Anda di halaman 1dari 20

Nama : Christian Yosefansia Tambunan

NPM : 200510022
No. Absen : 22
Tingkat :IA
Semester : 1 (Satu)
Mata Kuliah : Manusia dan Kebudayaan Indonesia
Dosen : Dr. Yustinus Slamet Antono

RINGKASAN BUKU TAFSIR KEBUDAYAAN

CLIFFORD GEERTZ

A. BAB I “LUKISAN MENDALAM: MENUJU SEBUAH TEORI INTERPRETATIF


TENTANG KEBUDAYAAN”
I
Dalam bukunya, Philosophy in a New Key, Susanne Langer mengemukakan bahwa
gagasan-gagasan tertentu tampil ke dalam pemandangan intelektual dengan suatu kekuatan
yang dahsyat. Gagasan itu memecahkan begitu banyak masalah mendasar dalam waktu
singkat sehingga juga menjanjikan akan memecahkan semua masalah yang mendasar. Setiap
orang menangkap gagasan-gagasan itu sebagai kata-kata ajaib ilmu positif tertentu yang
masih baru, sebagai titik-pusat konseptual yang di sekitarnya dapat dibangun sebuah sistem
analisis yang komprehensif.
Akan tetapi setelah kita menjadi terbiasa dengan gagasan baru itu, setelah gagasan itu
menjadi bagian dari kumpulan konsep-konsep teoretis kita, harapan-harapan kita lebih
dibawa ke dalam keseimbangan dengan pemakaian-pemakaian aktual gagasan itu, dan
berakhirlah popularitasnya yang berlebihan. Sejumlah kecil orang yang sangat gigih terns
memegang kunci kuno untuk membuka pandangan menyeluruh mengenai gagasan itu.
Mereka mencoba menerapkannya dan memperluasnya sampai gagasanitu dapat diterapkan
dan dapat diperluas; dan mereka berhenti ketika gagasan itu tidak diterapkan atau tak dapat
diperluas. Hukum kedua termodinamika tidak menjelaskan apa-apa yang berkenaan dengan
manusia, melainkan masih menjelaskan sesuatu; dan perhatian kita beralih ke usaha
mengisolasi persis apa yang merupakan sesuatu itu, membebaskan kita sendiri dari banyak
pseudo-ilmu yang juga sudah muncul pada gelora awal kemashyurannya.
Kluckhohn pada gilirannya mencoba mendefinisikan kebudayaan sebagai: (1)
"keseluruhan cara hidup suatu masyarakat"; (2) "warisan sosial yang diperoleh individu dari
kelompoknya"; (3) "suatu cara berpikir, merasa dan percaya"; (4) "suatu abstraksi dari
tingkah laku"; (5) suatu teori pada pihak antropolog tentang cara suatu kelompok masyarakat
nyatanya bertingkah laku; (6) suatu "gudang untuk mengumpulkan hasil belajar"; (7)
"seperangkat orientasi-orientasi standar pada masalah-masalah yang sedang berlangsung"; (8)
"tingkah-laku yang dipelajari"; (9) suatu mekanisme untuk penataan tingkah laku yang
bersifat normatif; (10) "seperangkat teknik untuk menyesuaikan baik dengan lingkungan luar
maupun dengan orang-orang lain"; (11) " suatu endapan sejarah"; dan mungkin dengan rasa
putus-asa, beralih ke kiasan-kiasan, sebagai sebuah peta, sebuah penyaring, dan sebagai
sebuah matriks.
Manusia adalah seekor binatang yang bergantung pada jaringan-janngan makna yang
ditenunnya sendiri. Saya menganggap kebudayaan sebagai jaringan-jaringan itu, dan analisis

1
atasnya lantas tidak merupakan sebuah ilmu eksperimental untuk mencari hukum melainkan
sebuah ilmu yang bersifat interpretatif untuk mencari makna.
II
Operasionalisme sebagai sebuah dogma metodologis tak pernah diartikan sebegitu
jauh seperti yang dilakukan oleh ilmu-ilmu sosial. Kalau anda ingin memahami ilmu
pengetahuan mesti melhat dalam peristiwa konkret, apa yang dikerjakan oleh para praktisi
ilmu pengetahuan. Dalam antropologi, atau bagaimanapun antropolog sosial, apa yang
dikerjakan oleh para praktisi di lapangan adalah etnografi. Seseorang dalam berkomunikasi
dapat dengan yang sangat persis dan sangat khusus: (1) dengan sengaja, (2) kepada seseorang
yang khusus, (3) untuk menyampaikan sebuah pesan khusus, (4) sesuai dengan sebuah sandi
yang ditetapkan secara sosial, dan (5) tanpa sepengetahuan teman-temannya yang lain.
Seperti begitu banyak cerita pendek yang disukai para filsuf Oxford untuk menghiasi
diri mereka, semua pemberian isyarat, pura-pura memberi isyarat, main pura-pura memberi
isyarat, berlatih main-main pura-pura memberi isyarat ini bisa tampak agak artifisial. Untuk
menambahkan sebuah catatan yang lebih empiris.
Apa yang kita sebut data adalah tafsiran-tafsiran orang lain tentang apa yang dialami
oleh mereka dan rekan-rekan tanah air. Suatu peristiwa khusus diperiksa, seperti: upacara
keagamaan, adat kebiasaan, gagasan, dan pernyataan informan. Struktur-struktur pemaknaan
itu adalah apa yang disebut Ryle sebagai kode-kode tetap. Ungkapan kode-kode tepat ini
agak menyesatkan, karena analisis membuat usaha itu kedengarannya seperti usaha pembaca
sandi atau lebih lagi menyerupai usaha kritik sastra. Selain menata struktur-struktur
pemaknaan, analisis juga menentukan dasar dan makna sosial struktur-struktur itu.
III
Dengan demikian, kebudayaan, atau dokumen tindakan ini, bersifat publik.
Kebudayaan mirip seperti pemberian isyarat yang mengejek atau suatu olok-olok
penggropyokan domba-domba. Meskipun bersifat ideasional, kebudayaan tidak berada dalam
kepala seseorang. Walaupun tidak bersifat fisik, kebudayaan bukanlah sebuah entitas yang
tersembunyi. Hal yang harus ditanyakan tentang sebuah pemberian isyarat mata dengan pura-
pura atau sebuah olok-olok penggropyokan domba domba (a mock sheep raid) bukanlah
status ontologis keduanya.
Dengan disebut macam-macam, seperti: ilmu-etnis, analisis komponensial, atau
antropologi kognitif (suatu kebimbangan dalam peristilahan yang mencerminkan suatu
ketidakpastian yang lebih mendalam), aliran pemikiran ini berpendapat bahwa kebudayaan
tersusun dari struktur-struktur psikologis yang menjadi sarana individu-individu atau
kelompok individu-individu mengarahkan tingkah-laku mereka.
Kebudayaan itu bersifat publik sebab makna bersifat publik. Anda tak bisa memberi
isyarat dengan berkedip (atau berpura-pura memberi isyarat) tanpa mengetahui apa yang
dianggap sebagai pemberian isyarat dengan kedipan mata atau bagaimana secara fisik
menggerakkan kelopak-kelopak mata Anda, dan Anda tak dapat memimpin penggropyokan
domba (atau menggerakkan air muka) tanpa mengetahui apakah itu mencuri seekor domba
dan bagaimana praktisnya melakukannya.
IV
Menemukan kaki-kaki kita adalah apa yang terkandung dalam riset etnografi sebagai
suatu pengalaman pribadi. Bercakap-cakap dengan penduduk asli adalah suatu soal yang
sebagian besar lebih sulit, dan tidak hanya bersangkutan dengan orang-orang asing, daripada
apa yang pada umumnya dikira. “Jika berbicara atas nama orang lain tampak sebagai sebuah

2
proses yang misterius," kata Stanley Caveil, “itu karena berbicara kepada seseorang tak
tampak cukup misterius. Dilihat dengan cara ini, tujuan antropologi adalah perluasan semesta
pembicaraan manusia. Itu tentu bukanlah satu-satunya tujuan. lnstruksi, hiburan, nasihat
praktis, kemajuan moral, dan penemuan susunan alamiah dalam tingkah-laku manusia adalah
tujuan-tujuan lainnya.
Memahami kebudayaan suatu masyarakat adalah memperlihatkan kenormalan mereka
tanpa menyempitkan pada kekhususan mereka. Manuver inilah yang sangat lazim diacu
sebagai "melihat kenyataan dari sudut pandang pelaku". Kita mulai dengan penafsiran-
penafsiran tentang apa yang disampaikan para informan kita, atau memikirkan yang mereka
sampaikan dan lantas menata itu semua.
Singkatnya, tulisan-tulisan antropologis itu sendiri merupakan penafsiran-penafsiran,
dan susunan yang kedua, dan ketiga disingkirkan. Kalau etnografi merupakan lukisan
mendalam dan para etnografer adalah mereka yang membuat lukisan itu, lantas pertanyaan
yang menentukan bagi setiap contoh tentangnya, entah sebuah jurnal singkat atau pun sebuah
monografi berukuran-Malinowski.
V
Kebudayaan paling efektif ditelaah secara murni sebagai sebuah sistem simbolis
dengan mengisolasi unsur-unsurnya, mengkhususkan hubungan-hubungan internal di antara
unsur-unsur itu, dan kemudian mencirikan seluruh sistem dengan cara umum tertentu -
menurut pusat simbol-simbol yang di sekelilingnya kebudayaan ditata, struktur- struktur
dasar dari kebudayaan yang merupakan sebuah ekspresi lahiriah, atau prinsip-prinsip
ideologis tempat ideologi didasarkan. Tingkah-laku harus diperhatikan dengan kepastian
tertentu, karena melalui rentetan tingkah-laku -atau lebih tepat lagi, lewat tindakan sosiallah-
bentuk-bentuk kultural terungkap.
Suatu implikasi lebih lanjut dari hal ini adalah bahwa koherensi tak bisa menjadi tes
keahlian yang utama bagi sebuah paparan kebudayaan. Sistem-sistem kebudayaan tentu
memiliki taraf koherensi yang minimun, apa lagi kita tak akan menyebut sistem-sistem
kebudayaan itu sistem-sistem; dan dengan observasi, sistem-sistem itu biasanya memiliki
sesuatu yang lebih besar lagi.
Situasinya bahkan menjadi lebih sulit, karena, seperti yang telah dicatat, apa yang kita
tuliskan bukanlah perbincangan sosial murni. Karena, berhubung secara sangat marginal atau
sangat khusus, kita bukanlah pelaku-pelaku, kita tidak memiliki akses langsung ke dalam
perbincangan sosial itu, melainkan hanya memiliki akses ke sebagian kecil darinya. Dari
bagian kecil itu para informan kita dapat membimbing kita ke dalam pemahaman. Hal ini
tidak sedemikian menentukan seperti yang disuarakan perbincangan itu dan tak perlulah
mengetahui segala-galanya untuk memahami sesuatu. Namun keterangan ini membuat
pandangan tentang analisis antropologis sebagai manipulasi konseptual tentang fakta-fakta
temuan, atau sebagai sebuah rekonstruksi logis tentang suatu kenyataan murni, tampaknya
agak timpang.
VI
Ada tiga ciri paparan etnografi: paparan itu bersifat interpretatif; apa yang interpretatif
adalah aliran perbincangan sosial; dan menafsirkan antara lain mencoba menyelamatkan apa
yang "dikatakan" dari perbincangan itu dari kesempatan-kesempatannya yang menentukan
dan menetapkannva dalam istilah-istilah yang dapat dibaca dengan cermat. Dua hal yang
utama adalah model "mikrokosmis" Jonesville-is-the USA; dan model "eksperimen alamiah"

