Anda di halaman 1dari 4

DUALISME DALAM KEKACAUAN CORAK BERPIKIR MANUSIA ERA MODERN

Oleh : Gemilang Surya Mahendra

“The dualist are those who admit the existence of both material and immaterial
subtances”, adalah mereka yang mengakui eksisensi antara substansi material dan imaterial
secara terpisah, itulah yang disebut dualis menurut Christian Wolf. Pola pikir dualisme selalu
menuntut untuk mendua dalam melihat suatu fakta dengan sudut pandang kontradiktif yang
berada didalamnya, dan terkadang mencoba menghadirkan kedua hal yang berseberangan
dalam suatu aksi. Sebagai contoh bahwa manusia itu pasti dipandang dari dua sisi : jiwa dan
raga, baik dan buruk, akal dan nafsu serta bebas dan takdir. Dalam filsafat ilmu, dualisme
akan merujuk pada dikotomi subjek-objek, ataupun realitas subjektif dan objektif. bahkan
dizaman Postmodern, dualisme kebenaran pun terbagi menjadi absolut dan relatif. Dalam
pola pikir yang lain dulisme justru menhadirkan pertentangan antara tindak laku seseorang
dengan kehendak jiwanya dan tanpa disadari, justru mengarahkan pola pikir seseorang pada
kerancuan paradoks, menghadirkan sebuah pembenaran yang dipaksakan atas suatu tindakan.

Hamid Zarkasy mengambarkan sebuah kasus dalam bukunya Misykat mengenai acara
talk show tahun 1990-an di stasiun televisi di Inggris yang kala itu mengangkat isu pelacuran.
Panelisnya pun beragam, mulai Pendidik, pastur gereja, tokoh masyarakat hingga beberapa
pelacur yang sengaja didatangkan. Hampir semua penonton yang hadir distudio kian sinis
menyoroti para pelacur yang hadir. Boleh jadi bagi mereka pelacur adalah sampah
masyarakat yang mesti dijauhkan dari generasi penerus bangsa karena merusak moral,
berdampak buruk dan segala hal yang negatif lainnya.

Menariknya, seorang pelacur dalam gilirannya untuk berbicara berteriak dengan


lantangnya, “Saya memang Pelacur, sampah masyarakat. Tapi tahukah anda sekalian? saya
melakukan ini karena saya Janda! Dan saya menghidupi ketiga anak saya dengan menjalani
profesi ini. Kalian boleh saja mencemooh, tapi siapa yang akan peduli jika anak-anak saya
kelaparan?! siapa?! apakah kalian?!”, ia terdiam sejenak, lantas dengan bangga
memproklamirkan diri, “Saya memang Pelacur, namun pelacur yang terhormat. Karena hati
saya ini suci, melakukannya demi tujuan yang mulia”. dan begitu ia menutup kalimat, hadirin
pun justru bersorak. mengapresiasi. Dan nampaknya mereka bersorak bukan karena ia
pelacur, melainkan karena ia adalah dualis. menjadi pelacur dan merasa suci. Dua sifat yang
harusnya kontradiktif. Yang mengherankan adalah mengapa mereka yang tadinya sinis,
namun kini malah bersorak? seolah mendukung tindakan sang pelacur?

Barangkali memang doktrin dualisme sudah mengakar didalam pemikiran barat. Asal
usul terdekatnya adalah filsafat akal yang digandrungi oleh descrates, kant, hingga Christian
Wolf –seperti yang disebutkan diatas. Bahkan konon dualisme barat diwarisi dari berbagai
pemikiran filsafat dualis masa lampau beserta berbagai kebudayaan mitologi bangsa-bangsa
lain semisal kepercayaan zoroaster di Timur bahwa dunia merupakan pergulatan abadi antara
kebaikan dengan kejahatan. Ahura mazda dan Ahra mainyu. Doktrin ini –menurut Thomas
Hyde, merupakan warisan juga bentuk dari dualisme Yunani dan Manicheichme, sehingga
tuhan akhirnya dianggap person dan materi.

Dalam aliran kepercayaan, dualisme lain bisa kita ketemukan dalam budaya mesir
kuno yang percaya bahwa simbolisme Ra’ adalah dewa matahari sebagai representasi
kehdupan dan kebenaran, dengan lawan tandingnya yaitu Aphopis sebagai perwakilan
kegelapan dan kejahatan. Berbagai worldview lain juga mewarnai berbagai mitologi dualis di
dunia, seperti deva dan Asura dalam hindu, Marduk dan Tiamat di babylonia, Zeus dengan
para titans dalam yunani hingga Azes dengan Vanes di kebudayaan arya, Jerman. Dalam
filsafat, Pythagoras juga seorang dualis. menurutnya segala sesuatu memang diciptakanuntuk
saling berlawanan : satu dan banyak, terbatas dan tak terbatas, berheti dan bergerak, baik dan
buruk dan sebagainya. Empedocles juga senada dengan pythagoras, baginya dunia itu
dikuasasi oleh dua hal, yaitu cinta dan kebencian. Belum lagi Plato dengan membedakan
antara unsur jiwa dan raga dalam manusia.

