Anda di halaman 1dari 15

Orasi pada peluncuran buku Salim Haji Said, Galeri Cipta II, Taman Ismail

Marzuki, Jakarta,18 April 2018

SASTRA DAN HUMANIORA

Oleh Ignas Kleden

Secara tradisional sastra termasuk dalam kelompok ilmu-ilmu humaniora, yang


meliputi sejarah, kesenian, retorika, musik, kebudayaan, dan pendidikan, bahasa dan ilmu
bahasa, sastra dan ilmu sastra, filsafat, teologi, psikologi bahkan antropologi.1 Istilah
humaniora berasal dari kata Latin humanus yang berarti manusiawi. Istilah humanior adalah
bentuk komparatif (compararative form) dari kata humanus dan berarti lebih manusiawi dan
semakin manusiawi. Dengan demikian humaniora berarti kelompok ilmu yang berfungsi
membuat tiap orang menjadi lebih manusiawi dan semakin manusiawi. Filosof Jerman, Max
Scheler, menamakan humaniora sebagai Wesenswissenschaft yaitu kelompok ilmu yang
2
berhubung dengan Wesen yaitu hakekat yang hakiki dari manusia bertentangan dengan
ilmu-ilmu empiris yang merupakan Herrschaftswissenschaft atau kelompok ilmu yang
berfungsi menciptakan kekuasaan dan dominasi.

Namun demikian, kedudukan humaniora secara epistemologis menjadi penting dan


definitif setelah filosof Wilhelm Dilthey (1833-1911) mendefinisikan perbedaan utama antara
kelompok ilmu-ilmu kealaman atau Naturwissenschaften dan kelompok ilmu-ilmu
kemanusiaan atau Geisteswissenschaften. Dalam kepustakaan bahasa Inggris ilmu-ilmu
kealaman dinamakan natural sciences sedangkan kelompok ilmu kemanusiaan dinamakan
human sciences. Perbedaan antara ilmu-ilmu kealaman dan ilmu-ilmu kemanusiaan, menurut
Dilthey dapat diuraikan dalam ikhtisar berikut..

• Alam tidak dibuat oleh manusia, sedangkan kebudayaan dan sejarah dibuat oleh
manusia. Peneliti alam hanya perlu mengamati gejala alam dan mencatat semua ciri
dan sifat gejala itu. Seorang geolog yang meneliti gunung Merapi harus mengamati

1
Helmut Seiffert & Gerard Radnitzky (Eds.), Handlexikon zur Wissenschaftstheorie, Muenchen, Ehrenwirth
Verlag, 1989, sub voce “Geisteswissenschaften”.
2
Max Scheler, Philosophische Weltanschauung, Bern – Muenschen, Francke Verlag, 1968, h. 7 ff.
1


sifat-sifat gunung Merapi dan mencatat dengan teliti semua sifat dan perubahan sifat
gunung api tersebut. Hubungan di antara gejala alam dan peneliti alam adalah
hubungan di antara sebuah objek penelitian dan pengamatan peneliti. Tidak ada
hubungan saling pengaruh di antara gejala alam dan peneliti alam.

• Sebaliknya, dalam kebudayaan, seorang peneliti dari Jawa yang hendak meneliti
kebudayaan Jawa, mempunyai hubungan interaksi yang intens di antara kebudayaan
Jawa dan dirinya. Hubungan itu tidak netral karena peneliti bersangkutan adalah juga
orang yang turut menciptakan dan memberi bentuk dan isi kepada pola-pola
kebudayaan Jawa, dan sebaliknya, pola-pola kebudayaan itu telah turut membentuk
diri dan kepribadian peneliti tersebut sebagai seorang Jawa. Hal yang sama berlaku
untuk seorang peneliti Indonesia yang hendak menulis disertasi tentang sejarah
Indonesia Modern. Dia harus menulis sejarah yang turut dia bentuk melalui perannya,
sambil harus menyadari bahwa dirinya yang mengalami sejarah yang telah turut
dibentuknya itu, mempunyai pengaruh langsung kepada pembentukan dirinya dan
alam pikirannya. 3

• Dalam penelitiannya, seorang peneliti alam akhirnya bisa menjelaskan sifat-sifat suatu
gejala alam berdasarkan data-data yang dikumpulkan melalui pengalamannya.
Dikatakan secara teknis, seorang peneliti alam melakukan explanation atau Erklaeren
dalam istilah Dilthey. Eksplanasi atau penjelasan tentang gejala alam dilakukan
melalui pengumpulan berbagai data mengenai suatu gejala alam, klasifikasi data itu
dalam beberapa kategori, kemudian dilihat hubungan di antara berbagai data itu
dalam posisi data yang merupakan variabel independen atau variabel dependen, dan
bagaimana wujud ketergantungan variabel dependen terhadap variabel independen.