3
Easter Island-is-a-testing-case. Entah langit pada segenggam pasir, ataupun pantai-pantai
kemungkinan yang lebih jauh.
Kesesatan penulisan singkat Jonesville-is-America merupakan sesuatu yang
sedemikian jelas sehingga satu-satunya hal yang membutuhkan penjelasan adalah bagaimana
orang-orang telah berhasil mempercayainya dan mengharapkan orang-orang lain untuk
mempercayainya.
Masalah metodologis yang dimunculkan oleh ciri mikroskopis dari etnografi bersifat
baik real maupun kritis. Tetapi masalah itu tidak dapat diselesaikan dengan menganggap
sebuah tempat yang jauh sebagai dunia di dalam sebuah cangkir. Masalah itu dapat
dipecahkan dengan menyadari bahwa tindakan-tindakan sosial merupakan ulasan-ulasan
tentang sesuatu yang lebih besar daripada tindakan-tindakan itu sendiri.
VII
Akhirnya apakah yang membawa kita pada teori? Dosa yang menimpa pendekatan-
pendekatan interpretatif kepada apa saja adalah bahwa semua itu cenderung mempertahankan
artikulasi konseptual dan dengan demikian luput dari bentuk-bentuk penaksiran sistematis.
Pada saat yang sama, haruslah diakui bahwa ada sejumlah ciri penafsiran kebudayaan
yang membuat perkembangan teoretisnva lebih sulit daripada biasanya. Yang pertama adalah
kebutuhan akan teori untuk berada agak lebih dekat lagi pada dasarnya daripada cenderung
menjadi kasus dalam ilmu-ilmu pengetahuan yang lebih dapat memberi dirinya melampaui
abstraksi imajinatif. Hanya penerbangan-penerbangan pendek dari pemikiran metodis dan
pasti (ratiocination) cenderung menjadi efektif dalam antropologi. Penerbangan-penerbangan
yang lebih jauh cenderung melayang-layang ke dalam impian-impian logis, ketakjuban-
ketakjuban akademis terhadap simetri formal.
Demikianlah kita dibawa ke syarat kedua dari teori kebudayaan: teori itu, sekurang-
kurangnya dalam arti sempit istilah itu, tidak bersifat prediktif. Orang yang mendiagnosis
tidak memprediksi campak; ia memutuskan bahwa seseorang menderita campak, atau paling-
paling mengantisipasi bahwa seseorang agaknya akan menderita campak. Namun pembatasan
ini, yang cukup real, biasanya telah disalahpahami maupun dilebih-lebihkan, karena telah
diartikan bahwa penafsiran kebudayaan hanyalah post facto: bahwa, seperti petani dalam
cerita kuno, kita pertama-tama menembak lubang-lubang di pagar dan kemudian melukis
mata banteng di sekelilingnya. Hampir tak dapat disangkal bahwa di sekitarnya ada banyak
hal mencolok. macam itu, beberapa darinya di tempat-tempat yang mencolok.
Pandangan tentang bagaimana teori berfungsi di dalam sebuah ilmu interpretatif
menyarankan bahwa distingsi, yang relatif dalam kasus manapun, yang tampak dalam ilmu-
ilmu eksperimental atau observasional, antara "lukisan" (description) dan "penjelasan"
(explanation) di sini tampak sebagai distingsi, yang bahkan lebih relatif, antara "penulisan"
(inscription) ("lukisan mendalam") dan "spesifikasi” (diagnosis), yaitu antara menuliskan
makna tindakan-tindakan sosial khusus untuk para pelaku yang tindakan-tindakannya ditulis.
Sebuah daftar judul-judul yang amat umum, dibuat-dalam-konsep-konsep akademis
dan sistem-sistem konsep-konsep –"integrasi", "rasionalisasi", "simbol", "ideologi", "etos",
"revolusi", "identitas", "metafor", "struktur", "ritus", "pandangan dunia", "pelaku", "fungsi",
"sakral", dan "kebudayaan" itu sendiri-ditenun menjadi susunan lukisan etnografi yang
mendalam dengan harapan memberikan kefasihan ilmiah atas peristiwa-peristiwa apa adanya.
Tujuannya adalah menarik kesimpulan-kesimpulan umum dari yang khusus, tapi sangat
penuh susunan fakta-fakta dan untuk mendukung pernyataan-pernyataan umum tentang peran

4
kebudayaan dalam pembangunan kehidupan bersama dengan menggunakan pernyataan
pernyataan itu secara pasti dengan seluk beluk yang kompleks.
Hanya penafsiranlah yang menurunkan segala cara ke taraf observasional yang paling
langsung: teori yang menjadi tempat tergantungnya secara konseptual penafsiran seperti itu.
Sikap polos kita dalam melihat “catatan dalam sebuah botol” merupakan sesuatu yang lebih
daripada sebuah lukisan kerangka-kerangka makna dan campur tangan mereka satu sama
lain. Adalah sebuah argument bahwa mengerjakan kembali pola hubungan sosial adalah
merangkai kembali koordinat-koordinat dunia yang alami. Bentuk-bentuk masyarakat
merupakan substansi kebudayaan.
VIII
Ada sebuah cerita India tentang seorang Inggris yang, setelah diberitahu bahwa dunia
terletak di atas sebuah panggung yang terletak di atas punggung seekor gajah yang juga
terletak di atas punggung seekor kura-kura, bertanya (barangkali ia seorang etnografer;
demikianlah cara mereka berkelakuan), terletak di atas apakah kura-kura itu? Kura-kura yang
lain. Dan kura-kura itu? Ah, Sahib, setelah itu adalah kura-kura, kura-kura dan seterusnya.
Begitulah kondisi kenyataan. Analisis budaya secara intrinsik tidak lengkap. Lebih
aparah lagi ialah semakin mendalam analisis itu masuk semakin kurang lengkaplah analisis
itu. Analisis kebudayaan adalah sebuah ilmu yang asing. Faktanya adalah bahwa untuk
melibatkan diri dalam sebuah konsep semiotis tentang kebudayaan dan sebuah pendekatan
interpretatif terhadap studi kebudayaan adalah melibatkan diri dalam sebuah pandangan
tentang pernyataan etnografi.
Sangatlah sulit melihat bila perhatian seseorang dimonopoli oleh sebuah partai
tunggal untuk argumen itu. Monolog-monolog sedikit nilainya di sini, karena tak ada
kesimpulan-kesimpulan yang dapat dilaporkan; yang ada hanyalah sebuah diskusi yang harus
didukung. Sejauh esai-esai yang dikumpulkan di sini memiliki suatu nilai penting, apa yang
dikatakan esai-esai ini kurang daripada apa yang mereka saksikan: pertambahan minat yang
luar biasa, tidak hanya dalam antropologi, namun dalam studi-studi sosial pada umumnya,
dalam peran bentuk-bentuk simbolis dalam kehidupan manusia.
Bahaya di mana analisis kebudayaan, dalam mencari semua kura-kura yang paling
bawah, akan kehilangan persentuhannya dengan permukaan-permukaan keras kehidupan,
yaitu dengan kenyataan-kenyataan politis, ekonomis, yang berlapis-lapis yang di dalamnya di
mana saja orang berada, dan dengan keniscayaan-keniscayaan biologis dan fisis yang terletak
di atas permukaan-permukaan itu, merupakan bahaya yang senantiasa ada. Satu-satunya
pertahanan terhadapnya, dan lantas, terhadap pengubahan analisis kebudayaan menjadi
semacam asketisme sosiologis, adalah pertama-tama melakukan analisis seperti itu pada
kenyataan kenyataan dan keperluan-keperluan itu
Demikianlah bahwa saya menulis tentang nasionalisme, kekerasan, identitas, kodrat
manusia, legitimasi, revolusi, kesukuan, urbanisasi, status, kematian, waktu, dan kebanyakan
dari itu semua tentang usaha-usaha tertentu oleh bangsa-bangsa tertentu untuk menempatkan
hal-hal ini dalam suatu kerangka yang bermakna dan yang dapat dipahami.
Melihat dimensi-dimensi simbolis dari tindakan sosial bukanlah berpaling dari
dilema-dilema kehidupan yang bersifat eksistensial ke bidang kelembagaan tertentu dari
bentuk-bentuk yang dikosongkan dari emosi, melainkan terjun ke tengah-tengah mereka.
Panggilan hakiki antropologi interpretatif bukanlah menjawab pertanyaan-pertanyaan kita
yang terdalam, melainkan menyediakan bagi kita jawaban-jawaban yang telah diberikan

5
orang-orang lain dan lalu mencakup jawaban- jawaban itu di dalam rekaman yang dapat
dikonsultasikan tentang apa yang telah dikatakan orang.

