan itu ke pantai. Ia ingin memamerkan kepada orang-orang apa
yang telah dibuktikannya. Dengan kata lain, ini sesungguhnya
kisah tentang psikologis manusia. Sebuah novel psikologis.
Setiap novel, yang berarti kisah tentang manusia, selalu
merupakan kisah mengenai psikologis manusia.
Novel-novel yang berhasil adalah novel yang selalu gigih
menemukan cara menggambarkannya. Novel yang buruk tidak
menggambarkan apa pun, bahkan meskipun psikologi menjadi
subjeknya. Tapi bagaimana sesuatu yang bersemayam jauh di
dalam diri manusia, sesuatu yang barangkali abstrak, bisa

Serpihan Sastra 75
diungkapkan? Dalam filsafat, psikoanalisis merupakan aliran
psikologi yang dengan cara analisis bawah sadar mencoba
mengeluarkan yang di dalam itu menjadi sesuatu yang
terdefinisikan dan terjelaskan. Di dalam sastra, kehendak
mengeluarkan yang di dalam melahirkan begitu banyak aliran
pengungkapan, yang pada akhirnya juga cara pandang terhadap
hidup ini
sendiri.
Pada masa-masa tertentu, monolog interior pernah
menjadi suatu tren dalam mengungkapkan bagian dalam
manusia: pikiran, hasrat, dan lanturan. Kita tahu bahwa kegilaan,
atau penyimpangan dari sudut pandang psikologi kebanyakan,
juga buah dari pikiran, hasrat, dan lanturan ini, yang bentuk
dasarnya selalu bersifat nomina. Ini kategori Kant untuk
menyebut hal yang adanya di dalam segala sesuatu, tidak
terindera.
Hemingway merupakan sosok paling ekstrem dalam
pendekatan ini. Seperti contoh di awal tulisan ini, juga di
sebagian besar novel- novelnya, dan terutama paling nyata dalam
cerita-cerita pendeknya, Hemingway hanya percaya kepada apa
yang sungguh-sungguh bisa tertangkap indera.
Membaca karya Hemingway ini, bagi saya serupa
melihat film. Kita tahu, di layar, apa pun yang ada di dalam
manusia, harus bisa dimunculkan menjadi sesuatu yang tampak.
Kesedihan dan kebahagiaan harus tergambarkan, baik melalui
mimik muka maupun gerak tubuh. Begitulah kurang-lebih
Hemingway. Meskipun apa yang digambarkannya melulu
"tindakan-tindakan", sekali lagi, bagi saya ia sesungguhnya
berkisah tentang bagian dalam itu.
***
Akhir perjalanan hidup lelaki tua itu adalah akhir kariernya
sebagai nelayan, yaitu akhir kekuatan dirinya untuk
menaklukkan laut dan menangkap ikan. Cerita novel tersebut
bahkan diawali oleh sebuah kalimat yang jelas, terang, dan
nantinya akan mewakili isi keseluruhan cerita, yaitu: Ia seorang
lelaki tua yang sendiri saja dalam sebuah perahu menangkap
ikan di arus teluk Meksiko dan kini sudah genap delapan puluh
empat hari lamanya tidak berhasil menangkap seekor ikan pun
(1983:5)

76 Abdul Hamid
Awal cerita ini terkesan hiperbol karena menunjukkan sebuah
rentang waktu lama (selama delapan puluh empat hari) dalam
sebuah pencarian yang sudah sangat biasa seorang nelayan
lakukan. Bahkan, tidak menemukan satu ekor ikan pun. Namun,
justru ini sebuah awal yang kuat untuk landasan logika cerita
selanjutnya karena seluruh isi cerita pada novel Lelaki Tua dan
Laut ini adalah sebuah pencerminan semangat seorang nelayan
yang takpernah menyerah walaupun sendirian, tidak memiliki
masa depan dalam bentuk penurunan segala kepakarannya pada
gererasi selanjutnya. Ia seorang lelaki tua yang sendiri saja (hlm
5). Walaupun sebenarnya awalnya tidaklah sendiri, anak muda
itu tidak dapat bertahan dalam kondisi yang tidak realistis di atas
lautan selama itu akhirnya ia pun meninggalkan lelaki tua pada
hari keempat puluh satu (hlm. 5).
Namun, di sisi lain si pemuda justru menemukan figur
seorang pelaut terbaik pada lelaki tua itu. Hanya karena
pengaruh lingkungan dan anggapan lelaki tua yang salao, yakni
paling sial di antara yang sial, dari orang tua pemuda itu, maka
pemuda itu hanya menjadi penyemangat saja selanjutnya.
Begitulah, kedekatan lelaki tua dengan anak muda itu
menjadi simbol keterpilihan generasi yang melihat dengan mata
hati. Karena itu pulalah pada cerita selanjutnya lelaki tua selalu
menyayangkan ketidakhadiran anak muda itu di sampingnya.
“Seandainya anak laki-laki itu di sini sekarang.” (hlm. 48, 53, 58, 81).
Pada titik itu kesadarannya penuh. Kesadaran itu bagai arus
yang membawanya kepada refleksi-refleksi setiap detik peristiwa
yang begitu saja terhubungkan dengan alam, masa lalu,
kefanaan, dan Tuhan.
1. Refleksi kesadaran kesendirian pada usia tua terwakili oleh
ungkapan-ungkapannya:
Seandainya anak laki- laki itu di sini sekarang (hlm.
48,53,58, 81) yang terus diulang-ulang. Ini semacam kesadaran
mendalam tentang eksistensi dirinya yang telah hambar. Dan
untuk itu dia menyimbolkan dengan garam. “Seandainya ada
garam,” (hlm. 53). Kehidupanya memang telah hambar,
padahal ia berada di laut. Ini sebuah indeks akan
keterpisahannya dengan dunianya, dengan pengalamannya,
dengan laut.
2. Refleksi kesadaran keterikatannya dengan laut

Serpihan Sastra 77
diungkapkannya dalam peristiwa-peristiwa saat ia
mendapatkan ikan besar dan ia takmau melepaskan talinya
sampai terbawa jauh (hlm. 47,49). Namun pada hampir akhir
cerita ia begitu menyadari bahwa itu telah terlalu jauh ia
lakukan (hlm 120).
3. Refleksi kesadaran hilangnya kekuatan dirinya terungkap
lewat kenangan dan mimpinya, yaitu kenangan pada
peristiwa menghebohkan dalam hal panco. Saat ia
mengalahkan seorang negro (hlm. 66). Selain itu terefleksi
oleh teriakannya tentang “Seandainya anak laki-laki itu ada di
sini. (hlm. 48, 53, 58, 81). Mimpi pada akhir ceritanya adalah
mimpi tentang singa. Singa yang semula ia lihat dengan
matanya, saat itu hanya ada dalam mimpi (hlm. 126).
4. Refleksi kesadaran religiusitas sebagai ujung dari pengakuan
dirinya yang telah lemah ia ungkapkan segala keluh kesahnya
dengan melibatkan Tuhan. Setelah ia putus asa
mengembalikan kekuatan tangannya, Ia berucap, “Tuhan
semoga menolongku mengusir kejang-kejang ini,” katanya,
“Sebab aku takbisa menduga tingkah si ikan selanjutnya.”
(hlm. 56). Bahkan selanjutnya ia bernazar pada Tuhan (hlm.
61) dan berdoa (62, 63) yang itu semua sepertinya jarang atau
pantang ia lakukan sebelumnya. Hal ini terbukti dengan
sebelum ia sadar akan keberadaan Tuhan ia hanya mengajak
dialog tangannya untuk kembali bekerja dan tidak kejang-
kejang bahkan dengan memohon-mohon (hlm. 54, 55, &56).
Reflesi kesadaran religius lainnya adalah ketika lelaki
tua itu seolah memetaforkan laut sebagai akhirat yang
berlawanan dengan daratan yang ia simbolkan dengan
baseball sebagai dunia saat ia mengenang kesukaannya
terhadap permainan tersebut (hlm.64,65).
5. Refleksi kesadaran bahwa menjadi tua sebenarnya lebih
banyak tantangannya karena kekuatan dan kesendirian yang
menyelimuti ia ungkapkan dengan keberadaan ikan besar
yang berhasil ia tangkap, sedangkan ia sendiri (hlm. 60). Ikan
besar itu adalah simbol tantangan hidup dan ia sendiri adalah
simbol ketuaan. Kesadaran ini kemudian berimbas pada
kesadaran selanjutnya. Ia sadar bahwa ikan-ikan itu telah
mengalahkannya, dan ia sudah tua (hlm 111-112). Selain itu,
refleksi kesadaran tentang tantangan pada masa tua semakin

78 Abdul Hamid
berat adalah dengan setelah tertangkapnya ikan besar itu
ternyata mengundang hiu-hiu yang terus merongrongnya
sampai ia kalah (hlm. 97, 99, 106, 111, 112, 118).
6. Terakhir, refleksi kesadaran bahwa lelaki tua itu telah selesai
karier sebagai nelayan disimbolkan oleh keharusan dirinya
untuk melakukan sesuatu yang berbeda dengan apa yang
dilakukannya pada masa mudanya. Kesadaran bahwa perahu
menjadi ringan setelah ikan besar itu dimakan hiu (hlm. 119,
120). Keberadaan ikan seolah menjadi simbol beban bagi
dirinya. Dan ia juga menyadari bahwa dirinya telah terlalu
jauh melangkah (hlm. 120). Selain itu, akhir cerita
menyimpulkan refleksi kesadaran diri sang lelaki tua, yaitu ia
bermimpi tentang singa-singa (hlm. 126). Kekuatan itu kini
hanya ada dalam mimpi atau menjadi mitos baginya dan ia
sadari itu.

Serpihan Sastra 79
Rumah Boneka:
Sumber Daya Pembangkit
Rumah Manusia

Drama Ibsen mempromosikan cerminan dan mempersembahkan


pemikiran dan ide-ide mengenai keadilan dan persamaan. Tema-
tema memantul dengan kuat ke seberang waktu dan ke seberang
dunia di luar Skandinavia, Australia, dan New York. Pada awal
abad 20 Ibsen mempunyai suatu pengaruh yang kuat pada
masyarakat Asia yang mencari-cari “diri sendiri yang modern”.
Karyanya diperkenalkan di Negeri China pada 1907 oleh Lu Xun,
pelopor kesastraan Cina modern. Lu Xun dan para penulis lain
melihat Ibsen untuk inspirasi membangun suatu masyarakat
modern. Dramanya, Rumah Boneka dan tokoh Nora merangsang
diskusi feminisme di Negeri China pada tahun 1920-an dan 1930-
an. Dalam 1923, Lu Xun berceramah di perguruan tinggi dengan
judul “Apa yang terjadi setelah Nora meninggalkan rumah?” Ia
merasa bahwa pembebasan Nora tidak akan lama. Tanpa suatu
masyarakat yang sesuai untuk wanita-wanita dan tanpa
keamanan dan hak-hak ekonomi, Nora akan dipaksa untuk
menjual dirinya atau kembali ke pernikahannya yang takbahagia.
Ia berkata, “Hal yang penting untuk Nora adalah uang”…. “uang
tidak bisa membeli kebebasan, tetapi kebebasan dapat dijual
untuk uang.”
Di dalam drama Ibsen terbentang drama manusia sudah
tidak lagi yang disetir oleh para raja dan leluhur, oleh birokrasi-
birokrasi dan orang-orang berpengaruh. Tokoh-tokohnya orang-
orang biasa. Semua suara diberi alur cerita dengan visi mereka
sendiri, harapan-harapan dan sasaran pribadi. Nora, di dalam
Rumah Boneka, adalah wanita biasa yang memberanikan diri
untuk melarikan diri dan membentuk hidup yang berbeda.
Dewasa ini wanita masih sedang bangun dan membentuk
berbagai kemungkinan baru. Wanita tidak selalu meninggalkan
suami hanya karena suatu norma sosial, satu harapan bagaimana
wanita harus berperilaku dan ketidakadilan serta ketidaksamaan

80 Abdul Hamid
sosial yang diterima: bekerja karena kekurangan keamanan,
kekerasan terhadap wanita-wanita, menyebarnya HIV/AIDS,
peperangan yang menelantarkan anak. Nora menghendaki
rumah bukan rumah boneka, tetapi rumah tempat mereka
menjadi anggota dan menjadi sumber daya pembangkit
pemerintah tempat mereka dapat membantu membentuk suatu
masa depan manusia yang lebih baik.

Nora yang Menakjubkan


Ketika Henrik Ibsen memperkenalkan pembebasan wanita-
wanita kepada negara-negara Nordic dalam 1879, dalam diskusi
penempatan peran-peran jenis kelamin di kalangan borjuis
Norwegia, ia menetapkan suatu agenda baru yang mempunyai
akibat-akibat revolusioner.
Rumah Boneka diantisipasi sepuluh tahun sebelumnya
oleh Yohanes Stuart dalam esai Mill The Subjection Women, yang
diterjemahkan oleh Georg Brandes di Denmark. Tetapi, filsafat
adalah satu hal, dan drama hidup riil sungguh yang lain.
Sebelum Ibsen menunjukkan kita jalan keluar; pemecahan Nora
kepada dilemanya, tidak seorang pun bisa membayangkan
seorang wanita meninggalkan suami, dan pasti bukan sisa-sisa
keluarganya. Dan selama bertahun-tahun, pertanyaan yang tidak
dijawab adalah: ke mana Nora pergi?

Feminis
Di dalam 1970s, masa jaya dari feminisme, tidak ada keraguan:
Nora telah menjadi pejuang hak wanita. Dia berhenti memakai
kutang dan pergi ke Femø, perkemahan wanita-wanita; dia
ditemukan di dalam setiap kelompok orang desa berkampanye
melawan patriliniet, falokrasi dan souvinisme. Kritikus Denmark
mempertanyakan ke mana Nora pergi. Dia telah memperoleh
pengertian yang mendalam: Nora mengetahui bahwa dia harus
mendidik dirinya secara baru. Pil kontraseptif itu adalah batu
penjuru dari pembebasan 1970-an dan keseluruhan revolusi di
dalam hubungan-hubungan yang menyentuh hati.

Serpihan Sastra 81
Rumah Boneka tentang Hari Ini
Kejutan yang pertama adalah para tokoh. Kita menemukan
Torvald Helmer, seorang pengacara sebagai tokoh utama. Ia
mempunyai tiga anak-anak kecil, tetapi bukan dari Nora, dan
apakah kita benar-benar mengenal di mana istrinya hidup,
seperti “Tindakan berlangsung datar Helmer”. Ini tidak perlu
rumah dari kedua-duanya.
Di mana rumah Nora? Di mana dia menjadi anggota?
Kalimat tersebut mengisyaratkan di mana tempat Nora.
Dua pintu dilewati dulu, mulai dari ruang kamar yang
membentuk latar belakang drama. Satu mengarah ke ruang
Helmer, dan yang lain ke aula, dan ke atas dunia luar. Antara
kedua pintu terdapat sebuah piano. Dan di sini, barangkali, kita
akan menempatkan Nora – di suatu lapisan musik, mimpi-
mimpi, dan khayalan.
Di suatu tempat antara permintaan-permintaan bagian
dalam dan yang luar, di luar asas realitas –Ibsen mengantisipasi
Freud – beban-beban dari kultur dapat mencatat daftar waktu
yang diperlukan untuk memainkan suatu tari dahulu kala –atau,
sebetulnya, suatu tarian Italia. Ibsen mempunyai timbang rasa
cukup untuk memperlengkap ruang; kamar dengan berbagai
keramik menghiasi. Apakah sumbangan rumah tangga itu tidak
memiliki tempat riil untuknya?
Nora dilukiskan pada awal drama sebagai suatu isi, nona
murah hati dan gembira, seorang pencinta makanan dan
kesenangan, dengan macaroons di dalam sakunya, seorang istri
yang muda. Tetapi kita merasakan ketegangan dasar di awal
drama: di sini ia adalah seseorang yang akan memberi petanyaan
ganda, yang barangkali mempunyai suatu kepribadian rangkap.
Seorang wanita yang murah hati yang dilihat oleh mitranya
sebagai suatu makhluk kecil yang manis.
Nora kelihatannya percaya bahwa empat dinding rumah
tersebut adalah perlindungan yang terakhir melawan bahaya-
bahaya dari dunia luar, termasuk kreditur – “hanya orang asing”
– sementara tujuan Ibsen menunjukkan bahwa dia di bawah satu
ilusi – begitu juga kita. Keleluasaan pribadi dari rumah tersebut,
salah satu barang rampasan dari revolusi borjuis sosial, bukanlah
benteng keluarga-keluarga kelas menengah dengan setia
menaruh kepercayaan mereka di dalam. Ketika hari ini, ketika

82 Abdul Hamid
keluarga inti yang kudus, anak diperlakukan sebagai jimat,
menunjukkan suatu bangunan yang tidak mengindahkan
kreditur kita yang sekarang ini, karena yang global memegang
buku yang sedang disiapkan di luar gerbang kebun itu:
tunawisma, terorisme, dan peperangan. Kita melindungi diri kita
sendiri dari ketidakamanan dengan nama dagang dan gaya,
mencita-citakan dapur rancangan baru yang mempromosikan
hidup keluarga bahagia.
Suami Nora, Torvald Helmer, Manajer Bank Tabungan,
sadar akan tanggung jawab yang diperlukan oleh keamanan,
posisi permanen, dan pendapatan baiknya. posisinya pada
fondasi keluarga, dan ia mengenal dengan baik bahwa itu
menjadi pegangan kesangupan membayar utang. Karena itu,
logis Nora harus menyadarkan Torvald dari tanggung jawab dan
kenyataan: “Baik sekali, Torvald, jika anda yang
mengatakannya.” Ada suatu kesadaran dari yang tidak menaruh
kasihan di dalam drama Ibsen. Akankah wanita muda tidak
bertanggung jawab ini bertumbuh? Akankah pihak yang lebih
lemah berkembang? Dan apa akibatnya? Atau di dalam istilah
lebih modern: Akankah gelap, sisi-sisi lemah setiap pertumbuhan
dan mengancam keseluruhan keselarasan (yang palsu) tanpa
tedeng aing-aling menyembunyikan dan mengisyaratkan.
Kita semuanya taksimetris dengan kepribadian-
kepribadian yang terbelah dan permukaan-permukaan mentah.
Inilah alasan kenapa kita mempunyai permasalahan dua orang
yang kekal di suatu hubungan yang bekembang di dalam arah
berbeda, sisanya antara mereka yang sedang terganggu, dan
semua konflik yang takbisa terelakkan terjadi. Selama
pembaharuan –individualisme –tinggal suatu nilai, masihkah ada
pengembangan dan penyimpangan pribadi sehingga
pertanyaannya adalah: Bagaimana mungkin dua orang
berkembang bersama-sama tanpa suatu risiko berkembang di
dalam arah yang berbeda?
Pertanyaan-pertanyaan di dalam drama itu takdapat
dilarutkan, takterpecahkan, dan hanya dapat dipecahkan jika
mereka tinggal ke luar. Helmer bisa merasakan benar dari awal
itu di balik nyanyian burung “bodoh” pendekatan kepada uang
di sana mungkin suatu aspek lebih maskulin. Ceria, nyanyian
burung, tidak akan sangat kekanak-kanakan feminin. Bagaimana

Serpihan Sastra 83
pun dia hanyalah seperti ayahnya –itu ada di darahnya, hal-hal
ini bersifat bawaan, ketika Helmer menunjuk ke luar. Tetapi Nora
hanya mengharapkan dia menerima warisan lebih banyak
kualitasnya. Ibsen mempunyai suatu talenta yang unik untuk
membiarkan bawah sadar berbicara, dan membiarkan tokoh-
tokohnya untuk ditarik sekalipun hanya dengan rasa segan, dari
arus kata-kata yang mengalir dari bibir-bibir mereka. Nora telah
menunjukkan bahwa ada ketakseimbangan di dalam
kepribadiannya, di dalam asuhannya, antara aspek feminin dan
maskulin. Dia menginginkan mengganti kerugiannya, sementara
Helmer menyukai keadaan status quo dan berniat
mempertahankan ketakseimbangan itu sama artinya.
Namun, tokoh-tokoh di dalam drama-drama Ibsen disetir
oleh bawah sadar mereka, apakah mereka ingin atau tidak. Dan
kita menemukan diri kita sendiri ditangkap di dalam drama,
sebagai bagian dari pendengar, ketimbang pembaca, atau orang
sombong yang mempunyai semua jawab. Kita seolah tidak
berdaya untuk campur tangan, hanya kita berempati dengan
tokoh-tokoh ketika mereka bergerak ke arah jurang ngarai yang
dalam sekali. Siapa yang berutang dan kepada siapa harus
membayar? Pekerjaan-pekerjaan Ibsen yang dikumpulkan
melembagakan satu penggetar hati yang tidak ada akhirnya.

