Anda di halaman 1dari 34

MENEMUKAN TUHAN DALAM DEKAPAN ALAM

Pencarian Spiritual dalam Novel Siddhartha Karya Herman Hesse dan Novel Sang
Alkemis Karya Paulo Coelho dalam Perspektif Filsafat Transendentalisme

Oleh: Rida Wahyuningrum

A. Pendahuluan
Kehausan religius dan pencarian spiritual bermuara pada pokok yang sama
yaitu penemuan kebenaran hakiki dan kebahagiaan makna hidup. Secara umum
kebenaran hakiki dan kebahagiaan adalah topik utama dalam pembicaraan filsafat.
Filsafat berperan penting dalam menguak fenomena kehidupan ini dengan
mengaktifkan tata pola berpikir untuk mempelajari seluruh fenomena kehidupan
secara kritis.1 Di lain pihak, karya sastra adalah sebuah manifestasi manusia dalam
berkarya berdasarkan pandangan atau pemikirannya terhadap kehidupan.
Terkadang karya sastra berisikan sebuah pandangan atau pemikiran seseorang.
Dengan kata lain melalui karya sastra orang tersebut berfilsafat. Terlihat di sini
bahwa terdapat hubungan antara sastra dan filsafat.2 Kehadiran kisah-kisah klasik
seperti cerita-cerita mitologi, Bhagawad Gita, Mahabharata, Ramayana, Epos Iliad
dari Homerus boleh jadi adalah bentuk campur tangan filsafat ke dalam karya
sastra.
Aliran filsafat yang lekat hubungannya dengan pencarian spiritual atau
spiritualitas adalah filsafat transendentalisme. Istilah transendentalisme menyeruak
pada masa pencerahan di abad 18 yang bermula di Inggris kemudian menyusul
Perancis dan akhirnya Amerika, yang dipimpin oleh Ralph Waldo Emerson.
Emerson menggarisbawahi pandangannya yang transendental mengenai prinsip
kepercayaannya, yaitu tujuan dari hidup ini adalah mempelajari eksistensi

1
periksa Kattsoff, Louis. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Penerbit Tiara Wacana. 2004.
2
periksa Skilleas, Ole Martin. Philosophy and Literature: An Introduction. Edinburgh: Edinburgh
University Press. 2001. hlm.2-8.
periksa juga Wellek, Rene dan Austin Weren. Teori Kesusasteraan. Diterjemahkan oleh Melani
Budianta. Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka Utama. 1995. hlm. 134

1
kehidupan melalui pengamatan, pemahaman, dan interpretasi terhadap alam
semesta. Apa yang ada di alam semesta ini adalah ajaran-ajaran. Manusia
bertanggung jawab pada apa-apa yang diajarkan oleh alam semesta kepadanya.
Dari titk ini muncullah pemahaman akan kebenaran dan kebahagiaan makna hidup
dengan melalui pencarian spiritualitas.
Istilah spiritualitas sering dipertukarkan dengan istilah agama sehingga untuk
membedakannya diperlukan pemikiran mendalam akan makna yang terkandung
dalam istilah tersebut. Spritualitas terkait erat dengan kepribadian seseorang dalam
menemukan kebenaran hakiki dan kebahagiaan makna hidup.
Dalam paparan ini dihadirkan dua buah karya sastra sebagai bahan analisis.
Dua buah novel terjemahan karya Herman Hesse berjudul Siddhartha dan karya
Paulo Coelho berjudul Sang Alkemis.
Novel Siddhartha, sebagai salah satu karya sastra ditulis oleh Herman Hesse di
sekitar tahun 1920-an dimana saat itu hampir seluruh Eropa tengah dilanda
kehausan religius, sebuah pencarian spiritual yang merindukan datangnya agama
baru, sehingga kehadiran novel ini dinilai pada waktu yang tepat dan menjadi
novel terkenal. Novel ini berisikan nuansa spiritualitas yang dibungkus dalam
dialog dan monolog penuh filsafati oleh tokoh-tokohnya. Tokoh Siddharta
digambarkan sebagai sosok seorang brahmin yang begitu cerdas dan menguasai
segala hal tentang laku brahmana tetapi mencoba menjadi yang lain dan melakukan
pencarian sipiritualnya demi mencapai apa ia sebut kebahagiaan makna hidup.
Yang menarik dari novel ini, tentu saja selain aspek-aspek lainnya, adalah bahwa
novel ini menampilkan seorang putra brahmana Hindu (yang bernama Siddhartha,
yang dijadikan judul novel tersebut) sebagai tokoh utama. Yang lebih menarik lagi,
sosok putra Brahmana tersebut ditampilkan berbeda dengan para brahmana
kebanyakan. Ada semacam pemberontakan yang dihadirkan pengarang melalui
tokoh putra brahmana tersebut, yaitu pemberontakan terhadap takdirnya sebagai
brahmana. Pemberontakan yang dimaksud terkait dengan apa yang disebut dengan
pencarian spiritual (spiritual quest) sang tokoh terhadap kebahagiaan makna hidup.
Senada dengan novel Siddhartha, Sang Alkemis merupakan novel yang sangat
menarik karena memiliki kisah yang multidimensional tentang sosok pemuda
bernama Santiago yang memutuskan untuk berkelana sebagai gembala.

2
Pengelanaannya diilhami mimpinya yang berulang tentang harta karun yang
terbenam di bawah piramida Mesir. Dengan keteguhan hati, kesabaran, dan
antusiasmenya yang tinggi, Santiago rela meninggalkan seminari, keluarganya dan
tanah kelahirannya untuk mencari Jiwa Dunia (Tuhan) dan harta karunnya. Yang
membuat novel ini mempesona adalah peran alam yang begitu lekat dengan sang
tokoh yang digambarkan sedemikian elok senada dengan keelokan keberadaan
Tuhan yang sedang dicarinya dalam unsur alam tersebut.
Makalah ini mencoba menggambarkan sebuah proses pencarian spiritual tokoh
Santiago dalam Sang Alkemis dan tokoh Siddhartha dalam Siddhartha ini dalam
bingkai filsafat transendentalisme.

B. Transendentalisme Ralph Waldo Emerson


Transendentalisme merupakan filsafat idealis yang secara umum
mengutamakan masalah-masalah intuisi dan spiritual atas masalah-masalah empiris
dan materi. Istilah transendentalisme sendiri berawal dari ucapan filsuf Immanuel
Kant, yaitu “all knowledge transcendental which is concerned not with objects but
with our mode of knowing objects.” Dengan kata lain, segala pengetahuan yang
bersifat transenden berkutat bukan pada objek tetapi lebih pada cara kita
memahami objek. Dalam hal ini keberadaan suatu objek menjadi penting bukan
disebabkan karena enititi objek tersebut, tetapi bagaimana seseorang memandang
dan berpikir untuk memahami objek tersebut. Hal inilah yang kemudian mengacu
pada pemikiran transendental yaitu berupaya menyelamatkan manusia dari alam
dan menghidupkan kembali karakter spiritualnya 3. Dalam konsep seperti itu Ralph
Waldo Emerson menjadi sangat terkenal akan manifesto-nya yang berjudul Nature.
Emerson menulis tentang pentingnya seseorang untuk mengambil langkah
untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Menurutnya, untuk menjadi dekat dengan
Tuhan secara spiritual, seseorang harus mampu memisahkan dirinya dari
pengaruh-pengaruh masyarakat yang tidak ada hubungannya dengan spiritualitas.
Kemudian ia harus mencari bimbingan melalui natural divinity (konsep ketuhanan
yang terdapat di alam) dari ciptaan-ciptaan Tuhan. Istilah menyelamatkan (rescue)
manusia dari alam inilah yang kemudian merujuk pada pemikiran transendental
3
lihat Flower, Elizabeth and Murray G. Murphey. A History of Philosophy in America Vol 1. New
York: Carpicorn Books. 1977. hlm.402.

3
bahwa manusia dapat mengolah spiritualitasnya dengan memahami objek-objek
alam tertentu yang menjadi pertanda bagi bukti-bukti spiritual tertentu. Misalnya,
secara agama orang menganggap bahwa menemui Tuhan itu harus di masjid,
gereja, kuil, atau tempat peribadatan suci lainnya. Tetapi spiritualitas seseorang
dapat mengantarkannya pada suatu waktu pertemuan dengan Tuhannya melalui
objek non agamawi, misalnya ketika seorang penyair seperti Emily Dickinson
mengungkapkan kehadiran Tuhannya dalam bunga Mangkokan (Buttercup).4
Dalam Nature5, Emerson mengungkap makna alam dalam beberapa sudut
pandang, yaitu komoditi (commodity), keindahan (beauty), bahasa (language),
disiplin (discipline), idealisme (idealism), jiwa (spirit), dan prospek (prospects).
Alam dipandang sebagai komoditi yang bertumpu pada kehidupan yang saling
menguntungkan. Ini terlihat dalam hubungan antara manusia dan alam yang
memberi sandang, pangan, dan papan. Semua bagian yang ada di alam ini tak
henti-hentinya saling bergerak dan bekerja untuk keuntungan manusia. Dalam
perspektif yang demikian akan dirasakan kemurahan Tuhan sebagai sang Pencipta
Alam kepada manusia yang tiada putus-putusnya.
Kemudian, hadirnya alam dengan objeknya melahirkan keindahan yang
merupakan tanda kebajikan dari sang Pencipta. Keindahan alam tercipta karena
tidak luput dari kehadiran elemen keindahan tertinggi, yaitu Tuhan.
Ketika seseorang mengekspresikan apa yang dipikirkan dan dirasakannya
melalui ucapan atau tulisan, ia sedang menggunakan bahasanya. Menurut Emerson

4
Emily Dickinson adalah seorang penyair Amerika yang banyak menulis puisi bernuansa
religiositas. Ia tidak menyetujui adanya doktrin-doktrin yang ada di Bible tentang hukuman Tuhan
sehingga ia lebih merasa dekat dengan Tuhannya ketika bisa melihat sesuatu di balik ciptaan-
ciptaanNya di alam semesta ini.
5
Dalam Nature dikatakan bahwa tujuan alam (nature) bagi Emerson amatlah jelas, yaitu semua
bagian alam saling bekerja sama demi kepentingan manusia ("All the parts incessantly work into
each other's hands for the profit of man") dan perputaran tiada henti dari kemurahan Tuhan telah
menghidupi manusia ("the endless circulations of divine charity nourish man), yang akhirnya tiba
pada kesimpulan bahwa bukti-bukti alam semesta tertentu merupakan pertanda dari bukti-bukti
spiritual tertentu pula ("Particular natural facts are symbols of particular spiritual facts"). periksa
Woodlief (1990) dalam “Emerson and Thoreau as American Prophets of Eco-wisdom”, kertas kerja
yang disajikan dalam sebuah konferensi Humanity di Universitas Virginia, dapat dilihat di
American Transcendentalism Web
http://www.vcu.edu/engweb/transcendentalism/criticism/ecotran.html

