BAHASA INDONESIA
Catatan Mengenai Kebijakan Bahasa, Kaidah Ejaan,
Pembelajaran Sastra, Penerjemahan, dan BIPA
Penulis:
Dr. FAHRURROZI, M.Pd.
&
ANDRI WICAKSONO, M.Pd.
Editor:
Dr. SUPRIYONO, M.Pd., M.M.
Desain Sampul:
Jalu Sentanu dan Freepik.com
Diterbitkan oleh:
i
ii
Sekilas Tentang
BAHASA INDONESIA
Catatan Mengenai Kebijakan Bahasa, Kaidah Ejaan, Sastra
dan Pembelajaran, Penerjemahan, dan BIPA
Penulis:
Dr. FAHRURROZI, M.Pd.
&
ANDRI WICAKSONO, M.Pd.
Pastikan Anda mendapatkan buku ini melalui cara-cara yang shalih dan tidak
melukai. Selalu belilah buku/ebook garudhawaca dengan cara-cara yang jujur.
Anda tidak diperkenankan meng-copy dan kemudian menyebarkan materi ebook
ini kepada orang lain. Jika Anda bermaksud memberikan buku ini sebagai hadiah
kepada orang lain, maka lakukan pembelian kembali dan bingkiskan kepada
teman Anda.
~*~
iii
CATATAN PENULIS
Puji syukur senantiasa kami panjatkan ke hadirat Allah SWT,
atas karunia, hidayah, dan pertolongan-Nya sehingga buku Sekilas
Tentang BAHASA INDONESIA: Catatan Mengenai Kebijakan
Bahasa, Kaidah Ejaan, Sastra dan Pembelajaran, Penerjemahan,
dan BIPA bisa berada di tangan Saudara pembaca yang budiman.
Dalam penyelesaian buku ini, kami selaku penulis banyak
mendapat bantuan, bimbingan, dan pengarahan dari berbagai
pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Buku ini merupakan gambaran umum yang diramu dari
berbagai sumber yang semoga tidak menyalahi tata tulis ilmiah
ataupun pelanggaran hak cipta. Kalau pun ada kekhilafan, kami
selaku penulis memohon maaf yang sedalam-dalamnya bagi yang
bersangkutan.
Secara ringkas buku ini membahas mengenai kebijakan dan
perencanaan bahasa, politik bahasa Indonesia. Di dalamnya juga
membahas mengenai pedoman kaidah, tata tulis ilmiah dalam
berbagai selingkung. Selain itu, juga turut disinggung mengenai
pembelajaran sastra (fiksi, puisi, dan drama) serta dibumbui
dengan pedoman penerjeman, baik ideologi, teknik-metode,
sampai evaluasi terjemahan. Terakhir, dibahas pula mengenai
BIPA (Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing).
Semoga dengan kehadiran buku ini turut serta mempunyai
andil dalam pembelajaran bahasa, terkhusus Bahasa Indonesia
serta dapat memperkaya khasanah perbukuan terkait dengan
teori kebahasaan, meskipun tidak akan sebaik dari buku-buku
yang telah terbit sebelumnya, setidaknya dapat terjangkau di
hadapan para pembaca sekalian.
Akhirnya, kami selaku penulis hanya dapat berdoa semoga
Tuhan Yang Maha Esa melimpahkan berkat dan rahmat-Nya dan
semoga buku sederhana ini bermanfaat bagi pembaca.
Bandarlampung, April 2016
Penulis,
v
BAB V PEDOMAN UMUM EJAAN BAHASA INDONESIA
(PUEBI)
A. Pendahuluan ................................................................................. 60
B. Pemakaian Huruf ........................................................................ 62
C. Penulisan Kata ............................................................................. 72
D. Pemakaian Tanda Baca ............................................................ 84
vii
BAB XV PROGRAM BIPA (Bahasa Indonesia Penutur Asing)
A. BIPA, Gagasan Awal ................................................................... 259
B. Hakikat BIPA................................................................................. 262
C. Tujuan Pembelajaran BIPA..................................................... 265
viii
Sekilas tentang Bahasa Indonesia | 1
BAB I
BAHASA INDONESIA
SEBAGAI IDENTITAS BANGSA
A. Pendahuluan
Berdasarkan sejarah, bahasa Indonesia merupakan salah
satu dialek temporal dari bahasa Melayu yang struktur maupun
khazanahnya sebagian besar masih sama atau mirip dengan
dialek-dialek temporal terdahulu seperti bahasa Melayu Klasik
dan bahasa Melayu Kuno. Bahasa Melayu di Indonesia kemudian
digunakan sebagai lingua franca (bahasa pergaulan), namun
pada waktu itu belum banyak yang menggunakannya sebagai
bahasa ibu. Bahasa ibu masih menggunakan bahasa daerah yang
jumlahnya mencapai 360 bahasa.
Kaitannya dengan fakta tersebut, menurut Holmes (2013:
106), beberapa negara menganggap bahwa terbentuknya suatu
bahasa nasional merupakan simbol bersatunya sebuah bangsa.
Slogan “satu bangsa, satu bahasa” merupakan slogan yang cukup
populer dan efektif. Pada awal abad sebelum tahun 1500-an,
bahasa nasional merupakan entitas politik suatu negara,
misalnya bahasa Inggris di negara Inggris, bahasa Perancis di
negara Perancis, bahasa Jepang di negara Jepang, dan bahasa
Spanyol di negara Spanyol. Pada abad ke-19, jumlah bahasa
nasional pun semakin bertambah seiring meningkatnya
nasionalisme kebahasaan di wilayah Eropa.
Penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional atas
usulan Muhammad Yamin, seorang politikus, sastrawan, dan ahli
sejarah. Dalam pidatonya pada Kongres Nasional kedua di
Jakarta, Yamin mengatakan bahwa “Jika mengacu pada masa
depan bahasa-bahasa yang ada di Indonesia dan
kesusastraannya, hanya ada dua bahasa yang dapat diharapkan
menjadi bahasa persatuan, yaitu bahasa Jawa dan Melayu. Tapi,
2 | Fahrurrozi & Andri Wicaksono
dari dua bahasa itu, bahasa Melayulah yang lambat laun akan
menjadi bahasa pergaulan atau bahasa persatuan.”
Secara sosiologis, dapat dikatakan bahwa bahasa Indonesia
baru dianggap “lahir” atau diterima keberadaannya pada tanggal
28 Oktober 1928. Secara yuridis, bahasa Indonesia secara resmi
diakui keberadaannya pada tanggal 18 Agustus 1945. Bahasa
Indonesia adalah bahasa resmi Republik Indonesia sebagaimana
disebutkan dalam Undang-Undang Dasar RI 1945, Pasal 36.
Bahasa Indonesia merupakan bahasa persatuan bangsa
Indonesia sebagaimana disiratkan dalam Sumpah Pemuda 28
Oktober 1928. Bahasa Indonesia adalah alat komunikasi paling
penting untuk mempersatukan seluruh bangsa. Oleh sebab itu,
bahasa Indonesia merupakan alat mengungkapkan diri, baik
secara lisan maupun tulisan; dari segi rasa, karsa, dan cipta serta
pikir, baik secara efektif maupun logis. Seluruh warga negara
Indonesia harus mahir dalam menggunakan bahasa Indonesia
untuk memperkokoh integrasi bangsa.
Bahasa Indonesia tentu saja memiliki karakter khusus
karena berakar dari tradisi etnik lokal yang kemudian
dimodifikasi dan diadopsi menjadi bahasa persatuan. Bahasa
Indonesia bersifat fleksibel yang tampak dalam berbagai dialek,
misalnya bahasa Indonesia dialek Betawi, dialek Sulawesi
Selatan, dialek Palembang, dialek Papua, dan lain-lain. Inilah
yang disebut Ferdinand de Saussure (1996: 80) sebagai aspek
parole dari bahasa. Bahasa Indonesia baku dalam konteks
Saussurian disebut sebagai aspek langue. Langue-lah yang
menjadi titik tekan kajian ilmu linguistik, langue merupakan
fakta sosial yang artinya dia menjadi milik kolektif sistem dan
berada di atas fakta individu. Parole adalah fakta individu.
Melalui bahasa, kita dapat berkomunikasi untuk
menyampaikan pesan dan memperoleh informasi. Menurut
Ferdinand de Saussure (dalam Coulmas, 2006: 3), bahasa adalah
fakta sosial, yaitu bahasa digunakan sebagai alat untuk
berkomunikasi. Bahasa merupakan fakta sosial karena dalam
setiap bahasa terdapat produk kolektif, suatu artefak yang
diciptakan oleh penuturnya.
Sekilas tentang Bahasa Indonesia | 3
BAB II
KEBIJAKAN DAN PERENCANAAN
BAHASA
A. Pendahuluan
Di negara-negara yang multilingual, multirasial, dan
multikultural, untuk menjamin kelangsungan komunikasi
kebangsaan perlu dilakukan suatu perencanaan bahasa yang
dimulai dengan kebijaksanaan bahasa. Indonesia, Malaysia,
Filipina, Singapura, dan India adalah contoh negara yang
multilingual, multirasial, dan multikultural yang memerlukan
kebijaksanaan bahasa agar masalah pemilihan atau penentuan
bahasa tertentu sebagai alat komunikasi tidak menimbulkan
gejolak politik bangsa.
“Bahasa menunjukkan bangsa.”
Jika sebuah bahasa menandai suatu bangsa dan adanya
bahasa karena bangsa itu memakainya, antara bangsa dan
bahasa itu terdapat hubungan yang saling menentukan. Namun,
fakta sosiolinguistik menunjukkan bahwa tidak setiap bangsa
mempunyai satu bahasa kesatuan yang “menunjukkan bangsa”
itu. Ada bangsa yang menggunakan beberapa bahasa. Sementara
itu, ada pula beberapa bangsa yang mempunyai satu bahasa
sebagai bahasa nasionalnya, tetapi bahasa itu bukan miliknya
atau bukan berasal dari bahasa yang ada dalam masyarakat
bangsa itu.
Masalah kebahasaan dalam setiap bangsa berbeda-beda
sebab tergantung pada situasi kebahasaan yang ada di dalam
negara itu. Negara yang memiliki sejarah kebahasaan yang cukup
dan hanya ada satu bahasa saja cenderung tidak memiliki
masalah kebahasaan. Negara tersebut adalah Saudi Arabia, turki,
Jepang, Belanda, Inggris. Tetapi, di negara-negara yang memiliki
sekian banyak bahasa daerah akan memiliki persoalan
Sekilas tentang Bahasa Indonesia | 11
B. Kebijakan/Kebijaksanaan Bahasa
Keputusan sekitar kebijakan dan perencanaan bahasa yang
dibuat di seluruh dunia, baik secara formal oleh pemerintah
maupun informal oleh para ahli dan tokoh masyarakat.
Keputusan tersebut berpengaruh terhadap hak untuk
menggunakan dan mempertahankan bahasa, mempengaruhi
status bahasa, dan menentukan bahasa yang dibina.
Ferguson (2006: 12) menyatakan bahwa kebijakan bahasa
tidak hanya dirumuskan berdasarkan segi ekonomi, sosial,
politik, dan ketahanan negara yang membentuk penggunaan
bahasa, akan tetapi, kebijakan bahasa merupakan suatu cara
yang efektif yang menunjang dinamika sosial. Berdasarkan
uraian tersebut, kebijakan bahasa bertujuan untuk menjaga
keberlangsungan komunikasi warga negara tanpa menimbulkan
gejolak sosial dan emosional yang mengganggu stabilitas negara.
Selaras dengan pernyataan tersebut, Spolsky (2009: 257)
12 | Fahrurrozi & Andri Wicaksono
BAB III
PERAN BAHASA INDONESIA
DALAM IPTEK DAN IMTAQ
A. Pendahuluan
IPTEK merupakan kunci bagi keberhasilan pembangunan
bangsa. Perjalanan sejarah serta pengalaman beberapa negara
dengan dibarengi kemajuan dan inovasi teknologi merupakan
salah satu aspek yang memiliki daya dorong tinggi bagi daya
saing suatu bangsa. Hal ini menunjukkan pergeseran paradigma
pembangunan yang semula hanya mengandalkan sumber daya
alam sebagai tumpuan pembangunan berubah menjadi sumber
daya manusi dan sumber daya IPTEK. Beberapa negara maju
bahkan sudah lama menjadikan IPTEK sebagai pendukung atau
dalam pembangunan bangsa. Hal ini menunjukkan betapa sangat
berperannya teknologi dan informasi dalam pembangunan suatu
bangsa.
Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat juga ingin
memiliki sumber daya manusia dan sumber daya IPTEK
berkualitas sebagaimana dengan negara-negara maju. Untuk
mewujudkan hal itu, salah satu variabel pendukung adalah alat
komunikasi berupa kemapanan dan kemantapan bahasa. Putro
(1998: 5) mengemukakan bahwa: (1) Pengembangan IPTEK
tersebut berhasil apabila pengimplementasiannya mengakar
kuat pada kelompok-kelompok masyarakat yang relevan untuk
itu dibutuhkan kemantapan bahasa yang secara komunikatif
mampu mengomunikasikan proses adopsi dan sosialisasinya. (2)
Bahasa Indonesia dipandang mantap bila mampu memanfaatkan
teknologi komunikasi modern untuk peningkatan dan mobilitas
kapasitas sumber daya manusia.
Substansi IPTEK dapat diadopsi dan disebarluaskan secara
cepat melalui media bahasa khususnya yang mampu
Sekilas tentang Bahasa Indonesia | 41
BAB IV
BAHASA INDONESIA BAKU
(KRITERIA BAIK DAN BENAR)
A. Pendahuluan
Slogan “gunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar”
akan mudah untuk diucapkan, seperti halnya membalik telapak
tangan. Slogan itu hanyalah suatu retorika yang tidak berwujud
nyata sebab masih diartikan bahwa di segala tempat kita harus
menggunakan bahasa Indonesia baku. Padahal, kenyataan di
lapangan menunjukkan sulit sekali mengaktualisasikan perilaku
berbahasa Indonesia yang baik dan benar; baik belum tentu
benar; dan benar belum tentu baik. Justru pemahaman sebagian
orang bahwa bahasa Indonesia yang baik dan benar adalah
bahasa Indonesia baku. Seperti yang dinyatakan oleh Pateda
(1997: 30) bahwa kita berusaha agar dalam situasi resmi kita
harus berbahasa yang baku, begitu juga dalam situasi yang tidak
resmi kita berusaha menggunakan bahasa yang baku.
Sesuai deskripsi yang demikian itu, dalam bab ini dibahas
mengenai pengertian bahasa baku, pengertian bahasa nonbaku,
pengertian bahasa Indonesia baku, fungsi pemakaian bahasa
baku dan bahasa nonbaku. Selanjutnya, dibahas tentang ciri-ciri
bahasa baku dan bahasa nonbaku serta berbahasa Indonesia
dengan baik dan benar.
BAB V
PEDOMAN UMUM EJAAN
BAHASA INDONESIA (PUEBI)
A. Pendahuluan
Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia dipergunakan bagi
instansi pemerintah, swasta, dan masyarakat dalam penggunaan
bahasa Indonesia secara baik dan benar. Pedoman Umum Ejaan
Bahasa Indonesia mulai diberlakukan dengan terbit dan
diputuskannya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2015 tentang “Pedoman
Umum Ejaan Bahasa Indonesia”. Pada saat Peraturan Menteri ini
mulai berlaku, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 46
Tahun 2009 tentang “Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia
yang Disempurnakan” dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Ejaan Yang Disempurnakan (disingkat EYD) adalah ejaan
bahasa Indonesia yang berlaku dari tahun 1972 hingga 2015.
Ejaan ini menggantikan ejaan Ejaan Republik atau Ejaan
Soewandi.
Sebelum EYD, Lembaga Bahasa dan Kesusastraan, (sekarang
Pusat Bahasa), pada tahun 1967 mengeluarkan Ejaan Baru
(Ejaan LBK). Ejaan Baru pada dasarnya merupakan lanjutan dari
usaha yang telah dirintis oleh panitia Ejaan Malindo. Para
pelaksananya pun di samping terdiri dari panitia Ejaan LBK, juga
dari panitia ejaan dari Malaysia. Panitia itu berhasil merumuskan
suatu konsep ejaan yang kemudian diberi nama Ejaan Baru.
Panitia itu bekerja atas dasar surat keputusan menteri
pendidikan dan kebudayaan no.062/67, tanggal 19 September
1967.
Pada 23 Mei 1972, sebuah pernyataan bersama
ditandatangani oleh Menteri Pelajaran Malaysia Tun Hussein
Onn dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia,
Sekilas tentang Bahasa Indonesia | 61
B. Pemakaian Huruf
1. Huruf Abjad
Abjad yang dipakai dalam ejaan bahasa Indonesia terdiri
atas 26 huruf berikut.
Huruf Nama Pengucapan
Kapital Nonkapital
A a a a
B b be bé
C c ce cé
D d de dé
E e e é
F f ef éf
G g ge gé
H h ha ha
I i i i
J j je jé
K k ka ka
L l el él
M m em ém
N n en én
O o o o
P P pe pé
Q q ki ki
R r er ér
S s es és
T t te té
U u u u
V v ve vé
W w we wé
X x eks éks
Y y ye yé
Z z zet zét
Sekilas tentang Bahasa Indonesia | 63
2. Huruf Vokal
Huruf yang melambangkan vokal dalam bahasa Indonesia
terdiri atas lima huruf, yaitu a, e, i, o, dan u.
Keterangan:
* Untuk pengucapan (pelafalan) kata yang benar, diakritik
berikut ini dapat digunakan jika ejaan kata itu dapat
menimbulkan keraguan.
a. Diakritik (e) dilafalkan [e].
Misalnya:
Anak-anak bermain di teras (teras).
Kedelai merupakan bahan pokok kecap (kecap).
b. Diakritik (e) dilafalkan [e].
Misalnya:
Kami menonton film seri (seri).
Pertahanan militer (militer) Indonesia cukup kuat.
c. Diakritik (e) dilafalkan [a].
Misalnya:
Pertandingan itu berakhir seri (seri).
Upacara itu dihadiri pejabat teras (teras) Bank
Indonesia. Kecap (kecap) dulu makanan itu.
64 | Fahrurrozi & Andri Wicaksono
3. Huruf Konsonan
Huruf yang melambangkan konsonan dalam bahasa
Indonesia terdiri atas 21 huruf, yaitu b, c, d, f, g, h, j, k, l, m, n, p, q,
r, s, t, v, w, x, y, dan z.
