Anda di halaman 1dari 9

Analisis Hermeneutika Wilhelm Dilthey Dalam Filsafat

Orang Gila Karya Sa’ad Al Bawardy

Bennartho Denys Rapoho


(17/414228/FI/04387)
Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada
Email: bennarthodenys@mail.ugm.ac.id

PENDAHULUAN
Pada sebuah karya filsafat sering ditemukan kesulitan dalam
mengeksplorasi dan memahami isi maupun makna yang ada di
dalamnya. Beberapa kemungkinan faktor kesulitan tersebut adalah
penjelasan yang kurang bersifat eksplisit melainkan lebih dominan
masih bersifat implisit, artinya karya filsafat biasanya masih
menggunakan bahasa yang rumit bahkan mengandung makna
ganda.
Sa’ad Al Bawardy dalam karya filsafatnya yang berjudul
“Filsafat Orang Gila” lebih menjabarkan maksud tulisannya dalam
bentuk aforisme, yaitu bersifat padat dan berupa bagian-bagian
tertentu, sehingga cukup sulit bagi orang awam untuk
memahaminya apalagi tulisan tersebut tidak memiliki alur yang
runtut dan sistematis seperti halnya karya tulis pada umumnya.
Selain itu, Sa’ad al Bawardy dalam karyanya tersebut lebih
menonjolkan sifat reflektif pada pengalaman dirinya sendiri yang
diterjemahkannya melalui metafora-metafora tertentu sehingga
karya filsafat tersebut sesungguhnya lebih menyerupai kumpulan
karya sastra.
Belum adanya pengkajian terkait karya Sa’ad Al Bawardy
yang berjudul “Filsafat Orang Gila” juga menjadi alasan penulis
untuk mengangkat tema ini sebagai bahasan pokok dalam karya
ilmiah ini. Penelitian ini berpotensi sebagai karya ilmiah pertama
yang mengkaji karya Sa’ad Al Bawardy yang berjudul “Filsafat
Orang Gila” sekaligus menjadi referensi awal bagi penelitan terkait
berikutnya.
2

Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif karena memiliki


tujuan untuk memperoleh jawaban terkait pendapat, tanggapan,
atau persepsi seseorang sehingga pembahasannya harus
menggunakan uraian kata-kata (Sulistyo-Basuki, 2010). Sedangkan
teknik pengumpulan data yaitu melalui studi kepustakaan, yaitu
pencarian data dan informasi melalui dokumen-dokumen, baik
dokumen tertulis, foto/gambar, maupun dokumen elektronik yang
dapat mendukung dalam proses penulisan (Sugiyono, 2005).
Pada penelitian ini penulis menggunakan metode analisis
hermeneutika Wilhelm Dilthey (1833-1911) sebagai objek formal.
Sedangkan objek material pada penelitian ini yaitu karya Sa’ad Al
Bawardy yang berjudul “Filsafat Orang Gila”.
Penulis akan membagi pembahasan ke dalam tiga bagian.
Bagian pertama akan membahas terkait landasan hermeneutika
Wilhelm Dilthey. Bagian kedua akan membahas terkait analisis
metode hermeneutika Dilthey terhadap karya “Filsafat Orang
Gila”. Sedangkan bagian ketiga akan membahas terkait hasil
analisis terhadap karya sebagai moralitas hidup.

HERMENEUTIKA WILHELM DILTHEY


Wilhelm Dilthey (1833-1911) merupakan seorang filsuf yang
terkenal dengan filsafat hidupnya. Dalam pemikirannya bahwa
hidup merupakan pengalaman manusia yang menjadi sejarah
hidupnya yang dipahami secara luas dan menyeluruh. Dalam
hermeneutika, Dilthey memberikan definisi baru terhadap
pengalaman (erlebnis), makna (ausdruck) dan pemahaman
(verstehen). Dilthey menyandarkan hermeneutikanya pada karya
seni sebagai objeknya. Metode sejarah digunakan Dilthey untuk
memberikan pemahaman baru dalam menginterpretasi rangkaian
penagalaman manusia baik berupa teks, biografi, dan lainnya.
Hermeneutika Wilhelm Dilthey digunakan sebagai metode
penafsiran terhadap pemikiran orang lain untuk sampai pada
sebuah pemahaman yang seobjektif mungkin dari apa yang ingin
disampaikan oleh pengarang (Sholikah, 2017).
Berdasarkan materi perkuliahan mata kuliah hermeneutika
3