B. BAB II “DAMPAK KONSEP KEBUDAYAAN PADA KONSEP MANUSIA”


I
La Pensee Sauvage, antropolog Perancis Levi-Strausus menyatakan bahwa penjelasan
ilmiah tentang alam pikiran bukan merupakan reduksi dari yang kompleks ke yang
sederhana. Pendapatnya mengatakan pengganti dari suatu kompleksitas yang lebih dapat
dimengerti orang yang kurang memahaminya.
Keelokan tetap merupakan sebuah cita-cita ilmiah yang lazim, tetapi dalam ilmu-ilmu
sosial, keelokan sangat kerap berada dalam keterpisahan dari cita-cita sehingga
perkembangan kreatif terjadi.
Sudah barang tentu studi tentang kebudayaan telah berkembang seolah-olah pepatah
ini sedang diikuti. Munculnya sebuah konsep ilimah tentang kebudayaan sama saja, atau
sekurang kurangnya berhubungan dengan, penggeseran pandangan tentang hakikat manusia
yang dominan dalam Zaman Pencerahan. Pandangan Zaman Pencerahan ini adalah sebuah
pandangan yang, karena apa-apa saja bisa dikatakan untuk menentangnya, bersifat jelas
sekaligus sederhana. Munculnya konsep ilmiah itu juga berhubungan dengan penggantian
pandangan Pencerahan itu dengan sebuah pandangan yang tidak hanya lebih rumit namun
amat kurang jelas. Usaha untuk menjelaskannya, untuk merekonstruksikan sebuah pandangan
yang dapat dipahami tentang apa itu manusia, telah mendasari pemikiran ilmiah tentang
kebudayaan sejak waktu itu. Sesudah mencari kompleksitas dan menemukannya pada sebuah
skala yang lebih besar daripada yang pernah mereka bayangkan, para antropolog terjerat ke
dalam sebuah usaha yang berliku-liku untuk menatanya. Dan akhirnya belum juga tampak.
Pandangan Zaman Pencerahan tentang manusia adalah pandangan bahwa manusia
merupakan keseluruhan dari sebagian kecil alam dan ambil bagian dalam keseragaman umum
dari komposisi yang telah ditemukan di sana oleh ilmu alam, di bawah dorongan Bacon dan
bimbingan Newton. Singkatnya, ada sebuah kodrat manusia yang tersusun secara teratur,
tetap tak berubah, dan luar biasa sesederhana alam semesta Newton. Barangkali beberapa
hukumnya berbeda, namun ada hukum-hukum; barangkali beberapa dari ketakberubahannya
dikaburkan oleh hiasan-hiasan gaya setempat, tetapi hakikat manusia itu adalah tidak
berubah.
Manusia memiliki implikasi-implikasi yang lebih-kurang dapat diterima. Implikasi
yang terutama adalah, mengutip Lovejoy sendiri saat ini, "apa saja yang inteligibilitas,
veriabilitas, atau peneguhan aktualnya terbatas pada manusia-manusia pada zaman, ras,
temperamen, tradisi atau kondisi tertentu.
Gambaran tentang sebuah hakikat manusia yang tetap yang tak tergantung dari waktu
ke waktu, tempat, dan keadaan sekelilingnya, tak tergantung dari studi-studi dan profesi-
profesi mungkin merupakan sebuah ilusi.
Konsep Pencerahan tentang sifat manusia alam memiliki beberapa implikasi yang
kurang dapat diterima, yang utama adalah bahwa, mengutip Lovejoy sendiri kali ini, "apa pun
yang kejelasan, verifikasi, atau penegasan aktualnya terbatas pada orang-orang khusus. usia,
ras, temperamen, tradisi atau kondisi [dalam dan dari dirinya sendiri) tanpa kebenaran atau
nilai, atau di semua acara tanpa mementingkan yang wajar manusia. "Perbedaan yang sangat
besar dan sangat besar di antara pria, dalam keyakinan dan nilai-nilai, dalam adat istiadat dan
lembaga, baik dari waktu ke waktu maupun dari tempat ke tempat, pada dasarnya tidak

6
memiliki arti penting dalam mendefinisikan sifatnya. Ini terdiri dari akresi belaka, distorsi
bahkan, overlay dan mengaburkan apa yang benar-benar manusia-yang konstan, yang umum,
yang universal-in pria.
Keadaan ini luar biasa menyulitkan untuk menarik sebuah garis antara apa yang
alamiah, universal, dan tetap dalam diri manusia dan apa yang konvensional, lokal, dan
berubah-ubah. Dalam kenyataan, keadaan itu menyarankan bahwa menarik garis semacam itu
adalah memfalsifikasi situasi manusia, atau sekurang-kurangnya sungguh-sungguh
menyalahtafsirkannya.
Berbahaya, karena jika salah membuang anggapan bahwa Manusia bermodal"M,"
harus dicari "di belakang", "di bawah", atau "di luar" kebiasaannya dan menggantikannya
dengan gagasan bahwa m an, yang tidak memiliki modal, harus dipandang karena "di"
mereka, seseorang berada dalam bahaya kehilangan pandangan sama sekali. Antara ia
melarutkan, tanpa sisa, ke dalam waktu dan tempatnya, seorang anak dan a tawanan
sempurna di usianya, atau dia menjadi tentara wajib militer di tempat yang luas Tentara
Tolstoian, yang tenggelam dalam salah satu determinisme sejarah yang mengerikan yang
dengannya kami telah diganggu dari depan Hegel. Kita telah memiliki, dan sampai batas
tertentu masih memiliki, kedua penyimpangan ini di ilmu sosial-seseorang berbaris di bawah
panji relativisme budaya, yang lain di bawah evolusi budaya. Tapi kami juga punya, dan
lebih umum, upaya untuk menghindarinya dengan mencari dalam pola budaya sendiri elemen
yang menentukan keberadaan manusia yang, meskipun tidak konstan dalam ekspresi, namun
memiliki karakter yang berbeda.
II
Usaha-usaha untuk menempatkan manusia di tengah-tengah susunan adat
kebiasaannya telah mengambil beberapa arah, memakai taktik yang berbeda-beda. Dalam
konsep ini, manusia adalah susunan "taraf-taraf", masing-masing melapisi taraf-taraf di
bawahnya dan mendasari taraf-taraf diatasnya. Ketika orang menganalisis manusia, orang
mengupas lapisan demi lapisan, masing-masing lapisan itu sempurna dan tak dapat
direduksikan pada dirinya.
Daya tarik konseptualisasi semacam ini, selain menjamin kemandirian disiplin
akademik yang mapan dan kedaulatan, adalah yang tampaknya memungkinkan untuk
dimiliki kue seseorang dan memakannya. Seseorang tidak perlu menegaskan bahwa budaya
manusia adalah semua ada untuk dia dalam rangka untuk mengklaim bahwa itu adalah, tetap,
sebuah penting dan tidak dapat direduksi, bahkan bahan terpenting dalam sifatnya. Kultural
fakta dapat diinterpretasikan dengan latar belakang fakta nonkultural tanpa membubarkannya
ke latar belakang itu atau membubarkan latar belakang itu ke dalam mereka. Manusia adalah
hewan yang bertingkat secara hierarkis, semacam deposit evolusioner, yang definisinya
masing-masing level-organik, psikologis, sosial, dan budaya - memiliki tempat yang
ditugaskan dan tidak dapat disangkal.
Pada taraf riset konkret dan analisis khusus, strategi dasar ini, pertama, adalah
memburu hal-hal yang universal di dalam kebudayaan, karena keseragaman-keseragaman
empiris yang dapat dijumpai di mana saja dalam bentuk yang kira-kira sama di hadapan
keanekaragaman adat-istiadat di seluruh dunia dan di sepanjang zaman. Kedua, strategi dasar
ini adalah berusaha mengaitkan hal-hal universal itu untuk menetapkan tetapan-tetapan
biologi.
Pada hakikatnya, keterangan di atas bukan sebuah gagasan yang sama sekali baru.
Pandangan tentang consensus gentium (sebuah kesepakatan dari semua manusia), yaitu

7
pandangan bahwa ada beberapa hal yang akan disetujui seluruh umat manusia sebagai
sesuatu yang benar, nyata, adil, atau menarik ada dalam zaman Pencerahan dan barangkali
telah ada dalam bentuk tertentu di segala zaman dan iklim.
Alasan pertama belum ditemukannya syarat-syarat ini -bahwa unsur-unsur universal
yang diajukan- merupakan unsur-unsur yang substansial dan tidak kosong atau bukan
kategori- kategori yang hampir kosong -adalah karena alasan itu tak dapat ditemukan. Ada
konflik logis antara menyatakan bahwa, katakanlah, "agama", "perkawinan", atau "milik"
merupakan unsur unsur universal yang bersifat empiris dan memberi unsur-unsur itu sangat
banyak isi khusus. Mengapa? Karena mengatakan bahwa unsur-unsur tadi merupakan unsur-
unsur universal yang bersifat empiris adalah mengatakan bahwa unsur-unsur itu memiliki isi
yang sama, dan mengatakan unsur-unsur itu memiliki isi yang sama menerbangkannya di
hadapan fakta yang tak dapat disangkal bahwa unsur-unsur itu tidak memiliki isi yang sama.
Demikian pula, dengan pandangan apa pun tentang perasaan akan Takdir yang dapat
mencakup di bawah sayapnya baik pandangan-pandangan Navajo dan Trobriand tentang
hubungan-hubungan dewa-dewa dengan manusia. Dan seperti halnya mengenai agama,
demikian juga dengan "perkawinan", "perdagangan" dan yang lain-lainnya, apa yang dengan
tepat disebut A.L. Kroeber "unsur-unsur universal gadungan" (fake universals), yang
diturunkan sedemikian sampai tampak sebagai suatu materi sebagai "tempat bernaung".
Unsur-unsur kebudayaan universal dipahami sebagai tanggapan-tanggapan baku
terhadap kenyataan-kenyataan yang niscaya, cara-cara yang dilembagakan untuk
mengemukakan kenyataan-kenyataan itu.
III
Alasan utama mengapa para antropolog mengelak dari kekhasan-kekhasan kultural
bila sampai pada sebuah persoalan mengenai pendefisian manusia dan malahan melarikan
diri ke unsur-unsur universal yang tak berdarah adalah bahwa mereka dihadapkan dengan
amat banyak variasi tingkah laku manusia.
Bukan apakah fenomena itu secara empiris umumnya merupakan sesuatu yang kritis
dalam ilmu pengetahuan -kalau tidak, mengapa Becquerel sedemikian tertarik pada kelakuan
khusus Uranium? -melainkan apakah fenomena itu dapat dipakai untuk menyingkapkan
proses-proses alamiah yang abadi yang mendasari fenomena itu. Melihat langitdalam
segenggam pasir bukanlah sebuah sulap, hanya para penyair dapat melakukannya.
Kita perlu mencari hubungan-hubungan sistematis di antara berbagai fenomena, tidak
untuk identitas-identitas substantif di antara identitas-identitas yang sama. Dan untuk
melakukan itu dengan sebuah keefektifan, kita perlu mengganti konsep"stratigrafis" tentang
kaitan-kaitan antara berbagai segi eksistensi manusia dengan sebuah konsep yang sintetis;
yaitu suatu konsep di mana faktor-faktor biologis, psikologis, dan kultural dapat diperlakukan
sebagai variabel-variabel di dalam sistem-sistem analisis yang terpadu.
Ada dua gagasn dalam usaha melancarkan integrasi dari sisi antropologis. Pertama,
dari gagasan-gagasan itu adalah bahwa kebudayaan paling baik dilihat tidak sebagai
kompleks-kompleks pola-pola tingkah-laku konkret, misalnya, adat-istiadat, kebiasaan-
kebiasaan, tradisi-tradisi, kumpulan-kumpulan kebiasaan, seperti yang pada umumnya
dilakukan sampai hari ini, melainkan sebagai seperangkat mekanisme-mekanisme kontrol,
yaitu: rencana-rencana, resep-resep, aturan-aturan, instruksi-instruksi (apa yang disebut
sebagai "program program" oleh para ahli komputer), untuk mengatur tingkah laku.