• \Sebaliknya seorang yang meneliti kebudayaan Jawa tidak cukup hanya menjelaskan,
tetapi juga harus memahami, harus mempunyai understanding terhadap perilaku
budaya dalam kebudayaan Jawa. Max Weber menamakan pemahaman ini sebagai
metode verstehen. Dalam metode pemahaman ini seorang peneliti tidak cukup hanya
mengamati dan mencatat perilaku budaya, tetapi juga berusaha menemukan motif-
motif subjektif dari perilaku itu, suatu hal yang tidaki perlu dilakukan oleh peneliti

3
Ucapan Dilthey yang terkenal ialah “die Natur erklaeren wir, das Seelenleben verstehen wir” (alam kita
jelaskan, sedangkan hidup kejiwaan kita pahami), Lih. Dilthey dalam Juergen Habermas, Erkenntnis und
Interesse, Frankfurt a.M., Suhrkamp Verlag, 1977, h. 184.
2


alam. Kalau dia tidak segera memahami motif-motif subjektif dari perilaku budaya itu
dia harus melakukan tafsir atau interpretation tentang motif-motif subjektif tersebut
berdasarkan hubungan-hubungan yang ada dalam suatu konteks konkret, dengan
memanfaatkan teori yang memungkinkan interpretasi itu, entah teori semiotik, teori
simbolik, atau teori hermeneutik. Dalam arti itu, seorang Yogya dianggap kurang
sopan kalau berbicara dengan suara yang terlalu keras, sedangkan di Flores, seorang
dianggap kurang sopan kalau berbicara dengan suara yang terlalu halus.

• Ilmu pengetahuan bertambah maju melalui pengalaman para peneliti dengan objek
yang mereka teliti. Tetapi Dilthey membedakan dua jenis pengalaman, berupa
pengalaman yang memberi pengetahuan baru dan pengalaman yang memberi
makna baru. Pengalaman mendaki gunung, pengalaman mengamati gunung api,
pengalaman melakukan penelitian lapangan, pengalaman bekerja dalam laboratorium,
pengalaman bermain basket atau ikut pertandingan sepak bola, pengalaman turut serta
dalam perlombaan ultra-maraton sejauh 320 km seperti yang dilaksanakan di pulau
Sumbawa pada bulan April tahun ini selama tiga hari (4-7 April 2018), semuanya
memberi pengetahuan baru. Tetapi pengalaman mengenai sakit berat, pengalaman
jatuh cinta atau putus cinta, pengalaman tentang kekecewaan dan hilangnya harapan,
pengalaman estetis tentang keindahan lukisan, pengalaman menikmati sebuah sajak
yang bagus, atau pengalaman spiritual dalam doa dan latihan rohani, tidak memberi
pengetahuan baru, tetapi memberi makna baru yang dialami, khususnya makna
mengenai hidup manusia. Dilthey menamakan pengalaman yang memberi
pengetahuan baru Erfahrung, sedangkan pengalaman yang memberi makna baru
Erlebnis. Dalam kepustakaan bahasa Inggris yang menerjemahkan teks-teks Dilthey,
dua jenis pengalaman ini hanya diterjemahkan sebagai experience sehingga perbedaan
pengalaman sebagaimana dimaksudkan oleh Dilthey tidak kelihatan, meskipun dalam
teks terjemahan dikatakan experience yang satu berhubungan dengan knowledge,
sedangkan experience yang lain berhubung dengan meaning.

• Kesimpulan yang ditarik oleh Dilthey ialah ada perbedaan sifat secara hakiki di antara
ilmu-ilmu kealaman dan ilmu-ilmu kemanusiaan, dengan akibat bahwa masing-
masing kelompok ilmu itu harus bekerja dengan menggunakan metode yang berbeda.
Ilmu-ilmu kealaman (dengan metode yang kemudian diterapkan juga dalam ilmu-ilmu
sosial empiris positif) menggunakan metode explanation sebagaimana sudah
3


diuraikan secara singkat, sedangkan ilmu-ilmu humaniora menggunakan metode yang
memungkinkan understanding atau pemahaman dan interpretation atau tafsir.
Eksplanasi memungkinkan kita mendapatkan hubungan atau korelasi dalam
pengetahuan yang ada berdasarkan hubungan sebab-akibat atau kausalitas dalam ilmu
fisika, atau hubungan fungsional antara satu fungsi dengan fungsi lainnya dalam
biologi, sedangkan pemahaman memungkinkan kita menemukan hubungan
antarmakna dalam sebuah gejala kebudayaan atau atau peristiwa sejarah, dengan
melihat bagaimana suatu makna diproduksikan, bagaimana produksi makna itu
terlaksana, dan dengan menggunakan sarana kebudayaan apa saja produksi makna itu
berlangsung.

Kira-kira satu setengah abad sebelum Dilthey telah muncul seorang filosof Italia
bernama Giambattista Vico (1668-1741) yang memperkenalkan scienza nuova atau ilmu
pengetahuan baru. Dia mengajukan suatu tese yang menarik sebelum Dilthey. Menurut tese
itu, manusia memahami paling baik apa yang telah dia buat sendiri. Alam tidak dibuat
manusia, tetapi sejarah dan kebudayaan adalah buatan manusia. Karena itu apa yang paling
dipahami manusia dengan akalnya adalah sejarah dan kebudayaan, karena sejarah dan
kebudayaan telah dibuat oleh manusia sendiri.