Sebuah kritik menarik bermuculan di era berikutnya, semisal kritik aristoteles


mengenai dualisme plato mengenai jiwa dan raga yang tidak benar, karena jiwa dan raga
merupakan sebuah kesatuan, dimana jiwa merupakan pasangan raga yang saling
mempengaruhi dan membutuhkan. Pemikiran Aristoteles akhirnya menjadi pelatuk baru
untuk munculnya pemahaman monisme sekaligus kritik atas dualisme. Mempertanyaan
bahwa apakah dualisme merupakan sebuah realitas? atau sekedar persepsi menyimpang?
sebab nilai-nilai monisme (kesatuan) dalam realitas benar adanya dan riil, seperti konsep
banyak itu berasal dari satu yang abadi, yang saling berlawanan justru saling melengkapi
membentuk kestuan yang tak bisa dipisahkan. Dalam dualiame mitologi juga demikian,
tersebut bahwa wujud monisme itu ada. semisal Marduk ternyata turunan Tiamat, Zeus dan
titan yang sesama keturunan Gaia, bahkan dalam kitab Gathas agama Zoroaster tersebut
bahwa Ahura mazda dan Ahra mainyu adalah saudara kembar dengan kehendak yang
berbeda.

Kembali ke sejarah berkembangnya dualisme di Barat, corak pemikiran Plato sedikit


banyak mempengaruhi para pemikir di kalangan gereja, hingga pada abd ke 13 mereka
memutuskan untuk memodifikasinya ala filsafat Aristoteles. Pada abad pencerahan, pilihan
kembali jatuh pada dualisme Plato. Descrates ikut-ikutan memodifikasi filsafat plato dan
merumuskan mengenai Cartesian Dualism, yang mencoba menjelaskan secara rasional dan
matematis mengenai materi selaku substansi pengisi ruang, dengan akal selaku substansi
untuk berpikir. Begitupun Kant yang akhirnya mengkritik pandangan descrates dan
memunculkan Neo-Platonisme dan Kantinisme yang mencoba merenovasi doktrin dualisme
yang diciptakan descrates. Sayangnya, baik descates dan Kant justru terjebak pada dualisme
lainnya. Fitche dan Hegel dalam usaha melawan Dualisme, juga mencoba menyodorkan
doktrin monoisme lewat pemaparan atas penyatuan antara raga dan jiwa, namun berakhir
kegagalan atas ketidak jelasan wujudnya. Akhirnya akibat arogansi akal tanpa dasar
pemahaman yang jelas, monisme tumbang dan dualisme kian berkibar. Pemahaman
mengenai jiwa dan raga dianggap dua entitas berbeda.

Fakta bagi kalangan dualis selalu dilihat secara mendua. baginya, akal dan materi
adalah dua substansi yang secara ontologis berbeda, begitupun jiwa dan raga yang tidak ada
kaitan satu dengan yang lain atas dasar beda komposisi. Akal bisa jahat, materi bisa baik atau
sebaliknya jiwa selalu dikonotasikan suci dan raga dengan hal buruk. Padahal sejatinya dari
jiwalah kehendak untuk melakukan sesuatu akan timbul, dan suatu jiwa akan mengerakkan
sebuah raga mendekati yang sejenis atau sefrekuesi dengannya, sehingga mustahil untuk
timbul adanya dualisme didalamnya. Para pemikir Timur seperti Islam memberikan konsep
kerja raga merupakan suruhan jiwa, sehingga tuntutan untuk ketulusan dan kebersihan jiwa
akan memberikan kesehatan bagi raga.

Dalam realitas masyarakat yang sekarang, nampaknya doktrin dualisme sudah jauh
mengakar dan mempengaruhi pola pikir manusia modern, termasuk sang pelacur.
Tindakannya tak jauh beda dengan dialog dua sejoli dalam film ‘incendent proposal’ yang
penah dituliskan fahmi zarkasy, “I Slept with him but my heart still wiyh you”. Jelas
menggambarkan ketidaksejalanan raga dan jiwa. Kekacauan berpikir dalam doktrin inilah
yang akhirnya memunculkan sebuah pemahaman yang gagal faham di kalangan masyarakat
yaitu “Lakukan apa saja –walaupun itu buruk, asal niatnya baik”, dalam kata lain, bentuk
kemunafikan pribadi, dimana jiwa dan raga saling mendustai. perselingkuhan intelektual ini
juga ikut melahirkan simbolisme baru di masyarakat seperti ‘Penjahat yang santun’,
‘Koruptor yang dermawan’, ‘Pelacur yang moralis’, ‘Ateis yang baik’, ‘Kyai yang pendusta’
hingga ‘Pembunuh yang beradab’.

Refrensi

Husaini, Adian. 2018. Wajah Peradaban Bara, dari hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular
Liberalt. Depok : Gema insani

Maksum, Ali. 2016. Pengantar Filsafat. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media

Siauw, Felix Y. 2013. Beyond The Inspiration. Jakarta : Alfatih Press

Zarkasy, Hamid Fahmi. 2012. Misykat, Refleksi Tentang Westernisasi, Liberalisasi Dan
Islam. Jakarta : INSIST-MIUMI.

Anda mungkin juga menyukai