8
Gagasan yang kedua adalah bahwa manusia persis merupakan hewan yang paling
tergantung mati-matian pada mekanisme-mekanisme kontrol di-luar-kulit yang bersifat
ekstragenetis itu, program-program kultural itu, untuk mengatur tingkah-lakunya.
Tak satu pun dari kedua gagasan ini sama sekali merupakan gagasan yang baru; tetapi
sejumlah perkembangan akhir-akhir ini, baik dalam ilmu-ilmu lain (sibernetik, teori
informasi, neurologi, genetika molekuler) telah membuat keduanya dilumpuhkan oleh
pernyataan yang lebih tepat dan juga memberi keduanya sebuah taraf dukungan empiris yang
belum dimiliki sebelumnya. Dan di luar perumusan-perumusan konsep dan peran kebudayaan
dalam kehidupan manusia itu, pada gilirannya, muncullah sebuah definisi tentang manusia
yang tidak terlalu banyak menekankan keumuman-keumuman empiris dalam tingkah-laku,
dari tempat ke tempat dan dari zaman ke zaman.
Satu-satunya kesulitan adalah bahwa saat seperti itu kiranya tak ada. Dengan
perkiraan-perkiraan yang paling mutakhir peralihan ke bentuk kehidupan kultural
menghabiskan beberapa juta tahun bagi genus Homo untuk berkembang; dan dengan
membentang dengan cara itu, peralihan ini meliputi tidak satu pun atau sedikit perubahan-
perubahan genetis yang bersifat sampingan melainkan meliputi serentetan perubahan-
perubahan yang lama, kompleks, dan erat tersusun.
Artinya adalah bahwa kebudayaan, lebih daripada ditambahkan, katakanlah, pada
seekor hewan yang telah selesai atau sebenarnya telah selesai, merupakan unsur, dan unsur
inti, dalam produksi hewan itu sendiri. Pertumbuhan yang perlahan-lahan, mantap, hampir
mirip aliran gletser melalui Zaman Es menggubah keseimbangan tekanan-tekanan seleksi
untuk Homo yang berkembang dengan cara seperti itu sehingga memainkan sebuah peran
pemberi arah utama dalam evolusinya. Penyempurnaan alat-alat, pelaksanaan perburuan yang
terencana dan praktik-praktik pengumpulan makanan, asal-usul organisasi keluarga yang
sesungguhnya, penemuan api, dan yang paling kritis, meskipun sampai kini terlalu sulit untuk
menelusurinya dalam detail, kepercayaan yang semakin besar pada sistem-sistem simbol-
simbol yang bermakna (bahasa, seni, mitos, ritus) untuk orientasi-orientasi, komunikasi, dan
pengendalian diri, semuanya menciptakan bagi manusia sebuah lingkungan baru yang
kemudian harus ia adaptasikan.
Singkatnya, kita ini adalah hewan-hewan yang tidak lengkap atau tidak selesai yang
melengkapi atau menyelesaikan diri melalui kebudayaan - dan tidak melalui kebudayaan
pada umumnya lainkan melalui bentuk-bentuk kebudayaan yang sangat khusus: kebudayaan
Dobua dan Jawa, Hopi dan Italia, kelas-atas dan kelas bawah, akademis dan komersial.
Kemampuan manusia yang besar untuk belajar, kelenturannya, telah sering dikemukakan,
namun apa yang lebih penting adalah ketergantungan ekstremnya pada jenis kegiatan belajat
tertentu, seperti: pencapaian konsep-konsep, pemahaman dan penerapan sistem-sistem makna
simbolis.
Kita hidup, seperti yang dikatakan dengan tepatnya oleh seorang penulis, di dalam
sebuah "kesenjangan informasi". Antara apa yang dikatakan tubuh kita dan apa yang harus
kita ketahui supaya berfungsi, ada suatu ruang kosong yang harus kita isi sendiri, dan kita
mengisinya dengan informasi oleh kebudayaan kita. Perbatasan antara apa yang dikontrol
secara bawaan dan apa yang dikontrol secara kultural dalam tingkah-laku manusia
merupakan perbatasan yang tidak tegas dan samar-samar.
Gagasan-gagasan kita, nilai-nilai kita, tindakan-tindakan kita, bahkan emosi-emosi
kita, seperti sistem saraf kita sendiri, merupakan hasil-hasil kebudayaan, yaitu hasil-hasil
yang diciptakan. Memang hasil-hasil itu berasal dari kecenderungan-kecenderungan,

9
kemampuan-kemampuan, dan disposisi-disposisi yang dengannya kita dilahirkan namun
bagaimanapun juga dibuat. Memahami apa artinya, menangkap apa itu, anda perlu
mengetahui agak lebih banyak daripada ciri-ciri generik batu dan gelas dan perlu mengetahui
agak lebih banyak lagi daripada apa yang biasanya ada pada semua katedral.
Anda juga perlu memahami konsep-konsep khusus tentang hubungan-hubungan
antara Allah, manusia dan arsitektur yang karena semua itu mengatur pembuatannya, sampai
gereja itu terwujud. Hal itu tidak berbeda dengan manusia; mereka pun, satu per satu,
merupakan barang-barang kebudayaan (artifacts).
IV
Pendekatan-pendekatan terhadap definisi hakikat manusia yang diambil oleh zaman
Pencerahan dan yang diambil oleh antropologi klasik memiliki satu hal yang sama: keduanya
pada dasarnya bersifat tipologis. Keduanya berusaha membangun sebuah gambaran tentang
manusia sebagai sebuah model, sebuha arkhetipe, sebuah ide Platonis atau sebuah forma
Aristotelian.
Akan tetapi korbannya sama sekali tak berguna. Tak ada pertentangan antara
pemahaman teoretis umum dan pemahaman tak langsung, antara visi ringkas dan sebuah
mata yang tajam melihat detail. Sebuah teori ilmiah -bahkan ilmu pengetahuan itu sendiri–
harus dinilai, dengan kekuataannya untuk menarik proposisi-proposisi umum dan fenomena
khusus. Jika kita ingin menemukan apa artinya manusia, kita hanya dapat menemukannya
dalam apa artinya manusia-manusia itu: dan manusia-manusia, melampaui hal-hal lainnya,
beraneka-ragam.
Konsep kebudayaan mempunyai dampaknya pada konsep manusia. Bila dilihat sebgai
seperangkat peralatan simbolis untuk mengatur tingkah-laku, sumber-sumber ekstrasomatis
dari informasi, kebudayaan memberikan mata rantai antara secara intrinsik mampu menjadi
apakah manusia dan nyatanya menjadi apakah sebenarnya mereka satu persatu.
Manusia harus didefinisikan tidak dengan kemampuan-kemampuan bawaannya saja,
sebagaimana dilakukan pada Zaman Pencerahan, tidak juga dengan tingkah-laku aktualnya
saja, seperti yang banyak dilakukan ilmu-ilmu sosial kontemporer, melainkan terlebih dengan
kaitan di antara keduanya, yang bagaimanapun yang pertama diubah menjadi yang kedua,
potensi-potensi generisnya terpusat ke dalam penampilan-penampilan khususnya. Dalam
career manusia, dalam perkembangan khas career itulah, kita dapat melihat betapa suramnya
hakikatnya, dan walaupun kebudayaan tak lain kecuali satu unsur dalam menentukan
perkembangan itu, hampir tak kurang pentinglah kebudayaan itu. Karena kebudayaan
membentuk kita sebagai satu spesies demikian pun kebudayaan membentuk kita sebagai
individu-individu yang terpisah. Hal ini, bukan kedirian subkultural yang tak berubah, juga
bukan kesepakatan lintas-budaya yang teguh, adalah apa yang sungguh-sungguh kita miliki
bersama.
Menjadi manusia di sini lantas tidak menjadi Setiap Orang; menjadi manusia adalah
menjadi semacam orang tertentu, dan tentu orang-orang berbeda: "Lain ladang," kata orang
Jawa, "lain belalang." Di dalam masyarakat, perbedaan-perbedaan diakui juga -cara seorang
petani padi menjadi manusia dan orang Jawa berbeda dari cara seorang pegawai sipil
melakukan itu. Ini bukan soal toleransi dan relativisme etis, karena tidak semua cara menjadi
manusia dianggap sama mengagumkan dari kejauhan.
Kita harus turun ke dalam detail, lewat label-label, tipe-tipe metafisi, kesamaan-
kesamaan kosong untuk erat-erat menggapai ciri hakiki dari tidak hanya berbagai
kebudayaan, jika kita ingin menjumpai kemanusiaan dari muka ke muka. Hal itu sama saja

10
dengan mengatakan, seperti pencarian sejati manapun, jalan ada melalui kompleksitas yang
mengerikan.

