Anda di halaman 1dari 232

POLITIK EKONOMI ISLAM DALAM

NARASI PEMBANGUNAN NASIONAL


Dr. Muhammad Ramadhan, M.A

P OLITIK EKONOMI
EKONOMI
ISLAM D ALAM N
DALAM ARA
NARASI
ARASI
PEMB ANGUN
PEMBANGUN AN
ANGUNAN
NASION AL
SIONAL

Sambutan Rektor UIN Sumatera Utara Medan


Prof. Dr. K.H. Saidurrahman, M.Ag
POLITIK EKONOMI ISLAM DALAM NARASI PEMBANGUNAN NASIONAL
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A
@Dr. Muhammad Ramadhan, M.A, LKiS, 2018

x + 222 halaman: 15,5 x 23 cm


1. Politik 2. Ekonomi Islam 3. Pembanguna nasional

ISBN: 978-602-6610-66-9

Sambutan Rektor UIN Sumatera Utara: Prof. Dr. K.H. Saidurrahman, M. Ag


Editor: Faisal Riza
Rancang sampul: Ruhtata
Setting/Layout: Tim Redaksi

Penerbit & Distribusi:


LKiS
Salakan Baru No. I Sewon Bantul
Jl. Parangtritis Km. 4,4 Yogyakarta
Telp.: (0274) 387194
Faks.: (0274) 379430
http://www.lkis.co.id
e-mail: lkis@lkis.co.id

Anggota IKAPI

Cetakan I: 2018

Percetakan:
LKiS
Salakan Baru No. I Sewon Bantul
Jl. Parangtritis Km. 4,4 Yogyakarta
Telp.: (0274) 417762
e-mail: lkis.printing@yahoo.com
SAMBUTAN
Prof. Dr. K.H. Saidurrahman, M.Ag
Rektor UIN Sumatera Utara Medan

Assalamu’alaikum Wr.Wb

P
uji syukur kita ucapkan kepada Allah Swt., karena atas karunia
kesehatan, keluangan waktu kita dapat menjalankan tugas
sehari-hari. Selawat dan dalam senantiasa kita ucapkan untuk
Nabi Besar Muhammad Saw. Semoga kita sebagai pengikutnya
mendapatkan syafaat di akhirat. Amin amin allahuma amin.
Tugas akademisi adalah misi pencerahan bagi publik luas,
masyarakat baik sebagai pengambil kebijakan maupun masyarakat
yang bergerak disektor non pemerintahan, ekonomi, perdagangan dan
aktivitas lainnya. Misi pencerahan melalui mimbar akademik berupa
publikasi karya berupa buku adalah salah satu bentuknya. Saya
mengapresiasi civitas akademik yang tekun melahirkan karya, seperti
yang dilakukan saudara Dr. Ramadhan, ditengah kesibukan sebagai
wakil rektor II, beliau masih menyempatkan waktu untuk menuangkan
ide gagasan dalam sebuah karya yang luar biasa dengan judul Politik
Ekonomi Islam dalam Narasi Pembangunan Nasional.
Buku ini sangat penting dibaca oleh kalangan akademisi yang
bergelut dalam bidang ekonomi Islam, saya merekomendasikan dapat
vi Politik Ekonomi Islam...

digunakan oleh para mahasiswa di UIN khususnya prodi-prodi yang


berkaitan dengan aspek ekonomi. Akhirnya saya berharap agar
kontribusi penulis bagi dunia akademik membawa pencerahan bagi
masyarakat. Selamat membaca!
PENGANTAR PENULIS

Assalamualaikum Wr.Wb

S
egala puji bagi Allah Swt yang telah memberikan nikmat
kesehatan dan keluangan waktu untuk berkarya sebagai
akademisi dengan hadirnya buku ini sebagai bagian dari
sumbangan pemikiran penulis terhadap dunia akademik di Indonesia.
Saya menyadari di tengah-tengah kesibukan yang penulis jalani
sebagai akademisi di kampus UIN Sumatera Utara Medan, buku ini
adalah bagian dari proses panjang pemikiran, refleksi kritis atas
berbagai persoalan politik ekonomi Islam dengan kaitannya terhadap
perkembangan narasi pembangunan nasional. Pada titik ini agama,
khususnya Islam menjadi variabel penting dalam diskursus
pembangunan nasional.
Saya menyadari bahwa penelitian ini didasarkan pada
kegelisahan dan sensitivitas akademik penulis dalam pergulatannya
dengan realitas di lapangan tentu masih memiliki banyak cela sebagai
kekurangan maupun kelemahan. Namun, sebagai pertanjungjawaban
akademik, dan agar publik dapat memberikan respon masukan dan
kritikan, serta barangkali dapat memberikan sumbangsih pemikiran
kepada kalayak, maka buku yang ada ditangan pembaca ini saya
hadirkan.
viii Politik Ekonomi Islam...

Buku dengan judul Politik Ekonomi Islam dalam Narasi


Pembangunan Nasional adalah ikhtiar penulis dalam berkontribusi
bagi masyarakat. Kehidupan masyarakat yang kompleks dengan segala
persoalan memang menghendaki didekati dari berbagai
multiperspektif. Salah satunya adalah perspektif politik. Bidang yang
saya geluti sebagai akademisi.
Kepada semua pihak, institusi kampus, UIN Sumatera Utara
tempat saya bernaung, kepada rekan-rekan akademisi dan praktisi baik
di kampus maupun di lapangan, saya menghaturkan terima kasih yang
sebesar-besarnya. Berkat dorongan dan dukungan dari semuanya karya
ini akhirnya dapat terselesaikan. Kepada keluarga istri dan anak-anak,
berkat doa dan dukungan lahir batin, karya ini saya persembahkan.
Akhirnya, semoga buku ini dapat membawa manfaat bagi
kalangan akademisi maupun masyarakat luas. Kepada Allah saya
mohon ampun atas kesalahan yang terdapat dalam karya ini.
DAFTAR ISI

Sambutan Rektor UIN Sumatera Utara Medan:


Prof. Dr. K.H. Saidurrahman, M.Ag ___v
Pengantar Penulis ___vii
Daftar Isi ___ix

BAB I PENDAHULUAN __1


1.1. Latar Belakang Kajian __1
1.2. Sistematika Kajian __7

BAB II KERANGKA KONSEPTUAL __9


2.1. Konsep Revolusi Mental __9
2.1.1. Revolusi Mental sebagai Gerakan Perubahan Sosial Ekonomi
__15
2.1.2. Nilai-Nilai Esensial Revolusi Mental__18
2.2. Nilai-nilai Agama dalam Pembangunan Ekonomi __21
2.2.1. Nilai Agama, Etos Kerja, dan Produkvitas Manusia __27
2.2.2. Transformasi Nilai Agama dalam Perilaku Ekonomi __32
2.3. Tokoh Agama sebagai Agen Perubahan __35
2.3.1. Model Interpretasi Nilai Agama oleh Tokoh Agama __41
2.3.2. Tokoh Agama dan Gerakan Perubahan Sosial Ekonomi __45
2.4. Perkembangan dan Upaya Reorientasi Pembangunan Ekonomi
__49
x Politik Ekonomi Islam...

2.4.1. Perkembangan Ekonomi Indonesia __54


2.4.2. Orientasi Pembangunan Ekonomi __60

BAB III ANALISIS SITUASI SOSIAL, KEAGAMAAN DAN


MENTALITAS BANGSA __65
3.1. Gambaran Umum Kehidupan Keagamaan __65
3.1.1. Memahami Kemisikinan __71
3.1.2. Sinergitas Agama sebagai Upaya Penanggulangan Kemiskinan
__82
3.1.3. Peran Tokoh Agama dalam Pembangunan Ekonomi __85
3.1.4. Peran Lembaga Sosial Keagamaan dalam Pemberdayaan
Ekonomi Masyarakat __89
3.2. Mentalitas Perilaku Masyarakat __104
3.2.1. Hambatan Budaya dalam Pengembangan Ekonomi __111
3.2.2. Budaya Negatif dalam Pembangunan: Konsumerisme,
Hedonsime, Monopoli, dan Eksploitasi __117

BAB IV ARAH POLITIK EKONOMI ISLAM DALAM


PEMBANGUNAN NASIONAL INDONESIA __123
4.1. Pergeseran Pemikiran Pembangunan Ekonomi __123
4.2. Politik Pembangunan Ekonomi Berbasis Nilai Agama __128
4.3. Kerjasama Agamawan dan Pemerintah untuk Pembangunan
Ekonomi __135
4.4. Lanskap Pembangunan Politik Ekonomi Islam __146
4.5. Peluang dan Tantangan Orientasi Politik Ekonomi Islam __163

BAB V PENUTUP __201

Bibliografi __205
Indeks __217
Tentang Penulis __221
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Kajian

T
erdapat beberapa isu menarik yang dapat dijadikan sebagai
topik kajian dan penelitian empiris dalam disiplin ilmu-ilmu
sosial, di antaranya adalah penelitian-penelitian dengan tema
agama dan pembangunan. Para sosiolog dan antropolog dalam
melakukan kajian ilmiah, melihat hubungan antar agama dan
pembangunan dalam konteks fungsional dan praksis sosial. Dari sisi
ajaran, agama mendapat tempat sebagai sumber rujukan dan landasan
etik-moral dalam pembangunan. Hal tersebut tercermin pada
aktualisasi nilai-nilai ajaran agama dalam pelaksanaan pemangunan
dan kehidupan sosial masyarakat. Adapun para pemuka agama, yang
merupakan tokoh elit dalam agama, dilihat sebagai actor sosial yang
dapat menerjemahkan ajaran-ajaran agama untuk diterapkan di dalam
kehidupan nyata. Kehadiran para agamawan yang berkedudukan
sebagai tokoh penggerak kegiatan-kegiatan sosial di masyarakat,
bertujuan untuk mengarahkan masyarakat menuju kehidupan yang
lebih baik.
Pembangunan ekonomi merupakan salah satu dimensi
pembangunan yang dapat mendorong kemajuan masyarakat. Adapun
2 Politik Ekonomi Islam...

ukuran dari tingkat kemajuan ekonomi di masyarakat adalah tingkat


produktivitas dan etos kerja guna meraih pencapai yang tinggi. Dalam
konteks inilah nilai-nilai ajaran agama harus dimaknai sebagai faktor
pendorong terhadap kemajuan dengan menumbuhkan etos kerja tinggi,
yang berorientasi pada peningkatan produktivitas ekonomi. Berangkat
dari hal ini, maka pelru dibuat suatu analisa terkait hubungan antara
nilai-nilai ajaran suatu agama dengan perilaku ekonomi di masyarakat,
yang tercermin pada adanya dorongan untuk bekerja produktif yang
akan bermuara pada kemajuan. Agama-agama yang mendominasi di
Indonesia, dengan jelas memuat ajaran untuk kerja produktif yang
memberi manfaat ekonomi bagi kelangsungan hidup umatnya.
Islam sebagai salah satu agama, juga menganjurkan para
pemeluknya untuk bekerja keras. Bekerja di dalam Islam juga dimaknai
sebagai ibadah. Hal tersebut sebagaimana yang termuat dalam Q.S. Al-
Jumuah: 10. Perintah bekerja dalam Islam juga bermaksud sebagai
peringatan bagi manusia agar tidak membiarkan generasi berikutnya
hidup dalam kemiskinan ekonomi dan iman, sebagaimana yang
termaktub di dalam Q.S. An-Nisa: 9. Tidak hanya di dalam Al-Quran,
banyak juga hadits nabi yang menyatakan bahwa umat yang kuat –
secara ekonomi- lebih penting dan lebih dihargai jika dibandingkan
dengan umat yang lemah. Bahkan seseorang harus dapat hidup
berdikari dan tidak boleh bergantung secara ekonomi kepada orang
lain (HR Tirmidzi). Di dalam Q.S. An-Nisa: 29, Allah memerintahkan
umat Islam untuk dapat menjalankan kegiatan perekonomian dengan
baik, menjaga amanah, dan kepercayaan orang lain. Dalam hal ini,
perdagangan merupakan representasi kegiatan ekonomi dengan cara
yang halal.
Kristen sebagai sebuah agama sudah dengan jelas menunjukkan
hubungan lansung antara ketaatan dalam beragama dengan semangat
kegiatan ekonomi. Sejarah telah membuktikan dalam perjalanan umat
Kristiani bahwa hubungan antara ketaatan dengan semangat bekerja
telah menjadi kekuatan pendorong kebangkitan kapitalisme Eropa
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 3

Barat. Karya klasik yang ditulis oleh Weber (1930 [1905]) yang berjudul
Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme, dengan tegas menyebutkan
bahwa agama -doktrin Kristen- berperan besar untuk menciptakan
nilai-nilai etos kerja, di antaranya adalah hidup hemat, rasionalisme,
asketisisme, dan “panggilan” agar manusia senantiasa bekerja di dunia,
dengan harapan akan mendapat ganjaran dan pahala di akhirat. Weber
juga mengaitkan dimensi eskatologis yang terkandung di dalam ajaran
Kristen dengan dorongan dan semangat bekerja dan kegiatan-kegiatan
ekonomi di dunia nyata yang profan.
Selain dua agama di atas, agama Buddha juga memperkenalkan
konsep-konsep religius yang memiliki dimensi ekonomi, yang berpusat
pada pemaknaan konsep keuntungan yang harus berdimensi ganda,
yaitu kepentingan pribadi (suka) dan kepentingan bersama (hita). Oleh
karena itu, prinsip-prinsip kerja tersebut bertujuan untuk mencapai
kebahagiaan diri sendiri dan kebahagiaan orang lain. Konsep tersebut
berkembang dari pemahaman bahwa sumber daya ekonomi bersifat
terbatas, sehingga setiap orang harus dapat menekan ego individual
untuk tidak bertindak berlebihan dalam mengambil keuntungan atas
sumber daya ekonomi tersebut. Etos kerja menurut ajaran Buddhisme
merujuk pada empat nilai/norma utama, yaitu: 1) Utthanasampada
merupakan perwujudan dari kerja keras seseorang yang dilandasi atas
sikap bertanggung jawab terhadap suatu pekerjaan; 2) Arrakhsampada
merupakan sikap berlaku adil dengan melakukan pendistribusian harta
dan kemakmuran terhadap sesama; 3) Kalyanamittata merupakan
wujud dari kepemilikan jaringan sosial yang kuat untuk membangun
hubungan yang saling menguntungkan; dan 4) Samivajivita yaitu
adanya usaha untuk menyeimbangkan antara kebutuhan jasmani dan
rohani.
Hindu sebagai agama juga memiliki konsep tentang bekerja. Di
dalam agama Hindu dikenal konsep Artha sebagai tujuan hidup. Artha
diartikan sebagai keberhasilan atau kesuksesan yang diwujudkan dalam
bentuk materi/uang. Hal itu juga berarti bahwa dalam agama Hindu,
4 Politik Ekonomi Islam...

manusia yang hidup memerlukan materi atau uang untuk dapat terus
melangsungkan kehidupannya. Tanpa materi tersebut, maka manusia
tidak akan mempu melangsungkan kehidupannya, baik kehidupan
berumah tangga, pendidikan, serta kewajiban-kewajiban dalam
beragama. Meskipun demikian, untuk mendapatkan materi maupun
kesuksesan harus dilakukan dengan cara-cara yang sesuai dengan
agama dan juga harus dipergunakan sesuai dengan tuntutan nilai-nilai
agama.
Sebagaimana yang telah diketahui, bahwa Indonesia merupakan
Negara heterogen, yang terdiri dari berbagai agama, suku, dan bangsa.
Hal itu menjadikan Indonesia memiliki modal sosial besar yang berasal
dari komunitas-komunitas kegamaan, yang dapat dimanfaatkan sebagai
sumber daya pembangunan. Tidak dapat dibantah, bahwa pengaruh
agama dalam proses pembangunan, termasuk dalam pembangunan
sosial-ekonomi, semakin nyata adanya. Kuatnya faktor agama
tersebut, mengakibatkan pentingnya melakukan reorientasi
pembangunan ekonomi yang berorientasi pada nilai-nilai agama.
Reorientasi tersebut dilakukan antara lain dengan merumuskan-ulang
policy prescriptions dalam bentuk kebijakan yang berlandaskan pada
keadilan, berdaya tahan, dan memiliki daya saing tinggi dalam proses
pembangunan ekonomi. Usaha reorientasi tersebut juga dapat
ditempuh dengan melakukan gerakan revolusi mental yang bertumpu
pada para pemuka agama dalam menggerakkan berbagai kegiatan
ekonomi produktif, tentunya kegiatan yang membawa manfaat bagi
seluruh masyarakat.
Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya,
salah satu usaha untuk mereorientasi pembangunan ekonomi adalah
dengan melakukan revolusi mental. Revolusi Mental merupakan
gerakan kolektif dengan melibatkan seluruh bangsa dan diaplikasikan
melalui internalisasi nilai-nilai esensial pada individu, keluarga,
insititusi sosial, masyarakat sampai dengan lembaga-lembaga negara.
Nilai-nilai esensial tersebut meliputi etos kemajuan, etika kerja,
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 5

motivasi berprestasi, disiplin, taat hukum dan aturan, berpandangan


optimistis, produktif-inovatif1adaptif, kerja sama dan gotong royong,
dan berorientasi pada kebajikan publik dan kemaslahatan umum.
Sebagai usaha untuk mewujudkan Indonesia yang maju, makmur dan
sejahtera serta mandiri, maka diperlukan manusia-manusia unggul
dengan pendidikan yang baik, memiliki keahlian dan keterampilan,
menguasai teknologi, pekerja keras, mempunyai etos kemajuan;
melihat masa depan dengan sikap optimis dan menjunjung tinggi nilai-
nilai luhur yang mengakar di kalangan masyarakat Indonesia, seperti
bergotong royong, toleransi, solidaritas, serta nilai-nilai luhur lainnya.
Selain itu, penting kiranya bagi Indonesia untuk berkaca kepada
pengalaman negara-negara maju yang ada di berbagai belahan dunia
lainnya demi mewujudkan Indonesia yang maju dan mandiri.
Terwujudnya keberhasilan pembangunan nasional sangat ditentukan
oleh sikap masyarakat di sebuah Negara terhadap etos kerja,
pengelolaan harta, pembinaan keluarga serta perawatan anak, motivasi
berprestasi, serta keinginan untuk selalu melakukan penemuan (in-
vention) dan pembaharuan (innovation). Keseluruhan sikap dan
perilaku tersebut berangkat dari akal budi dan pikiran manusia yang
dalam konteks masyarakat Indonesia tidak dapat dilepaskan oleh nilai-
nilai agama.
Terkait pandangan tersebut, banyak akademisi yang telah
mengkaji perihal peran agama dalam pembangunan. Namun perlu
dicatat bahwa kajian-kajian yang telah ada pada umumnya bersepakat
bahwa agama, dengan nilai-nilai yang dipercaya oleh para
penganutnya, mampu mempengaruhi tatatan kehidupan masyarakat.
Oleh karena itu Anderson (1983) meyakini bahwa agama merupakan
bagian dari cultural artefacts yang melalui media the sacred languages
(bahasa-bahasa suci) telah memberikan rasa optimisme kepada
manusia (Anderson, 1983:19; Ali, 2014). Modal optimisme tersebutlah
yang seharusnya sangat perlu dimiliki oleh semua pihak, baik itu
pemerintah, masyarakat, maupun tokoh agama, untuk melancarkan
6 Politik Ekonomi Islam...