Menurut Vico pengetahuan manusia tidak cukup dibagi ke dalam dua kategori, yaitu
peneetahuan apriori-deduktif dan pengetahuan aposteriori-empiris. Ada kategori ketiga yang
diusulkan Vico ialah pengetahuan rekonstruktif-imajinatif yang dinamakannya fantasia.
Dengan adanya fantasia tiap orang dimungkinkan memasuki kehidupan mental dalam
kebudayaan lain dan berbagai pandangan hidup dan cara hidup yang ada dalam sejarah dan
kebudayaan. Pandangannya tentang kreativitas juga unik. Menurut dia, kreativitas bukanlah
kemampuan menciptakan benda-benda seni dan budaya berupa artefak, tetapi kemampuan
untuk memahami ekspresi tentang visi setiap orang tentang kehidupan, melalui benda-benda
budaya yang diciptakannya. Adapun visi tentang kehidupan ini hanya dapat dipahami
melalui imajinasi rekonstruktif yang memungkinkan empati, dan bukan melalui analisis
dalam ilmu alam atau taksonomi dalam ilmu biologi. 4

Sejauh mana Dilthey diilhami oleh pandangan Vico tentang pengetahuan,


membutuhkan suatu penelitian tersendiri dalam sejarah filsafat dan sejarah ilmu pengetahuan,


4
Isaiah Berlin, Three Critics of the Enlightenment : Vico, Hamann, Herder, London, Pimlico, 2000, h. 9-15.
4


yang berada di luar tema pembicaraan hari ini, meski pun dua pandangan yang mirip sama
tidak selalu merupakan akibat suatu pengaruh, tetapi dapat muncul dalam elective affinity
yang akan saya bicarakan pada akhir makalah ini.

II

Dalam produksi makna inilah, humaniora berhubungan langsung dengan sastra,


karena, menurut pendapat saya, sastra adalah tulisan yang tidak saja mengandung
makna, tetapi memproduksikan makna. Dalam kemampuan memproduksi makna, sastra
sebagai teks berbeda dari teks-teks lain seperti ilmu pengetahuan, hukum, administrasi, atau
jurnalisme. Penjelasan yang diberikan oleh filosof Paul Ricoeur dalam teori tekstualnya,
kiranya dapat mempermudah kita memahami soal ini.

Ricoeur membedakan dua jenis makna sebuah teks, yaitu makna yang lahir karena
teks merujuk kepada kenyataan di luar teks, yang dinamakannya reference atau makna
referensial, dan makna yang lahir dari dalam teks itu sendiri tanpa merujuk ke kenyataan di
luar teks. Makna ini dinamakannya sense yang dapat kita terjemahkan menjadi makna
tekstual.5 Inilah cara pertama Ricouer mengartikan makna dan teks. Cara yang kedua ialah
memandang kebudayaan sebagai suatu teks yang ditulis oleh para pelaku kebudayaan itu,
bukan dengan huruf, tetapi dengan perilaku budaya mereka. Proses ini oleh Clifford Geertz
6
dinamakan cultural inscription atau inskripsi budaya. Dalam teori ini diandaikan bahwa
perilaku orang dalam kebudayaannya adalah ibarat orang berbicara dalam bahasa lisan yang
segera lewat, tetapi melalui inskripsi budaya makna itu sudah ditulis, dan makna itu tetap
tinggal. Dalam bahasa Geertz, tingkahlaku budaya adalah the saying sedangkan makna
budaya yang tetap tinggal adalah the said.

Teori Geertz tentang inskripsi budaya diilhami oleh teori Paul Ricoeur tentang fixasi,
yaitu proses yang membuat wacana sebagai peristiwa berubah menjadi wacana sebagai
makna. Ricoeur mengartikan wacana atau discourse sebagai dialektik peristiwa dan makna


5
Paul Ricoeur, Hermeneutics and the Human Sciences, Cambridge-London-NewYork, Cambridge University
Press, 1984, h. 140.
6
Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures, New York, Basic Books, 1973, h. 31-33.
5


atau event-meaning dialectic.7 Dalam teori ini dikatakan bahwa suatu wacana terlaksana
sebagai peristiwa tetapi hanya dapat dipahami sebagai makna. Peristiwa segera berlalu, tetapi
makna akan tetap tinggal. Tetap tinggalnya makna hanya mungkin terjadi kalau wacana lisan
diubah menjadi wacana tertulis. Proses inilah yang dinamakan fixasi yaitu peralihan dari oral
discourse yang segera berlalu menjadi written discourse yang tetap tinggal. Sebagai contoh
wacana kita tentang sastra dan humaniora terlaksana karena ada pertemuan kita hari ini, saat
saya berbicara dan anda mendengar. Akan tetapi sehabis orasi ini peristiwa ini segera berlalu,
dan yang tinggal adalah makna yang kebetulan sudah difixasikan dalam makalah yang saya
tulis, dan juga dalam catatan-catatan yang mungkin sudah anda buat.

Atas cara yang sama Geertz berpendapat bahwa berbagai kejadian dalam kebudayaan
dapat dipandang sebagai peristiwa, sebagai wacana lisan, seperti seminar-seminar dan diskusi
kebudayaan, pementasan teater dan pembacaan sajak, akan segera berlalu, tetapi yang akan
tinggal adalah buah pikiran tentang kebudayaan, kesadaran tentang perlunya kesenian,
sebagai makna yang menetap. Berbagai perilaku budaya dalam mode dan gaya hidup, akan
segera berlalu tetapi yang tinggal sebagai makna adalah norma dan nilai-nilai yang
merupakan inskripsi atau apa yang dituliskan dalam kebudayaan melalui semua perilaku
tersebut.