C. BAB III “PERTUMBUHAN KEBUDAYAAN DAN EVOLUSI PIKIRAN”


I
Konsep “pikiran” telah memainkan sebuah peran ganda yang menarik dalam sejarah
intelektual ilmi-ilmu mengenai tingkah-laku. Mereka yang telah menganggap perkembangan
ilmu-ilmu itu meliputi perluasan linear dari metode-metode fisika ke dalam bidang organis
telah memakai konsep "pikiran" itu sebagai kata-kata iblis. Acuan konsep itu adalah metode-
metode dan teori-teori itu yang tak berhasil mencapai cita-cita yang agak herois tentang
"objektivisme". Istilah-istilah seperti tilikan (insight), pemahaman, pemikiran konseptual,
gambaran, gagasan, perasaan, refleksi, fantasi, dan seterusnya, telah dicap sebagai
mentalistis, "yaitu, dicemari dengan subjektivitas kesadaran", dan menghukum istilah-istilah
itu sebagai sebuah kegagalan yang disayangkan dari usaha ilmiah.
Dalam kenyataan istilah “pikiran” belum berfungsi sebagai sebuah konsep ilmiah
sama sekali melainkan sebagai peralatan retoris, bahkan ketika pemakaiannya dilarang. Lebih
tepat lagi, istilah itu dipakai berkomunikasi dan mengeksploitasi suatu ketakutan.
Pikiran dipikirkan, duduk persoalan ini sama sekali tidak menguntungkan. Mengapa?
Karena sebuah pandangan yang luar biasa bermanfaat dan pandangan yang tak ada tandingan
baginya, yang barangkali menyelamatkan psyche arkhaisnae beralih menjadi sebuah slogan.
Bahkan hal itu lebih tidak menguntungkan karena ketakutan-ketakutan yang telah sedemikian
melumpuhkan istilah pikiran itu sebagian besar tak berdasar. Ketakutan itu adalah gaung-
gaung yang semakin memudar dari perang saudara cemoohan besar antara materialisme dan
dualisme yang dihasilkan oleh revolusi Newtonian.
Mekanismenya, seperti yang dimiliki Ryle dikatakan, adalah momok, karena
ketakutan itu bertumpu pada asumsi bahwa itu entah bagaimana bertentangan untuk
mengatakan bahwa satu kejadian yang sama diatur oleh hukum mekanik dan prinsip moral,
seolah pegolf tidak bisa sekaligus mematuhi hukum balistik, mematuhi aturan golf, dan
bermain dengan keanggunan. Tetapi subjektivisme juga merupakan momok, karena takut
akan hal itu bertumpu pada asumsi yang sama anehnya karena saya tidak bisa tahu apa yang
kau impikan tadi malam, pikirkan sambil menghafal sederetan suku kata yang tidak masuk
akal, atau perasaan tentang doktrin kutukan bayi kecuali Anda memilih untuk memberi tahu
saya, teori apa pun yang mungkin saya lakukan tentang peran mental tersebut fakta bermain
dalam perilaku Anda harus didasarkan pada "antropomorfik" palsu analogi dari apa yang
Saya tahu atau pikir Saya ketahui, tentang peran mereka bermain di milikku. Komentar
pelacur Lashley bahwa "ahli metafisika dan teolog telah menghabiskan begitu banyak tahun
menenun dongeng tentang (pikiran) bahwa mereka menjadi percaya pada fantasi satu sama
lain, "tidak akurat hanya dalam hal itu mengabaikan untuk dicatat bahwa banyak ilmuwan
perilaku telah terlibat dalam jenis autisme kolektif yang sama.
Salah satu metode yang sering diusulkan untuk merehabilitasi pikiran sebagai konsep
ilmiah yang berguna adalah mengubahnya menjadi kata kerja atau participle, pikiran adalah
berpikir (minding). Pikiran adalah reaksi suatu organisme sebagai suatu keseluruhan unit
yang koheren yang membebaskan kita dari perbudakan kata-kata suatu metafisika yang steril
dan melumpuhkan, serta membebaskan kita untuk menabur dan memetik di dalam sebuah
ladang yang akan menghasilkan buah". Tetapi "penyembuhan" ini bertatapan dengan cerita

11
dari bangku sekolah yang tentu saja tidak betul, bahwa "sebuah kata benda adalah sebuah
kata yang memberi nama orang, tempat, atau benda".
Sebuah argumen yang sama diterapkan pada objek-objek. Kita tak akan mengacu,
kecuali secara metaforis, pada babi panggang legendaris yang dibuat orang Cina dengan
menyalakan api tanpa sengaja ke rumahnya sebagai "masakan", meskipun ia memakannya,
karena masakan itu tidak dihasilkan dari pelaksanaan kemampuan mental yang disebut
"pengetahuan masak-memasak". Tetapi kita lalu akan mengacu pada babi macam kedua yang
dibuat orang Cina yang sekarang terdidik dengan membakar habis rumahnya lagi dengan
sengaja, karena masakan itu dihasilkan dari ketrampilan, tak jadi soal betapapun kasarnya.
Putusan-putusan seperti itu, yang bersifat empiris, bisa salah. Seorang laki-laki sungguh
sungguh telah tersandung bila ia berpikir ia sedang membadut saja, atau seekor babi sungguh
sungguh telah dimasak bila kita memikir babi itu hanya terpanggang.
Dalam wilayah penyelidikan barangkali tak ada pengelakan terhadap paradoks-
paradoks buatan yang lebih berguna daripada pengelakan terhadap studi evolusi mental.
Dibebani di masa lalu oleh hampir semua kesesatan antropologis klasik, yaitu: etnosentrisme,
suatu pemusatan perhatian yang berlebihan terhadap keunikan manusia, sejarah yang
direkonstruksi secara imajinatif, suatu konsep superorganis tentang kebudayaan, tahap-tahap
perubahan evolusi yang bersifat a priori, seluruh pencarian asal-usul mentalitas manusia telah
disingkirkan jauh-jauh, atau bagaimanapun juga ditolak.
II
Dua pandangan tentang evolusi pikiran manusia beredar lebih dari setengah abad,
tetapi tidak memadai. Yang pertama adalah tesis bahwa jenis proses-proses pikiran manusia
yang disebut Freud sebagai proses-proses "primer" -substitusi, pembalikan, kondensasi, dan
seterusnya- secara filogenetis mendahului proses-proses yang disebut sebagai proses proses
"sekunder"- yang terarah, tersusun logis, penalaran, dan seterusnya." Dalam batas-batas
antropologi, tesis ini didasarkan pada pengandaian bahwa mungkinlah dengan mudah
mengidentifikasi pola-pola kebudayaan dan bentuk-bentuk pemikiran.
Dalam reaksinya pada jaringan kesalahan-kesalahan ini muncullah pandangan kedua
tentang evolusi mental manusia. Pandangan itu mengatakan bahwa tidak hanya keberadaan
pikiran manusia dalam bentuk modernnya secara hakiki merupakan sebuah prasyarat bagi
kemahiran kebudayaan, melainkan juga pertumbuhan kebudayaan pada dirinya sendiri telah
ada tanpa makna apa pun bagi evolusi mental.
Mengenai teori titik kritis tentang penampakan kebudayaan, didalilkan bahwa
perkembangan kemampuan untuk memperoleh kebudayaan adalah sesuatu yang mendadak,
semacam kejadian yang meliputi segalanya atau tidak sama sekali dalam biogenesis dari
primat-primat. Pada saat khusus tertentu dalam sejarah baru dari hominidisasi yang tak
terulang lagi, terjadilah sebuah perubahan organis yang menentukan, namun dalam arti-arti
genetis atau anatomis mungkin kecil. Perubahan itu agaknya dalam struktur korteks. Dalam
perubahan itu, seekor binatang yang orangtua-orangtuanya belum cenderung "untuk
berkomunikasi, belajar dan mengajar, membuat generalisasi dari rantai tak berujung dari
perasaan-perasaan dan sikap-sikap tertentu" itu menjadi sedemikian cenderung memiliki
kemampuan-kemampuan itu dan "bersamaan dengan itu ia mulai dapat bertindak sebagai
seorang penerima dan pengirim dan mulai akumulasi itu yang adalah kebudayaan.
Paradoks merupakan tanda kesalahan yang ada dalam kalimat yang mendahului, fakta
bahwa salah satu dari akibat-akibat wajarnya tampaknya sahih sedang yang lainnya tidak
menyarankan bahwa tesis yang menganut evolusi mental dan akumulasi kultural sebagai dua

12
proses yang sama sekali terpisah. Yang pertama yang pada hakikatnya telah dilengkapi
sebelum yang lain mulai, itu sendiri tidak betul. Dan kalau ini soalnya, menjadi pentinglah
menemukan cara tertentu di mana kita dapat melepaskan diri kita dari tesis semacam itu tanpa
sekaligus menghancurkan ajaran tentang kesatuan fisik Dengan tidak adanya ajaran itu "kita
harus membuang kebanyakan dari sejarah, antropologi dan sosiologi ketumpukan kertas dan
mulai lagi dengan penafsiran genetis psikosomatis atas manusia dan varietas-varietasnya.
Kita perlu dapat menyangkal hubungan penting apa pun antara prestasi kultural dan
kemampuan mental bawaan yang ada di masa kini, maupun meneguhkan hubungan macam
itu di masa lalu.
Dalam kenyataan, kaitan timbal-balik yang kreatif antara fenomena somatis dan
ekstrasomatis macam ini tampaknya sangat penting dalam seluruh kemajuan primat. Bahwa
primat-primat infrahominid dapat dikatakan memiliki kebudayaan sejati "sistem susunan
makna dan simbol-simbol yang dengannya individu-individu mendefinisikan dunia mereka,
mengungkapkan perasaan-perasaan mereka dan membuat putusan-putusan mereka". Tetapi
bahwa kera-kera dan monyet-monyet benar-benar mahluk-mahluk sosial sehingga tak dapat
mencapai kematangan emosional dalam isolasi, sehingga memperoleh sebagian besar
kemampuan-kemampuan penampilannya yang terpenting melalui belajar dengan meniru, dan
sehingga memperkembangkan tradisi-tradisi sosial kolektif yang beraneka ragam yang unik
yang diteruskan sebagai suatu warisan nonbiologis dari generasi ke generasi sekarang
diyakini dengan mantap.
III
Perkembangan-perkembangan yang membesarkan hati dalam ilmu-ilmu tingkah laku
adalah usaha yang ada sekarang ini dari psikologi fisiologis untuk menyadarkan dirinya dari
keterpesonaannya yang sudah berlangsung lama dengan keheranan terhadap lengkungan
refleks. Dewasa ini tekanannya adalah pada suatu konstruksi yang lebih dapat diverifikasi:
konsep tentang pola yang ritmis, spontan, dan terpusat dari kegiatan syarat yang padanya
konfigurasi-konfigurasi rangsangan periferis dilapiskan dan yang suatu muncul organisme
darinya aktif dan didukung perintah. Maju tertutup anatomi dari Cayal dan de No, pengaruh
baru ini menekankan cara di mana proses proses yang terjadi terus menerus baik dari otak
maupun kumpulan-kumpulan syaraf menyeleksi perintah-perintah, meneguhkan pengalaman-
pengalaman, dan menata tanggapan tanggapan sehingga menghasilkan pola tingkah-laku
yang dimodulasikan secara halus.
Salah satu ciri perkembangan filogenetik adalah bertambah banyaknya bukti tentang
apa yang dikenal dalam beberapa lingkungan sebagai kehendak bebas; waktu saya masih
mahasiswa juga diacu sebagai Hukum Harvard, yang menegaskan bahwa binatang mana pun
yang dilatih dengan baik, dengan stimulasi terkontrol, akan melakukan atau tidak melakukan
sesuatu menurut rasa nikmat. Sebuah perumusan yang lebih ilmiah adalah bahwa binatang
yang lebih tinggi kurang terikat pada rangsangan.
Kerja sistem syaraf pusat merupakan persoalan hirarkhis yang di dalamnya fungsi
fungsi pada taraf-taraf yang lebih tinggi tidak langsung berhadapan dengan unit-unit
struktural akhir, seperti sel-sel syaraf atau unit-unit penggerak, melainkan beroperasi dengan
mengaktifkan pola-pola yang lebih rendah yang memiliki kesatuan strukturalnya sendiri yang
relatif otonom. Yang sama juga benar menyangkut in put sensoris yang tidak
memproyeksikan dirinya ke bawah saluran sel-sel syaraf yang paling ujung, melainkan
beroperasi dengan menghasilkan, mendistorsikan, dan bagaimanapun memodifikasikan pola-
pola koordinasi pusat yang ditampilkan yang ada sebelumnya yang pada gilirannya lantas