agenda revolusi mental. Adapun target akhir yang ingin dicapai dari
revolusi mental ini adalah untuk membangkitkan kesadaran bahwa
bangsa Indonesia memiliki kekuatan besar untuk berprestasi tinggi,
produktif, dan berpotensi menjadi bangsa yang maju dan modern.
Uraian tersebut menjadi dasar untuk merealisasikan revolusi
mental sebagai upaya mewujudkan bangsa Indonesia yang
berkepribadian, berdaulat, serta mandiri, dan pastinya menjunjung
tinggi nilai-nilai gotong royong. Untuk mencapai hal tersebut,
diperlukan tiga pilar utama dan satu pilar tata kelola yang merupakan
prinsip pembangunan berkelanjutan. Ketiga pilar tersebut, yaitu: (i)
pembangunan dengan tetap melakukan penjagaan terhadap
keberlanjutan kehidupan sosial masyarakat, (ii) pembangunan dengan
tetap melakukan penjagaan terhadap peningkatan kesejahateraan
ekonomi masyarakat, dan (iii) pembangunan dengan tetap melakukan
penjagaan terhadap kualitas lingkungan hidup masyarakat, (iv) tata
kelola dengan tetap menjaga pelaksanaan pembangunan dan terus
meningkatkan kualitas kehidupan hingga generasi-generasi
berikutnya.
Dalam indeks Gini 0,43, disebutkan bahwa pembangunan
ekonomi belum berorientasi pada keadilan, pemerataan, dan
pemihakan pada rakyat kecil. Hal tersebut terbukti dengan adanya
ketimpangan antar kelompok masyarakat. Keadaan tersebut
menciptakan deprivasi sosial yang mengarah pada eksklusi sosial.
Agama sangat relevan untuk dijadikan sebagai landasan etis dalam
merumuskan kebijakan dan mengubah orientasi pembangunan
ekonomi. Hal tersebut dikarenakan agama mengandung nilai-nilai
mulia dan menyuarakan pesan-pesan profetis tentang keadilan sosial
dan pemihakan pada kelompok-kelompok yang lemah (mustadh’afin).
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 7

1.2. Sistematika Kajian


Kajian ini dibagi kedalam enam bagian bab, sebagai langkah
untuk mempermudah proses kajian dan pendalaman secara sistematis.
Bab satu, pendahuluan. Dalam bab ini memuat latarbelakang atau
analisa situasi yang menjadi alasan pentingnya kajian ini dilakukan.
Bagian ini terdiri atas rumusan masalah utama, tujuan kajian, metode
kajian, sasaran, keluaran dan manfaat, ruang lingkup kajian, pelaksana
kajian, waktu pelaksanaan dan terakhir sistematika kajian.
Bab dua, kerangka teori. Bab ini berisi konsep revolusi mental
sebagai pondasi dasar dalam membaca dan menjadi perspektif untuk
memandu ke arah pembahasan lebih dalam. Revolusi mental yang
dibahas adalah sebagai gerakan perubahan sosial ekonomi dan nilai-
nilai esensial revolusi mental. Selain itu, juga dikaitkan dengan nilai-
nilai agama dalam pembangunan ekonomi yang meliputi nilai agama,
etos kerja dan produktivitas manusia dan transformasi nilai agama
dalam perilaku ekonomi. Sub bab berikutnya adalah tentang tokoh
agama sebagai agen perubahan, yang meliputi model interpretasi nilai
agama oleh tokoh agama dan gerakan perubahan sosial ekonomi. Sub
bab terakhir dalam bab ini berkaitan dengan perkembangan dan upaya
reorientasi pembangunan ekonomi yang memuat tentang
perkembangan ekonomi dan orientasi pembangunan ekonomi.
Bab tiga, analisa situasi sosial, keagamaan dan mentalitas bangsa.
Dalam bab ini poin penting yang ingin dibingkai adalah gambaran umum
terkait analisa situasi yang meliputi gambaran umum kehidupan
beragama yang terfokus pada cara memahami kemiskinan, peran tokoh
agama dalam pembangunan ekonomi, peran lembaga sosial keagamaan
dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat. Sub bab berikutnya
berkaitan dengan mentalitas prilaku masyarakat meliputi hambatan
budaya dalam pengembangan ekonomi dan budaya negatif dalam
pembangunan meliputi konsumerisme, hedonisme, monopoli dan
eksploitasi.
8 Politik Ekonomi Islam...

Bab empat fokus pada keterkaitan nilai agama, tokoh agama,


gerakan revolusi mental, dan reorientasi pembangunan ekonomi. Bab
ini terbagi kedalam tiga sub bab yang membahas tentang perubahan
pemikiran dalam pembangunan ekonomi, upaya pembangunan
ekonomi berbasis nilai agama dan tokoh agama sebagai penggerak
revolusi mental untuk reorientasi pembangunan ekonomi.
Bab lima, Penutup. Bab ini memuat kesimpulan dan saran-saran.
BAB II
KERANGKA KONSEPTUAL

2.1. Konsep Revolusi Mental

P
erubahan dunia biasanya dimulai dengan dua jalan, yaitu
evolusi dan revolusi. Kedua jalan tersebut memiliki implikasi
terhadap tataran mikro dan makro baik secara sosiologis,
ekonomi maupun politik. Perubahan evolusi merupakan perubahan
sosial dalam proses dan waktu lama tanpa adanya keinginan khusus
masyarakat yang bersangkutan. Perubahan ini muncul karena adanya
usaha masyarakat untuk menyesuaikan diri terhadap kebutuhan-
kebutuhan hidup sesuai perkembangan masyarakat pada waktu
tertentu. Perubahan revolusi adalah perubahan yang berlangsung
secara cepat dan tidak ada kehendak atau direncanakan sebelumnya.
Perubahan revolusi dapat terjadi karena sudah direncanakan
sebelumnya atau tidak sama sekali.
Revolusi merupakan bagian dari proses perubahan sosial yang
dinamis serta memiliki implikasi terhadap pergerseran tata-nilai dalam
masyarakat. Secara konseptual, revolusi sering dipahami sebagai
proses untuk mewujudkan terjadinya transformasi struktural dan
kultural secara cepat, radikal, dan total di tengah-tengah masyarakat
10 Politik Ekonomi Islam...

yang tertindas, baik dalam tataran politik maupun sosial, yang secara
mainstream merupakan perubahan struktur dari feodal-kolonial
menjadi struktur demokratis.1
Revolusi mental2 yang diusung oleh Presiden Joko Widodo
merupakan istilah yang sudah digunakan oleh beberapa tokoh dunia.
Sejarah memberikan informasi bahwa kata revolusi memiliki makna
yang mengikutinya, mulai dari revolusi Inggris yang melahirkan ‘ma-
gna carta’ (piagam besar) yang membatasi absolutisme kerajaan Inggris
pada tahun 1215. Revolusi Amerika tahun 1776 yang menghasilkan
“Declaration of Independence”; Revolusi Prancis tahun 1789 yang
mendeklarasikan semboyan Liberté, Egalité, Frternité.3
Istilah revolusi di Indonesia diungkapkan pertama kali oleh Tan
Malaka melalui karyanya yang berjudul “Menuju Republik Indonesia”
(1925). Dalam salah satu pidatonya, Tan Malaka menyampaikan bahwa:

“Revolusi Indonesia tiadalah akan semata-mata untuk menukar


kekuasaan Belanda dengan kekuasaan bumi putera (Peperangan
Kemerdekaan bangsa), tetapi juga untuk menukar kekuasaan
hartawan Belanda dengan Buruh Indonesia (putaran-sosial). Jadi
pergerakan kita sekarang, ialah nasionalis sosial, dan berpadanan
dengan itu perkakas bertarung ialah perkakas militer (Karim-isme)
bercampur dengan perkakas ekonomi dan politik, yakni mogok,
boikot dan demonstrasi”4
1
Sartono Kartodirdjo, “Beberapa Perspektif dalam Studi Revolusi Prancis dan Revolusi
Indonesia”, dalam Henri Chambert Loir dan Hasan Muarif Ambary (ed) Panggung Sejarah
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), hlm. 106.
2
Istilah revolusi mental pertama kali didengungkan oleh Frederick W.Taylor (The Principles of
Scientific Management, 1911) istilah ini digunakan untuk menjelaskan bagaimana terjadinya
perubahan radikal,pola pikir untuk mengatasi masalah inefisiensi perusahaan melalui penerapan
manajemen ilmiah. Ini mencakup perubahan pola pikir terkait hubungan kerja (“saling-
berhadapan” menjadi “saling-tergantung”), landasan kerja (“opini subyektif” menjadi “sains
obyektif”), etos kerja (“kepentingan pribadi” menjadi “kepentingan bersama”), dan penguasaan
surplus (“akumulasi” menjadi “distribusi”). Penerapan manajemen ilmiah itu secara luas
disebut Taylorisme atau Gerakan Efisiensi.Argumentasi lain menyebutkan istilah revolusi
mental berasal dari Kalr marx dalam The Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte ( Die
Revolution, New York, 1852)
3
Lihat misalnya: Julian Hoppit, “The Nation, the State, and the First Industrial Revolution,”
Journal of British Studies (April 2011). Hlm. 307-331.
4
Tan Malaka, Naar de “Republiek Indonesia” (Menuju Republik Indonesia), Yayasan Massa,
1987, hlm.19. lihat juga: Tan Malaka, Semangat Muda, Ted Sprague (Mei 2007), hlm. 31.
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 11

Pengertian revolusi menurut Tan Malaka adalah perlawanan


secara fisik, melalui berbagai aksi yang dapat menggulingkan sebuah
kekuasaan. Menurut Tan jalur diplomasi merupakan bentuk basa-
basi yang ujungnya tidak dapat memenuhi tujuan dari revolusi itu
sendiri.
Tokoh ke dua, yang mempopulerkan jargon revolusi adalah
Presiden Soekarno. Menurut Soekarno, revolusi adalah jalan yang
bertahap, jalan kehormatan dalam memperjuangkan kepentingan
rakyat, bukan hanya jalan pertumpahan darah semata namun lebih
jauh dari itu yaitu untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Soekarno membagi tingkatan revolusi dalam beberapa tahap, sebagai
berikut. Tahun 1945-1950, merupakan physical revolution. Tahap ini
merupakan usaha bangsa Indonesia untuk mewujudkan serta
mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari para penjajah. Tahap
ini kemudian disebut sebagai revolusi fisik. Bagi bangsa Indonesia ,
tahun 1950-1955 merupakan tahun terberat untuk tetap memper-
tahankan kehidupannya atau tidak mati. Oleh karena itu, periode ini
merupakan tahun untuk menebus segala penderitaan yang dialami oleh
bangsa Indonesia dalam revolusi fisik. Periode revolusi sosial-ekonomi
yang berlansung pada tahun 1956 bermaksud mewujudkan “tata-
tentrem-karta-raharja”5 di kalangan bangsa Indonesia. Adapun periode
investasi (inverstment) berlangsung sejak tahun 1955-sekarang.
Periode investasi terdiri dari investment of human skill, material
investment, dan mental investment yang merupakan socialist
construction yaitu untuk amanat penderitaan rakyat.6
Merujuk revolusi mental yang diusung oleh Presiden Joko
Widodo, pengertiannya lebih sederhana karena dilatarbelakangi oleh
adanya realitas masyarakat yang menurut Joko Widodo mengalami
5
Wawan Tunggul Alam, Demi Bangraku Pertentangan Sukarno Vs. Hatta,Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2003, hlm. 461-462.
6
Departemen Penerangan RI, Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi dengan Tambahan Re-So-Pim
Tahun Kemenangan Genta Suara Revolusi , Surabaya: Pertjetakan Negara dan Pers
Nasional,1963,hlm. 158. Tunggul Alam, op cit, hlm. 462.
12 Politik Ekonomi Islam...

kemunduran, utamanya dalam kepribadian. Beberapa paragraf dalam


tulisan di harian Kompas atas nama Joko Widodo menjelaskan:

“Ekonomi semakin berkembang dan masyarakat banyak yang


bertambah makmur. Bank Dunia bulan Mei ini mengatakan
ekonomi Indonesia sudah masuk 10 besar dunia, jauh lebih awal
dari perkiraan pemerintah SBY yang memprediksi baru terjadi tahun
2025. Di bidang politik, masyarakat sudah banyak menikmati
kebebasan serta hak-haknya dibandingkan sebelumnya, termasuk
di antaranya melakukan pergantian pemimpinnya secara periodik
melalui pemilu yang demokratis. Namun, di sisi lain, kita melihat
dan merasakan kegalauan masyarakat seperti yang dapat kita saksikan
melalui protes di jalan-jalan di kota besar dan kecil dan juga di
ruang publik lainnya, termasuk media massa dan media sosial.
Gejala apa ini? Pemimpin nasional dan pemikir di Indonesia
bingung menjelaskan fenomena bagaimana keresahan dan
kemarahan masyarakat justru merebak. Sementara, oleh dunia,
Indonesia dijadikan model keberhasilan reformasi yang
menghantarkan kebebasan politik serta demokrasi bersama
pembangunan ekonomi bagi masyarakatnya”.7

Berdasarkan argumentasi tersebut, revolusi mental merupakan


perubahan mendasar dan fundamental dalam sikap, cara berpikir dan
tindakan. Perubahan mentalitas masyarakat menjadi keharusan karena
masyarakat telah mengalami disorientasi hidup, kehilangan tradisi
luhur, serta disiplin dan etos kerja yang rendah.
Revolusi Mental Jokowi berbeda dengan revolusi lainnya, seperti
revolusi Rusia yang mememilih jalan revolusi dengan melakukan
pergantian rezim, sistem dan struktur dan tatanan sosial ekonomi. Ada
tiga hal utama yang menyebabkan terjadinya Revolusi Rusia, yaitu: 1)
ketidakmampuan aparat pemerintah pusat dari rezim yang lama (the
old regime); 2) meluasnya pemberontakan kelas bawah; 3) terjadinya
upaya pemimpin politik yang memobilisasi masa untuk mengonsoli-
dasikan negara revolusioner.8 Dalam hal ini, revolusi merupakan

7
Joko Widodo, ‘Revolusi Mental’ Kolom Opini, Koran harianKompas, Sabtu 10 Mei 2014.
8
Theda Skocpol, Negara dan Revolusi Sosial Suatu Analisis Komparatif tentang Prancis, Rusia,
dan Cina, (Jakarta: Erlangga, 1991). hlm. 36-37.
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 13

tindakan dari suatu kelompok penduduk untuk memaksakan


kehendaknya kepada pihak lain dengan jalan kekerasan. Dengan kata
lain penguasa dalam revolusi dapat berbuat apa saja, sedangkan pihak
lawan atau yang tidak setuju terhadap kebijakan tersebut dianggap
sebagai golongan reaksioner atau kontra revolusioner.9 Untuk itu,
produk revolusioner adalah munculnya negara bangsa yang sentralistis
birokratis dan bersifat inkorporasi massa dengan meningkatkan
kekuasaan yang lebih besar di tingkat internasional.
Kekuasaan politik yang dimiliki rezim memiliki kehendak untuk
bertindak secara tegas atas pilihan jalan politiknya dalam
mengaktualisasikan visinya. Kekuasaan politik juga merupakan
sebagian dari kekuasaan sosial yang fokusnya ditujukan kepada negara
sebagai satu-satunya pihak yang berwenang yang mempunyai “hak”
untuk mengendalikan tingkah laku sosial dengan paksaan.10
Dalam sejarah bangsa Indonesia, revolusi yang pernah terjadi
adalah revolusi fisik.11 Revolusi ini merupakan fase perjuangan untuk
keluar dari cengkraman penjajahan. Fase ini melibatkan banyak
kalangan khususnya pemuda. Pemuda sebagai penggerak revolusi yang
sangat kuat, berada di posisi terdepan dengan strategi baru untuk
mengoperasikan revolusi.12
Karina Supelli mencoba memberikan pemahaman secara lebih
mendalam terkait makna revolusi mental. Penegasan ini disampaikan
karena adanya kecenderungan dalam mendefinisikan sesuatu hanya
9
Deliar Noor, Pemikiran Politik di Negeri Barat, (Jakarta: Rajawali, 1982), hlm. 169.
10
Tentang penggunaan dan pengembangan kekuasaan militer, polisi, atau kekuasaan kriminal
dengan kontrol yang sangat kuat terhadap kekerasan merupakan hal utama. Baca: Soerjono
Soekanto, Beberapa Teori Sosiologi Tentang Struktur Masyarakat, (Jakarta: Rajawali, 1983).
hlm. 275.
11
Revolusi fisik merupakan suatu bentuk perjuangan yang dilakukan dengan menciptakan konflik,
pertempuran dan peperangan fisik. Perlawanan terhadap penjajah dari fase Belanda, Jepang
merupakan rangkain revolusi fisik yang dilakukan bangsa Indonesia. Mohammad Sidki Daeng
Materu, Sejarah Pergerakan Nasional Bangsa Indonesia, (Jakarta: Gunung Agung, 1985),
hlm. 5-7.
12
Adam Malik, Mengabdi Republik (Jakarta: Gunung Agung, 1984), cetakan ke-2 angkatan 45,
hlm. 63.
14 Politik Ekonomi Islam...

menurut penafsiran sesuai kepentingan tertentu dan cenderung


mengabaikan substansi. Karlina memulai dengan memberikan definisi
mental adalah sebagai”….nama bagi genangan segala sesuatu
menyangkut cara hidup.”13 Di dalam menjalankan kehidupan, terdapat
tata cara yang masing-masing individu berbeda dalam menjalankannya,
yaitu cara berpikir, memandang problem, merasa, mempercayai,
ataupun cara berperilaku dan bertindak. Oleh karena itu, menurut
Karlina istilah “mental” tidak hanya menyangkut urusan bathin, tetapi
juga berkenaan dengan hal-hal yang bersifat ragawi.
Esensi pemahaman yang sama namun diungkapkan dalam nalar
yang terbalik disimpulkan oleh seorang psikolog Amerika, Gordon W.
Allport, seperti diungkapkan oleh Ignas Kleden, bahwa kepribadian
tidak hanya mencakup aspek-aspek eksternal, akan tetapi juga
mengandung hal-hal yang bersifat intrinsik.14 Oleh karena itu, menurut
Allport kepribadian merupakan lembaga dinamis dari sistem psikofisik
individu yang berperan dalam menentukan cara-caranya unik atau khas
dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Argumentasi lain di tulis oleh Agus Sutisna15 dengan judul
‘Landasan Ontologis Revolusi Mental’, yang menguraikan tentang:
apapun kecenderungan dan ruang lingkup pemaknaan yang digunakan;
baik merujuk pada dimensi bathin atau watak manusia maupun sebagai
satu kesatuan utuh antara dimensi bathin dan ragawi manusia pada
hakekatnya adalah menyangkut soal watak-bathin, mindset, karakter
dan kepribadian.