Huruf Misalnya Pemakaian dalam Kata
Konsonan Posisi Awal Tengah Posisi Akhir
b bahasa sebut adab
c cakap kaca -
d dua ada abad
f fakir kafan maaf
g guna tiga gudeg
h hari saham tuah
j jalan manja mikraj
k fcami paksa politik
l fekas alas akal
m maka kami diam
n nama tanah daun
p pasang apa siap
q* qariah iqra -
r raih bara putar
s sampai asli tangkas
t iali mata rapat
v wariasi lava molotov
w wanita hawa takraw
x* Ajenon - -
y yakin payung -
z zeni lazim juz
Keterangan:
* Huruf q dan x khusus digunakan untuk nama diri dan
keperluan ilmu. Huruf x pada posisi awal kata diucapkan [s].
Sekilas tentang Bahasa Indonesia | 65
4. Huruf iftong
Di dalam bahasa Indonesia terdapat empat diftong yang
dilambangkan dengan gabungan huruf vokal ai, au, ei, dan oi.
6. Huruf Kapital
a. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama awal
kalimat. Misalnya:
Apa maksudnya?
Dia membaca buku.
Kita harus bekerja keras.
b. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama unsur nama
orang, termasuk julukan. Misalnya:
Amir Hamzah Halim Perdanakusumah
Jenderal Kancil Dewa Pedang
Alessandro Volta André-Marie Ampère
Mujair Rudolf Diesel
Catatan:
1) Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama nama
orang yang merupakan nama jenis atau satuan ukuran.
Misalnya:
ikan mujair mesin diesel 5 ampere 10 volt
2) Huruf kapital tidak dipakai untuk menuliskan huruf
pertama kata yang bermakna 'anak dari', seperti bin,
binti, boru, dan van, atau huruf pertama kata tugas.
66 | Fahrurrozi & Andri Wicaksono
St. sutan
Tb. tubagus
Dr. doktor
Prof. profesor
Sdr. saudara
m. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama kata
penunjuk hubungan kekerabatan, seperti bapak, ibu,
kakak, adik, dan paman, serta kata atau ungkapan lain
yang dipakai dalam penyapaan atau pengacuan.
Misalnya:
“Kapan Bapak berangkat?” tanya Hasan.
Dendi bertanya, “Itu apa, Bu?”
“Silakan duduk, Dik!” kata orang itu.
Surat Saudara telah kami terima dengan baik.
—Hai, Kutu Buku, sedang membaca apa?”
—Bu, saya sudah melaporkan hal ini kepada Bapak.”
Catatan:
1) Istilah kekerabatan berikut bukan merupakan
penyapaan atau pengacuan. Misalnya:
Kita harus menghormati bapak dan ibu kita.
Semua kakak dan adik saya sudah berkeluarga.
2) Kata ganti Anda ditulis dengan huruf awal kapital.
Misalnya:
Sudahkah Anda tahu?
Siapa nama Anda?
7. Huruf Miring
a. Huruf miring dipakai untuk menuliskan judul buku,
nama majalah, atau nama surat kabar yang dikutip dalam
tulisan, termasuk dalam daftar pustaka. Misalnya:
Saya sudah membaca buku Salah Asuhan karangan
Abdoel Moeis. Majalah Poedjangga Baroe menggelorakan
semangat kebangsaan. Berita itu muncul dalam surat
kabar Cakrawala.
Sekilas tentang Bahasa Indonesia | 71
8. Huruf Tebal
a. Huruf tebal dipakai untuk menegaskan bagian tulisan
yang sudah ditulis miring. Misalnya:
Huruf dh, seperti pada kata Ramadhan tidak terdapat
dalam Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan.
Kata et dalam ungkapan ora et labora berarti 'dan'.
72 | Fahrurrozi & Andri Wicaksono
C. Penulisan Kata
1. Kata Dasar
Kata dasar ditulis sebagai satu kesatuan. Misalnya:
Kantor pajak penuh sesak.
Saya pergi ke sekolah.
Buku itu sangat tebal.
2. Kata Berimbuhan
a. Imbuhan (awalan, sisipan, akhiran serta gabungan
awalan dan akhiran) ditulis serangkai dengan bentuk
dasarnya. Misalnya:
berjalan berkelanjutan mempermudah
gemetar lukisan kemauan
Catatan:
Imbuhan yang diserap dari unsur asing, seperti -isme, -
man, -wan, atau -wi, ditulis serangkai dengan bentuk
dasarnya. Misalnya:
sukuisme seniman kamerawan gerejawi
b. Bentuk terikat ditulis serangkai dengan kata yang
mengikutinya. Misalnya:
adibusana aerodinamika aniarkota
antibiotik bikarbonat biokimia
dekameter demoralisasi dwiwarna
ekabahasa ekstrakurikuler infrastruktur
kosponsor mancanegara multilateral
narapidana nonkolaborasi paripurna
pascasarjana
Catatan:
1) Bentuk terikat yang diikuti oleh kata yang berhuruf awal
kapital atau singkatan yang berupa huruf kapital
dirangkaikan dengan tanda hubung (-). Misalnya:
non-Indonesia pan-Afrikanisme anti-PKI
pro-Barat non-ASEAN
Sekilas tentang Bahasa Indonesia | 73
3. Bentuk Ulang
Bentuk ulang ditulis dengan menggunakan tanda hubung (-)
di antara unsur-unsurnya. Misalnya:
cumi-cumi
lauk-pauk
ramah-tamah
sayur-mayur
serba-serbi
berjalan-jalan
porak-poranda
4. Gabungan Kata
a. Unsur gabungan kata yang lazim disebut kata majemuk,
termasuk istilah khusus, ditulis terpisah. Misalnya:
duta besar kambing hitam
orang tua persegi panjang
mata acara model linear
meja tulis cendera mata
b. Gabungan kata yang dapat menimbulkan salah
pengertian ditulis dengan membubuhkan tanda hubung
(-) di antara unsur-unsurnya. Misalnya:
anak-istri pejabat ibu-bapak kami
ibu bapak-kami buku-sejarah baru
c. Gabungan kata yang penulisannya terpisah tetap ditulis
terpisah jika mendapat awalan atau akhiran. Misalnya:
74 | Fahrurrozi & Andri Wicaksono
bertepuk tangan
menganak sungai
garis bawahi
sebar luaskan
d. Gabungan kata yang mendapat awalan dan akhiran
sekaligus ditulis serangkai. Misalnya:
dilipatgandakan
menggarisbawahi
menyebarluaskan
penghancurleburan
e. Gabungan kata yang sudah padu ditulis serangkai.
Misalnya:
acapkali hulubalang radioaktif
adakalanya kacamata saptamarga
apalagi kasatmata saputangan
bagaimana kilometer saripati
barangkali manasuka sediakala
beasiswa matahari segitiga
belasungkawa olahraga sukacita
bilamana padahal sukarela
5. Pemenggalan Kata
a. Pemenggalan kata pada kata dasar dilakukan sebagai
berikut.
1) Jika di tengah kata terdapat huruf vokal yang berurutan,
pemenggalannya dilakukan di antara kedua huruf vokal
itu. Misalnya:
bu-ah
ma-in
ni-at
sa-at
Sekilas tentang Bahasa Indonesia | 75
c. Jika sebuah kata terdiri atas dua unsur atau lebih dan
salah satu unsurnya itu dapat bergabung dengan unsur
lain, pemenggalannya dilakukan di antara unsur-unsur
itu. Tiap unsur gabungan itu dipenggal seperti pada kata
dasar.
biografi bio-grafi bi-o-gra-fi
biodata bio-data bi-o-da-ta
fotografi foto-grafi fo-to-gra-fi
pascapanen pasca-panen pas-ca-pa-nen
pascasarjana pasca-sarjana pas-ca-sar-ja-na
d. Nama orang yang terdiri atas dua unsur atau lebih pada
akhir baris dipenggal di antara unsur-unsurnya.
e. Singkatan nama diri dan gelar yang terdiri atas dua huruf
atau lebih tidak dipenggal. Misalnya:
Ia bekerja di DLLAJR.
Pujangga terakhir Keraton Surakarta bergelar R.Ng.
Rangga Warsita.
6. Kata Depan
Kata depan, seperti di, ke, dan dari, ditulis terpisah dari kata
yang mengikutinya. Misalnya:
Di mana dia sekarang?
Kain itu disimpan di dalam lemari.
Dia ikut terjun ke tengah kancah perjuangan.
Sekilas tentang Bahasa Indonesia | 77
7. Partikel
a. Partikel -lah, -kah, dan -tah ditulis serangkai dengan kata
yang mendahuluinya. Misalnya:
Bacalah buku itu baik-baik!
Apakah yang tersirat dalam surat itu?
Siapakah gerangan dia?
Apatah gunanya bersedih hati?
b. Partikel pun ditulis terpisah dari kata yang
mendahuluinya. Misalnya:
Apa pun permasalahan yang muncul, dia dapat
mengatasinya dengan bijaksana.
Jika kita hendak pulang tengah malam pun, kendaraan
masih tersedia.
Jangankan dua kali, satu kali pun engkau belum pernah
berkunjung ke rumahku.
Catatan:
Partikel pun yang merupakan unsur kata penghubung
ditulis serangkai. Misalnya:
Meskipun sibuk, dia dapat menyelesaikan tugas tepat
pada waktunya. Dia tetap bersemangat walaupun lelah.
Adapun penyebab kemacetan itu belum diketahui.
Bagaimanapun pekerjaan itu harus selesai minggu depan.
c. Partikel per yang berarti 'demi', 'tiap', atau 'mulai' ditulis
terpisah dari kata yang mengikutinya. Misalnya:
Mereka masuk ke dalam ruang rapat satu per satu.
Harga kain itu Rp50.000,00 per meter.
Karyawan itu mendapat kenaikan gaji per 1 Januari.
Cu kuprum
cm sentimeter
kVA kilovolt- ampere
l liter
kg kilogram
Rp rupiah
f. Akronim nama diri yang terdiri atas huruf awal setiap
kata ditulis dengan huruf kapital tanpa tanda titik.
Misalnya:
BIG Badan Informasi Geospasial
BIN Badan Intelijen Negara
LIPI Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
LAN Lembaga Administrasi Negara
PASI Persatuan Atletik Seluruh Indonesia
g. Akronim nama diri yang berupa gabungan suku kata atau
gabungan huruf dan suku kata dari deret kata ditulis
dengan huruf awal kapital. Misalnya:
Bulog Badan Urusan Logistik
Kowani Kongres Wanita Indonesia
Kalteng Kalimantan Tengah
Suramadu Surabaya Madura
80 | Fahrurrozi & Andri Wicaksono
Catatan:
(1) Tanda elipsis itu didahului dan diikuti dengan spasi.
(2) Tanda elipsis pada akhir kalimat diikuti oleh tanda
titik (jumlah titik empat buah).
BAB VI
KALIMAT EFEKTIF
Walaupun demikian/begitu
Meskipun demikian/begitu
Sungguhpun demikian/begitu
Kemudian sesudah itu, setelah itu, selanjutnya
Tambahan pula, lagi pula, selain itu
Sebaliknya Sungguhpun, bahwasanya
Malah(an), bahkan (akan) tetapi, namun
Kecuali itu
Dengan demikian
Oleh karena itu, oleh sebab itu
3. Gagasan Pokok
Dalam menyusun kalimat harus mengemukakan gagasan
(ide) pokok kalimat. Biasanya gagasan pokok diletakkan pada
bagian depan kalimat. Jika seorang penulis hendak
menggabungkan dua kalimat, maka penulis harus menentukan
bahwa kalimat yang mengandung gagsan pokok harus menjadi
induk kalimat (Akhadiah, dkk., 2003: 120) Perhatikan contoh
berikut ini.
1) Ia dipukul mati ketika masih dalam tugas latihan.
2) Ia masih dalam tugas latihan ketika dipukul mati.
Gagasan pokok dalam kalimat (1) ialah ’’ia dipukul mati’’.
Gagasan pokok dalam kalimat (2) ialah “ ia masih dalam tugas
latihan’’oleh sebab itu ’’ia dipukul mati’’ menjadi induk kalimat di
kalimat (1) sedangkan ’’ia masih dalam tugas latihan’’ menjadi
induk kalimat dalam kalimat (2).
3. Pengulangan Kata
Pengulangan kata dalam sebuah kalimat kadang-kadang
diperlukan dengan maksud memberi penegasan pada bagian
yang dianggap penting. Pengulangan kata yang demikian
dianggap dapat membuat maksud kalimat menjadi lebih jelas.
106 | Fahrurrozi & Andri Wicaksono
Contoh:
1) Kemajuannya menyangkut kemajuan di segala bidang,
kemajuan kesadaran berpolitik, kesadaran bermasyarakt,
kesadaran berekonomi, kesadaran berkebudayaan dan
kesadaran bernegara.
2) pembangunan yang dilaksanakan sekarang harus
memperlihatkan kesinambungan antara pusat dan daerah,
kesinambungan antara pemerintah dan swasta.
E. Kehematan
Kehematan merupakan salah satu ciri kalimat yang efektif.
Dalam penyusunan kalimat, kehematan ini dapat diperoleh
dengan menghilangkan bagian-bagian tertentu yang tidak
diperlukan atau mubajir. Menurut Akhadiah, dkk. (2003: 125)
kehematan dalam kalimat efektif ialah kehematan dalam
pemakaian kata, frase atau bentuk lainnya dianggap tidak
diperlukan. Kehematan itu menyangkut soal gramatikal dan
makna kata. Kehematan tidak berarti bahwa kata yang
diperlukan atau yang mananbah kejelasan makna kalimat boleh
dihilangkan. Unsur-unsur penghematan apa saja yang harus
diperhatikan sebagai berikut.
1. Pengulangan Subjek Kalimat
Penulisan kadang-kadang tanpa sadar sering mengulang
subjek dalam satu kalimat. Pengulangan ini tidak membuat
kalimat itu menjadi lebih jelas. Oleh karena itu, pengulangan
bagian kalimat yang demikian tidak diperlukan.
Contoh:
1) Mereka banting stir ketika mereka bermain di panggung
lain.
2) Mahasiswa mengambil keputusan tidak jadi melakukan
studi tur karena mereka tahu masa ujian telah dekat.
Direvisi menjadi:
1) Mereka banting stir ketika bermain di panggung lain.
2) Mahasiswa mengambil keputusan tidak jadi melakukan
studi tur karena masa ujian telah dekat.
Sekilas tentang Bahasa Indonesia | 107
2. Hiponimi
Seperti terdapat dalam KBBI (Tim Penyusun, 2005: 404),
hiponim adalah hubungan antara makna spesipik dan makna
generik atau antaranggota taksonomi. Nama taksonomi misalnya
kucing, anjing disebut hiponim dari hewan. Contoh:
1) Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia menghadiri sidang hari Senin lalu.
2) Rumah penduduk di Medan terang benderang oleh
cahaya lampu neon.
Direvisi menjadi:
1) Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia menghadiri sidang Senin lalu.
2) Rumah penduduk di Medan terang benderang oleh
cahaya neon.
F. Kevariasian
Panjang pendeknya variasi dalam kalimat mencerminkan
jalan pikiran seseorang. Mempergunakan kalimat yang panjang
akan menyebabkan orang tidak dapat mengambil kesimpulan
buah pikiran yang tertera di dalamnya. Demikian pula jika
seseorang sering menggunakan kalimat atau kelompok kata atau
kata yang sama akan membosankan pula. Begitu juga terlalu
pendek, kalimat yang disusun akan menjemukan juga. Variasi
dalam penulisan pilihan kata (diksi) atau variasi dalam tutur
kalimat yang tepat dan benar akan memberikan penekanan pada
bagian-bagian kalimat yang diinginkan. Agar tidak
membosankan dan menjemukan dalam penulisan kalimat
diperlukan pola dan struktur yang bervariasi.
1. Variasi Bentuk Pasif Persona
Bentuk pasif persona dapat dimanfaatkan sebagai variasi
lain dalam pengungkapan informasi. Kalimat di bawah ini dapat
dibentuk sesuai dengan informasi yang dipentingkan.
Contoh: Saya akan melaporkan hal ini kepada dekan.
Menjadi: Akan saya laporkan masalah ini kepada dekan.
Masalah ini akan saya laporkan kepada dekan. Dalam bentuk
pasif persona semacam itu, kata ganti orang atau kata ganti
persona langsung didekatkan pada kata kerjanya, tidak disisipi
dengan unsur lain. Susunan pasif persona berikut tidak benar.
1) Masalah ini saya akan laporkan kepada dekan.
2) Saya akan laporkan masalah ini kepada dekan.
BAB VII
PARAGRAF
A. Hakikat Paragraf
Paragraf merupakan unit keterampilan berbahasa pada taraf
komposisi, yaitu kumpulan beberapa kalimat yang secara
bersama-sama mendukung satu kesatuan pikiran. Kesatuan
pikiran ini dijewantahkan dalam pokok pikiran serta beberapa
pikiran penjelas dan diaktualisasikan dalam kalimat pokok dan
beberapa kalimat penjelas. Jadi, pada dasarnya, paragraf itu
hanya terdiri atas dua hal, yaitu isi dan bentuk. Yang dimaksud
isi ialah pikiran, sedangkan bentuk adalah kalimat-kalimat yang
mendukung pikiran (Rahayu, 2009: 80). Dari segi isi, paragraf
mensyaratkan adanya kesatuan pikiran, sedangkan dari segi
bentuk mensyaratkan kepaduan.
Paragraf merupakan seperangkat kalimat yang
membicarakan suatu gagasan atau topik. Kalimat-kalimat dalam
paragraf memperlihatkan kesatuan pikiran atau mempunyai
keterkaitan dalam membentuk gagasan atau topik tersebut
(Solihin dan Sa’adah, 2003: 77). Sebuah paragraf dapat saja
terdiri atas lebih dari empat atau lima kalimat, tiga buah kalimat,
dua buah kalimat, bahkan sebuah kalimat. Kendati pun paragraf
itu mengandung lebih dari empat atau lima buah kalimat, tidak
akan ada satu kalimat pun yang membicarakan persoalan atau
topik lain. Seluruh kalimat tersebut tentunya hanya akan
membicarakan sebuah masalah yang bertalian erat dengan
pokok bahasan/topik pada paragraf tersebut (Suhardjono, 2013:
1-17). Oleh karena itu, sebuah pikiran tidak cukup hanya
dituangkan dalam sebuah kalimat, tetapi perlu juga untuk
dikembangkan sehingga menjadi kumpulan kalimat yang disebut
paragraf.
110 | Fahrurrozi & Andri Wicaksono
B. Fungsi Paragraf
Dalam karangan yang panjang, paragraf mempunyai arti dan
fungsi yang penting. Dengan paragraf tersebut, pengarang dapat
mengekspresikan keseluruhan gagasan secara utuh, runtut,
lengkap, menyatu, dan sempurna, sehingga bermakna dan dapat
dipahami oleh pembaca sesuai dengan keinginan penulisnya.