4
bahasa adalah kendaraan bagi manusia dalam memahami alam karena: a) kata-kata
adalah pertanda dari fakta alam, b) Fakta-fakta alam tertentu merupakan simbol
dari fakta-fakta spiritual tertentu, c) Alam adalah simbol dari jiwa. Bahasa
mengungkapkan apa yang pernah terlihat sebagai materi, misalnya kita
menggunakan kata hati untuk mengungkapkan emosi, kata kepala untuk
menyatakan berpikir, dsb. Kemudian apa pun bentuk-bentuk di alam ini akan
berhubungan dengan suasana pikiran seseorang, suasana pikiran tersebut hanya
dapat digambarkan melalui penampakan alam, seperti pengungkapan amarah
seseorang yang digambarkan sebagai sang singa, liciknya seseorang dilambangkan
sebagai musang, keteguhan khati dengan batu karang, orang terpelajar dengan sang
obor, dsb. Itulah sebabnya mengapa setiap fakta alam tertentu merupakan simbol
dari fakta spiritual tertentu. Akhirnya, kebanyakan dari manusia selalu dibimbing
oleh objek-objek alam dalam mengekspresikan ungkapan-ungkapan tertentu yang
merefleksikan suasana jiwa. Bahkan kesemestaan alam merupakan metafora dari
pikiran-pikiran manusia. Peribahasa muncul sebagai ungkapan metaforik yang ada
dalam benak manusia, misalnya tong kosong nyaring bunyinya sebagai cara
mengungkapkan kualitas diri seseorang yang terlalu banyak bicara tetapi tak ada
manfaatnya sama sekali. Benarlah kiranya apabila dikatakan bahwa alam adalah
simbol dari jiwa.
Pada gilirannya, alam mengajarkan pada manusia bentuk disiplin mengenai
pemahaman akan kebenaran intelektual. Hubungan manusia dengan objek-objek
yang ada merupakan latihan teratur akan mempelajari dari hal-hal yang berbeda,
yang menyerupai, yang berupa urutan, yang tampak dan samar, yang berupa
susunan progresif, yang dari khusus ke umum, yang berupa penggabungan hingga
ke akhir dari berbagi macam kekuatan.
Kemudian alam memberikan inspirasi bagi manusia dalam bentuk idealisme.
Bagi Emerson adalah idealisme adalah gambaran sebagaimana seorang penyair
yang menghasilkan sebuah puisi yang dikatakannya adalah sesuatu yang
bersumber dari ide, makanya bersifat asli, karena terinspirasi oleh alam. Saat
mencipta sebuah puisi, sang penyair memanfaatkan alam. Istilah „susut‟ dan
„mengembang‟ diciptakan untuk kepentingan sang penyair pribadi. Objek tertttentu
dari alam yang dipilih sang penyair akan tttampak lebih menonjol keberadaannya

5
secara simbolis karena alasan pemikiran sang penyair pribadi terhadap
idealismenya.
Mengenai hubungan alam dengan jiwa, Emerson menggambarkannya sebagai
berikut: ketika kita merasakan kehadiran Tuhan dan mencoba menggambarkannya
seperti apa maka tiada lagi yang ada dalam pikiran serta ucapan kita dan kita
tinggal hanya sebagai orang tolol atau onggokan tak berguna. Keberadaan jiwa
menolak bentuk proposisi tertentu tetapi akan dirasakan kehadirannya dalam alam
semesta ini ketika kita menyembahnya secara intelektual. Itu karena alam
bertindak sebagai organ bagi sang jiwa dan sang jiwa akan berhubungan secara
langsung dengan manusia.
Akhirnya, sampailah hubungan alam dengan prospek (prospects) yang intinya
adalah bagaimana manusia seharusnya manusia belajar dari alam. Menurut
Emerson, yang terpenting dari hal mempelajari alam adalah intuisi daripada tata
cara yang disarankan dalam ilmu-ilmu pasti dan geologi. Pengetahuan empiris,
yang berdasarkan pada pengamatan menyeluruh dan detil, hanya sebatas
mempelajari objek-objek individu. Sayangnya hal tersebut malah mengabaikan
keterkaitan sang objek dengan lingkungan alamnya. Dengan kata lain, pandangan
empiris berkutat pada hal-hal yang sebagian-sebagian, bukan pada yang
keseluruhan.

C. Spiritualitas
Pemahaman tentang spiritualitas mengacu pada apa yang sering dihubungkan
dengan hal-hal yang berkenaan dengan konsep keagamaan, ketuhanan, kehidupan
supernatural, dan kehidupan sesudah mati. Terlebih lagi banyak yang menyamakan
spiritualitas dengan agama.6 Sebenarnya keduanya adalah dua entiti yang berbeda:
agama adalah bagaimana tata cara seseorang mengalami kehidupan spiritualnya.
Spiritualitas lebih banyak merujuk pada tindakan-tindakan introspeksi diri dan
pengembangan kehidupan batiniah melalui praktek-praktek meditasi, doa, dan
perenungan mendalam. Namun ketika dua istilah di atas sering dipertukarkan,
perbedaan penting muncul diantara keduanya, yaitu adanya istilah spirituality in
6
periksa Torrance (1994) di bagian “Two Aspects of Religious Rituals” hlm.4 dalam The Spiritual
Quest: Transendence in Myth, Religion, and Science.

6
religion (spiritualitas dalam agama) dan spirituality outside religion (spiritualitas
di luar agama)7
Persoalan spiritual dalam agama merupakan hal yang wajar untuk dipahami
karena agama itu sendiri berkutat pada persoalan-persoalan spiritualitas, yaitu hal-
hal yang berhubungan dengan konsep ketuhanan, pengamalan kebajikan,
penjauhan diri dari larangan-larangan, dan pembalasan. Spiritualitas dalam agama
Islam misalnya, melihat keberadaan Tuhan dalam iman yang diwujudkan dalam
tatacara peribadatan menurut tuntunan Kitab Suci Al Qur‟an dan Sunnah Nabi
Muhammad SAW. Percaya pada Tuhan tertentu, merasakan keberadaannya,
melakukan praktek-praktek peribadatan agama tertentu, dan merasakan kedamaian
dalam menjalani kehidupan adalah spiritualitas seseorang dalam kehidupan
beragamanya.
Tidaklah demikian dengan persoalan spiritualitas di luar agama. Terlihat
sederhananya sebuah pemikiran bahwa orang sekuler tidak akan merasakan apa
yang disebut spiritualitas. Agama-agama samawi sarat dengan pemahaman dimana
sekuleritas bukanlah bagian dari ajaran-ajaran mereka. Tetapi, perasaan kagum
yang mendalam pada diri seseorang terhadap alam semesta sebagai tindakan
appresiasinya pada karya cipta paling tinggi nilainya adalah juga khasanah
sekularitas. Hal ini merujuk pada istilah „spiritual tapi tidak religius‟. Mereka
inilah yang disebut sebagai kelompok spiritualitas di luar agama.
Istilah pencarian spiritual, pada gilirannya, adalah tindakan seseorang untuk
menempatkan dirinya di dalam spiritual path tertentu untuk memperoleh tujuan
spiritualitasnya. Pada dasarnya, pencarian spiritual selalu bermuara pada
kebenaran, dimana kebenaran itu adalah Tuhan itu sendiri. Dengan kata lain,
pencarian spiritual identik dengan pencarian Tuhan secara pribadi, bukan dengan
mengikut apa yang dipercaya oleh sekelompok orang atau masyarakat tertentu.
Dari perspektif ini terlihat bahwa istilah agama dan spiritualitas bukan dua hal
yang bertentangan, melainkan fase atau tingkatan kehidupan batiniah seseorang
sehingga dua hal ini merupakan hal yang tak dapat terpisahkan.

7
periksa Torrance (1994) di bagian “Two Aspects of Religious Rituals” hlm.4 dalam The Spiritual
Quest: Transendence in Myth, Religion, and Science.

7
Fenomena yang terlihat dari tindakan pencarian spiritual ini adalah penolakan
terhadap apa yang sudah disepakati secara konvensional agama. Dalam kaitannya
dengan filsafat transendentalisme, penolakan terhadap aturan-aturan keagamaan
tersebut tidak boleh melibatkan tindakan-tindakan dengan kekerasan, vulgar atau
semacamnya. Dengan kata lain, apa yang dinspirasikan dalam transendentalisme
adalah keelokan atau keindahan (elegance) dalam menyatakan sesuatu yang
berlawanan atau penolakan terhadap apa yang sudah berlaku atau diberlakukan.

D. Spiritualitas Tokoh Siddhartha dan Santiago

Novel Siddhartha dan Sang Alkemis menghadirkan beberapa fenomena yang


menarik. Persoalan kehidupan spiritual muncul di dalamnya, baik dalam kaitannya
dengan agama (in religion) maupun di luar agama (outside religion). Melalui
tokoh-tokoh Siddhartha dan Santiago, persoalan-persoalan tersebut digelindingkan
sedemikian rupa, baik dalam interaksinya dengan tokoh-tokoh lain, maupun yang
berupa monolog batin (interior monologue) yang juga disebut arus kesadaran
(stream of consciousness). Tidak disangkal bahwa peran tokoh-tokoh lain seperti
Govinda, Kamala, dan sang Juru Sampan (Siddhartha) serta Raja Melkisedek,
tukang Kristal, Fatima dan akhirnya Sang Alkemis (Sang Alkemis) adalah penting
dalam menggulirkan persoalan pencarian spiritual tersebut.

1. Siddhartha dan Pemberontakannya yang Elegan

Siddhartha, sebagai tokoh utama, telah menampilkan citra diri laki-laki


keturunan kaum Brahmana yang berbeda dengan lainnya. Ia adalah sosok lelaki
sempurna. Siddharta adalah pemuda yang tampan dan cerdas serta memiliki
pendirian yang kokoh. Banyak putri kaum Brahmana terkesan akan kerupawanan
yang dimiliki olehnya. Terlebih lagi ia dibesarkan dalam suasana keluarga yang
religious dan taat dalam menjalankan ritual agama. Sejak kecil ia belajar tentang
ajaran-ajaran atau doktrin-doktrin yang terdapat dalam kitab Upanishad Samaweda
dan menjalankan berbagai ritual keagamaan. Sebagai putra Brahmana ia
diharapkan dapat menjadi seorang Brahmana seperti ayahnya. Sekali lagi, ia
manusia yang sempurna untuk ukuran kaum Brahmana.