yang disampaikan oleh Rizal Mustansyir (2019) dirumuskan


beberapa pokok pemikiran hermeneutika Wilhelm Dilthey sebagai
berikut:
1. Filsafat Hidup (Philosophie des Lebens);
2. Dasar epistemologis dan logis ilmu sejarah;
3. Das Verstehen;
4. Hermeneutika sebagai basis Geisteswissenschaften.
Filsafat Hidup (Philosophie des Lebens) yang dimaksud
merupakan hidup yang mengacu pada keadaan jiwa, proses,
aktivitas kesadaran dan ketidaksadaran, kreatif dan ekspresif.
Selain itu aktivitas hidup manusia merupakan substansi sejarah
dan objek Geisteswissenschaften. Hidup juga merupakan kontinum
kenyataan yang bergerak dalam sejarah. Hidup tidak dapat
dinyatakan (eklaren), tetapi dapat dipahami (verstehen).
Konsep Verstehen bukanlah menjelaskan secara kausal tetapi
lebih membawa diri sendiri ke dalam suatu pengalaman hidup
yang jauh, sebagaimana pengalaman pengobjektifan diri dalam
dokumen, teks (kenangan tertulis) dan tapak-tapak kehidupan
batin yang lain serta pandangan-pandangan dunia (Madison,
1988).
Dasar epistemologis sejarah juga dibutuhkan sebagai
penuturan suatu objek sebagai gejala tunggal yang bukan
merupakan generalisasi hukum atau gejala umum yang bahkan
tidak melibatkan aspek waktu sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari eksistensi hidup manusia.
Makna historisitas menjelaskan bahwa manusia memahami
dirinya tidak via intropeksi tetapi via objektivikasi hidup.
Pengalaman manusia terletak pada perkembanan hakikatnya
sepanjang hidup. Manusia bukanlah esensi yang baku akan tetapi
masih dalam kontingensi. Manusia memiliki keputusan historis
sebagai penentu esensi dirinya.
Manusia membentuk kategori melalui proses
mempersepsikan sifat sederhana dari sebuah entitas. Kemudian
mencari kategori yang menghadirkan kemiripan dengan
4

gambaran struktural. Selanjutnya manusia akan memilih


kemiripan kategori yang paling tepat menurut kesadarannya.
Berikutnya manusia akan menyimpulkan mengenai entitas dan
menyimpan informasi kategori tersebut dalam pikiran dan
ingatannya. Informasi ini kelak akan digunakan sebagai bahan
pembaharuan jika kemudian ditemukan gambaran kategori-
kategori yang baru.

ANALISIS METODE HERMENEUTIKA DILTHEY TERHADAP


KARYA “FILSAFAT ORANG GILA”
Pada karya Sa’ad Al Bawardy yang berjudul “Filsafat Ornag
Gila” penulis seolah sedang bersyair yang dimaksudkan kepada
sosok ruh yang bernama “Alkuja”. “Alkuja” bukanlah sosok
manusia atau dalam arti ini merupakan orang gila yang diartikan
dalam judul karya tetapi lebih kepada nilai kehidupan yang telah
dialaminya (Erlebnis). Distingsi antara baik dan buruk seolah
ditampakkan dalam diri ”Alkuja” melalui keadaan yang telah
dialaminya. Bagaimana ia berjumpa dengan berbagai macam
entitas kehidupan baik-buruk, kasar-halus, cinta-benci dan
sebagainya. Oposisi biner yang disebutkan merupakan rangkaian
penjelasan dari nilai kehidupan yang telah dimaknai oleh penulis
sebagai perilaku manusia pada saat ini―zaman dalam karya
tersebut―yang digambarkan dengan keadaan orang gila yang
berfalsafah, cerdik dan penuh dengan cinta. Akan tetapi
kehidupan memberikan gambaran seolah mereka menderita dan
gila.
Ekspresi (Ausdruck) jiwa digambarkan melalui kalimat “aku
telah menemukan rahasia jiwanya, sungguh aku telah menemukan
dimensi-dimensi yang besar bagi denyut-denyut khayalan dan
impiannya yang bergerak dan melompat hingga hampir saja
meledak”. Kalimat tersebut mengungkapkan sebuah penemuan
terhadap hakikat manusia yang pertama ketika seolah serupa
dengan penggambaran sosok orang gila di zaman ini. Penemuan
yang beranjak pada kecintaan terhadap nilai kehidupan yang telah
dijalaninya ini dirasakannya sebagai sesuatu yang teduh dan
5