Lebih jauh daripada itu, paragraf dapat mendinamiskan sebuah
karangan, sehingga menjadi lebih hidup, dinamis, dan energik,
sehingga pembaca menjadi penuh semangat. Artinya, paragraf
mempunyai fungsi strategis dalam menjembatani gagasan
penulis dan pembacanya (Alek dan Achmad H.P., 2010: 209).
Untuk itu, agar paragraf memiliki fungsi startegis, berikut
kegunaan paragraf, yaitu; (1) dapat mengekspresikan gagasan
secara tertulis dengan memberi bentuk suatu pikiran dan
Sekilas tentang Bahasa Indonesia | 111
C. Jenis Paragraf
Untuk membedakan antara yang satu dengan lainnya,
pembagian macam paragraf dapat dikelompokkan. Menurut
posisi kalimat topiknya, paragraf terdiri atas empat macam,
yaitu; paragraf deduktif, paragraf induktif, paragraf deduktif-
induktif, dan paragraf penuh kalimat topik. Menurut sifat isinya,
paragraf dibedakan atas paragraf persuasi, paragraf
argumentasi, paragraf narasi, paragraf deskripsi, dan paragraf
eskposisi, dan menurut fungsinya dalam sebuah karangan,
paragraf biasanya terbagi dalam tiga jenis atau tiga macam, yakni
paragraf pembuka, paragraf pengembang, dan paragraf penutup
(Finoza, 2009: 198). Karangan atau tulisan minimal dalam
112 | Fahrurrozi & Andri Wicaksono
3. Paragraf penutup
Paragraf penutup merupakan paragraf yang terdapat pada
akhir karangan atau pada akhir satu kesatuan yang lebih kecil di
dalam karangan itu. Biasanya, paragraf penutup berupa
simpulan semua pembicaraan yang telah dipaparkan pada
bagian-bagian sebelumnya (Arifin dan Tasai, 2008: 122).
Mengingat paragraf penutup dimaksudkan untuk mengakhiri
karangan atau bagian karangan, penyajiannya diharapkan
memperhatikan hal-hal berikut ini; sebagai bagian penutup,
paragraf ini tidak boleh terlalu panjang, kemudian, isi paragraf
harus berupa simpulan sementara atau simpulan akhir sebagai
cerminan inti seluruh uraian, dan sebagai bagian yang paling
akhir dibaca, hendaknya paragraf ini dapat menimbulkan kesan
yang mendalam bagi pembaca. Jadi, karena paragraf penutu
hanya terdapat di akhir sebuah teks, isinya dapat berupa
kesimpulan dari paragraf pengembang atau dapat juga berupa
penegasan kembali tentang hal-hal yang dianggap penting dari
paragraf pengembang.
114 | Fahrurrozi & Andri Wicaksono
2. Paragraf eksposisi
Paragraf ekspositoris/eksposisi, yaitu yang disebut juga
paragraf paparan. Paragraf ini menampilkan suatu objek.
Peninjauannya tertuju pada satu unsur saja. Penyampaiannya
dapat menggunakan perkembangan analisis
kronologis/keruangan. Singkatnya, ini merupakan paragraf yang
memaparkan suatu fakta atau kejadian tertentu. Perhatikan
contoh berikut.
Sekilas tentang Bahasa Indonesia | 115
3. Paragraf argumentasi
Paragraf argumentasi merupakan paragraf yang membahas
suatu masalah dengan bukti-bukti atau alasan yang mendukung.
Paragraf ini sebenarnya juga dapat dimasukkan ke paragraf
ekspositoris. Selain itu, paragraf argumentasi disebut juga
paragraf persuasi. Paragraf ini lebih bersifat membujuk atau
meyakinkan pembaca terhadap suatu hal atau objek. Biasanya,
paragraf ini menggunakan pekembangan analisis (Arifin dan
Tasai, 2008: 132).
Perhatikan contoh berikut.
Dua tahun terakhir, terhitung sejak Boeing B-737 milik
maskapai penerbangan Aloha Airlines celaka, isu pesawat tua
mencuat ke permukaan. Ini bisa dimaklumi sebab pesawat
yang badannya koyak sepanjang 4 meter itu sudah
dioperasikan lebih dari 19 tahun. Oleh karena itu, adalah
cukup beralasan jika orang menjadi cemas terbang dengan
pesawat berusia tua. Di Indonesia, yang mengagetkan, lebih
dari 60% pesawat yang beroperasi adalah pesawat tua.
Amankah? Kalau memang aman, lalu bagaimana cara
merawatnya dan berapa biayanya sehingga ia tetap nyaman
dinaiki?
4. Paragraf naratif
Paragraf naratif atau karangan naratif/narasi biasanya
dihubungkan dengan cerita. Oleh karena itu, sebuah karangan
narasi atau paragraf narasi biasanya hanya ditemukan dalam
buku harian, novel, cerpen, atau hikayat. Jadi, paragraf
naratif/narasi merupakan paragraf yang menuturkan
peristiwa/keadaan dalam bentuk cerita/kisahan, contoh:
Wandasti Navely dilahirkan pada hari Sabtu Legi, tanggal 14
Maret 2009, pukul 13.40 WIB di Klinik Mugi Rahardjo, Kepa
116 | Fahrurrozi & Andri Wicaksono
Duri, Jakarta Barat. Saat ini usianya sudah tiga tahun empat
bulan. Dia memiliki banyak teman. Dia bersekolah di PAUD
Melati Kemanggisan, Jakarta Barat. Setiap pagi, ketika akan
berangkat ke sekolah, dia selalu diantar oleh ayah dan
ibunya. Banyak sekali acara ulang tahun di sekolahnya itu.
5. Paragraf persuasi
Paragraf persuasif/persuasi adalah alinea yang
mempromosikan sesuatu dengan cara mempengaruhi atau
mengajak pembaca (Finoza, 2009: 201).
WAP (Wireless Application Protocol) adalah aplikasi yang
mewujudkan impian mengakses dunia informasi dan layanan
terkini langsung dari ponsel Anda layaknya akses internet.
Dengan Ericcson R320S, salah satu ponsel pertama yang
dilengkapi dengan WAP, Anda dengan cepat dapat mengakses
ke pusat data informasi dan layanan melalui situs WAP.
Semuanya dapat dilakukan dari telapak tangan Anda.
Dengan dilengkapi fitur-fitur inovatif, dapat dikatakan ponsel
tipis yang memiliki berat 95 gr ini adalah sebuah kantor di
dalam kantong Anda.
Paragraf persuasi banyak dipakai dalam penulisan iklan,
terutama advertorial yang dewasa ini marak mengisi lembaran
koran dan majalah. Paragraf argumentasi, deskripsi, dan
eksposisi umumnya digunakan dalam karangan ilmiah seperti
buku, skripsi, disertasi, makalah, dan laporan. Berita di dalam
surat kabar sebagian besar memakai alinea ekpsosisi. Paragraf
narasi sering dipakai dalam karangan fiksi atau nonilmiah
seperti novel dan cerpen, termasuk buku harian. Paragraf narasi
tidak dipantang digunakan dalam karangan ilmiah, misalnya, jika
ada bagian karangan yang perlu disajikan dengan gaya bercerita.
2. Kepaduan
Paragraf bukanlah merupakan kumpulan kalimat yang satu
dengan yang lain tidak berhubungan. Paragraf dibangun oleh
kalimat-kalimat yang saling mendukung satu sama lain secara
timbal balik. Agar hubungan tampak mesra dan kompak,
kalimat-kalimat harus dipadukan/disetailkan. Jadi, kepaduan
menitikberatkan pada hubungan antara kalimat yang satu
dengan lainnya (Rahayu, 2009: 82). Maka dari itu, kepaduan
tersebut diwujudkan dalam pertautan antarkalimat yang dikenal
dengan sebutan paragraf. Istilah lain dari kepaduan paragraf
adalah koherensi. Kepaduan yang baik apabila kalimat-kalimat
yang membina paragraf tersebut baik dan wajar, sehingga
mudah dipahami pembaca. Pembaca dapat dengan mudah
mengikuti jalan pikiran penulis. Jadi, perpautan (koherensi)
membuat karangan terpadu, konsisten, dan terpahami.
Perpautan tersebut dapat dicapai bila ada jalinan dan peralihan
yang jelas antara kalimat dan perenggangan. Namun, ada
kejadian yang berbeda dari perpautan yang satu mengenai
hubungan antarkalimat menurut nalar, sedangkan yang lainnya
pengungkapan hubungan secara verbal.
Banyak orang Wionogiri pergi ke Jakarta (karena) kota itu
disangka orang tempat yang dengan mudah menyediakan
mata pencaharian. (Tetapi), kenyataannya tidak seperti yang
diimpikan orang.
Kepaduan paragraf dapat terjalin jika menggunakan repetisi,
kata ganti, dan kata transisi (Solihin, 2003: 78-79). Berikut
adalah contoh paragraf yang memiliki kepaduan dengan
menggunakan repetisi.
Pada dasarnya, paru-paru membersihkan dirinya sendiri
secara teratur untuk menjaga agar pernafasan tetap
berlangsung efisien. Dalam hal ini dinding paru-paru dilapisi
oleh sel lendir yang berfungsi menangkap zat-zat asing yang
terhirup maupun virus, yang kemudian oleh bulu-bulu halus
zat-zat tersebut didorong keluar oleh paru-paru.
Berikutnya, (3) kelengkapan paragraf, bahwa paragraf
dikatakan lengkap jika berisi kalimat-kalimat penjelas yang
Sekilas tentang Bahasa Indonesia | 119
1. Paragraf Deduktif
Paragraf deduktif dimulai dengan pernyataan tentang
kalimat pokok berupa kesimpulan, kemudian disusul dengan
sejumlah rincian yang menjelaskan/mendukung kesimpulan
tersebut atau dengan kata lain dari pernyataan yang bersifat
umum ke pernyataan yang bersifat khusus (Rahayu, 2009: 87-
88). Contoh:
Kosakata memegang peranan dan merupakan unsur yang
paling mendasar dalam kemampuan berbahasa, khususnya
dalam karang-mengarang. Jumlah kosakata yang dimiliki
seseorang akan menjadi petunjuk tentang pengetahuan
seseorang. Di samping itu, jumlah kosakata yang dikuasai
seseorang, juga akan menjadi indikator bahwa orang itu
mengetahui sekian banyak konsep. Semakin banyak data
yang dikuasai, semakin banyak pula pengetahuannya.
Dengan demikian seorang penulis akan mudah memilih
kata-kata yang tepat/cocok untuk mengungkapkan gagasan
yang ada dalam pikirannya.
2. Paragraf Induktif
Paragraf induktif merupakan kebalikan dari paragraf
deduktif. Paragraf dimulai dengan kalimat-kalimat penjelas.
Kemudian diikuti oleh kalimat utama. Paragraf ini biasanya
120 | Fahrurrozi & Andri Wicaksono
3. Paragraf Campuran
Paragraf campuran merupakan paragraf yang letak kalimat
utamanya berkombinasi dengan bagian awal paragraf (deduksi)
dengan bagian akhir paragraf (induksi). Ide pokok mula-mula
dituangkan pada awal paragraf kemudian ditegaskan kembali
pada akhir paragraf. Kalimat utama paragraf campuran berarti
ada dua kalimat. Kalimat-kalimat penjelas terletak pada kalimat
kedua hingga menjelang dituangkannya kalimat utama yang
berada pada akhir paragraf (Solihin, 2003: 83). Contoh:
Dunia manusia dihadapkan pada serentetan isi yang amat
pelik. Rentetan isu tersebut yakni pengadaan pangan bagi
penduduk dunia yang terus bertambah, masalah
kesempatan kerja, masalah pendidikan, dan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Masalah-masalah ini akan
terus berkembang seirama dengan perkembangan zaman.
Rentetan isu tersebut muncul di sana-sini, pada waktu dan
tempat yang berlainan.
Dengan kata lain, paragraf campuran meletakkan kalimat
pokok/kalimat utama di awal paragraf dan di akhir paragraf.
Sekilas tentang Bahasa Indonesia | 121
4. Paragraf deskriptif/naratif
Paragraf deskriptif/naratif, yaitu paragraf yang juga sering
disebut dengan paragraf tanpa kalimat topik, yaitu paragraf yang
terdiri dari beberapa kalimat yang kadang-kadang menyajikan
pikiran-pikiran yang setara, tidak ada pikiran yang lebih utama
dari lainnya. Paragraf yang demikian menyajikan kalimat-
kalimat yang sama kedudukannya. Paragraf ini tidak memiliki
pikiran utama dan pikiran penjelas, juga tidak memiliki kalimat
utama dan kalimat penjelas. Semua pikiran dan kalimat sama
kedudukannya (Widjono, 2007: 176). Contoh:
Pukul 07.00 Wandasti Navely sudah berada di kampus. Ia
duduk sejenak di taman kampus sambil tetap menggendong
tas kuliahnya. Tidak terdengar suaranya. Lima menit
kemudian, tiga temannya telah datang di tempat yang sama.
Masing-masing membuka tasnya dan mengeluarkan
beberapa buku dan alat tulisnya. Suasana sunyi. Lima menit
kemudian mereka bersuara amat gaduh. Mereka berdebat
amat serius. Entah apa yang mereka perdebatkan. Terdengar
sayup-sayup, mereka berucap alhamdulillah tugas kelompok
selesai.
Paragraf di atas tidak menunjukkan adanya kalimat topik.
Namun, keberadaan gagasan utama dapat dirasakan oleh
pembaca, yaitu diskusi tugas kelompok mahasiswa. Menurut
Rahayu (2009: 88-89), paragraf yang tanpa kalimat topik ini
biasanya juga mengungkapkan proses yang disusun berdasarkan
urutan waktu. Paragraf ini jarang memiliki kalimat pokok atau
kalimat utama yang bersifat umum.
2. Alamiah
Pengembangan paragraf secara alamiah didasarkan pada
urutan ruang dan waktu (kronologis). Urutan ruang merupakan
urutan yang akan membawa pembaca dari satu titik ke titik
berikutnya dalam satu ruang. Adapun urutan waktu adalah
urutan yang menggambarkan urutan terjadinya peristiwa,
perbuatan, atau tindakan (Widjono, 2007: 199-200).
3. Analogi
Rahardi (2009: 129) menyatakan bahwa pengembangan
paragraf secara analogi lazimnya dimulai dari sesuatu yang
sifatnya umum, sesuatu yang banyak dikenal oleh publik, sesuatu
yang banyak dipahami kebenarannya oleh orang dengan sesuatu
yang masih baru, sesuatu yang belum banyak dipahami publik.
Sekilas tentang Bahasa Indonesia | 123
4. Klasifikasi
Dalam pengembangan karangan, kadang-kadang kita
mengelompokkan hal-hal yang mempunyai persamaan.
Pengelompokkan ini biasanya diperinci lagi lebih lanjut ke dalam
kelompok-kelompok yang lebih kecil (Nasucha, dkk., 2009: 55).
5. Sebab – Akibat
Pengembangan paragraf dengan cara sebab akibat
dilakukan jika menerangkan suatu kejadian, baik dari segi
penyebab maupun dari segi akibat. Ungkapan yang digunakan
yaitul; padahal, akibatnya, oleh karena itu, dan karena (Alek dan
Achmad H.P., 2010: 222-227).
6. Klimaks – Antiklimaks
Pengembangan paragraf dengan pola klimaks, yaitu gagasan
utama mula-mula diperinci dengan sebuah gagasan pengembang
yang dianggap paling rendah kedudukannya. Kemudian
berangsur-angsur diikuti gagasan-gagasan lain sampai kepada
gagasan yang paling tinggi kedudukannya atau kepentingannya.
Variasi dari pola klimaks adalah antiklimaks. Pada pola ini
penulis mulai dari suatu gagasan atau topik yang dianggap paling
tinggi kedudukannya kemudian perlahan-lahan menurun pada
gagasan-gagasan yang lebih rendah sampai paling rendah
(Solihin, 2003: 84).
BAB VIII
PEDOMAN PENYUSUNAN
KARYA ILMIAH
2. Penulisan
Ketentuan-ketentuan dalam penulisan sebuah karya ilmiah
dirinci sebagai berikut.
a. Menggunakan software pengolah kata dengan sistem
operasi Windows, seperti Office Word, Office Excel, dan
lain-lain.
b. Jenis huruf yang digunakan adalah Times New Roman
dengan ukuran 12 kecuali untuk:
1) Halaman judul sampul/luar (hard cover) dan halaman
judul dalam (soft cover), yang menggunakan huruf tegak
(kecuali istilah asing) dan dicetak tebal (bold) dengan
ukuran font mulai 12 sampai 16 (disesuaikan dengan
panjang judul, lihat Lampiran)
2) Catatan kaki (footnotes), yang menggunakan font ukuran
10.
c. Huruf tebal (bold) digunakan untuk judul dan sub-judul
(sub-bab, sub sub-bab), memberi penekanan,
pembedaan, dan sejenisnya.
d. Huruf miring (italic) digunakan untuk istilah dalam
bahasa asing atau bahasa daerah, memberi penekanan,
pembedaan (termasuk pembedaan sub-judul yang
hirarkhinya tidak setingkat), dan sejenisnya. Judul sub
sub-sub-bab dibuat dengan mengkombinasikan huruf
miring dan huruf tebal (italic-bold atau bold-italic). Judul
sub sub-sub-sub-bab dan seterusnya dibuat dengan
huruf miring biasa (italic).
Sekilas tentang Bahasa Indonesia | 127
3. Penomoran Halaman
Ketentuan-ketentuan dalam penomoran halaman, seperti
halaman- halaman awal, halaman judul bab, halaman teks utama
adalah:
a. Bagian awal karya ilmiah (halaman judul, halaman
pengesahan, halaman pernyataan, abstrak, riwayat
hidup, kata pengantar, daftar isi, daftar tabel, daftar
gambar, dan daftar lampiran) diberi nomor halaman
dengan angka romawi kecil (i, ii, iii, dan seterusnya) dan
ditempatkan di tengah bagian bawah. Halaman judul
tidak diberi nomor, tetapi tetap dihitung.
b. Dimulai dari BAB I sampai dengan halaman terakhir pada
Daftar Pustaka diberi nomor halaman dengan angka latin
(1, 2, 3, dan seterusnya). Nomor halaman ditempatkan di
sebelah kanan atas, kecuali bab baru yang tidak diisi
nomor halaman.
c. Data yang mendukung penelitian disajikan dalam
lampiran yang disajikan menurut kelompoknya tanpa
diberi nomor halaman.