8
Sebagai penerus keturunan kaum Brahmana, Siddhartha memang sempurna.
Semua orang menyanjung dan mengasihinya, dengan sepenuh hati, seperti yang
dilakukan oleh sahabatnya bernama Govinda. Baginya, Siddhartha dapat
membangkitkan kebahagiaan bagi setiap orang, dan dialah sumber kebahagiaan itu.
Ironisnya, Siddhartha tidak merasakan kebahagiaan dalam dirinya. Keresahan
menguasai dirinya hingga ia berpikir kalau cinta ayah dan ibunya serta Govinda
sahabatnya tidak akan membawanya menuju kebahagiaan abadi.
Namun Siddharta tidak merasakan kebahagiaan dalam
dirinya. Dia tidak mampu membawa kebahagiaan bagi
dirinya sendiri. ….. Dia dicintai oleh semua orang, menjadi
sumber kebahagiaan bagi mereka—namun tetap saja tak
ada kegembiraan tumbuh di hatinya. Mimpi-mimpi
mendatanginya dan pikirannya gelisah. Mimpi-mimpi itu
mengaliri dirinya dengan air sungai, dengan gemerlapnya
bintang malam yang luluh disinari matahari. Mimpi datang
dan pikirannya menjadi gelisah, keresahan yang
mengambang di antara dupa persembahan dan
menghembus dari kidung Rigveda dan menjalar ke dalam
dirinya, dan dari ajaran yang diberikan oleh para Brahmin
tua. (Hesse, 2007:16)

Keresahan itu semakin memuncak manakala dirinya menyadari bahwa


pikirannya tidak merasakan kepuasan, jiwanya tidak merasakan kedamaian dan
hatinya tidak merasakan kebahagiaan. Misalnya, pandangannya terhadap upacara
penyucian diri. Ia melihat kebaikan dari upacara seperti itu, tetapi yang tampak di
dalam ritual itu hanyalah air yang menurutnya tidak menyucikan dosa, tidak
melegakan pikiran yang dahaga dan mengobati hati yang gelisah.
Apa yang dipikirkan Siddhartha membuat dirinya semakin resah saja.
Kepalanya dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan tentang keberadaan sang pencipta
dan jalan lain menuju pada-Nya selain jalan yang ditempuh oleh guru dan ayahnya
melalui ritme-ritme kidung dalam kitab-kitab suci dan rutinitas peribadatan yang
menopang keteraturan olah batin dalam kehidupan beragama mereka.
Hubungannya dengan Govinda dan ayahnya yang Brahmana tampaknya tidak
dapat menjadikannya berpuas diri dalam melepas dahaga keingintahuannya
terhadap pencariannya akan kedamaian dalam hatinya.

9
Melalui sosok Siddharta, pengarang tampaknya ingin menampilkan figur lelaki
keturunan Brahmana yang berbeda. Melalui Siddhartha pengarang memberikan
wacana akan pencarian spiritual (spiritual quest) dalam perjalanan kehidupan
seseorang. Seseorang itu mengalami apa yang disebut pencerahan (enlightment)
dalam hidupnya, bahkan ia dibesarkan dalam lingkungan religius sekalipun.
Fenomena transendental seperti ini tampak melekat erat pada sosok Siddartha yang
ingin menemukan jalan kedamaian dan kebahagiaan dalam hidupnya.
Pencarian spiritualnya bermula ketika kegigihannya untuk meninggalkan orang
tuanya sudah tak dapat diredam lagi demi mencapai apa yang ia inginkan sebagai
seorang Samana. Untuk mendapatkan ijin ayahnya, Siddhartha „memaksa‟ nya
dengan sikap berdiri diam dan tidak bergerak dengan tangan terlipat selama dua
hari.
Sang Ayah meletakkan tangannya di atas bahu Siddhartha.
“Kamu akan pergi ke hutan,” ucapnya, “dan menjadi
seorang samana. Jika kamu menemukan kebahagiaan itu di
hutan, kembalilah dan ajarkan padaku tentang kebahagiaan
itu. Jika hal itu mengecewakanmu, kembalilah dan kita
akan membuat korban persembahan pada para dewa
bersama-sama ….”. (Hesse, 2007:26)

Kehidupan Siddharta bersama para samana tidaklah lama karena kembali


pertanyaan-pertanyaan tentang tata cara peribadatan yang selama ini dilakukan
(belajar menolak diri, belajar tenggelam dalam semedi ala samana, dan belajar
tentang cara-cara melampaui diri serta menolak diri sendiri melalui luka,
penderitaan, menguasai penderitaan, kelaparan, dahaga, dan kelelahan) bersama
mereka mengusik kembali dahaganya akan makna intisari kehidupan.
Bahkan, melalui dialog dengan Govinda, Siddhartha, menggambarkan
ketiadaperbedaan antara kaum Brahmana dan pemabuk dalam hal meredam
penderitaan hidup.
Dan Siddhartha menjawab dengan lembut, seolah-olah
berbicara pada dirinya sendiri. “Apa itu kekhusyukan
semedi? Apa itu meninggalkan tubuh? Apa itu menahan
napas? Ini merupakan penolakan atas ego, sebuah pelarian
singkat dari siksaan akan ego manusia, sebuah upaya
meredam penderitaan dan kemustahilan hidup. Pelarian ini,
peredam sementara ini, bisa dicapai oleh pemabuk di

10
sebuah penginapan ketika ia meminum semangkuk anggur
ketan atau air kelapa fermentasi. Lalu dia tidak lagi
merasakan dirinya, lalu dia tidak lagi merasakan
penderitaan hidup—dia mencapai inti kehidupan yang
sementara. Tertelungkup di atas anggur ketannya, dia
mencapai hasil yang sama seperti yang diperoleh
Siddhartha dan Govinda, ketika masa berlatih, mereka
melepaskan diri dari tubuhnya dan diam dalam nonego.
Begitulah, Govinda.” (Hesse, 2007:34)

Jelasnya, Siddhartha belum menemukan kepuasan akan apa yang ia cari


sebagai yang disebut kedamaian, kesempurnaan hidup meskipun ia melihat agama
para samana telah mengajarinya banyak hal. Pemenuhan terhadap hasratnya untuk
memperoleh apa yang disebutnya kedamaian hidup dan kesempurnaan telah
menggiringnya kepada niatan melakukan pencarian lagi. Apa yang menyelimuti
batin sang Siddhartha, yang menggerakkan jiwanya, dan yang menuntunnya ke
konsep keilahian tampaknya tidak semata-mata masalah agama, melainkan
spiritualitas.
Spiritualitas Siddharta tidak terpuaskan hanya dengan menjalani tata cara
keagamaan yang ditempuhnya selama ini dengan dalih bahwa inilah jalan menuju
ke kesempurnaan. Atau ketika ia merelakan dirinya tenggelam dalam semedi
tingkat tinggi, yang menurut Govinda bisa membuat dirinya berjalan di atas air
seperti yang dilakukan oleh si Samana Tua. Bahkan akhirnya ia tiba pada
kesimpulan, bahwa
“…..aku tidak percaya lagi pada doktrin dan ajaran serta
merasa lelah akan hal itu—aku tidak percaya pada kata-
kata yang diberikan oleh para guru.” (Hesse, 2007:43)

Terlebih lagi ketika ia memutuskan untuk meninggalkan para samana,


tampaklah bahwa pemaksaan kehendaknya terhadap sang Samana Tua tidak
membuahkan kekerasan di antara keduanya, meskipun kemarahan sang Samana
Tua sempat terjadi.

Dengan sikap tegak tepat di depan samana dan


memusatkan pikirannya, dia menguasai pandangan lelaki
tua tersebut, memikatnya, membuatnya menjadi diam dan
kehilangan keinginan. …..Samana ini merasa berada di

11
bawah perintah Siddhartha dan melakukan apa pun yang
diperintahkan sehingga lelaki tua itu membungkuk bebrapa
kali, memberi sikap memberkati, dan dengan tertegun-
tegun mengeluarkan suara memberkati perjalanan mereka.
(Hesse, 2007:44)

Begitulah Siddhartha akhirnya. Meskipun kemudian ia terbawa oleh niatan


Govinda menemui Sang Gotama untuk mendengar ajaran baru, tak sedikit pun dari
hatinya tertarik akan ajaran itu setelah mendengarkan berulang kali mengenai isi
Buddhadharma dari orang kedua atau ketiga. Hanya saja, Siddhartha menemukan
sesuatu yang menggetarkan hatinya manakala ia bertemu dengan sang Gotama. Ia
melihat kebenaran pada diri sang Buddha.

Tapi dia tetap dengan penuh perhatian melihat kepala Sang


Buddha, bahunya, kakinya, pada ketenangannya, tangannya
yang bebas, dan di matanya setiap gerakan jari tersebut
merupakan suatu ajaran, berbicara tentang kebenaran,
bernapaskan kebenaran, memancarkan cahaya kebenaran,
beraroma kebenaran. Lelaki ini, Buddha ini, bermandikan
kebenaran, bahkan ketika menggerakkan jari-jari kecilnya.
(Hesse, 2007:51)

Kebenaran yang terpancar dari diri Sang Buddha ternyata membuat dirinya
harus kehilangan sahabatnya Govinda. Ia melanjutkan perjalanannya dalam
pencariannya tanpa Govinda di sisinya karena Govinda telah menjadi pengikut
Sang Buddha dan tinggal bersamanya. Kesendiriannya ini tidak menyusutkan
keinginannya untuk terus mencari kedamaian hatinya serta kesempurnaan hidup
hingga akhirnya kemudian ia bertemu dengan Kamala, seorang perempuan
penghibur yang cantik.
Ketika kungkungan agama membebat kehidupan seseorang sedemikian rupa
untuk memperoleh jalan kedamaian dan kesempurnaan hidup, dan akhirnya merasa
bahwa hal itu tidak berakibat apa pun bagi dirinya, orang itu akan mencoba keluar
dari kungkungan tersebut. Digambarkan melaui tokoh Siddhartha, kejenuhan akan
tata cara peribadatan dalam agamanya sebagai samana yang selama ini
dilakukannya, misalnya puasa, semedi, dan lainnya, telah membimbingnya ke jalan
lain dari apa yang selama ini dipercayainya.

12
Jelaslah bahwa Siddhartha dengan cukup berani menyatakan apa yang
dipikirkannya tentang konsep ketuhanan dalam agamanya sendiri.8 Dalam keadaan
yang demikian, pengarang memperlihatkan adanya gejolak batin yang dialami oleh
Siddhartha. Mempertanyakan doktrin dan ajaran, mengingkarinya, kemudian
akhirnya tidak mempercayainya adalah langkah-langkah perenungan akan suatu
konsep ketuhanan dalam diri seseorang. Hatinya memberontak.
Pencarian Siddhartha kemudian menjadi jelas arahnya ketika hatinya benar-
benar memberontak dengan dituntun pertanyaan-pertanyaan spiritualnya. Akhirnya
ia memutuskan untuk membiarkan dirinya ditelan gemerlapnya kehidupan
duniawi.
Perempuan cantik bernama Kamala telah mengubah dirinya: ia mencukur habis
jenggotnya, meminyaki rambutnya, bersepatu, berpakaian indah, dan memiliki
uang di kantong. Ia memulai kehidupan duniawi yang memuja keindahan materi
dengan menanggalkan jubah samana-nya, bekerja selayaknya kaum pedagang
dengan berguru pada Kamaswarni, dan bercinta dengan perempuan tanpa ikatan
pernikahan. Doktrin-doktrin yang ada di dalam Uphanishad yang telah mendarah
daging dalam dirinya seakan-akan menguap begitu saja ketika telah dirasakannya
nikmat kehidupan duniawi dalam ciuman seorang Kamala. Ia telah menjadikan
Kamala teman sekaligus guru baginya.
Dalam kehidupan agama Hindu, apa yang dilakukan Siddhartha adalah suatu
penyimpangan dari laku seorang brahmana yang salah satunya adalah harus
mampu mengendalikan dirinya. Tidak hanya itu, ia pun telah mendepak jauh-jauh
etika ketika berhubungan kelamin dengan Kamala. Limpahan harta, wanita, dan
kesenangan yang diperolehnya dirasakannya semakin mengubur dirinya dalam-
dalam dari laku hidup seorang brahmana. Tetapi, Siddharta kembali
mempertanyakan kehidupan duniawinya.
Satu hari penuh ia duduk di bawah pohon mangga itu,
berpikir tentang ayahnya, tentang Govinda. Apakah ada
manfaat baginya meninggalkan mereka dan menjadi
seorang Kamaswarni? …..Apakah ada gunanya, apakah ini