Ketika merenung teori ini, terpikir juga oleh saya bahwa dialektika peristiwa
dan makna seakan mengandaikan bahwa setelah ada peristiwa yang segera berlalu maka
makna yang menetap dengan sendirinya ada sebagai hasil fixasi. Hubungan yang seakan-akan
otomatis ini, dalam pandangan saya tidak selalu sesuai dengan kenyataan. Karena ada
demikian banyak demonstrasi dalam politik Indonesia dan beberapa daripadanya berupa
demonstrasi berukuran besar, tetapi setelah demonstrasi itu berlalu sebagai peristiwa, tidak
selalu jelas makna apa yang difixasikan dan menjadi pertinggal yang menetap. Setelah lewat
peristiwa-peristiwa yang heboh dalam politik, kita tak tahu makna apa yang difixasikan
dalam budaya politik kita. Dengan lain perkataan, wacana sebagai dialektika peristiwa dan
makna, bisa berubah menjadi peristiwa tanpa makna, karena tidak ada yang diinskripsikan
menjadi stabil dan semuanya segera berlalu sebagai wacana lisan semata-mata.

Karena itulah teori teks Paul Ricoeur lebih menarik perhatian saya ketika dia
berbicara tentang dua jenis makna teks, yaitu makna referensial yang dihasilkan oleh

7
Paul Ricoeur, Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of Meaning, Texas, The Texas Christian
University Press, 1976, h. 8-9.
6


hubungan antara teks dan lingkungan di luar teks, dan makna tekstual berupa makna yang
diproduksikan oleh teks itu sendiri tanpa merujuk ke dunia di luar teks. Kita dapat
menguraikan hal ini dengan contoh.

Toha Mohtar dalam novelnya berjudul Pulang yang memenangkan hadiah sastra
nasional dari BMKN (Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional) tahun 1958,8 bercerita
tentang Tamin yang kembali ke desanya setelah bertugas selama tujuh tahun sebagai heiho
yang direkrut oleh pemerintahan militer Jepang di Hindia Belanda untuk bertempur melawan
pasukan Inggris di Birma.9 Selama kepergiannya tidak ada hubungan dengan keluarganya,
dan tak ada berita tentang dirinya yang sampai ke desanya. Orang tua dan orang-orang
desanya tak pernah pasti apakah dia masih hidup atau telah mati dalam tugasnya. Ketika tiba
kembali ke desanya, dia merasa dapat mengenal dengan cepat desa kelahirannya itu bahkan
dapat memastikan lokasi tempat berdiri rumah orang tuanya. Semuanya terjadi demikian
karena secara fisik desa itu tidak mengalami perubahan yang berarti. Penanda-penanda
desanya dengan mudah membawa dia kembali ke masa kecilnya. Bekas roda cikar yang
digenangi air hujan di atas tanah yang becek, masih seperti yang dikenalnya sebagai kanak-
kanak. Pohon asam yang tumbuh di samping jembatan masih rimbun daunnya seperti dahulu
dan tetap kokoh menahan angin. Jembatan dari kayu nangka masih sama keadaannya seperti
waktu ia tinggalkan desanya. Demikian pun batu besar di bawahnya tempat anak-anak
melempar pancing ke tengah kali masih tetap di tempatnya. Bahkan rumah tempat dia
melewatkan masa kanak-kanaknya tak kelihatan berubah. Pintu depan rumahnya yang
berdaun tunggal masih seperti tujuh tahun lalu. Dinding cetak dari kulit bambu masih belum
diganti. Halaman rumah yang penuh pohon pisang belum ditanami tanaman lain. Tamin
terpesona bercampur heran bahwa tujuh tahun pergolakan yang dialaminya di negeri yang
jauh, tak membawa perobahan apa pun pada penampilan desanya. Suatu rasa tenang yang
damai memenuhi hatinya bahwa dia akhirnya dapat kembali ke rumahnya, jauh dari perang
dan bebas dari keharusan berkelahi dan membunuh orang yang menjadi musuh Jepang.

Akan tetapi perlahan tapi pasti dia melihat perubahan yang terjadi pada orang-orang
di desanya, dan pada hubungan sosial yang banyak ditentukan oleh kepemilikan. Perubahan
pertama dilihat pada ibunya dan ayahnya. Ibunya terlihat lebih ringkih tubuhnya meski pun
masih gesit bekerja. Ayahnya banyak di rumah karena menderita sakit batuk yang tak putus-