Sekilas tentang Bahasa Indonesia | 131
b. Gambar
Gambar adalah berupa bagan, grafik, peta, diagram, atau
foto. Garis batas gambar diletakkan sedemikian rupa sehingga
garis batas tersebut tidak melampaui batas tepi kertas. Untuk
gambar besar, ukurannya diatur agar sejajar dengan batas tepi
kiri dan kanan pengetikan; sedangkan untuk gambar kecil yang
tampilannya menjadi kurang bagus kalau diperbesar, atur
ukuran dan posisinya agar simetris dengan batas tepi halaman
(tidak sejajar, tapi jarak ke tepi kiri dan kanan sama). Di atas
gambar disajikan nomor dan judul gambar, dengan ketentuan:
1) Jika judul gambar terdiri dari dua baris atau lebih, spasi
yang digunakan adalah spasi tunggal. Baris terakhir judul
terletak dua spasi di atas gambar.
2) Nomor gambar terletak dua spasi di bawah baris terakhir
teks. Nomor gambar terdiri dari dua bagian. Bagian
pertama menunjukkan nomor bab tempat gambar itu
dimuat, sedangkan bagian kedua menunjukkan nomor
urut tabel pada bab itu.
Gambar yang memerlukan halaman yang lebih besar dari
halaman naskah disajikan sebagai lampiran. Jika ada keterangan
gambar, keterangan tersebut ditulis pada tempat kosong di
bawah gambar (tidak diletakkan di halaman lain).
Bagian Inti
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Identifikasi Masalah
C. Pembatasan Masalah
D. Perumusan Masalah
134 | Fahrurrozi & Andri Wicaksono
E. Kegunaan Penelitian
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian pustaka setiap variabel
B. ...............
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Tujuan Penelitian
B. Tempat dan Waktu Penelitian
C. Populasi dan Sampel Penelitian
D. Metode Penelitian
E. Instrumen Penelitian
F. Teknik Analisis Data
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Hasil Penelitian
B. Uji Prsayarat Analisis
C. Pengujian Hipotesis
D. Pembahasan hasil penelitian
BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN
A. Kesimpulan
B. Implikasi
C. Saran
Bagian Akhir
Daftar Pustaka
Lampiran
Riwayat Hidup Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
1. memaparkan permasalahan umum yang menjadi
landasan fokus masalah yang akan diteliti
2. memaparkan faktor-faktor yang melatarbelakangi
masalah tersebut muncul.
- Faktor yang melatarbelakangi permasalahan
digambarkan dengan kenyataan yang ada, misalnya
kemampuan guru biologi dalam penggunaan metode CTL
rendah. Paparkan fakta yang mendukung, seperti hasil
pengamatan kita saat melakukan supervisi.
- Berilah argumentasi mengapa kemampuan tersebut
rendah, misalnya guru kurang berminat untuk mencoba,
sulit mengaplikasikan meteri dengan metode, tugas-tugas
tidak mendorong aktivitas siswa. Dalam memberi
argumentasi ini dilakukan analisis yang didasari suatu
bukti nyata berdasarkan pengalaman sendiri saat
melakukan obeservasi guru mengajar di kelas.
- Berilah argumentasi perkiraan pemecahan yang
diharapkan dapat mengatasi masalah, misalnya bila
masalah yang dominan adalah teknik pelatihan, maka
pilihlah teknik pelatihan yang dianggap dapat
meningkatkan kemampuan guru dalam mengajar biologi
dengan metode CTL. Contoh, teknik problem solving
sebagai upaya peningkatan kemampuan guru
menerapkan metode CTL dalam mengajar biologi di SMA.
- Berilah argumentasi kelebihan dari teknik Problem
Solving, sehingga penelitian diharapkan dapat
memecahkan masalah tersebut, atau dengan kata lain
dapat menutup atau setidak-tidaknya memperkecil
kesenjangan itu.
3. Mengerucutkan permasalahan menjadi lebih fokus pada
variabel penelitian.
136 | Fahrurrozi & Andri Wicaksono
B. Identifikasi Masalah
- Masalah yang harus dipecahkan atau dijawab melalui
penelitian selalu ada tersedia dan cukup banyak, peneliti
dapat mengidentifikasi, memilih, dan merumuskannya.
- Dalam mengidentifikasi peneliti melakukan pendataan
semua permasalahan yang diduga mempengaruhi
variabel utama atau masalah yang ada
- Identifikasi masalah dilakukan dengan menyusun
sejumlah pertanyaan yang terkait dengan fokus masalah.
C. Pembatasan Masalah
- Setelah masalah diidentifikasi, belum merupakan
jaminan bahwa masalah tersebut layak dan sesuai untuk
diteliti.
- Biasanya, dalam usaha mengidentifikasi atau
menemukan masalah penelitian diketemukan lebih dari
satu masalah.
- Dari masalah-masalah yang teridentifikasi tersebut perlu
dipilih salah satu, yaitu mana yang paling menjadi
masalah utama dan menjadi faktor yang sangat
mempergaruhi dan sesuai untuk diteliti.
- Pilihlah salah satu permasalahan yang sekiranya sesuai
- Jika yang diketemukan sekiranya hanya satu masalah,
masalah tersebut juga harus dipertimbangkan kelayakan
serta kesesuaiannya untuk diteliti.
D. Perumusan Masalah
- Setelah masalah diidentifikasi, dipilih, maka perlu
dirumuskan.
- Perumusan masalah ini penting, karena hasilnya akan
menjadi penuntun bagi langkah-langkah selanjutnya.
- Perumusan masalah memperhatikan hal-hal berikut ini:
(a) masalah hendaknya dirumuskan dalam bentuk
pertanyaan,
(b) rumusan itu hendaknya padat dan jelas, dan
(c) rumusan itu hendaknya memberi petunjuk tentang
kemungkinan mengumpulkan data guna menjawab
Sekilas tentang Bahasa Indonesia | 137
E. Hipotesis Tindakan
- Rumuskan dugaan sementara pemecahan masalah yang
disebabkan oleh solusi yang dipilih secara operasional
- Misalnya “Teknik problem solving dapat meningkatkan
kemampuan membaca pemahaman siswa”
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Kajian Teori
- Setelah masalah dirumuskan, maka langkah selanjutnya
adalah mencari teori-teori, konsep-konsep, generalisasi
yang dapat dijadikan landasan teoretis bagi peneliti yang
akan dilakukan itu.
- Landasan ini perlu ditegakkan agar penelitian itu
mempunyai dasar yang kokoh dan bukan sekedar
perbuatan coba-coba (trial and error).
- Untuk mendapatkan informasi mengenai berbagai hal
yang disebutkan di atas itu orang harus melakukan
penelaahan kepustakaan.
- Telaah pustaka dilakukan untuk memcahkan
permasalahan yang terdapat pada perumusan masalah
berdasarkan teori yang ada. Pemecahan masalah secara
teoretis adalah mempergunakan teori yang relevan
sebagai dasar argumentasi dalam mengkaji
permasalahan agar mendapat jawaban yang akurat.
- Dalam kajian teori bukan kumpulan kutipan dari teori
yang relevansaja, tetapi kajian yang membangun
kerangka pemikiran pemecahan masalah sampai dapat
menggambarkan cara perolehan data berupa konstruk
variabel yaitu indikator-indkator dari variabel yang
harus diamati.
138 | Fahrurrozi & Andri Wicaksono
B. Kerangka Berpikir
- Sintesis dari analisis hasil kajian teori dari variabel-
variabel yang digunakan dalam penelitian
- Memberikan gambaran pemecahan masalah dengan
adanya variabel yang digunakan untuk memecahkan
masalah
- Gambaran tersebut memberikan arah pemecahan
masalah melalui argumentasi, yaitu menyusun kerangka
berpikir peneliti sendiri secara sistemik dan analitik.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Tujuan
Tujuan penelitian perlu dirumuskan karena dalam tujuan ini
memberikan gambaran pemecahan masalah yang
diharapkan dalam penelitian.
B. Lokasi
Jelaskan lokasi penelitian
C. Waktu
Jelaskan waktu pelaksanaan penelitain
D. Prosedur Penelitian
E. Teknik Analisis Data
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Deskripsi data hasil penelitian
B. Pembahasan
Penjabaran secara mendalam hasil penelitian
BAB V
PENUTUP
1. Simpulan
2. Saran
Daftar Pustaka
Sekilas tentang Bahasa Indonesia | 139
Lampiran
Surat izin penelitian
Instrumen/tes/angket
contoh/bukti pekerjaan/jawaban siswa
dokumentasi, foto, video, naskah
b. Baris Kepemilikan
Nama pengarang
Nama lembaga tempat kegiatan dilakukan, lengkap
dengan alamat pos
Setiap orang yang namanya tercantum sebagai
pengarang, mempunyai kewajiban moral bisa menjawab
isi dari tulisan tersebut
Dalam menulis nama, tanggalkan pangkat, gelar, dan
kedudukan
Komponen abstrak:
Tabel dan grafik tidak boleh dicantumkan dalam abstrak,
begitu juga dengan singkatan ataupun pengacuan pada
pustaka
d. Kata kunci
Kata kunci dapat berasal dari judul, abstrak, atau isi dari
tulisan
Pilih kata-kata yang dipakai kalau mencari informasi
mengenai topik tersebut
e. Pendahuluan
Pendahuluan tidak diberi judul, ditulis langsung setelah
abstrak dan kata kunci. Bagian ini menyajikan kajian
pustaka yang berisi paling sedikit tiga gagasan:
Latar belakang atau rasioanl penelitian
masalah dan wawasan rencana pemecahan masalah
rumusan tujuan penelitian (dan harapan tentang manfaat
hasil penelitian).
Sebagai kajian pustaka, bagian ini harus disertai rujukan
yang bisa dijamin otoritas penulisnya. Jumlah rujukan
harus proporsional (tidak terlalu sedikit dan tidak terlalu
banyak). Pembahasan kepustakaan harus disajikan
secara ringkas, padat dan lkangsung mengenai masalah
yang diteliti. Aspek yang dibahasa dan mencakup
landasan teorinya, segi historisnya, atau segi lainnya.
Penyajian latar belakang atau rasional penelitian
hendaknya sedemikian rupa sehingga mengarahkan
pembaca ke rumusan masalah penelitian yang dilengkapi
dengan rencana pemecahan masalah dan akhirnya ke
rumusan tujuan. Untuk penelitian kualitatif di bagian ini
dijelaskan juga fokus penelitian dan uraian konsep yang
berkaitan dengan fokus penelietian.
Sekilas tentang Bahasa Indonesia | 141
f. Metode
Pada dasarnya bagian ini menyajikan bagaimana
penelitian itu dilakukan. Uraian bisa jika dalam beberapa
paragraph tanpa subbagian, atau dipilah-pilah menjadi
beberapa sub-bagian. Hanya hal-hal yang pokok saja
disajikan. Uraian rinci tentang rancangan penelitian tidak
perlu diberikan.
Materi pokok bagian ini adalah bagaimana data
dikumpulkan, siapa sumber data, dan bagaimana data
dianalisis.
g. Hasil
Bagian hasil adalah bagian utama artikel ilmiah, dan oleh
karena itu biasanya merupakan bagian terpanjang.
Bagian ini menyajikan hasil-hasil analisis data; yang
dilaporkan adalah hasil bersih. Proses analisis data
(seperti perhitungan statistik) tidak perlu disajikan.
Proses pengujian hipotesis pun tidak perlu disajikan,
termasuk pembandingan antara koefisien yang
ditemukan dalam analisis dengan koefisien dalam tabel
statistik. Yang dilaporkan adalah hasil analisis dan hasil
pengujian hipotesis.
Hasil analisis boleh disajikan dengan tabel atau grafik.
Tabel ataupun grafik harus diberi komentar atau dibahas.
Pembahasan tidak harus dilakukan per tabel atau grafik.
Tabel atau grafik digunkan untuk memperjelas penyajian
hasil secara verbal.
Apabila hasil yang disajikan cukup panjang, penyajian
bisa dilakukan dengan memilah-milah menjadi
subbagian-subbagian sesuai dengan penjabaran masalah
penelitian. Apabila bagian ini pendek, bisa digabung
dengan bagian pembahasan. Untuk penelitian kualitatif,
bagian hasil memuat bagian-bagian rinci dalam bentuk
subtopic-subtopik yang berkaitan langsung dengan fokus
penelitian.
142 | Fahrurrozi & Andri Wicaksono
h. Pembahasan
Bagian ini adalah bagian terpenting dari keseluruhan isi
artikel ilmiah. Tujuan pembahasan adalah:
- menjawab masalah penelitian atau menunjukkan
bagaiamana tujuan penelitian itu tercapai
- menafsirkan temuan-temuan
- mengintegrasi temuan penelitian ke dalam kumpulan
pengetahuan yang telah mapan.
Dalam menjawab masalah penelitian atau tujuan
penelitian, harus disimpulkan hasil-hasil penelitian
secara eksplisit. Penafsiran terhadap temuan dilakukan
dengan menggunakan logika dan teori-teori yang ada.
Untuk penelitian kualitatif, bagian ini dapat pula memuat
ide-ide peneliti, keterkaitan antara kategori-kategori dan
dimensi-dimensi serta posisi temuan atau penelitian
terhadap temuan dan teori sebelumnya.
Daftar Rujukan
Daftar rujukan harus lengkap dan sesuai dengan rujukan
yang disajikan dalam batang tubuh artikel ilmiah.
Bahan pustaka yang dimasukkan dalam daftar rujukan
harus sudah disebutkan dalam batang tubuh makalah.
Sekilas tentang Bahasa Indonesia | 143
Abstrak
PENDAHULUAN
Pendahuluan memuat tentang latar belakang, landasan teori,
masalah, rencana pemecahan masalah dan tujuan penelitian.
Pendahuluan ditulis menggunakan huruf Times New Roman
ukuran 12, spasi 1 dan fist line 0,38 inch.
Teks diketik di dalam sebuah luasan print dengan margin 1.2
inch dari atas, 1 inch dari bawah dan kiri kertas. Margin sisi
kanan dibuat 0.8 inch. Ukuran paper A4, lebar 8,27 inch, tinggi
11,69 inch.
Sistematika penulisan artikel hasil penelitian terdiri dari judul,
nama penulis, institusi dan alamat korespondensi, abstrak, kata
kunci, pendahuluan, metode, hasil dan pembahasan, simpulan,
ucapan terimakasih dan daftar rujukan.
144 | Fahrurrozi & Andri Wicaksono
METODE
Berisi metode/rancangan penelitian, populasi dan sampel,
instrumen, validitas dan realibilitas instrumen, dan cara analisis
data.
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terima kasih ditujukan kepada institusi resmi atau
perorangan sebagai penyandang dana atau telah memberikan
kontribusi lain dalam penelitian. Ucapan terima kasih dilengkapi
dengan nomor surat kontrak penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Penulisan daftar pustaka terdiri dari nama penulis, tahun
penerbitan, judul artikel, nama kota dan institusi penerbitan.
Daftar rujukan diurutkan sesuai huruf pertama nama penulis (A-
Z). Kata kedua dalam nama disepakati sebagai nama keluarga.
Semua pustaka yang dirujuk dalam teks harus dituliskan dalam
daftar rujukan.
Ary, D., Jacobs, L.C. & Razavieh, A. 1976. Pengantar Penelitian
Pendidikan. Terjemahan oleh Arief Furchan. 1982.
Surabaya: Usaha nasional
Arikunto, S. 1998. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rinneka Cipta
Kansil, C.L. 2002. Orientasi Baru Penyelenggaraan Pendidikan
Program Profesional dalam Memenuhi Kebutuhan Dunia
Idustri. Transpor, XX(4): 54-5 (4): 57-61
Keppel, Geoffrey. 1982. Design and Analysis A Researcher’s
Handbook. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
Contoh:
Partai yang perolehan suaranya kurang dari satu persen
disebut sebagai partai desimal (Haris, 2006).
Atau:
Jack C. Richard (dalam Elly S., Abdul B., Dyah P., 2008: 43)
menyatakan: ...in speaking a foreign language the learner is
saying words to express certain meanings.
Jika referensinya dua pengarang atau lebih, pemisahannya
memakai tanda “;” (titik koma). Contoh:
Dasar teori yang dikembangkan sebagai teknik pelatihan
keaktoran berorientasi PAKEM adalah teori dari tokoh
teater modern (Boleslavsky, 2005; Sani, 1960; Waluyo,
2008, W.S. Rendra, 1976; Hassanuddin, 2009; Sholeh &
Saptaria, 2005; Harymawan, 1998).
Jika referensinya dua buku dengan tahun terbit yang
berbeda tapi ditulis oleh pengarang yang sama maka
penulisannya sebagai berikut.
Menurut Harold Crouch (1979, 1988), keterlibatan
militer (military intervention) dalam politik disebabkan
oleh faktor internal dan eksternal.
Jika referensinya dua buku dengan tahun terbit berbeda
yang ditulis oleh pengarang yang sama dan buku lainnya oleh
pengarang lain, pemisahannya memakai tanda “;” (titik koma).
Pembahasan tentang peranan militer dalam politik di
Indonesia banyak dilakukan oleh para ilmuwan politik
asing (Crouch 1979, 1988; Jenkins 1986; Singh 1988),
yang kajian-kajiannya bisa dipetakan dalam berbagai
perspektif pemikiran.
Tanda baca “;” (titik koma) juga dipakai untuk menghindari
kekeliruan penggunaan tanda “,” (koma) dalam pemisahan
referensi yang satu dengan referensi yang lainnya dan dalam
referensi yang ditulis oleh tiga pengarang. Contoh:
Kebijakan terbaru dalam pelembagaan proses devolusi
pengelolaan sumberdaya alam ditulis oleh beberapa pihak
(DENR, 2003; Magno, 2003; Pulhin, Inoue & Enters, 2007).
Sekilas tentang Bahasa Indonesia | 147
Atau:
Di wilayah Asia Pasifik, Filipina merupakan salah satu
negara terdepan dan menjadi pionir dalam
mengembangkan inovasi untuk melakukan devolusi
pengelolaan sumber daya alam (Dahal & Capistrano,
2006; Pulhin, Inoue & Enters, 2007).
a. Sumber Buku
Budi Martono, Penyusutan dan Pengamanan Arsip Vital
dalam manajemen Kearsipan, (Jakarta: Pustaka sinar
Harapan, 1994), hlm. 16.
b. Sumber artikel dalam terbitan berkala (majalah ilmiah,
jurnal)
Gemala Rabi’ah Hatta, “Rekam Medis dan Kesehatan
(Medical Records) dalam Kedudukannya sebagai
Penunjang Kesehatan Nasional”, dalam Berita Arsip
Nasional, No. 26, Juni 1988 (Jakarta: ANRI, 1988), hlm. 8.
c. Sumber artikel dalam sebuah buku (kumpulan karangan)
David Roberts, “Managing Records in Special Formats”,
dalam Judith Ellis (ed.), Keeping Archives (Victoria: D.W.