8
Dalam pencerahan, seseorang akan melakukan penyerangan terhadap dasar-dasar iman
kepercayaan yang berdasarkan wahyu, serta menggantikannya dengan sesuatu yang berdasarkan
perasaan yang bersifat panteistis. Akan tetapi semuanya itu berjalan tanpa „perang‟ terbuka (lihat
Hadiwijono (1980:62))

13
benar, bukankah ini sebuah permainan bodoh, bahwa aku
memiliki sebuah pohon mangga, sebuah taman? (Hesse,
2007:127)

Kehidupan Siddhartha sebagai sang jutawan telah membelenggunya dari


pencapaian cita-cita di awal pencariannya. Ia merasa berada dalam suatu
kebodohan. Akhirnya ia meninggalkan kekayaannya atau kekayaan yang
meninggalkannya. Ia memulai lagi pencariannya dan banyak berguru pada seorang
juru sampan yang pernah menyeberangkannya dari kehidupan samana-nya ke
kehidupan duniawi-nya. Dan sekarang keadaan itu berbalik.
Pertemanan Siddhartha dengan sang juru sampan membuahkan pemikiran-
pemikiran yang menuntunnya ke arah kebahagiaan. Dia merasa bahagia.
Kebahagiaannya terwujud ketika ia banyak belajar dari kegiatan sehari-harinya
mengikut menjadi juru sampan dimana ia berkutat dengan alam sekitar sungai: air
sungai yang jernih, buih-buih kristal air yang muncul ke permukaan, gelegak air,
dan bayangan hutan. Bahkan ia merasa sungai itu berbicara kepadanya.
Betapa ia mencintai sungai ini, betapa sungai ini memukau
dirinya, betapa berterima kasihnya ia padanya. Di dalam
hatinya ia mendengarkan suara itu berbicara, suara yang
baru saja terbangun, yang berkata kepadanya: “Cintailah
sungai ini! Tinggalah di dekatnya! Belajarlah darinya!”
(Hesse, 2007:150)

Siddharta belajar banyak dari Vasudeva, tetapi ternyata sungai mengajarkannya


lebih banyak. Dari sungai itu berbagai peristiwa telah dialaminya dan menjadikan
dirinya lebih bisa memahami kehidupannya. Sungai itu mempertemukannya
kembali dengan Govinda sahabatnya, Kamala dan anak dari benihnya sekaligus
memisahkan dirinya dengan mereka. Sungai itu mengajarkan tentang arti
kebahagiaan dan kehilangan serta kenestapaan hidup akan kesendirian ditinggalkan
oleh orang-orang yang dicintainya. Ia dulu meninggalkan ayahnya dan hidup
berpisah sebagai samana, kemudian berpisah dengan Govinda, dan harus berpisah
pula dengan Kamala karena kematiannya, akhirnya ia ditinggalkan oleh anaknya.
Sungai sebagai sebuah objek adalah fenomena alam yang di dalamnya
terkandung banyak ajaran bagi manusia yang mampu menangkap ajaran tersebut.
Ketika Siddhartha belajar mendengarkan suara-suara dari sungai ia telah memilih

14
suatu spiritual path bagi dirinya dan mencoba memahami arti kehidupan dan
kebahagiaan itu sendiri. Untuk pertama kalinya ketika kelelahan akan kehidupan
duniawinya telah mengantarkannya pada sungai itu, ia merasakan kebahagiaan.
Keberadaannya sebagai seseorang yang pernah menjadi sang brahmin dan sang
samana masih bersemayam dalam dirinya setelah bertahun-tahun tergilas oleh
dirinya sendiri sebagai sang jutawan. Ketakjubannya terhadap apa yang masih
dimilikinya sebagai jejak spiritualitasnya tergambar dalam monolog di bawah ini:
“Darimana?” ia bertanya pada hatinya, “kamu
mendapatkan kebahagiaan ini? Apakah ia bersumber dari
tidur panjang dan indah yang memberikanku begitu banyak
kebahagiaan? Ataukah ia berasal dari kata Om yang
kuucapkan? Ataukah ia bersumber dari kenyataan yang
telah terlewatkan olehku, aku telah membuat pelarian yang
indah, aku akhirnya bebas kembali bagaikan seorang anak
di bawah langit? Oh, betapa indahnya diri yang merdeka
ini, menjadi bebas! Betapa murni dan indahnya udara di
sini, sungguh baik untuk bernapas! Di sana, di tempat aku
melarikan diri darinya, dari segala yang berbau salap,
rempah-rempah, anggur, kelimpahruahan, kemalasan.
Betapa aku membenci diriku karena aku tinggal terlalu
lama dalam dunia yang mengerikan itu! Betapa aku
membenci diriku sendiri, merampas diriku, meracuni diriku
menjadi orang yang rakus dan tua! …..Sekarang aku harus
mengakhiri kebencian diri dan kebodohan ini, kehidupan
kosong ini. Terpujilah engkau Siddhartha setelah
kebodohan sekian tahun, akhirnya sekali lagi kamu
menemukan sebuah ide, kamu telah melakukan sesuatu.
Kamu telah mendengarkan burung di dalam dadamu dan
mengikutinya!” (Hesse, 2007:145)

Monolog Siddhartha menguraikan apa yang telah disebutnya sebagai akibat


dari kebodohannya sendiri, yaitu dengan menenggelamkan dirinya dalam hiruk
pikuk kehidupan duniawi yang jelas-jelas itu bertentangan dengan tujuan pencarian
spiritualnya. Inilah apa yang disebut pencerahan (enlightment). Siddhartha
menemukan letak ketimpangan hidupnya selama ini dan dengan memahami objek
sungai ia menemukan kebahagiaannya. Semasa ia menjadi brahmin dan samana
tak pernah dirasakannya kebahagian seperti itu padahal ia banyak mendengar
ucapan-ucapan atau mantra dan ajaran dari kitab Upanishad yang selalu menyirami
kalbunya sebagai anak seorang brahmana. Ketika bertemu Gotama, ia tak bisa

15
mengingkari adanya kebenaran bersama Sang Buddha tapi toh jiwanya tak pernah
tertambat untuk menjadi pengikutnya, seperti apa yang telah dilakukan Govinda,
sahabatnya. Kebahagiaan makna hidup yang ia cari semakin bersembunyi ketika ia
mereguk anggur kehidupan duniawi.
Fase kehidupannya sebagai juru sampan telah membawa diri Siddhartha pada
akhir pencariannya akan kebahagiaan makna hidup. Kehidupan sebagai juru
sampan adalah kehidupan kaum Sudra dimana merupakan kasta bawah dalam
sistim kasta agama Hindu. Kaum Sudra adalah kaum papa yang tidak memiliki
kemewahan dunia dan memiliki banyak keterbatasan-keterbatasan. Peralihan diri
Sidhartha dari golongan kaum brahmana menjadi sudra tidak membetikkan
ketidakbahagiaan, sebaliknya justru kebahagiaan ia peroleh ketika menjadi juru
sampan. Dan laku hidup sebagai juru sampan inilah yang mengantarkannya pada
keagungan diri sendiri melebihi keagungan yang ia dapatkan ketika menjadi
seorang brahmin atau samana. Seperti yang dungkapkan sebelumnya, kualitas
kaum brahmana adalah mereka yang dapat memperlihatkan diri mereka
kedamaian, dimana kedamaian adalah label utama bagi kehidupan seorang
brahmana.
Di akhir pencarian spiritualnya, Siddhartha memang telah berhasil menjadi
seorang brahmana meskipun ber‟jubah” juru sampan karena ia telah berhasil
mencapai kedamaian dan dirinyalah kedamaian itu. Tujuannya tercapai setelah
melewati beberapa fase kehidupan yang diwarnai dengan pemberontakan 9 terhadap
kemapanan yang sekaligus menggambarkan runtutan momen kehidupannya yang
digerakkan oleh jiwa pemberontakannya. Kemapanan yang dimaksud di sini
adalah apa yang telah dimiliki Siddhartha sebagai kenyamanan yang menipu.
Pertama, kehidupannya sebagai seorang putra brahmin dinilai sempurna. Ia adalah
simbol kesempurnaan dan digandrungi oleh yang melihatnya sebagai suatu sosok
yang sempurna, misalnya Govinda sahabatnya dan para gadis yang
mendambakannya. Tetapi ia memberontak dari kemapanan ini karena ia tidak

9
Dalam studi sastra, istilah pemberontakan tidak hanya berupa penolakan terhadap sesuatu
(misalnya ide) tetapi juga tercakup di dalamnya adanya penciptaan sesuatu yang baru (inovasi).
Misalnya ketika Chairil Anwar memberontak Sutan Takdir Alisyahbana (Pujangga Baru), ia
mengenalkan sesuatu ide yang baru. Dengan kata lain istilah pemberontakan itu bisa dipakai dalam
konteks paparan makalah ini.