13
menyebabkan distorsi-distorsi atas pola-pola bawah dari perbuatan (effection) dan seterusnya.
Hasil akhirnya lalu adalah hasil dari gerak hirarkhis ke bawah dari distorsi-distorsi dan
modifikasi-modifikasi dari pola-pola perangsangan (excitation) yang bagaimanapun
merupakan tiruan-tiruan (replicas) dari input itu. Struktur input itu tidak menghasilkan
struktur output, melainkan hanyalah memodifikasi kegiatan-kegiatan intrinsik syaraf yang
memiliki suatu organisasi strukturalnya sendiri.
Pada binatang-binatang tak bertulang belakang yang lebih tinggi (crustacea, dst),
saluran-saluran yang rumit, potensi-potensi synaptis yang berjenjang-jenjang, dan tanggapan-
tanggapan yang cepat semua tampak membiarkan kontrol perintis jalan yang persis atas
fungsi-fungsi internal seperti munculnya binatang-binatang bertulang belakang yang lebih
rendah.
Bullock menyetujui bahwa sistem-sistem syaraf binatang-binatang yang lebih tinggi
dan manusia memperlihatkan perbedaan-perbedaan yang tidak penting dalam arti
mekanisme-mekanisme atau arsitektur neurolofisiologis yang diketahui, dengan tajam
mempertanyakan sudut pandang ini. Ia juga berpendapat bahwa ada sebuah kebutuhan yang
mendesak untuk mencari parameter-parameter yang belum ditemukan dari berfungsinya
syaraf, “taraf-taraf relasi-relasi fisiologis yang muncul di antara sel-sel syaraf dalam massa-
massa,” untuk memperhitungkan kehalusan-kehalusan tingkah-laku dalam organisme-
organisme yang maju.
Segi yang paling mencolok dari kontroversi ini adalah kenyataan bahwa kedua pihak
tampaknya agak kurang enak dan secara samar-samar kecewa dengan versi-versi yang tidak
dicampurkan dari argumen mereka sendiri. Pada taraf itu argumen mereka tampaknya tidak
sama sekali masuk akal bahkan bagi mereka sendiri. Di satu pihak, ada sebuah pengakuan
bahwa ciri persis hubungan antara ukuran otak dan kompleksitas tingkah-laku memang tidak
jelas dan beberapa keberatan sotto voce mengenai "spesifikasi sekunder". Di lain pihak, teka-
teki terbuka mengenai tak adanya mekanisme-mekanisme baru yang jelas dalam sistem-
sistem syaraf yang maju dan sebuah bisikan yang memberi harapan tentang "ciri-ciri yang
muncul". Sebenarnya ada sebuah persetujuan bahwa pelacakan perkembangan dalam
kemampuan mental binatang menyusui semata-mata dan hanya sampai pertambahan besar-
besaran dalam populasi sel-sel syaraf merupakan kepercayaan yang belum teruji.
Demikianlah, dalam paradoks yang mencolok, suatu otonomi yang makin besar,
kompleksitas hirarkis, dan pemerintahan kegiatan sistem syaraf pusat terus menerus
tampaknya berjalan bersama dengan sebuah determinasi yang kurang sepenuhnya terinci dari
kegiatan semacam itu dengan struktur sistem syaraf pusat dalam dan dari dirinya sendiri,
yakni, secara intrinsik. Semua itu menyarankan bahwa beberapa dari perkembangan-
perkembangan
yang paling penting dalam evolusi syaraf yang terjadi selama periode tumpang tindih antara
perubahan biologis dan sosiokultural dapat menjadi penampilan ciri-ciri yang memperbaiki
kemampuan penampilan sistem syaraf pusat tapi mengurangi kecukupan-diri fungsionalnya.
Berpikir sebagai tindakan publik yang terbuka yang menyangkut manipulasi bahan-
bahan objektif barangkali bersifat fundamental bagi umat manusia; dan berpikir sebagai
tindakan privat yang tertutup dan tanpa bantuan bahan-bahan semacam itu merupakan suatu
kemampuan perolehan, walaupun bukannya tidak bermanfaat. Seperti yang diperlihatkan
observasi tentang bagaimana anak-anak sekolah belajar berhitung, angka-angka yang
ditambahkan dalam kepala anda sebenarnya merupakan pelaksanaan mental yang lebih rumit

14
daripada menambahkan angka-angka itu dengan secarik kertas dan sebatang pensil, dengan
sebuah sempoa, atau dengan menghitung, piggy- fashion, jari-jari tangan dan kaki.
Membaca keras-keras adalah sebuah prestasi yang lebih elementer daripada membaca
untuk diri sendiri, kemampuan yang terakhir ini sebenarnya hanya muncul dalam Abad
Pertengahan. Dan sebuah pokok yang sama tentang percakapan telah sering dibuat. Kecuali
dalam segi-segi kita yang kurang naif, kita seperti perempuan tua kecilnya Forester: kita tak
tahu apa yang kita pikirkan sampai kita menyaksikan apa yang kita katakana.
Berpikir dengan membayangkan tak lebih dan tak kurang daripada membangun
sebuah gambaran tentang lingkungan, memajukan model itu lebih cepat daripada lingkungan
itu, dan meramalkan bahwa lingkungan itu akan bertingkah-laku seperti yang dilakukan
model itu. Langkah pertama dalam pemecahan suatu masalah merupakan bangunan sebuah
model atau gambaran tentang "ciri-ciri yang relevan".
Akan tetapi berkebalikan dengan apa yang secara agak simplistis ditunjukkan oleh
contoh-contoh ini, tercapainya kehidupan emosional yang dapat berjalan, diatur dengan baik,
dan diartikulasikan dengan jelas dalam diri manusia bukan sekadar soal kontrol instrumental
yang cerdik, semacam rekayasa hidraulis yang cerdik atas afeksi. Hal itu terlebih adalah soal
memberi bentuk khusus, eksplisit pada aliran penginderaan terus menerus yang menyebar,
dan umum. Ini adalah soal menentukan pergeseran-pergeseran terus menerus ke arah mana
kita secara inheren berada di bawah susunan yang dapat diketahui dan bermakna. Dengan
demikian, kita tidak hanya dapat merasakan tapi juga mengetahui apa yang kita rasakan dan
lakukan.
Dalam konteks ini tugas mental kita bergeser dari pengumpulan informasi tentang
pola peristiwa-peristiwa dalam dunia luar per se ke arah penentuan makna afektif, masukan
emosional dari pola-pola peristiwa itu. Kita tidak memusatkan diri pada pemecahan masalah-
masalah, melainkan pada penjernihan perasaan-perasaan. Bagaimana pun juga, adanya
sumber-sumber kebudayaan, sistem simbol-simbol publik yang memadai, benar-benar hakiki
bagi proses macam ini karena proses ini menyangkut proses penalaran direktif.
Kita memperkembangkan kemampuan untuk merasakan kekhitmatan yang khusuk
dalam gereja. Seorang anak menghitung jari-jarinya sebelum ia menghitung "dalam
kepalanya", dan ia merasakan cinta pada kulitnya sebelum ia merasakannya "dalam hatinya".
Tidak hanya gagasan-gagasan, tetapi juga emosi-emosi, merupakan barang-barang
kebudayaan dalam diri manusia.
IV
Istilah "pikiran" mengacu pada seperangkat disposisi-disposisi tertentu dari suatu
organisme. Kemampuan berhitung adalah ciri mental; demikian juga kegembiraan yang tak
kunjung hilang; dan demikian juga kerakusan. Oleh karena itu masalah evolusi pikiran itu
bukanlah sebuah isu yang keliru yang dihasilkan oleh sebuah metafisika yang disalahpahami.
Evolusi pikiran juga bukan persoalan yang keliru dari penemuan jiwa yang tak kelihatan yang
ditambahkan di atas materi organis pada titik tertentu dalam sejarah kehidupan. Masalah
evolusi pikiran adalah soal penelusuran perkembangan kemampuan-kemampuan, kecakapan-
kecakapan, kecenderungan-kecenderungan dan kecondongan-kecondongan tertentu dalam
organisme dan menggambarkan faktor-faktor atau tipe-tipe faktor-faktor yang menyebabkan
adanya ciri-ciri itu.
Riset mutakhir dalam antropologi menyarankan bahwa pandangan yang lazim bahwa
disposisi menyarankan mental manusia bahwa secara genetis mendahului kebudayaan dan