Thorpe, 1993), hlm. 387.
d. Sumber Makalah Seminar
Machmoed Effendhie, “Arsip Sebagai Sumber Informasi
dalam Pengambilan Keputusan”, Makalah seminar
Apresiasi Kearsipan Pejabat Eselon III dan IV Kabupaten
Sleman, 11 September 2001, hlm. 14.
e. Sumber Terbitan Pemerintah
Peraturan Pemerintah Nomor 34 tahun 1979 tentang
Penyusutan Arsip, pasal 6.
f. Sumber Terbitan Organisasi
Developing and Oprating a Records retention
Programme, ARMA, 1986, hlm. 52.
g. Sumber Lisan
Wawancara dengan Mudjono NA, tanggal 13 Oktober
2003 di Kantor Kepatihan Yogyakarta.
h. Sumber Karya Ilmiah Tidak diterbitkan (LTA, Skripsi,
Tesis, Disertasi, dll.)
Erna Handayani dkk., “Perubahan Pengelolaan Arsip Aktif
dari Sentralisasi ke desentralisasi di P.T. Sari Husada”,
LTA D-III Kearsipan Fakultas Ilmu Budaya, UGM, 2000,
hlm. 28.
Sekilas tentang Bahasa Indonesia | 151
1. Kutipan Langsung
Kutipan langsung (direct quotation) adalah kutipan hasil
penelitian, hasil karya atau pendapat orang lain yang
penyajiannya sama persis dengan teks aslinya (yang dikutip).
Dalam merujuk sumber kutipan di teks utama, sebutkan
referensinya dengan menulis nama pengarang, tahun penerbitan,
dan nomor halaman.
a. Jika jumlah kata kutipan tidak lebih dari tiga baris,
kutipan tersebut diketik dengan jarak dua spasi dan
diberi tanda petik. Contoh:
Slameto (1995: 180) mengungkapkan bahwa,
“Minat dapat diekspresikan melalui peryataan
yang menunjukkan bahwa siswa lebih
menyukai suatu hal dari pada hal lainnya dan
minat tidak dibawa sejak lahir.”
Paling sedikit ada dua jenis kutipan tidak langsung atau ada
dua cara dalam mengutip secara tidak langsung. Pertama,
dengan meringkas, menyimpulkan, atau merujuk pokok-pokok
pikiran orang lain. Contoh:
Penyusun skripsi yang meringkas atau merujuk pokok-
pokok pikiran (pendapat) Huntington tentang gelombang
demokrasi di dunia ini dalam bukunya The Third Wave of
Democratization:
Gelombang demokratisasi yang ada di dunia ini bias dibagi
menjadi tiga periode, yakni demokratisasi gelombang
pertama yang berlangsung antara 1828-1926, demokratisasi
gelombang kedua yang terjadi antara 1943-1962, dan
demokratisasi gelombang ketiga yang dimulai dari tahun
1974 sampai tahun 1990-an (Huntington 1991). Mengingat
sekarang masih banyak rejim-rejim otoriter, apakah aka
nada gelombang demokratisasi keempat?
Kedua, dengan melakukan paraphrase, yakni pengubahan
struktur/susunan kalimat aslinya menjadi kalimat lain tanpa
mengubah isi atau substansi kalimat/alinea. Contoh:
Kalimat asli yang dibuat oleh Miriam Budiardjo:
Berkenaan dengan sistem pemilu, Miriam Budiardjo
mengatakan:
Pada umumnya kita kenal dua sistem pemilu, masing-
masing dengan beberapa variasinya. Dalam sistem distrik,
satu wilayah (yaitu distrik pemilihan) memilih satu wakil
tunggal wilayah (single member constituency) atas dasar
pluralitas (suara terbanyak). Dalam sistem proposional, satu
wilayah (yaitu daerah pemilihan) memilih beberapa wakil
(multi-member constituency), yang jumlahnya ditentukan
atas dasar rasio misalnya 400.000 penduduk (Budiardjo
1982: 4).
Kalimat paraphrasenya:
Sistem distrik dan sistem proposional adalah dua jenis
sistem pemilihan umum yang paling popular, yang masing-
masing sistem ini memiliki variannya sendiri-sendiri. Dalam
sistem distrik, jumlah pemenangnya – yang akan menjadi
wakil di perlemen – adalah satu orang, sedangkan dalam
156 | Fahrurrozi & Andri Wicaksono
BAB IX
APRESIASI FIKSI
DAN PEMBELAJARAN
A. Hakikat Novel
Novel merupakan bagian dari genre prosa fiksi. Berkaitan
dengan pengertian novel sebagai karya sastra berbentuk prosa
fiksi. Novel termasuk fiksi (fiction) karena novel merupakan
hasil khayalan atau sesuatu yang sebenarnya tidak ada. Selain
novel ada pula roman dan cerita pendek. Novel adalah suatu
jenis karya sastra yang berbentuk prosa fiksi dalam ukuran yang
panjangdan luas yang di dalamnya menceritakan konflik-konflik
kehidupan manusia yang dapat mengubah nasib tokohnya. Selain
tokoh-tokoh, serangkaian peristiwa dan latar ditampilkan secara
tersusun hingga bentuknya lebih panjang dibandingkan dengan
prosa rekaan yang lain.
Abrams menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan fiksi
adalah cerita rekaan atau dibuat-buat, sedangkan yang termasuk
fiksi adalah novel dan cerpen. Namun, kadangkala fiksi juga
sering digunakan sebagai sinonim dari novel (Abrams, 1999: 59).
Pendapat serupa dikemukakan oleh Sayuti (2000: 7), novel
dikategorikan dalam bentuk karya fiksi yang bersifat formal. Bagi
pembaca umum, pengkategorian ini dapat menyadarkan bahwa
sebuah fiksi apapun bentuknya diciptakan dengan tujuan
tertentu. Pendapat lain yang lebih mengacu pada kompleksitas
antara novel dan cerpen dikemukan oleh Kenney (1966: 105).
Menurut Kenney, karena subtitusi dalam novel kompleks maka
Sekilas tentang Bahasa Indonesia | 171
B. Hakikat Cerpen
Sebagai salah satu bagian dari karya sastra, cerita pendek
(cerpen) memiliki banyak pengertian. Berikut pendapat
beberapa ahli tentang pengertian cerpen. Jakob Sumardjo (2001:
91) mengungkapkan bahwa cerita pendek adalah seni,
keterampilan menyajikan cerita, yang di dalamnya merupakan
satu kesatuan bentuk utuh, manunggal, dan tidak ada bagian-
bagian yang tidak perlu, tetapi juga ada bagian yang terlalu
banyak. Semuanya pas, integral, dan mengandung suatu arti.
Adapun Edgar Allan Poe (dalam Nurgiyantoro (2013: 10)
mengatakan bahwa cerpen adalah sebuah cerita yang selesai
dibaca dalam sekali duduk, kira-kira berkisar antara setengah
sampai dua jam-suatu hal yang kiranya tak mungkin dilakukan
untuk novel.
Sifat umum cerpen ialah pemusatan perhatian pada satu
tokoh saja yang ditempatkan pada suatu situasi sehari-hari,
tetapi yang ternyata menentukan (perubahan dalam perspektif,
kesadaran baru, keputusan yang menentukan). Tamatnya
seringkali tiba-tiba dan bersifat terbuka (open ending). Dialog,
impian, flash-back dsb. sering dipergunakan (pengaruh dari
172 | Fahrurrozi & Andri Wicaksono
1. Tema
Tema dalam banyak hal bersifat mengikat kehadiran dan
ketidakhadiran peristiwa, konflik, situasi tertentu, termasuk
berbagai unsur intrinsik yang lain karena hal-hal tersebut
haruslah bersifat mendukung kejelasan tema yang ingin
disampaikan. Tema menjadi dasar pengembangan seluruh cerita,
maka Ia pun bersifat menjiwai seluruh bagian cerita itu. Tema
mempunyai generalisasi yang umum, lebih luas dan abstrak.
Tema tentu saja memiliki kaitan antara makna dengan
tujuan pemaparan prosa fiksi oleh pengarangnya. Untuk
memahami tema suatu karya sastra, pembaca terlebih dahulu
harus memahami unsur-unsur signifikan yang membangun
suatu cerita, menyimpulkan makna yang dikandungnya serta
mampu menghubungkan dengan tujuan pengarangnya. Tema
adalah makna cerita. Seperti yang dikemukakan Kenney bahwa
“theme is the meaning of the story.” Lebih lanjut dijelaskan oleh
Kenney (1966: 88-91), tema bukan nasihat, bukan subjek, bukan
sebuah “makna yang disembunyikan” dari cerita. Tema adalah
makna, tetapi tidak “disembunyikan”, tidak dilukiskan. Tema
Sekilas tentang Bahasa Indonesia | 175
2. Alur Cerita
Alur merupakan salah satu unsur fiksi yang penting, bahkan
bisa jadi orang menganggapnya sebagai unsur fiksi yang paling
176 | Fahrurrozi & Andri Wicaksono
3. Penokohan
Dalam pembicaraan fiksi sering dipergunakan istilah-istilah
seperti tokoh dan penokohan, watak dan perwatakan, atau
karakter dan karakterisasi secara bergantian dengan menunjuk
pengertian yang hampir sama. Tokoh cerita ialah orang-orang
yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama , yang
oleh pembaca ditafsirkan memilki kualitas moral dan
kecenderungan tertentu seperti yang diespresikan dalam ucapan
dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Sedangkan penokohan
ialah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang
ditampilkan dalam sebuah cerita.
Istilah tokoh dan penokohan, watak, dan perwatakan atau
karakter dan karakterisasi sering digunakan dalam pembicaraan
fiksi serta pengertian sebenarnya tidak menyaran pada istilah
yang saklek sama. Akan tetapi, terdapat perbedaan makna dari
istilah tersebut. Istilah tokoh menunjuk pada orangnya, pelaku
178 | Fahrurrozi & Andri Wicaksono
a. Pembedaan Tokoh
1) Berdasarkan keterlibatannya dalam keseluruhan
cerita
- Tokoh utama
- Tokoh tambahan
2) berdasarkan fungsi penampilan tokoh
- Tokoh protagonis
- Tokoh antagonis
3) Berdasarkan watak atau karakteristiknya
- Tokoh sederhana
- Tokoh bulat
4) Berdasarkan berkembang atau tidaknya perwatakan
- Tokoh berkembang
- Tokoh statis
5) Berdasarkan kemungkinan pencerminan tokoh cerita
terhadap sekelompok manusia dari kehidupan nyata
- Tokoh tipikal
- Tokoh netral
4. Latar
Fiksi sebagai sebuah dunia, di samping membutuhkan
tokoh, cerita, dan alur juga memerlukan latar. Segala sesuatu di
dunia ini terjadi pada suatu tempat dan masa. Cerita rekaan
adalah dunia kata-kata yang di dalamnya terdapat kehidupan
para tokohnya dalam rentetan peristiwa. Dengan demikian,
prosa pun (fiksi) tidak bisa terlepas dari tempat dan waktu.
Unsur yang menunjukkan di mana dan kapan peristiwa-
peristiwa dalam kisah itu berlangsung. Sebagai latar cerita, kita
mengartikannya ‘waktu dan tempat’. Kedua kata tersebut
mungkin mengingatkan pada logam yang menampung berlian
pada sebuah cincin, atau sett yang digunakan dalam drama;
barangkali sebuah kursi kosong di selembar kanvas lukis.
Namun, seringkali dalam sebuah fiksi akan lebih efektif, latar
mungkin lebih dari sekadar latar belakang penceritaan. Hal ini
dapat mendorong tindakan tokoh, membawa mereka ke
perwujudan atau menyebabkan mereka untuk mengungkapkan
gejolak batin tokoh.
Ide dalam pelukisan latar mencakup lingkungan fisik cerita,
dapat berupa rumah, jalan, kota, bentang alam (lanskap-
pemandangan), dan gambaran suatu daerah. Di mana cerita
terjadi yang kadangkala disebut lokalitas kewilayahannya
(Kennedy dan Gioia, 2007: 112).
Setting adalah elemen yang dominan. Seperti yang
dikemukakan oleh Kenney (1966: 44) bahwa latar bisa jadi
merupakan elemen dominan dalam karya fiksi. Bahkan, latar
tidak pernah hidup oleh dirinya sendiri. Setting selalu bagian
dari keseluruhan artistik dan harus dipahami begitu saja. Dengan
deskripsi dan narasi, latar belakang dapat muncul dan jika
diperkaya dengan latar belakang lain, cerita akan lebih hidup.
Waktu cerita ialah lamanya waktu penceritaan tokoh utama dari
awal hingga akhir cerita, sedangkan waktu penceritaan ialah waktu
pembacaan, biasanya lamanya jam. Selain tempat, latar/setting
secara krusial mungkin melibatkan waktu cerita-jam, tahun, atau
abad. Selain waktu dan tempat, dapat juga mencakup temperatur
suhu atau cuaca, yang dalam beberapa cerita mungkin penting.
182 | Fahrurrozi & Andri Wicaksono
a. Latar Tempat
Latar tempat mengacu pada lokasi terjadinya peristiwa
yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat
yang dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat
dengan nama tertentu serta inisial tertentu.
b. Latar Waktu
Latar waktu berhubungan dengan masalah “ kapan “
terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam
sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” teersebut biasanya
dihubungkan dengan waktu
c. Latar Sosial
Latar sosial mengacu pada hal-hal yang berhubungan
dengan perilaku sosial masyarakat di suatu tempat yang
diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial
masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup
yang cukup kompleks serta dapat berupa kebiasaan
hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup,
cara berpikir dan bersikap. Selain itu, latar sosial juga
berhubungan dengan status sosial tokoh yang
bersangkutan.
5. Sudut Pandang
Sudut pandang adalah posisi fisik, tempat
persona/pembicara melihat dan menyajikan gagasan gagasan
atau peristiwa-peristiwa; merupakan perspektif/pemandangan
fisik dalam ruang dan waktu yang dipilih oleh penulis. Sudut
pandang menyaran cara sebuah cerita dikisahkan, cara atau
pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk
menyajikan tokoh, tindakan, latar dan berbagai peristiwa yang
membentuk cerita dalam sebuah karya sastra, prosa termasuk
novel dan cerpen. Sudut pandang dikatakan sebagai dasar
berpijak pembaca untuk melihat peristiwa-peristiwa dalam
cerita. Pengarang sengaja memilih sudut pandang secara berhati-
hati agar dapat memiliki berbagai posisi dan berbagai hubungan
dengan setiap peristiwa, baik di dalam dan di luar tokoh maupun
keterlibatan atau tidak secara emosinal.
184 | Fahrurrozi & Andri Wicaksono
6. Bahasa (Stilistika)
Pengarang menggunakan bahasa dalam mengekspresikan
karyanya. Pengamatan terhadap bahasa ini pasti akan
mengungkapakan hal-hal yang membantu kita menafsirkan
makna suatu karya atau bagian-bagiannya yang selanjutnya
memahami dan menikmati karya tersebut. Pengamatan terhadap
bahasa inilah yang disebut dengan pengkajian stilistik. Dalam
pengkajian stilistik tampak relevansi linguistik atau ilmu bahsa
terhadap studi sastra selain itu dengan stilistik dapat dijelaskan
interaksi yang rumit antara bentuk dan makna yang sering luput
dari perhatian dan pengamatan para sastrawan.
Stile adalah cara pengucapan bahasa dalam sastra atau cara
pengarang mengungkapkan sesuatu yang kan diungkapkan. Stile
dalam penulisan sastra ditulis dalam konteks kesasatraan
dengan tujuan untuk mendapatkan efek keindahan yang lebih
menonjol. Alasan terkuat adalah agar pembaca dapat menikmati
atas ilusi dari aksi, pandangan dan daya pikir sebuah karya
Sekilas tentang Bahasa Indonesia | 187
b. Unsur Gramatikal
Unsur gramatikal yang dimaksud menyaran pada
pengertian struktur kalimat. Dalam kegiatan komunikasi
bahasa, juga jika dilihat dari kepentingan stile, kalimat lebih
penting dan bermakna daripada sekedar kata walau
kegayaan kalimat dalam banyak hal juga dipengaruhi oleh
pilihan katanya. Dalam sastra, pengarang mempunyai
kebebasan penuh dalam mengkreasikan bahasa sehingga
adanya berbagai bentuk penyimpangan kebahasaan,
Sekilas tentang Bahasa Indonesia | 189
c. Retorika
Retorika merupakan suatu cara penggunaan bahasa
untuk memperoleh efek estetis. Ia diperoleh melalui
kreativitas pengungkapan bahasa, yakni bagaimana
pengarang menyiasati bahasa sebagai sarana untuk
mengungkapkan gagasannya. Pada umumnya, sarana
retorika ini menimbulkan ketegangan puitis karena pembaca
harus memikirkan efek apa yang ditimbulkan dan
dimaksudkan oleh penyairnya (Pradopo, 2002: 94).
Pembicaraan unsur retorika berikut meliputi bentuk-bentuk
yang berupa pemajasan, penyiasatan struktur, dan
pencitraan.
1) Pemajasan
Pemajasan (figure of thought) merupakan teknik
pengungkapan bahasa, penggayabahasaan, yang maknanya
tidak menunjuk pada makna harafiah kata-kata yang
mendukungnya melainkan pada makna yang ditambahkan,
makna yang tersirat. Jadi, ia merupakan gaya yang sengaja
190 | Fahrurrozi & Andri Wicaksono
2) Penyiasatan Struktur
Dalam kaitannya dengan tujuan untuk mencapai efek
retoris sebuah pengungkap, peranan penyiasatan struktur
tampaknya lebih menonjol dibandingkan dengan pemajasan.
Ada bermacam gaya bahasa yang terlahir dari penyiasatan
strukutur kalimat. Salah satu gaya yang banyak digunakan
orang adalah yang berangkat dari bentuk pengulangan, baik
yang berupa pengulangan kata, bentuk kata, frase, kalimat
maupun bentuk-bentuk yang lainnya.
a) Repetisi bentuk gaya pengulangan dengan menampilkan
pengulangan kata atau kelompok kata yang sama.
b) Anafora menampilkan pengulangan kata-kata pada awal
kalimat berupa kalimat yang berurutan.
c) Polisindenton adalah berupa pengulangan kata tugas
tertentu, misalnya kata “dan” sedangkan asindenton
merupakan bentuk pengulangan yang berupa
penggunaan pungtuasi yang berupa “tanda koma”.
d) Pertanyaan retoris menekankan pengungkapan dengan
menampilkan semacam pertanyaan yang sebenarnya tak
menghendaki jawaban.
e) Paradoks adalah cara penekanan penuturan yang sengaja
menampilkan unsur pertentangan di dalamnya. Paradoks
yang mempergunakan penjajaran kata yang berlawanan
disebut oksimoron.