13
Karlina Supelli, “Arti Revolusi Mental”, dalam laman Bayt al Hikmah Institute, https://
ahmadsamantho.wordpress.com/2014/07/04/mengartikan-revolusi-mental/ 30 Juni 2015.
14
Ignas Kleden, “Menerapkan Revolusi Mental”,Kolom Opini, Koran harianKompas, 25 Sep-
tember 2014.
15
AgusSutisna:https://www.academia.edu/8922897/landasan_ontologis_revolusi_mental_
sang_presiden / 30 Juni 2015.
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 15

2.1.1.Revolusi Mental sebagai Gerakan Perubahan


Sosial Ekonomi
Dalam perspektif sosiologis, masyarakat dipahami sebagai
sebuah komunitas yang dinamis. Perubahan masyarakat terjadi karena
struktur sosial yang terus bergerak seiring terjadinya kontak atau
terjadinya pertemuan dari berbagai entitas masyarakat yang berbeda.
Era borderless society yang ditandai dengan hilangnya sekat-sekat
pembatas antar komunitas, hilangnya jarak demografis seiring
kemajuan teknologi dan informasi menjadikan daya sentuh dan
intensitas pertukuran informasi begitu cepat sehingga menjadikan
perubahan sosial sulit dihindari.
Menurut Emile Durkheim, perubahan sosial dipahami sebagai
akibat terjadinya klasifikasi sosial di masyarakat, menguatnya
solidaritas sosial yang disesuaikan dengan kondisi demografis serta
tantangan-tantangan yang dihadapi. Perubahan tersebut bisa berasal
dari tradisionalis-mekanistik ke modernis-organisatoris (Lauer, 1982:
Samuel, 2010). Perubahan sosial ini merupakan gejala alamiah dalam
proses kehidupan, bahkan dalam dunia saintifik modern Fritjof Capra
dengan tegas mengatakan bahwa perubahan sosial akibat dampak dari
modernisme mengalami masalah multidimensional (Capra: 1982).
Secara lebih jelas Parsudi Suparlan menguraikan bahwa
perubahan sosial selalu terjadi pada wilayah struktur dan sistem sosial
yang berkaitan dengan hubungan keluarga, masyarakat, kebudayaan,
sistem sosial-politik dan kependudukan (Suparlan:1997). Perubahan
sosial yang alamiah menentukan bentuk dan wajah masyarakat. Dalam
perspektif teori konflik, perubahan sosial merupakan proses
instrumental dalam pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan
struktur sosial. Dalam konflik selalu terjadi dinamisasi konsensus dan
integrasi yang berdampak pada perubahan sistem sosial yang ada
(Ritzer: 1997). Perubahan dalam struktur sosial yang sistematis dan
gradual harus didukung oleh infrastruktur politik, ekonomi dan kondisi
sosial-budaya yang terintegrasi. Dukungan tersebut didesain agar tidak
16 Politik Ekonomi Islam...

bertabrakan dengan sistem sosial dan norma masyarakat untuk


menghindari terjadinya konflik manifest yang merusak tatanan arah
perubahan yang ingin dicapai.
Soejono Soekanto, menjelaskan bahwa terdapat beberapa faktor
yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan baik dalam ukuran
yang paling kecil, yaitu perilaku pribadi ataupun dalam ukuran yang
lebih luas yaitu struktur dan budaya masyarakat. Namun faktor-faktor
tersebut dapat dibedakan sebagai sumber perubahan sosial yang berasal
dari dalam masyarakat atau internal (endogenous) dan dari luar
masyarakat atau eksternal (exogenous).16
Gagasan Revolusi Mental untuk perubahan sosial merupakan
cara Indonesia melakukan perubahan demi mewujudkan Indonesia
yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian. Untuk menunjukkan
prioritas dalam jalan perubahan tersebut dirumuskan sembilan agenda
prioritas yang disebut nawacita. Revolusi mental diharapkan mewarnai
sembilan agenda prioritas tersebut, karena pada hakekatnya seluruh
bangsa Indonesia dilibatkan langsung dalam usaha revolusi mental
tersebut. Keterlibatan tersebut terlihat dari adanya internalisasi nilai-
nilai esensial pada individu, keluarga, insititusi sosial, masyarakat
sampai dengan lembaga-lembaga negara. Nilai-nilai esensial tersebut
meliputi etos kemajuan, etika kerja, motivasi berprestasi, disiplin, taat
hukum dan aturan, berpandangan optimistis, produktif-inovatif-
adaptif, kerja sama dan gotong royong, dan berorientasi pada kebajikan
publik dan kemaslahatan umum. Untuk mencapai Indonesia yang maju,
makmur dan sejahtera serta mandiri diperlukan manusia-manusia
unggul dengan pendidikan yang baik, memiliki keahlian dan
keterampilan, menguasai teknologi, pekerja keras, mempunyai etos

16
Endogenous dipahami sebagai faktor internal meliputi perubahan kependudukan yang tidak
hanya berkaitan dengan angka populasi melainkan kompleksitas masyarakat, distribusi
kebutuhan, struktur sosial dan variasi tingkat status sosial masyarakat, temuan, inovasi dan
konfliktualisme. Exogenous dipahami sebagai faktor eksternal meliputi kultur dan lingkungan.
Lihat lebih lengkap: Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar. (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1990), hlm.317-325.
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 17

kemajuan; selalu menatap masa depan dengan optimis, serta memiliki


nilai-nilai luhur yang berkembang di kalangan masyarakat Indonesai,
seperti gotong royong, toleransi, solidaritas, dan nilai-nilai lainnya.
Perubahan melalui jalan revolusi mental dalam ranah sosial
memiliki dampak terhadap pembangunan ekonomi. Gagasan revolusi
mental merupakan jalan cepat menuju perubahan mentalitas
masyarakat baik secara individu maupun secara kolektif, struktural
maupun kultural. Perubahan sosial budaya dan ekonomi terjadi seiring
dengan perubahan dan pengembangan dunia ke depan. Perubahan
kearah yang lebih baik dijelaskan oleh Inglehart ‘deep-rooted change
in mass worldview are reshaping economic political and social life.17
Di sisi lain, Tilaar menjelaskan, perubahan pada masyarakat
selalu memberikan pusat perhatian pada perubahan sosial (social
change) sehingga memunculkan teori tersendiri terkait kajian
masyarakat.18 Lebih lanjut Tilaar mengemukakan bahwa perubahan di
masyarakat disebabkan oleh tiga hal yaitu kebutuhan akan
demokratisasi, kemajuan ilmu pengetahuan teknologi, dan globalisasi.19
Kebutuhan demokrasi mengharuskan terjadinya pergeseran nilai,
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mengubah perilaku dan gaya
hidup serta cara pandang terhadap kehidupan yang berbeda dari
sebelumnya, serta globalisasi menghubungkan jarak semakin dekat
dan meruntuhkan sekat-sekat pembatas sosial.
Philip H. Phenix dengan jernih menguraikan ‘social change can
be analyzed in terms of the concept of structure, fungtion and social
needs. While no exact laws of social behavior have yet been
formulated, some insigt may be gained into the basis for individual
conformity and derivation and for the transformation that take place

17
Ronald Inglehart, Modernization and Postmodernizations: Cultural, Economic and Political
Change in 43 Societies, (Princeton, New Jersey: Princeton University Press, 1997), hlm. 3.
18
H.A.R. Tilaar Perubahan sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Transformatif Untuk
Indonesia, (Jakarta: Grasindo, 2002), hlm. 3.
19
H.A.R. Tilaar Perubahan Sosial...hlm. 22.
18 Politik Ekonomi Islam...

in cultures, institutions, nomrs, roles and rankings as a result of internal


stresses, invironmental factors, or external pressures’.20 Faktor yang
paling signifikan terhadap jalannya perubahan bagi masyarakat
Indonesia ditentukan oleh ke tiga hal seperti yang diuraikan oleh Tilaar
dan dikuatkan oleh Phenix.

2.1.2. Nilai-Nilai Esensial Revolusi Mental


Ahimsa-Putra ketika memberikan pemaparan tentang konsep
Revolusi Mental menguraikan setidaknya ada dua hal penting yang
harus diperhatikan, yaitu: Pertama, bahwa meskipun “mental” adalah
sebuah fenomena individual, namun Revolusi Mental dapat terjadi
tidak hanya pada individu, tetapi juga pada kolektivitas, baik berupa
sebuah komunitas, suku bangsa, masyarakat, maupun suatu bangsa.
Kedua, perubahan atau Revolusi Mental dapat diwujudkan atau dapat
diupayakan, terutama yang menyangkut sebuah kolektivitas - terdapat
serangkaian rencana dan upaya yang sistematis dan disusun atas dasar
sebuah tujuan yang jelas, dan dapat dilaksanakan apabila konsepsi
mengenai Revolusi Mental itu sendiri juga jelas.21
Konsepsi Ahimsa tentang Revolusi Mental menegaskan bahwa
untuk menggerakkan kekuatan individu dan kemampuan kolektivitas
diperlukan internalisasi nilai sebagai dorongan yang secara sadar,
mengilhami sebuah gerakan masif dan sistematis. Nilai-nilai esensial
dalam Revolusi Mental adalah bagian penting yang secara substantif
menjadi energi dalam gerak perubahan.
Gagasan revolusi mental yang diusung Presiden Joko Widodo
memuat beberapa nilai-nilai esensial yang sangat penting untuk
diekplorasi lebih dalam. Basis argumentasi yang meliputi etos kemajuan,

20
Philip H. Phenix, Realms of Meaning: A Philosophy of The Curriculum for General Education,
(New York: McGraw-Hill Book Company, 1994), hlm. 131.
21
Heddy Shri Ahimsa-Putra, ‘Strategi Kebudayaan untuk Revolusi Mental di Indonesia,’dalam
Semiarto Aji Purwanto (Editor): Revolusi Mental Sebagai Strategi Kebudayaan: Bunga Rampai
Seminar Kebudayaan tahun 2014, (Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2015), hlm. 138.
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 19

etika kerja, motivasi berprestasi, disiplin, serta beberapa nilai-nilai


luhur lainnya merupakan nilai esensial yang terkandung di dalam
revolusi mental.
Berdasarkan pemaparan tersebut, dapat diketahui bahwa
Revolusi Mental adalah transformasi menyangkut keutuhan 3 aspek
manusia, yaitu manusia yang percaya, berpikir, dan bertindak dan
berlaku dalam cakupan berbangsa dan bernegara yang mencakup
seluruh aspek kehidupan.22
Dalam pandangan Soedjatmoko masalah perubahan yang akan
dihadapi ialah bagaimana sebagai bangsa dapat mengisi ruang yang
diciptakan atas kemenangan politik dan revolusi. Pengembangan atas
perubahan tersebut berada pada wilayah kebulatan adat kebiasaan,
organisasi sosial, serta pandangan hidup. Perubahan tersebut meliputi
sikap yang baru terhadap perdagangan, uang, menabung, rasa-waktu,
sikap lain terhadap hirarki sosial, terhadap pangkat dan derajat, terhadap
pekerjaan tangan dan mesin; perubahan tersebut memerlukan
kemampuan untuk berpikir secara kuantitatif dan komprehensif.23
Nilai-nilai esensial dalam revolusi mental harus ditransformasikan
kearah perubahan cara pandang seperti yang diuraikan Soedjatmoko,
untuk itu perumusan nilai-nilai esensial dapat dikelompokkan dalam
tiga pokok pikiran penting, yaitu: 24
1) Integritas, yaitu meliputi nilai Kejujuran, dapat dipercaya,
berkarakter, dan bertanggung jawab.

22
Karlina Suppeli, ‘Revolusi Mental sebagai Paradigma Strategi Kebudayaan’ dalamSemiarto
Aji Purwanto (Editor): Revolusi Mental Sebagai Strategi Kebudayaan: Bunga Rampai Seminar
Kebudayaan tahun 2014 , (Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2015), hlm. 6
23
Soedjatmoko, Etika Pembebasan, Pilihan Karangan Tentang: Agama, Kebudayaan, Sejarah
dan Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: LP3ES, 1996), hlm. 9.
24
Tiga pokok pikiran nilai revolusi mental ini disampaikan dalam seminar nasional ‘Gerakan
Nasional Revolusi Mental Menuju Era Baru Jaminan Sosial Ketenagakerjaan’ Jakarta, Selasa,
08 September 2015.
20 Politik Ekonomi Islam...

2) Kerja keras, yaitu meliputi nilai etos kerja, daya saing, optimis,
onovatif, dan Produktif.
3) Gotong royong, yaitu meliputi nilai Kerja sama, solidaritas,
komunal, berorientasi pada kemaslahatan.
Di dalam revolusi mental nilai-nilai moralitas pribadi, seperti
kesalehan maupun kerajinan dalam beribadah sebaiknya tidak
dijadikan sebagai target. Hal yang lebih urgent untuk dicapai adalah
pembenahan moralitas publik, seperti disiplin di tempat umum,
membayar pajak, tidak korupsi, maupun moral-moral publik lainnya.
Revolusi mental cukup mengurus ranah publik.25
Yudi Latif menterjemahkan nilai Revolusi Mental sebagai
alternatif mengatasi kriris multidimensional yang dihadapi bangsa
Indonesia dengant tiga pendekatan utama, pendektan secara mendasar
yang bersifat akseleratif, yaitu, revolusi material, mental-kultural, dan
politikal.26
Revolusi basis material diarahkan untuk menciptakan
perekonomian merdeka yang berkeadilan dan berkemakmuran;
berlandaskan usaha tolong-menolong (gotong royong) seraya memberi
peluang bagi hak pribadi dengan fungsional.27 Revolusi (superstkrutur)
mental-kultural difokuskan pada masyarakat beragama yang religius
yang berprikemanusiaan, yang egaliter, mandiri, amanah, dan terbebas
dari berhala matrealisme-hedonisme; serta sanggup menjalin persatuan
(gotong royong) dengan semangat pelayanan (pengorbanan). Revolusi
(agensi) politikal diarahkan untuk mencapai agen perubahan dalam
bentuk integrasi kekuatan nasional melalui demokrasi permusya-
waratan yang berorientasi persatuan (negara kekeluargaan) dan

25
Paulus Wirutomo, ‘Retorika Revolusi Mental’, Opini harian Kompas, Rabu 29 April 2015.
26
Yudi Latif ‘ Mental Pancasila’ dalam Majalah Revolusi Mental, vol. 1- Agustus 2015, Penerbit
Pokja Revolusi Mental Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan
RI, tahun 2005, hlm. 24. Lihat juga kolom opini harian Kompas edisi 28 Mei 2015 dengan
judul yang sama.
27
Yudi Latif, Mental Pancasila...hlm. 24.
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 21

keadilan (negara kesejahteraan); dengan pemerintahan negara yang


melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah indonesia,
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian dan keadilan.28

2.2. Nilai-nilai Agama dalam Pembangunan


Ekonomi
Beberapa intelektual misalnya Edward Tylor dalam Primitive
Culture menyebutkan pengertian agama adalah semesta, makna yang
dibangun manusia yang didukung oleh sarana linguistik.29 Durkheim
memaknai agama sebagai fakta sosial.30 Agama sebagai materi kajian
sosiologi memiliki variasi definisi. Peter L. Berger mengartikan agama
sebagai jangkauan terjauh dari eksternalisasi diri manusia, dari
peresapan makna-maknanya sendiri ke dalam realitas.31 Agama berarti
sebuah tatanan manusia yang diproyeksikan ke dalam totalitas kedirian.
Dengan kata lain, agama merupakan usaha berani untuk membayang-
kan adanya keseluruhan semesta sebagai bernilai manusiawi.32 Oleh
karena itu, dapat dikatakan bahwa agama telah memainkan peran
strategis dalam usaha manusia membangun dunia.33
Konsepsi umum mendefinisikan agama sebagai suatu ajaran yang
berkaitan dengan iman dan tata cara beribadah kepada Tuhan serta
bergaul antar sesama dan lingkungan. Dalam rutinitas sehari-hari,
dalam lingkungan masyarakat (teistik), agama selalu terletak pada aras
ideal dan menjadi suatu tujuan kehidupan manusia. Realitas masyarakat

28
Yudi Latif, Mental Pancasila...hlm. 24.
29
Peter L Berger, Langit Suci: Agama Sebagai Realitas Sosial, terj. Hartono, (Jakarta: LP3ES,
1991), hlm. 203.
30
Ibid., hlm. 204.
31
Ibid., hlm. 35.
32
Ibid.
33
Ibid.
22 Politik Ekonomi Islam...

tersebut meletakkan agama sebagai pranata elit yang memiliki ciri-ciri


sakral, ideal, transendensi. Kecenderungan agama pada level ke-
Tuhan-an pada awalnya tampak tidak berafiliasi dengan pranata
komponen kehidupan masyarakat selain agama, seperti ekonomi,
politik, hukum, budaya dan lain-lain. Agama menjadi satu-satunya
kebenaran kehidupan, yang jika dibandingkan dengan pranta lain
memiliki kekuatan dominasi bahkan hegemoni. Agama dapat
mengalahkan semua pranata kehidupan tersebut dan menjadi satu-
satunya yang tak terkalahkan, tidak lain karena agama terlalu didominasi
oleh apologetik sifat Tuhan, sebagai pemilik otoritas tunggal.
Dominasi agama dalam kehidupan masyarakat yang terlalu
powertif, tentu saja tidak selalu positif misalkan pada contoh tokoh
agama menjadi kaum elit yang sewenang-wenang terhadap pemeluk
agama dan kemudian menjadi aktor utama dalam memodifikasi ajaran
agama sesuka hati untuk memudahkan mereka mengakses sumber daya
yang tidak dimiliki. Pada aras ini, agama menjadi alat legitimasi (tools
of legitamacy) untuk mengkooptasi sumber daya dalam bidang pranata
lain. Malpraktik34 yang dilakukan oleh sebagian tokoh agama tentu
memberi kesan negatif atas kesakralan agama dan menimbulkan
gerakan protes terhadap agama tersebut.Gerakan protes selalu
mengusulkan internalisasi nilai-nilai kemanusiaan ke dalam agama yang
sebelumnya mati.Kritik kemanusiaan terhadap agama menjadi pintu
masuk bagi perkembangan-perkembangan keagaaman yang asimilasi
nilai-nilai kemanusian (yang pada dasarnya kemanusiaan sendiri adalah
bagian keagamaan).
Salah satu kajian yang sangat mempengaruhi perkembangan ilmu
sosial dan keagamaan kontemporer adalah kajian Weber, Durkheim
dan Peter L. Berger. Misalkan Weber yang mengkaji relasi agama
(Protestan) dengan kapitalisme. Menurut Giddens, Weber menyarankan
34
Malpraktik yang dimaksud adalah penggunaan agama sebagai alasan-alasan yang merugikan
masyarakat atau pihak lain, seperti pemungutan upeti/pajak berlebihan dari masyarakat,
mengharamkan hal yang belum diatur dalam agama tanpa usaha mengkaji masalah tersebut
terlebih dahulu, atau agama yang digunakan sebagai legitimasi politik.
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 23

melihat kepada sifat khusus dari kepercayaan-kepercayaan agama


(Protestan), bila mana harus menerangkan kaitan agama (Protestan)
dengan rasionalitas ekonomi.35 Misalkan Weber menjelaskan hal ini,
dengan mengacu kepada tulisan Richard Baxter tentang godaan-godaan
kekayaan, yang menurut Weber, peringatan tersebut semata-mata
ditujukan kepada penggunaan kekayaan untuk menopang cara hidup
bermalas-malasan dan santai. Malas-malasan dan membuang waktu
merupakan dosa yang paling utama.36
Temuan Weber dalam The Protestant Ethic of Capitalism
menjadi instruksi untuk menemukan pengaruh ide-ide keagamaan
terhadap perkembangan ekonomi.37 Tidak jauh berbeda dengan Weber,
Durkheim mencoba mengulas arti penting dari agama dalam
masyarakat, dan mengenalnya sebagai sumber orisinil dari semua
gagasan moral, filsafat, ilmu pengetahuan dan keadilan.38 Agama
merupakan sesuatu yang benar-benar bersifat sosial.39 Representasi-
representasi religius adalah representasi-representasi kolektif yang
mengungkapkan realitas-realitas kolektif. Ritus-ritus merupakan
bentik tindakan (a way of acting) yang hanya lahir di tengah kelompok-
kelompok manusia dan tujuannya adalah untuk melahirkan,
mempertahankan atau menciptakan kembali keadaan-keadaan mental
(mental states) tertentu dari kelompok-kelompok itu.40
Durhkeim menarasikan bagaimana suatu sitem religi terbentuk
secara induksi dari rutinitas ya0ng panjang dalam horison-horison
individual dan kolektif, tetapi apa yang paling penting adalah Durkheim
35
Lihat Anthony Giddens, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern: Suatu Analisis Karya Marx,
Durkheim, dan Max Weber, terj. Soeheba Kramadibrata, (Jakarta: UI Press, 2009), 154.
36
Ibid., hlm. 159.
37
RH. Towny, “Pengantar” dalam Max Weber, Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme, terj. TW
Utomo dan Yusup Pria Sudiarja, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. xxiii.
38
Anthony Giddens, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern: Suatu Analisis Karya Marx, Durkheim,
dan Max Weber, terj. Soeheba Kramadibrata, hlm. 130.
39
Emili Durkheim, The Elementary Forms of The Religiuous Life: Sejarah Bentuk-Bentuk Agama
yang Paling Dasar, terj. Inyiak Ridwan Muzir dan M Syukri, (Yogyakarta: IRCidSoD, 2011),
hlm. 29.
40
Ibid., hlm. 29-30.
24 Politik Ekonomi Islam...