8
Ajip Rosidi, Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia, Bandung, Binacipta, 1998 (cet.6), h. 133.
9
Toha Mohtar, Pulang, Jakarta, Pustaka Jaya (cet. 5), 1994.
7


putusnya. Sumi, adik perempuannya, yang ditinggalkannya sebagai anak kecil sudah
bertumbuh menjadi gadis yang matang dan cantik. Suasana desa amat terasa ketika Tamin
bertanya kepada Sumi berapa umurnya, dan Sumi menjawab tidak tahu karena dia tak pernah
menghitung umurnya, tentu saja karena hari ulang tahun tak pernah dirayakan. Hanya
ayahnya menjelaskan bahwa Sumi sudah 16 kali ikut merayakan maulud. Perubahan itu
semakin terasa ketika ibunya memberi tahu dia bahwa sawah mereka telah menjadi milik
orang lain. Ketika ayahnya sakit keras ibunya tidak mempunyai uang dan memutuskan
menggadaikan tanah sawah mereka untuk mengongkosi pengobatan ayahnya, dan sampai
sekarang mereka tak mempunyai uang untuk menebus sawah itu kembali. Tamin tiba-tiba
merasa sia-sia usaha yang telah dilakukannya memperbaiki kandang sapi yang rusak. Untuk
apa memperbaiki kandang, karena tidak dibutuhkan lagi sapi untuk membajak sawah yang
sudah menjadi milik orang lain.

Tamin kemudian bertanya kepada ibunya tentang teman-teman sebaya dan


sepermainan dia semasa kecilnya, khususnya dua sahabatnya yang paling dekat, yaitu Pardan
dan Gamik. Pardan adalah sahabat yang selalu bermain bersama dia, dan selalu menyertainya
ke kali, ke ladang atau ke kota untuk menjual kayu bakar. Gamik adalah temannya yang
kedua, berbadan kerdil dengan tangan dan kaki yang lebih pendek dari ukuran normal, tetapi
selalu menyenangkan karena banyak bicara dan banyak lelucon yang diceritakannya dengan
kocak. Ketika Tamin bertanya tentang Gamik, ibunya menjawab “Tuhan maha adil, Tamin.
Dalam kekerdilannya ia memiliki jiwa yang besar.” Lalu ibunya bercerita bahwa pada suatu
musim hujan Belanda datang juga ke desa mereka mencari pemuda untuk dijadikan tentera.
Bersama enam orang temannya, Gamik memanggul senjata dan melakukan perlawanan di
sepanjang kali di pinggir sawah. Tetapi pasukan Belanda terlalu banyak dan pertahanan
Gamik dan kawan-kawannya jebol. Semua teman-teman Gamik bisa lolos dan melarikan diri.
Tinggal Gamik sendirian. Esok harinya tubuh Gamik ditemukan di pinggir pematang,
badannya sudah robek-robek kena peluru bedil. Lalu ibu Tamin berkata dengan suara yang
pasti “Gamik menang”.

Novel yang mengharukan ini masih ada lanjutannya, tetapi saya berhenti di sini untuk
memperlihatkan perbedaan antara makna referensial dan makna tekstual, yaitu apa yang
dimaksudkan oleh Ricoeur dengan reference dan sense. Seluruh lukisan Tamin tentang
desanya yang tak berubah secara fisik setelah ditinggalkannya selama tujuh tahun yang
pernuh pergolakan, adalah makna referensial yang kuat. Di sana teks berhubungan dengan
8


lukisan tentang desanya, sebagai suatu lanskap yang idylis. Demikian pun perubahan yang
terjadi dalam tanggapan dan jiwa penduduk desa itu yang mulai menghormati perjuangan
anak-anak muda mempertahankan desa dari Belanda yang hanya memperlakukan desanya
sebagai tempat rekrutmen tenaga muda untuk menjadi tentera, adalah juga makna referensial.
Di sini pengarang dengan pandai sekali melukiskan kontras di antara penampilan fisik desa
yang nampak teduh dan tenteram dan semangat revolusioner yang tersembunyi di bawah
permukaan, yang tak urung membakar jiwa penduduk termasuk ibu Tamin dalam fisiknya
yang ringkih.

Akan tetapi ketika ibu ini berkata tentang Gamik “Tuhan maha adil. Dalam
kekerdilannya ia memiliki jiwa yang besar” maka ucapan itu tidak dihasilkan oleh hubungan
teks dengan lingkungan luar teks, tetapi diproduksi dari dalam teks itu sendiri. Demikian pun
ketika jenasah Gamik ditemukan di pinggir pematang dengan banyak robekan di badan akibat
hantaman peluru bedil, maka ibu Tamin berkata “Gamik menang”. Ini seluruhnya adalah
makna tekstual yang diproduksikan oleh teks dan dalam teks, serta tidak bisa dijelaskan
dengan melihat keadaan mayat Gamik. Ucapan itu mengingatkan kita akan ucapan Nyai
Ontosoroh kepada Minke, menantunya, ketika keduanya gagal mempertahankan Annelies
melawan putusan Pengadilan Amsterdam, yang memerintahkan Annelies harus dibawa ke
Belanda dan diserahkan kepada isteri sah Herman Mellema, ayah Annelies karena
hubungannya dengan nyai Ontosoroh, yang telah melahirkan dan membesarkannya dengan
susah payah. Minke berkata kepada Nyai Ontosoroh “Kita kalah Ma,” dan si nyai menjawab
“Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.”10 Inilah contoh
makna tekstual yang membuat sebuah teks menjadi karya sastra, karena makna ini tidak bisa
diproduksikan dalam teks-teks lainnya.