192 | Fahrurrozi & Andri Wicaksono
3) Citraan
Citraan ialah gambaran-gambaran dalam pikiran dan
bahasa yang menggambarkannya (Altenbernd lewat Pradopo
2002: 80) sedangkan setiap gambar pikiran disebut citra
atau imaji (image). Gambaran pikiran ini adalah sebuah efek
dalam pikiran yang sangat menyerupai (gambaran) yang
dihasilkan oleh penangkapan kita terhadap sebuah objek
yang dapat dilihat oleh mata, saraf, penglihtan, dan daerah-
daerah otak yang berhubungan. Pendapat lain oleh Suminto
A. Sayuti (2008: 169-171) bahwa citraan adalah kata atau
rangkaian kata yang mampu menggugah pengalaman
keindahan atau menggugah indra dalam proses penikmatan
(membaca dan mendengarkan).
Citraan mempermudah penikmat sastra dapat
memahami dan merasakan bagaimana sebuah karya sastra
Sekilas tentang Bahasa Indonesia | 193
4) Kohesi
Antara bagian kalimat yang satu dengan yang lain, atau
kalimat yang satu dengan yang lain, terdapat hubungan yang
bersifat mengaitkan antar bagian kalimat atau antara kalimat
itu. Bagian-bagian dalam sebuah kalimat, atau kalimat-
kalimat dalam sebuah alinea, yang masing-masing
mengandung gagasan, tidak mungkin disusun secara acak
(Nurgiyantoro, 2013: 306).
Ada dua macam kohesi yang terbetuk secara linear, yaitu:
sambungan (linkage) dan rujuk-silang (cross reference).
Sambungan merupakan alat kohesi yang berupa kata-kata
sambung sedangkan rujuk silang berupa sarana bahasa yang
menunjukkan kesamaan makna dengan bagian yang
direferensi. Selanjutnya, penanda kohesi yang berupa
sambungan dalam bahasa Indonesia adalah sebagian
preposisi ataupun konjungsi, yaitu berupa kata-kata tugas
seperti dan, kemudian, sedangkan, tetapi, namun, bahwa,
sebab, dan jika. Adapun rujuk-silang berupa pengulangan
kata, pengurangan kata. Bentuk penyingkatan, pengurangan,
atau penggantian yang banyak dipergunakan adalah berupa
pemakaian kata-kata ganti persona.
BAB X
PEMBELAJARAN APRESIASI PUISI
A. Pendahuluan
Salah satu rahasia yang sesungguhnya tetap menjadi rahasia
sepanjang masa adalah puisi. Bentuk paling tua dari
kesusasteraan dalam sejarah peradaban manusia adalah puisi.
Dan bentuk paling agung yang senantiasa diliputi kabut rahasia
dalam kesusasteraan dunia adalah puisi.
B. Hakikat Puisi
Secara etimologi istilah puisi berasal dari kata berbahasa
Yunani poesis, yang berarti membangun, membentuk, membuat,
menciptakan. Sedangkan kata poet dalam tradisi Yunani Kuno
berarti orang yang mencipta melalui imajinasinya, orang yang
hampir-hampir menyerupai dewa atau yang amat suka kepada
dewa-dewa. Dia adalah orang yang berpenglihatan tajam, orang
suci, yang sekaligus merupakan filsuf, negarawan, guru, orang
yang dapat menebak kebenaran yang tersembunyi. Laurence
Perrine (1974: 553) mengatakan pengertian puisi adalah sesuatu
yang digunakan secara universal mulaid ari yang primitif sampai
yang beradab. Puisi dianggap sebagai budaya dan disukai semua
orang dan profesinya mulai dari negarawan, tentara, pengacara,
petani, dokter, pendeta ilmuwan, plilosophers, raja dan ratu,
mulai dan orang tua sampai anak-anak. Sementara itu, James
Reeves (1978: 37) mengatakan puisi bukanlah sebuah
pembacaan kata yang merdu semerdu nyanyian suara burung
tetapi berupa penyajian kata-kata seperti prosa.
Puisi sebagai salah satu bentuk karya sastra tentunya harus
mempunyai fungsi estetik yang harus ada dalam setiap
penciptaan karya sastra. Puisi merupakan karya sastra. Rene
Wellek dan Warren (lewat Jabrohim, dkk., 2003: 25)
196 | Fahrurrozi & Andri Wicaksono
C. Struktur Puisi
Adapun unsur-unsur pembangun puisi menurut Jabrohim
dkk. (2003: 35-57) ialah diksi, pengimajian, kata konkret, bahasa
figuratif, versifikasi, tipografi, dan sarana retorika. Tarigan
(1991: 28) menyatakan bahwa metode puisi terdiri atas (1) diksi,
(2) imaji/imagery, (3) kata nyata, (4) majas, (5) ritme dan rima.
Hal ini sejalan dengan unsur-unsur puisi yang disebutkan oleh
Suminto A. Sayuti (2008: 3-4) bahwa unsur-unsur yang
terkandung dalam puisi meliputi bunyi dan aspek-aspeknya,
diksi, citraan, bahasa kias, sarana retorik, wujud visual, dan
makna puisi.
Sekilas tentang Bahasa Indonesia | 197
b. Tahap Pelanjutan
Tahap ini merupakan tahap tindak lanjut dari tahap
pencarian ide setelah seseorang mendapatkan ide-ide dari
berbagai sumber dan cara,kemudian dilanjutkan dengan
mengembangkan ide-ide tersebut menjadi sebuah puisi.
Dalam tahap pelanjutan ini, setelah dikembangkan kemudian
direvisi, karena manusia tidak akan lepas dari kesalahan.
c. Tahap Pengakhiran
Adapun puisi yang diajarkan siswa adalah puisi
transparan yang merupakan bentuk puisi sederhana. Di
samping itu, dalam latihan penulisan puisi ini tidak hanya
untuk mempertajam pengamatan dan meningkatkan
kemampuan bahasa. Siswa diharapkan dapat memperoleh
minat segar yang muncul dari kedalaman puisi itu sendiri.
b. Vokal
Kejelasan pengucapan (artikulasi), intonasi, serta volume
suara.
1) Artikulasi
Kejelasan artikulasi dalam membaca puisi sangat
dibutuhkan. Bunyi vokal seperti /a/, /i/, /u/, /e/, /o/, /ai/,
/au/, dan sebagainya harus jelas terdengar, demikian pula
dengan bunyi-bunyi konsonan.
204 | Fahrurrozi & Andri Wicaksono
2) Intonasi
Intonasi menyangkut persoalan “tekanan dinamik”, yaitu
keras lembutnya suara; “tekanan tempo”, yaitu cepat
lambatnya ucapan; “tekanan nada”, yaitu menyangkut tinggi
rendahnya suara; dan “modulasi” yang meliputi perubahan
bunyi suara (karena marah bunyi suara menjerit, karena
lelah bunyi suara mendesah, dan sebagainya). Ketepatan
intonasi atau irama ini bergantung kepada ketepatan
penafsiran atas puisi yang dibacakan.
3) Karakter Suara
Pembaca puisi harus mampu memainkan karakter
suaranya sesuai dengan kutipan puisi yang dibacanya.
Apabila kutipan dalam puisi terdapat monolog seorang kakek
tua, ia harus mampu merubah suaranya seperti suara
seorang kakek tua.
4) Tempo
Tempo dalam membaca puisi pun sangat penting untuk
diperhatikan. Tempo pembacaan puisi harus disesuaikan
dengan isi puisi.
5) Kekuatan (Power) Suara
Kekuatan suara juga amat penting untuk diperhatikan.
Dalam membaca puisi yang perlu diperhatikan adalah suara
seorang pembaca puisi harus mampu mengatasi suara
penonton atau pendengarnya. Untuk mengatasi suara
penonton/pendengarnya, pembaca puisi memang dituntut
untuk memiliki vokal yang keras. Hanya seringkali dijumpai
pembaca puisi berteriak untuk memperkeras volume
suaranya. Hal itu tentu saja akan merusak kemerduan
ucapan yang justru amat dibutuhkan dalam membacakan
puisi. Volume suara yang keras semestinya dilakukan dengan
mempertinggi suara, bukan dengan jalan berteriak.
c. Gerak
Gerak pembaca puisi tidaklah sebanyak gerak yang
dilakukan aktor dalam bermain drama. Gerak yang dilakukan
dalam membaca puisi hendaknya sesuai dengan tuntuntan
puisi, yakni mampu bergerak dengan wajar karena dorongan
Sekilas tentang Bahasa Indonesia | 205
BAB XI
APRESIASI DRAMA:
STRUKTUR DAN PEMBELAJARAN
A. Hakikat Drama
Drama berasal dari bahasa Yunani “dromai” yang berarti:
berbuat, berlaku, bertindak, atau beraksi. Drama berarti
perbuatan, tindakan atau beraksi (Harymawan, 1998: 1).
Perkataan drama sering dihubungkan dengan teater. Sependapat
dengan hal itu, Stanislavsky (2002: 103) merumuskan bahwa
teater bertujuan untuk membuat sebuah peristiwa dan
rangkaian adegan yang dapat langsung muncul secara
bersamaan dalam sebuah komunitas secara terpisah karena
hukum alam yang mencipta setiap komunitas. Pada momen
tertentu, dunia yang terpisah ini muncul bersamaan dalam
waktu tertentu. Sebenarnya perkataan “teater” mempunyai
makna lebih luas karena dapat berarti drama, gedung
pertunjukan, panggung, grup aktor drama, dan dapat pula berarti
segala bentuk tontonan yang dipentaskan di depan orang banyak
(Herman J. Waluyo, 2008: 3).
H.N. Brockett (dalam Bakdi Soemanto, 2001: 12-13)
menjelaskan tiga teori yang menerangkan tentang asal mula
drama. Teori pertama menyatakan bahwa drama bermula dari
upacara-upacara religius untuk meminta pertolongan kepada
dewa. Dalam upacara-upacara tersebut, para pendeta sering
memerankan makhluk supraalami atau binatang. Teori kedua
menyatakan bahwa drama bermula dari himne pujian yang
dinyanyikan bersama di makam seorang pahlawan. Teori ketiga
menyatakan bahwa drama bermula dari kecintaan manusia
untuk bercerita.
Brook (2002: 22), dalam bukunya menjelaskan tentang
kaidah drama bahwa unsur dasar suatu drama ialah dialog.
Sekilas tentang Bahasa Indonesia | 207
2. Penokohan/karakter
Dalam drama, tokoh diciptakan bukan tanpa maksud dan
tanpa sesuatu yang mengelilingi atau melingkupinya. Suatu
karakter lahir dalam suatu cerita pasti membawa suatu “bentuk”
atau “peran” tertentu. Reaske (1966: 44) membagi karakter
menjadi dua, yaitu karakter mayor dan karakter minor.
Penentuan karakter mayor atau karakter minor dapat diketahui
melalui persentase aksi dalam drama. Pada umumnya, karakter
mayor terdiri dari dua orang tokoh, yaitu seorang laki-laki dan
seorang perempuan. Jika lebih dari itu, alasannya dapat
diketahui di dalam cerita, misalnya cinta segitiga atau
kebingungan salah satu tokoh utama memilih dua tokoh yang
lain.
Karakter merupakan bahan paling aktif yang menggerakkan
jalan cerita. Karakter memiliki kepribadian dan watak. Karakter
dapat dibagi menjadi tiga dimensi, yaitu fisiologis, sosiologis, dan
psikologis (Harymawan, 1998: 25-26). Dimensi fisiologis adalah
ciri-ciri badani yang dimiliki oleh seorang tokoh. Contoh yang
210 | Fahrurrozi & Andri Wicaksono
3. Setting/Latar
Setting dapat disebut sebagai latar peristiwa. Herman J.
Waluyo (2002: 23), berpendapat bahwa setting biasanya
meliputi tiga dimensi, yaitu: tempat, ruang, dan waktu. Pendapat
serupa dikemukakan oleh Burhan Nurgiyantoro (2013: 227)
yang membedakan unsur latar ke dalam tiga unsur pokok, yaitu :
(1) latar tempat, yaitu mengacu pada lokasi terjadinya peristiwa
yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar tempat disebut
pula sebagi latar fisik (physical setting); (2) latar waktu, yaitu
berhubungan dengan masalah kapan terjadinya peristiwa yang
diceritakan dalam sebuah karya fiksi; (3) latar sosial, mengacu
pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan
sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya
fiksi. Hal itu dapat berupa kebiasaan hidup, tradisi, cara berpikir
dan bersikap, pandangan hidup, keyakinan, dan status sosial.
Suasana disampaikan secara langsung kepada penonton
melalui ritme, gerak aktor, dialog aktor, dan perubahan-
perubahan intensitas pencahayaan. Ritme sebagai urutan
perubahan yang bervariasi. Ia menyatakan bahwa ketika aliran
seragam, tanpa intensitas variasi atau kecepatan, tidak ada ritme.
Perubahan ritme merupakan terjadinya teror yang berbeda
dengan harapan pada pemulihan. Setiap peristiwa yang sedang
terjadi melengkapi hubungan peristiwa sebelumnya dan ke
peristiwa selanjutnya.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, dapat dikatakan
bahwa latar adalah suatu keadaan atau suasana yang memberi
gambaran peristiwa dalam cerita, termasuk di dalamnya waktu,
ruang atau tempat, dan suasana. Unsur dalam latar, seperti
waktu, ruang dan suasana, saling mendukung dalam membentuk
kondisi yang mendukung cerita secara keseluruhan.
212 | Fahrurrozi & Andri Wicaksono
4. Tema
Bagian struktur yang lain adalah tema, Harymawan (1998:
26) dan Bakdi Soemanto (2001: 22) menyebutnya premis.
Premis adalah rumusan intisari cerita sebagai landasan idiil
dalam menentukan arah tujuan cerita. Dalam pengertian umum,
premis dapat diartikan sebagai ide pemikiran cerita. Tema
merupakan gagasan pokok yang terkandung dalam drama. Tema
berhubungan dengan premis dari drama tersebut yang
berhubungan dengan nada dasar dari sebuah drama dan sudut
pandangan yang dikemukakan oleh pengarangnya (Herman J.
Waluyo, 2002: 24).
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tema
merupakan intisari cerita dalam menentukan arah tujuan drama.
Tema merupakan gagasan pokok yang dikandung dalam drama
dan berhubungan dengan sudut pandang yang dikemukakan
pengarang. Untuk menemukan makna lengkap dalam drama,
tema sangat erat hubungannya dengan nilai-nilai drama yang
lain. Tema dapat ditemukan dalam dialog dan diperjelas dalam
pertunjukan. Tiap adegan memiliki kesatuan yang erat dan saling
berhubungan untuk mendukung tema.
5. Dialog
Ciri khas suatu drama adalah naskah itu berbentuk cakapan
atau dialog. Ragam bahasa dalam dialog tokoh-tokoh drama
adalah bahasa yang komunikatif dan bukan ragam bahasa tulis
(Herman J. Waluyo, 2002: 20). Selanjutnya, Atar Semi (1993:
164) berpendapat bahwa dalam drama, ujaran mestilah lebih
manarik dan ekonomis dibandingkan dengan kenyataan sehari-
hari. Atar Semi juga mengemukakan beberapa fungsi dialog,
yaitu wadah penyempaian informasi kepada penonton;
menjelaskan ide-ide pokok, menjelaskan watak dan perasaan
pemain, dialog memberi tuntunan alur kepada penonton, dialog
menggambarkan tema dan gagasan pengarang, dialog mengatur
suasana dan tempo permainan.
Sebagai karya sastra, bahasa drama adalah bahasa sastra
yang bersifat konotatif juga dimiliki. Pemakaian lambang, kiasan,
irama, pemilihan kata yang khas, dan sebagainya berprinsip
Sekilas tentang Bahasa Indonesia | 213
b. Potensi tubuh
Tubuh harus bagus dan menarik, tubuh harus lentur
sanggup memainkan semua peran, dan mudah diarahkan.
c. Potensi driya
Semua panca indra, penglihatan, pendengaran, penciuman
perasa, dan pengecap perlu dilatih kepekaan, misalnya melihat
sambil mendengarkan.
d. Potensi akal
Seorang aktor harus cerdik dan tangkas. Kecerdikan dan
ketangkasan itu dapat dipunyai jika terbiasa menggunakan akal,
antara lain dengan kegiatan membaca dan berolahraga.
e. Potensi hati
Hati merupakan landasan perasaan. Perasaan manusia amat
beragam dan silih berganti. Senang, tertawa, sedih, dan meratap.
Semua berurusan dengan hati, karena itu perlu melatih
kepekaan perasaan.
f. Potensi imajinasi
Akting baru mungkin terjadi apabila dalam hati ada niat.
Kehendak harus dilengkapi imajinasi.
g. Potensi vokal
Aktor mengucapkan kata-kata yang dirakit menjadi kalimat-
kalimat untuk mengutarakan perasaan dan pikirannya. Kata-kata
diucapkan dengan mulut.
h. Potensi jiwa
Seseorang harus mampu memerankan tokoh dengan
penjiwaan. Ia harus berusaha agar jiwanya melebur dalam tokoh
yang diperankan. Penjiwaan dapat dibangkitkan lewat
pengalaman dan pengamatan.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa memerankan
tokoh drama adalah bentuk kompetensi berbicara secara
produktif dalam kinerja berbahasa untuk mampu menjadi orang
lain sesuai dengan tuntutan lakon drama yang melibatkan
keterampilan aktor memasuki serta mengekspresikan tokoh
yang dibawakan. Selain itu, seorang aktor mampu memanfaatkan
potensi diri, meliputi potensi tubuh, potensi driya, potensi akal,
potensi hati, potensi imajinasi, potensi vokal, dan potensi jiwa.
Untuk berperan secara natural dan realisitis diperlukan
216 | Fahrurrozi & Andri Wicaksono
BAB XII
PENERJEMAHAN (KONSEP DASAR)
A. Hakikat Penerjemahan
Para ahli di bidang penerjemahan mengemukakan berbagai
definisi penerjemahan. Salah satunya adalah pendapat Catford
(1965: 20) yang mendefinisikan penerjemahan sebagai proses
penggantian suatu teks dengan teks dalam bahasa sasaran. Bell
(1997: 6) juga mengemukakan definisi penerjemahan yang
menyatakan bahwa penerjemahan sebagai “the replacement of
representation of a text in one language by a representation of an
equivalent text in a second language”. Pendapat lain dikemukakan
oleh Nida dan Taber (1982: 12), yaitu: “Translation consists of
reproducing in the receptor language the closest natural
equivalent of the source-language message, first in terms of
meaning and secondly in terms of style.”
Penerjemahan merupakan penggantian representasi teks
bahasa sumber dengan padanannya dalam bahasa sasaran
dengan memperhatikan kesepadanan makna dan gaya.
Pengertian penerjemahan tersebut belum terlalu
memperhatikan unsur budaya, unsur yang selalu terkait dalam
kegiatan penerjemahan. Pengertian di atas dilengkapi dengan
pendapat Toury (dalam Shuttleworth dan Cowie, 1997: 182)
yaitu “A translation is taken to be any-target language utterance
which is presented or regarded as such within the target culture,
on what ever ground.”