mengungkapkan pada dasarnya agama dengan pranata non-agama yang


telah menjadi sejarah adalah hal kausalitas, artinya terjadi integrasi
antara keduanya. Nilai-nilai agama tidak bertentangan dengan upaya
pembangunan ekonomi suatu kelompok melainkan terintegrasi dalam
hubungan kausalitas antara agama dan representasi-representasi
kolektif tersebut.
Kajian-kajian yang melibatkan dua sosiolog di atas memberi
sumbangsih bagi perkembangan metodologi-metodologi yang
menjelaskan relasi agama dan pembangunan suatu masyarakat,
termasuk ekonomi.Misalnya Kuntowijoyo menawarkan beberapa
pemikiran epistemologi bagaimana meletakkan agama sebagai sebuah
kekuatan energik dalam transformasi sosial. Misalkan dengan cara
integralisasi dan objektifikasi. Istilah yang disebut pertama dimulai
dari alur agama yang bersifat wahyu. Artinya, selain agama sumber
pengetahuan juga berasal dari manusia (teoantroposentrisme). Paduan
sumber pengetahuan, yaitu agama dan manusia disatukan dengan
kehendak post-modern yang mengusung metode holistik atau
interdisipliner sebagai penyempurnaan atau kritik terhadap
modernisme yang mengusung diferensiasi. Kuntowijoyo menyebutnya
dengan istilah dediferensiasi, yang berarti internalisasi agama ke dalam
kehidupan manusia.41
Tolak ukur dari agama adalah benar-salah, baik-buruk, serta
manfaat-merugikan. Terlepas dari hak-hak tersebut, manusia berperan
untuk memikirkan dinamika internal ilmu.42 Pada perkembangannya,
agama akan melahirkan ilmu objektif.43 Apa yang diungkapkan
Kuntowijoyo pada dasarnya menunjukkan bahwa agama dan
pembangunan merupakan dua entitas yang dapat disatukan melalui
metode integralisasi atau objektifikasi agama menjadi ilmu

41
Baca Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika, edisi kedua,
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), hlm. 53-55.
42
Ibid.
43
Ibid.
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 25

pengetahuan. Dan dapat dimanifestasikan dalam pembangunan


berbagai bidang termasuk ekonomi.
Dua metode yang diungkapkan oleh Kuntowijoyo meletakkan
agama sebagai sumber dengan norma agama menjadi titik pangkal
objektifikasi dan integralisasi dengan ilmu-ilmu yang lain. Sehingga
kontribusi agama melalui nilai-nilai yang ditawarkan menjadi jelas
dalam pembangunan terutama ekonomi sebagaimana yang diungkapkan
oleh Weber.Beberapa studi di atas menunjukkan relasi agama dengan
pembangunan berujung pada studi pandangan tentang agama sebagai
objek kajian dan ilmu sosial sebagai perspektif.Sehingga yang muncul
adalah agama dipandang sebagai sebuah realitas sosial atau agama itu
sendiri merupakan pembangunan sosial itu sendiri.
Taufik Abdullah mencoba menggali persoalan kemungkinan
hubungan yang saling mendukung antara kenyataan rohaniah dengan
sistem prilaku.Mencoba keluar dari “agama sebagai objek material”
menuju “etos kerja” dari masyarakat.Taufik misalkan mengutip definisi
etos yang diajukan oleh Geertz, yaitu sikap yang mendasar terhadap
diri dan dunia yang dipancarkan hidup.44Etos adalah aspek evaluatif,
yang bersifat menilai. Dalam hal ini bisa dipertanyakan: apakah kerja—
dalam hal yang lebih khusus usaha komersial—dianggap sebagai suatu
keharusan demi hidup, atau sesuatu yang imperatif dari diri, ataukah
sesuatu yang terikat pada identitas diri yang telah bersifat sakral?
Identitas diri yang dimaksud adalah suatu yang telah diberikan oleh
agama.Dalam sudut pembangunan, Taufik mencoba menelusuri asal-
usul sebuah etos atau sumber motivasi seseorang dalam perbuatannya.45
Pada konteks pembangunan ekonomi maka yang dipertanyakan adalah
dasar yang ampuh bagi apa yang biasa disebut sebagai pembangunan
tersebut. Bagaimana relasi agama dengan dasar tersebut.

44
Taufik Abdullah (ed.), Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi, (Jakarta: LP3ES, 1979),
hlm. 3.
45
Ibid.
26 Politik Ekonomi Islam...

Jika disadari, apa yang disebut pembangunan ekonomi itu


hanyalah suatu manifestasi dari motivasi yang ada di belakangnya,
dan bahwa motivasi itu erat hubungannya dengan agama atau ideologi
orang yang membangun maka mudah dimengerti bahwa tiap-tiap
pembangunan itu, di samping segi ekonominya ada pula segi
spiritualnya.46 Relasi ini tidak hanya cukup dibuktikan dengan relasi
psikologis apalagi apologetik belaka, melainkan harus didukung oleh
fakta sosial atau bahkan riset-riset kesejarahan.Berbagai studi telah
dilaksanakan untuk menguji kebenaran tesis bahwa ajaran agama yang
dianut mempengaruhi tingkat pencapaian dalam usaha.47 Tidak seperti
Mark, Weber menjauhkan diri dari mempersoalkan corak dan sifat
masyarakat kapitalis secara keseluruhan, ia lebih mempersoalkan
motivasi, dorongan psikologis dari tindakan.48 Sebagaimana yang
ditulis oleh Taufik, Weber tampak membuktikan hubungan antara
penghayatan agama dengan pola perilaku.
Sebagai sebuah perumpamaan dalam penelitian Weber, etika
yang dikaji bersal dari sekte Calvinisme yaitu tentang takdir dan nasib
manusia di hari nanti, yang menurutnya adalah merupakan kunci utama
dalam dalam hal menentukan sikap hidup dari para penganutnya.49
Keraguan atas kepastian nasib akan keselamatan tidak dapat dipastikan
dengan sendirinya atau tanpa berbuat apa-apa, maka untuk mewujud-
kan suatu kepercayaan diri akan nasib baik maka dibutuhkan suatu
kerja keras karena hanya dengan kerja keras keraguan religius bisa
diatasi.50 Dari uraian di atas tampak Weber sebagai seorang pelopor
ilmu sosial yang mengarahkan pada pemahaman tentang hubungan
timbal balik antara struktur sosial dengan kenyataan rohaniah; antara

46
Sjafruddin Prawiranegara, Agama dan Ideologi dalam Pembangunan Ekonomi dan Bangsa,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1971), hlm. 6.
47
Taufik Abdullah (ed.), Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi, hlm. 6.
48
Ibid., hlm. 13.
49
Ibid., hlm. 8.
50
Ibid.
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 27

dunia sosial dengan kesadaran, yang merujuk pada suatu yang suci
yang berada di atas alamiah, transendental dan adikodrati.51
Sebenarnya untuk menunjukkan relasi nilai agama dalam
pembangunan ekonomi dapat ditempuh menggunakan dua pendekatan,
yaitu pendekatan normatif-tekstual dan pendekatan sosial-kontekstual.
Pada pendekatan pertama secara mudah dilacak dogma-dogma agama
yang memungkinkan atau yang sangat radikal mendukung pembangunan
ekonomi kemudian dikonstruk berdsarkan teorinya integralisasi dan
objektifikasi Kuntowijoyo. Jika menggunakan suatu pendekatan sosial-
kontekstual, maka salah satu concern-nya adalah melihat kembali
historisitas agama baik secara mikro maupun makro.Salah satunya
misalkan, mengkaji menggunakan analisis sejarah tentang bergaining
position agama pada konteks sejarahnya yang panjang. Kedua
pendekatan tersebut dapat saja dikatakan pendekatan dialektika
pembangunan ekonomi dalam teks dan dialektika pembangunan ummat
dalam perjalanan sejarah agama tersebut.

2.2.1. Nilai Agama, Etos Kerja dan Produktivitas


Manusia
Sebagaiman yang telah dijelaskan di atas, bahwa Weber
memperlihatkan doktrin predestinasi dalam protestanisme mampu
melahirkan sikap berpikir rasional, berdisiplin tinggi, bekerja tekun
sistematik, berorientasi sukses (material), tidak mengumbar
kesenangan, namun hemat dan bersahaja (asketik), serta menabung
dan berinvestasi, yang akhirnya menjadi titik tolak berkembangnya
kapitalisme di dunia modern. Sejak Weber menelurkan The Protestant
Ethic and the Spirit of Capitalism, berbagai studi tentang etos kerja
berbasis agama sudah banyak dilakukan dengan hasil yang secara umum
mengkonfirmasikan adanya korelasi positif antara sebuah sistem
kepercayaan tertentu dan kemajuan ekonomi, kemakmuran, dan

51
Ibid., hlm. 18.
28 Politik Ekonomi Islam...

modernitas.Misalkan tesis Rosmiani yang menyebutkan etos kerja


terkait dengan sikap mental, tekad, disiplin dan semangat kerja.Sikap
ini dibentuk oleh sistem orientasi nilai-nilai budaya, yang sebagian
bersumber dari agama atau sistem kepercayaan/paham teologi
tradisional.Ia menemukan etos kerja yang rendah secara tidak langsung
dipengaruhi oleh rendahnya kualitas keagamaan dan orientasi nilai
budaya yang konservatif turut menambah kokohnya tingkat etos kerja
yang rendah itu.52
Penelitian tentang etos kerja dan relevansinya dengan nilai
agama terbatas pada kajian yang pada dasarnya mencoba membangun
kembali relasi kedua entitas tersebut.Penelitian tersebut hanya sebagian
kecil dari sistem ekonomi yang melibatkan manusia beragama sebagai
pelaku ekonomi atau agensi ekonomi menurut perspektif Giddens.Jika
atensi yang dibangun adalah relevansi dogma agama dengan wacana
produktifitas manusia dalam sektor ekonomi, maka kajiannya harus
juga memasuki pola mikro ekonomi, yaitu pada tahap sistem ekonomi
dan bagaimana sistem ekonomi itu tersusun. Proses pembentukan atau
penyempurnaan sistem inilah akan dilihat manuver-manuver nilai
agama, yang lebih mudah dikaji dengan pendekatan simbol.
Setiap sistem ekonomi,53 dibangun berdasarkan seperangkat
nilai-nilai yang membentuk kerangka organisasi ekonominya yang

52
Baca Rosmiani, “Etos Kerja Nelayan Muslim di Desa Paluh Sebaji Deli Serdang Sumatera
Utara: Hubungan Antara Kualitas Keagamaan dengan Etos Kerja”, Thesis, (Pada Program
Kerjasama Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri Jakarta dan Pascasarjana UI Jakarta,
1996).
53
Secara umum sistem ekonomi yang dimaksud adalah sistem ekonomi kapitalis, sistem ekonomi
sosialis, sistem ekonomi demokrasi (khusus indonesia) dan sistemekonomi berbasis agama
(misalnya, wacana sistem ekonomi Islam). Misalnya pada konsepsi tentang kemiskinan,
kapitalisme akan beranggapan bahwa kemiskinan adalah masalah orang-orang atau negara
itu sendiri. Kapitalisme akan cenderung berpandangan bahwa kemiskinan disebabkan oleh
yang bersangkutan itu malas, kurang punya kemauan untuk berprestasi, atau terperangkap
dalam sistem nilai budaya yang tidak menghargai kekayaan material. Oleh karena itu,
kemiskinan baru dapat diatasi dengan “menggarap” si miskin atau negara miskin tersebut,
membuatnya lebih termotivasi untuk bekerja, meningkatkan keterampilannya, dan mengubah
nilai budayanya. Sedangkan sosialisme akan mengangap ketimpangan dan kemiskinan yang
terjadi dalam sistem kapitalis disebabkan oleh adanya pemilikan atau penguasaan secara
pribadi terhadap alat-alat produksi. Akibatnya, pera pemilik atau penguasa tersebut (para
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 29

memiliki hierarki tertentu sehingga dapat dilihat hubungan-hubungan


antara nilai dan interaksinya. Dengan demikian, akan dapat dijelaskan
eksistensi sistem ekonomi tersebut.54 Secara aksiologis hierarki nilai-
nilai tersebut akan menunjukkan adanya hierarki strategi dan taktik
untuk suatu kerangka referensi yang bersifat tetap (absolut) dan yang
selalu berubah-ubah. Nilai-nilai tersebut adalah konsepsi abstrak yang
memberikan bentuk dan arah kebijakan strategi ekonomi.
Pada dasarnya, sistematik nilai dari setiap sistem ekonomi adalah
sama, yang membedakan adalah substansi nilai tersebut yang
ditentukan oleh agama atau aliran pemikiran tertentu.55 Perangkat nilai-
nilai itu di satu pihak terkait dengan keyakinan atau pandangan filosofis
tentang kegiatan kegiatan ekonomi, dan di pihak lain berhubungan
dengan interaksi nilai nilai yang ada yang membentuk perangkat nilai
dasar dan nilai instrumental bagi kegiatan ekonomi yang dikehendaki
oleh sistem.56 Yang disebutkan kedua tampaknya cenderung pada
pragmatisme tujuan ekonomi yang dihasilakan melalui sebuah refleksi
kehidupan sehari-hari dan menghasilakan nilai tersebut. Dengan kata
lain perangkat nilai-nilai tersebut adalah akumulasi nilai yang diterima
oleh masyarakat dalam interaksi kehidupannya dan melahirkan
konsepsi ekonomi. Pada tataran tataran inilah, agama sebagai sumber
nilai-nilai yang paling otoritatif mendominasi tatanan nilai yang ada
kapitalis) dapat mendikte melalui mekanisme pasar bebas (di mana posisi mereka kuat) tentang
pola pembagian laba produksi. Pemilik atau penguasa alat produksi memperoleh bagian yang
sangat besar, para pekerja mendapat porsi yang kecil saja sehingga melahirkan ketimpangan
dan kemiskinan. Terapi yang ditawarkan adalah penghapusan pemilikan atau penguasaan
pribadi atas alat produksi beralih ke tangan masyarakat secara keseluruhan bukan ke segelintir
individu. Berbeda dengan kedua model sistem sebelumnya, sistem demokrasi tidak
mempermasalahkan jenis sistem yang diterapkan, melainkan pada partisipasi publik dalam
pengambilan keputusan oleh negara, khususnya dalam mengatur pola pembagian kekayaan
yang dihasilakn. Kesuksesan dekmoratisasi lah yang bertanggung jawab dalam problem
kesenjangan dan kemiskinan. Baca Arief Budiman, “Kemiskinan, Pemiskinan, dan Peran
Agama: Sebuah Peta Pemikiran” dalam JB. Banawiratma, SJ., dkk. (ed.), Iman, Ekonomi, dan
Ekologi: Refleksi lintas Ilmu danLintas Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 31-35.
54
Anwar Abbas, Bung Hatta dan Ekonomi Islam, (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2010),
hlm. 9.
55
Ahmad M. Saefuddin, Studi Nilai-Nilai Sistem Ekonomi Islam, (Jakarta: Media Da’wah,
1984), hlm. 14. Lihat dalam Anwar Abbas, Bung Hatta dan Ekonomi Islam, hlm. 10.
56
Anwar Abbas, Bung Hatta dan Ekonomi Islam, hlm. 10.
30 Politik Ekonomi Islam...

dalam masyarakat, meskipun agama dalam lintasan historisnya selalu


bergumul dengan nilai-nilai umum konteks kehidupan masyarakat.
Menurut Ahmad M. Saefuddin, terdapat tiga komponen penting
yang menyusun eksistensi suatu sistem ekonomi, yaitu: (1) filsafat
sistem; (2) nilai dasar sistem; dan (3) nilai instrumental sistem.57 Pada
komponen filsafat sistem, yang menjadi concern adalah prinsip dasar
yang memiliki relasi ketat dengan doktrin kehidupan yang terstruktur
dalam pola relasi.Misalnya relasi manusia dengan Tuhan, relasi sesama
manusia, dan relasi manusia dengan alam (potensi alam).58 Filsafat sistem
(doktrin-doktrin) tersebut kemudian melembaga dan membentuk
pranata nilai (nilai dasar sistem) yang akan membangun kerangka sosial,
legal, dan tingkah laku. Dari prinsip-prinsip dasar itulah, dirumuskan
nilai instrumental sistem sebagai perangkat peraturan permainan yang
menjamin pelaksanaan atau yang menggerakkan sistem itu bekerja.59
Dengan kata lain, nilai instrumental sistem ini adalah kongkretisasi
filsafat (doktrin-doktrin) dan nilai-nilai dasar sistem menjadi tindakan
nyata. Pada konsepsi ini lah, nilai-nilai agama yang mendominasi
kehidupan manusia melembaga dengan bentuk “etos kerja”.
Untuk menunjukkan pertautan antara nilai agama dengan etos
kerja dan produktivitas manusia baru bisa digambarkan dalam sebuah
analisis kasus yang benar-benar terjadi.Tentu saja disiplin yang relevan
untuk memaparkannya adalah semiotika. Dalam kehidupan sehari-
hari, seperti yang ditulis oleh Muhammad Djakfar tentang pandangan
orang Suralaya tentang kerja keras.60 Djakfar mengambil sample,