“Mukjizat”
Di dalam Rumah Boneka itu yang perbedaan antara rahasia-
rahasia Natal yang kecil dan wahyu yang besar, mukjizat, akan
disingkapkan. Dan hal yang paling penting yang dapat
berhutang kepada siapa pun adalah hidup. Nora telah
mengamankan hidup Torvald. Dia bukanlah wanita penghias
natal; dia menyatakan adanya; merahasiakan suatu keluhuran
budi yang benar dan satu keengganan untuk berkompromi.
Bagaimana mungkin penipuan ini dipertahankan?
Di dalam keceriaan hal ini percuma, ada pencari nafkah
keluarga yang tidak bertanggung jawab dengan kakinya di
tempat dan suatu tanggung jawab yang berat di bahu-bahunya,
seorang petapa, yang mau menyangkal kesenangan-kesenangan.
Ini adalah satu aspek dari Nora yang jelas diwujudkan melalui
sahabatnya, Mrs. Linde. Nora mempunyai kebangkitan sampai
setelah tengah malam untuk membayar uang muka pinjaman

84 Abdul Hamid
yang memungkinkan mereka bepergian ke Italia, perjalanan yang
mengamankan hidup Torvald.
“Ia hampir seperti menjadi manusia,” dia berkata.
Kebanyakan ketakseimbangan hubungan adalah ketika
salah satu dari para mitra harus menyembunyikan talenta-talenta
mereka untuk menghindari iri hati, gangguan, atau hanya satu
suasana hati yang tidak enak. Nora mengatakannya lurus. Jika
Torvald mengetahui itu, rahasianya akan merusak segalanya
antara mereka, dan rumah mereka yang menyenangkan tidak
pernah akan kembali. Dan, orang bisa menambahkan,
masyarakat secara keseluruhan boleh jadi sungguh berbeda jika
ada lebih besar dan penyajian sama lebih wanita-wanita di dalam
pengelolaan memposisikan, di atas kapal dan di dalam politik.
Fakta bahwa para aktris terus menerus mengeluh karena tidak
cukup bagian untuk wanita-wanita yang sudah tidak lagi cerias
mencerminkan kondisi-kondisi masyarakat hari ini –meskipun
suatu abad tentang berkampanye untuk persamaan.

Metode Ibsen
Mrs. Linde bukan satu-satunya peran yang menerangi Nora.
Ibsen juga mengungkapkan aspek tokoh Nora melalui dua
bagian kecil yang lain, Krogstad dan Dr. Rank. Ia menggunakan
tokoh-tokoh untuk mencerminkan bawah sadar satu sama lain.
Ibsen diilhami sejumlah penulis lain di Denmark, terutama sekali
Karen Blixen. Pertanyaan inti drama itu adalah apakah keluarga
Helmer dapat tinggal bersama-sama, apakah meninggalkan Nora
atau tidak, tetapi apakah mereka sebagai individu akan mampu
dijadikan orang-orang utuh dan menyembuhkan berbagai
kepribadian mereka yang terbelah dengan pengertian yang
mendalam ke dalam motivasi-motivasi mereka sendiri yang
tersembunyi. Tidak satu pun dari tokoh-tokoh Ibsen menyatakan
ada. Mereka yang dilukiskan kelihatannya kebanyakan naif,
kebanyakan menghitung seperti pada kasus Nora.
Krogstad adalah laki-laki yang dapat menangkap orang-
orang yang tersangkut dan mencoba mendapat keuntungan dari
keadaan sulit. Krogstad mengenal di mana kelemahan Nora.
Krogstad, sangkutan Nora yang sedang menggantung,
menunjukkan hukum masyarakat yang formal, yang tidak
memperhatikan hukum manusia yang lebih dalam berkenaan

Serpihan Sastra 85
dengan hidup mati –hukum bahwa Krogstad tunduk kepada
dirinya. Akankah Nora menyelamatkan jiwa ketika dia
mengamankan milik suami? Kewajiban moral ini belum
diformalkan. Hukum itu tidak terkait dengan motivasi-motivasi
dan seperti itu merupakan suatu hukum sangat dungu. Nora
dan Krogstad adalah komplotan, kedua-duanya di tepi jurang
yang dalam sekali, kedua-duanya kemungkinan bunuh diri.
Siapa yang menggerakkan mereka? Siapa yang mengendalikan
reputasi?

Di tepi dari jurang ngarai yang dalam sekali


Lilin-lilin itu sedang dtempatkan di pohon Natal. Nora sedang
menghias rumah boneka itu dan mereka akan merayakan Natal
di tepi jurang yang dalam sekali. Kita diingatkan tentang
keluarga Buddenbrook di dalam roman Thomas Mann, pindah ke
rumah mereka yang baru baik sekali, terlupa kepada
kemunduran masa depan mereka. Keluarga harmonis di dalam
rumah boneka itu didasarkan pada suatu kepalsuan. Nyanyian
burung harus mempunyai suara nyaring untuk bernyanyi tanpa
uang palsu. Berapa lama nyanyian burung tinggal di angkasa?
Cepat atau lambat dia akan mendarat –ketika Krogstad mendapat
sangkutannya. Sangkutan mereka kedua-duanya berpegang erat-
erat. Keduanya sudah mengikat kejahatan yang terburuk dari
semua. Keduanya bersalah atas pemalsuan. Nora berhutang
kepada Krogstad dan dalam hubungan tersebut telah
memalsukan suatu tanda tangan. Tetapi dengan cara –dalam satu
cara Ibsenian– tanda tangan Nora yang palsu adalah benar. Ia
mengungkapkan rahasia identitasnya, kinerja rumah boneka itu
memerlukannya.

“Teroris domestik”
Helmer memberi suatu nama kepada kejahatan Nora dan
mengenalkannya untuk menjadi jenis “teroris domestik”.
Seseorang yang menempa suatu tanda tangan menyebar ke
seluruh kehidupan rumah dan meracuni anak-anak. Peracunan
seperti itu secara umum adalah kesalahan dari ibu. Para ayah
menunjukkan hukum formal. Dengan kesadaran hukum kita
yang feminin ditarik ke dalam suatu tanah lapang masa lampau.

86 Abdul Hamid
“Hampir semua pemuda yang menjadi tidak bermoral pernah
berbaring pada para ibu,” Helmer menyimpulkan.
Ia adalah uap-uap dari rawa masa lampau ini karena
Nora dapat merasakan pada awal berbuat sesuatu –dia
merasakan sedang mendekati orang-orang yang bisa
membahayakan dirinya dan orang lain, tempat mereka tidak lagi
mengenal diri. Helmer digunakan untuk cemburu ketika Nora
menyebutkan orang-orang yang telah menyukai punggung di
rumah. Nora telah memotong dirinya dari latar belakangnya
untuk berkait dengan ruang borjuis, idaman dari rumah boneka
itu. Satu-satunya mata rantai dengan dunianya sendiri adalah
perawat tuanya, Anne-Marie, tetapi perawatnya juga suatu
pengingat karena dia masih seorang anak. Dan ini merupakan
seorang anak terbaik dalam lapisan feminin dari rumah boneka
itu, yang dirampas semua kuasa tanggung jawab dan
pengambilan keputusan. Dia bahkan tidak memilih seragam
pakaian untuk fancy-ball-nya sendiri. Torvald pernah
memilikinya yang dibuat ala Italia, dan Torvald telah
memutuskan bahwa dia akan memakainya saat pesta pakaian
fancy-ball mendatang, ketika ia memutuskan akan melaksanakan
tarian Italia sebagai nelayan Neapolitan. anak perempuan. Untuk
Manager Bank Tabungan itu adalah juga berbakat musik; ia
memainkan piano dan mempedulikan seni tari balet. Dan ia
dapat menggambarkan perbedaan estetik sulam-menyulam dan
merajut.

Bagia Muka Rumah dan Nama Dagang


Pengamatan “Torvald tidak bisa melihat pembuatan pakaian”
sangat menjamah syaraf maskulin borjuis yang mendominasi
masyarakat. Bagian muka rumah itu harus bersinar, seragam itu
harus berkelip-kelip, seperti halnya usia nama dagang, sementara
penderitaan di bawah permukaan. ini merupakan suatu
pertanyaan tentang memelihara kemampuan scenographer untuk
menggoda, menjual produk, samaran kejahatan, pemalsuan-
pemalsuan, defisit-defisit, dan penipuan.
Apakah bukan kenyataan-kenyataan dunia luar, Nora
bisa melanjutkan keberadaannya sebagai boneka dan bisa dengan
aman mengizinkan Torvald untuk diM. Dia bisa terus bermain
menjadi tupai, melaksanakan kiat-kiat dan menari di suatu

Serpihan Sastra 87
cahaya bulan untuk suaminya. Tetapi, dia mempunyai utang
yang harus dibayar. Di dunia luar, dia berutang uang kepada
Krogstad, dan dia mempunyai utang yang harus dibayar kepada
masyarakat karena kejahatannya. Tetapi di atas semuanya, dia
mempunyai kewajiban pada dirinya untuk hidup menurut
kebenarannya sendiri. Drama itu bisa mempunyai akhir yang
berbahagia jika Torvald merupakan bagian dari rencana kerja.
Tetapi amat sayang, ia tidak. Nora mengira bahwa ia akan
bergabung dengannya pada sisi kebenarannya. Karena itu,
dengan cara mereka diceraikan, rumah mereka telah (secara
moral) rusak dengan mengabaikan berapa banyak silang sembur
tersinari.
Sahabat keluarga Dr. Rank adalah bayangan lain Nora.
Melalui sifat yang paling hakiki penyakitnya, ia mengajukan
pertanyaan-pertanyaan tentang psikologis dan sosiologis naluri
seksual, dan mengira disolusi makhluk bagian dalam. Hasil
diagnosisnya adalah pailit.
Nora dan Dr. Rank berbagi nasib dari makhluk yang
dijatuhi hukuman oleh tindakan-tindakan lain. Nora akan pergi
ke penjara untuk menyelamatkan hidup suaminya. Dr. Rank
akan membayar kelebihan-kelebihan ayahnya dengan nyawanya
sendiri. Untuk Dr. Rank, ayah terlalu gemar akan asparagus, fois
gras, truffles, tiram-tiram, angur, dan sampanye.
Dr. Rank mengetahui, sebagaimana Nora juga, bahwa
Helmer tidak bisa melanggar kebenaran di balik penglihatan, dan
karena itu ia harus mencegah tempat tidur sahabatnya yang sakit,
segera untuk menjadi ranjang orang mati. Kita mestinya tidak
menyingkirkan kepalsuan hidup seseorang, tetapi ini adalah apa
yang selalu dikerjakan Ibsen. Dan keceriaan di rumah boneka
bukanlah hanya hidup Nora. Ada lebih dibandingkan nyanyian
burung dan pakaian fancy-ball. Ada juga daya tarik keluarga
sahabat yang erotik sejati ini dengannya, yang dia pilih untuk
menginterpretasikan sebagai kasih sayang yang bebas bahaya.
Meskipun demikian, dia mempertimbangkan kemungkinan
minat pemanfaatannya untuk membayar uang muka angsuran
lain pinjaman dari Krogstad.

88 Abdul Hamid
Hentakan dari genius
Kembali ini adalah suatu hentakan dari genius Ibsen. Nora tidak
lebih baik daripada Helmer ketika datang kepada kepalsuan
hidup. Dan Nora juga menemukan keamanan. Mengapa Nora
menyelamatkan hidup suaminya? Apakah alasan yang riil bahwa
dia ingin meneruskan figur ayah yang berwibawa akan
melindunginya dari keinginan-keinginannya sendiri yang benar
dan menghancurkan derita? Ketika kita mencoba untuk
menyeimbangkan memegang buku tentang kasih, kita melihat
bahwa ada satu unsur kewajiban di dalam perasaan Nora untuk
suaminya. Dia takut akan suami, dia memerlukan suami karena
kepala keluarga, tetapi di sana tidak banyak kesenangan
dilibatkan. Ia, sebaliknya, menginginkan rahasianya, perempuan
kecilnya, boneka cantiknya.
Dapatkah rumah boneka itu mengakomodasi situasi
baru? Nora menari sedikit tarian Italia terlalu dengan mudah. Dia
mengungkapkan bahwa di bawah gambaran keceriaan ada
burung buas. Kinerja suksesnya memberi kendali merdeka
kepada corak erotisnya, yang juga suatu tarian kematian. Nora
dan Dr. Rank sudah menjadi musuh Jerman PD I, dan bersama-
sama mereka sudah menari ke dalam kerajaan kematian. Dia
kembali jatuh pada perkembangan suaminya dan adalah jauh
lebih memperhatikan apa yang mereka kerjkan –dia dan dokter–
di pesta pakaian fancy-ball berikutnya, dokter menjawab bahwa
ia akan mengenakan “Topi yang Takkelihatan.”

Seks dan penyakit


Dr. Rank mengumumkan kematiannya dengan sisa-sisa kartu
nama dengan suatu yang hitam melintasi namanya, dan ia telah
pergi seperti “binatang yang terluka”. Gambaran dari binatang
yang terluka, yang disembelih, hidup mengancam makhluk,
adalah Nora dan Dr. Rank berbagi. Dokter telah menerima
warisan penyakit seksual yang memancar dari ayahnya,
sementara Nora telah menerima warisan penyakit dari seksnya
melalui norma sosial dan konvensi-konvensi. Ibsen lebih dari
mengisyaratkan hubungan yang dekat antara penyakit kelamin
yang merajalela dari waktu dan norma-norma mapan yang
menindas wanita.

Serpihan Sastra 89
Helmer menyadari bahwa dokter penting baginya dan
kebahagiaan Nora. Mungkin saja itu karena sahabat keluarga
mereka membuatnya mungkin untuk Mr. dan Mrs. Helmer
hidup bersama-sama. Mereka sedang ditarik semakin dekat
kepada krisis, kepada tepi jurang yang dalam sekali, tempat
rumah boneka itu dalam bahaya roboh seperti rumah-rumahan
kartu. Di sini “mukjizat” terjadi.
“Aku sering kali mempunyai keinginan bahwa anda bisa
terancam oleh beberapa bahaya sehingga aku bisa mengambil
risiko segala hal yang aku punyai –bahkan hidup saya –untuk
menyelamatkan anda.”
Ini adalah satu garis penunjuk Helmer. perubahan
pakaian Nora setelah pesta pakaian fancy-ball menunjukkan
hubungan perkawinan mereka. Kebenaran-kebenaran
diperlihatkan.
Helmer sesungguhnya telah menjaga bagian kontrak
keluarga borjuis, dan ia berniat untuk melakukannya di masa
datang. Nora akan meninggalkan pasangan anak perempuannya,
dan ia mau seorang ayah untuknya. Ia mau suara hatinya. Ia
adalah Nora yang pecah kontrak, dan mulai sekarang harus
mengira tanggung jawabnya akan suara hati dan dirinya.
Kesadaran diri sendiri Nora yang baru membawanya ke
dalam kontak dengan aspek maskulin dirinya, dan dia
memutuskan untuk meninggalkan lapisan kekanak-kanakan
keluarga, kecenderungan-kecenderungan dan atraksi-atraksinya
yang represif.

Pertanyaan kekal
Bagaimana mungkin siapa pun yang berkembang di dalam suatu
keluarga? Ini adalah pertanyaan yang kekal. Seperti halnya
Helmer, Nora telah mencita-citakan “mukjizat”, suaminya akan
kelihatan sebagai ksatria di dalam baju besi bersinar dan
pertolongan dari dunia nyata. Mukjizat itu akan sesungguhnya
adalah Torvald mengorbankan hidupnya, kehormatannya, untuk
Nora.
Tetapi Torvald telah mengungkapkan dengan segera
kemarahan itu dan hal yang sama Nora telah mengharapkan ia
akan bertindak seperti seorang manusia, ia tidak. Dan yang
barangkali hal paling mengesankan sekitar pernikahan.

90 Abdul Hamid
“mukjizat” akan menjadi kemampuan untuk mengalahkan
kekecewaan-kekecewaan yang kumat

Dari dunia nyata


Tetapi Nora membuat pilihannya ketika dia menarik proyeksi-
proyeksinya yang terluka, dan memotong semua ikatan yang
sudah memaksanya untuk dusta dan bersembunyi; dan dia
masuk ke suatu ilusi yang baru –kesalahpahaman bahwa anda
hanya dapat berada pada diri sendiri, anda hanya dapat berdiri
pada kaki sendiri, jika anda sendirian. Dan menunggu masa
depan Nora sebagai wanita yang diceraikan tanpa adanya uang
dan tanpa pendidikan di dalam masyarakat.
Ibsen meninggalkan tokoh utamanya pada
Kierkegaardian klasik yang mengikat. Apa pun yang dia
putuskan akan bersalah. Akan jadi bersalah untuk tinggal dan
akan jadi bersalah pergi: “Menikah, dan anda akan menyesalinya.
Jangan menikah, dan anda akan juga menyesalinya. Nikah atau
tidak menikah, anda akan menyesalinya yang mana pun
caranya.”
Secara bertentangan, cinta, “mukjizat”, sampai terjadi
sungguh-sungguh untuk dua di antara tokoh-tokoh yang kecil di
dalam drama, Krogstad dan Mrs. Linde, yang melalui masa
kesusahan seperti itu dan sudah menaruh semua dukacita dan
kekecewaan-kekecewaan mereka di balik mereka.
Rumah Boneka telah berarti banyak kepada banyak orang,
tetapi itu mempunyai terutama sekali penting untuk wanita
separuh dari umat manusia. Drama memainkan suatu peran
kunci di masa gerakan abad yang politis terbesar lalu – gerakan
pembebasan wanita-wanita. Pemberontakan Nora melawan laki-
laki yang tidak menghargainya sebagai seorang manusia, dan
melawan suatu masyarakat yang memberi wanita-wanita
kebebasan sangat kecil, telah memperoleh nilai simbolik besar.
Selama 125 tahun, pernyataan terkenal Nora, bahwa di atas
segalanya dia adalah seorang manusia, mempunyai suatu rambu
suar. Tetapi usaha-usaha untuk melempar Helmer seperti “orang
yang tidak baik” dan Nora seperti “anak perempuan yang baik”
tidak selalu gampang –kecuali barangkali pada 1970-an. Tokoh-
tokoh itu terlalu manusia. Inilah poin-poin kuat Ibsen yang akan
membuat dia dan tokoh-tokoh abadinya. Ia menciptakan tokoh-

Serpihan Sastra 91
tokoh kompleks dan berjalin antara mereka ke dalam pabrik-
pabrik yang kompleks karena tidak ada orang yang sungguh
mampu menguraikan benang yang terpilin.