15
bahwa kemampuan-kemampuan aktualnya merupakan perluasan dan perpanjangan dari
disposisi-disposisi yang telah ada sebelumnya.
Penerapan dari pandangan evolusi manusia yang telah direvisi ini membawa pada
hipotesis bahwa sumber-sumber kultural adalah bahan, bukan tambahan, pada pikiran
manusia. Ketika orang bergerak secara filogenetis dari binatang-binatang yang lebih rendah
ke yang lebih tinggi, tingkah-laku dicirikan dengan sesuatu yang makin tak dapat diramalkan
dengan acuan terhadap rangsangan-rangsangan yang ada. Ini adalah suatu kecenderungan
yang jelas didukung secara fisiologis oleh suatu kompleksitas dan pengendalian yang
semakin besar dari pola-pola pemusatan dari kegiatan syaraf.
Sampai pada taraf hewan-hewan menyusui yang lebih rendah, sekurang-kurangnya
sebagian besar dari pertumbuhan wilayah-wilayah pusat yang otonom dapat diperhitungkan
sebagai perkembangan mekanisme-mekanisme saraf yang baru. Tetapi pada binatang-
binatang menyusui yang lebih tinggi mekanisme-mekanisme baru seperti itu belum
ditemukan. Walaupun pertambahan jumlah saja dari sel-sel syaraf dengan sendirinya dapat
membuktikan berseminya kemampuan mental dalam diri manusia, fakta bahwa otak besar
manusia dan kebudayaan manusia yang muncul bersamaan dengannya, tidak secara beruntun,
menunjukkan bahwa perkembangan-perkembangan yang paling mutakhir dalam
evolusistruktur syaraf munculnya mekanisme-mekanisme yang membiarkan kelangsungan
wilayah-wilayah utama yang lebih kompleks dan membuat determinasi penuh atas wilayah-
wilayah ini menurut parameter-parameter intrinsik (bawaan) yang makin lama makin
mustahil.
Para penganut isolasionisme mengklaim isi kebudayaan, organisasi sosial, tingkah-
laku individu, atau fisiologi syaraf sebagai sistem tertutup, meskipun sebaliknya, ada
kemajuan dalam analisis ilmiah tentang pikiran manusia yang sebenarnya memerlukan kerja
sama dari ilmu-ilmu tingkah laku. Penemuan-penemuan masing-masing ilmu itu akan
menguatkan penaksiran teoretis kembali terus menerus atas semua ilmu yang lain.

D. BAB IV “PIKIRAN PRIMITIF: CATATAN UNTUK CLAUDE LEVI-STRAUSS”


I

Bagi antropolog, teka-teki senantiasa bersama dengannya. Hubungan pribadinya


dengan objek studinya yang barangkali lebih dekat daripada segala ilmuwan yang lainnya,
tak bisa tidak bersifat problematis. Dengan mengetahui apa yang ia pikirkan tentang apa itu
orang biadab, ada mempunyai kunci ke dalam karyanya. Anda mengetahui apa yang ia
pikirkan mengenai dirinya sendiri. Semua etnografi sebagian adalah filsafat, dan sebagian
besar adalah pengakuan.
Dalam kasus Claude Levi- Straususs, Profesor Antropologi Sosial di College de
France menyusun unsur-unsur spiritual dari pemaparan yang luar biasa sulitnya. Dia
mengabdikan diri untuk umat manusia dalam pengetahuan. Seperti kerikil yang menandai
permukaan gelombang dengan lingkaran-lingkaran ketika tercemplung ke dalamnya, dia
mesti menceburkan diri ke dalam air itu kalau mau mengukur kedalaman.
Barangkali tak ada yang sedemikian keliru mengenai usaha ini, tetapi, seperti dengan
Marx, baiklah diiingat, kalau-kalau suatu sikap terhadap hidup mau diambil untuk sebuah
paparan sederhana tentangnya. Setiap orang mempunyai hak untuk menciptakan orang
biadabnya argumen sendiri demi tujuan-tujuannya sendiri. Barangkali setiap melakukannya.
Tetapi membuktikan bahwa orang biadab yang dibuat semacam itu berhubungan dengan

16
orang-orang Aborigin Australia, Suku-suku Afrika, atau orang-orang Indian Brazilia adalah
soal yang berlainan sama sekali.
Dimensi-dimensi spiritual dari perjumpaan Levi-Strauss dengan objek studinya, yaitu
dimensi yang menyelundup pada orang-orang biadab yang dimaksudkan untuknya secara
pribadi, khususnya mudah ditemukan, karena ia telah merekam mereka dengan kefasihan
melukiskan dalam sebuah karya. Walaupun sangat jauh dari sebuah buku antropologi yang
besar, atau malah sebuah yang luar biasa bagus, karya tersebut tentu merupakan salah satu
dari buku-buku terbagus yang pernah ditulis oleh seorang antropolog. Yang dimaksud adalah
Tristes Tropiques. Desainnya ada dalam bentuk standar legenda Petualangan Herois.
Tak ada peninggalan dari Taman duniawi itu kecuali puing-puingnya. Hakikatnya
sudah diubah dan telah menjadi "historis sekaligus abadi, dan sosial sekaligus metafisis."
Suatu ketika petualang itu menemukan kebudayaan-kebudayaan yang sama sekali berbeda
dari kebudayaannya sendiri yang menghadangnya di ujung perjalanannya. Kini ia
menemukan tiruan-tiruan lebih buruk dari kebudayaannya, didirikan di sana-sini oleh
peninggalan-peninggalan suatu masa silam yang dilupakan. Tidaklah mengejutkan bahwa ia
merasa Rio mengecewakan. Proposisi-proposisi itu semuanya keliru. Sugar Loaf Mountain
terlalu kecil, teluk ditempatkan di jalan yang keliru di sekelilingnya, bulan tropis tampaknya
dipenuhi dengan hanya pondok-pondok dan bungalow-bungalow yang didirikan.
Tak ada orang-orang Indian sejati atau juga orang-orang biadab sesungguhnya,
"mereka merupakan sebuah contoh sempurna dari kesengsaraan masyarakat yang menjadi
semakin merajalela dalam pertengahan kedua abad kedua-puluh ini; mereka adalah "orang-
orang biadab terdahulu dan segera setelah mereka tidak lagi merupakan 'sebuah bahaya bagi
masyarakat', peradaban tidak lagi meminati mereka." Bagaimanapun juga, perjumpaan itu
instruktif, seperti semua prakarsa, karena mereka membebaskannya dari "pandangan
sederhana dan puitis tentang apa yang tersedia untuk kita yang biasa bagi semua pemula
dalam antropologi," dan dengan demikian mempersiapkannya berkonfrontasi dengan
objektivitas yang lebih besar dari orang orang Indian yang kurang "rancu" yang dengannya ia
harus melakukannya kemudian.
Ada empat kelompok, masing-masing sedikit lebih jauh ke dalam rimba, sedikit lebih
tak tersentuh, sedikit lebih menjanjikan kejelasan akhir. Caduveo di Paraguay tengah
menimbulkan rasa ingin tahunya karena tato-tato pada badan mereka yang melukiskan desain
desain yang ia pikir dapat melihat sebuah lukisan formal dan organisasi sosial asli mereka,
segera selanjutnya sebagian besar hancur. Orang Baroro, yang lebih dalam ke dalam hutan,
agak lebih utuh.
Dengan harapan-harapan besar seperti itu lalu sampailah sebagai kekecewaaan yang
dalam bahwa lebih daripada menyediakan sebuah visi murni tentang keprimitivan, orang-
orang biadab terakhir ini secara intelektual terbukti tak terpahami, melampaui penangkap
dalam arti harfiah sungguh tak bisa berkomunikasi dengan mereka.
Pada akhir pencarian yang menanti bukanlah pemecahan melainkan sebuah teka-teki.
Antropolog itu tampaknya mengutuki entah kepada perjalanan di antara orang-orang yang
dapat ia mengerti persis karena kebudayaannya sendiri telah menodai mereka, meliputi
mereka dengan "kotoran, kotoran kita, yang telah kita buang di hadapan kemanusiaan atau di
antara mereka yang, tidak begitu dinodai, karena alasan itu sebagian besar tak dapat dipahami
baginya. Atau ia seorang pengembara diantara orang-orang yang benar-benar biadab yang
kelainannya yang sangat itu mengisolasi kehidupannya dari kehidupan mereka atau ia adalah
seorang wisatawan nostalgis yang "bergegas-gegas mencari sebuah kenyataan yang lenyap...

17
seorang arkheolog ruang, yang mencoba sia-sia untuk mengemukakan kembali Bersama
gagasan tentang hal-hal yang eksotik dengan pertolongan sebuah unsur di sini dan sebuah
potongan puing-puing di sana.
II
La Pensee Sauvage sebenarnya bertolak belakang dari sebuah gagasan yang pertama
kali dikemukakan dalam Tristes Tropique berkenaan dengan Caduveo dan tato-tato
sosiologisnya. Tugas etnolog adalah memaparkan pola-pola lahiriah sebaik yang ia dapat.
Tujuannya adalah untuk menetapkan kembali struktur-stuktur yang lebih dalam yang mereka
bangun, dan untuk mengelompokkan struktur-struktur itu. Sesekali struktur-struktur itu
ditetapkan kembali ke dalam sebuah skema analitis. Skema itu agak mirip daftar periodik
unsur-unsur dari Mendeleev. Setelah itu "segala yang akan tertinggal bagi kita untuk
dikerjakan kiranya adalah mengetahui [struktur-struktur] itu yang sebenarnya telah diadopsi
oleh masyarakat-masyarakat [khusus]." Antropologi jelas merupakan satu-satunya studi
tentang adat-istiadat, kepercayaan-kepercayaan, atau pranata-pranata. Pada dasarnya
antropologi adalah studi tentang pikiran.
Dalam La Pensee Sauvage pandangan yang utama -bahwa dunia alat-alat konseptual
yang tersedia bagi orang biadab tertutup dan ia harus bekerja dengannya untuk membuat
bentuk-bentuk kultural apapun yang ia buat- tampil kembali secara tersamar dari apa yang
oleh Levi-Strauss disebut "ilmu pengetahuan tentang yang konkret". Orang-orang biadab
menyusun model-model kenyataan tentang dunia alamiah, tentang diri, masyarakat. Akan
tetapi mereka melakukan itu tidak seperti yang dilakukan para ilmuwan modern dengan
mengintegrasikan proposisi-proposisi abstrak menjadi sebuah kerangka-kerja teori formal,
dengan mengorbankan kelangsungan unsur-unsur yang ditangkap demi kekuatan penjelas
dari sistem- sistem konseptual yang digeneralisasikan, melainkan dengan menata unsur-unsur
yang ditangkap menjadi keseluruhan yang dapat langsung dimengerti.
Pola-pola itu terdiri dari disposisi potongan-potongan vis -a- vis satu sama lain (yaitu,
pola-pola itu adalah sebuah fungsi dari hubungan-hubungan di antara potongan-potongan
lebih daripada ciri-ciri individualnya yang dianggap terpisah-pisah). Dan jangkauan
perubahan-perubahan yang mungkin secara ketat ditentukan oleh konstruksi kalaeidoskop itu,
hukum internal yang mengatur operasinya. Dan demikian pun dengan pikiran biadab.
Karena bersifat anekdotis maupun geometris, pikiran biadab membangun struktur-struktur
koheren dari bekas-bekas yang ditinggalkan dari proses-proses psikologis atau historis.
Perhatikanlah totemisme. Meski lama dianggap sebagai sebuah pranata yang otonom,
terpadu, semacam pemujaan alam yang bersifat primitif yang harus dijelaskan menurut salah
satu teori mekanis yang bersifat evolusionis, fungsionalis, psikoanalitis, utilitarian, bagi
LeviStrauss totemisme hanyalah sebuah kasus khusus dari seluruh kecenderungan untuk
membangun skema-skema konseptual dari gambaran-gambaran khusus.
Dalam totemisme, suatu kesejajaran logis didalilkan (secara sangat bawah-sadar)
antara dua seri, satu alamiah dan satu kultural. Susunan perbedaan-perbedaan di antara
istilah-istilah di sisi kesejajaran itu sama bentuknya dengan susunan perbedaan-perbedaan di
antara istilah-istilah di sisi lainnya.
Para ahli linguistik struktural bagaimanapun enggan untuk mempersoalkannya kecuali
dalam penelitian historis. Hanya bila bahasa disusun, dengan aturan-aturan tata-bahasa dan
sintaksis, menjadi ucapan-ucapan, yakni rangkaian-rangkaian ujaran yang membentuk
proposisi-proposisi, makna muncul dan komunikasi menjadi mungkin. Dan dalam bahasa pun
susunan pengarah, yaitu: ur-sistem bentuk-bentuk untuk mengocok unit-unit yang berlainan