Kridalaksana (2008: 181) memberikan definisi
penerjemahan yang lebih lengkap, yaitu pengalihan amanat
antarbudaya dan/atau antarbahasa dalam tataran gramatikal
dan leksikal dengan maksud, efek atau ujud yang sedapat
mungkin tetap dipertahankan. Selain mencakup unsur budaya,
definisi tersebut juga menyebutkan bahwa tidak hanya unsur
220 | Fahrurrozi & Andri Wicaksono
B. Teknik Penerjemahan
Istilah teknik penerjemahan merujuk pada langkah-langkah
yang dilakukan penerjemah dalam menerjemahkan. Perbedaan
utama teknik dengan metode penerjemahan terletak pada
tatarannya. Metode penerjemahan diterapkan pada tataran
makro sedangkan teknik penerjemahan diterapkan pada tataran
mikro. Menurut Molina dan Albir (2002), teknik penerjemahan
merujuk pada “actual steps taken by the translators in each
textual micro-unit”. Berikut ini merupakan teknik-teknik
penerjemahan yang dikemukakan Molina dan Albir:
a. Adaptasi (Adaptation)
Dengan teknik ini, unsur-unsur khas budaya sumber diganti
dengan elemen lain yang lazim dikenal dalam bahasa sasaran.
Teknik ini dapat digunakan apabila unsur atau eleman tersebut
memiliki padanan dalam bahasa sasaran.
BSu: Hush a bye, lullaby, sing you to sleep,
BSa: Lagu nina bobo lembut kan mengantarmu tidur,
b. Penambahan (Amplification)
Teknik ini berupa penambahan detail informasi yang tidak
ada dalam teks bahasa sumbernya. Apa yang ditambahkan
hanyalah informasi yang dapat membantu penyampaian pesan
atau pemahaman pembaca. Penambahan informasi ini tidak
boleh mengubah pesan dalam teks asli.
BSu: up here so am I!
BSa: begitu pula aku saat di atas pundaknya!
Penerjemah menerjemahkan “up here” menjadi “di atas
pundaknya” karena halaman tersebut menampilkan gambar
Sekilas tentang Bahasa Indonesia | 221
c. Peminjaman (Borrowing)
Mengambil istilah asing secara langsung tanpa melakukan
perubahan apapun atau mengambil istilah asing lalu
dinaturalisasi sesuai dengan ejaan bahasa sasaran.
BSu: Drift on the music that plays soft and deep.
BSa: Larut dalam alunan musik yang lembut dan merdu.
Kata “musik” merupakan naturalisasi dari kata bahasa
Inggris “music”. Ejaan dalam bahasa Inggris diubah dan
disesuaikan dengan ejaan bahasa Indonesia.
d. Kalke (Calque)
Penerjemahan harfiah sebuah kata atau frasa yang ada
dalam bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran dalam tataran
leksikal atau struktural.
BSu: A Kiss Goodnight.
BSa: Kecupan Selamat Malam.
Pada contoh di atas, teks bahasa sasaran merupakan
terjemahan harfiah kata-kata dalam bahasa sumber dan memiliki
struktur yang sama dengan struktur teks asli.
e. Kompensasi (Compensation)
Mengganti posisi unsur informasi atau efek stilistik teks
bahasa sumber dalam bahasa sasaran karena informasi atau efek
stilistik tersebut tidak dapat tercermin pada posisi yang sama.
Kompensasi biasanya digunakan untuk dalam penerjemahan
karya sastra.
BSu: Wave to the moon, Silvery-white. Count all the stars,
Twinkling so bright.
BSa: Lambaikan tanganmu ke bulan, Yang putih keperakan.
Hitunglah semua bintang. Yang berkelap-kelip dengan terang.
Efek stilistik yang ada dalam contoh ini ialah rima. Pada teks
bahasa sumber, rima terdapat pada akhir setiap kalimat. Dalam
teks bahasa sasaran, rima muncul pada akhir setiap baris.
222 | Fahrurrozi & Andri Wicaksono
f. Deskripsi (Description)
Mengganti suatu istilah dalam teks bahasa sumber dengan
deskripsinya dalam bahasa sasaran. Teknik ini seringkali
dilakukan ketika suatu istilah dalam bahasa sumber tidak
memiliki istilah padanan dalam bahasa sasaran.
BSu: He’s got a drive through penalty.
BSa: Ia mendapat hukuman melewati jalur pit stop.
i. Generalisasi (Generalization)
Menerjemahkan suatu istilah dengan istilah yang lebih
umum. Teknik ini merupakan kebalikan dari teknik
Partikularisasi. Teknik ini biasanya digunakan apabila suatu
istilah asing merujuk pada suatu kategori yang spesifik, yang
padanannya dalam bahasa sasaran tidak ada yang merujuk pada
kategori yang sama. Oleh karena itu, digunakan istilah yang
merujuk pada kategori yang lebih umum.
BSu: I feel so warm and snug.
BSa: Aku merasa sangat hangat dan nyaman.
BSu: Feeling dozy, Sleepy cosy,
BSa: Rasanya ingin tidur, Mengantuk, nyaman sekali,
Sekilas tentang Bahasa Indonesia | 223
m. Modulasi (Modulation)
Mengganti, fokus, sudut pandang atau kategori dalam
kaitannya dengan bahasa sumber.
224 | Fahrurrozi & Andri Wicaksono
n. Partikularisasi (Particularization)
Menerjemahkan suatu istilah dengan istilah yang lebih
khusus. Seperti teknik generalisasi, teknik ini biasanya dilakukan
karena dalam bahasa sasaran, tidak ada istilah yang merujuk
pada kategori yang sama.
BSu: Cuddling with our favourite toy,
BSa: Sambil mendekap boneka kesayangan kita,
o. Reduksi (Reduction)
Memadatkan informasi yang ada dalam bahasa sumber
dalam bahasa sasaran. Seperti dalam teknik penambahan,
pemadatan informasi yang dilakukan tidak boleh mengubah
pesan dalam teks bahasa sumber.
BSu: If loud thunder roars
BSa: Saat petir bergemuruh kencang.
Dalam bahasa sumber, makna “kencang” terdapat dalam
“loud” dan “roars” tetapi dalam bahasa sasaran, makna
“kencang” sebagai penjelas “petir” dihilangkan.
p. Substitusi (Substitution)
Mengganti unsur-unsur linguistik dengan unsur-unsur
paralinguistik atau sebaliknya, misalnya menerjemahkan ujaran
dengan intonasi tinggi dengan kata-kata yang dicetak dengan
huruf kapital.
q. Transposisi (Transposition)
Mengganti kategori gramatikal, misalnya kelas kata, kata
menjadi frasa, dan sebagainya. Teknik ini biasanya dilakukan
Sekilas tentang Bahasa Indonesia | 225
r. Variasi (Variation)
Mengganti unsur-unsur linguistik atau paralinguistik,
seperti intonasi, yang berdampak pada variasi linguistik,
misalnya memunculkan atau mengganti penanda dialek karakter
tertentu ketika menerjemahkan untuk pementasan teater atau
mengubah nada bicara ketika mengadaptasi novel untuk anak-
anak.
Newmark (1988: 4) mengemukakan dinamika terjemahan
yang menempatkan TSu dan TSa pada dua kutub yang
berlawanan. Kedua kutub ini tentunya memiliki daya tarik
menarik yang membuat penerjemah pada posisi yang penuh
dengan masalah. Masalah itu timbul karena aspek- aspek yang
mempengaruhi TSu itu sendiri oleh empat faktor, yakni produksi
teks, norma dalam BSu, kebudayaan BSu, dan format TSu. Begitu
juga halnya dengan teks sasaran yang tidak lepas dari ke empat
faktor tersebut. Mengingat komunikasi penerjemahan
berlangsung sebagai hasil dari mediasi pihak ketiga dalam hal ini
penerjemah, faktor penerjemah juga mempengaruhi produk
yang dihasilkan. Penerjemah sebagai agen komunikator memiliki
cara pandang tersendiri terhadap teks yang diahadapinya yang
diwujudkan dengan interpretasinya tentang pesan-pesan teks
sumber melalui pengalaman dan simpanan informasi yang ada di
memorinya. Selain itu, faktor sosiokultural yang ada saat proses
penerjemahan berlangsung juga mempengaruhi sebuah
terjemahan, yang akan akan jatuh pada titik di antara kedua
kutub tersebut.
C. Strategi Penerjemahan
Lorcher (1992: 426-439) mendefinisikan strategi
penerjemahan sebagai berikut.. procedures which the subjects
employ in order to solve problems. Ada dua kata kunci yang perlu
diperhatikan dari defenisi ini. Procedures dan to solve problems.
226 | Fahrurrozi & Andri Wicaksono
D. Ideologi Penerjemahan
Ideologi adalah ide dan keyakinan yang digunakan untuk
melegitimasi kepentingan kelompok berkuasa melalui distorsi
dan disimulasi. Pandangan seperti ini merupakan bagian dari
kajian postcolonialism. Sebuah pendekatan kultural terhadap
kajian relasi kekuasaan antar kelompok, budaya dan orang-
orang di mana bahasa, kesusasatraan dan penerjemahan
mengambil peran di dalamnya (Hatim dan Munday, 2004: 106).
Meskipun ideologi sering dipahami secara sempit, sebagai
bagian dari relasi kekuasaan yang diperebutkan, ideologi bisa
juga dipandang dalam pengertian yang lebih positif sebagai alat
untuk melegitimasi kepentingan sebuah kelompok sosial dan
bukannya sebagai alat untuk merebut kekuasaan dari pihak
lawan. Dalam bidang kajian bahasa, budaya dan penerjemahan,
pengertian ideologi bisa diperluas di luar konteks politik dan
didifinisikan secara bebas politik sebagai seperangkat ide yang
mengatur kehidupan manusia yang membantu kita memahami
hubungan kita dengan lingkungan kita (Karoubi, 2008: 5).
Penerjemahan adalah kegiatan mengalihkan secara tertulis
pesan dari teks suatu bahasa ke dalam teks bahasa lain (Hoed,
2006: 51). Hal ini senada dengan pendapat Moentaha (2006: 13-
25) yang menyatakan bahwa penerjemahan adalah proses
penggantian teks dalam bahasa sumber (BSu) dengan teks dalam
bahasa sasaran (BSa) tanpa mengubah tingkat isi teks.
Pengertian tingkat isi ini tidak hanya yang menyangkut arti dasar
(material meaning), ide atau konsepsi yang terkandung dalam
tingkat isi, melainkan semua informasi yang ada dalam teks BSa,
yaitu semua norma-norma bahasa, seperti makna leksikal,
makna gramatikal, nuansa stilistis/nuansa ekspresif. Dengan
kata lain, penerjemahan merupakan pengkajian leksikon,
struktur gramatika, situasi komunikasi, dan kontak budaya
antara dua bahasa yang dilakukan lewat analisis untuk
menentukan makna. Sedangkan menurut Hatim dan Mason
(1997: 106) ideologi adalah asumsi, keyakinan dan system nilai
yang dimiliki secara kolektif oleh sebuah masyarakat atau
kelompok sosial tertentu. Masih menurut Karouby (2008: 5),
sebagian besar orang dalam komunitas penerjemahan masih
Sekilas tentang Bahasa Indonesia | 229
2. Foreignisasi
Foreignisasi pada konteks penerjemahan adalah upaya
mempertahankan apa yang asing dan tidak lazim pada konteks
bacaan pembaca target tapi merupaka hal yang lazim, unik, dan
khas dari budaya bahasa sumber (Mazi-Leskovar, 2003: 5).
Menurut penganut ini, terjemahan yang bagus adalah
terjemahan yang tetap mempertahankan gaya, dan cita rasa
kultural bahasa sumber. Mempertahankan apa yang terdapat
pada teks bahasa sumber adalah symbol ‘kebenaran’ menurut
penganut ini.
Berikut sebuah kutipan percakapan dalan novel The Da Vinci
Code karya Dan Brown yang diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia oleh Isma B. Koesalamwardi.
BSU
“I’m sorry,” Langdon said, “but I’m very tired and”
“Mais, monsieur,” the concierge pressed, lowering his voice to
an urgent whisper. “Your guest is an important man.”
(Dan Brown, The Da Vinci Code, hal 8)
BSA
“Maaf,” ujar Langdon, “Tetapi saya sangat letih dan _”
“Mais, monsieur,” penerima tamu itu memaksa, seraya
merendahkan suaranya menjadi bisikan yang mendesak.
“Tetapi tamu anda orang penting.”
(Dan Brown, The Da Vinci Code)
Penerjemah berusaha mempertahankan atmosfir dan cita
rasa kultural Perancis dalam terjemahan di atas. Penyebutan
panggilan khas perancis membuat pembaca berimajinasi bahwa
percakapan di atas betul-betul terjadi di sebuah kota di Perancis.
Sekilas tentang Bahasa Indonesia | 235
E. Kualitas Terjemahan
Kualitas terjemahan telah menjadi perhatian banyak ahli
penerjemahan. Mereka juga telah mengajukan berbagai macam
metode dan instrumen untuk mengukur kualitas terjemahan.
Akan tetapi, metode-metode yang diajukan tersebut sebagian
besar hanya bersifat parsial, yaitu hanya dapat digunakan untuk
mengukur sebagian aspek yang menentukan kualitas
terjemahan.
Kualitas terjemahan ditentukan oleh tiga aspek yaitu
keakuratan, keberterimaan dan keterbacaan. Ketiganya
memegang peranan penting dan idealnya, seorang penerjemah
harus bisa menghasilkan terjemahan dengan tingkat keakuratan,
keberterimaan dan keterbacaan yang tinggi. Akan tetapi,
seringkali seorang penerjemah menghadapi situasi ketika ia
harus lebih mengutamakan salah satu dari ketiga aspek tersebut
dan mengorbankan aspek yang lain.
1. Keakuratan
Keakuratan merujuk pada kesepadanan antara informasi
dalam bahasa sumber dengan informasi dalam bahasa sasaran
(Shuttleworth dan Cowie, 1997: 3). Penerjemahan merupakan
kegiatan pengalihan pesan atau makna dari satu bahasa ke
dalam bahasa lainnya. Oleh karena itu, kesepadanan pesan atau
makna merupakan hal yang utama. Sepadan bukan berarti satu
kata dalam bahasa sumber harus selalu diterjemahkan menjadi
satu kata dalam bahasa sasaran atau yang sering disebut sebagai
korespondensi satu-satu. Bentuk kebahasaan dapat berbeda
tetapi makna harus dipertahankan sedekat-dekatnya.
Kesepadanan yang dimaksud bukanlah kesepadanan dalam
tataran kata, frasa atau kalimat semata tetapi juga kesepadanan
dalam tataran teks. Kesepadanan ini tidak hanya dalam hal pesan
Sekilas tentang Bahasa Indonesia | 237
2. Keberterimaan
Istilah ini diperkenalkan oleh Toury (dalam Shuttleworth
and Cowie, 1997: 2) untuk merujuk pada kesesuaian terjemahan
dengan norma-norma linguistik dan tekstual bahasa sasaran.
Toury (dalam Munday, 2001: 114) juga menyatakan bahwa
keberterimaan juga terkait dengan budaya bahasa sasaran.
Dalam proses penerjemahan yang dilakukan oleh seorang
penerjemah,. pesan atau makna yang telah dialihkan
diungkapkan dalam bahasa sasaran dengan memperhatikan
kaidah-kaidah dan norma-norma bahasa dan budaya yang
berlaku. Karena terdapat perbedaan tata bahasa antara bahasa
sumber dan bahasa sasaran maka seringkali struktur frasa,
klausa dan kalimat teks terjemahan berbeda dengan struktur
yang ada dalam teks sumbernya. Selain terkait dengan tata
bahasa dalam bahasa sasaran, keberterimaan juga terkait dengan
budaya dalam bahasa sasaran.
Penerjemah harus dapat terjemahan yang sesuai dengan
menghasilkan norma budaya dalam bahasa sasaran. Salah satu
contohnya ialah ketika seorang penerjemah menerjemahkan teks
dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia. Dalam budaya
Barat, menyapa Ayah dengan menyebut namanya merupakan hal
yang wajar tetapi dalam budaya Indonesia hal tersebut
dipandang tidak sopan. Oleh karena itu, penerjemah harus
mengganti sapaan dalam bahasa Indonesia agar terjemahannya
tidak bertentangan dengan norma budaya Indonesia.
Keberterimaan terjemahan juga seringkali disebut
kealamiahan terjemahan. Kealamiahan terkait dengan
kesesuaian terjemahan dengan kaidah-kaidah kebahasaan dan
budaya sasaran. Terjemahan yang tingkat keberterimaannya
tinggi akan terasa alamiah (bahkan tidak terasa seperti
terjemahan sama sekali), sedangkan terjemahan yang masih
238 | Fahrurrozi & Andri Wicaksono
3. Keterbacaan
Keterbacaan merupakan indikator kualitas terjemahan yang
ketiga. Terjemahan yang baik ialah terjemahan dengan tingkat
keterbacaan tinggi, yaitu yang mudah dipahami. Ini karena
pembaca karya terjemahan ialah mereka yang tidak memahami
bahasa sumber dan penerjemahan merupakan proses
pengalihan pesan dengan tujuan dapat dipahami pembaca
(Houbert, 1998). Melalui karya terjemahan, pesan dan makna
yang ada dalam teks bahasa sumber dapat tersampaikan kepada
pembaca. Richards et. al. (2002: 442) menyatakan bahwa tingkat
keterbacaan suatu teks terjemahan dipengaruhi oleh panjang
rata-rata kalimat, jumlah kata-kata baru dan kompleksitas
gramatika bahasa yang digunakan. Selain itu, mudah atau
sulitnya suatu teks untuk dipahami pembaca juga dipengaruhi
oleh kompleksitas kalimat dalam teks tersebut. Terkait dengan
tingkat pemahaman pembaca terhadap suatu teks terjemahan,
keterampilan membaca yang dimiliki juga berpengaruh terhadap
mudah atau sulitnya pembaca memahami suatu terjemahan.
Di antara ketiga aspek tersebut, kesepadanan pesan dalam
bahasa sumber dan dalam bahasa sasaran merupakan aspek
yang paling utama Keakuratan merupakan unsur yang paling
utama karena penerjemahan merupakan proses pengalihan
pesan atau makna. Oleh karena itu, pesan atau makna dalam teks
bahasa sumber diusahakan dapat dipertahankan dan sepadan
dengan pesan atau makna dalam teks terjemahan.