92 Abdul Hamid
MITOS

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988: 588), mitos


adalah cerita suatu bangsa tentang dewa dan pahlawan zaman
dahulu, yang mengandung penafsiran tentang asal-usul semesta
alam, manusia, dan bangsa itu sendiri yang mengandung arti
mendalam yang diungkapkan dengan cara gaib. Menurut Lee
dalam Makaryk (1993: 596-597), secara umum suatu mitos adalah
suatu cerita tentang dewa atau beberapa hal-hal gaib lain;
kadang-kadang perhatiannya adalah tentang manusia yang
didewakan atau suatu kekuatan supernatural. Suatu koleksi
menjadi mitos tradisional di dalam kultur tertentu membuat
suatu mitos menggambarkan atau menjelaskan asal dunia,
mengapa dunia dan bagaimana itu telah berubah dan mengapa
berbagai hal tertentu terjadi. Setiap mitos memberikan penjelasan
atau fungsi dengan acuan kepada pemikiran, keinginan dan
tindakan para dewa dan makhluk lain yang gaib. Mitos manusia
atau cerita berasal dari kultur nenek moyang atau masyarakat
tertentu yang mempelajari bagaimana mereka hidup dan apa
artinya hidup mereka.
Fry dan Encyclopedia Encarta (2002) mengatakan bahwa
mitos membantu menjelaskan gambaran mengenai kepercayaan
masyarakat, hukum, struktur sosial, lingkungan, sejarah, dan
dunia kosmos. Mitos yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat akan tumbuh menjadi kebenaran. Mitos Hang Tuah,
misalnya, telah menimbulkan keyakinan pada sebagian
masyarakat Melayu bahwa tokoh itu benar-benar ada. Mereka
menganggap bahwa Hang Tuah adalah nenek moyang mereka.
Dalam dunia mitos, para penulis menemukan suatu
abstrak atau gudang yang berkaitan dengan kesusasteraan
tentang desain tematik dan fiksional yang tidak dipengaruhi oleh
norma tentang adaptasi masuk akal terhadap pengalaman
manusia biasa. Mitos menyediakan para penulis dengan suatu
dunia tentang sejumlah metafor tempat segalanya dapat dikenali
dengan segalanya selain itu. Ketika bergerak dari penggunaan

Serpihan Sastra 93
mitos langsung, penulis beradaptasi ke pertimbangan tentang
munculnya realisme lebih besar.
Suatu konsep mitos yang berbeda diselidiki oleh Roland
Barthes. Di dalam Mitologi (1957), ia menguji mitos itu atau
artefak budaya tentang kebudayaan masal Perancis, menulis,
olah raga, film, iklan, dan makanan. Mengenai bahasa bukan
sebagai suatu sarana komunikasi transparan, tetapi sebagai alat
penindasan oleh kaum borjuis, dibantah Barthes karena bahasa
menguatkan suatu ideologi tertentu. Mempelajari berbagai teks,
Barthes mengembangkan suatu mode pembacaan paradoksikal.
Di dalamnya, pembaca harus mencari sampai menemukan
dongeng atau makna baru terasing dengan logika permukaan
bahasa suatu teks. Pembaca harus “belajar meninggalkan” nilai
sosial tradisional yang sudah tampak “alami” dan harus
memperoleh kembali perspektif yang lebih pluralistik.
Karena itu, di dalam mitos masalah kepercayaan
menduduki tempat yang penting. Berg (1974:7) mengatakan
bahwa mitos adalah seperangkat linguistik yang memasyarakat,
yang dapat dipertentangkan dengan seperangkat linguistik lain
yang tidak memasyarakat. Dalam kata memasyarakat, terdapat
proses “menetapkan.” Penetapan ini baru akan terjadi jika ada
kepercayaan. Kepercayaan itu, menurut Berg, adalah kesediaan
kita untuk menerima nilai tertentu dan meneruskannya kepada
pihak lain. Dalam penerimaan, masalah kebenaran bukanlah
pertimbangan. Hal ini berlaku universal. Berg memberikan
perbandingan antara seorang murid di Jawa pada masa lalu dan
di Amerika. Anak Jawa percaya pada perkataan gurunya bahwa
“Bharada terbang untuk menentukan batas wilayah Erlangga”
sama dengan kepercayaan anak Amerika bahwa “bumi berputar
pada sumbunya dan mengelilingi matahari.”
Jadi, sebagaimana dikemukakan Barbour (1974:20-23),
Kennedy (1987:627), dan Encyclopedia Encarta, masalah dalam
mitos bukan salah atau benar, melainkan sesuatu yang berguna
untuk memenuhi fungsi-fungsi sosial yang penting seperti
mengembangkan integritas masyarakat, memadukan kekuatan
bersama untuk solidaritas sosial, identitas, kelompok, alat kontrol
sosial, dan harmonisasi komunal. Salah satu contoh adalah mitos
Dipati Ukur bagi masyarakat Sunda. Ekadjati (1982:69)
mengatakan bahwa tokoh Dipati Ukur sampai sekarang (1982)

94 Abdul Hamid
masih aktual sebagai keturunan bupati. Masyarakat yang
mengagumi tokoh tersebut memujanya sebagai mitos, seorang
tokoh yang dikeramatkan. Mereka juga meyakini bahwa tokoh
ini juga merupakan nenek moyangnya. Pemitosan ini telah
menimbulkan sikap solidaritas sosial dan integritas bagi
kelompok masyarakat yang bersangkutan.
Dapat disimpulkan di sini bahwa mitos merupakan cerita
yang kebenarannya tercipta karena ada kepercayaan yang
tertanam pada masyarakat terhadap cerita yang dimaksud.
Selanjutnya, kepercayaan itu berpengaruh pada pola perilaku
dan pandangan hidup masyarakat. Sebuah cerita terjadinya
sesuatu, misalnya cerita Gunung Tangkuban Perahu dengan
tokoh Sangkuriang dan Dayang Sumbi, di Jawa Barat, telah
membentuk kepercayaan tertentu bagi sebagian masyarakat
Sunda.

Sastra dan Mitos


Menurut Fry, dalam Makaryk (1993:324), sastra
merancang suatu dongeng pengalaman manusia yang
terorganisasi. Manusia menghadapi dunia melalui imajinasi
mereka, membentuk, dan mengasah kembali dunia itu cocok
dengan keinginan dan kegelisahan atau menghadapinya dengan
nafsu dan secara objektif dalam banyak usaha untuk
menguraikannya dengan jelas. Ungkapan lisan tentang
pertemuan utuh ini adalah wilayah literatur, fiksi, dan nonfiksi.
Hasil semesta kata-kata dapat dilukiskan oleh kritik,
dengan ketentuan bahwa kritik tidaklah menentukan dengan
pertanyaan nonsastra (historis, biografis, psikologis, religius,
politis) dan berkonsentrasi pada apa yang dikerjakan sastra.
Setiap konsentrasi menyiratkan suatu sikap di dalam kritik yang
akan mengizinkan kritik untuk mengembangkan sebagian dari
karakteristik ilmu pengetahuan, yaitu semacam studi yang
memudahkan penelitian sastra sebagai suatu obyek studi bukan
sebagai suatu pokok dan itu berproses secara sistematis untuk
menguraikan apa yang ada di sana, di dalam suatu cara yang
serupa bagi apa yang dilakukan dalam ilmu pengetahuan mana
pun yang secara progresif membangun peluasan tubuh
pengetahuan.

Serpihan Sastra 95
Dengan demikian, terdapat relasi kuat antara sastra dan
mitos. Hal ini dapat dilihat bahwa karya sastra bisa menciptakan
mitos; dan sebaliknya, mitos hadir dalam karya sastra. Keadaan
tersebut terjadi karena sastra dan mitos merupakan ekspresi
tentang suatu realitas masyarakat pada zaman tertentu. Sastra,
sebagaimana telah banyak diungkapkan, merupakan cermin
realitas dan karena itu dikatakan pula sastra tidak lahir dari
kekosongan melainkan lahir dari realitas dan budaya tertentu.
Pada pihak lain, sebagaimana dinyatakan Umar Junus (1981:84),
realitas dikuasai oleh mitos. Sikap kita terhadap sesuatu
ditentukan oleh mitos yang ada dalam diri kita. Mitos ini
menyebabkan kita menyukainya atau membencinya.
Dalam karya sastra klasik Indonesia, antara karya sastra,
mitos, dan juga sejarah sulit dibedakan. Ekadjati (1978:1)
mengatakan bahwa dari sudut sastra, babad yang dianggap
sebagai sumber sejarah adalah karya sastra. Mitos tentang
terjadinya suatu daerah seperti Gunung Tangkuban Parahu,
tokoh terkenal seperti Hang Tuah, raja-raja besar seperti Air
Langga pada dasarnya banyak terdapat dalam sumber yang
disebut karya sastra tersebut.
Pada sisi lain, dalam karya sastra modern keeratan
hubungan sastra dengan mitos juga tampak. Dalam buku yang
sama, Junus (1981:84) mengatakan bahwa suatu karya sastra,
terutama sebuah cerita, mungkin novel, drama, dan cerpen –
kalau kita berbicara tentang sastra modern – adalah mitos. Dalam
hal ini dia mengatakan bahwa karya sastra bertugas
mengukuhkan sesuatu (= myth of concern) dan bisa juga
merombak sesuatu (= myth of freedom). Untuk myth of concern,
Junus menunjuk hikayat sebagai contoh dan untuk myth of
freedom menunjuk naskah drama Puti Bungsu karya Wisran Hadi.
Karya yang dipilih sebagai objek penelitian didasarkan
pada pertimbangan-pertimbangan berikut:
Pertama, dapat dipandang memiliki nilai kesastraan yang relatif
tinggi dan patut diapresiasi atau diteliti;
Kedua, secara ketandaan merupakan aktualisasi pengalaman
lahir batin pengarang sehingga tampak banyak gejala
sosiopsikologis yang mewakilinya.

96 Abdul Hamid
Ketiga, merupakan hasil transformasi dari situasi sosial budaya
zamannya yang diolah pengarang melalui kreativitas seninya.
Keempat, memperlihatkan ragam tanda yang unik sehingga
diperlukan kejelian dan kemampuan analisis ketika
memahaminya.
Keempat pertimbangan tersebut mengimplikasikan
adanya fenomena unik yang menarik untuk dikaji. Fenomena
yang dimaksud adalah adanya tegangan antara hal-hal yang
normatif dengan peristiwa di luar norma dapat dipandang
sebagai tanda-tanda yang perlu dibongkar maknanya. Untuk
sampai pada sasaran tersebut, perlu diikutkan beberapa aspek
yang berperan dalam keseluruhan sistem sastra dengan
pendekatan yang menunjang.
Berkaitan dengan persoalan tersebut, Teeuw (1983b:15)
menyatakan bahwa untuk memahami karya sastra, pembaca
harus menguasai berbagai sistem kode: kode bahasa, kode
budaya, dan kode sastra. Karya sastra merupakan sistem tanda
integral yang memiliki konvensi bahasa tersendiri di luar kaidah
kebahasaan umumnya. Untuk membongkar makna keseluruhan
karya sebagai sistem tanda, digunakan pendekatan semiotik.
Pendekatan ini didasarkan pada pengertian bahwa
menginterpretasi karya sastra dengan tujuan menemukan makna
melalui tanda-tanda kebahasaan dalam suatu proses signifikansi
dan komunikasi merupakan kerja semiotik.

Semiotik
Semiotik atau semiologi berasal dari bahasa Yunani,
semeion, yang berarti ‘tanda’. Semiotik merupakan istilah yang
populer di Amerika, sedangkan semiologi populer di Perancis.
Sejalan dengan etimologinya, semiotik merupakan ilmu yang
berkaitan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang ada
relasinya dengan tanda seperti sistem tanda dan proses yang
berlaku bagi penggunaan tanda. Semiotik sebagai ilmu
dipelopori oleh dua orang terkenal dari satu zaman, yakni
Charles Sanders Peirce (1834-1914) dan Ferdinand de Saussure
(1857-1913).
Tanda dianggap sebagai temuan manusia yang paling
penting yang dapat menjembatai subjek dan objek. Tanda (signs)

Serpihan Sastra 97
sebagai sesuatu yang tampil untuk hal lain atau aliquid stat pro
aliquo. Menurut Saussure, sebuah tanda adalah sebuah hubungan
manasuka (arbitrer) antara penanda (signifier) dan yang ditandai
(signified). Berbeda dengan tokoh tersebut, Peirce mendefinisikan
tanda dalam konsep ketigaan (triadic). Menurut Peirce, sebuah
tanda adalah suatu hal yang mewakili (stand for) sesuatu yang
disebut objek (called is object) yang dengan cara tertentu
menghasilkan tanda lain (its interpretant). Tanda dalam
pandangan Peirce adalah sesuatu yang hidup dan dihidupi
(cultivated). Ia hadir dalam proses interpretasi (semiosis) yang
mengalir. Dengan perkataan lain, dalam semiotik struktural
Saussure, makna didapat dari perbedaan atau kontras difference,
sedangkan dalam pandangan Peirce makna didapat dari proses
dan keterhubungan (Halton dalam Christomy, 2001).
Tampak bahwa dalam mendefinisikan tanda, Peirce
beranjak dari logika, sedangkan Saussure melandaskan bahasa
bagi definisinya. Kenyataan ini, menurut Zoest (1993:1),
menyebabkan semiotik memiliki dua aliran, yakni aliran Peirce
tidak mengambil contoh dari ilmu bahasa dan aliran Saussure
menganggap ilmu bahasa sebagai pemandu, guru, atau pengajar.
Dalam tesis ini semiotik yang digunakan adalah semiotik
gagasan Saussure yang kemudian dikembangkan oleh Roland
Barthes. Sebagai konsekuensinya, semiotik Peirce tidak akan
dijelaskan lebih lanjut. Pada pihak lain, gagasan Saussure pun
hanya akan disinggung dalam posisinya sebagai basis bagi
Roland Barthes dalam mengembangkan semiotik.
Menurut Saussure (Zaimar, 1991:21), bagian terpenting
dari analisis yang dilakukannya adalah tanda-tanda linguistik
karena bahasa sebagai sistem tanda yang paling lengkap. Ada
kemiskinan sistem dalam tanda-tanda lain selain dalam bahasa,
dan untuk masuk ke dalam semiotik sering kita harus melalui
ilmu bahasa. Lebih lanjut Saussure menjelaskan sebagai berikut:
Bahasa adalah sistem tanda yang mengungkapkan
gagasan, dengan demikian dapat dibandingkan dengan
tulisan, abjad orang-orang bisu-tuli, upacara-upacara
simbolik, bentuk sopan santun, tanda-tanda kemiliteran,
dan lain-lain. Bahasa hanyalah yang paling penting dari
sistem-sistem ini. Jadi, kita dapat menanam benih suatu
ilmu yang mempelajari tanda-tanda di tengah-tengah

98 Abdul Hamid
hidup kemasyarakatan; ia akan menjadi bagian dari
psikologi umum; akan kami namakan semiologi (dari
bahasa Yunani semeion yang berarti ‘tanda’). Ilmu ini
akan mengajarkan kepada kita terdiri dari apa saja tanda-
tanda itu, kaidah mana yang mengaturnya. Karena ilmu
itu belum ada, kita belum dapat mengatakan bagaimana
ilmu itu; tetapi ia berhak hadir, tempatnya telah
ditentukan lebih dahulu. Linguistik hanyalah sebagian
dari ilmu umum itu, kaidah-kaidah yang digunakan
dalam semiologi akan dapat digunakan dalam linguistik
dan dengan demikian, linguistik akan terikat pada suatu
bidang tertentu dalam keseluruhan fakta manusia.

Roland Barthes adalah ahli semiotik yang


mengembangkan pemikirannya berdasarkan ajaran semiotik
Saussure. Dalam bukunya Mythologies, Barthes menunjukkan cara
kerja semiotik. Menurutnya, mitos adalah sistem komunikasi,
sesuatu yang memberikan pesan. Mitos adalah suatu ujaran
(parole) dan semua yang bisa dianggap wacana (discourse) dapat
menjadi mitos karena ujaran memberikan pesan. Karena itu,
mitos bisa saja tidak dikemukakan secara lisan, tetapi berupa
tulisan atau pertunjukkan; teks tertulis, foto, film, reportase, olah
raga, pertunjukan, dan iklan, semuanya dapat menjadi
pendukung ujaran mitos.
Lebih lanjut, Roland Barthes menjelaskan mitos sebagai
sistem semiotik. Sebagai suatu studi tentang ujaran, mitologi
adalah suatu fragmen dari ilmu yang luas ini, yaitu semiotik.
Semua semiotik mengacu pada relasi dua istilah: signifiant
‘penanda’ dan signifie ‘petanda’. Bagi Saussure, petanda adalah
konsep, sedangkan penanda adalah imaji bunyi (yang bersifat
psikis) dan relasi konsep dengan imaji disebut tanda. Berkaitan
dengan hal tersebut, dalam penelitian ini ada dua buah teori
Roland Barthes tentang proses pemaknaan tanda. Kedua teori
yang dimaksud adalah signifikasi dan relasi paradigmatik-
sintagmatik.

Signifikasi
Signifikasi adalah teori pemaknaan yang dikembangkan
Roland Barthes dari teori Saussure tentang dikotomi signifiant

Serpihan Sastra 99
(penanda) dan signifie (petanda). Menurut Saussure, bahasa
sebagai sistem tanda terdiri atas dua aspek yang tidak
terpisahkan, yakni penanda dan petanda. Penanda adalah aspek
formal atau bunyi pada tanda, sebuah citra akustis, sedangkan
petanda adalah aspek makna atau konsep. Kesatuan penanda
dan petanda disebut sebagai tanda. Relasi tersebut sekaligus juga
menunjukkan bahwa jika citra akustis berubah, berubah pula
konsepnya. Begitu pula sebaliknya. Berdasarkan hal itu, Saussure
kemudian mengatakan bahwa bahasa merupakan bagian
terpenting dalam sistem tanda.
Pandangan Saussure tersebut kemudian dikembangkan
Roland Barthes menjadi teori pemaknaan (signifikasi). Dalam
bukunya, Mythology, Barthes menjelaskan signifikasi dengan
melakukan pengkajian terhadap mitos. Pada bagian terakhir
bukunya dengan subjudul Myth Today (1993: 109-159), Barthes
membahas mitos secara khusus. Menurut dia, mitos merupakan
sebuah tipe ujaran (parole). Di dalam mitos selalu muncul tiga hal
secara bersamaan, yaitu penanda, petanda, dan tanda. Berikut ini
merupakan skema proses terjadinya mitos melalui pemaknaan
sekunder.

1. penanda 2. petanda
3. tanda
II. PETANDA
I. PENANDA
III. TANDA

Skema di atas menunjukkan bahwa proses signifikasi terjadi


dalam dua tahap. Pada tahap pertama tanda terdiri atas penanda
dan petanda. Misalnya, mawar (penanda); bunga (petanda).
Selanjutnya, pada pemaknaan tingkat kedua penanda dan
petanda tersebut menyatu menjadi penanda tahap kedua
sehingga pada tahap ini terjadi kekosongan petanda. Petanda
yang kosong ini menjadi potensial dan terbuka untuk
berkembangnya proses pemaknaan. Dari hal itu terjadi
pergeseran makna dari denotasi menjadi konotasi.