tenang. Sosok “Alkuja” merupakan penggambaran yang tepat


mengenai kehidupan manusia yang seolah dipenuhi oleh berbagai
kontradiksi dalam kehidupan meski sesungguhnya falsafah
kehidupan telah bersemayam di dalam sosok “Alkuja” selama ini.
Dasar epistemologis dan logis ilmu sejarah pada karya
“Filsafat Orang Gila” dapat diperhatikan melalui tulisan bagian
kedua berjudul ladang menakutkan pada kalimat “antara cita-cita
dan kepedihan menusia itu terlahir, tumbuh berkembang, menjadi
pemuda, kemudia menjadi tua, lalu dia pun mati. Itulah
kehidupan, prinsip yang rumit, pandangan yang membingungkan,
dan lingkup jangkauannya sangat responsif. Sedangkan
sekelilingnya sangat gelap gulita yang mengantarkanmu pada
ketakutan, kejenuhan, serta kebisingan”. Kalimat pada paragraf
berikutnya juga mengungkapkan pemahaman (Verstehen) hidup
yang bersejarah “kehidupan adalah ladang bercocok tanam,
petaninya adalah takdir, irigasinya adalah hari-hari sepanjang
masa, benihnya adalah ruh-ruh manusia, airnya adalah nilai-nilai
keluhuran yang diatur dari atas langit (yaitu prinsip-prinsip yang
diatur oleh keadilan, yang menunjukkan manusia padanya, dan
manusia berada di antara yang lurus dan yang menyimpang)”.
Kehidupan dimaknai sebagai proses manusia untuk membangun
esensinya berdasarkan pilihan sadar yang mereka lakukan seperti
halnya seorang petani yang juga berperan sebagai takdir atas
dirinya sendiri.
Bagian pada buku ini tepatnya pada halaman 114 dengan
subbab berjudul “masyarakat ideal dalam tolong-menolong di
Dunia Semut” merupakan suatu yang sangat menarik untuk
memasuki pengalaman yang dianalogikan sebagai sekumpulan
semut yang sedang berusaha untuk mengangkat makanannya
yang bahkan beratnya berkali-kali lipat daripada berat tubuhnya.
Semut tersebut tidak egois, jika pun ia egois ia tetap tidak akan
mampu menarik makanan seberat itu. Hanya seluruh tenaga ia
kerahkan untuk menarik makanan tersebut seperti yang ada pada
kutipan kalimat berikut “dia menarik kurma itu―makanan
6

tersebut― menuju kolongnya... pada anak-anaknya....


keluarganya.... kaumnya.... pada semua semut.... tetapi
kekuatannya tidak sanggup dan berbalik padanya dalam keadaan
galau, bingung dan hina. Semut itu memiliki kekuatan terbatas.
Walaupun demikian, dia tetap berusaha keras semaksimal
mungkin dan tetap tegar. Kadang dia berusaha menariknya ke
kanan... dan kadang ke kiri. Dan kadang ke atas pula... seakan-
akan dia tidak membiarkan dia―kurma―melaluinya”. Rintangan
yang dialami oleh semut tersebut diibaratkan dengan pelajaran
kehidupan yang perlu dipetik oleh manusia bahkan dari kisah
seekor semut.
Eksistensi manusia begitu kecilnya di dunia ini. Bahkan
perasaan jumawa sedikit saja tidak akan pantas berada pada benak
manusia. Seperti pada kalimat ”Semut itu tidak mampu... ya.,
betapa murahan dan binanya dia, berusaha menggapai hal yang
mustahil tanpa berpikir atau memperkirakan...”. Kemudian
manusia tertawa sebagaimana kebiasaan salah seorang diantara
manusia lain tanpa sebab mengejek saudara lainnya. Dan ternyata
anggapan tersebut tidaklah benar sebab pada kalimat berikutnya
“tetapi semut itu tertawa, betapa cepatnya dia sirna... dan mati di
atas bibirku... aku melihat dia kembali.... aku melihat semut itu
bersama semut lainnya... semut yang kedua. Dia berjalan dari
belakangnya dan hampir tidak beringsut dari jalan yang
dilaluinya, tidak melepaskan walaupun ikatan satu jari pun”.
Sepenuh jerit payah dua ekor semut tersebut meskipun tetap
dengan kepayahan tenaganya mereka tetap berusaha dan
berusaha tanpa kenal lelah.
Pada kalimat berikutnya yaitu “komunitas semut wahai
Alkuja, yang tidak kenal pada egoisme.. tidak mengakui
individualisme, dan tidak percaya pada kedengkian dan
kebencian. Dia hanya percaya bahwa kehidupannya adalah milik
lainnya... milik setiap semut... milik semua. Demi ini semua, semut
itu bergegas memberikan bantuan... menopang, dan bekerja demi
yang lainnya.. demi setiap semut... demi kehidupan yang
7

dijalaninya”. Penggambaran pada kalimat tersebut dapat


mempermudah dalam memahami pandangan terhadap dunia
yang diimplistkan pada karya tersebut yang tentunya makna di
dalamnya bukan saja dapat dipahami oleh pengarang tetapi juga
sekaligus pada pembacanya dengan berpedoman pada subjective
mind yang akhirnya dapat menemukan aku dalam engkau.