57
Ahmad M. Saefuddin, Studi Nilai-Nilai Sistem Ekonomi Islam, hlm. 14-15. Lihat dalam
Anwar Abbas, Bung Hatta dan Ekonomi Islam, hlm. 10.
58
Ibid.
59
Ibid. Sebagai sebuah perumpamaan, dalam Islam dikenal istilah Fikih Mua’malah. Secara
kontekstual, fikih ini adalah instrumen (dalam bentuknya sebagai hukum) menjadi arena
negosiasi doktrin-doktrin ketuhanan dan prinsip-prinsip amal saleh dalam Islam dengan
realitas ekonomi yang dihadapi oleh ummat. Maka di sini, Fikih Mu’amalat sebagai perangkat
peraturan permainan yang berisi perkawinan dogma agama dengan interaksi ekonomi manusia.
60
Baca Muhammad Djakfar, Agama, Etika, dan Ekonomi: Wacana Menuju Perkembangan
Ekonomi Rabbaniyah, cet. 1, (Malang: UIN Malang Press, 2007), hlm. 234.
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 31

bagaimana Haji Saptir, Guntur dan Asnen.Bagi Guntur bekerja keras


merupakan bagian dari ibadah, yaitu ibadah sosial. Begitu juga Saptir
yang berpendapat setiap muslim harus berjuang guna memperoleh
sesuatu. Sedangkan Asnen yang mencoba peruntungan dengan usaha
bengkel las. Asnen mendirikan mendirikan bengkel las sejak tahun 1985
dengan nama “Sumber Rejeki” dan tiga tahun kemudian dia mengganti
namanya dengan “Berkah”.
Ketika Asnen ditanya tentang alasan perubahan nama bengkel
lasnya, Asnen menjelaskan bahwa ushul perubahan tersebut disarankan
oleh guru spiritual Asnen yang menurut Asnen harus dipatuhi. Nama
yang lama “Sumber Rejeki” menurut guru spiritualnya Asnen nama
tersebut tidak memberi peruntungan yang baik sehingga diubah
menjadi “Barokah” guna mengingatkan Asnen bahwa ia bekerja melalu
barokah sebagai tanggung jawabnya kepada keluarga.61 Contoh bengkel
las Asnen yang diberi nama “Barokah” yang notabene berasal dari
bahasa Arab menjadi fenomena umum dalam kehidupan sehari-hari.
Kata barokah dalam nama bengkel las Asnen menjadi harapan dan doa
kesehariannya karena hal itu berkaitan dengan agama. Hal ini berarti,
kata barokah mengandung nuansa keagamaan sekaligus merupakan
simbol yang dimaknai keberuntungan dalam segala aspek kehidupan.
Secara umum, pada masyarakat Suralaya terdapat simbol-simbol
keagamaan yang berfungsi sebagai mediator yang mengungkap sebuah
makna ajaran agama yang pada akhirnya dapat berimplikasi dalam
prilaku masyarakat. Maka simbol-simbol keagamaan seperti, memakai
peci putih (dari Mekkah), pergi berhaji, menjadi ulama/ustadz, menaati
guru, membangun masjid atau surau, selametan, tahlilan, kirim doa,
dan ziarah kubur sangat penting untuk dikaji orientasinya membentuk
formasi ekonomi dalam masyarakat Suralaya.62 Maka ungkapan J.
Biesanz dan M. Biesanz sebagaimana yang dikutif oleh Holt “Each
society has its own characteristic quality, its own ethos that springs
61
Ibid., hlm. 239.
62
Ibid., hlm. 238.
32 Politik Ekonomi Islam...

from many contributing factors, but particularly from the beliefs and
values around which its culture is integrated”63 dapat dijadikan sebuah
perspektif untuk membenarkan relasi positif antara agama dan
produktivitas manusia, meskipun di satu sisi terdapat faktor yang lain.
Berdasarkan pemaparan di atas maka dapat disederhanakan
bahwa nilai-nilai agama memiliki peluang etis untuk mengkonstruksi
tindakan manusia melalui mekanisme transformatif dari tataran nilai
menjadi etos kerja dan melahirkan semangat produktivitas ekonomi
yang menjanjikan.Tetapi untuk merealisasikan hal tersebut bergantung
pada eksistensi agency dalam mereproduksi dan melestarikan nilai
tersebut ke etos kerja yang berkesinambungan dan kontekstual
sehingga produktivitas dapat dimonitoring setiap saat.

2.2.2. Transformasi Nilai Agama dalam Perilaku


Ekonomi
Transformasi nilai agama ke dalam perilaku ekonomi pada
awalnya berlangsung secara non-organik. Untuk bertransformasi
secara berkesinambungan pada tindakan riil, agama harus merasuki
sektor organik yang mampu bergerak pada dimensi ruang dan waktu.
Karena tindakan ekonomi pada awalnya adalah tindakan dalam batas
ruang dan waktu, maka agama pada upaya ini, sangat relevan mewadah
ke dalam institusi-institusi ruang yang hidup dalam masyarakat.
Transformasi nilai agama ke dalam institusi akan lebih mudah mem-
bentuk perilaku ekonomi secara organik dan terarah. Ketika agama
melekat pada institusi-institusi lembaga sosial, maka nilai agama, yang
sebelumnya abstraksi, memasuki dimensi riil yang dapat memotori
secara langsung prilaku ekonomi suatu komunitas (atau “tindakan”
ekonomi seorang individu).
Transformasi nilai agama menjadi institusi-institusi riil akan
sangat penting, sebagaimana Durkheim yang mengkategorikan

63
Thomas Ford Holt, Dictionary of Modern Sociology, (New Jersey: Littlefield, 1974), hlm. 124.
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 33

pendidikan moral64 sebagai sebuah fakta sosial yang didefinisikan


sebagai cara bertindak, berpikir dan merasakan sesuatu yang berada
di luar individu dan dilengkapi dengan alat pemaksa yang dapat
mengontrol individu. Konsekuensinya, fakta sosial, yang notabene, di
luar diri dapat menguasai individu tersebut. Transformasi ini, dapat
ditemukan dengan mengamati perilaku manusia (atau gerakan sosial)
dan bukan dengan memeriksa isi pikiran individu tersebut.65
Untuk mengerucutkan bahasan ini, yang ingin diungkapkan
adalah bagaimana nilai-nilai agama bertransformasi menjadi perilaku
ekonomi, sebenarnya dapat disederhanakan dalam istilah “kesalehan
ekonomi”.66 Untuk melihat transformasi nilai agama ke dalam perilaku
ekonomi dapat dipaparkan dengan dialektika antara simbol agama
dengan simbol ekonomi. Dialektika dimaknai sebagai proses timbal balik.
Misalnya penjelasan Peter L Berger tentang manusia dan masyarakat.

Masyarakat adalah suatu fenomena dialektika, dalam penegrtian


bahwa masyarakat adalah suatu produk manusi, lain tidak, yang
akan memberi tindak balik kepada produsernya. Masyarakat adalah
suatu produk dari manusia. Masyarakat tidak mempunyai bentuk
lain kecuali bentuk yang telah diberikan kepadanya oleh aktivitas
kesadaran manusia. Realitas sosial tak terpisah dari manusia, sehingga
dapat dipastikan bahwa manusia adalah suatu peroduk masyarakat.67

64
Moralitas dalam teori Durkheim bertumpu pada tiga sikap dasar: (1) moralitas dipandang
sebagai fakta sosial yang keberadaannya subjektif, sebagai fenomena sosial yang terukir dari
kaidah-kaidah tindakan yang dapat dikenali; (2) moralitas merupakan suatu yang bersifat
fungsional yang berarti melakukan tindakan tertentu yang secara moral dibenarkan, berarti
melakukan tindakan berdasarkan kepentingan kolektif; dan (3) moralitas secara historis terlihat
secara evolutif dan berubah sesuai dengan struktur sosial. Taufik Abdullah dan A.C. van Der
Leeden (ed.), Durkheim dan Pengantar Sosiologi Moralitas, (Jakarta: Obor, 1986), hlm. 11.
65
Mark S. Cladis, Emile Durkheim and Moral Education a Pluralistic Society, (New York: First
Publish, 1998), hlm. 18-20.
66
Kesalehan di sini dimaknai secara umum, meskipun kata saleh sendiri lebih cenderung
merujuk pada normatifitas Islam. Ketika dilekatkan dengan kata-kata non-normatif seperti kata
“ekonomi”, “sosial”, dan “publik”, maka kata kesalehan menunjuk pada etos atau sikap sosial
secara umum. Dengan kata lain kandungan bahasa Arab pada kata tersebut telah direduksi
dan kemudian menjadi pranata umum dan tidak melekatkan satu ideologi tetapi ideologi
bersama. Kata saleh sudah dianggap sebagai fenomena nasional. Makna kata “kesalehan
ekonomi” sepadan dengan kata-kata yang telah lama dikenal, seperti “kesalehan sosial” atau
“kesalehan publik” yang tidak membedakan agama, ras, etnis, dan golongan apapun.
67
Peter L. Berger, Langit Suci: Agama Sebagai Realitas Sosial, terj. Hartono, (Jakarta: LP3ES,
1991), hlm. 3.
34 Politik Ekonomi Islam...

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Berger tersebut maka suatu


masyarakat terbentuk dalam sirkulasi sejarah yang penuh dengan
dialektika. Konsekuensinya adalah, untuk melihat transformasi nilai
agama ke dalam prilaku manusia sama dengan melihat proses dialektis
sebagai interrelasi antara entitas yang ada. Proses dialektis tersebut
dapat dijelaskan dengan menjelaskan hubungan logis antar entitas,
yakni hubungan antara simbol-simbol agama dengan simbol-simbol
ekonomi yang bisa berpengaruh pada etos kerja yang tinggi.68 Dengan
menggunakan bahasa simbol, dialektika tersebut bisa diilustrasikan
sebagai berikut.

Agar bisa melaksanakan ritual haji dan mudik, seorang pasti mem-
butuhkan dana yang cukup. Oleh karena itu ia harus bekerja keras
membanting tulang untuk mengumpulkan dana tersebut. Haji dan
mudik adalah simbol agama. Dana yang cukup berarti harus “kaya”.
Kaya adalah simbol ekonomi. Bekerja keras adalah etos kerja.69

Sebagai contoh lain dapat dilihat dalam ritual ngaben pada


masyarakat Bali yang beragama Hindu. Untuk sampai pada ritual
tersebut, sebelum mayat dibakar harus dilengkapi aksesoris yang
lumayan banyak, sehingga dana untuk mengumpulkannya juga harus
banyak. Maka tuntutannya adalah harus bekerja keras, hidup hemat
dan tidak boros, serta melaksanakan hukum waris yang sesuai dengan
ajaran Hindu. Sama halnya dengan haji, ngaben juga simbol agama
Hindu yang terdiri dari nilai-nilai atau filsafat Hindu. Untuk menjamin
terlaksananya ritual agama hindu tersebut, seseorang semasa hidupnya
harus bekerja keras untuk mengumpulkan dana demi ketenteramannya
setelah mati. Kerja keras tersebut adalah etos (dalam bahasa yang
konkret adalah perilaku ekonomi).

68
Muhammad Djakfar, Agama, Etika, dan Ekonomi: Wacana Menuju Perkembangan Ekonomi
Rabbaniyah, hlm. 268.
69
Ibid., hlm. 269. Haji dan mudik sebagaimana yang dijelaskan di atas merupakan simbol
keagamaan bagi orang Madura.
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 35

Dalam kajiannya sebagai nilai, simbol-simbol tersebut


merupakan representasi ruang dan waktu dari serangkaian nilai-nilai
keagamaan dan ekonomi. Interrelasi antara simbol-simbol tersebut
berada pada etos, yaitu etos kerja, sama halnya sebagaimana yang
diungkapkan oleh Weber dalam Protestant Ethic. Maka dengan bahasa
yang sederhana, kesalehan ekonomi terletak pada eksistensi etos kerja
yang tinggi dalam kehidupan, yang tidak lain adalah manifestasi spirit
keagamaan dan prilaku ekonomi.
Jika pada contoh di atas dijelaskan dengan interrelasi simbol-
simbol yang menghasilakan prilaku ekonomi, maka dengan pendekatan
internalisasi dan objektifikasi bisa menghasilakan tatanan organisasi
keagamaan. Misalnya organisasi masa Islam Muhammadiah atau
Nahdlatul Ulama, atau persatuan-persatuan greja di Indonesia yang
bergerak dalam bidang sosial-ekonomi. Gampang saja, nilai-nilai
agama, kesamaan agama mengumpulkan beberapa orang membentuk
suatu komunitas yang berhubungan dengan gerakan-gerakan sosial
yang notabene diawali oleh kesadaran beragama. Agama-agama
menyediakan doktrin tentang ketuhanan sekaligus tentang hubungan
manusia dengan sesama manusia bahkan alam. Maka potensi inilah
yang digali untuk merumuskan perilaku ekonomi tersebut.

2.3. Tokoh Agama sebagai Agen Perubahan


Salah satu agenda besar kemunculan agama sebagai ideologi
sosial adalah untuk mewujudkan masyarakat yang sejalan dan searah
dengan cita-cita serta visi transformasi sosial.70 Berdasarkan sudut
pandang sosiologi, agama tidak hanya sebagai pranata ketuhanan tetapi
juga merupakan ideologi sosial yang berposisi sebagai pranata pokok
bagi setiap pemeluknya. Kuntowijoyo dalam artikel “Paradigma Islam
tentang Transformasi Sosial” menyebutkan bahwa semua ideologi atau
filsafat sosial, dihadapkan pada suatu pertanyaan pokok, yaitu
70
Lihat Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi, cet. VI (Bandung: Penerbit
Mizan, 1993), hlm. 337.
36 Politik Ekonomi Islam...

bagaimana mengubah masyarakat dari kondisinya yang sekarang


menuju pada keadaan yang lebih dekat dengan tatanan ideal.71
Dalam pendekatan sosiologi, agama sebagai institusi moral, etik,
ideologi bahkan tatanan sosial dipandang secara holistik atau struktural.
Konsekuensinya, agama dalam percaturan sosial tidak berjalan sendiri
melainkan melekat pada perangkat-perangkat struktural yang
memungkinkan agama tersebut aktif dalam dimensi nyata (ruang dan
waktu) pemeluknya.Perangkat struktural dapat berupa agen-agen atau
aktor-aktor yang memiliki akses dominan terhadap agama. Agen atau
aktor tersebut dapat disebut sebagai tokoh agama.
Secara nalar, tokoh agama bisa dimaknai sebagai deputi kekuasaan
atau agen yang menerima otoritas keagamaan. Seperti disebutkan
Giddens, bahwa ada dua wajah kekuasaan seperti yang diungkapkan
oleh Bachrach dan Baratz.72 Mereka menggambarkan kedua wajah
kekuasaan ini sebagai kemampuan para aktor dalam melaksanakan
keputusan-keputusan yang mereka sukai di satu sisi dan mobilisasi
bias yang dilekatkan ke dalam institusi-instutusi di sisi lain.73 Menurut
Giddens, pandangan ini tidak seluruhnya memuaskan karena memper-
tahankan konsepsi kekuasaan yang didasarkan pada kalah menang
(zero-sum). Giddens merekomendasikan konsep dualitas struktur74

71
Ibid.
72
Peter Bachrach dan Morton S. Baratz, “The Two Faces of Power” American Political Science
Power, Vol. 56, 1956. Dalam Anthony Giddens, Teori Strukturasi: Dasar-Dasar Pembentukan
Struktur Sosial Masyarakat, terj. Maufur dan Daryatno, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010) ,
hlm. 60.
73
Anthony Giddens, Teori Strukturasi: Dasar-Dasar Pembentukan Struktur Sosial Masyarakat,
hlm. 24.
74
Konsep dualitas yang dimaksud ialah relasi antara agensi dan struktur yang perwujudannya
berupa praktik sosial (social practices) yang dapat dilihat dalam kehidupan masyarakat sehari-
hari. Praktis sosial itulah sebagai wujud nyata kehidupan sosial manusia dalam masyarakat
atau masyarakat sebagai manfistasi kehidupan kolektif manusia, yang menggambarkan hubungan
saling timbal-balik. Konsep praktis sosial Giddens sebagai esensi dari perwujudan strukturasi
mirip dengan konsep tindakan sosial (social action) Max Weber, namun perbedaannya Giddens
lebih melihatnya sebagai relasi dualitas sedangkan Weber lebih menekankan pada perilaku
aktor yang lebih menunjukkan dualisme dengan tekanan terletak berada pada pengaruh
subjek (pelaku, subjek, agen) yang bertindak penuh makna. Baca Haedar Nashir, “Memahami
Strukturasi dalam Perspektif Sosiologi Giddens” Jurnal Sosiologi Reflektif Vol. 7, No. 1,
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 37

dalam relasi-relasi kekuasaan.Sarana atau sumber daya (yang terpusat


melalui signifikansi dan legitimasi) merupakan kelengkapan-
kelengkapan terstruktur dari sistem-sistem sosial, yang diproduksi dan
direproduksi oleh para agen pintar selama terjadi interaksi.
Giddens yang terkenal dengan konsep strukturasinya mencoba
mendefinisikan bahwa struktur merujuk kepada aturan, sarana maupun
sumber daya dengan perlengkapan-perlengkapan struktural yang
memungkinkan adanya pengikatan ruang dan waktu yang akan meng-
hasilkan praktik-praktik sosial dalam sistem sosial kehidupan
masyarakat.75 Struktur menurut Giddens, ialah “hal-hal yang menstruktur-
kan (aturan dan sumberdaya), hal-hal yang memungkinkan adanya
praktik sosial yang dapat dipahami kemiripannya di ruang dan waktu
serta yang memberi mereka bentuk sistemis”.76 Dalam pengertian ini
Tokoh agama sebagai agen yang memiliki sumber daya maksimum,
memiliki legitimasi atas nama agama untuk mereproduksi kembali
sturuktur-struktur itu dalam aktivitas-aktivitas keagamaan yang rutin.
Dalam pandangan Giddens, berdasarkan konsep ‘dualitas
struktur’ dalam hubungan antara agen dan struktur (agency and
structure), bahwa ‘struktur’ merupakan medium sekaligus hasil dari
tindakan yang ditata secara berulang oleh struktur.77 Agen atau pelaku
adalah orang-orang yang konkret dalam arus kontinu antara tindakan
dan peristiwa. Sedangkan struktur adalah “aturan (rules) dan sumber
daya (resources) yang terbentuk dari dan membentuk perulangan
praktik sosial”.78

Oktober 2012, hlm 8. Sebagai komparasi dapat dibandingkan dengan istilah yang diajukan
oleh Kuntowijoyo, yaitu binary opposition (pertentang dua hal). Lihat Kuntowijoyo, Muslim
Tanpa Masjid, (Bandung: Penerbit Mizan), hlm. 14-15.
75
Haedar Nashir, “Memahami Strukturasi dalam Perspektif Sosiologi Giddens” Jurnal Sosiologi
Reflektif Vol. 7, No. 1, Oktober 2012, hlm. 3.
76
Goerge Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai
Perkembangan Mutakhir, terj. Nurhadi, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2008), hlm. 571.
77
Haedar Nashir, “Memahami Strukturasi dalam Perspektif Sosiologi Giddens”, hlm. 3.
78
B. Herry-Priyono, Anthony Giddens: Suatu Pengantar, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia,
2002), hlm. 19.
38 Politik Ekonomi Islam...