100 Abdul Hamid


Hubungan Paradigmatik-Sintagmatik
Hubungan paradigmatik-sintagmatik pun bermula dari
teori lunguistik Saussure. Sintagmatik adalah hubungan antara
teks secara batiniah dalam arti hubungan antarunsur yang terjadi
secara in praesentia ‘kehadiran bersama’. Hubungan ini terjadi
dalam struktur yang sama. Misalnya, dalam kalimat Bakri
mencintai Minah kata Bakri, mencintai, dan Minah urutannya sudah
tertentu. Apabila urutannya berubah menjadi Minah mencintai
Bakri, misalnya, relasi sintagmatiknya pun berubah.
Hubungan tersebut kemudian dibedakan Saussure dari
sistem yang tanda-tandanya bersifat keruangan, yakni hubungan
asosiatif atau paradigmatik. Hubungan paradigmatik terjadi
antara teks yang hadir dengan yang tidak hadir. Kata Bakri,
mencintai, dan Minah dalam kalimat di atas berelasi secara
asosiatif dan hal-hal lain di luar teks itu. Kata Bakri berelasi,
misalnya, dengan Dedi atau Zainal; kata mencintai berelasi dengan
mengasihi; dan kata Minah berelasi dengan Lilis atau Cindy.
Teori hubungan paradigmatik-sintagmatik dalam
perkembangannya tidak hanya digunakan dalam linguistik,
tetapi juga dalam analisis sastra sebagaimana diungkapkan
Zaimar (1991:34):
“analisis sintagmatik dan paradigmatik adalah konsep
linguistik Saussure yang berkembang secara luas dalam analisis
sastra. Analisis sintagmatik adalah analisis yang menelaah
struktur. Analisis ini mengemukakan kembali teks dengan
menampilkan urutan sekuen, sedangkan analisis paradigmatik
menelaah hubungan antarunsur yang hadir dan yang tidak hadir,
yaitu hubungan makna dan simbol. Suatu peristiwa akan
mengingatkan peristiwa lainnya, suatu episode melambangkan
suatu gagasan atau menggambarkan suatu keadaan jiwa. Dasar
analisisnya adalah konotasi: unsur-unsur cerita berasosiasi dalam
pikiran pembaca.”
Tentang hubungan sintagmatik, Barthes juga
menjelaskan bahwa dalam memahami tanda, makna tanda
tersebut tidak ditentukan oleh satu tanda bersangkutan saja,
tetapi juga oleh semua orang yang mengerti (intelligble
assemblage). Dalam analisis semiotik, intelligibility mengambil
model intelligibility linguistik sebagaimana ditemukan dalam
kalimat. Mengenai hubungan paradigmatik, Barthes

Serpihan Sastra 101


menyebutnya sebagai hubungan virtual yang menyatukan tanda
dengan unsur lain di luar tanda tersebut yang bisa dipilih dan
diselipkan dalam wacana. Zaimar (1991:33) menyebutkan bahwa
pemikiran Barthes tentang adanya dua jenis fungsi, yaitu
distribusional dan integratif di dalam teks merupakan
pengembangan dari pemikiran Saussure tentang hubungan
paradigmatik-sintagmatik tersebut.
Analisis paradigmatik-sintagmatik akan tampak sangat
dominan pada analisis alur, sedangkan signifikasi lebih banyak
digunakan dalam analisis tokoh dan tema walaupun pemilahan
ini tidak bersifat mutlak. Artinya, dalam penerapan teori
hubungan paradigmatik-sintagmatik pada alur terdapat juga
signifikasi. Demikian pula sebaliknya, dalam mengaplikasikan
signifikasi pada analisis tokoh dan tema terselip juga teori
paradigmatik-sintagmatik.

DAFTAR PUSTAKA

Barbour, Ian G. 1974. Myths, Models, and Paradigms. New York:


Harper & Row Publisher.
Barthes, Roland. 1981. Elements of Semiology. New York: Hill & Wang
Barthes, Roland. 1993. Mythology. Seuil Paris: Vintage
Berg, C.C. 1974. Penulisan Sejarah Jawa, terjemahan S. Gunawan.
Jakarta: Bhratara.
Culler, Jonathan. 1981. The Pursuit of Signs: Semiotics, Literature,
Deconstruction. London: Routledge & Kegan Paul.
Darma, Budi. 1984. Sejumlah Esai Sastra. Jakarta: Karya Unipress.
Eco, Umberto, 1979. A Theory of Semiotics. Bloomington: Indiana
University Press.
Ekadjati, Edi S. 1978. Babad (Karya Sastra Sejarah) sebagai Objek Studi
Lapangan Sastra, Sejarah, dan Antropologi. Bandung:
Dokumentasi Kebudayaan Universitas Padjadjaran.
Ekadjati, Edi S. 1982. Cerita Dipati Ukur: Karya Sastra Sejarah. Jakarta:
Balai Pustaka.
Jabrohim (ed.). 1994. Teori Penelitian Sastra. Yogyakarta: Masyarakat
Poetika Indonesia.
Junus, Umar. 1981. Mitos dan Komunikasi. Jakarta: Sinar Harapan.
Kennedy, X.J. 1987. Literature: An Introduction to Fiction, Poetry, and
Drama. London: Scott, Foresman and Company.

102 Abdul Hamid


Makaryk, Irena R. 1993. Encyclopedia of Contemporary Literary Theory.
Toronto: University of Toronto Press.
Masinambow, E.K.M. dan Rahayu S. Hidayat. 2000. Semiotik:
Kumpulan Makalah Seminar. Depok: Pusat Penelitian
Kemasyarakatan dan Budaya Lembaga Penelitian
Universiatas Indonesia.
Moeliono, Anton (ed.). 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik dan
Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Preminger. Alex dkk. (ed). 1974. “Semiotics” dalam Encyclopedia of
Poetry and Poetics. Princeton: Princeton University Press.
Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Lembaga Penelitian
Universitas Indonesia. 2001. Bahan Pelatihan Semiotika.
Riffaterre, Michael. 1982. Semiotics of Poetry. Bloomington: Indiana
University Press.
Selden, Raman. 1991. Panduan Pembaca Sastra. Terjemahan Rahmat
Djoko Pradopo. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Santoso, Puji. 1993. Ancangan Semiotika dan Pengkajian Susastra.
Bandung: Angkasa.
Sudjiman, Panuti dan Aart van Zoest. 1992. Serba-Serbi Semiotika.
Jakarta: Gramedia.
Teeuw, A. 1983a. Tergantung pada Kata. Jakarta: Pustaka Jaya.
---------. 1983b. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
---------. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Todorov, Tzevetan. 1985. Tata Sastra. Jakarta: Djambatan.
Zaimar, Okke K.S. 1991. Menelusuri Makna Ziarah Karya Iwan
Simatupang. Jakarta: Intermasa.
Zoest, Aart van. 1990. Fiksi dan Nonfiksi dalam Kajian Semiotika.
Jakarta: Intermassa.
Zoest, Aart van. 1993. Semiotika. Jakarta: Sumber Agung.

Serpihan Sastra 103


Esai-Esai Kebudayaan Sunda:
Tinjauan Kritis Mengenai Pemikiran
Rustandi Kartakusumah

Muhammad Rustandi Kartakusuma (selanjutnya ditulis


MRK) termasuk pangarang unik, baik dalam bidang sastra Sunda
maupun sastra Indonesia (Mustappa, 2003:118). Mustapa tidak
merinci keunikan MRK sebagai pengarang. Salah satu penyebab
disebut unik karena mungkin saja gaya tulisan-tulisan dan
ucapan-ucapan MRK sering mengundang kontroversi dari pihak
lain.
MRK pernah belajar di Sakola Desa, kemudian pindah ke
HBS Kristen dan HBS Bandung (1941). Pada zaman Jepang, dia
kuliah di Sekolah Tinggi Islam di Jakarta dan pernah menjadi
guru SMP di Garut. Setelah Indonesia diproklamasikan, ia
kemudian kuliah di Jurusan Sastra dan Filsafat UGM. Pada tahun
1951, MRK diangkat menjadi dosen tamu di Universitas Yale,
Harvard, dan MIT, USA. Selain itu, MRK juga pernah berkelana
ke beberapa negara karena diundang oleh Sticussa dan diberi
tugas oleh KBRI di antaranya Belanda, Jerman, Spanyol, Itali,
Yunani, Turki, Pale stina, Thailand, dan Perancis. Ketika itulah
MRK mulai mengenal dan mendalami budaya Barat. Karena itu,
menurut Ajip Rosidi, perkenalan pada budaya Barat MRK benar-
benar dari pengalamannya, bukan hanya membaca dari buku
(Rosidi et al, 2000:557-558). Sayangnya, Ajip Rosidi tidak
mengemukakan apakah MRK juga mengenal baik budaya Timur
karena pernah juga bertugas di Pale stina dan Thailand.
Menurut Ajip Rosidi, dari pengalaman tentang budaya
Barat, MRK sering mengemukakan pendirian dan harapannya
melalui esai-esainya di media massa. MRK mengemukakan
bahwa secara luas kebudayaan di Indonesia memiliki dua aliran.
Pertama, aliran yang dipelopori S. Takdir Alisjahbana, yaitu
aliran yang ingin mengejar kebudayaan internasional yang
memiliki sifat universal, tapi sebetulnya menurut MRK, hanya
sampai kebarat-baratan sebab yang dimaksud kebudayaan
internasional oleh aliran itu hanya budaya Barat. Namun, bukan

104 Abdul Hamid


budaya Barat secara luas sebab budaya Barat yang dipahami di
Indonesia kebanyakan hanya terpengaruh oleh budaya Belanda.
Kedua, aliran yang ditokohi oleh Sanusi Pane, yaitu aliran yang
mengajak memegang teguh tradisi atau budaya Timur. Untuk
menjaga imbangnya kebudayaan modern, menurut Sanusi Pane,
orang Indonesia harus memiliki sifat-sifat Arjuna sebagai simbol
budaya Timur yang mengutamakan kelembutan dan sifat-sifat
Faust sebagai simbol budaya Barat yang mengutamakan logika.
Aliran ini sebenarnya yang selanjutnya dipakai pegangan dalam
kehidupan MRK (Rosidi, 1993:7-8). Pendapat Sanuse Pane dan
MRK, juga pernyataan Ajip Rosidi mengindikasikan Arjuna
kurang atau tidak menggunakan logika dan sebaliknya Faust
tidak memiliki kelembutan. Tentu saja pendapat tersebut perlu
digali lebih dalam karena Arjuna sebagai simbol budaya Timur
dan Faust sebagai simbol budaya Barat masih patut diuji
kebenarannya.
Esai budayanya yang panjang, “Indonisasi Tjiliwung”,
yang dimuat di majalah Siasat, sempat menjadi kontroversi. Esai
yang dimuat bersambung ini merupakan pandangan MRK
soal kebudayaan yang bertolak belakang dengan pola pikir
waktu itu, yakni pandangan Sutan Takdir Alisyahbana yang
dinilainya condong kebarat-baratan. Bagian akhir esai ini tidak
muncul di majalah Siasat karena pemimpin redaksinya melarang.
Esai lengkapnya itu kemudian dimuat dalam Kratz (2000),
Sumber Terpilih: Sejarah Sastra Indonesia Abad XX. Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia.
Sebagaimana dikemukakan Ajip Rosidi bahwa MRK
merupakan pengarang produktif, maka dapat dipastikan esai
MRK banyak tersebar di berbagai media, namun yang berhasil
ditemukan hanya 48 esai yang terdiri atas 40 esai berbahasa
Indonesia dan 8 berbahasa Sunda. Berdasarkan isinya, ke-48 esai
itu terbagi dalam delapan kategori: agama, bahasa, film,
pemerintahan, pendidikan, sastra, seni, dan umum. Dari semua
esai yang berhasil ditemukan, yang berkaitan langsung dengan
kesundaan ada 26 esai.
Berkaitan dengan esai-esainya, Dudi S. dalam Manglé No.
1160 tahun 1988 menyebut MRK sebagai kawah yang selalu
bergolak. Hal itulah yang menarik untuk diteliti dalam makalah
ini.

Serpihan Sastra 105


1. ”Homo Faber” dimuat di Majalah Indonesia. No. 3. Maret
1950
Esai “Homo Faber” dimuat di Majalah Indonesia. No.3.
Maret 1950. Esai ini sebagaimana judulnya, membicarakan
manusia pekerja. Di dalamnya diuraikan ada tiga macam
manusia pekerja berdasarkan filsafat Hegel, yakni pertama,
manusia bekerja memandang buahnya (tesis); kedua, manusia
bekerja dengan tidak memandang buahnya (antitesis); dan
ketiga, manusia bekerja sebagai insan kamil, manusia sempurna
(sintesis). Sebagaimana dikemukakannya, banyak di antara kita
masih tergolong pada manusia tingkat pertama. Tingkat ini
adalah tingkat hewan karena hewan bekerja hanya untuk makan.
Apabila kita sebagai manusia hanya bekerja untuk perut semata
berarti kita lebih rendah daripada hewan.
Kebudajaan, peradaban adalah hasil Homo Faber,
hasil manusia bekerdja jang bekerdja dengan tangan,
dengan perasaan, dengan otak dll.
....
Karena tidak atjuh akan sesuatu diluar seni, tidak
akan uang dan kekajaan, maka sering seniman jang bukan
seniman2, jaitu dari tingkat II dan nanti tingkat III,
menderita lapar seperti manusia-oedeem pada tingkat I
itu.
Djika kita tentukan dahulu, bahwa masjarakat jang
mempunjai manusia-oedeem, adalah masjarakat jang
deradjatnja dibawah binatang, maka apa pendapat kita
tentang sesuatu masjarakat jang seniman2 dan pudjangga2
nja tinggal kulit pemalut tulang karena lapar?

MRK banyak tertarik terhadap agama, filsafat, kebudayaan, dan


beberapa bahasa asing. Namun, dalam teks di bawah ini dia pun
memperlihatkan kenasionalannya dengan menyatakan bahwa
pahlawan yang sebenarnya adalah manusia tingkat ketiga dan
sebagai pandangan kebudayaannya dia memilih Arjuna sebagai
pahlawan:
Itu Ardjuna! Itu Pahlawan, Hero!

106 Abdul Hamid


MRK memandang Arjuna sebagai representasi budaya
Timur. Arjuna dalam perwayangan memiliki karakter yang
mulia, berjiwa kesatria, imannya kuat, tahan terhadap godaan
duniawi, gagah berani, dan selalu berhasil merebut kejayaan
sehingga diberi julukan "Dananjaya". Musuh seperti apa pun
pasti akan ditaklukkannya sehingga ia juga diberi julukan
"Parantapa", yang berarti penakluk musuh. Di antara para
Pandawa, Arjuna merupakan kesatria pertapa yang paling teguh.
Pertapaannya sangat khusyuk. Ketika ia mengheningkan cipta,
menyatukan dan memusatkan pikirannya kepada Tuhan, segala
gangguan dan godaan duniawi tidak bisa menggoyahkan hati
dan pikirannya.

2. “Indonisasi Tjiliwung”. Siasat No. 515-516 Tahun XI Mei


1957
Esainya ini menunjukkan arah gagasan MRK. Menurut dia,
kenyataan sehari-hari yang terabaikan dari perhatian kita
umumnya, yaitu kecenderungan bangsa kita yang mengikuti
anjuran S. Takdir Alisjahbana supaya kita mengikuti orang Barat,
tetapi ternyata tidak kesampaian. Kita hanya mengikuti orang
Belanda. Itu pun ternyata tidak kesampaian juga sehingga kita
hanya ikut-ikutan kelakuan orang Indo saja. MRK berkali-kali
mengatakan bahwa ada dua kecenderungan bangsa kita.
Pertama, yang pro-B arat seperti dianjurkan oleh S. Takdir
Alisjahbana, dan kedua yang pro-Timur atau kebudayaan sendiri
seperti yang dianjurkan oleh Sanusi Pane. Dia sendiri
menempatkan diri di barisan Sanusi Pane dan menjadi pengkritik
yang keras terhadap sikap Sutan Takdir Alisjahbana. Bahkan,
bisa dikatakan dalam mempertahankan gagasannya, MRK
dengan cara kasar mengejek Sutan Takdir Alisjahbana, dengan
menyebut suara parau. Inilah keunikan utama dalam esai ini.
Keunikan ini pula yang mengindikasikan bahwa MRK sangat
membenci pandangan Barat yang hanya kebarat-baratan.
Menurutnya, Barat bukan hanya Belanda.
Dan apa itu yang disebut tjara hidup baru? Tiada lain
tidak bukan: Barat; tjara hidupnja dan pandangan
hidupnja.
Sembojan mereka mengudjung pada teriakan Takdir
Alisjahbana yang serak parau: Kita harus ke Barat! Kita

Serpihan Sastra 107


harus djadi individualis, bahkan egois!
....
Pada tahun 30-an itu sampaikah kita di Barat?
Sebagaimana telah kita lihat dalam karangan
jang terdahulu dari rangkaian karangan "Tjiliwung"
ini, "internasionalisasi" jang kita maksudkan dengan
sungai
dsb. tidak sampai pada tudjuannja, hanjalah
sampai pada "Belandanisasi", jang pada gilirannja
bermuara pada "Indonisasi".

3. “Elmu Susastra”. Mangle No. 77, taun VII, Maret 1964, kaca
30
Esai ini dimuat ketika MRK menjadi redaksi majalah
Manglé. Pada prinsipnya dia tidak sependapat dengan adanya
penelitian karya sastra dengan dasar-dasar ilmu. Bahkan,
menurut MRK ilmu sastra itu hanya mengada-ada, namun dia
tidak memberikan cara baru bagaimana menilai atau meneliti
karya sastra. Sebagaimana terbaca dalam kutipan, MRK berani
menentang pendapat William Hudson bahkan merendahkannya
bahwa kritik ilmiah Hudson jauh dari ilmiah, padahal
keberadaan Hudson telah diakui para ahli sastra. Dia menolak
ilmu sastra karena dianggapnya sulit.
Wiliam Hudson dina bukuna A Study of Litterature
ngabagi kritik sastra jadi tilu: 1) kritik nangtukeun
pangajén, 2) kritik napsirkeun, 3) kritik ilmiah, (judicial,
interpretative jeung scientific). Tapi masing disebut ilmiah
ogé, kritik ilmiah Hudson jajauheun tina kritik sacara
ilmiah nu dimaksud ku urang di dieu, nya éta kritik nu
maké dasar-dasar jeung ukuran-ukuran nu sacara ilmiah
geus ditangtukeun saméméhna, ditangtukeun jeung
ditarima.
Écés: hésé, malah pamohalan, ayana élmu susastra
téh.
Kaayaan kieu, mawa akibat nu henteu leutik:
pamadegan urang ngeunaan hiji hasil sastra henteu bisa
ditangtukeun ku batur. Pamadegan tetep subyéktip.
Sualna mah, kumaha jalanna ngaronjatkeun pamadegan
éta kana tahapan semesta atawa universal.

108 Abdul Hamid


4. “Modernisasi Seni Klasik Kita Mungkinkah Itu?”, Kompas 3
Desember 1972
MRK dalam esai ini mempertanyakan, apakah seni klasik
kita (baca: seni karawitan dan seni tari) bisa dimodernkan?
Dengan kita lain, apakah seni klasik bisa dikembangkan (lagi),
sehingga terciptalah hasil yang mencerminkan, mengekspresikan,
dan/atau mewujudkan jiwa bangsa yang sudah modern, bukan
lagi jiwa bangsa sekian puluh atau mungkin sekian ratus tahun
yang lalu? Memang, seni klasik sudah mengatasi masa, sudah
semesta (universal) nilainya. Artinya bisa dihargai dan dihayati
oleh orang dari setiap masa atau zaman, oleh leluhur kita sekian
tahun yang lalu, oleh kita dewasa ini dan oleh keturunan kita
pada masa yang akan datang. Selanjutnya, MRK menyatakan
bahwa seni klasik suatu daerah bisa dihargai dan dihargai oleh
daerah lainnya, asalkan purbasangka dan keangkuhan
kedaerahan atau kesukuan sudah tidak berperan lagi, bahkan
oleh bangsa yang lain, termasuk bangsa barat yang modern itu.
Dengan demikian musik klasik kita dari bersifat
subnasional atau kedaerahan, menjadi nasional, kemudian
internasional atau semesta. Meskipun demikian, manusia
Indonesia ingin pula seni yang pada mulanya sudah
nasional pula, sudah Indonesia, bukan subnasional atau
kedaerahan, sebagai pencerminan, ekspresi dan perwujud-
an langsung manusia Indonesia, dan berkebangsaan satu:
bangsa Indonesia.

Berbeda dengan seni karawitan dan tari, seni lukis


menurut MRK sudah bisa dimodernkan karena sudah tidak
berbicara lagi seni lukis lokal Jawa, Sunda, dan semacamnya.
Begitu pula halnya sastra yang pernyataannya, MRK juga sambil
mengkritik Chairil Anwar. Dia secara kasar menyebut Chairil
Anwar pinter keblinger, epigon, dan plagiator.