HASIL ANALISIS DALAM KARYA SEBAGAI MORALITAS


HIDUP
Topik moralitas memang sangat sesuai dengan bahasan
yang ada pada buku “Filsafat Orang Gila” karya Sa’ad Al Bawardi,
sehingga ini menjadi menarik untuk dikaji lebih lanjut. Dari hasil
analisis sebelumnya penulis menemukan beberapa poin penting
terkait filsafat hidup, dasar epistemologis dan logis ilmu sejarah,
das verstehen, dan hermeneutika sebagai basis geisteswissenschaften.
Tentu hasil analisis tersebut dapat menjadi landasan fokus
terhadap tema yang telah diambil. Sebelum melangkah pada
bahasan berikutnya perlu penulis garisbawahi terkait pengertian
moralitas itu sebagaimana tema yang akan penulis bahas lebih
lanjut. Menurut W.Poespoprodjo dalam bukunya yang berjudul
Filsafat Moral Kesusilaan Dalam Teori dan Praktik menjelaskan
bahwa moralitas sebagai “kualitas dalam perbuatan manusia yang
menunjukkan bahwa perbuatan itu benar-salah, baik atau buruk
atau dengan kata lain moralitas mencakup mengenai baik
buruknya perbuatan manusia”, artinya pengertian ini juga selaras
dengan pemaknaan historisitas pada hermeneutika Wilhelm
Dilthey bahwa manusia akan memiliki keputusan historis terkait
esensi hidupnya. Keputusan tersebut merupakan suatu
pertimbangan moral yang sedang didiskusikan.
Melalui beberapa poin bahasan pada bab sebelumnya
penulis mendapatkan hasil analisis melalui identifikasi tiga
komponen metode hermeneutika Wilhelm Dilthey yaitu Ausdruck,
Erlebnis, dan Verstehen. Pertama yaitu Erlebnis yang diungkapkan
melalui kalimat pada bagian pertama buku “Filsafat Orang Gila”
8

menceritakan mengenai sosok “Alkuja” yang bukan merupakan


makhluk, atau apapun melainkan hakikat atau falsafah hidup
manusia itu sendiri. Pada bagian tersebut diungkapkan
pengalaman “Alkuja” sebagai hakikat dari kehidupan itu sendiri
berjalan di dunia dari lahir hingga mati―dilanjutkan pada bagian
kedua―dalam menemukan berbagai oposisi biner, segala macam
pertentangan-persamaan dan lain sebagainya yang pada akhirnya
menghasilkan nilai dan makna kehidupan. Kedua yaitu Ausdruck
atau ekspresi yang menggambarkan semacam ekspresi jiwa
terhadap pengalaman hidup yang pada akhirnya akan
menemukan hakikat kehidupan yang pada bagian ketiga yaitu
Verstehen dapat diperoleh suatu pemahaman yang lebih luas
terhadap dunia secara utuh. Fungsi Verstehen dalam hal ini juga
sebagai proses jiwa untuk memperluas pengalaman hidup
manusia melalui kekuatan mental.

SIMPULAN
Melalui hasil analisis hermeneutika Wilhelm Dilthey
penulis dapat menemukan poin penting terkait tema moralitas
hidup yang dibahas dalam buku tersebut yaitu terletak pada kisah
semut yang diceritakan kepada “Alkuja” tepatnya pada kalimat
“kehidupannya adalah milik lainnya... milik setiap semut... milik
semua. Demi ini semua, semut itu bergegas memberikan bantuan...
menopang, dan bekerja demi yang lainnya.. demi setiap semut...
demi kehidupan yang dijalaninya”, yang artinya kehidupan ini
merupakan milik bersama―makhluk Tuhan Yang Maha
Esa―yang perlu untuk dihidupi bersama sehingga pandangan
moralitas yang terbentuk yaitu segala tindakan yang bermanfaat
secara menyeluruh bagi semua makhluk tanpa pengecualian
sekalipun sehingga terdapat kejelasan mengenai perspektif baik
atau buruk sesuatu jika dipertimbangkan berdasarkan hasil
analisis buku tersebut.
9

DAFTAR PUSTAKA

Basuki, Sulistyo, 2010, Metode Penelitian, Penerbit Penaku, Jakarta.


Bawardy, Sa’ad, 2004, Filsafat Orang Gila, Cendekia Sentra
Muslim, Jakarta.
Materi perkuliahan Mata Kuliah Hermeneutika yang disampaikan
oleh Rizal Mustansyir pada 8 Mei 2019 di ruang kelas B
201
Poespoprodjo, W, 1988, Filsafat Moral Kesusilaan Dalam Teori dan
Praktik, Remadja Karya, Bandung.
Sholikah, 2017, Pemikiran Hermeneutika Wilhelm Dilthey, Jurnal
Studi Keislaman, Tuban.
Sugiyono, 2005, Memahami Penelitan Kualitatif, CV. Alfabeta,
Bandung.

Anda mungkin juga menyukai