16
dapat memperoleh kedamaian yang ia cari dari hanya mengandalkan
kecerdasannya memahami kitab suci dan menghapal mantra untuk memimpin
upacara sesaji serta semedi. Ia ingin menanggalkan itu semua dengan harapan
dapat meraih apa yang ia inginkan ketika menjadi seorang samana. Dalam
kehidupan kaum brahmana, seorang putra brahmana akan meneruskan laku
brahmana orang tuanya. Inilah sebuah pemberontakan takdir oleh Siddhartha.
Kedua, sebagai seorang samana ia sangat pandai dan cerdas, hampir
menyamai kepandaian sang samana tua yang bisa berjalan di atas air. Apabila ia
meneruskan pembelajarannya maka ia akan melebihi gurunya. Tetapi ia menolak
meneruskan pelajarannya dengan para samana karena dirasakan kekhusyukan
semedi tidak memberi manfaat spiritual baginya. Dalam dialognya dengan
Govinda terlihat pemberontakannya dalam bentuk ide, yang akhirnya
ditindaklanjuti dengan kepergiannya mencari Gotama bersama Govinda. Sekali
lagi, ini adalah pemberontakan idelaisme sang Siddhartha terhadap paham ajaran
para samana.
Ketiga, ketika ia bertemu Gotama dan menemukan kebenaran dalam
dirinya dan dipuji kecerdasannya oleh Gotama dan disarankan agar menjadi
pengikutnya. Ini pun membuahkan penolakan meskipun berakibat baik bagi
Govinda dengan menjadi pengikut Gotama. Penolakan Siddhartha terlihat dari
ketidakcocokannya pada ajaran sang Gotama. Sekali lagi pemberontakan
idealisme.
Akhirnya, kehidupannya sebagai jutawan yang kemapanannya sudah tak
usah dipertanyakan. Kehidupan duniawi yang dipilihnya setelah terbius oleh
kecantikan Kamala akhirnya ditinggalkan pula. Penolakan terhadap kemapanan
duniawi, kehormatan, dan kenyamanan hidup menggiringnya kembali kepada jati
dirinya yang sebenarnya. Untuk ini adalah pemberontakan terhadap sekulerisme
yang nyata-nyata tidak cocok bagi asupan pemikiran transendental-nya.
Pemberontakan demi pemberontakan yang dilakukan Siddhartha tak satu
pun yang menampakkan kekerasan, pemaksaan kehendak yang diikuti amarah dan
nafsu untuk mencapai tujuan. Sebaliknya, yang tampak adalah bagaimana seorang
Siddhartha mendatangkan tujuannya agar tercapai melalui pemberontakannya itu.
Kesemuanya terlihat begitu elok dalam perjalanannya dari satu fase ke fase

17
lainnya. Ketika ayahnya berkeinginan untuk tidak mengijinkannya menjadi
seorang samana, Siddhartha melakukan sikap berdiri diam dan tidak bergerak
dengan tangan terlipat selama dua hari. Kemudian, dengan sang samana tua, ia
mempraktekkan pengajaran samana itu sendiri untuk meluluhkan hati orang lain
dengan gerakan samana. Berikutnya, dengan sang Gotama ia bermain kata-kata
yang mengalir dari kecerdasan otaknya untuk berargumentasi yang hasilnya tiada
rasa tersinggung atau merendahkan lawan bicaranya. Akhirnya ketika ia
meninggalkan segala yang dimilikinya di kota dimana ia sebagai jutawan. Tanpa
kata-kata, tanpa merugikan orang lain, dan tanpa merasa rugi bagi dirinya sendiri.
Kesemuanya itu dilakukan dengan segala bentuk keindahannya sebagai seorang
Siddhartha.
Dengan melihat apa yang telah terpapar di atas dan kesantunan kehidupan
para brahmana yang melalui laku pengendalian diri, itulah alasan mengapa saya
memberi „predikat‟ pemberontakan elegan pada novel Siddhartha ini.

2. Santiago dan Mimpinya


Santiago, sang tokoh utama, digambarkan sebagai pemuda Spanyol yang teguh
hati dalam mencapai tujuan hidupnya, yaitu ingin mewujudkan keinginannya
menjelajah belantara dunia. Baginya, mengenal dunia lebih penting daripada
mengenal Tuhan dan mempelajari dosa-dosa manusia (Coelho, 2009:14). Untuk
itulah ia tidak pernah menyelesaikan pendidikan seminari yang kelak akan
menjadikannya seorang pastor, suatu profesi yang membanggakan di kalangan
keluarga petani sederhana seperti dirinya. Tetapi Santiago tampaknya lebih
terpesona akan keelokan alam dunia yang belum pernah dilihatnya sehingga ia
memutuskan untuk menjadi pengembala, yang diyakininya sebagai satu-satunya
pilihan hidup untuk bisa melihat dunia.
Konsekuensi yang harus dipikul oleh seorang Santiago adalah dengan hidup
keluar dari tatanan norma keluarganya yang bukan pengembala sekaligus keluar
dari tatanan kehidupan beragamanya yang sudah sejak lama dirintis oleh
keluarganya dengan memasukkannya ke dalam pendidikan seminari hingga umur
enam belas tahun. Keresahan jiwa yang dialaminya melingkupi dua hal, yaitu
ketidakpuasannya terhadap apa yang dipelajarinya di seminari mengenai

18
ketuhanan, seperti apa yang dikatakannya, “Aku tak bisa menemukan Tuhan di
seminari.” (Coelho, 2009:16). Selanjutnya adalah keinginannya untuk melihat hal-
hal yang berbeda di dunia selain yang pernah dilihatnya selama ini. Dengan kata
lain, pemuda ini ingin mewujudkan keinginannya untuk mengobati keresahan
jiwanya akan dua hal tersebut tadi dengan melakukan suatu perjalanan, suatu
pencarian!
Pencariannya menjadi semakin jelas ketika ia terinspirasi mimpi-mimpi yang
sama ketika berada di sebuah gereja tua dengan pohon sycamore. Mimpinya
tentang harta karun yang terbenam di bawah Piramida Mesir akhirnya
mengantarkannya pada sebuah perjalanan eksotik yang sarat akan pengalaman
hidup dan spiritualitas.
Sebenarnya, apa yang menjadi keinginan Santiago untuk mewujudkan
keinginannya melihat dunia adalah juga mimpi baginya dan ia bertekat untuk
mewujudkan impiannya itu dengan menjadi gembala. Kemudian ia memperoleh
mimpi yang sebenarnya, yaitu mimpi dari tidurnya tentang memperoleh harta
karun dan ia juga ingin mewujudkannya dengan mengikuti segala pertanda yang
dilihatnya maupun yang orang lain membantu untuk melihatnya. Dengan kata lain,
Santiago memiliki dua mimpi. Pertama, ia bermimpi untuk melihat dunia dan
kedua ia bermimpi memperoleh harta karun yang serta merta ingin diwujudkannya
dalam kehidupannya. Dengan berbekal mimpi inilah sang pemuda memulai
goresan nasibnya dalam pencariannya untuk memperoleh tujuan hidupnya.
Dalam rentang perjalanannya meninggalkan Spanyol menuju Mesir di Afrika,
Santiago harus mengalami berbagai hal. Ia bertemu dengan orang-orang yang
menyemangati dan peristiwa yang menyengsarakannya. Orang-orang yang
menyemangati adalah mereka yang mendorongnya untuk selalu mengingat tujuan
pencariannya dan mewujudkan mimpinya. Sedangkan peristiwa yang
menyengsarakannya adalah saat-saat di mana ia harus menderita karena
penganiayaan dalam hidupnya.

a. Orang-Orang yang Menyemangati


Orang pertama yang mendorong dirinya untuk mengejar mimpinya adalah
seorang tua yang mengaku dirinya sebagai Raja Salem, Melkisedek. Santiago

19
sebenarnya sudah memutuskan untuk tidak mempercayai mimpinya karena apa
yang dikatakan peramal Gipsi padanya, tetapi ketika bertemu dengan orang tua ini,
dan pemberiannya berupa dua buah batu Urim dan Tumim, ia berubah pikiran.
Yang menarik dari Raja Salem ini sebenarnya bukanlah pemberiannya pada
Santiago, tetapi apa yang ia berusaha katakan untuk menyakinkan Santiago akan
mewujudkan memperoleh harta karunnya. Ia mengajarinya untuk memahami
pertanda-pertanda dan mengikutinya.
“Aku heran,” kata si anak. “Domba-dombaku yang lain
langsung dibeli oleh temanku. Katanya sejak dulu dia ingin
menjadi gembala, dan kedatanganku merupakan pertanda
bagus.” …..”Sebab ada daya yang menghendaki engkau
mewujudkan takdirmu, kau dibiarkan mencicipi sukses,
untuk menambah semangatmu.” (Coelho, 2009:39)

Ia menceritakan kisah agar seseorang tidak selalu berputus asa untuk mencapai
takdirnya. Ia memperlihatkan pula fakta bahwa orang tua lebih suka anak gadis
mereka menikah dengan tukang roti daripada gembala, dan terlebih lagi ia
mengajarkan, “Dan saat engkau menginginkan sesuatu, seluruh jagat raya bersatu
padu untuk membantumu meraihnya.” (Coelho, 2009:31)
Pada gilirannya, seorang lagi yang menyemangatinya secara tidak langsung
adalah si pedagang kristal yang Muslim. Pedagang kristal ini selalu memimpikan
untuk bisa pergi ke Mekkah untuk haji tetapi ia hanya bisa selalu memimpikannya
karena tidak pernah melakukan tindakan yang nyata untuk mewujudkan mimpinya.
“Sebab justru impian hendak pergi ke Mekkah-lah yang
membuatku bertahan hidup. Impian itulah yang
membantuku menjalani hari-hariku yang selalu sama ini.
……. Aku takut kalau impianku menjadi kenyataan, aku
jadi tidakm punyan alasan lagi untuk hidup.” (Coelho,
2009:72)

Santiago, ditengah keterpurukannya di tempat asing tanpa uang sepeser pun,


ternyata mendapatkan hikmah dari impian sang pedagang kristal. Santiago tidak
ingin seperti pedagang kristal yang hanya mampu hidup karena mampu bermimpi,
dan takut tak mampu hidup ketika mimpinya jadi kenyataan. Maka ia memutuskan
untuk tidak menjadi anak malang korban perampokan di tempat asing ini,
melainkan memilih untuk menjadi petualang yang mencari harta karun. Untuk

20
mewujudkannya ia memerlukan biaya atau ongkos yang mahal. Maka ia bekerja
pada pedagang kristal itu selama setahun untuk mengumpulkan biaya
perjalanannya. Nyatalah bagi Santiago bahwa ia bukan orang yang hanya mampu
bermimpi tetapi sekaligus ingin mewujudkan mimpi.
Orang berikutnya yang mengajarkan pada Santiago untuk tidak takut pada
bahaya apa pun dalam mencapai tujuan hidup adalah sang pemandu onta.
Tapi kelihatannya si pemandu onta tidak terlalu
mencemaskan ancaman perang. “Aku masih hidup,”
katanya pada si anak, sambil makan serenceng kurma ….
“kalau sedang makan, hanya urusan makanlah yang
kupikirkan. Kalaun sedang berjalan, aku berkonsentrasi
pada urusan berjalan … “Sebab aku tidak tidak hidup di
masa lalu atau pun di masa depan. Aku hanya tertarik pada
masa ini. Berbahagialah orang yang berkonsentrasi hanya
untuk saat ini. … Hidup ini akan seperti pesta bagimu,
suatu festival meriah, sebab hidup ini adalah saat yang kita
jalani sekarang ini.” (Coelho, 2009:109-10)

Apa yang dikatakan sang pemandu onta mencerminkan falsafah hidupnya yaitu
bahwa tujuan hidup manusia adalah untuk mencari kebahagiaan. Dengan kata lain,
penikmatan hidup akan membawa seseorang ke dalam kebahagiaan yang sejati
dengan tidak tenggelam pada rasa takut akan kehidupan itu sendiri.
Kemudian ia bertemu dengan gadis gurun bernama Fatima, yang telah
membiusnya dengan pandangan mata eloknya sehingga ia pun hampir-hampir
memutuskan dengan tergesa-gesa bahwa sebenarnyalah Fatima itu adalah harta
karun yang sedang dicarinya.
Pada saat itu waktu seakan berhenti bergerak, dan Jiwa
Dunia bergolak di dalam dirinya. Ketika dia menatap mata
gelap gadis itu, dan melihat bibirnya yang setengah tertawa
dalam kebisuan, dia pun belajar bagian paling penting dari
bahasa yang dikuasai seisi dunia ini—bahasa yang bisa
dipahami siapa pun di bumi, di hati mereka. Bahasa cinta.
Bahasa yang lebih tua daripada manusia, lebih kuno
daripada padang pasir ini. Sesuatu yang meletupkan daya
yang sama manakala dua pasang mata beradu pandang,
seperti terjadi pada mereka di sumur ini. Gadis itu
tersenyum, ini jelas pertanda—pertanda yang telah
ditunggu-tunggu anak lelaki itu, tanpa menyadarinya,
sepanjang hidupnya. Pertanda yang selama ini dicari-
carinya bersama domba-dombanya, di dalam buku-buku