5. “Bujang dan Puisi Kontemporer”. Kompas, 28 September1974


Esai pendek ini berupa kelakar tentang hubungan orang-
orang yang membujang dengan seni. Ada plesetan dari Bachelor of
Arts menjadi Bujang Abadi. Namun di samping kelakarnya, ada
tersirat religiuitas keislaman yang menyebutkan “mudah-
mudahan BA itu bukanlah Bujang Abadi” yang sesuai dengan

Serpihan Sastra 109


ajaran Islam bahwa umatnya sebaiknya menikah. Walaupun esai
ini kelakar, di dalamnya MRK menyinggung seni:
“Bagi kami, Seni dan Sastra adalah terhormat, mulia,
luhur, malahan juga suci.” ... Tidak akan ada seniman/
sastrawan sampai membujang terus, demi Seni dan
untuk Sastra; apabila seni dan sastra hanyalah patut
dijadikan permainan, me ski betapapun kocaknya....
SENI dan Sastra adalah nilai kehidupan, nilai
kebudayaan. Lebih dari yang lain, seni dan sastra
merupakan inti sesuatu kebudayaan.
SENI dan Sastra adalah nilai kehidupan, nilai
kebudayaan. Lebih dari yang lain, seni dan sastra
merupakan inti sesuatu kebudayaan.

6. “Masalah Pendidikan Bukan Masalah Orang Dalam Tok”.


Kompas. 21 Oktober 1974
MRK menginginkan ada kerja sama pendidik dengan
budayawan. Karena itu budayawan pun harus mengetahui apa
pendidikan karena definisi yang diambil oleh Makagiansar tidak
seluruhnya tepat:
INILAH pokok persoalan kita dalam pendidikan.
Tapi ini adalah ‘in optima forma’ persoalan kebudayaan.
Bahwa budayawan akan juga bertanya: Apa itu
pendidikan? Sudah saya katakan diatas, bahwa definisi
pendidikan yang kita ambil alih dari ahli Belanda itu tidak
benar seluruhnya. Kita harus menentukan definisi sendiri.

7. Pendidikan di Indonesia: Drama Tiada Akhir: Dikhotomi


dan Diskrepansi, Pikiran Rakyat 12 Mei 1982
Dengan tegas dalam esai ini MRK menyatakan bahwa
sekolah merupakan pelaku modernisasi, namun sebagaimana
judulnya, masalah pendidikan di Indonesia bagaikan drama tiada
akhir karena ada dikhotomi dan diskrepansi (ketidaksesuaian).
Di sini pun terlihat bahwa MRK mengetahui tentang peralihan
kebudayaan. Lalu dia bertanya kebudayaan mana yang akan
dialihkan kepada generasi muda: ada pertentangan dan
ketidaksesuaian (diskrepansi), misalnya, tentang bahasa daerah.
Padahal sebagaimana dikatakan oleh seorang ahli,
pendidikan adalah peralihan atau pengalihan kebudayaan

110 Abdul Hamid


(overdracht van cuultur). Bertanyalah kita sekarang:
kebudayaan apa yang di Indonesia dialihkan oleh
pendidikan kepada generasi muda? Jelas bukan
kebudayaan tradisional, paling tidak kebudayaan
tradisional secara utuh, yaitu kebudayaan akarnya si anak
didik, kebudayaan sendiri. Hal ini menumbuhkan berbagai
drama yang lain, d.a. drama pengasingan (alienasi) dari
kehidupan sekeliling, drama jiwa tercerabut (deeracine,
disooted), drama jiwa yang terpecah belah (skizofrenia),
kemudian drama yang sudah terkenal sekarang ini yaitu
“gap” atau jurang antar-generasi.
Ilustrasi dari dikhotomi yang bisa menjadi
diskrepansi tsb. Di atas adalah hal bahasa. Kita tahu bahwa
bahasa adalah unsur penting, mungkin malah paling
pentimg , dari suatu kebudayaan. Beberapa daerah di
indonesia sudah memiliki kebudayaan yang bermutu
tinggi, tercermin dalam bahasanya. Tetapi bukan bahasa
inilah yang dipakai di dalam sekolah. Diajarkan pun tidak
atau kurang.

8. “Peringatan Pilem Jerman Kepada Kita : Peradaban


Modern Hendak ke Mana”. Pikiran Rakyat. 28 April
1982
Dalam esai ini MRK mengkritik film Jerman yang diputar
dalam Pekan Film Jerman 1982. Kritik yang dilontarkan berkaitan
dengan teknis perfilman dan juga sesuai dengan judul esai yang
berkaitan dengan peradaban atau kebudayaan. MRK menyindir
mau dibawa ke mana peradaban kita, apakah mau mentah-
mentah menelan kebudayaan Barat atau mau menyaringnya.
Pendapatnya ini sebenarnya merupakan ulangan dari beberapa
esainya. Ini pula yang menjadi keunikan MRK yang selalu
menyarankan bahwa kita jangan hanya meniru-niru Barat dalam
hal kebudayaan.
Kesimpulan kita: Kita jangan hanya meniru-niru
Barat saja, juga demokrasinya. Kita harus mencari
demokrasi kita sendiri. Di pihak lain setiap bentuk fasisma
dan totaliterisma jelas kita tolak, secara mutlak.

Serpihan Sastra 111


9. “Surat keur Ramadhan”, Mangle no. 845, 846, 847, 848
Tahun 1982
Dalam esai ini MRK dalam bidang sastra
mengelompokkan dirinya sama dengan Goenawan Mohamad
dan Arif Budiman, yaitu beraliran ganzheit karena terpaksa. Dia
mengikuti aliran tersebut dengan alasan jika tidak mengikuti
aliran ini atau aliran itu berarti sendirian saja, lebih daripada
separatisme.
Kang Rayi panginten masih émut kénéh, yén pun
Akang mah panganut kocoran Ganzheit, sarwa Gembleng,
sapertos Gunawan Mohamad miwah Arif Budiman téa.
Nanging dalah dikumaha, upami teu ngiring kana
séparatisme nu nuju umum harita, teu ngiring ka ditu teu
ngiring ka dieu, antukna nya ... sorangan waé yeuh!
Langkung ti separatis kitu mah:

Di sini MRK memuji sastrawan muda yang berasal dari


etnik Minangkabau, yaitu Yessie Anwar. Menurutnya, Yessie
Anwar orang yang rendah hati karena mau bergabung dengan
sastrawan Sunda. Karena itu, MRK mempertanyakan adakah
orang Sunda yang mau bergabung dengan etnik lain. Di sinilah
gagasan kebangsaan MRK jelas sekali. Dia menginginkan ada
orang Sunda yang menghargai etnik lain.
Kayungyun Yessie Anwar téh. Anjeunna téh bangsa
Minang. Sanés bangsa urang. Nanging bet solongkrong
ngiring kana gempungan sastrawan Sunda harita. Tah nu
kitu nu janten panyileukan pun Akang téh. Séké nu hiji
salangkrang-solongkrong ka séké nu sanés, galayah-
goloyoh landat-léndét.
Aya urang Sunda nu sok kitu ka gempungan séké nu
sanés?

10. “Dalam Hal Keilmuan dan Kesarjanaan: Partini, Teladan


bagi Generasi Muda”. Pikiran Rakyat. Tahun 21. no: 117.
25 Juli 1986
Dalam esai ini MRK memuji Partini Sardjono yang mahir
berbahasa Jerman dan Inggris. Selain itu, juga karena Partini
adalah guru besar dalam bidang Jawa Kuna. Kekaguman MRK
kepada Partini Sardjono karena menurutnya Partini bisa

112 Abdul Hamid


dijadikan suri teladan bagi generasi muda. Se lain itu, karena
Partini Sardjono berasal dari etnik Jawa yang juga mencurahkan
perhatian kepada sastra dan kebudayaan Sunda.
Bu Partini sarjana suku Jawa, yang perhatiannya
banyak juga tercurah kepada sastra dan kebudayaan
daerah tempat ia tinggal sekarang, yaitu Sunda. Kutipan
dari karya ilmiah dan kegiatan akademisnya tadi menjadi
bukti.

11. “Dari Pertemuan dengan Ethnomusikolog DR Fumiko


Tamura: Cianjuran dan Degung Memang Musik Terindah
di Dunia”. Pikiran Rakyat. Tahun 21. no: 250. 9 Desember
1986
Kembali dalam esai ini MRK mempersoalkan budaya
Timur dan Barat. Tanpa penelitian ilmiah, dia mengatakan
bahwa sebagian orang Indonesia memandang rendah
kebudayaannya sendiri. Tentu saja pernyataan ini belum tentu
benar karena tolok ukurnya tidak ada. Namun, sebagaimana
dikemukakannya, dia hanya beranggapan secara subjektif.
Dalam berbagai tulisan saya kemukakan pengamatan
yang mengatakan bahwa sebagian dari Indonesia
memandang rendah kebudayaannya sendiri yang asli.
Warisan keluruhannya. Padahal kebudayaan itu, yakni
kebudayaan daerah, ada yang bermutu tinggi, terutama
aspek seninya, khususnya tari dan musik. Seni musik
daerah Sunda malah saya pandang paling indah di dunia.

Pada dasarnya dalam esai yang dimuat di koran regional


Pikiran Rakyat ini MRK hanya mengemukakan kekagumannya
kepada dua orang asing yang mencintai seni Sunda. Dengan
demikian, dia secara tersirat mengajak pembaca untuk mencintai
seni (daerah) Sunda.

12. “Dr. Kathy Foley, Dalang Wanita dari Amerika Serikat:


Disertasinya tentang Wayang Golek Mengaku Sangat
Mencintai Seni Sunda”. Pikiran Rakyat. Tahun 21. No:
131. 8 Agustus 1986
Ada tiga catatan kecil tentang esai ini. Pertama,
kekaguman MRK kepada wanita pandai seperti Kathy Foley,

Serpihan Sastra 113


Carlos Blanco, dan Fumiko Tamura yang bergelar doktor (pada
esai lain dia juga mengagumi Partini Sardjono, yang juga doktor,
wanita Jawa yang fasih berbahasa Sunda). Kedua, kekaguman
MRK pada orang asing yang mencintai kesenian Sunda. Boleh
dikatakan bahwa inilah keunikan MRK: Dia sangat menghargai
orang luar etnik Sunda, apalagi bangsa lain, yang mencintai
kebudayaan Sunda. Ketiga, kekhawatiran MRK pada masa
mendatang bahwa orang yang mempelajari kesundaan harus
datang ke negeri lain.
Tahun 2000 nanti apakah kita masih bisa masuk ke
dunia tsb. di Indonesia ini? Atau apakah kita harus Santa
Cruz, California, Amerika Serikat, untuk itu?***

13. “Haruskah Kita Menonton Mereka di Mancanegara”.


Pikiran Rakyat. Tahun 21. No: 256. 15 Desember 1986
MRK mengkhawatirkan sekaligus menyindir jika kita
harus menonton senimanseniman kita di luar negeri. Para
seniman tampil di luar negeri bukan salah seniman, tetapi salah
masyarakat atau pemerintah yang tidak menghargai seniman
dalam negeri.
Dalam pada itu ada sejumput kekhawatiran dalam
hati, apakah seniman kita seperti Nano, Iyus, Didin Bajuri,
Enah Sukenah, Dheniarsah, Yumiati mandiri, Miming
Gumati, Tati Saleh, Indrawati Lukman, Irawati Durban dll
yang senoir serta yang junior namun sama-sama bermutu
saperti Laksmi Purwanti, Mira Marina Arismunandar,
Miranda Risang ‘Ayu Palar dll. dll. (terlalu panjang daftar
mereka, apakah mereka harus kita ikuti ke mancanegara,
jika hendak menyaksikan mereka? Konon Yuyun
Kusumadinata bulan depan akan ke Brunei Darussalam
dan Yeti Mamat ke Swiss. Haruskah kita ikut ke sana, ke
Bandar Seri Bhagawan, ke Beern, ke Vamcouver, ke
Houston, ke Riyadh, ke entah apa lagi, entah apa lagi?!
Mengapa keadaanya sampai begitu? Jelas, bukan salah sang
seniman.***

14. “Memancangkan Panji-panji Ki Sunda Kadang-kadang


Sampai Lupa Pulang”, Tahun 21. Pikiran Rakyat, 13
September 1986

114 Abdul Hamid


MRK menjelaskan bahwa para seniman karena cintanya
sering lupa pulang. Mereka terus “manggung” ke berbagai
negara karena bangsa lain menghargai seni Indonesia.
Pertanyaan yang diajukan sebagai kritik MRK adalah bagaimana
penghargaan bangsa kita sendiri terhadap para seniman.
Suatu hal lagi yang menambah semangat Undang
bekerja keras, yaitu penerimaan masyarakat Amerika atas
Seni Sunda. Lingkungan yang menghargai Seni Sunda di
sana makin lama makin luas. Malah ada orang yang
menamai kota Santa Cruz “kampung Sunda” di Amerika,
karena apresiasi seni Sunda di sana sudah begitu meluas.
Paling tidak di kota panji-panji Ki Sunda sudah terpancang
dengan kokohnya dan berkibaran dengan megahnya.
Di kita sendiri, di Tatar Sunda?***

15. “Mencari, Menggali, Mengenalkan Nilai Luhur Ki Sunda:


Memberikan Corak dan Warna kepada Kebudayaan
Nasional”. Pikiran Rakyat. Tahun 21. No: 252. 11
Desember 1986
Di sini MRK menyetujui sekaligus memuji sambutan yang
dikemukakan oleh Soehoed Warnaen tentang posisi serta fungsi
kebudayaan Sunda. Mereka sepakat bahwa melestarikan budaya
daerah bukanlah sukuistis karena kebudayaan daerah
merupakan bagian dari kebudayaan nasional.
Posisi serta fungsi kebudayaan Ki Sunda khususnya,
kebudayaan daerah umumnya, jelas terletak dalam
kerangka kebudayaan dikemukakan Soehoed beberapa
kali dalam sambutan itu. menggali nilai luhur Ki Sunda,
melestarikan budaya Sunda, bukan berarti kita sukuistis.
Bagaimana akan bisa sukuistis, bila “sejak berdirinya
(Damas) telah bulat bertekad menetapkan Pancasila
sebagai asas perjuangannya.”
16. “Menonton Wayang Golek, Dalang Kathy Foley dari AS:
Orang Terpesona Sekaligus Terpukul.” Pikiran Rakyat. 20
Agustus 1986
Esai ini menggambarkan kekhawatiran MRK ketika
menonton pertunjukan wayang golek dengan dalang wanita dari
Amerika Serikat, Kathy Foley. Sebagaimana pada orang asing
(apalagi wanita dan berpendidikan) yang lain, kepada Kathy

Serpihan Sastra 115


Foley pun MRK sangat terpesona karena pendidikannya dan juga
kepiawaiannya mendalang. Keterpesonaan MRK pada Kathy
Foley karena menurutnya dalang itu bisa berhasil menggugah,
menggerakkan hati, generasi muda yang hadir. Jelas di sini yang
dimaksud MRK adalah ada harapan bagi generasi muda untuk
kembali kepada kebudayaan Timur.
“Saya terpukau dan sekaligus terpukul,
menyaksikan pagelaran malam ini.”
Dengan kalimat pendek ini dirumuskannya apa yang
saya kemukakan sebelumnya dalam kata pengantar. Kathy
Foley adalah seorang cendekiawan. Mana cendekiawan
kita yang mau jadi dalang, khususnya dalang wayang
Sunda? Menonton wayang pun tidak tidak mau atau
enggan.
Kathy Foley adalah wanita. Dengan segala
emansipasinya, mana wanita di antara kita yang mau jadi
dalang Sunda? Jikapun ada, pasti dianggap mahiwal atau
abnormal.
Kathy Foley adalah orang asing. Berarti, budaya ia
lahir dan besar dalam kebudayaan yang berbeda dengan
kebudayaan kita yang melahirkan dalang dan wayang.
Karena itu mempelajari seni pedalangan baginya adalah
berlipat ganda sukarnya dibandingkan dengan kita yang
lahir dan besar dalam kebudayaan wayang dan dalang tsb.

17. “Mutiara Ke-Sundaan Mutiara Universal”, Pikiran


Rakyat. Tahun 21, 9 September 1986
Di sini MRK mengagumi Saleh Danasasmita karena
gagasannya searah dengan MRK, yaitu kembali ke kesundaan.
Keunikan dalam esai ini tiada lain, MRK mengakui sebagai guru
sekaligus sebagai murid. Di sini dia sangat menghargai orang
yang mendalami kesundaan seperti Saleh Danasasmita.
DALAM hal kesastrawanan Saleh Danasasmita, saya
bisa membanggakan diri sebagai gurunya, sebagaimana
saya merendahkan diri sebagai muridnya dalam hal ke-
Sundaan. Saya mengajarnya teknik dan estetika sastra. Dia
mengajar saya emosi dan cita rasa Sunda yang ternyata
universal itu tadi : universal karena khas, betapa pun
kontradiktif bunyinya.

116 Abdul Hamid


18. “Tanji, Belentuk Ngapung dan Drama Suara (Tidak
Terlepas dari Kreativitas)”, Tahun 21. Pikiran Rakyat, 27
September 1987
Kembali dalam esai ini MRK menyoal kebudayaan Timur
dan Barat dengan beranjak dari diktum bahwa seni adalah
kepribadian. Di sini pula kembali MRK memandang dirinya
begitu penting sehingga muncul kalimat pembenaran diktumnya
dari pihak lain
Bunyi diktum yang tidak jemu-jemunya saya
dengung – dengungkan baik secara eksplisit maupun
secara implisit di bidang kebudayaan adalah: Dasar
kreativitas seni adalah kepribadian. Diktum tsb bisa ditarik
sampai ujung atau ekstremnya menjadi: Seni adalah
kepribadian. Kepribadian ini berarti, baik kepribadian
sebagai perorangan
atau individu, maupun kepribadian sebagai kolektivitas
yang bernama bangsa atau suku bangsa. Dengan kata lain
seni berpijak atau berakar pada kedua kepribadian tsb.

Tampak pada kutipan berikut MRK berlebihan karena


menghubungan kesenian dengan urusan dosa. Padahal, tentu
saja urusan dosa dengan kesenian sangat berbeda.
Sebabnya, bagaimana pun juga, ketiga kesenian yang
dipertujukkan memiliki mutu. Potensi pengembangan jelas
ada. Sayang di balik sayang, jika diabaikan atau disia-
siakan. Apa lagi jika dimerosotkan. Itu dosa, bukan sayang
lagi.

19. “Jalan yang Agak Kita Abaikan: Membina Kesatuan dengan


Kesenian”, Pikiran Rakyat, 20 Januari 1987
Menurutnya, ada tiga cara menuju persatuan dan kesatuan
bangsa: pernikahan, agama, dan kebudayaan.
Ada beberapa jalan menuju persatuan dan kesatuan.
Yang pertama dan paling gamblang serta logis adalah
perkawinan. Inilah yang dianjurkan oleh Bung Karno tsb
di atas. Jalan kedua adalah agama. Jalan pertama bisa
disebut jalan fisik, jalan kedua jalan spiritual. Kedua jalan
atau cara ini sebagai setiaphal memiliki kekuatan dan

Serpihan Sastra 117


kelemahannya sendiri-sendiri.
Menyaksikan mereka semua, WNI keturunan Cina,
menyanyikan lagu Sunda dan daerah lainnya, menarikan
tarian Sunda dan daerah lainnya, saya merasa bahwa
mereka bukan WNI keturunan Cina lagi, melainkan WNI
tok, warga negara Indonesia, seperti saya sendiri, seperti
Pimpinan Panghegar tadi, seperti pengurus dan anggota
Damas, seperti panitia penyelenggara festival Seni Sunda
se-provinsi Jabar tsb di atas.

Karena itu, dia mengajak yang disebut WNI keturunan masuk ke


dalam lingkungan MRK secara keseluruhan. Di sini pun MRK
menggunakan ungkapan bahasa Sunda karena esai ini dimuat di
koran lokal Jawa Barat, Pikiran Rakyat. Ungkapan pet ku hinis
biasa digunakan untuk menyebut kerabat yang sangat dekat,
tidak ada jarak lagi bagaikan kulit bambu (hinis) dengan daging
bambu.
“Mari! Mari ke mari, mari masuk ke dalam
lingkungan kami, ke dalam pelukan kami, ke dalam hati
kami! Kami dan saudara sekalian adalah memang saudara,
saudara sebangsa dan setanah air, saudara pet ku hinis,
saudara sejati.”