Aturan-aturan atau sumber daya sebagaimana pandangan


Giddens adalah hal abstrak yang terpisah dari ruang dan waktu.Aturan-
aturan tersebut memiliki atribut yang memungkinkannya eksis pada
dimensi ruang dan waktu.Atribut tersebut disebut perlengkapan
struktural.Melalui perlengkapan struktural tersebut praktik-pratik
sosial dalam sistem-sistem sosial kehidupan dapat berlangsung.Tokoh
agama adalah salah satu atribut struktural yang memungkinkan pengikatan
ruang dan waktu.Agama sendiri menjadi institusi yang melembagakan
struktur tersebut (aturan-aturan dan sumber daya).Tokoh agama dan
agama terrelasi dalam aturan-aturan agama dan melahirkan otoritas
sebagai sumber daya (meskipun menurut Giddens otoritas bukanlah
sumberdaya)79 dalam patronasenya dengan pemeluk agama.
Pada upaya transformasi sosial atau perubahan sosial menuju
keidealan, peran tokoh agama sebagai agen semakin signifikan.Akses
tokoh agama tersebut terhadap institusi agama menjadi leading sector
utama dalam mempertahankan pranata tersebut sebagai media
transformatif.Agen perubahan pada mulanya diletakkan di luar diri
manusia dan di luar kehidupan masyarakat, yang lebih khusus diletakkan
pada kekuasaan supranatural.80 Pada perkembangan selanjutnya, agen
perubahan ditempatkan di dalam diri “manusia besar” seperti nabi
pahlawan, pahlawan, pemimpin, komandan, penemu, pencipta,
manusia jenius dan sebagainya.81 Merekalah penggerak masyarakat,
namun kapasitas karismatik mereka bukan berasal dari masyarakat.
Kapasitas tersebut diyakini mereka sejak lahir, diwarisi secara genetis
dan dikembangkan secara individual.82 Pada fase ini agen perubahan
mulai dimanusiakan, namun belum dimasyarakatkan. Dengan lahirnya
sosiologi, terjadi peristiwa yang sangat mengejutkan, yaitu agen
perubahan mulai dimasyarakatkan dan bahkan memiliki peran sosial.

79
Lihat Anthony Giddens, Teori Strukturasi: Dasar-Dasar Pembentukan Struktur Sosial
Masyarakat, hlm. 25.
80
Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan, terj. Alimandan, (Jakarta: Prenanda), hlm. 223.
81
Ibid.
82
Ibid.
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 39

Contoh konkret pada skup lokal, misalnya dalam kehidupan


sosial keagamaan di Lombok pemuka agama Islam disebut tuan guru.
Gelar tuan guru adalah sebutan yang diberikan oleh masyarakat bagi
seseorang yang memiliki pengetahuan agama Islam yang tinggi, sebagai
wujud pengakuan mereka terhadap kelebihan-kelebihan yang dimiliki
seseorang.83 Tuan guru sebagai tokoh agama memiliki aktivitas sehari-
hari memberikan ceramah pengajian pada hari-hari tertentu, menjadi
konsultan keagamaan Islam apabila terjadi perbedaan paham dalam
masyarakat, pemimpin doa kematian, bahkan mengajar di instansi
pendidikan Islam lokal. Pada dasarnya aktivitas tuan guru dalam
kehidupan sehari-hari didominasi oleh kegiatan dakwah di tengah-
tengah masyarakat dan mengajar pada institusi-institusi pendidikan
keagamaan.
Rutinasi sebagaimana di atas merupakan upaya produksi dan
reproduksi struktur dalam dimensi ruang dan waktu sebagaimana yang
diajukan Giddens.Titik tolak Giddens adalah praktik atau tindakan
manusia yang dapat dilihat sebagai pengulangan. Artinya, suatu
aktifitas tidak dihasilkan sekali jadi melainkan dihasilkan secara terus
menerus melalui suatu cara yang kemudian memunculkan seorang
tokoh yang menyebut dirinya sebagai aktor.84 Tokoh agama sebagai
agen terlibat dalam rutinasi tersebut dengan terus menerus memonitor
pemikiran dan aktifitas mereka sendiri.85 Tokoh agama dalam rutinasi
tersebut bersama dengan agen kolektif (pemeluk agama, asosiasi
ekonomi, politik, kelompok tugas, asosiasi, tentara, dan sebagainya)
melakukan interaksi dan mereproduksi struktur secara terus menerus,
sehingga membentuk suatu struktur parenial yang dinamis dan suatu
saat siap direvisi sesuai keadaan ruang dan waktu.

83
Jamaludin, Sejarah Sosial Islam di Lombok Tahun 1740-1935 (Studi Kasus Terhadap Tuan
Guru), (ttt: Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang d an Diklat Kementerian
Agama RI, 2011), hlm. 142. Padanan istilah tuan guru adalah kiai untuk daerah Jawa.
84
Siti Rohmatul Fauziah, “Peran Tokoh Agama Dalam Masyarakat Modern Menurut Anthony
Giddens” Skripsi (Yogyakarta: Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam), hlm. 64.
85
Ibid.
40 Politik Ekonomi Islam...

Kemampuan tokoh agama dalam memahami dan melaksanakan


pranata normatif agama menjadi titik awal dalam memperoleh
legitimasi dari agen kolektif.Pada keadaan itu pula tokoh agama menjadi
aktor yang memainkan hegemoni keagamaan dengan status elit
agama.Keadaan semacam ini memungkinkan tokoh agama bisa
memberikan kontribusi ke agen kolektif baik dengan berbagai peran
misalnya sebagai pendidik moral berbasis kearifan agama baik yang
mencakup humanisasi ataupun transendensi. Pada tingkat yang lebih
akademis, dengan kemampuannya dan segala karismanya, tokoh
agama sangat mungkin merasionalisasikan norma-norma agama yang
sulit dipahami menjadi penafsiran yang lebih sederhana dan relevan
bagi kebutuhan pemeluk agama atau bahkan untuk menjaga eksistensi
agama itu sendiri atau mengikuti trend toleransi atau bahkan sebagai
tanggung jawab kenegaraan.
Jika mencoba melihat salah satu sejarah tokoh agama sekaligus
sejarah kebangsaan di Jawa Timur, yaitu pada peristiwa menjelang
pertempuran 10 November melawan Inggris yang tergabung dalam
AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) atas nama Blok Skutu.86
Peristiwa tersebut juga melibatkan tokoh agama misalnya KH. Hasyim
Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah dan santri-santrinya.Pada saat itu, salah
satu doktrin yang menjadi motivasi perjuangan adalah membela tanah
air tidak hanya kewajiban berbangsa tetapi juga sebagai bagian
kewajiban agama.Kelenturan doktrin agama sebagaimana disebutkan
tersebut menjadi penjelasan bahwa tokoh agama selalu aktif
memformulasikan struktur guna memainkan peran perubahan sosial.
Peran yang berbeda misalkan sebagai agen utama yang
mengukuhkan solidaritas sosial terutama di daerah-daerah pedesaan
yang memiliki basis masyarakat keagamaan yang relatif kental. Pada
kondisi semacam ini tokoh agama bertindak sebagai pemimpin sosial
guna melaksanakan ritual keagamaan yang teratur, bahkan ritual adat
akan tetapi dibumbui nilai-nilai keagamaan. Salah satunya adalah ritual
86
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Peristiwa_10_November akses pada tanggal 20 juli 2015.
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 41

selametan, yang tidak lain sebagai sebuah strategi masyarakat pedesaan


untuk melestarikan soliditas dan solidaritas sosial. Selain itu dalam
sejarah pemukiman warga tepi Kali Code Yogyakrta, salah seorang
pastor, yaitu Y.B. Mangunwijaya yang terkenal dengan Romo Mangun,
menjadi salah satu aktifis sosial yang membela kepentingan wong cilik.
Beberapa tokoh agama yang disebutkan sebagai contoh di atas
adalah hal-hal kongkrit yang menunjukkan peran tokoh agama sebagai
agen perubahan baik secara langsung maupun melalui aktifitas-aktifitas
sehari-hari atau rutinisasi sebagaimana konsep Giddens atau tesis
Kuntowijoyo bahwa agama dapat menjadi panji perjuangan rakyat
jelata jika ia memiliki analisis yang tepat mengenai formasi sosial yang
ada.87 Maka Indonesia sebagai negara bangsa yang beragama (religiuos
nation state) tidak terlepas dari posisi strategis tokoh agama sebagai
salah satu tulang punggung pembangunan nasional.

2.3.1. Model Interpretasi Nilai Agama oleh Tokoh


Agama
Pada dasarnya setiap kajian baik eksak maupun sosial humaniora
selalu memperhatikan laju dan perkembangan zaman.Agama sebagai
suatu kajian, maka tidak luput dari isu-isu yang melingkupi agama
tersebut.Kecenderungan akademik selalu mencoba mendialogkan
agama dengan konteks kehidupan masyarakat, meskipun di satu sisi
terdapat kelompok yang mencoba mempertahankan kemurnian agama
dengan bertahan pada pemahaman fundamentalis-tekstualis.Amin
Abdullah menyebutkan, dalam diskursus keagamaan kontemporer,
agama ternyata memunyai banyak wajah (multifaces) dan bukan lagi
single face.88 Pernyataan tersebut juga bermakna bahwa agama

87
Lihat Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi, cet. VI, hlm. 138-156.
88
Yang dimaksud Amin Abdullah adalah agama tidak lagi seperti orang dahulu memahaminya,
yakni hanya semata-mata terkait dengan persoalan ketuhanan, kepercayaan, keimanan, credo,
pedoman hidup, dan ultimate concern, tetapi juga terkait erat dengan persoalan-persoalan
historis kultural yang juga merupakan keniscayaan manusiawi. Amin Abdullah dkk., Mencari
Islam: Studi Islam dengan Berbagai Pendekatan, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000), hlm. 2.
42 Politik Ekonomi Islam...

berkaitan erat dengan berbagai kepentingan. Hal ini merupakan


masukan dari kajian-kajian yang melibatkan pendekatan historis-
empiris terhadap fenomena agama. Menurut Amin, pada level historis-
empiris telah terjadi percampuran agama dengan kepentingan-
kepentingan sosial kemasyarakatan. Hal tersebut menjadi salah satu
persoalan keagamaan kontemporer yang paling sulit dipecahkan.89
Metode yang menjadikan rasio atau akal manusia sebagai alat
yang paling dominan dalam memperoleh pengetahuan dan pemahaman
atas pelbagai ajaran agama, karena itu seluruh teks teks wahyu harus
dibedah secara kontekstual, kritis, logis dan rasional. 90Model
kontekstualis menurut Harun Nasotion dapat diartikan sebagai sebuah
manhaj (jalan) fikir yang memahami agama sebagai organisme yang
hidup dan berkembang sesuai dengan denyut nadi perkembangan
manusia, karena itu didalam menafsirkan teks teks suci mereka meng-
gunakan penafsiran yang kontekstual, substansial dan non literal.91
Karakteristik yang paling nampak dalam model ini meliputi:
Penekanan pada semangat religio etik, bukan pada makna literal
sebuah teks, manhaj yang dikembangkan mereka adalah penafsiran
islam berdasarkan semangat dan spirit teks, memahami latar teks secara
kontekstual, substansial dan non literal, menurut mereka hanya dengan
model tersebut, Islam akan hidup survive dan berkembang secara
kreatif menjadi bagian dari “peradaban manusia” universal.
Bahwa Amin Abdullah menyatakan Agama itu harus kontektual
dalam segala bidang, Pluralitas dan keberagaman harus dimaknai
sebagai keniscayaan dunia modern, termasuk dalam konteks Indonesia
89
Sulitnya memecahkan problem ini disebabkan karena hampir semua memiliki institusi dan
organisasi pendukung yang memperkuat penyebaran agama tersebut. Institusi dan organisasi
keagamaan tersebut ada yang bergerak dalam wilayah sosial budaya, sosial kemasyarakatan,
pendidikan, pertahanan keamanan dan paguyuban. Sehingga sangat sulit menemukan sebuah
agama tanpa terkait dengan kepentingan kelembagaan, kekuasaan, interest-interest tertentu.
Ibid.,hlm. 2-3.
90
Hefni Zayn, Berbagai Pendekatan Memahami Islam,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2012), hlm.
15.
91
Ibid., hlm. 18.
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 43

sebagai bangunan masyarakat negara bangsa. Sangat mustahil untuk


memutar kembali kejayaan eksklusifitas, hegemoni dan dominasi
kelompok apapun landasannya kecuali dengan cara kekerasan dan
kenistaan terhadap kelompok lain. Single majority sebagai sistem
demokrasi prosedural telah direvisi oleh demokrasi berbasis hak asasi
yang memunculkan nilai-nilai multikultural yang mengakui representasi
dari setiap kelompok dan golongan untuk berpartisipasi dalam negara.92
Dalam konteks Keindonesiaan yang plural dan multikultural,
sejak dari awal pembentukan karakter bangsa harus diarahkan pada
kepribadian yang inklusif.Bukan semata-mata bertenggang rasa dalam
kerangka co-existence tetapi lebih jauh lagi harus berpartisipasi dalam
menciptakan relasi sosial yang pro-existence dalam kemajemukan.
Sikap tersebut menghajatkan kerjasama antar agama dalam menghadapi
masalah-masalah aktual kehidupan seperti kemiskinan, kekerasan dan
konflik horisontal, korupsi dan lain sebagainya dalam kerangka nilai-
nilai fundamental dan universal antar agama.93
Salah satu hal yang paling penting adalah uapaya kontesktual
dalam memahami Agama sebagaimana yang Amin Abdullah ajarkan
sebagai sebuah bentuk pemahaman Agama yang baru dan relevan di
tengah-tengah masyarakat yang terkikis dalam memahami “gagal
pemahaman” terhadap agama yang membawa kebahagian umatnya,
hal ini berlaku bagi seluruh agama, bukan agama Islam saja. Pendekatan
tersebut adalah pendekatan agama yang bersifat kritis-historis, yakni
analisis yang tajam terhadap aspek historis daripada normatifitas ajaran
wahyu guna menjernihkan duduk perkara “keberagamaan” manusia.94
Dengan pendekatan tesebut, studi agama yang bersifat multi dan
interdisipliner dapat mengantarkan para peminatnya memasuki

92
Rocky Gerung, “Mengaktifkan Politik”, dalam Ihsan Ali Fauzi dan Syamsu Rizal
Panggabean, Demokrasi dan Kekecewaan, (Jakarta: Paramadina, 2009), hlm. 25.
93
Nurcholish Madjid, Fiqih Lintas Agama: Pembangun masyarakat Inklusif Pluralis,( Jakarta:
Paramadina, 2004.), hlm. 35.
94
Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?, cet. I, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996), hlm. 15.
44 Politik Ekonomi Islam...

wilayah sosiologi ilmu pengetahuan agama. Sosiologi ilmu pengetahuan


agama, adalah sebuah perspektif yang membawa ummat beragama—
apapun macam agama yang dipeluknya—untuk melakukan struktur
fundamental pemikiran teologis yang rigid, serta mewaspadai implikasi
dan konsekuensi, tanpa berpertensi menghilangkannya sama sekali.95
Misalkan dalam upaya strukturasi pemikiran teologis yang fundamental,
umat agama membutuhkan krangka alat analisis budaya, yaitu
antropologi yang
Dalam kacamata antropologi agama, agama adalah ‘Ideas and
practices that postulate reality beyod that which is immediuately
available to the senses” (Agama adalah sekumpulan ide-ide atau
pemikiran dan seperangkat tindakan konkrit sehari-hari yang
didasarkan atas postulasi atau keyakinan kuat adanya realitas yang
lebih tinggi berada di luar alam materi yang biasa dapat dijangkau
langsung dalam kehidupan materi). Apa yang disebut agama, dalam
praktiknya sangat berbeda dari satu masyarakat pemeluk agama
tertentu ke masyarakat pemeluk agama yang lain, baik yang
menyangkut sistem kepercayaan yang diyakini bersama, tingkat
praktik keagamaan yang dapat melibatkan emosi para penganutnya,
serta peran sosial yang dimainkannya.
Berbeda halnya dengan pendekatan normatif-teologis, pada
aspek ini, misalnya, klaim kebenaran (truth claim) yang bersifat
normatif yang mengedepankan sentimen emosionalakan menimbulkan
dogmatisme dan fanatisme. Di sinilah dimensi kesejarahan dan sosial
menjadi sangat penting perannya dalam mengimbangi dimensi normatif
sehingga dapat membentuk komitmen dan sentimen yang sehat dan
inklusif yang dituntut oleh agama dan menghindari fanatisme sempit
eksklusif yang dicegah oleh agama.
Untuk kepentingan tersebut diperlukan rekonstruksi studi agama
yang dapat mewujudkan suatu teologi yang kritis yang dituntun oleh
95
Ibid.
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 45

filsafat sebagai aktifitas akal budi yang melakukan formulasi, reformasi,


evaluasi dan reorientasi terhadap suatu faham agama.Analisis sosial
budaya dapat memperkaya teologi kritis dengan data-data empiris
yang dapat memperkaya agama dalam memberikan solusi yang
komprehensif. Rekonstruksi tersebut dapat dilakukan melalui
paradigma ‘interkoneksi dan integrasi’ antara ilmu-ilmu agama dan
ilmu-ilmu kontemporer lainnya seperti filsafat, antropologi, sosiologi,
budaya dan politik sehingga agama yang diajarkan dapat secara
komprehensif memberikan solusi bagi isu-isu strategis seperti HAM,
demokrasi, kesetaraan gender, pluralisme dan multikulturalisme, isu
lingkungan hidup dan pemanasan global dan isu-isu lainnya.
Salah satu tokoh kunci yang menarik juga dalam perubahan ini
adalah KH Abdurahhaman Wahid dan beberapa tokoh pembaharu
dalam dunia Studi Agama, studi Agama menempatai point penting
dalam kehidupan manusia.
Semua agama, secara normatif, memberitahu dan mengajarkan
para pengikutnya untuk tidak berlaku tidak baik, untuk tidak mencuri,
membunuh, berbohong dan begitu seterusnya. Ten Comman-
dements atau Sepuluh Perintah Tuhan sangat dikenal oleh berbagai
agama.Kalau tidak sepuluh-puluhnya, paling tidak sebagian dari
sepuluh itu pasti menjadi nilai dasar dari agama apapun juga.Hal-hal
fundamental dalam kehidupan seperti itulah yang kemudian
belakangan disebut nilai perennial agama.