21
yang dibacanya, di antara kristal-kristal itu dan dalam
keheningan padang pasir ini. (Coelho, 2009:120)

Terkadang dalam sebuah pencarian, seseorang bisa saja salah menafsirkan


pertanda-pertanda sehingga dengan tergesa-gesa memutuskan sesuatu yang salah.
Fatima adalah sosok yang sempat membenamkan diri Santiago dalam niatan
berhenti mewujudkan mimpinya tetapi sekaligus menyulut api semangat dalam
dirinya untuk berkobar lagi hingga pencariannya akan harta karun dapat terwujud.
Fatima merupakan sebuah pertanda yang hampir-hampir disalahtafsirkan olehnya
hingga pemunculan seorang yang lain, yang tiada lain tiada bukan adalah sang
alkemis.
Akhirnya sang alkemis adalah sosok yang mengarahkan Santiago pada tujuan
sejatinya, yaitu di suatu tempat di antara piramida-piramida yang mana dirinya
akan memperoleh harta karun yang sesungguhnya. Yang menarik dari sang
alkemis ini adalah caranya menyakinkan Santiago untuk mewujudkan mimpinya,
yaitu pertama ketika kali pertama mereka bertemu. Pertemuan pertama dengan
orang asing pasti tidak banyak yang dibicarakan mengenai hal-hal yang bersifat
rahasia. Tetapi sang alkemis mengetahui rahasianya untuk mencari harta karun itu.
Ia berkata kepada Santiago agar ia tak berhenti meski ia sudah selangkah sejauh ini
(Coelho, 2009:144).
Kedua, sang alkemis membuka jalan pikirannya yang buntu akibat buaian
kecantikan Fatima, sampai-sampai hendak mengurungkan niatnya mencari harta
karun itu.
“Aku sudah menemukan harta karunku. Aku punya unta,
uang hasil aku bekerja di toko kristal, dan lima puluih
batang emas itu. ….Aku juga memiliki Fatima. Bagiku dia
harta yang lebih berharga daripada apa pun yang telah
kuperoleh.” …..”Tapi semua yang kau miliki itu bukan
hasil dari Piramida-Piramida.” Kata sang alkemis. (Coelho,
2009:148)

Ketiga adalah saat sang alkemis mempraktekkan pengubahan logam menjadi


emas, dengan tujuan bahwa dirinya adalah benar-benar seorang alkemis, dan
Santiago sangat mempercayai alkemis. Dengan demikian, sang alkemis dapat
mendorong Santiago untuk tetap meraih mimpinya.

22
b. Peristiwa yang Menyengsarakan Sekaligus Membawa Hikmah
Ada dua peristiwa yang menguji keteguhan dan kesabaran hati Santiago dalam
perjalanannya. Pertama ketika ia dirampok uangnya oleh pemuda di Tangier.
Peristiwa ini membuat dirinya benar-benar terpuruk dan hampir putus asa. Tetapi
ia diberkati dengan kepribadian yang teguh dan terinspirasi oleh tokoh-tokoh
petualang di dalam buku-buku bacaannya. Akhirnya ia memutuskan mengubah
peran dari orang yang terpuruk karena kerampokan menjadi petualang yang
mencari harta karun. Hikmah dari peristiwa ini adalah bahwa ia menjadi antusias
dalam bekerja untuk mencari ongkos perjalanan ke gurun di mana ia akan
menemukan piramida.
Peristiwa berikutnya adalah ketika ia dianiaya para perampok saat hampir
berhasil menggali di antara piramida. Justru dari peristiwa inilah ia memperoleh
hikmah dari perjalanan panjangnya, yaitu kunci menuju lokasi harta karunnya.

E. Menemukan Tuhan dalam Aspirasi Transendentalisme

Dalam pencariannya menemukan Tuhan, ada dua faktor yang patut dicermati
pada tindakan-tindakan yang dilakukan oleh kedua tokoh utama dalam dua novel
ini. Faktor pertama adalah kekuatan diri atau kemandirian dan kedua adalah faktor
alam yang mendominasi proses pencarian spiritual sang tokoh. Kedua faktor
tersebut tampaknya menjadi titik tolak dari perwujudan aspirasi transendentalisme.

1. Kepribadian yang Mandiri


Kemandirian (self-reliance) menurut Emerson adalah kemampuan seseorang
untuk menjadi dirinya sendiri, bukan menjadi seperti orang lain.10 Kemandirian

10
Digambarkan dalam tulisan Ralph Waldo Emerson dalam Nature yang menyatakan "Accept the
place the divine Providence has found for you" as well as "imitation is suicide" periksa Woodlief
(1990) dalam “Emerson and Thoreau as American Prophets of Eco-wisdom”, kertas kerja yang
disajikan dalam sebuah konferensi Humanity di Universitas Virginia, dapat dilihat di American
Transcendentalism Web http://www.vcu.edu/engweb/transcendentalism/criticism/ecotran.html

23
seseorang diperoleh dari rentetan peristiwa yang dialaminya sehingga meneguhkan
hatinya dan membulatkan tekatnya untuk tidak bergantung pada orang lain, yaitu
untuk bisa menjadi dirinya sendiri.
Keteguhan hati para tokoh di dalam dua novel ini tidak disangsikan lagi. Pada
tokoh Siddhartha terlihat dengan jelas apa yang telah dilakukannya sebagai hal
yang di luar kebiasaan dari tatanan kehidupan beragamanya untuk mencapai tujuan
hidupnya, yaitu ingin menemukan hakiki kehidupan: kebenaran dan kebahagiaan
makna hidup. Untuk mencapainya diperlukan keteguhan hati yang luar biasa.
Begitu pula dengan apa yang digambarkan dalam diri Santiago. Ia tampil sebagai
sosok pemuda yang berpendirian teguh sehingga dapat menggapai mimpinya.
Kepribadian tokoh Siddhartha mencerminkan kesempurnaan diri seorang
manusia Hindu. Kesempurnaan diri Siddhartha melingkupi kualitas fisik maupun
psikis. Kualitas fisik Siddhartha menggambarkan ketegaran raganya akan berbagai
macam deraan cobaan selama perjalanan pencarian spiritualnya. Sedangkan
kualitas psikisnya menyorot pada kesempurnaannya dalam tata cara berpikir yang
memberi label dirinya sebagai orang yang cerdas dan berwawasan luas. Berangkat
dari kedua kualitas kepribadian Siddhartha inilah kemandirian atau unsur menjadi
diri sendiri menjadi begitu kuat.
Dari segi kualitas fisik, Siddhartha adalah sosok yang berpenampilan kuat,
gagah, dan tampan. Kepandaiannya berolah tata cara brahmana diwarisinya dari
sang ayah dan terlebih lagi ketika hidup bersama para samana di hutan, ia mewarisi
ilmu mereka dengan hampir sempurna. Kekuatan fisik Siddhartha menjadikannya
kuat tahan uji dalam masalah-masalah kekuatan bertapa, puasa, dan menahan diri
dari nafsu duniawi.
Dari segi kualitas psikis, ia adalah sosok yang cerdas. Ia mempelajari berbagai
pengetahuan dan selalu haus akan pengetahuan baru, hingga akhirnya ia merasakan
ketidakpuasan pada apa yang selama ini dijalaninya. Sebagai putra Brahmana ia
diharapkan dapat menjadi seorang Brahmana seperti ayahnya. Tetapi ia menolak.
Kecerdasannya dalam ilmu duniawi juga dibuktikan dengan suksesnya ia menjadi
pedagang seperti Kamaswarni.
Kemandirian Siddhartha tercermin dari sikapnya yang berani menolak
kemapanan kehidupannya sebagai brahmana dan pedagang. Penolakannya berakar

24
pada keinginannya untuk menjadi dirinya sendiri. Dia tidak ingin seperti ayahnya,
ia tidak ingin seperti Govinda sahabatnya yang mengikut pada Gotama, dan ia
tidak ingin seperti Kamaswarni sang pedagang (meski ia mengalami hidup sebagai
Kamawarni). Ia meneguhkan hatinya untuk terus mencari apa yang dirasakan
belum diperolehnya.
Seperti Siddhartha, Santiago juga memiliki kualitas kepribadian yang teguh
seperti keyakinannya pada cinta, keberaniannya menyingkirkan rasa takut,
kesabarannya, semangat hidupnya, dan amanahnya.
Cinta memang ajaib. Seperti itulah kekuatan yang dirasakan Santiago dalam
dirinya ketika ia memutuskan untuk meninggalkan seminari dan ingin melihat
dunia. Ia telah jatuh cinta pada suatu keyakinan akan ketuhanan yang tidak ia
dapatkan di seminari dan beralih pada niatan untuk mencarinya dengan melihat apa
yang diciptakan olehNya, yaitu dunia. Seperti itu pula ketika ia jatuh cinta pada
Fatima. Keyakinan dirinya akan mampu melihat dunia dan cinta Fatima dapat
membuat dirinya bisa melakukan apa saja. Bahkan akhirnaya cinta juga lah yang
membawanya pergi untuk mewujudkan mimpinya akan harta karun. Seperti yang
dinyatakan, “Dia tahu cintanya kepada gadis itu akan memberinya kesanggupan
untuk menemukan harta apa pun di dunia ini.”(Coelho, 2009:122).
Kepribadian yang teguh tercermin pula dalam keberaniannya dalam
menghadapi rasa takut. Keyakinannya pada Tuhan telah membimbingnya keluar
dari rasa takut yang dialaminya selama perjalanan. Bermula dari menghalau rasa
takutnya pada perempuan Gipsi di Tarifa kemudian ketika ia menapakkan kakinya
di kota pelabuhan Tangier dan akhirnya saat ia harus menjadi angin di depan
pimpinan pasukan suku gurun.
Selain mampu mengatasi rasa takut, Santiago juga diuji kesabarannya.
Kesabarannya dalam mengatasi penderitaan akan beberapa peristiwa yang
menyengsarakannya menjadikan dirinya pribadi yang tak gampang putus asa. Ia
tidak berhenti begitu saja meratapi nasibnya yang malang ketika seluruh hartanya
dicuri di Tangier. Sebaliknya ia berusaha menyabarkan dirinya untuk mau bekerja
mencari biaya sebagai ongkos perjalanannya ke gurun untuk mewujudkan
mimpinya. Selain itu, Santiago tidak berhenti berupaya mencari harta karunnya
walaupun sudah disakiti oleh beberapa orang saat menggali di piramida. Bahkan