19. “Seni Jeung Gedong Kesenian”. Mangle no. 1091. 16 April


1987
“Jika suatu karya telah sanggup menyebabkan orang
seperti burung hantu yang kena pukul, di situlah mendekamnya
nilai seni yang paling dalam, paling tinggi.” Begitulah
pendapat MRK ketika melihat Maria Antonia, wanita asal
Spanyol, terhanyut ke dalam drama tari yang dimainkan oleh
Laksmi, Mira, dan Miranda. Ternyata MRK pun sama dengan
Maria Antonia. Begitu pula penonton lain sama-sama terhanyut.
Kaluar ti rohangan Cianjuran “Pancaniti” di gedong
kasenian “Suardi Mémét” téh, Maria-Antonia teu lémék
teu nyarék. Kawas bueuk beunang mabuk. Teu
ngabibisani. Sorangan gé kitu. Ah, saréréa wé. Sakur nu
lalajo: lalajo drama tari. Nu maraénna di antarana trio
seniwati Laksmi, Mira jeung Miranda. Mun hiji karya geus
sanggup nyababkeun jalma kawas bueuk meunang

118 Abdul Hamid


mabuk, tah nya di dinya nyangkarukna ajén seni nu
pangjero-jerona, pangluhung-luhungna.

Dalam esai ini MRK mengkritik para seniman karena


menurutnya mereka salah persepsi. Para seniman meminta
taman kebudayaan kepada pemerintah untuk kepentingan
seniman. Padahal menurut MRK, taman kebudayaan atau juga
gedung kesenian adalah untuk masyarakat.

21. “Kita semua harus menyokongnya: Rencana Porseni di


SLTP dan SLTA”. Pikiran Rakyat. 12 Januari 1988
Esai yang ditulis dengan ragam bahasa lisan ini secara
tidak langsung mengajak, bahkan mengharuskan pembaca untuk
mendukung rencana adanya pekan seni dan olah raga
di tingkat SLTP dan SLTA. Hal itu dikemukakan MRK secara
provokatif dengan menggunakan kata kita semua harus
menyokongnya pada judul. Sikap provokatif pada esai ini
merupakan keunikan MRK dalam menyampaikan gagasannya
kepada pembaca.
Tanpa penghargaan atau apresiasi itu kebudayaan
termasuk seni, sastra dan bahasa, lambat atau bangat akan
menemui ajalnya dan berkubur tanpa talkin.
Hal ini berlaku bagi seni performansa atau
pertunjukan yang menuntut adanya publik (penonton),
dan bagi bahasa yang dengan lebih mutlak menuntut
adanya penutur. Pada saat ditinggalkan penuturnya,
punahlah suatu bahasa.

22. “Pulanglah Dia, Si Anak Hilang dari Ayip Rossidhy ke


Ajip Rosidi”, Pikiran Rakyat, Sabtu 30 Januari 1988
Esai ini membicarakan sejarah singkat perjalanan
sastrawan Ajip Rosidi yang pernah berganti nama. Pergantian
nama dari Ajip Rosidi menjadi Ayip Rossidhy, menurut MRK,
adalah kebarat-baratan. Namun, pada akhirnya Ajip Rosidi
kembali menggunakan nama aslinhya. Pada dasarnya, esai ini
merupakan pengulangan dari esai yang lain tentang budaya
Barat yang hanya kebarat-baratan menurut MRK, bahkan hanya
sampai kepada budaya Belanda padahal yang dimaksud Barat
menurut MRK bukan hanya Belanda.

Serpihan Sastra 119


SEMUA ini tercermin dalam pandangan hidup dan
sikap hidup Ajip Rosidi selaku penganut aliran
“humanisme universal”. Misalnya saja, dalam hal nama,
yang merupakan penunjuk pertama mengenai identitas.
Identitas asli hendak dibuang dan diganti. Karenanya
nama asli dibuang lalu diganti atau diubah, sehingga
kelihatan dan kedengaran Barat. Kopral Jono jadi Kopral
Johny, Euis jadi Iesye. Jika bukan nama, maka ejaannyalah
yang diganti atau diubah. Ini yang dilakukan Ajip Rosidi.
Namanya jadi ditulis Ayip Rossidhy. J dalam ejaan lama
diganti dengan y. S tunggal jadi s dobel: ss. D jadi dh, dan
i jadi y.
....
Dengan demikian kembali kepada kebudayaan kita
berarti pula kembali kepada Islam. Langkah ini diambil
pula oleh Ajip Rosidi.

Tampak pada paragraf terakhir bahwa MRK berkeyakinan


bahwa kembali kepada kebudayaan kita berarti pula kepada
Islam. Tentu saja pendapat ini perlu dipertanyakan kembali
karena tidak dijelaskannya bagaimana analogi itu bisa berlaku.
Paragraf terakhir itu juga mengindikasikan bahwa Sunda sama
dengan Islam, padahal Sunda berhubungan dengan budaya,
sedangkan Islam berhubungan dengan agama. Jadi, tidak jelas
Islam yang mana atau Islam yang bagaimana maksud MRK.

23. “Tepung Lawung” dengan Ayip di Panghegar: Cara


Berdebat Para Budayawan Sunda”. Pikiran Rakyat. Tahun
22. No: 344. 15 maret 1988
MRK memuji pertemuan para budayawan Sunda di Hotel
Panghegar. Pertemuan tersebut merupakan pertemuan yang
bersifat Sunda karena berlangsung secara ramah tamah dan
kekeluargaan walaupun berbeda pendapat. pertemuan khas
Sunda Modern, ya, khas Indonesia Modern, katanya. Padahal
tentu saja hal itu bukan khas Sunda Modern karena banyak juga
etnik lain yang bisa melakukan hal itu.
Pada tgl. 22 Februari tahun 1988, dari pkl. 19.00
sampai pkl. 22.30 WIB di Bale Parahiangan Hotel
Panghegar berlangsung pertemuan berbahasa Sunda

120 Abdul Hamid


antara seorang budayawan dan anggota Lingkung Seni
Sunda berbagai Universitas Negeri dan Swasta di Bandung
dalam pertemuan mana terjadi diskusi dengan pedapat
yang diametral berbeda, namun dalam suasana aman,
sentosa, sopan, akrab, rukun bersahabat dan kekeluargaan;
pertemuan khas Sunda Modern, ya, khas Indonesia
Modern.
Suatu keajaiban. Sebaiknya dan seharusnya kita
jadikan tradisi: kita pelihara, kita kembangkan, kita
turunkan dari generasi ke generasi.***

24. “Lises Unpad, Ku Naon Kagetemna Ngurangan? Ku


SKS?”, Mangle, 19-25 Maret 1989
Dalam esai yang dimuat di majalah Mangle ini MRK
mempertanyakan mengapa kegiatan Lingkung Seni (Lises)
Unpad berkurang. Apakah hal tersebut karena adanya sistem
kurikulum baru yang disebut SKS (satuan kredit semester)?
Adanya kemenurunan kegiatan kesenian/kebudayaan di
kampus menurut MRK harus dipikirkan, diperbaiki, dan
dibenahi:
KU naon perhatian civitas academica kana
kabudayaan/kasenian Sunda turun? Tah ieu nu wajib
dipikiran teh. Dipikiran, diomean, dibebener.
...
Kaayaan kitu tadi teh matak prihatin, cek kokolot
LISES. Matak hanjelu, cek PUREK III UNPAD. Bener.
Bener pisan eta teh. Angen sorangan hareneg. Hate peurih.
Dapon kitu sajeroning ngalalajoan Malem Kasenian dina
pesta Pancawarsa LISES tea anu acarana kabeh dieusian ku
mahasiswa ku maneh, boh nu ngigel jeung nu nembangna,
boh nayagana, sajeroning kitu hol hiji pikiran. Kieu :
alhamdulillah wasyukurillah, masih keneh aya
mahasiswa/mahasiswi anu marikatineung kana kasenian
Sunda: mikatineung, mikacinta, mikadeudeuh; daraekeun
mulasara, ngamumule; daraekeun mekarkeun,
ngaronjatkeun ajenna. Masing enya semet sasiraheun
sahulueun. Satuluyna alhamdulillah, aya keneh LISES di
UNPAD. Aya keneh LSS di ITB. Sumanget kana ngaraksa
ngariksa kabudayaan urang sorangan morosotna mah enya

Serpihan Sastra 121


morosot, tapi encan nepi kana morosot pisan, encan nepi
ka ngaboleklak, buligir alatad ulutud. Encan.

25. “Pariwisata, Dimensinya Lebih dari Satu”. Pikiran Rakyat.


Tahun 24. no. 194. 13, 14, 15, 16 Oktober 1989
Esai ini boleh dikatakan panjang sekali karena dimuat
dalam empat edisi selama empat hari. Sebagaimana
dikemukakan dalam catatan awal, esai ini didasari keinginan
menyambut Tahun Sadar Wisata 1989. Sebagaimana tertera
dalam judul, dalam esai ini MRK
mengemukakan bahwa dalam pariwisata ada dimensi lain,
bukan hanya komoditi ekonomi atau penghasil devisa:
Jelaslah, kita mengembangkan pariwisata dengan
tujuan ekonomi. Pandangan kita terhadapnya adalah
pandangan ekonomi. Tapi pariwisata bukan dagangan
ataupun komoditi saja. Pada hakikatnya pariwisata lebih
dari itu. Ada dimensi lain padanya, dimensi yang lebih
esensial, yakni dimensi psiko-kultural.

Karena itu, selanjutnya MRK menguraikan dimensi psiko-


kultural dalam kepariwisataan. Menurutnya, disadari atau tidak,
pariwisata beroleh dimensi lain, yang mendatangkan fungsi lain
yang lebih penting, yaitu memperluas pemandangan yang
kemudian berarti memperdalam wawasan hidup.

26. “Jangan Sampai Budayawan Kita Kabur”, Panji


Masyarakat, 10 Juni 1995
Esai ini berisi pandangan MRK tentang kebebasan berekspresi
sastrawan, seniman, dan budayawan. Menurutnya, jika ada
keterbatasan berekspresi tentu daya cipa akan terhambat.
Masalah kebebasan mencipta berkaitan dengan kehidupan
berbangsa karena seniman, sastrawan, dan budayawan memiliki
pengaruh penting untuk mengetahui karakter bangsa atau
negara.
Namun, menurut MRK, sebelum mengkritik pemerintah,
sebaiknya seniman mengkritik diri sendiri dulu.
Ya... Tapi, kalau kita mengakui sebagai sastrawan,
seniman, maupun budayawan yang murni, benahi dulu
diri kita sendiri. Kalau kita mau jujur jangan hanya

122 Abdul Hamid


mengkritik pemerintah. Tapi kritik dulu diri sendiri.
Berani apa nggak kalau kita dikritik oleh orang lain.
Kenyataannya yang saya lihat masih banyak orang yang
dirinya nggak mau dikritik. Untuk itu saya menghimbau
kepada sastrawan kita, bahwa kita menuntut kebebasan
mencipta, bebas mengkritik tapi juga harus muncul dari
kalangan sastrawan sendiri. Apakah sikap kita terhadap
kritik.

SIMPULAN
MRK menyatakan bahwa seni klasik suatu daerah bisa
dihargai oleh daerah lainnya, asalkan purbasangka dan
keangkuhan kedaerahan atau kesukuan sudah tidak berperan
lagi, bahkan oleh bangsa yang lain, termasuk bangsa barat yang
modern itu. Pada pihak lain, MRK menyatakan bahwa
penerjemahan ungkapan mengangkat bahu adalah perbuatan
biadab. Lebih biadab lagi dengan mengangkat pundak karena
pundak berasal dari bahasa Jawa. Pemikiran kontradiksi seperti
ini yang mengundang kontroversi.
Menurut MRK, seni dan sastra adalah terhormat, mulia,
luhur, malahan juga suci. Seni dan sastra adalah nilai kehidupan,
nilai kebudayaan. Lebih dari yang lain, seni dan sastra
merupakan inti suatu kebudayaan.
MRK menyindir mau dibawa ke mana peradaban kita,
apakah mau mentah-mentah menelan kebudayaan Barat atau
mau menyaringnya. Pendapatnya ini sebenarnya merupakan
ulangan dari beberapa esainya. Ini pula yang menjadi keunikan
MRK yang selalu menyarankan bahwa kita jangan hanya meniru-
niru Barat dalam hal kebudayaan. Tidak disadarinya dia sering
memberikan contoh bacaan dari Barat. Ini juga yang
mengundang pertentangan dengan berbagai pihak.
MRK selalu memuji dan kagum kepada orang non-Sunda
yang mencintai Sunda. Karena itu, MRK mempertanyakan
adakah orang Sunda yang mau bergabung dengan etnik lain. Di
sinilah gagasan kebangsaan MRK jelas sekali. Dia menginginkan
ada orang Sunda yang menghargai etnik lain. Namun, tidak
ditemukan adanya data yang menyatakan MRK mencintai
kebudayaan etnik non-Sunda.

Serpihan Sastra 123


MRK mengingatkan bahwa selera Timur dan Barat ada
bedanya. Cuma selera Timur kini merupakan minoritas. Misi
MRK adalah bagaimana agar orang Sunda tidak kebaratbaratan.
Misinya dilakukan dengan cara menulis dan membina
pengarang-pengarang Sunda lainnya yang sesuai dengan selera
MRK.
MRK berkeyakinan bahwa kembali kepada kebudayaan
kita berarti pula kepada Islam. Tentu saja pendapat ini perlu
dipertanyakan kembali karena tidak dijelaskannya bagaimana
analogi itu bisa berlaku. Keyakinan itu mengindikasikan bahwa
Sunda sama dengan Islam, padahal Sunda berhubungan dengan
budaya, sedangkan Islam berhubungan dengan agama. Jadi,
tidak jelas Islam yang mana atau Islam yang bagaimana maksud
MRK.

DAFTAR PUS TAKA

Damono, Sapardi Djoko. 1998. “Umar Kayam sebagai Sampel


Sistem Pengarang Indonesia”. Dalam Aprinus Salam
(editor). Umar Kayam dan Jaring Semiotik. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, hlm 234–247.
____. 1999. Politik, Ideologi, dan Sastra Hibrida. Jakarta: Pustaka
Firdaus.
____. 2002. Pedoman Penelitian Sosiologi Sastra. Jakarta: Pusat
Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional.
____. 2006. “Membaca Esai” dalam Bumiku Bahasa dan Sastra.
Bandung: Jurusan Sastra Indonesia Fasa Unpad.
____. 2010. Sosiologi Sastra: Pengantar Ringkas. Jakarta: Editum.
____. 2011. Mengapa Ksatria Memerlukan Panakawan? Jakarta: Pasca
IKJ.
Eagleton, Terry. 1984. The Function of Criticism: From The Spectator
to Post-Structuralism. London: Verso Editions and NLB.
____. 2002. Marxisme dan Kritik Sastra. Diterjemahkan dari
Marxism and Literary Criticism oleh Zaim Rafiqi. Depok:
Desantara.
Escarpit, Robert. 2005. Sosiologi Sastra. Jakarta: Yayasan Obor.
Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra:

124 Abdul Hamid


Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka
Widyatama.
Habib, M.A.R., 2005. A History of Literary Criticism: From Plato
to the Present. Victoria: Blackwell Publishing.
Jabrohim (ed.). 2003. Metodologi Penelitian Sastra.Yogyakarta:
Hanindita Graha Widya. Junus, Umar. 1986. Sosiologi
Sastra: Persoalan Teori dan Metode. Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa Kementerian Pendidikan Malaysia.
Faruk 2001. Beyond Imagination: Sastra Mutakhir dan Ideologi.
Yogyakarta: Gama Media.
____. 2010. Pengantar Sosiologi Sastra: Dari Strukturalisme
Genetik Sampai Post-Modernisme. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Hadiansyah, Deni. 2005. “Novel Mercedes 190 Karangan Muh.
Rustandi Kartakusuma: Interpretasi Dekonstruksi”.
Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia: Skripsi.
Hakim, Zaenal. 1986. “Kritik dan Esei tentang Sastra Sunda
dalam Majalah Manglé No. 1 s.d. 250/1957-70”. Bandung:
Fakultas Sastra, Universitas Padjadjaran. Skripsi.
____.1995. Biografi Pengarang Mh. Rustandi Kartakusuma dan
Karyanya. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa Depdikbud.
Kartakusuma, Muh. Rustandi. 1993. Merecedes 190. Jakarta:
Girimukti Pasaka.
Kratz, E. Urlich. 2000. Sumber Terpilih: Sejarah Sastra Indonesia
Abad XX. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Luxemburg, Jan van, Mieke Bal, dan Willem G. Weststeijn. 1989.
Tentang Sastra. Diterjemahkan oleh Akhadiati Ikram.
Jakarta: Intermasa.
Mustappa, Abdullah. 2003. “Mh. Rustandi Kartakusuma: ke Arah
Pendekatan Kritik Sastera Sunda” dalam Tulak Bala (Sistem
Pertahanan Tradisional Masyarakat Sunda); Sundalana 1,
Rosidi (ed.). Bandung: Pusat Studi Sunda.
Muhtadin, Teddi. “Sastra Sunda Sub-(Versi) Kesadaran: Telaah
Awal atas Konsepsi Sastra Ajip Rosidi” dalam seminar
Meninjau Sosok Ajip Rosidi, 28 Mei 2003 di Kampus
Universitas Padjadjaran Bandung.
Nazir, Moh. 1988. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Cet. III.

Serpihan Sastra 125


Pradopo, Rachmat Djoko. 1993. Pengkajian Puisi. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
____. 2002. Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: Gama
Media.
Ratna, Nyoman Kutha. 2009a. Paradigma Sosiologi Sastra.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Rosidi, Ajip. 1991.
Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: Binacipta.
____. 1993. “Muh. Rustandi Kartakusuma jeung Mercedes 190”
panganteur kana novel Mercedes 190 karangan Muh.
Rustandi Kartakusuma. Jakarta: Girimukti Pasaka.
____. 2000. Ensiklopedi Sunda: Alam, Manusia, dan Budaya: Termasuk
Budaya Cirebon dan Betawi. Jakarta: Pustaka Jaya.
Selden, Raman. 1996. Panduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini
(Terj. Rachmat Djoko Pradopo). Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Teeuw, A. 2003. Sastera dan Ilmu Sastera. Jakarta: Pustaka Jaya.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan.
Diindonesiakan oleh Melani Budianta. Jakarta: Gramedia.

126 Abdul Hamid


Topeng Sapardi dalam Pandangan Riffaterre

Secara semiotis puisi dipandang sebagai struktur tanda yang


bersistem dan bermakna. Pemahaman terhadap puisi dapat
diartikan sebagai pemahaman terhadap makna puisi itu sendiri.
Makna yang dikandung puisi adalah arti yang ditimbulkan oleh
bahasa yang disusun berdasarkan struktur sastra menurut
konvensi, yaitu arti tambahan berdasarkan konvensi sastra. Kita
perhatikan puisi Topeng yang ditulis Sapardi.

TOPENG
untuk Danarto

/1/
Ia gemar membuat topeng. Dikupasnya
wajahnya sendiri satu demi satu
dan digantungkannya di dinding. “Aku
ingin memainkannya,” kata seorang sutradara.

Malam hari, ketika lakon dimainkan,


ia mencari wajahnya sendiri di antara topeng-
topeng yang mendesah, yang berteriak,
yang mengaduh: tapi tak ada. Ternyata ia masih

harus mengupas wajahnya sendiri satu demi satu.