Selalu ada orang-orang dalam berbagai masyarakat yang oleh karakter dan
pembawaannya, memainkan peran sebagai faktor yang mendorong perubahan sosial, sekali
pun berhadapan dengan perlawanan keras dari status quo yang ada. Mereka sering kali
menjadi korban pembaharuan yang mereka prakarsai, tetapi dapat mengatasinya dengan
kepercayaan diri dan kepercayaan pada apa yang mereka lakukan. Merekalah orang-orang
yang dapat dinamakan pahlawan perubahan sosial, the hero of social changes , yang
dilukiskan oleh Rendra dalam sajaknya berjudul “Sajak Rajawali”. Saya kutip dua kuplet
pertama sajak tersebut, tatkala Rendra berkata “sebuah sangkar besi / tidak bisa mengubah

10
Kalimat akhir penutup novel Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia, Jakarta, Hasta Mitra, 2000, h. 405.
9


seekor burung rajawali / menjadi seekor burung nuri. Rajawali adalah pacar langit / dan di
dalam sangkar besi /rajawali merasa pasti / bahwa langit akan selalu menanti.”

Kalau kita kembali ke teori Dilthey tentang pengalaman, maka semua makna
referensial, yang diberikan oleh ilmu pengetahuan, jurnalisme, teks hukum, atau analisan
ekonomi, hanya memberi kita pengalaman yang berisi pengetahuan baru, atau memberi kita
Erfahrung, sedangkan sumbangan sastra dan humaniora adalah memberi kita pengalaman
yang mengandung makna baru, khususnya makna tentang hidup manusia, yang oleh Dilthey
dinamakan Erlebnis.

III

Menurut teori Dilthey, sebuah perbedaan lain antara ilmu-ilmu sosial positif dan ilmu-
ilmu humaniora ialah sikap terhadap keumuman atau kekhususan gejala yang diamati dan
diteliti. Ilmu-ilmu sosial positif, dengan mengikuti contoh ilmu-ilmu kealaman, mencari sifat-
sifat umum yang dapat dikenakan kepada sebanyak mungkin objek yang dianggap termasuk
dalam lingkup satu gejala yang sama. Dalam ilmu geologi dan geofisika, akan dicari sifat-
sifat yang sama dari semua gunung berapi. Dalam ilmu-ilmu sosial positif akan dicari sifat-
sifat yang sama pada semua masyarakat yang dianggap tradisional, dan di pihak lain sifat
umum berbagai masyarakat modern. Metode utama dari ilmu-ilmu kealaman dan ilmu-ilmu
sosial adalah generalisasi dan perluasan generalisasi. Semakin luas gejala yang bisa dicakup
oleh generalisasi semakin baik hasil penelitiannya. Kelompok ilmu yang mencari kesamaan
dan mengabaikan perbedaan dinamakannya ilmu-ilmu nomotetis.

Sebaliknya, humaniora seperti sejarah atau sastra mencari kekhususan dan kekhasan
pada satu objek singular yang membedakannya dari objek lain dalam gejala yang sama.
Misalnya dalam gejala pemberontakan petani, akan diselidiki bukan kesamaan-kesamaan
antara pemberontakan petani di Birma dan di Banten, tetapi justru kekhasan pembenrontakan
petani Banten yang membuatnya berbeda dari pemberontakan petani di tempat lain. Cara dan
teknik untuk melukiskan kekhususan dan kekhasan, yang membedakan satu objek dari objek
lain dalam gejala yang sama, dinamakan metode ideografis oleh Dilthey. Hal ini menjadi
amat penting dalam karya sastra. Apa yang dinamakan orisinalitas suatu karya sastra ialah
kemampuannya menghadirkan sesuatu yang khas dalam cerita, esai atau sajak.

10


Kisah percintaan antara lelaki dan perempuan sudah ratusan ribu kali digarap dalam
berbagai novel, cerpen atau sajak. Akan tetapi sebuah novel yang bagus dapat menghadirkan
kisah cinta itu atas cara yang demikian unik, sehingga pembaca seolah merasa membaca
kisah percintaan yang baru pertama kali terjadi. Demikian pun semangat seorang muda untuk
mencapai kemajuan sambil meremehkan statusnya sebagai priyayi dan calon bupati di jaman
penjajahan Belanda, dapat ditemukan di banyak tempat, tetapi Pramoedya mempunyai suatu
cara yang unik dalam novel Bumi Manusia, ketika melukiskan perjuangan Minke menjadi
manusia bebas yang tidak terkungkung oleh status priyayi, sambil berhadapan dengan sikap
ayahnya seorang bupati yang tidak dapat memahami pilihan hidup anaknya, yang telah
menyia-nyiakan kesempatan menjadi bupati, sekali pun ini menjadi impian demikian banyak
priyayi muda yang berpendidikan. Di pihak lain, Minke tetap mendapat dukungan penuh dari
ibunda yang tidak memahami cita-cita anaknya, dan selalu bertanya mengapa gerangan
anaknya tak pernah menulis dalam bahasa Jawa yang amat dirindukannya, dan lebih suka
menulis dalam bahasa Belanda dan bahasa Melayu yang tak dikenalnya