25
dengan kesabarannya ia mencoba untuk mengambil hikmah dari apa yang
dikatakan orang yang menganiayanya:
“Kau tidak akan mati. Kau akan hidup dan kau akan belajar
untuk tidak sebodoh ini lagi. Dua tahun yang lalu, persis di
tempat ini, aku juga mendapatkan mimpi berulang. Dalam
mimpiku aku disuruh pergi ke padang-padang Spanyol,
mencari sebuah gereja terbengkalai tempat para gembala
dan domba-domba mereka tidur. Dalam mimpiku itu ada
sebatang pohon sycamore tumbuh di antara puing-puing
sakristi. Aku diberitahu, kalau aku menggali akar-akar
pohon sycamore itu, aku akan menemukan harta karun.
Tapi aku bukan orang tolol. Aku tidak mau menyeberangi
bentangan padang pasir hanya gara-gara mengalami mimpi
ulang.” (Coelho, 2009:209)

Inilah buah kesabaran Santiago. Dalam usahanya mengejar mimpinya itu ada-
ada saja cobaan yang dialaminya untuk menguji kesabarannya dan ia menemukan
tanda-tanda yang diberikan Tuhan kepadanya. Ia bertindak dengan hati-hati, tidak
terburu-buru atau pun tak sabar. Jika saja ia membabi buta maka tanda-tanda
tersebut akan luput darinya dan gagallah ia mencapai mimpinya.
Yang paling mewarnai kepribadian Santiago adalah semangat hidupnya yang
tinggi. Ia penuh antuasiasme dan optimisme dalam menjalani takdirnya. Ia
mengerjakan apa yang seharusnya ia kerjakan dengan penuh cinta dan semangat.
Ketika ia menjadi gembala ia sangat bertanggungjawab dengan domba-domba
gembalaannya, bahkan ia menyebut satu-satu nama mereka. Ketika ia bekerja pada
pedagang kristal, ia tidak mau dibelaskasihani dengan diberi uang untuk kembali
ke Spanyol tanpa melakukan apa pun. Maka ia memilih bekerja pada sang
pedagang kristal agar dapat dikumpulkannya cukup uang untuk perjalanan ke
Piramida. Bahkan ketika ia bekerja, ia selalu bekerja dengan antusiasme yang
tinggi dengan menyumbangkan pikran-pikrannya yang inovatif dalam menjajakan
dagangan kristalnya, misalnya dengan memajang rak kristal di luar dan menjual
minuman the dalam gelas-gelas kristal.
Akhirnya, Santiago adalah orang yang amanah. Kepribadiannya yang seperti
ini tercermin ketika ia telah berhasil memperoleh harta karun dan seketika ia ingat
janjinya dengan perempuan Gipsi yang meramal mimpinya. Ia pun pergi ke Tarifa

26
menemui si Gipsi untuk memberikan sepersepuluh hartanya seperti yang pernah
dijanjikannya.

2. Peran Alam dalam Pencarian Tuhan


Pengetahuan Siddharta akan konsep ketuhanan diterapkannya untuk mencari
kebahagiaan makna hidup yang dilihatnya sebagai wujud pengendalian diri dari
hal-hal yang bersifat nyata. Apa yang diajarkan dalam agamanya tentang mantra-
mantra dan tata peribadatan selama ini tidak pernah memuaskan hatinya.
Pemikiran transenden-nya melibas keberadaan tata cara tersebut dan
menggantikannya dengan pemahaman yang lebih tinggi terhadap apa yang
disuguhkan sang Pencipta dalam alam semesta ini, yaitu berupa objek-objek
ciptaan Tuhan itu sendiri.
Pemunculan objek sungai dalam novel ini adalah jawaban dari pencarian
spiritual Siddhartha. Emerson (dalam Woodlief, 1990) memberi penekanan yang
kuat pada keyakinannya akan tujuan hidup ini, yaitu memahami pelajaran-
pelajaran tentang keberadaan (existence) dengan melalui pengamatan, pemahaman
dan penginterpretasian terhadap makna alam.
Objek sungai dalam novel Siddhartha memiliki kualitas transendental karena
merujuk pada unsur alam sebagai komoditi (commodity). Kehidupan sungai telah
membawa keuntungan bagi Siddhartha secara sandang, pangan, dan papan. Dari
sungai ia bertahan hidup karena sungai memberinya makanan. Sungai juga telah
memberi „sandang‟ baginya sebagai sang juru sampan. Sungai pulalah yang
memberinya tempat perlindungan dan tempat tinggal (papan). Di balik sungai
sebagai objek hadir sosok Tuhan dengan kemurahanNya pada manusia.
Keindahan atau keelokan tertinggi, yaitu sang pencipta, terangkum dalam
keelokan sosok sungai di mana Siddhartha melabuhkan hidupnya. Ia memuja
indahnya gelegak air sungai, memandangi buih-buih air yang muncul ke
permukaan dalam waktu yang lama untuk meresapi keelokan yang
ditimbulkannya. Terkadang ia pandangannya mengembara ke hutan di pinggir
sungai yang menciptakan keindahan alam hijau dan terkagum-kagum dibuatnya.

27
Dengan melihat semua itu Siddhartha merasakan kehadiran sang pencipta, sang
Atman yang selama ini dicarinya.11
Tidak hanya unsur keindahan saja yang ditampilkan alam untuk menggugah
spiritualitas Siddhartha, tetapi juga bahasa. Sungai berbicara padanya dan ia
mengerti bahasanya, dan akhirnya memahami apa yang ada di balik kehidupan ini.
Semakin sering ia mendengarkan dan melabuhkan pemikiran-pemikirannya pada
sungai, ia pun semakin mengerti apa yang disampaikan sungai kepadanya. Dengan
memahami sungai seakan berbicara padanya ia telah berbicara pada yang
menciptakan sungai, sang pencipta.
Pada gilirannya, sungai mengajarkan pada Siddhartha bentuk disiplin mengenai
pemahaman akan tujuan hidupnya. Sungai sebagai fenomena alam menampakkan
gerakan-gerakan kehidupan yang dengan hati-hati dipelajari oleh Siddhartha.
Mendengar dan belajar dari sungai mengantarkannya pada pemikiran transendental
dimana ia melihat suatu pencerahan dalam dirinya dalam memahami kehidupannya
kini. Selama ia menetap di sungai itu ia mempelajari hal-hal yang nyata, yang
samar, yang sama, yang berbeda, yang mirip, bahkan sampai pada kekuatan-
kekuatan di sekitar sungai. Misalnya, keteraturan gerak air sungai yang
menciptakan arus sehingga ia bisa menyeberangkan orang atau ketidakteraturan
penumpang sampan yang datang dan pergi, sehingga ia dapat bekerja yang lain
seperti mengayam keranjang. Dari sinilah ia mendapatkan irama kehidupan yang
dirasakannya dapat memberikan kedamaian hatinya dengan mengerjakan pekerjaan
itu dengan hati senang.
Berkenaan dengan idealisme, pemikiran Siddhartha bermuara pada kehidupan
sungai pula. Segala perkataannya dalam dialognya dengan Govinda merujuk pada
sungai sebagai sumber idealismenya. Semua itu mencerminkan kemurnian ide
yang diperolehnya dari pemahaman kehidupan.
Objek alam berhubungan dengan jiwa. Jiwa religius Siddhartha terbentuk
ketika ia menetap di kehidupan sungai itu. Kehidupan kota dengan kemewahan
harta dan wanita tidak membentuk jiwanya akan pemuasan spiritualitasnya.

11
Ketika Archimedes berhasil menemukan masalah berat jenis saat dia berada dalam bak mandinya
dan segera berteriak keras-keras. „Eureka! Eureka!‟ Mungkin seperti itulah perasaan seseorang yang
menemukan apa yang telah lama dicarinya.

28
Pemahamannya akan kehidupan sungai membantunya menyelami dirinya sendiri
atas penderitaannya (anaknya tak mau turut serta hidup bersamanya) dan kehadiran
sang Atman dalam dirinya.
Pada gilirannya, alam adalah prospek bagi diri Siddhartha, yaitu bagaimana ia
seharusnya belajar dari alam. Sungai adalah tempat dimana ia berkecimpung
kesehariannya. Sungai adalah dimana ia melabuhkan pemikiran-pemikirannya,
sekaligus masalah-masalah hidupnya, dan sungai telah mengajarinya. Menurut
Emerson, yang terpenting dari hal mempelajari alam adalah intuisi daripada tata
cara yang disarankan dalam ilmu-ilmu pasti dan geologi. Siddharta mengamati,
mempelajari, dan memahami kehidupan sungai baginya. Itulah intuisi yang bukan
pengamatan detil tapi mengabaikan keterkaitan alam dengan objek yang
diamatinya. Sungai adalah prospek bagi Siddhartha yang membawanya pada
pemahaman tujuan hidup.
Akhirnya sungai menjadi penting bagi Siddhartha bukan karena ia sebuah
sungai, sebagai sebuah entiti, tetapi bagaimana Siddhartha memandang dan
berpikir untuk memahami sungai tersebut hingga ia mendapatkan apa yang selama
ini ia cari selama berada dalam pencarian spiritualnya. Alam raya yang dihuni oleh
sekian objek ciptaan Tuhan bisa membuat manusia terpuruk di dalamnya tanpa
adanya pemahaman, tetapi pemikiran yang transenden dapat menyelamatkan
manusia dari keganasan alam tersebut dan menghidupkan kembali karakter
spiritualnya. Spiritualitas Siddhartha yang pernah mati terlibas oleh kehidupan
duniawi terselamatkan oleh moment hidupnya sebagai juru sampan, hidup kembali
dan bahkan menemukan tujuannya.
Apa yang dialami oleh Siddhartha tampaknya mirip dengan apa yang dialami
oleh Santiago dalam pencariannya. Perjalanannya menuju perwujudan mimpinya
akan harta karun sebenarnya adalah perwujudan dari spiritual quest-nya yang sejak
mula mendasari pengelanaannya untuk melihat dunia. Bukankah awal mula
Santiago ingin menjadi gembala karena ia tidak bisa menemukan Tuhan dalam
seminari? Bukankah dengan menjadi gembala ia bisa melihat dunia? Bukankah
dunia itu adalah alam ciptaan Tuhan yang diyakininya dapat mengantarkan dirinya
pada rasa ketuhanannya?