/2/
“Di mana topengku?” tanyanya, entah kepada
siapa. Dalam kamar rias: cermin retak, pemerah
pipi, dan bedak berceceran di mana-mana;
dan tak ada topeng. “Di mana

topengku?” tanyanya. Tegangan listrik yang rendah,


sarang laba-laba di langit-langit,

Serpihan Sastra 127


dan obat penenang di telapak tangan. Tak ada
topeng itu. Mungkin maksud sutradara: Sang Tiran

harus menciptakan topeng dari wajahnya sendiri.

/3/
Tapi topeng tak boleh menjelma manusia;
ia, tentu saja, hafal sabda raja
dan sekarat hulubalang. Ia kenal benar sorot mata
dan debar jantung penonton. Ia, ya Allah,

tak pernah tercantum dalam buku acara,


tak menerima upah, dan digantung saja di dinding
jika lakon usai. Tinggal berdua di belakang panggung
yang ditinggalkan, sutradara tak juga menegurnya.

Ia tak berhak menjelma manusia.

1985

Penggantian Arti
Penggantian arti disebabkan oleh metafora dan
metonimi. Yang dimaksud dengan metafora dan metonimi
adalah bahasa kiasan pada umumnya, yaitu simile
(perbandingan), metafora, personifikasi, sinekdoki, dan
metonimi. Penggantian arti dapat disimak sebagaimana uraian di
bawah ini.
Dalam bait pertama terdapat kiasan berupa metafora: Ia
gemar membuat topeng. /Dikupasnya /wajahnya sendiri satu demi satu
/dan digantungkannya di dinding. “Aku /ingin memainkannya,” kata
seorang sutradara. Metafora yang terdapat dalam bait tersebut
mengiaskan kegemaran seseorang membuat kepalsuan perilaku.
Dia membuka berbagai macam kepalsuan perilaku dan
menyimpannya untuk digunakan/dimainkan dalam dan untuk
keperluan tertentu sesuai dengan perannya pada waktu tertentu
pula.
Adanya penggantian arti di samping melalui metafora,
juga melalui gaya perbandingan seperti digunakannya kata
“topeng”, “wajah”, dan “lakon” yang berulang serta kata-kata

128 Abdul Hamid


“cermin retak”, “pemerah pipi“, “bedak”, “tiran”, “raja”,
“hulubalang”, “penonton”, dan “panggung”. Kata-kata “topeng”,
“wajah”, dan “lakon” masing-masing dibandingkan dengan
perilaku dan kehidupan. Kata-kata “cermin retak”, “pemerah
pipi“, “bedak” yang berfungsi sebagai pematut wajah
dibandingkan untuk sarana pemoles atau pematut perilaku.
Kata-kata “tiran”, “raja”, “hulubalang”, “penonton”, dan
“panggung” masing-masing untuk penguasa, rakyat,
masyarakat, dan kehidupan.

Penyimpangan atau Pemencongan Arti


Penyimpangan atau pemencongan arti ini disebabkan
oleh (a) ambiguitas, (b) kontradiksi, dan (c) nonsense.
(1) Ambiguitas disebabkan oleh penggunaan kata-kata, frasa,
kalimat, atau wacana yang taksa atau ambigu, yaitu
mempunyai makna lebih dari satu (polyinterpretable), dapat
ditafsirkan bermacam-macam makna menurut konteksnya.
Dalam puisi “Topeng”, kata “topeng” pada kalimat pertama
bait pertama bisa ditafsirkan sebagai nama suatu benda bisa
juga dalam arti konotatif atau asosiatif.
Kontradiksi disebabkan oleh penggunaan ironi,
paradoks, dan antitesis. Ironi menyatakan sesuatu secara
kebalikan, biasanya untuk mengejek atau memperolok.
Dalam bagian pertama bait kedua, yaitu /Malam hari, ketika
lakon dimainkan, /ia mencari wajahnya sendiri di antara topeng-
/topeng yang mendesah, yang berteriak, /yang mengaduh: tapi tak
ada. Ternyata ia masih/ terkandung suatu olok-olok untuk
hal-hal yang kontradiktif. Sutradara yang hendak bermain
ternyata masih harus mencari wajahnya sendiri di antara
topeng dan bahkan sebagaimana dinyatakan pada bait
berikutnya (bahkan sampai diulang pada bait berikutnya
lagi) dia masih harus mengupas wajahnya sendiri satu demi satu.
(2) Nonsense adalah “kata-kata” yang tidak mempunyai arti,
yang tidak ada dalam kamus. Nonsense itu tidak mempunyai
arti, tetapi mempunyai makna gaib, atau juga mempunyai
makna lain sesuai dengan konteks. Nonsense ini berupa
deretan bunyi tanpa arti. Pada puisi “Topeng” tidak terdapat
kata-kata yang berupa nonsense.

Serpihan Sastra 129


Penciptaan Arti
Penciptaan arti disebabkan oleh pengorganisasian
ruang teks, di antaranya (a) enjambemen, (b) puisi, (c) tipografi,
dan (d) homologue. Dalam uraian ini, penciptaan arti pada
“Topeng”, pada pembahasannya ditekankan pada tipografi.
Tipografi puisi “Topeng” adalah tipografi puisi taklazim
(inkonvensional). Pada larik-larik tertentu terdapat kalimat-
kalimat yang dipotong dan disambungkan pada larik berikutnya
atau bahkan pada bait berikutnya sehingga potongannya menjadi
bait tersendiri yang hanya terdiri atas satu larik. Hal ini
dimaksudkan untuk menguraikan cerita yang kait-mengait atau
untuk menekankan gagasan. Tingkat kepadatan gagasan yang
dikemukakan pada setiap bait tidak sama. Oleh sebab itu,
terdapat bait yang terdiri atas satu larik dan ada juga yang terdiri
atas empat larik. Pembicaraan langsung merupakan pengikat
narasi dan juga menjadi inti gagasan dalam renungan yang
bersifat filosofis dari penyair. Adanya pembicaraan langsung
tersebut menyebabkan puisi itu seolah memiliki refrai. Secara
tipografis, pembicaraan langsung sutradara ini diberi tanda “
…..” sehingga begitu berbeda dari baris-baris narasi.
Puncak puisi itu terdapat pada bait terakhir yang hanya terdiri
atas satu kalimat dalam satu larik dan dalam satu bait:
Ia tak berhak menjelma manusia.
Pernyataan tersebut merupakan misteri yang mudah dijawab
tetapi sulit untuk dilakukan. Jika manusia memakai topeng
berarti dia bukan lagi manusia. Jadi, topeng takberhak menjelma
manusia walaupun sebenarnya banyak manusia yang menjelma
menjadi topeng atau menggunakannya. Sebuah renungan yang
cukup membuat manusia harus sadar akan eksistensinya.

Pembacaan Heuristik
Pembacaan heuristik ini adalah pembacaan menurut
sistem bahasa, menurut sistem tata bahasa normatif. Puisi ditulis
secara sugestif, hubungan antarbaris dan baitnya bersifat implisit.
Hal ini disebabkan oleh puisi itu hanya mengekspresikan inti
gagasan atau pikiran. Oleh karena itu, hal-hal yang “tidak perlu”
tidak usah dinyatakan. Ada awalan dan akhiran yang

130 Abdul Hamid


dihilangkan hingga tinggal inti katanya. Ada susunan kalimat
yang dibalik. Oleh karena itu, pembacaan puisi harus
mewajarkan hal-hal yang tidak wajar. Bahasa puisi harus
dinaturalkan menjadi bahasa biasa, bahasa normatif. Dalam
penaturalan ini kata-kata yang tidak berawalan dan berakhiran
diberi awalan dan akhiran. Dapat ditambahkan pula kata atau
kata-kata atau kalimat untuk memperjelas hubungan
antarkalimat, antarlarik, dan antarbaitnya. Susunannya diubah
menjadi susunan tata bahasa normatif. Baik kata maupun
kalimatnya dapat diganti dengan sinonimnya atau yang searti.
Pembacaan heuristik seperti berikut ini.

Ia gemar membuat topeng. Untuk membuat topeng,


dikupasnya wajahnya sendiri satu demi satu dan setelah
selesai digantungkannya di dinding. Setelah membuat
topeng, “Aku ingin memainkannya,” kata seorang sutradara.

Malam hari, ketika lakon akan dimainkan, ia mencari


wajahnya sendiri di antara topeng-topeng yang mendesah,
yang berteriak, yang mengaduh: tapi tak ada. Ternyata untuk
membuat topeng, ia masih harus mengupas wajahnya sendiri
satu demi satu.

“Di mana topengku berada?” tanyanya, entah kepada siapa.


Dalam kamar rias yang ada hanya cermin retak, pemerah
pipi, dan bedak berceceran di mana-mana; dan tak ada topeng.

“Di mana topengku?” tanyanya. Tegangan listrik yang


rendah, sarang laba-laba di langit-langit, dan obat penenang
di telapak tangan. Tak ada topeng itu.

Mungkin maksud sutradara: Sang Tiran harus menciptakan


topeng dari wajahnya sendiri. Tapi topeng tak boleh
menjelma manusia; ia, tentu saja, hafal sabda raja dan sekarat
hulubalang. Ia kenal benar sorot mata dan debar jantung
penonton. Ia, ya Allah, tak pernah tercantum dalam buku
acara, tak menerima upah, dan digantung saja di dinding jika
lakon usai. Sang tiran tinggal berdua di belakang panggung
yang ditinggalkan, sutradara tak juga menegurnya.

Serpihan Sastra 131


Ia tak berhak menjelma manusia.

Pembacaan heuristik di atas baru memberikan arti puisi


berdasarkan konvensi bahasanya sebagai sistem semiotik tingkat
pertama.

Pembacaan Retroaktif dan atau Hermeneutik


Untuk memberi makna, puisi harus dibaca berdasarkan konvensi
sastra (puisi), yaitu puisi itu merupakan ekspresi taklangsung
seperti diterangkan di atas. Kiasan-kiasan (metafora dan
metoniminya ) ditafsirkan.
Bait pertama berisi pernyataan bahwa orang gemar
membuat kepalsuan perilaku. Untuk membuat kepalsuan
perilaku, seseorang harus memilih kepalsuan mana yang akan
digunakan. Sutradara, yang biasanya menata orang berperilaku
palsu dalam suatu lakon, ingin ikut memainkan sendiri
kepalsuan perilaku itu.
Bait kedua, yang bersambung dengan bait ketiga, berisi
penegasan bait pertama. Malam hari ketika lakon akan
dimainkan, ia mencari perilakunya sendiri yang asli di antara
kepalsuan yang mendesah, berteriak, dan mengaduh. Namun,
keaslian perilaku tidak ditemukan, maka ia masih harus mencari
lagi keaslian. Dia masih harus membuka kepalsuan untuk
menemukan keaslian.
Bait keempat, yang bersambung dengan bait kelima
dan keenam, berisi akibat bait kedua dan ketiga. Karena keaslian
tidak juga ditemukan, dia mencari-cari kepalsuan dirinya
(topengku) yang begitu banyak. Karena itu pula, ia (sang tiran)
harus menciptakan kepalsuan dari perilakunya sendiri.
Bait ketujuh yang bersambung dengan bait kedelapan
berisi peringatan bahwa topeng takboleh menjelma manusia
karena ia hafal sabda raja dan hulubalang. Ia juga mengenal sorot
mata tajam dan debar jantung orang yang melihatnya. Mereka
yang memiliki keaslian tidak terpikirkan, tidak diupahi. Jika
lakon usai, mereka ditinggalkan begitu saja, ditegur pun tidak.
Bait terakhir merupakan simpulan bahwa sang tiran,
yang penuh kepalsuan, yang memiliki banyak perilaku palsu
tidak berhak menjelma menjadi manusia.

132 Abdul Hamid


Matriks, Model, dan Varian-varian
Matriks dalam puisi “Topeng” adalah manusia
kecenderungan untuk berpura-pura memilih suatu perilaku
sesuai dengan apa yang dikehendakinya atau yang ditujunya..
Matriks ini ditransformasikan menjadi model “Topeng”, “wajah”,
“lakon”, “cermin retak”, pemerah pipi”, “bedak”, “panggung”,
“sutradara, dan “tiran”.
Matriks sebagai hipogram intern ditransformasikan
menjadi varian-varian berupa “masalah” atau “uraian” dalam
bait kesatu sampai dengan bait kesembilan.
Varian bait pertama; kegemaran sutradara membuat
kepalsuan/kepura-puraan. Dia pun ingin berpura-pura.
Varian bait kedua dan ketiga; ketika akan berpura-pura,
sutradara taktahu lagi pribadi atau jati diri sendiri karena berada
di antara kepura-puraan. Untuk itu, ia masih harus belajar
membuka diri untuk menemukan keaslian.
Varian pada bait keempat dan kelima; penegasan bait
ketiga, yaitu karena takada lagi yang bisa dipalsukan, dia harus
menciptakan kepalsuan/kepura-puraan dari perilakunya sendiri.
Varian pada bait ketujuh dan kedelapan; penyimpulan
bahwa kepalsuan dan kepura-puraan tidak boleh menjelma
manusia alias tidak boleh merasuki jiwa manusia.
Varian pada bait kesembilan; simpulan dari bait-bait
sebelumnya. Pada bait ini, kepura-puraan, kepalsuan, atau pun
tiran bukan tidak boleh lagi melainkan tidak berhak menjelma
menjadi manusia.
Dari matriks, model, dan varian tersebut dapat
diabstraksikan tema “Topeng”, yaitu sebagai berikut manusia
berkecenderungan membuat kepura-puraan, kepalsuan. Karena
terlalu banyak kepalsuan, manusia sulit menemukan keaslian jati
dirinya sendiri. Karena itu, kepura-puraan atau kepalsuan tidak
berhak menjelma manusia; ia harus disingkirkan.

Hipogram: Hubungan Intertekstual


Untuk memberikan makna yang lebih penuh dalam
pemaknaan puisi “Topeng”, perlu disejajarkan dengan karya
sastra lainnya yang menjadi hipogram atau latar belakang
penciptaannya. Menurut Riffaterre, sebuah karya sastra (puisi)

Serpihan Sastra 133


merupakan respon terhadap karya sastra lain.
Hipogram atau latar penciptaan puisi “Topeng” adalah
suatu peristiwa yang mengingatkannya pada seseorang dan itu
menjadi catatan penyair. Catatannya, sebagaimana ditulis di
bawah judul puisi, ditujukan pada Danarto.***

134 Abdul Hamid


Warna Jeihan dalam Puisi

Jeihan saya ‘kenal’ sejak tahun 1970-an. Setiap hari saya pergi dan
pulang sekolah selalu melewati rumahnya di Gang Masjid.
Cicadas. Bandung. yang berjarak sekitar 1 km dari rumah orang
tua saya di Sukarisi (sekarang Sukakarya, belakang Borma
Antapani). Rumah kecil dan sederhana Jeihan terbuat dari papan
bercat putih. Di dinding luarnya terdapat lukisan hitam yang
tidak saya mengerti. Karena lukisan itulah, kemudian saya tahu
bahwa itu adalah rumah Jeihan, rumah pelukis. Pelukis sengsara.
Lalu, beberapa tahun kemudian berubah total menjadi pelukis
kaya raya. Jeihan pun pindah ke Padasuka, sekitar 5 km dari
Cicadas. Tahun 1979 saya berkenalan lagi di Fakultas Sastra
Unpad dengan Jeihan sebagai tokoh Puisi Mbeling. Tahun 2009
kembali berkenalan dengan beliau lewat buku puisinya yang
ditafsiri sahabat medoknya sejak SMA: Sapardi Djoko Damono.
Subhanallah, enak betul ketika pertama kali saya melihat buku
Jeihan, Gambar, Bunyi. Latar sampul buku abu-abu, dihiasi sketsa
Jeihan Sukmantoro. Lalu tulisan tangan nama Jeihan warna putih,
kata gambar dicetak lebih tebal daripada kata bunyi. Warna putih
melambangkan kesucian atau kesempurna-an. Nama dan kata
memakai huruf kapital semua. Berdasarkan konvensi, abu-abu
bisa ditafsirkan mendua. Kenyataannya, Jeihan memang mendua:
perupa dan pepuisi (kata lain untuk penyoksigen. Pepuisi orang
yang berprofesi mencipta puisi; pemuisi orang yang iseng
mencipta puisi). Secara konvensi juga hal itu ditegaskan dengan
kata gambar yang divisualkan lebih tebal daripada kata bunyi.
Kenyataan pula, Jeihan lebih berat berkecimpung dalam seni
rupa daripada seni bunyi (kata). Karena itu, saya tertarik untuk
berkenalan lebih jauh dengan puisi-puisi Jeihan.
Ada 39 puisi yang dimuat dalam buku tersebut. Ada
semacam pengantar yang dituliskan dengan tafsir dari Sapardi
Djoko Damono di dalam buku ini. Buku ini diawali dengan puisi
berjudul ”Buat Kau D. Sudiana” dan diakhiri dengan ”Syukur
dan Tafakur”. Mari kita nikmati dan kita dalami puisi Jeihan.
”Buat Kau D. Sudiana” bisa dipastikan ditujukan kepada
karikaturis yang juga dosen tetap Fikom Unpad, dosen luar biasa

Serpihan Sastra 135


Program D3 Editing Fakultas Sastra Unpad dan Fakultas Ilmu
Seni dan Sastra Unpas, yaitu Dendi Sudiana (almarhum). Di
tempat itu Dendi Sudiana mengajarkan mata kuliah yang
berhubungan dengan seni rupa. Puisi ini diawali dengan larik
angka 0 – 9. Angka pasti berkaitan dengan hitung-menghitung.
Larik pertama ini mengakibatkan bulan kehilangan magis. Ini dapat
dimaknai bahwa angka atau penghitungan dan perhitungan
berdampak pada ketidakberdayaan bulan untuk mengeluarkan
magisnya. Bait kedua tampak rangkaian huruf A sampai Z
dengan tipografi menjorok. Bait ini menarik untuk dicermati
karena ternyata ”menipu” pembaca. Huruf yang berjajar bukan
ABC sampai Z, tapi ABS sampai Z dan semuanya kapital. Karena
itu ada tiga tafsir negatif: pertama, kesalahan menyusun huruf
(baca: bicara) merujuk pada tidak berkata benar; kedua ABS bisa
bermakna ’asal bapak senang’. Ketiga, rangkaian huruf (salah
cetak atau sengaja) menyimbolkan banyak bicara. Karena
kenegatifan itulah, bait berikutnya menyatakan manusia
kehilangan diri. Bait berikutnya, pengulangan hitam putih (dua di
atas, dua di bawah) menunjukkan ketidakbervariasian (monoton)
sehingga bait berikutnya dunia kehilangan warna. Sebagaimana
judulnya, puisi ini ditujukan buat Dendi Sudiana. Namun,
sebagai puisi tentu dapat berlaku bagi orang lain: penghitungan
dan perhitungan mengakibatkan bulan kehilangan dayanya;
kesalahan berbicara mengakibatkan manusia kehilangan diri; dan
ketidakbervariasian hidup karena selalu hitam-putih (baca: benar
salah), orang bisa kehilangan identitas. Dengan demikian, puisi
ini merupakan kritik terhadap Dendi Sudiana dan tentu saja buat
orang lain juga. Dengan adanya pemakaian kata hitam putih dan
warna, begitu juga judulnya, puisi ini menunjukkan bahwa Jeihan
masih berpijak pada seni rupa.
”Doa” hanya berisi huruf A yang disusun secara piramida,
yang kemudian diakhiri dengan kata A m i n berupa larik yang
berada di tengah-tengah bawah piramida huruf A kapital. Secara
konvensi, doa ditujukan kepada Tuhan Yang Mahatinggi.
Rangkaian huruf A kapital berupa piramida membawa kita pada
kata-kata yang tidak terucapkan. Namun, sesuai dengan sifat A
yang terbuka, rangkaian ini menyatakan bahwa kepada Tuhan
kita senantiasa terbuka jika meminta dan mengaku segala dosa.
Keterbukaan dengan piramida menunjuk-kan pengerucutan