Namun demikian, kita patut memberi perhatian kepada suatu gejala dalam sastra,
yang dengan meminjam idiom sosiologi, ingin saya namakan elective affinity atau
Wahlverwandtschaft,11 suatu istilah yang diperkenalkan oleh Goethe dan kemudian
dipergunakan sebagai konsep sosiologi. Secara sederhana electivc affinity adalah munculnya
dua gejala pada waktu yang sama dengan hubungan erat satu sama lain, tetapi tak bisa
ditentukan dengan pasti gejala mana yang menjadi variabel independen dan gejala mana pula
yang menjadi variabel dependen. Studi Max Weber tentang etik Protestan dan semangat
kapitalisme masih menimbulkan debat akademis sampai sekarang, mengenai bagaimana
menjelaskan hubungan di antara etik Protestan dan semangat kapitalisme itu. Pertanyaan
yang menjadi titik api polemik adalah: apakah etik Protestan, khususnya asketisme Calvinis,
telah mendorong munculnya kapitalisme di negara-negara Eropa, atau sebaliknya, kelahiran
kapitalisme itu telah menyebabkan teologi Kristen mengalami adaptasi dengan keadaan baru
dalam bentuk etik Protestan?12


11
Max Weber, Wirtschaft und Gesellschaft, Tuebingen, J.C.B. Mohr, h. 705.
12
Di antara berbagai kritik terhadap tulisan Max Weber, patut disebut kritik Felix Rachfahl berjudul
“Kalvinismus und Kapitalismus”, yang amat mengganggu Max Weber yang kemudian memberikan jawaban
yang sangat polemis berjudul“Antikritisches zum ‘Geist’ des Kapitalismus.” Kedua tulisan itu dimuat kembali
dalam Johannes Winckelmann (Ed.), Max Weber, Die Protestantische Ethik Band II: Kritiken und Antikritiken, h.
57-148 dan h. 149-215
11


Max Weber sendiri tidak menyimpulkan dengan tegas bahwa kapitalisme telah lahir
dan didorong perkembangannya oleh etik Protestan. Studinya lebih merupakan deskripsi
yang cermat tentang beberapa perbedaan di antara kalangan Katolik dan kalangan Protestan.
Berdasarkan statistik yang diperolehnya di Jerman, maka terlihat bahwa di kalangan anak-
anak sekolah menengah di Jerman, anak-anak katolik lebih banyak masuk gymnasium
dengan pendidikan yang berorientasi humanistis, sedangkan anak-anak Protestan lebih
banyak masuk ke Realschule yang merupakan sekolah kejuruan. Dia juga menunjukkan
berdasarkan statistik bahwa orang Protestan lebih berperan sebagai pimpinan baik teknis mau
pun manajerial dalam perusahaan, sementara orang katolik lebih menjadi pekerja yang setia.
13
Saya berpendapat bahwa uraian Max Weber tentang etik Protestan dan semangat
kapitalisme lebih merupakan suatu elective affinity. Atau dalam rumusan Prof. Tawney yang
menulis “Foreword” untuk terjemahan Talcott Parsons atas Etik Protestan dan Semangat
Kapitalisme dikatakan dengan cermat sekali bahwa “capitalism was the counterpart of
Calvinist theology.”14

Uraian yang agak panjang lebar tentang elective affinity ini kiranya dapat bermanfaat
untuk menunjukkan bahwa sebagaimana dalam hubungan sosial dapat muncul gejala-gejala
yang kelihatan berhubungan, tetapi tak dapat dipastikan bagaimana bentuk hubungan itu,
maka juga dalam hubungan tekstual dapat terjadi bahwa terdapat berbagai asosiasi yang
menghubungkan satu teks dengan teks lainnya, tetapi tak dapat ditetapkan bagaimana
hubungan itu telah terjadi. Hubungan itu bisa terlihat dalam tema, dalam suasana dan dalam
diksi yang dipakai dalam sajak misalnya. Ada teks-teks dari tiga penyair penting Indonesia
yang akan saya bandingkan dengan teks-teks penyair-penyair asing dari Inggris, Amerika dan
India.

Dalam sajaknya berjudul “Padamu Jua”, penyair Amir Hamzah menulis sebuah
kalimat yang kemudian menjadi terkenal “lalu waktu bukan giliranku / mati hari bukan
kawanku”. Kalimat yang indah itu segera membawa pikiran saya kepada sebuah kalimat
Alfred Lord Tennyson (1809-1892) dari Inggris dalam sajaknya berjudul “Break, Break,
Break”. Dalam sajak ini dia juga menggunakan sebuah kalimat yang tak kurang indahnya,


13
Max Weber, Gesammelte Aufsaetze zur Religionssoziologie, Band I, Tuebingen, J.C.B. Mohr 1986 (cet. 8). H.
17-19. Bdk. Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (terj. Talcott Parsons), New York,
Charles Schribner’s Sons, 1958, h. 35.
14
Lih. R. H. Tawney “Foreword” dalam Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (terj.
Talcott Parsons) , h. 2
12


dan amat mirip dengan kalimat Amir Hamzah yang baru saja dikutip. Berkata Tennyson “but
the tender grace of a day that is dead / will never come back to me”.