2.3.2. Tokoh Agama dan Gerakan Perubahan Sosial


Ekonomi
Agama mempunyai banyak tokoh yang bergerak dan
mengembangkan berbagai upaya ekonomi, Agama dan ekonomi adalah
hal penting yang saling terikat dan menguntungkan. Kondisi ekonomi
Indonesia saat ini masih dihadapkan pada sejumlah tantangan dan
hambatan.Untuk terus maju dan berkembang, pembangunan ekonomi
Indonesia perlu didukung dari berbagai bidang, termasuk daya dukung
46 Politik Ekonomi Islam...

dari ajaran nilai agama, antara lain, bagaimana peran agama melalui
nilai agama dan tokoh agama ikut serta dalam pembangunan ekonomi
yang membawa manfaat bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Secara umum, agama (religion) diartikan sebagai persepsi dan
keyakinan manusia terkait dengan eksistensinya, alam semesta, dan
peran Tuhan terhadap alam semesta dan kehidupan manusia sehingga
membawa kepada pola bahwa agama yang menentukan perilaku dan
tujuan hidup manusia.
Oleh karena itu agama bukan sebagaimana pandangan Feuerbach
yang menyatakan bahwa pada dasarnya agama adalah “tanda
keterasingan manusia dari dirinya”. Pandangan feuerbach tersebut
dilengkapi oleh Marx bahwa agama pada dasarnya kepuasan semu dari
hakikat diri manusia. Dalam hal ini agama dikatakan sebagai bentuk
pelarian dari penderitaan inderawi, wujud ketidakmampuan menguasai
alat-alat produksi, dan ekspresi ketertindasan dalam hubungan
produksi.Jadi, manusia yang mengasingkan dirinya ke dalam agama
hanyalah cermin yang menunjukkan keterasingan manusia yang lebih
dasariah karena ketidakberdayaannya terhadap tekanan kapital.
Berdasarkan hal itu, maka agama adalah candu bagi masyarakat.96
Pada gilirannya dapat diterima bahwa agama memiliki daya
konstruktif, regulatif, dan formatif dalam membangun tatanan hidup
masyarakat terutama dalam masyarakat yang menerima dan mengakui
keberadaan nilai dan norma agama itu.97 Boleh jadi, ini alasan kuat
bagi Maman,98 mengatakan bahwa pembangunan agama, pembinaan,
pengembangan, dan pelestariannya menjadi agenda penting dan
niscaya. Paling tidak agama dapat diterima dan diakui memiliki peran
transformatif dan motivator bagi proses sosial, kultural, ekonomi, dan

96
Johnson, Doyle Paul Teori Sosiologi Klasik dan Modern 1. (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.1986) hlm. 46.
97
Kahmad, Dadang, H. Sosiologi Agama. (Bandung: Pt. Remaja Rosdakarya, 2000), hlm. 36.
98
Maman, KH, Deden Ridwan, M. Ali Mustofa, dan Ahmad Gaus, 2006, Metode Penelitian
Agama: Teori dan Praktik,( Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), hlm.76.
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 47

politik pada masa depan. Walaupun demikian, tulisan ini dibatasi hanya
pada peran transformatif agama dalam proses kultural dan ekonomi.
Filsuf ekonomi terkemuka Amerika, Kenneth Boulding (1970),
menyatakan agama memberikan pengaruh yang tak dapat diabaikan
dalam perekonomian.Agama menentukan keputusan jenis komoditas
yang diproduksi, kelembagaan ekonomi, dan perilaku ekonomi.
Meskipun ilmu pengetahuan dan teknologi, investasi, serta sumber
daya alam, merupakan faktor-faktor yang sangat berpengaruh dalam
perkembangan ekonomi, agama juga dipertimbangkan sebagai elemen
penting karena berperan membentuk etos kerja masyarakat.
Seorang Max Weber (1864-1924) dalam bukunya Die
Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism menjelaskan bahwa:

pemikiran agama sangat berpengaruh bagi perkembangan aspek


material (kehidupan di dunia ini), baik politik, ekonomi, sosial,
maupun budaya. Atau dengan kata lain, ada hubungan yang sangat
signifikan antara kemajuan dalam bidang pemikiran (immaterial)
dan kemajuan dalam bidang material.

Weber menganalisis bahwa perubahan masyarakat Barat menuju


kemajuan ekonomi tidak hanya disebabkan oleh kelompok bisnis dan
pemodal.Dalam penelitiannya, sebagian dari nilai keberagamaan
Protestan memiliki aspek rasionalitas ekonomi dan nilai-nilai tersebut
ditunjukkan pada spirit keagamaan.99 Tesis yang diperkenalkannya
sejak 1905 mengatakan bahwa ada hubungan antara ajaran agama
dengan perilaku ekonomi.100
Banyak tokoh Agama yang menjadi agen perubahan dalam
bidang ekonomi dalam konteks indonesai misalnya dalah KH Shal
Mahfud dan Tokoh-Tokoh lainnya.Akan tetapi agama berurusan

99
Weber, Max.. Die Protestantische Ethik und der “Geist” des Kapitalismus. diterjemahkan
oleh Talcott Parson. 1959. The Protestant Ethic and the spirit of capitalism, , New York: Char
Les Scribner’s Son.(terjemahan Yusuf Priyasudiarja.. Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme.
Surabaya: Pustaka Promethea2002), hlm. 67.
100
Asifudin, Ahmad Janan, Etos Kerja Islami (Surakarta: Universitas Muhammadiyah.2004),
hlm. 45.
48 Politik Ekonomi Islam...

dengan permasalahan duniawi yang meterialistis dan karenanya agama


perduli kepada lingkungan, baik alam maupun sosial.Artinya, agama
merupakan sesuatu yang bersifat budaya karena agama merupakan
semesta simbolik yang memberi makna pada kehidupan manusia dan
penjelasan yang paling holistik tentang seluruh realitas.Misalnya,
manusia dalam upayanya memahami lingkungan alam dan sosial
senantiasa berdasarkan kebudayaannya.Kebudayaan diartikan sebagai
sistem pengetahuan yang digunakan untuk mengkategorisasi,
menyortir, dan mengklasifikasikan pengalaman, agar manusia dapat
mewujudkan kelakuannya secara tepat dan teratur.101 Dengan kata lain,
sistem kategori dari setiap kebudayaan didasarkan pada simbol-simbol
tertentu. Dengan demikian agama dalam kaitannya dengan kebudayaan
dan praktik sosial dapat dipandang sebagai kepercayaan dan pola
tingkah laku yang diusahakan oleh masyarakat.
Menurut Clifford Geertz agama mempengaruhi seseorang dalam
setiap kiprah dan perilakunya. Pemahaman seseorang atas sebuah teks
agama akan mempengaruhi kwalitas kehidupan orang tersebut.
Menurut Geerts pula agama membangun situasi hati dan motivasi kuat,
pervasif (menembus dan merembes) dan tahan lama. Dengan kata lain,
agama dapat membuat pemeluknya merasakan sesuatu dan melakukan
sesuatu.102 (Daniel L Pals, 2001). Kalau penelitian tentang hubungan
Etik Protestan dan pertumbuhan ekonomi dan demokrasi dilakukan
di Eropa dan beberapa negara non Muslim, maka penelitian Geertz
dilakukan di Pare Kediri yang mayoritas penduduknya beragama Islam
dan Negara Bali yang mayoritas penduduknya beragama Hindu. Maka
dengan demikian, tesis Huntington bahwa hanya etik Protestan saja
yang mempunyai korelasi dengan motivasi kerja dan pertumbuhan
demokrasi, dapat dipatahkan.Dapat disimpulkan bahwa doktrin agama

101
Johnson, Doyle Paul. Teori Sosiologi Klasik dan Modern 1. (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama. 1986), hlm. 35.
102
Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion (edisi Bahasa Indonesia), (Jakarta : Penerbit Al
Qolam,2001), hlm.76.
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 49

mempunyai pengaruh dan hubungan yang signifikan dengan perilaku


dan motivasi pemeluk agama tersebut.
Agama tidak lagi semata-mata hanya berhubungan dengan hal
yang bersifat dahsyat dan keramat yang berpusat pada hal yang gaib
(nominous). Melainkan juga agama menjadi penting terutama dalam
konteks situasi ketidakpastian, ketidakberdayaan, dan kelangkaan.
Dalam keadaan seperti ini agama menyediakan pandangan tentang
dunia yang tidak terjangkau.103 Bukan hanya itu, bahkan dalam dunia
sosial manusia bahwa keterjalinan antarabidang kehidupan tidak dapat
dihindari, walaupun setiap bidang kehidupan memiliki karakteristik
dan orientasi nilai masing-masing misalnya, ekonomi, politik, sosial,
budaya, dan agama. Dalam bidang ekonomi misalnya, khususnya bisnis
memiliki tujuan keuntungan sehingga ukuran orang yang berhasil
dalam bisnis, kalau ia memperoleh keuntungan. Akan tetapi keuntungan
yang diperoleh bukan diperoleh tanpa berlandaskan moral-agama.
Menurut M. Dawam Raharjo pada beberapa tahun terahir
sebenarnya telah banyak LSM dan lembaga keagamaan yang
memberikan perhatian terhadap masalah kemiskinan dan ketertindasan
dengan berangkat dari doktrin agama. Akan tetapi, sayangnya, proses
tersebut tidak sampai berlanjut pada tingkat radikalisasi nilai dan
tindakan, bahkan dalam beberapa kasus ketika menghadapi represi
kekuasaan yang otoriter lembaga-lembaga tersebut cenderung
kooperatif, bahkan sebagian telah terkooptasi oleh kekuasaan.104

2.4. Perkembangan dan Upaya Reorientasi Pem-


bangunan Ekonomi
Munculnya persaingan dalam segala sektor kehidupan tidak
dapat dihindari. Adanya persaingan tersebut menjadikan negara-
103
Triguna, IBG Yudha. . “Memahami dan memfungsikan lingkungan sosial-Budaya Sebagai
Strategi Inovasi” (makalah di UIN jogja, 14 september 2002. )
104
LSAF, Pengantar M.Dawam Raharjo , Gerakan Keagamaan dalam Penguatan Civil Society,
Jakarta : LSAF dan The Asia Foundation,1999), hlm. 2.
50 Politik Ekonomi Islam...

negara diharuskan untuk menghadapi ancaman intern maupun ekstern.


Negara juga diharuskan untuk terus mengikuti kejadian-kejadian
internasional serta cita-cita dari bangsa itu sendiri. Perubahan-
perubahan yang terjadi serta kemampuan untuk bersaing dengan
Negara lain juga menjadi hal penting. Dengan semakin ketatnya
persaingan di dunia internasional maka negara harus memahami pusat
problem bangsa dalam segala sektor kehidupan dan menemukan cara
mengatasinya.
Pembangunan suatu bangsa berbasis riset atas problem global,
nasional dan lokal dan pengalaman sejarah menjadi hal yang sangat
relevan dalam menentukan target dan sistem operasi pembangunan
tersebut. Suatu pembangunan negara tidak hanya ditujukan pada
sebagian golongan atau elit tertentu, tetapi pembangunan ditujukan
kepada manusi secara keseluruhan dan pembangunan tersebut juga
selalu terikat pada kepentingan-kepentingan yang lebih besar, ekonomi
politik ekonomi global dan nasional. Pada ranah pembangunan
ekonomi, Sudjatmoko menyebutkan bahwa pembangunan ekonomi
itu bukan suatu proses ekonomi semata-mata, melainkan suatu
penjelmaan dari perubahan sosial dan kebudayaan yang meliputi
suatu bangsa secara utuh.105
Dalam perspektif politik ekonomi, pembangunan ekonomi suatu
negara sangat bergantung pada kebijakan pemerintah.Dalam perspektif
kebijakan pemerintah, yang menjadi titik penting adalah bagaimana
suatu negara merumuskan suatu kebijakan yang berafiliasi dengan nilai
sosial ekonomi masyarakat. Jika suatu kebijakan, pemerintah tidak
dibangun melawan dengan mengabaikan sosial-ekonomi masyarakat,
maka akan memperbesar resiko penolakan masyarakat terhadap
kebijakan tersebut. Implikasinya akan mengganggu produktifitas
dalam masyarakat itu sendiri. Misalnya kebijakan pemerintah dalam
ranah hukum, yang berimplikasi pada kondisi produktifitas masyarakat.

105
Sudjatmoko, Dimensi Manusia Dalam Pembangunan, (Jakarta: LP3ES, 1983), hlm. 21.
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 51

Sistem sosial bersifat terbuka, yaitu selalu mengalami proses


saling pertukaran dalam bentuk masukan dan keluaran dengan
lingkungannya. 106 Hukum di sini ditekankan pada fungsinya
menyelesaikan konflik-konflik yang timbul dalam masyarakat secara
teratur.107 Pada waktu timbul suatu sengketa dalam masyarakat maka
ia memberikan tanda bahwa diperlukan suatu tindakan agar sengketa
itu diselesaikan.108 Pembiaran terhadap sengketa-sengketa itu tanpa
penyelesaian akan menghambat terciptanya suatu kerja sama yang
produktif dalam masyarakat.109 Pada saat itulah dibutuhkan mekanisme
yang mampu mengintegrasikan kekuatan-kekuatan dalam masyarakat
sehingga dapat diciptakan atau dipulihkan suatu proses kerja sama
yang produktif.110 Mekanisme yang mampu mengintegrasikan kekuatan-
kekuatan tersebut adalah kebijakan pemerintah yang memberikan
keadilan sosial ekonomi bagi seluruh lapisan masyarakat secara
proporsional.Pada posisi ini, negara sangat dominan.
Francis Fukuyama menjelaskan ada empat pengamatan yang
merupakan indicator adanya peran besar dari suatu negara. Pertama,
pengamatan akan kesadaran negara terhadap potensi masyarakat. Pada
keadaan negara kurang berperan dalam penciptaan sumber daya
masyarakat. Sumber daya dalam hal ini merupakan akumulasi kultur
masyarakat baik agama, tradisi, pengalaman, dan faktor-faktor non
pemerintah. Terhadap sumber daya ini, negara bisa saja sadar akan
adanya potensi tersebut sehingga memanfaatkannya dalam
penyusunan kebijakan. Sebaliknya, ketidak sadaran pemerintah akan
sumber daya tersebut maka proses pembangunan bisa saja terhambat
karena harus membangun sumber daya baru yang tidak mudah
dipercayai masyarakat. Fukuyama di sini menekankan pada jaringan
106
Satjipto Raharjo, Hukum dan Perubahan Sosial: Suatu Tinjauan Teoretis Serta Pengalaman-
Pengalaman di Indonesia, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2009), hlm. 27.
107
Ibid.
108
Ibid., hlm 28.
109
Ibid.
110
Ibid.
52 Politik Ekonomi Islam...

kepercayaan. 111 Kedua, keberhasilan negara dalam pendidikan.


Pendidikan menurur Fukuyama sangat mampu membentuk sumber
daya melalui reproduksi aturan-aturan dan norma-norma, tidak hanya
sebagai transmisi sumber daya atau peningkatan human capital.
Pendidikan yang dimaksud tentu saja, tidak hanya kemampuan kognitif
tetapi juga kemampuan afektif yang sangan berguna dalam
menciptakan tatanan etis-moralitas yang mendorong etos kerja dan
efektifitas sumber daya.
Ketiga, kemampuan negara dalam memenuhi kebutuhan publik
yang sangat dibutuhkan dalam menciptakan sumber daya.Kebutuhan
publik tersebut adalah ketrjaminan keamanan.Yang ditekankan dalam
hal ini adalah kondusifitas yang mampu diberikan oleh negara untuk
melancarkan interaksi sosial ekonomi yang mendukung pembangunan.
Sehingga kualitas hidup dapat terwujud dan produktifitas masyarakat
berlangsung terus menerus. Keempat, Fukuyama menjelaskan bahwa
negara berkesempatan untuk menjadi musuh bagi banyak pihak apabila
negara meninggalkan masyarakat sipil. Jika Negara bekerja sendiri
tanpa mengikut sertakan pihak swasta maupun masyarakat sipil, maka
pemerintah pasti akan kehilangan dukungan dari berbagai kekuatan
yang berasal dari luar. Sebagaimana yang pernah terjadi di Prancis
pada akhir abad pertengahan.
Secara historis, reorientasi pembangunan ekonomi berdasarkan
pertimbangan atas sejarah perekonomian bangsa tersebut. Reorientasi
tersebut merupakan suatu keniscayaan untuk menetapkan arah-arah
dan target-target nasional dalam pembangunan ekonomi yang
berkelanjutan (suistainable ekonomic development) pada masa yang
akan datang. Pembangunan ekonomi harus memperhatikan
kecenderungan yang merugikan dalam sejarah, yang bertolak belakang
dengan misi kesejahteraan, yaitu pengabaian terhadap potensi sebuah
negara dalam proses pembangunan yang mengancam kekuatan lokal.
111
Francis Fukuyama, Trust: Kebijakan Sosial dan Penciptaan Kemakmuran, (Yogyakarta: Qalam,
1999), hlm. 9-11.
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 53

Revolusi Hijau (Green Revolution) merupakan contoh nyata


yang menjauhkan petani dengan kearifan lokal. Dalam program
revolusi tersebut, terdapat 257 jenis padi lokal di Jawa yang dinyatakan.
Padi-padi tersebut sebelumnya dikenal dengan nama-nama lokal,
antara lain Gogo Lempuk, Kawoeng, Dewi Tara, Tjina, Si Gadis,
Manjetti, Gendjah Lampung dan Rodjo Lele. Di Dayak Krayan terdapat
sekitar 37 ragam jenis padi yang juga dinyatakan hilang.112 Proyek beras
nasional telah menghilangkan pola makanan di wilayah NTT yang
menjadikan jagung sebagai makanan pokok jagung atau Maluku dan
Papua yang hidup dari sagu.113
Rekam histori tentang program beras nasional menunjukkan
realitas sejarah yang memberikan dampak buruk bagi ketahan pangan
nasional.Stok penyangga pangan berbagai suku bangsa yang beragam
menghilang, digantikan oleh suatu sistem pangan yang seragam, yang
bertumpu pada beras. Keadaan ini kemudian memunculkan kegiatan
impor secara besar-besaran yang kemudian berakibat pada pembunuhan
potensi lokal yang ada. Kejadiaan ini sangat ironis, dikarenakan
Indonesia merupakan Negara yang sebenarnya memiliki luas dan
kualitas lahan yang memadai dan biodiversity untuk mendukung
pemenuhan kebutuhan pangan secara mandiri yang kemudian akan
memunculkan ketahanan dan kedaulatan pangan nasional.
Menurut Sudjatmoko, sumber daya ekonomi banyak mendapat
sorotan serta telah diperhitungkan secara seksama. Sebagai bagian dari
analisis daya tampung dan daya dukung lingkungan di dalam proses
pembangunan dan peningkatan kualitas manusia. Hal ini menjadikan
sumber daya sosial menjadi sangat kurang diperhatikan sebagai potensi
yang mampu berperan dalam keseluruhan proses sosial dan
pembangunan di Indonesia.114 Sudjatmoko menyarankan, meletakkan
112
Kudhori, Neoliberalisme Menumpas Petani, (Yogyakarta: Resist Book, 2002), hlm. 111-120.
113
Amiya Kumar Bagchi, “The Past Development and The Future of the Development State”,
Journal of World-System Research, Vol. XI, No. 2., hlm. 398.
114
Sudjatmoko, “Ilmu-ilmu Kemanusiaan dan Masalah Pembangunan” dalam Masyarakat dan
Kebudayaan, (Jakarta: Penerbit Djembatan, 1988), hlm. 209.
54 Politik Ekonomi Islam...

kebinekaan sebagai salah satu sumber daya, aset pembangunan, bukan


sebagai suatu hambatan pembangunan.115 Apa yang disebutkan oleh
Sudjatmoko tersebut sesuai dengan semangat kedaulatan pangan, yang
harus dimulai dari pembinaan terhadap kemandirian pangan yang
berbasis daerah atau dalam konteks otonomi daerah. Oleh karena itu,
suatu pembangunan dan reorientasi ekonomi, selain sebagai suatu
gerakan nasional, juga harus gerakan otonomi daerah yang berbasis
pada potensi sosial lokal.Sinergi antar pusat dan daerah, ekonomi
negara dan ekonomi lokal merupan kombinasi yang berpotensi bagi
pembangunan ekonomi dalam negeri dan reposisi kemajuan ekonomi
negara dalam kancah internasional.
Pemaparan di atas menunjukkan sumber daya sosial merupakan
potensi yang dapat berdampak positif dan berdampak negatif atau
menjadi penghambat serta memunculkan konflik aktif maupun pasif
dalam penyelenggaran serta pembentukan tata pemerintahan.
Pemanfaatan sumber daya dan kekuatan dari dalam tersebut akan
menjamin keberlanjutan proses pembangunan.116