136 Abdul Hamid


hingga puncak tinggal satu huruf A. Ketunggalan Tuhan
divisualkan dengan bentuk piramida.
”Pesan” memberitahukan kepada kita bahwa pembeli
adalah raja, dan sebagai raja tentu kuasa untuk memerintah
penjual agar menyajikan pesanan secara cepat. Begitu merajanya
si pemesan. Ini diperlihatkan dengan dengan jeda bait dan
pemakaian huruf C kapital disertai tanda seru.
”Pipa”. Pipa merupakan metafora yang digunakan dalam
puisi ini untuk mengasosiasikan kemaluan laki-laki, yang berjalan
terbalik dengan kepala di bawah. Seperti main-main, padahal tidak.
Untuk menyatakan beratnya per-juangan hidup, ada ungkapan
kaki dijadikan kepala dan kepala dijadikan kaki. Kata papa pada
larik paling bawah bisa bermakna: panggilan untuk ayah atau
bisa juga berarti miskin sekali. Puisi diakhiri dengan pertanyaan
retoris: apa pipa apa papa! Pipa ya, ayah. Papa juga ayah. Papa
juga miskin sekali. Kedua makna bisa berlaku. Puisi yang tidak
serius (mbeling) padahal serius. Puisi ini bisa dibandingkan
dengan puisi yang berjudul ”Sapardi” sebagaimana
dikemukakan dalam wawancara Sapardi dengan Soni Farid
Maulana: "Saya terkejut juga ketika Jeihan benar-benar
melaksanakan idenya yang gila itu, yakni membuat patung saya,
yang anu-nya dibikin besar dan panjang. Gilanya patung itu
diberi judul ”Sapardi Djoko Damono”. Wah, dipikir-pikir
mengapa harus terkejut, toh dalam berkarya seni memang butuh
kegilaan. Dari sanalah daya kreativitas itu lahir," katanya. Dalam
mengerjai sahabatnya itu, rupanya Jeihan tidak cukup hanya
membuat patung. Dibikinnya pula sebuah puisi mbeling yang
juga diberi judul "Sapardi". Bunyi dari puisi tersebut, begini,
Memang / Kebanggaan Sapardi, / Seperti padi / Setelah besar & puas, /
Lalu merunduk! / Memang!
Sepintas, baik ”Pipa” maupun ”Sapardi” tampaknya
cawokah (porno bermeta-fora) sehingga bisa mendua makna dan
tidak terasa jorang (porno) lagi. Makna pertama, kita bandingkan
dengan ungkapan ilmu padi yang menyata-kan kian berisi kian
merunduk. Dalam puisi ”Sapardi”, ilmu padi itulah yang dianut
Sapardi.
Puisi kelima adalah ”Malam”. Puisi ini tidak berbicara
banyak, hanya menyata-kan bahwa langit, bumi, dan laut sudah
tua (malam) dan tiba-tiba terbakar. Akibatnya, semuanya

Serpihan Sastra 137


meleleh. Kekuatan puisi ini pada visualisasi kata leleh yang
dicetak dengan jenis huruf berbeda dan ukurannya yang agak
besar. Leleh berarti berubah bentuk, rusak, tidak hilang.
”Setia” menceritakan perempuan (ni Bulan) begitu setia
menanti lelaki (ki Bulan). Puisi ketujuh dan kedelapan
memperlihatkan penolakan terhadap program keluarga
berencana yang membatasi jumlah anak. Hal ini diperlihat-kan
dengan larik terakhir kawat (”Keluarga Berencana 1”) sebagai
metafora dari alat pencegah kehamilan berupa spiral. Lalu pada
”Keluarga Berencana 2” penolakan itu diperlihatkan dengan larik
anakku sudah tiga! yang disertai tanda seru—yang sebelumnya
diawali dengan ungkapan kaget astaga—kemudian ada jeda dan
diakhiri dengan frasa biar saja.
”Salam” hanya terdiri atas dua kata dengan jeda: haiku dan
haikita. Sesederhana dan sedalam puisi Jepang, haiku. Di sini haiku
bisa dimaknai sebagai haiku jenis puisi Jepang, bisa juga haiku
merupakan plesetan hai aku. Sapaan hai aku akan menjadi hai kita
(haikita). Karena itu, memberikan salam sama artinya dengan
memanjangkan silaturahmi, membina kesatuan. Kumpulan aku
menjadi kita. Aku dan aku bersatu dalam komunikasi (salam)
menjadi kita, bukan kami, bukan mereka.
Puisi ”Buku” hanya berisi dua kata: bukuku dan kubuku.
Seperti juga haiku, puisi ini sederhana tetapi perlu pemaknaan
yang dalam. Karena itu, tampak-nya main-main (mbeling),
padahal serius atau bahkan sangat serius. Kubu adalah benteng
pertahanan. Berarti, buat si aku, benteng pertahanan adalah
buku. Buku dapat diasosiasikan kepada membaca atau belajar,
lebih jauh lagi adalah berpikir. Jadi, belajar atau berpikir
merupakan benteng pertahanan, tentu saja pertahanan hidup dan
kehidupan.
Berikutnya adalah ”Panggilan” yang mempermainkan kata
narkotik menjadi nama narko dan tikno. Di sini yang dipermainkan
selain kata, juga ukuran dan jenis huruf. Narko dan Tikno sama
jenis dan ukurannya, dan narkotik tampak lebih besar sebagai
penegasan atau panggilan. Semuanya memakai huruf kapital.
Untuk menolak panggilan itu digunakan kata no dengan jenis
huruf lain yang lebih besar dan juga tebal. Pun memakai tanda
seru. Hal ini bisa ditafsirkan bahwa panggilan untuk memakai
narkotik harus tegas-tegas ditolak, tanpa tawar-menawar.

138 Abdul Hamid


Pada puisi ”Nelayan” ini baik pilihan huruf, jenis huruf
maupun tipografi, Jeihan tidak bermain-main karena isinya
berhubungan dengan kekuasaan Tuhan. Namun, pilihan katanya
tetap bernada main-main. Justru puisi ini memperlihatkan
kesombongan manusia yang bisa memanfaatkan ciptaan Tuhan.
Karena ada laut, beta bikin perahu. Karena ada angin, beta bikin
layar. Baru ketika perahunya terguling, beta baru sadar sedang
bermain-main, sedangkan Tuhan tetap serius. Dengan perkataan
lain, manusia tidak boleh dan tidak bisa takserius dengan Tuhan.
Dalam puisi berikutnya yang berjudul ”Sutardji”, kembali
Jeihan menggunakan hak prerogatifnya dengan memakai ukuran
huruf berbeda dalam dua lariknya, yaitu aku sutardji calzoum
bachri dan itu tidak lucu, tanpa susu! Lagi-lagi seperti main-main.
Sebagai bangsa bahari, kita harus kekar. Jangan seperti Sutardji
yang memperlihatkan dada tanpa susu karena susu merupakan
tanda kekekaran buat laki-laki.
Pada ”Alam Kita” Jeihan hanya memanfaatkan tipografi
yang mendukung makna. Seorang tua mewejang kepada seorang
muda yang akan ke kota cari kerja: .... orang muda tersebut
terkencing jadi kambing setiba // di jakarta. Kata terkencing
membawa kita pada keterkejutan. Lalu, kata kambing berasosiasi
negatif: bisa bau, jelek, bodoh, atau kambing hitam. Dengan
tipografi sangat menjorok ke kanan dan jadi bait tersendiri dan
tidak sampai pada tepi, kata di jakarta mengasosiasikan
keterpisahan orang muda dengan jakarta dan per-soalan itu
belum selesai.
Puisi ”Pepatah” pun memanfaatkan tipografi yang
menyatakan jarak murid dengan guru. Karena itu, sang guru
tidak memahami keinginan murid. Sebuah kritikan (tepatnya
pepatah) yang bagus bagi guru agar dekat pada muridnya
sekaligus memahami muridnya.

”Mata” merupakan puisi yang mengajak kita untuk


melihat zaman. Ke-perupaan Jeihan kembali hadir dalam puisi
ini. Jeihan menggunakan tiga macam jenis dan ukuran huruf.
Selain itu, puisi ini pun memanfaatkan tipografi dengan spasi
berjarak cukup renggang tiap baitnya. Zaman kita dibaca oleh
pasien menjadi zaman gila dengan huruf kapital dan ukurannya
besar dan tebal. Hal tersebut membawa kita bahwa kesalahan

Serpihan Sastra 139


sudah sangat parah. Karena itu, /dokter memberi ia kaca mata /
superjengkol / seperti main-main. Padahal, superjengkol
merupakan metafora yang menjelaskan ketegasan karena ukuran
lingkar jengkol lebih besar daripada mata. Dengan demikian,
untuk melihat zaman, haruslah dipakai kaca mata yang besar
supaya terlihat dengan jelas dan tidak salah lagi melihatnya atau
membacanya.
Keperupaan Jeihan kembali tampak pada ”Kejadian” yang
menggunakan dua macam jenis huruf dan juga tipografi yang
merenggang. Permainan bunyi penyoksigen, coksigen, dan
syoksigen tampak pula di sini. Puisi ini bercerita tentang
penyoksigen yang kalah dalam kepenyoksigenannya.
Kegagalan Jeihan tampak dalam ”Poster” karena
pemakaian kata yang pada di bawah perut yang menegang. Tidak
ada asosiasi lain untuk itu. Berbeda jika tanpa yang, masih ada
asosiasi lain yang berhubungan dengan bait terakhir.
Dalam ”Kembali” Jeihan memanfaatkan tanda baca titik
dua. Dalam EYD, tanda baca itu digunakan untuk merinci dan
menegaskan. Selain itu, Jeihan juga memanfaatkan tipografi
dengan menyendirikan dua tanda itu dalam lirik tersendiri.
Memang, kita dari tanah kembali ke tanah.
Puisi yang berjudul ”Indonesia” jelas terlihat melibatkan
seni rupa. Di sini Jeihan memanfaatkan segi empat sama sisi yang
berisi kumpulan huruf V kapital horizontal dan vertikal masing-
masing dengan 17 huruf V. Lalu bait terpisah agak renggang satu
huruf V dengan ukuran dan jenis sama berada tepat di bawah
tengah kotak. Kemudian bait terakhir renggang sekali berisi Viva
Pancasila dengan jenis huruf berbeda. Ukurannya pun lebih besar
dari bait sebelumya. Begitu pun visualnya lebih tebal dan
diakhiri tanda seru. Jumlah 17 bisa berkaitan dengan tanggal 17
Agustus sebagai hari jadi Indonesia. Huruf V merupakan
lambang sekaligus singkatan viva yang berarti ’hidup’. Kotak bisa
diasosiasikan pada sesuatu yang sudah jadi, sudah sempurna.
Namun, bisa juga berarti kaku seperti pada ungkapan terkotak-
kotak. Tampaknya, puisi ini—jika dihubungkan dengan tahun
lahir puisi ini, yaitu Orde Baru yang ‘mengagungkan’ Pancasila—
menyindir orang yang hanya lidahnya berpanca-sila, hanya
berteriak. Hal ini tampak pada huruf V yang sendirian
mendukung V yang terkotak.

140 Abdul Hamid


Puisi mbeling yang betul-betul mbeling tampak pada
”Lagu”. Puisi ini hanya mempermainkan nada musik dengan
23761 yang dibaca remi silado. Remy Silado adalah nama lain Jopi
Tambayong yang bersama-sama Jeihan berpuisi mbeling. Tidak
bisa ditafsirkan lain.
Kata bom, o, dan mah yang dipanjangkan dalam ”Hal, 1”
tampaknya ditafsir-kan melukiskan keadaan banyaknya bom,
banyaknya yang kesakitan, banyak-nya yang memanggil mamah
karena bom itu. Dalam ”Hal, 2” kembali Jeihan berupa
merangkai huruf /o/ menjadi tanda + lalu di bawahnya ada s.o.s
dan di bawahnya lagi ada /o/ dengan ukuran lebih besar dan
tebal. Kemudian di bawahnya lagi agak ke kanan ada angka 2
kecil dan paling bawah tanda seru. Rupanya rangkaian /o/
tersebut bisa dibaca oksigen bisa juga keluhan yang berulang.
Kita memerlukan oksigen, oksigen, dan oksigen dan terus perlu
oksigen. Tidak ada oksigen, matilah kita. Itu didukung dengan
SOS (singkatan save our soul ‘selamatkan jiwa kami’). Kejelasan
bahwa /o/ itu oksigen ada pada bagian akhir, yaitu rangkaian O
dan 2 yang bisa dibaca sebagai unsur kimia O2 yang tiada lain
adalah oksigen. Apalagi hal itu diakhiri dengan tanda seru.
Jelaslah sudah, di sini Jeihan tidak main-main dengan makna. Dia
hanya mempermainkan kata dan rupa untuk mencapai makna.
Mirip dengan ”Indonesia” adalah ”Abad Dua Puluh” yang
mengotaki huruf X horizontal dan vertikal masing-masing 20
huruf. Kotak itu diusung langsung dengan dua huruf X yang
dapat dibaca kedua puluh. Baik dalam matematika maupun
dalam kehidupan sehari-hari, huruf X digunakan untuk sesuatu
yang belum diketahui. Karena yang didukung belum jelas, wajar
jika pada bait terakhir dengan tegas dinyatakan kita mau ke mana?
yang menggunakan huruf kapital dan juga tebal.
Kembali Jeihan memanfaatkan rupa dan kata. Dalam
”Vietnam” Jeihan menyusun dua kotak secara zigzag. Kotak atas
berisi huruf /o/ dengan ukuran besar dan tebal, sedangkan
kotak bawah juga berisi huruf /o/ dengan jenis huruf yang sama,
namun ukurannya lebih kecil dan tipis. Dengan begitu, bentuk
tersebut bisa ditafsirkan bahwa yang atas menguasai yang
bawah. Akibatnya, pada bait berikutnya dinyatakan beribu anak
tak beribu. Beribu bertafsir ribuan, bisa juga memiliki ibu. Apalagi

Serpihan Sastra 141


ibu dicetak dengan jenis dan ukuran huruf yang berbeda. Karena
itu, bagian terakhir merupakan kekesalan.
”Semi semu” merupakan puisi dengan permainan bunyi
yang bercerita ten-tang semi yang semu karena diseminarkan.
Hal ini didapat dari budaya yang dianut sebagian kita yang
menentukan hari dan bulan baik untuk bersemi (nikah). Jika
pernikahan diseminarkan, jadilah semu. Tampak di sini Jeihan
kurang berhasil mempermainkan rupa dan kata.
”Pada Suka” bercerita tentang tempat tinggal Jeihan
sekarang. Tanpa mempermainkan rupa dan kata, di sini
diceritakan bagaimana perkembangan kondisi Padasuka dari hari
ke hari yang ternyata jauh dari cita-cita. Ketika masih tinggal di
Gang Masjid III Cicadas, boleh dikatakan Padasuka masih berupa
bukit-bukit berhutan. Namun, kini Padasuka sudah menjadi
kelontong. Sebuah kekecewaan. Pada pihak lain, Jeihan begitu
mencintai Bandung dalam ”Bandung”. Dengan mendendangkan
bunyi dung beberapa kali, Jeihan meng-ajak Bandung untuk
bangun. Masih senada dengan ”Bandung adalah Priangan”.
Dalam puisi terakhir diceritakan bahwa alam Priangan yang
subur mengasyikkan karena itu jangan dirusak. Hal itu
dinyatakan dengan ungkapan Jawa ngono ya ngono tapi ya ojo
ngono yang diindonesiakan gitu ya gitu tapi jangan gitu!
Dalam ”Sinetron Kita” Jeihan memanfaatkan judul-judul
sinetron yang pernah ada menjadi kalimat yang bermakna: gara-
gara / sebuah pintu / sebuah kalbu // salah sambung // matahari / di atas
bali / ada-ada saja! Hal ini bisa ditafsirkan bahwa pemberian
harapan yang salah mengakibatkan cinta yang salah pula.
Akibatnya pula matahari (dalam hal ini lambang panas berahi)
berada di atas Bali sebagai tempat wisata. Tentu saja asosiasi
wisata adalah kesenangan. Tafsir lain adalah dengan judul-judul
tersebut, sinetron kita memang mengada-ada. Karena itu, puisi
ini diakhiri dengan nada mengejek ada-ada saja! Agak berbeda
dengan ”Sinetron Kita”, dalam ”Parfi”—yang merupakan
singkatan Persatuan Artis Film Indonesia—Jeihan hanya
bermain-main dengan kata, tanpa makna. Ini dibuktikan dengan
pilihan kata yang ada bahwa untuk menyelesaikan kemelut Parfi
tiada lain keluar dari Parfi. Dengan perkataan lain, di sini yang
ada hanya kalimat yang disusun seperti puisi dan sedikit rupa

142 Abdul Hamid


(ungkapan walk out dicetak dengan ukuran dan jenis huruf
berbeda dengan teks lain).
Puisi ”Kita-Kita” diungkapkan secara sederhana dan isinya
pun amat seder-hana walaupun tetap bermakna kita perlu tahu
keseimbangan agar selamat. Tidak ada yang istimewa atau baru
baik bentuk maupun metafora yang digunakannya. Begitu pun
dalam ”Trisakti” yang hanya menghasilkan suara tembakan,
erangan, lalu huruf-huruf awal dibaca ke bawah menjadi darah.
Tiada pesan lain yang istimewa. Hal itu tidak jauh berbeda
dengan ”Medio Mei 1”, ”Medio Mei 2”, dan Medio Mei 3” yang
menggambarkan peristiwa Mei 1998. Singkat, tetapi tidak padat
makna. Tampaknya di sini Jeihan gagal bermain dengan kata dan
juga rupa. Kegagalan serupa bisa juga ditemukan pada ”Anak
kepada Bundanya” yang hanya berisi penggalan kata mamam
dipisahkan dengan spasi renggang menjadi ma dan mam!
Kegagalan tersebut untung bisa ditambal dengan adanya
”Menu Istimewa” yang berhasil mengkristalkan peristiwa Mei
1998: kambing hitam / ayam ras // / orang bakar // otak beku / air mata
dingin. Peristiwa Mei 1998 begitu marak dengan saling
menyalahkan. Yang dimakannya bukan lagi kambing guling tapi
kambing hitam, bukan lagi ayam goreng tapi ayam ras
(pertentangan ras), bukan lagi ayam bakar, tapi orang bakar,
bukan lagi otak-otak, tapi otak beku. Minumannya pun bukan lagi
soft drink, tapi air mata dingin.
Puisi terakhir adalah ”Syukur dan Tafakur” yang
ditujukan kepada kita. Sesuai dengan temanya, puisi ini dengan
rendah hati mengajak kepada kita berterima kasih kepada Tuhan
dan memikirkan siapa diri kita sebenarnya. Selengkapnya puisi
ini sebagai berikut:

SYUKUR DAN TAFAKUR


pro: Kita

mari kita cuci


diri kita dengan
peluh sendiri
di siang hari

dan

Serpihan Sastra 143


mari kita basuh
hati kita dengan
air mata sendiri
di malam hari

Melalui puisi-puisinya tampak Jeihan mengolah kemampuan


yang tersedia di dalam dirinya itu bukan hanya dengan kerja
keras yang harus dilakukannya, tetapi juga kerja cerdas. Dia
memanfaatkan rupa dan kata yang pada umum-nya berhasil
dilakukan dalam puisi-puisinya. Cocok sekali apa yang
dikatakan-nya dalam suatu wawancara dengan Pikiran Rakyat
sebagai berikut: ”Jadi, mutu SDM itu tidak hanya ditentukan oleh
kecerdasan intelektual semata-mata, tetapi juga sangat
ditentukan oleh kecerdasan emosional dan kecer-dasan spiritual.
Sekarang selain mata bolong, bentuk tubuh orang pun saya bikin
pipih. Itulah yang dimaksud dengan kerja cerdas dalam proses
kreatif yang saya geluti selama ini.” Karena itu, perlu
ditambahkan di sini bahwa kerja rupa dan kerja kata bisa
menjembatani pencapaian makna. Cag! **

144 Abdul Hamid

Anda mungkin juga menyukai