29
Dunia dalam pandangan Santiago adalah suatu bentangan bumi luas tak
terhingga, selain tanah kelahirannya, dengan segala perbedaan isinya. Dengan
melihat dunia ia bisa melihat suatu lanskap yang lebih luas dibandingkan dengan
lanskap tanah kelahirannya dan seminari dimana ia belajar ilmu teologia.
Tampaknya berada dalam perbedaan lanskap bagi seseorang dalam suatu waktu
amatlah penting.12 Santiago merasa telah memperoleh banyak pencerahan semasa
perjalanannya dalam pencarian harta karun yang sekaligus pencarian tujuan
hidupnya ketika ia berada jauh dari tanah kelahirannya.
Di tanah kelahirannya, objek alam seperti domba, padang-padang rumput,
gereja yang terbengkalai, dan pohon sycamore adalah tampakan alam yang baginya
merupakan suatu rutinitas bagi penglihatannya. Tetapi itu sudah menjadi bagian
dari „pelarian‟nya yaitu meninggalkan kehidupan seminari dan kehidupan
keluarganya yang menginginkannya menjadi pastor. Santiago belajar memahami
kehidupan barunya sebagai gembala dengan suka cita dan antusias. Ia banyak
belajar dari alam sekitarnya. Padang-padang rumput mengajarinya mengenali
bahaya. Domba-domba mengajarinya kedisiplinan atau rutinitas dalam menjalani
kehidupan di alam terbuka. Pengetahuannya tentang domba-dombanya telah
membantunya untuk bertahan hidup. Padang rumput dan dombanya adalah bukti
kemurahan Tuhan baginya akan kecukupan sandang, pangan, dan „papan‟. Seperti
apa yang diterangkan oleh Emerson bahwa alam adalah komoditi bagi kehidupan
manusia sehingga manusia diuntungkan oleh hasil kerjasama alam yang tiada
henti-hentinya.
Keindahan alam gurun dan oasis di dalamnya telah menaklukkan hati Santiago.
Segala yang terlihat mulai dari yang diam, seperti sumur-sumurnya, pohon-pohon
kurmanya, hingga ke yang bergerak, seperti penghuninya, semangat para pria
gurun dalam berperang dan laju kehidupan wanita dan anak-anak. Segala
sesuatunya tampak begitu indah dan mempesonanya, sampai pada akhirnya ia

12
Peralihan lanksap, pergantian geografis dan ekologi serta sosial budaya bisa merangsang
terciptanya karya-karya segar dengan efek-efek kebaruan yang lahir dari jiwa seorang seniman.
Misalnya Umar Khayam dengan karya monumentalnya Seribu Kunang-Kunang di Manhattan.
periksa Setiadi, Tia. “Religiositas dan Erotika dalam Sajak-Sajak Acep Zam Zam Noor”. pada
http://www.docstoc.com/docs/6338197/Religiositas-dan-Erotika-Dalam-Sajak-Sajak-Acep-
Zamzam-Noor

30
bertemu yang paling indah dilihatnya, yaitu Fatima. Bagaimana pun Fatima adalah
perwujudan keelokan dari sang pencipta yang merupakan keindahan tertinggi.
Emerson menyatakan bahasa adalah kendaraan bagi manusia untuk memahami
alam. Objek domba membawa Santiago pada pemahaman bahasa antusiasme yang
dipahami setiap orang di dunia ini. Dengan bahasa antusiasme inilah semua orang
di dunia bisa berkomunikasi tanpa melihat perbedaan bangsa. Bahasa inilah yang
mengantarkan Santiago pada pemenuhan cita-citanya. Ketika ia membantu
pedagang gula-gula, bekerja di toko kristal, bercakap dengan pemandu onta, orang
Inggris, Fatima, dan dengan sang alkemis sendiri, ia mengandalkan bahasa
antusiasme ini. Tidak hanya itu, fakta-fakta alam tertentu merupakan simbol dari
fakta-fakta spiritual tertentu. Sebuah fakta alam berupa dua burung elang yang
terbang tinggi di langit dan salah satunya menukik tajam menyerang burung
satunya merupakan simbol fakta spiritual tertentu yang dipahami Santiago sebagai
bahasa alam. Santiago sudah terbiasa dengan domba-dombanya yang mengajarkan
padanya bahasa alam sehingga ia dan dombanya saling memahami, dan kini
dengan objek burung elang tersebut Santiago dapat menangkap pesan spiritual
yang disampaikan alam (burung elang). Begitu pula ketika ia memahami bahasa
sang perampok yang menganiayanya di Piramida mengenai pohon sycamore yang
tumbuh dari tempat sakristi. Ia memahami maknanya sebagai lambang tempat
dimana harta karun itu harus ditemukan.
Idealisme Santiago juga tercermin dalam kedekatannya dengan alam.
Penguasaannya akan gejala-gejala alam seperti bagaimana ia menyakinkan kepala
suku pasukan gurun akan adanya bahaya perang setelah memaknai fakta alam yang
berupa burung elang terbang tinggi dan menukik tajam menyerang burung lainnya.
Kemurnian idenya yang berasal dari alam inilah hampir menyamakannya dengan
kedudukan Yusuf dan Firaun.
Objek alam berhubungan dengan jiwa. Santiago dalam usahanya mengubah
dirinya menjadi angin berbicara kepada padang pasir, angin dan matahari guna
meminta bantuannya mengubah dirinya menjadi angin karena semuanya
mempunyai jiwa yang sama dan diciptakan oleh tangan yang sama, yaitu sang
pencipta, Tuhan. Hanya saja mereka tidak bisa kecuali oleh „tangan yang
menuliskan semua ini‟, yaitu Tuhan.

31
Akhirnya, alam adalah prospek bagi diri Santiago, yaitu bagaimana ia
seharusnya belajar dari alam. Menurut Emerson, yang terpenting dari hal
mempelajari alam adalah intuisi daripada tata cara yang disarankan dalam ilmu-
ilmu pasti dan geologi. Santiago telah mengandalkan intuisinya dalam mencari
harta karunnya. Pengamatannya pada alam telah membuahkan hasil baginya. Ia
telah berhasil mengembalikan keterkaitan alam dengan peristiwa-peristiwa yang
dialaminya sehingga bisa menyimpulkan dimana letak harta karunnya berada.
Simbol „pohon sycamore yang tumbuh dari sakristi‟ dipahaminya dengan benar
dan mengantarkannya pada harta karunnya.

F. Penutup
Pencarian spiritual bagi kedua tokoh utama dua novel diafan ini bermuara pada
pokok yang sama, yaitu mewujudkan sebuah impian. Impian telah membawa
mereka pada perjalanan panjang meninggalkan keluarga dan tanah kelahiran
hingga mengalami berbagai peristiwa kehidupan yang mematangkan proses
pencarian spiritual mereka.
Impian Siddhartha adalah penemuan kebenaran dan kebahagiaan makna hidup,
sedangkan impian Santiago adalah penemuan Tuhannya (Jiwa Dunia) dan harta
karunnya. Dalam perjalanan mereka sama-sama mengalami berbagai peristiwa
yang mengantarkan pada pemahaman akan keberadaan Tuhan di balik rahasia
alam, yang dikenal dengan pemikiran transendental.
Pencarian spiritual seorang Siddhartha meliputi dua wilayah spiritualitas, yaitu
dimana ia belajar memperoleh pencerahan ketika masih dalam kungkungan
agamanya (in religion) dan ketika ia keluar dari tata cara peribadatan agamanya
dengan mendekatkan dirinya pada fenomena alam (outside religion). Pencerahan
seperti itu dikukuhkan dengan adanya pemikiran transendental yang terpelihara di
dalam spiritualitas-nya.
Pencarian spiritual seorang Santiago lebih banyak bertumpu pada pendekatan
dirinya pada kuasa alam untuk merasakan kehadiran Tuhan (outside religion).
Kedekatannya dengan objek-objek alam membuahkan pemahaman dirinya akan
Jiwa Dunia (Tuhan itu sendiri) dan mengantarkannya pada takdirnya, yaitu
memperoleh harta karun.

32
Menemukan Tuhan di balik kuasa alam adalah menemukan Tuhan itu sendiri
dengan kekuasaannya yang dimanifestasikannya dalam objek-objek alam yang
diambil keuntungannya oleh manusia, baik secara lahiriah maupun batiniah. Secara
lahiriah, objek-objek alam bekerja sama memberi apa yang dibutuhkan manusia
sebagai ketahan untuk hidup (life survival) seperti sandang, pangan, dan papan
serta pelatihan hidup dalam suatu disiplin yang tinggi. Secara batiniah, alam
memberikan ide murni, jiwa, bahasa, dan prospek yang membolehkan manusia
untuk mengadopsi fakta alam untuk pengungkapan emosional dan kekayaan jiwa
mereka akan menanggapi fenomena alam. Tentu saja tidak berlebihan apabila saya
katakan bahwa kedua tokoh utama dua novel tersebut sama-sama mencoba
menemukan Tuhan dalam dekapan alam.
Akhirnya, sastra bersifat polyinterpretable, multitafsir. Paparan di atas adalah
hasil interpretasi saya atas novel Siddhartha. Ini berarti bahwa penafsiran dan
pemaknaan yang lain yang berbeda dengan paparan ini keberadaannya sah sah
saja. Hal yang lebih bermanfaat dilakukan ialah dengan berbagi pandangan
mengenai hasil interpretasi tersebut. Dengan demikian akan tercapailah
pemahaman dan pemaknaan yang lebih kompleks (complexity), lebih kaya
(richness), dan lebih mendalam (depth).

Terima kasih.

33
Daftar Pustaka

Coelho, Paulo. The Alchemist (Sang Alkemis). Diterjemahkan oleh Tanti Lesmana.
Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka Utama. 2009.

Danu, Shri. “Pengendalian Diri, Etika, dan Toleransi”. pada Hindu Darma
Website. 2009. di http://www.hindu-dharma.org/2009/07/pengendalian-diri-
etika-dan-toleransi/
Flower, Elizabeth and Murray G. Murphey. A History of Philoshophy in America
Vol 1. New York: Carpicorn Books. 1977.
Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
1980.

Hesse, Hermann. Siddhartha. Diterjemahkan oleh Sovia V.P. Yogyakarta: Jejak.


2007.

Kattsoff, Louis. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Penerbit Tiara Wacana. 2004.

Setiadi, Tia. “Religiositas dan Erotika dalam Sajak-Sajak Acep Zam Zam Noor”.
pada http://www.docstoc.com/docs/6338197/Religiositas-dan-Erotika-Dalam-
Sajak-Sajak-Acep-Zamzam-Noor
Skilleas, Ole Martin. Philosophy and Literature: An Introduction. Edinburgh:
Edinburgh University Press. 2001.
Thakura, Bhaktivinoda Srila. “Sri Bhaktyaloka: Six Faults that Destroy Bhakti”.
Varnasrama Education Website Com di
http://www.varnasramaeducation.org/index.php?option=com_content&view=a
rticle&id=120:selected-writings-of-srila-bhaktivinod-
thakura&catid=87:acharyas-instructions&Itemid=205
Torrance, M. Robert. The Spiritual Quest: Transcendence in Myth, Religion, and
Science. California: University of California. 1994.
V., Jayaram. “The Hindu Caste System”. Hindu Website Com di
http://www.hinduwebsite.com/hinduism/h_caste.asp
Wellek, Rene dan Austin Weren. Teori Kesusasteraan. Diterjemahkan oleh Melani
Budianta. Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka Utama. 1995.

Woodlief, Ann. “Emerson and Thoreau as American Phrophets of Eco-wisdom”. A


paper presented to Virginia Humanities Conference. 1990. di American
Transcendentalism Web
http://www.vcu.edu/engweb/transcendentalism/criticism/ecotran.html

34

Anda mungkin juga menyukai