18
ini sehingga dapat mengubah suara menjadi ucapan, ada di bawah sadar. Hal itu merupakan
sebuah struktur yang mendalam yang disusun kembali seorang linguis dari manifestasi-
manifestasi lahiriahnya. Orang bisa menjadi sadar akan kategon-kategon gramatikalnya
dengan membaca traktat-traktat linguistis persis seperti orang dapat menjadi sadar akan
kategori-kategori kulturalnya dengan membaca traktat-traktat etnologisnya.
Oposisi-oposisi berpasangan, yakni: perbedaan dialektis antara plus dan minus yang
telah disumbangkan teknologi komputer untuk lingua franca ilmu pengetahuan modern,
membentuk basis pikiran biadab sebagaimana dilakukannya untuk bahasa. Dan memang
inilah yang membuat semua itu menjadi bentuk-bentuk hal yang sama yang pada dasarnya
berbeda beda, yaitu: menjadi sistem-sistem komunikasi-komunikasi.
Dengan terbukanya pintu ini segalanya menjadi mungkin. Tidak hanya logika
klasifikasi-klasifikasi totemis melainkan logika skema klasifikatoris seluruhnya, seperti:
taksonomi-taksonomi tetumbuhan, nama-nama pribadi, geografi-geografi keramat,
kosmologi-kosmologi, gaya-gaya rambut di antara orang-orang Indian Omaha, atau motif-
motif desain pada pemburu-pemburu banteng Australia, en principe dapat disingkapkan.
Karena mereka selalu menelusuri sampai ke oposisi mendasar dari pengertian-pengertian
yang berpasangan,
misalnya: tinggi dan rendah, kanan dan kiri, perang dan damai, dan seterusnya, diungkapkan
dalam gambaran-gambaran konkret, konsep-konsep yang gamblang, "melampaui itu, karena
alasan-alasan intrinsik, sia-sia dan mustahillah pergi".
Skema-skema dan struktur-struktur itu ditunjukkan dapat saling diasalkan satu dari
yang lain dengan operasi-operasi logis, misalnya: inversi, transposisi, substitusi. Yang
dimaksud adalah segala macam perubahan sistematis persis seperti mengubah sebuah kalimat
Inggris menjadi titik-titik dan tanda-tanda pisah dari kode Morse atau menggubah sebuah
ekspresi matematis menjadi pelengkapnya dengan mengubah semua tanda.
Esai-esai itu adalah praktik "penafsiran kedalaman" yang tak cukup mudah
dihubungkan begitu saja bahkan untuk membuat suatu psychoanalyst blush. Semua ini sangat
cerdik. Kalau sebuah model masyarakat yang "abadi dan universal" dapat dibangun dari
puing puing masyarakat-masyarakat yang telah dan sedang mati - sebuah model yang
mencerminkan bukan waktu, atau ruang, atau keadaan melainkan" suatu ekspresi langsung
dari struktur pikiran"- lantas hal ini mungkin merupakan cara yang baik untuk
membangunnya.
III
Apa yang dibuat Levi-Strauss untuk dirinya adalah sebuah mesin kebudayaan yang
keji. Mesin itu melenyapkan sejarah, mereduksi sentiment ke suatu bayang-bayang intelek,
dan mengganti pikiran-pikiran khas dari orang-orang biadab tertentu pada khususnya orang-
orang rimba dengan Pikiran Biadab yang tetap ada dalam diri kita semua.
Ilmu Pengetahuan Tinggi La Pensee Sauvage dan Penelitian Herois Tristes
Tropicjues, pada dasarnya, tak lain kecuali transformasi-transformasi yang amat sederhana
satu sama lain. Keduanya adalah ekspresi-ekspresi yang berbeda dari struktur mendalam yang
sama yang mendasarinya, yaitu: rasionalisme universal Pencerahan Prancis.
Seperti Rousseau, penelitian Levi-Strauss tidak untuk semua manusia, yang tidak
banyak dipedulikannya, melainkan untuk Manusia, yang mempesonakannya. Seperti dalam
Pensee Sauvage dan dalam TristesTropiques, intan dalam teratailah yang dicarinya. Dasar tak
tergoyahkan dari masyarakat manusia" tidak sungguh-sungguh bersifat sosial sama sekali

19
melainkan psikologis-suatu pikiran yang rasional, universal, abadi, dan lantas (dalam tradisi
besar moralisme Prancis) saleh.
Kesimpulan-kesimpulan filofosis yang diikuti Levi-Strauss dari dalil bahwa orang-
orang biadab hanya bias dimengerti dengan mementaskan kembali proses-proses pikiran
mereka dengan peninggalan kebudayaan-kebudayaan mereka berarti suatu versi yang
dikondisikan secara teknis kembali dari moralisme Rousseaunian.
Zaman terbaik -tapi bukan dalam arti sempurna- untuk manusia adalah zaman neolitik
(yakni, zaman post-agrikultural, praurban). Zaman itu disebut Rousseau (yang, berlawanan
dengan stereotipe biasa darinya, bukanlah seorang primitivis) societe naissante. Karena lalu
mentalitas ini berkembang, menghasilkan, dari "ilmu pengetahuan tentang hal-hal
konkret"nya, seni-seni peradaban itu, seperti: pertanian, peternakan hewan, pecah-belah,
menenun, pengawetan dan persiapan makanan, dan seterusnya, yang masih menyediakan
dasar-dasar bagi eksistensi kita.
IV
Akan tetapi barangkali yang lebih menarik daripada pengakuan modern atas iman
klasik dalam “suara abadi dan suara umum manusia” adalah apa yang dalam dunia dewasa ini
akan menjadi nasib untuk menurunkan Raja Rasio dari tahtanya dalam kedok Orang Biadab
yang Berpikir. Betapa banyak dal itu dipoles dengan logika simbolis, aljabar matriks, atau
linguistik struktural, masih percaya akan kedaulatan intelek?
Setelah satu setengah abad investigasi ke kedalaman manusia kesadaran yang telah
mengungkap vested-interest, emosi kekanak-kanakan, atau kekacauan selera hewan, sekarang
kita punya satu yang menemukan di sana cahaya murni dari kebijaksanaan alam yang
bersinar dalam semua hal. Penyelidikan pasti akan disambut, di beberapa tempat, dengan
sedikit sambutan, bukan untuk mengatakan lega. Padahal penyelidikan semacam itu
seharusnya diluncurkan dari antropologis dasar tampaknya sangat mengejutkan. 
Para antropolog selama-lamanya tergoda untuk keluar dari perpustakaan dan kampus
di mana sulit mengingat bahwa pikiran manusia tak punya sinar panas, masuk ke dalam
“lapangan”, di mana mustahil melupakannya. Cukup individu-individu manusiawi yang khas
di sekelilingnya untuk membuat setiap ajaran tentang manusia yang melihatnya sebagai
penghalang kebenaran kekal dari rasio, yaitu suatu “logika asli” yang mulai dari “struktur
pikiran”, tampaknya aneh belaka, suatu rasa ingin tahu yang bersifat akademis.
Levi-Strauss seharusnya mampu mengubah hasrat romantis dari semangat Tristes
Tropiques ke dalam intelektualisme hipermodern La Pensee Sauvage tentunya merupakan
pencapaian yang mengejutkan. Tapi tetap ada pertanyaan yang tidak bisa tidak ditanyakan.
Apakah ini ilmu perubahan ilmu atau alkemia? Apakah "transformasi yang sangat sederhana"
yang menghasilkan sebuah teori umum dari kekecewaan pribadi nyata atau sulap? Apakah itu
pembongkaran dinding yang tampaknya memisahkan pikiran dari pikiran dengan
menunjukkan bahwa dinding adalah struktur permukaan saja, atau itu sebuah penghindaran
terselubung rumit yang diharuskan oleh kegagalan untuk menerobosnya kapan mereka
bertemu langsung? Apakah tulisan Levi-Strauss, seperti dia tampaknya mengklaim di
halaman percaya diri LA Pensee Sauvage, a prolegomenon untuk semua antropologi masa
depan? Atau dia, seperti beberapa yang dicabut kecerdasan neolitik membuang reservasi,
mengocok puing-puing tradisi lama dalam upaya yang sia-sia untuk menghidupkan kembali
keyakinan primitif yang moralnya keindahan masih tampak tetapi dari mana relevansi dan
kredibilitasnya sudah lama pergi?

20

Anda mungkin juga menyukai