Meskipun keakuratan merupakan unsur yang utama, bukan
berarti keberterimaan tidak penting. Terjemahan yang
dihasilkan oleh seorang penerjemah diusahakan sedapat-
dapatnya sesuai dengan kaidah-kaidah dan norma-norma yang
berlaku dalam budaya dan bahasa sasaran. Hal ini dilakukan agar
terjemahan yang dihasilkan terdengar alamiah, tidak kaku,
janggal bahkan aneh. Keterbacaan juga merupakan unsur yang
penting karena keterbacaan terkait dengan pemahaman
pembaca.
Sekilas tentang Bahasa Indonesia | 239
BAB XIII
PENERJEMAHAN
DAN PENGAJARAN BAHASA
3. Grammar-Translation Method
Perlunya pengajaran Grammar dalam pengajaran bahasa
mulai berkembang sejak abad 16. Metode terjemahan-gramatika
atau dikenal dengan Grammar-Translation Method (GTM) telah
digunakan sebagai metode pengajaran bahasa-bahasa modern
pada Sekolah Menengah di Prussia pada akhir abad 18 (awal
abad 19) dan digunakan dalam pengajaran bahasa Latin dan
Yunani di sekolah bahasa (grammar school). Para siswa belajar
gramatika suatu bahasa, membaca berbagai teks seperti teks
keagamaan atau sastra dengan bantuan kamus dan kaidah
gramatika yang telah diperoleh. Dengan demikian, pengetahuan
gramatika merupakan media untuk memahami teks.
Buku ajar dengan menggunakan metode grammar-
translation dalam bahasa Inggris yang pertama diterbitkan
adalah karya Johann Christian Fick (1763-1821). Kemudian
terbit buku ajar dengan menggunakan metode grammar-
translation dalam bahasa Perancis yang ditulis oleh Johan
Valentin Meidinger (1756-1822). Metode yang digunakan oleh
Fick adalah menerjemahkan kalimat ke dan dari bahasa asing
untuk memberi contoh penjelasan gramatika tertentu. Dengan
kata lain, contoh-contoh kalimat bisa berjenjang sesuai dengan
tingkat kesulitan masing-masing sehingga gramatika dapat
diajarkan secara sistematik. Namun demikian, GTM
mengisyaratkan bahwa penerjemahan kata demi kata dan frase
mungkin dilakukan antara bahasa pertama dan kedua. Metode
GTM diakui secara resmi di Inggris pada tahun 1858 ketika
sistem ujian nasional diberlakukan di bawah pengawasan
244 | Fahrurrozi & Andri Wicaksono
BAB XIV
PENILAIAN DALAM PENERJEMAHAN
2. Kehampaan-Padanan (Untransla-tability)
Tidak semua istilah atau kata dalam bahasa sumber
memiliki padanan dalam bahasa sasaran. Baker (1992: 5-6)
menyebutkan bahwa padanan tertentu dipakai oleh penerjemah
hanya demi kemudahan saja dan bahwa walaupun padanan bisa
selalu ditentukan pada tingkat tertentu, padanan tersebut sangat
dipengaruhi berbagai faktor linguistik dan budaya dan oleh
karenanya selalu bersifat relatif.
Pencarian dan pemilihan kata atau istilah yang tepat dan
memiliki konsep yang sama dalam teks sasaran dengan kata atau
istilah yang terdapat dalam teks sumber adalah suatu keharusan
Sekilas tentang Bahasa Indonesia | 249
2. Tujuan Penerjemahan
Tujuannya adalah bahwa instrumen penilaian harus
memberikan “akibat buruk” yang diperkirakan oleh teori
penilaian, yaitu membimbing seseorang terhadap jenis
pemahaman dan kompetensi yang dianggap perlu untuk menjadi
penerjemah yang bijaksana. “Bijak” dalam pengertian ini
mencakup kemampuan untuk memahami kompleksitas situasi,
kemampuan untuk menilai mana keterampilan atau strategi
yang akan menyelesaikan masalah terbaik, dan keterampilan
untuk menempatkan pemahaman dalam praktik untuk
memecahkan masalah tersebut.
Terjemahan merupakan alat komunikasi. Sebagai alat
komunikasi, terjemahan mempunyai tujuan komunikatif yang
ditetapkan oleh penulis teks bahasa sumber. Penerjemah sebagai
mediator dan klien atau pembaca teks sebagai bahasa sasaran.
Penetapan tujuan itu sangat dipengaruhi oleh konteks sosial dan
budaya serta ideologi penulis teks bahasa sumber, penerjemah,
dan klien atau pembaca teks bahasa sasaran.
Dalam banyak kasus, budaya penulis teks bahasa sumber
sangat berbeda dari budaya pembaca teks bahasa sasaran.
Dengan demikian, ideologi penerjemah dan klien acapkali
berbeda satu sama lain. Karena terjemahan ditujukan kepada
pembaca teks bahasa sasaran, perhatian penerjemah harus
diarahkan pada pecarian padanan yang sesuai dengan budaya
pembaca teks bahasa sasaran.
2. Konstruksi Penilaian
Idealnya, seorang penilai terjemahan benar-benar
menguasai teori-teori linguistik yang berkaitan dengan
penerjemahan serta memiliki pengetahuan yang memadai
terutama mengenai istilah yang ada dan berlaku baik di dalam
bahasa sumber maupun bahasa sasaran. Dan akhirnya, yang
tidak kalah pentingnya adalah bagaimana melakukan penilaian
terjemahan yang senantiasa memperhatikan prinsip kesahihan
(validitas) dan keandalan (reliabilitas).
Terlepas dari persyaratan kesejajaran konstruktif, penilaian
hanya bisa berlangsung dengan latar belakang suatu konstruksi
penilaian. Konstruksi ini merujuk pada pemahaman penilai dari
apa yang akan diuji, yaitu kompetensi atau keahlian yang dalam
hal ini seorang penerjemah harus mampu untuk melaksanakan
yang selanjutnya akan dianugerahi gelar atau sertifikat
profesional. Kompetensi tersebut harus dipecah menjadi sub
divisi yang lebih kecil dan akan dijelaskan secara rinci. Dengan
kata lain, penilai harus mendeskripsikan apa termasuk kriteria
penerjemah yang baik, terjemahan yang baik, dan atau proses
terjemahan yang baik. Persyaratan untuk penilaian terjemahan
menjadi masalah ketika orang menyadari bahwa semua kualitas
konseptual, baik penerjemah, terjemahan maupun proses
penerjemahan.
BAB XV
PROGRAM BIPA
(Bahasa Indonesia Penutur Asing)
B. Hakikat BIPA
Pengajaran bahasa asing, termasuk BIPA, sebagai kegiatan
profesional telah melahirkan berbagai kerangka teoretis yang
melibatkan berbagai disiplin. Antara tahun 1940 – 1960 tampak
sekali adanya pandangan yang kokoh bahwa penerapan
linguistik dan psikologi akan menjadi landasan terbaik guna
memecahkan masalah pengajaran bahasa. Selanjutnya, lahirlah
berbagai model yang melihat faktor-faktor berpengaruh dalam
menelorkan pedagogi bahasa, seperti model dari Campbell,
Spolsky, Ingram, dan Mackey. Pembelajaran bahasa sering hanya
memusatkan perhatian pada tingkah linguistik saja dengan
mengabaikan tingkah non-linguistiknya. Dalam konteks ini
Bloomfield (dalam Hamied, 2001) menyatakan pandangannya
berikut ini.
“Whoever is accustomed to distinguish between linguistic and
non-linguistic behavior, will agree with the criticism that our
schools deal too much with the former, drilling the child in
speech response phases of arithmetic, geography, or history,
and neglecting to train him in behavior toward his actual
environment.”
Sistem pengajaran formal di sekolah dalam konteks
pembelajaran bahasa hanya merupakan salah satu saja dari
sekian banyak variabel terkait. Variabel lain yang patut dilihat
Sekilas tentang Bahasa Indonesia | 263
BAB XVI
KURIKULUM PEMBELAJARAN BIPA
BERBASIS BUDAYA
A. Pendahuluan
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa sampai dengan saat
ini ternyata belum ada kurikulum BIPA yang dijadikan
kurikulum standar. Selama ini penyelenggara pendidikan
memiliki kebebasan untuk menyusun kurikulumnya sendiri.
Dalam penyusunannya, standar kurikulum yang digunakan
tersebut disandarkan pada tujuan agar dapat menampung
berbagai perkembangan penggunaan bahasa. Misalnya,
pendekatan terhadap orang yang belajar bahasa, mereka tidak
lagi dipandang sebagai objek, tetapi sebagai subjek (pelaku)
dalam proses belajar bahasa. Segala kegiatan dalam
pembelajaran bahasa, harus berpusat pada mereka yang belajar
bahasa. Sebagai bahan ajar, bahasa tidak dipelajari sebagai
bagian-bagian, tetapi dipelajari sebagai satu keutuhan, sesuai
dengan bidang pemakaiannya (Iskandarwassid dan Dadang S.,
2008: 267).
Berdasarkan temuan survei yang dilakuan oleh Alwasilah
(2000: 127) para pengajar BIPA di Australia melaporkan
sejumlah kesulitan yang dialaminya, di antaranya adalah (1)
lemahnya keterampilan menyimak dan kesulitan menguasai
afiksasi bahasa Indonesia, (2) kendala akademis yang berkaitan
dengan metodologi pengajaran BIPA.
Pengembangan kurikulum ke-BIPA-an dapat terkait standar
kompetensi, silabus, rencana pembelajaran, kompetensi
pedagogis, kompetensi profesional (akademis) atau yang terkait
dengan pemahaman lintas budaya (Cross-Cultural
Understanding). Secara lebih rinci, kegiatan pengembangan
kurikulum dapat berupa analisis kebutuhan pembelajaran BIPA,
268 | Fahrurrozi & Andri Wicaksono
dari negara berbeda, dan masih banyak lagi yang bisa digali dari
pengembangan kurikulum BIPA.
Kurikulum, lebih khusus lagi kurikulum BIPA, merupakan
komponen yang sangat penting di samping tenaga pendidik dan
fasilitas. Dengan kurikulum, jelaslah gambaran tentang tujuan
yang akan dicapai, bahan pembelajaran yang akan diolah,
program pembelajaran yang akan dilaksanakan, serta kegiatan
pembelajaran yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan.
Kurikulum memberikan pedoman kepada guru untuk menyusun
dan melaksanakan program pembelajaran. Gambaran tentang
tinggi mutu keluaran juga dapat diperkirakan dari kurikulum
yang dilaksanakan. Lebih dari itu, kurikulum merupakan
keseluruhan kegiatan dan pengalaman yang diperoleh di dalam
dan di luar sekolah, pengalaman yang direncanakan dan yang
tidak direncanakan serta pengalaman yang secara sungguh-
sungguh diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu.
Pada dasarnya pengajaran bahasa asing, dalam hal ini
bahasa Indonesia, diharapkan agar pelajar dapat menggunakan
bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Karena bahasa
Indonesia, berlaku juga bagi bahasa lain, tidak dapat dipisahkan
dengan perkembangan sosial budaya masyarakat Indonesia,
penyajian aspek sosial budaya menjadi penting (Ruskhan, 2007:
1-9).
Bagaimanapun juga, pengajaran BIPA dapat juga berfungsi
sebagai pemberian informasi budaya dan masyarakat Indonesia
kepada pelajar asing. Keberhasilan pengajaran BIPA tidak akan
optimal apabila pengajaran itu tidak melibatkan aspek-aspek
sosial budaya yang berlaku dalam masyarakat bahasa tersebut.
Unsur-unsur budaya itu sangat banyak dan beragam di
Indonesia. Keberagaman budaya itu terkristalisasi dalam
beraneka macam etnis dengan budayanya masing-masing.
Penyusun bahan ajar BIPA dapat memilih unsur-unsur budaya
yang diperlukan disajikan sebagai materi pembelajaran. Jika
kembali kepada unsur budaya yang dikemukakan oleh
Koentjaraningrat tampaknya sistem peralatan dan perlengkapan
hidup, sistem mata pencarian hidup, sistem kemasyarakatan,
kesenian, sistem pengetahuan, dan sistem religi menjadi pilihan.
270 | Fahrurrozi & Andri Wicaksono
2. Tata Letak
Materi yang disadur dari sumber yang telah diterbitkan
harus dirancang ulang sesuai kebutuhan. Materi yang diambil
dari buku ajar tertentu biasanya dibuat untuk kalangan siswa
dalam situasi tertentu. Untuk menampilkan materi secara
profesional dan untuk memudahkan revisi dan pengembangan
lebih lanjut, materi yang dikembangkan di IALF secara nyata
memuat data tentang hal-hal berikut.
a. Perancang (Lembaga)
Perancang bisa lembaga atau perseorangan yang
bertanggung jawab terhadap penyusunan materi. Dengan
mengetahui perancang materi tersebut, kita akan bisa
menghubunginya jika kita hendak memperoleh materi
tersebut.
b. Pemakai (Klien)
Pemakai adalah siswa atau program yang menggunakan
materi. Penampilan nama lembaga/program pemakai
memberikan kesan bahwa materi tersebut khusus
dirancang untuk mereka.
c. Tingkat
Dengan mencantumkan Tingkat/Kelas pada materi, guru
akan memperoleh informasi tentang tingkat kesulitan
materi. Jika kelak materi itu hendak digunakan untuk
tingkat yang lebih tinggi atau lebih rendah, guru bisa
melakukan penyesuaian sebagai mana mestinya.
Sekilas tentang Bahasa Indonesia | 273
d. Sumber
Pencantuman sumber akan memudahkan guru lain untuk
melacak kebenaran informasi yang ada di lembar materi
dan mengetahui lebih jauh tentang topik yang ada pada
lembaran tersebut.
3. Komponen
Komponen bahan ajar dalam kurikulum BIPA setidaknya
terdiri seperti penjabaran berikut.
a. Input bahasa
Komponen bahasa yang tertera di dalam lembar materi
dapat berfungsi untuk memperkenalkan pelajaran baru
atau melakukan konsolidasi terhadap pelajaran yang
telah dipelajari. Materi yang bagus akan membantu siswa
untuk mengetahui apa yang sudah dan akan mereka
pelajari dari materi yang diberikan.
b. Tujuan
Materi yang bagus memberikan kemudahan kepada
siswa untuk melakukan identifikasi tujuan pengajaran.
Materi yang efektif mampu menunjukkan kepada siswa
apa yang akan mereka pelajari dari materi yang
diberikan: belajar bahasa atau keterampilan baru.
c. Peran siswa dan guru
Materi harus mampu menentukan peran yang akan
diambil oleh siswa dan guru. Dalam pengajaran BIPA
yang siswanya kebanyakan orang dewasa, guru harus
mengakui bahwa tiap siswa telah mengembangkan
keterampilan bahasa dan keterampilan belajar yang
dapat diaplikasikan dalam proses belajar-mengajar BIPA.
Guru perlu menumbuhkembangkan sikap bahwa
keberhasilan belajar pada dasarnya tergantung pada
siswa itu sendiri (autonomous or independent learning).
d. Kesesuaian
Materi pelajaran mencerminkan paham yang dianut guru
tentang konsep bahasa, belajar-mengajar, dan bahasa
asing. Jika guru memberikan materi yang sarat dengan
latihan tata bahasa ini dapat menjadi indikasi bahwa
274 | Fahrurrozi & Andri Wicaksono
b. Tujuan Khusus
Pelajar BIPA diharapkan mampu:
1) mengucapkan kata dan kalimat dengan ucapan yang
tepat dan intonasi yang sesuai dengan maksudnya
2) menggunakan ejaan bahasa Indonesia baku dengan tepat
3) menggunakan berbagai bentuk imbuhan dengan
maknanya
4) menggunakan kata dengan maknanya
5) mendapatkan dan menggunakan sinonim, antonim, dan
homonim
6) memahami bahwa pesan yang sama dapat diungkapkan
dalam berbagai bentuk dan dapat menggunakannya
7) memahami bahwa bentuk yang sama dapat
mengungkapkan berbagai makna
8) mengenal dan menikmati puisi, prosa, dan drama
Indonesia
9) menerima pesan dan ungkapan perasaan orang lain dan
menanggapinya secara lisan dan tertulis
10) mengungkapkan perasaan, pendapat, angan-angan dan
pengalaman secara lisan dan tertulis sesuai medianya
11) berinteraksi dan menjalin hubungan dengan orang lain
secara lisan menurut keadaan
12) menikmati keindahan dan menangkap pesan yang
disampaikan dalam puisi, prosa, drama, dan syair lagu.
3. Sistem Evaluasi
Evaluasi merupakan masalah yang kompleks dalam
pengajaran bahasa. Evaluasi dapat dilakukan dalam berbagai
tingkat, dari tingkat nasional atau bahkan internasional. Evaluasi
tidak hanya dapat dilakukan secara sumatif, yaitu pada akhir
suatu program. Evaluasi perlu dilakukan dalam proses
pembelajaran untuk mengetahui perubahan (kemajuan) pelajar
dan keefektifan proses pembelajaran itu sendiri.
E. Penutup
Secara garis besar, tercapainya maksud dan tujuan
pengajaran BIPA dipengaruhi oleh tiga komponen, yaitu
pembelajar, materi pembelajaran, dan proses pembelajaran.
Pengajaran dan pembelajaran BIPA sangat tergantung pada
keberhasilan pengajar merancang materi pengajaran.
Penyusunan bahan ajar BIPA dapat memilih unsur-unsur
budaya yang diperlukan disajikan sebagai materi pembelajaran.
Ada beberapa aspek budaya yang dapat dimanfaatkan dalam
penyajian materi ajar BIPA, yakni (1) sistem peralatan dan
perlengkapan hidup (alat produktif, alat distribusi dan
transportasi, wadah dan tempat untuk menaruh, makanan dan
minuman, pakaian dan perhiasan, tempat berlindung dan
perumahan, serta senjata); (2) sistem mata pencarian hidup
(berburu dan meramu, pereikanan, bercocok tanam, peternakan,
dan perdagangan); (3) sistem kemasyarakatan (sistem
kekerabatan, sistem kesatuan hidup setempat, asosiasi dan
perkumpulan, sistem kenegaraan); (4) bahasa (bahasa lisan dan
bahasa tulis), (5) kesenian (seni patung, seni relief, seni lukis dan
gambar, seni rias, seni vokal, seni instrumental, seni sastra, dan
seni drama); (6) sistem pengetahuan (pengetahuan alam, flora,
fauna, zat dan bahan mentah, tubuh manusia, kelakuaan sesama
manusia, ruang, waktu, dan bialangan, dan (7) sistem religi
(sistem kepercayaan, kesustraan suci, sistem upacara keagamaan
komunitas keagamaan, ilmu gaib, dan sistem nilai dan
pandangan hidup).
278 | Fahrurrozi & Andri Wicaksono
DAFTAR PUSTAKA
T E N T A N G P E N U L I S (1)
T E N T A N G P E N U L I S (2)