Contoh kedua diambil dari sajak Goenawan Mohamad berjudul “Surat Cinta”. Kuplet
pertama sajak itu berbunyi “Bukankah surat cinta ini ditulis / ditulis ke arah siapa saja /
seperti hujan yang jatuh rimis / menyentuh arah siapa saja”. Kuplet itu dalam suasananya
mirip sekali dengan sebuah kuplet sajak penyair perempuan Amerika, Emily Dickinson
(1830-1886). Kuplet itu berbunyi “this is my letter to the world / that never wrote to me / the
simple news that nature told / with tender majesty.” Isi kedua sajak ini jelas berbeda sekali,
karena sajak Goenawan Mohamad berbicara tentang hujan yang jatuh rimis menyentuh arah
siapa saja, sedangkan Emily Dickinson berbicara tentang “berita-berita sederhana yang
dikisahkan alam tapi tak pernah dituliskan kepadanya oleh dunia”. Yang mirip adalah
suasana dalam dua sajak itu berupa sirkumstansi yang tenang tatkala seorang menulis surat ke
alamat yang demikian umum.

Contoh ketiga adalah penyair Sapardi Djoko Damono, penyair yang setelah Chairil
Anwar mungkin paling banyak dihapal sajaknya oleh kaum muda dan penggemar puisi.
Sebuah sajaknya yang banyak penggemarnya berjudul “Aku Ingin”. Sajak itu terdiri dari dua
kuplet dan kuplet pertama berbunyi “Aku ingin mencintaimu dengan sederhana / dengan kata
yang tak sempat diucapkan / kayu kepada api yang menjadikannya abu.” Kuplet ini
mengingatkan saya akan sajak pendek mirip aphorisme yang terhimpun dalam kumpulan
sajak Rabindranath Tagore (1861-1941) berjudul Stray Birds. Salah satu sajak pendek dalam
kumpulan ini berbunyi “smoke boasts to the sky / and Ashes to the earth / that they are
brothers.” Isi kedua sajak ini amat berbeda, tetapi penanda-penanda alam yang digunakan
amat mirip yaitu api, asap, kayu, tanah dan abu.

Sajak yang lain dari Sapardi Djoko Damono berjudul “Berjalan ke Barat Waktu Pagi
Hari”. Ini sebuah sajak yang menurut pernilaian saya paling bagus dari penyair ini.
Seluruhnya sajak itu adalah sebagai berikut.

Waktu aku berjalan ke Barat di waktu pagi matahari mengikutiku di belakang / Aku
berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri yang memanjang di depan /Aku dan
matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang telah membuat bayang-
bayang / Aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang
harus berjalan di depan.
13


Sajak ini mengingatkan saya akan sajak pendek R. Tagore berikut ini “When the sun goes
down to the West, the East of his morning stands before him in silence.” Saya sendiri merasa
sajak Sapardi ini lebih bagus dan lebih kompleks strategi puisinya dibanding dengan sajak
Tagore. Demikian pun sajak pertama berjudul “Aku ingin” lebih mempesona dari sajak
Tagore yang dikutip sebagai perbandingan. Tagore hanya memperlihatkan dialog antara asap
dan langit di satu pihak, dengan abu dan tanah di pihak lainnya, yang mengatakan mereka
bersaudara. Tetapi pesan sajak “Berjalan ke Barat Waktu Pagi Hari” bercerita tentang
harmoni yang damai antara aku dan matahari yang tidak bertengkar tentang siapa yang
membuat bayang-bayang, dan dialog antara aku dan bayang-bayang yang tidak bertengkar
tentang siapa yang harus berjalan di depan.

Patut dikemukakan di sini bahwa perbandingan beberapa sajak penyair Indonesia


dengan penyair dari negeri lain, tidak bermaksud mengatakan bahwa Amir Hamzah telah
mengutip dari Lord Tennyson, atau Goenawan Mohamad telah mencontoh Emily Dickinson,
atau Sapardi Djoko Damono telah memparafrase beberapa kalimat Tagore. Apa yang hendak
diperlihatkan adalah gejala elective affinity yaitu keadaan di mana dua gejala yang
berhubungan muncul dalam interaksi sosial, dan keadaan di mana dapat ditemukan teks-teks
yang memperlihatkan hubungan dekat di antara mereka. Dikatakan secara lain, kalau dua
gejala sosial muncul pada waktu yang relatif sama atau berdekatan, dan kelihatannya
mempunyai pengaruh satu sama lain (seperti munculnya kapitalisme dan berkembangkannya
etik Protestan) sambil tak dapat ditetapkan gejala apa yang menjadi variabel independen dan
gejala apa yang menjadi variabel dependen, maka rupa-rupanya dalam hubungan antar teks,
dapat muncul dua teks yang mirip sama, tanpa kita bisa memastikan bagaimana teks yang
satu telah mempengaruhi teks yang lain, atau malah tidak ada saling pengaruh yang berarti,
dan kemunculan keduanya lebih didorong oleh elective affinity, atau Wahlverwandtschaft
yaitu kekerabatan dalam pilihan yang dibuat manusia dalam kebebasannya.

Jakarta, 15 April 2018

14


15

Anda mungkin juga menyukai