2.4.1. Perkembangan Ekonomi Indonesia


Periodesasi perkembangan ekonomi Indonesia selalu mengikuti
periodesasi sejarah kepemimpinan Indonesia yang didominasi oleh
aspek politik.Perkembangan ekonomi di Indonesia itu sendiri terbagi
ke dalam empat periode, yaitu periode orde lama, orde baru, transisi,
dan reformasi.117 Pada awal kemerdekaan Indonesia, urusan politik
menjadi concern negara.Pemberontakan-pemberontakan muncul di
berbagai tempat.Situasi politik pada saat itu sangat menguras pikiran
bangsa, akibatnya, selama masa orde lama kondisi ekonomi Indonesia

115
Ibid., hlm. 211.
116
Irwan Abdullah, “Pemberdayaan Masyarakat yang Lemah dan Tertinggal”, dalam Tukiran
dkk., (ed.), Sumber Daya Manusia: Tantangan Masa Depan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2007), hlm. 13.
117
Periodesasi ini mengikuti Tulus T.H. Tambunan, Perekonomian Indonesia: Era Orde Lama
Hingga Jokowi, (Bogor: Ghalia Indonesia), hlm. 17-44.
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 55

sangat buruk. Pada masa awal kemerdekaan Indonesia pembangunan


ekonomi didominasi oleh perubahan struktur ekonomi yang bercirikan
ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional yang memiliki tujuan
untuk memajukan industri kecil dalam memproduksi barang pengganti
impor yang diharapkan dapat mengurangi tingkat ketergantungan
masyarakat Indonesia terhadap luar negeri.Situasi perekonomian
Indonesia sekitar tahun 1945-1950-an sangat tidak menguntungkan
bagi pemerintahan Republik Indonesia.Sistem perekonomian pada
masa tersebut merupakan ekonomi perang gerilya terhadap penjajahan,
bahkan ekonomi masih dimonopoli oleh perusahaan-perusahaan
Belanda.118 Ekonomi Indonesia sempat mengalami pertumbungan
dengan laju rata-rata per tahun hampir 7% selama dekade 1950-an,
dan setelah itu turun drastis menjadi rata-rata per tahun 1,9% atau
bahkan nyaris mengalami stagflasi selama tahun 1965-1966. Tahun
1965 dan 1966 laju pertumbuhan ekonomi atau produk domestik bruto
(PDB) berkisar antara 0,5% dan 0,6%.119
Pertumbuhan ekonomi sebagaimana di atas, menunjukkan
kemunduran dalam bidang produktifitas negara dan di sisi lain dari
tahun ke tahun terjadi defisit Anggaran Pendapatan Negara (APBN)
terus membesar. Pada tahun 1955-1965 jumlah pendapatan pemerintah
rata-rata per tahun 151 juta rupiah, sedangkan besarnya pengeluaran
pemerintah rata-rata pertahun selama periode tersebut 359 juta rupiah,
dengan kata lain lebih dari 100 persen dari rata-rata pendapatan.120
Permasalahan ekonomi yang ada semakin parah karena seiring
pertambahan penduduk di Indonesia meningkat. Diperkirakan jumlah
penduduk pada tahun 1955 berjumlah 85,4 juta jiwa, dan menurut
sensus pada tahun 1961 adalah 97,02 juta jiwa. Sementara itu masalah
jangka panjang adalah masalah pertambahan penduduk dan tingkat

118
Sjamsuddin, Soekarno: Pemikiran Politik dan Kenyataan Praktek, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 1993), hlm. 226.
119
Tulus T.H. Tambunan, Perekonomian Indonesia: Era Orde Lama Hingga Jokowi., hlm. 14.
120
Ibid.
56 Politik Ekonomi Islam...

kesejahteraan penduduk yang rendah.Produksi pangan meningkat lagi,


yaitu pada tahun 1956 mencapai meningkat 26 % dari tahun 1950.
Selain itu, selama periode orde lama, kegiatan produksi pada
sektor pertanian dan industri berada pada level yang sangat rendah
karena keterbatasan kapasitas produksi dan infrastruktur pendukung,
baik fisik maupun non-fisik seperti pendanaan dari bank.121 Buruknya
perekonomian Indonesai pada masa orde lama lebih banyak
dipengaruhi oleh situasi sosial politik yang mengalihkan pusat perhatian
negara.Pembangunan-pembangunan struktur dan infrastruktur sangat
terbatas.Dalam usaha memperbaiki keadaan ekonomi keuangan,
Soekarno sebagai presiden, mengamanatkan deklarasi ekonomi pada
hari kamis, tanggal 28 Maret 1963. Deklarasi ekonomi bertujuan untuk
menciptakan ekonomi yang bersifat nasional, demokratis, dan bebas
dari sisa-sisa imperialisme untuk mencapai tahap ekonomi sosialis
Indonesia dengan cara terpimpin. yang mampu memanfaatkan sumber
daya alam serta sumber daya manusia Indonesia sendiri.122
Pada saat itu pemerintah Indonesia menyatakan bahwa sistem
ekonomi Indonesia adalah berdikari yaitu berdiri di atas kaki sendiri.
Dengan demikian dibentuknya deklarasi ekonomi untuk menciptakan
ekonomi yang bersifat nasional, demokratis, dan bebas dari sisa-sisa
imperialisme untuk mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia dengan
cara terpimpin yang melibatkan rakyat dalam pembangunan.123
Deklarasi ekonomi yang dilaksanakan pada 28 Maret 1963 banyak
memuat pemikiran dasar strategi ekonomi. Soekarno mencoba
menggunakan analisa marxisme untuk menjawab persoalan-persoalan
ekonomi Indonesia pada saat itu, dengan mengungkapkan mengungkap-
kan kedaulatan politik dan berkepribadian dalam kebudayaan tidak

121
Ibid.
122
Iman Toto K Rahardjo dkk., Bung Karno dan Ekonomi Berdikari, (Jakarta: Gramedia, 2001),
hlm. 245.
123
Daniel Dhakidae, Soekarno,Membongkar Sisi-sisi Hidup Putra Sang Fajar, (Jakarta: Kompas,
2013), hlm. 129.
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 57

mungkin diraih bila tak berdikari dalam ekonomi. Begitu pula dengan
kemandirian ekonomi, tidak dapat dilaksanakan bila bangsa tidak ada
kedaulatan secara politik serta berkepribadian dalam kebudayaan.124
Konsekuensi dari kebijakan Soekarno tersebut dan keburukan
perekonomian pada saat itu diungkapkan dalam buku Pergulatan
Indonesia Membangun Ekonomi karya Radius Prawiro yang kemudian
dibahas oleh Pieter Gero dengan kutipan:

kebijakan “berdikari” alias beridir di atas kaki sendiri yang


dikampanyekan Presiden Soekarno membuat semua impor produk
pangan dan barang distop. Impor beras dilarang pada Agustus 1964,
membuat kondisi persediaan pangan nasional yang sudah sulit
semakin pelik. Cadangan devisa dan emas terus menipis dari 408,9
juta dolar AS (1960-1965) menjadi minus 4,5 juta dolar AS...
Pendapatan per kapita dari 107 juta rakyat Indonesia, saat itu
hanya 60 dolar AS. Kurs rupiah merosot dari Rp 186,67 per dolar
AS (tahun 1961) menjadi Rp 14.083 per dolar AS (tahun 1965).
Defisit anggaran di atas 140 persen.125

Kebijakan Soekarno pada masa orde lama tersebut sangat


terpengaruh oleh wacana kapitalis-imperialis di bidang ekonomi
sehingga mengantar Indonesia menjadi negara yang memiliki idiologi
ekonomi berlandaskan anti-kapitalisme, penguatan peran negara dan
kedaulatan ekonomi.126Dilihat dari aspek politiknya, selama periode
orde lama antara 1950-1959, sebelum diganti dnegan demokrasi
terpimpin, Indonesia pernah mengalami sistem politik yang sangat
demokrasi. Akan tetapi sejarah Indonesia menunjukkan, bahwa sistem
politik demokrasi tersebut ternyata menyebabkan kehancuran politik
dan perekonomian Indonesia.127

124
Ibid.
125
Pieter P. Gero, “Frans Seda Memutar Haluan Ekonomi, “in Memoriam””, Kompas, 11Januari,
2010, hlm. 21. Lihat dalam Tulus T.H. Tambunan, Perekonomian Indonesia: Era Orde Lama
Hingga Jokowi., hlm. 21.
126
Daniel Dhakidae, Soekarno,Membongkar Sisi-sisi Hidup Putra Sang Fajar, hlm 118.
127
Tulus T.H. Tambunan, Perekonomian Indonesia: Era Orde Lama Hingga Jokowi., hlm. 19.
58 Politik Ekonomi Islam...

Setelah orde lama berakhir dan kondisi negara semakin membaik


di tangan rezim Soeharto, pembangunan ekonomi mulai difokuskan
pada kesejahteraan rakyat. Hubungan Indonesia dengan Barat mulai
ditata kembali dan ideologi komunis dijauhi secara radikal.Pada sesi
ini, Indonesia muali menjalin hubungan baik dengan PBB, Bank Dunia
dan IMF. Wacana pembangunan ekonomi pada masa orde baru,
dilaksanakan denagan pola rencana pembangunan ekonomi per lima
tahun, yang dikenal dengan Repelita. Sasaran dari kebijakan Repelita
adalah menekan tingkat inflasi, mengurangi defisit keuangan
pemerintah dan menghidupkan kembali kegiatan-kegiatan produksi,
termasuk ekspor yang mengalami stagnasi pada orde lama.128
Pada pembangunan ekonomi ekonomi, pemerintah memulai
dengan program Repelita I, yakni pada tahun 1969. Repelita I bertujuan
untuk mengupayakan swasembada, terutama beras. Untuk mewujudkan
hal tersebut, pemerintah mengajukan gerakan revolusi hijau (green
revolution) pada sektor pertanian. Dengan dimulainya gerakan revolusi
hijau tersebut, sitem pertanian di Indonesia mulai memasuki era
modernisasi yang ditandai dengan penggunaan teknologi baru,
khususnya dalam pengadaan sistem irigasi, pupuk dan tata cara
menanam.129Keberhasilan pembangunan ekonomi Indonesia pada era
orde baru, secara politis tidak dapat dipisahkan dari stabilitas nasional
pada saat itu, di mana kondisi Indonesia secara politik lebih stabil dari
pada pada masa orde lama. Menurut Tulus Tambunan, keberhasilan
ekonomi Soeharto tidak hanya disebabkan oleh kemampuan kabinet
yang dipimpin oleh Soeharto dalam menyususn rencana, strategi, dan
kebijakan pembangunan ekonomi, tetapi juga karena tiga hal: (1)
penghasilan ekspor yang besar dari minyak terutama pada periode oil
boom pertama tahun 1973-1974; (2) peminjaman luar negeri; dan (3)
penanaman modal asing, khususnya sejak dekade 1980-an yang
meningkatkan perekonomian Indonesia sangat tajam.130
128
Ibid.
129
Ibid., hlm. 22
130
Ibid., hlm 23.
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 59

Pembangunan ekonomi pada masa orde baru yang bertolak pada


revolusi hijau, mengangkat stabilitas ekonomi nasional yang berbasis
pertanian meskipun banyak dikritik dari segi kearifan lokal.Salah satu
wujud buruk yang disebutkan sebagai kelemahan pembangunan
ekonomi pada era orde lama adalah kebijakan pembangunan ekonomi
yang menyebabkan kesenjangan antar Indonesia bagian barat dan
Indonesia bagian timur dan ketergantungan nasional terhadap modal
asing, termasuk pinjaman dan impor. Hal ini menjadi bagian yang akan
diperbaiki pada masa selanjutnya.
Pada masa pemerintahan transisi131 tidak begitu banyak perubahan
yang dilakukan karena hanya berlangsung sebentar.Kebanyakan dari
pemerintahan transisi ini sebagai implikasi dari pemerintahan masa
orde baru.Pada era reformasi perlahan kondisi stabilitas ekonomi pasca
krisis moneter mulai membaik. Laju pertumbuhan PDB mulai positif
walaupun tidak jauh dari 0% dan pada tahun 2000 proses pemulihan
perekonomian Indonesia jauh lebih baik lagi, dengan laju pertumbuhan
hampir mencapai 5% serta laju inflasi dan tingkat suku bunga dalam
negeri juga mulai merendah. Ini sebagai tanda bahwa ekonomi mulai
stabil.132Perjalanan sejarah ekonomi Indonesia dari awal kemerdekaan
sampai masa Presiden Jokowi sangat dinamis. Sejarah ekonomi
tersebut pada dasarnya tidak beriringan dengan berbagai permasalahan
lain seperti pada lini hukum, yang kemudian mempengaruhi sudut
pandang masyarakat terhadap aktor politik yang notabennya adalah
pemangku kebijakan termasuk dalam ekonomi juga.

131
Masa transisi dimulai sejak mundurnya Soeharto tanggal 21 Mei 1998 sampai berakhir masa
presiden B.J.Habibie dan digantikan oleh KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Pada awalnya
pemerintahan BJ. Habibie disebut pemerintahan reformasi, tetapi setelah setahun, masyarakat
mulai melihat bahwa sebenarnya pemerintahan baru ini tidak berbeda dengan pemerintahan
sebelumnya, yaitu mereka adalah orang-orang rezim orde baru dan tidak ada perubahan-
perubahan yang nyata. Korupsi, Kolusi dan Nepotisme semakin menjadi-jadi, kerusuhan di
mana-mana, dan masalah Soeharto tidak terselesaikan sehingga banyak kalangan menyebutnya
pemerintahan transisi daripada pemerintahan reformasi. Lihat Tulus T.H. Tambunan,
Perekonomian Indonesia: Era Orde Lama Hingga Jokowi., hlm. 29.
132
Ibid.
60 Politik Ekonomi Islam...

Pada era reformasi ini, partisipasi rakyat terhadap kebijakan


pemerintah dalam bidang ekonomi semakin meramai, misalkan
kebijakan tentang kenaikan BBM yang menimbulkan berbagai gejolak
dan proses politik di berbagai tempat.Hingga berkembangnya suatu
model ekonomi Pada masa, reformasi ini, terjadi suatu pandangan baru
tentang wacana ekonomi di Indonesia, yaitu semakin populernya
simbol-simbol agama ke dalam sektor ekonomi. Misalnya ekonomi
dibaca dalam perspektif nilai agama, nilai budaya, yang pada dasarnya
mencari suatu pendekatan religiusitas untuk mendorong etos kerja
demi kemajuan sektor ekonomi tersebut. Selain itu, boomingnya agen-
agen ekonomi yang memanfaatkan trend syari’ah. Misalnya meluasnya
bank-bank nasional dan swasta berlabel syari’ah. Terlepas dari semua
wacana tentang kontestasi simbol yang melekat pada ekonomi, sistem
ekonomi yang berlaku di Indonesia ialah sistem ekonomi pancasila.133

2.4.2. Orientasi Pembangunan Ekonomi


Berbagai krisis yang dialami Indonesia sejak awal berdirinya
hingga tahun 1997 dan kemudian sampai pada masa reformasi
merupakan suatu pengalaman yang sangat berharga dalam membangun
orientasi pengembangan ekonomi pada masa yang akan datang. Seperti
yang pernah dikatakan oleh Soedjatmoko, bahwa pembanguan ekonomi
tidak dapat dilakukan tanpa melihat faktor-faktor non ekonomi, seperti
kebudayaan.134 Apa yang dikatakan oleh Sudjatmoko tersebut merupakan
suatu pembacaan terhadap faktor non ekonomi yang berdampak pada
ekonomi itu sendiri. Sebagaimana perjalanan yang terjadi pada masa
orde lama, di mana faktor stabilitas politik memengaruhi pertumbuhan
ekonomi, dan pada awal orde baru pertumbuhan ekonomi baru bisa
133
Menurut Adi Sulistiyono dan Muhammad Rustamaji, ciri-ciri sistem ekonomi Pancasila adalah:
(1) Roda kegiatan ekonomi digerakkan oleh ransangan-ransangan ekonomi, sosial dan moral;
(2) Ada tekad kuat seluruh bangsa untuk mewujudkan kemerataan sosial; (3) Ada nasionalisasi
ekonomi; (4) Koperasi merupakan sokoguru ekonomi nasional; dan (5) Ada keseimbangan
yang selaras, serasi, dan seimbang dari perencanaan ekonomi dan pelaksanaannya di daerah.
Lihat Adi Sulistiyono dan Muhammad Rustamaji, Hukum Ekonomi Sebagai Panglima, (Sidoarjo:
MasMedia Buana Pustaka, 2009), hlm. 40.
134
Baca Sudjatmoko, Dimensi Manusia Dalam Pembangunan, (Jakarta: LP3ES, 1983), hlm. 21
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 61

berlangsung apabila negara dalam kondisi yang stabil.Dari pandangan


Sodjatmoko tentang pertumbuhan ekonomi tersebut, Irwan Abdullah
memetakan tiga pokok pikiran yang dapat diambil.
Pertama, proses pembangunan masyarakat memerlukan
transformasi sosial untuk membentuk kesiapan masyarakat dalam
menerima benda (teknologi) dan nilai-nilai baru yang melekat di
dalamnya.Transformasi sosial yang dimaksud adalah bagaimana suatu
masyarakat mampu menyerap manfaat teknologi untuk digunakan
mencapai sasaran dan tujuan.135 Kedua, proses transformasi dalam
suatu masyarakat yang berkelanjutan, yang bertujuan untuk
membangun kekuatan yang mendukung proses pembangunan. Ketiga,
pemanfaatan teknologi sebagai sarana mencapai tujuan, bukan sebagai
alat yang mendikte masyarakat.136
Sumber daya alam Indonesia yang melimpah merupakan suatu
aset sebagai bahan mentah dalam membangun ekonomi bangsa. Tentu
saja SDA tersebut akan prospektif apabila Indonesia memiliki
kemampuan untuk memberdayakannya secara mandiri. Kemampuan
memberdayakan, SDA tersebut berarti mampu memanfaatkan tanpa
merusak keseimbangan.Sehingga untuk memanfaatkan sumber daya
alam tersebut, pembangunan harus dimulai dari pembangunan sumber
daya manusia. Setiap upaya pembangunan masyarakat, setidaknya
terdapat empat hal yang perlu diperhatikan: (1) mengenalkan karakter
yang khas secara seksama sehingga pendekatan yang digunakan dapat
sejalan dengan sifat-sifat dari masyarakat.137 Hal ini disebabkan banyak
kasus kegagalan pembangunan yang bersumber dari pengabaian
karakter dan potensi lokal yang dimiliki sehingga menyebabkan berbagai
resistensi masyarakat; (2) pengelolaan pembangunan mensyaratkan
adanya partisipasi dari masyarakat yang bersangkutan karena

135
Irwan Abdullah, “Nilai-Nilai Budaya dan Pembangunan Sosial Ekonomi”, hlm. 2.
136
Ibid.
137
Irwan Abdullah, “Pemberdayaan Masyarakat yang Lemah dan Tertinggal”, dalam Tukiran
dkk., (ed.), Sumber Daya Manusia: Tantangan Masa Depan, hlm. 13.
62 Politik Ekonomi Islam...

masyarakat memiliki kecenderungan-kecenderungan dalam berbagai


bentuknya;138 (3) upaya pengelolaan pembangunan mensyaratkan
adanya suatu pembelaan terhadap status marginal dari dominasi negara
dalam berbagai situasi yang tidak menguntungkan masyarakat;139 dan
(4) pengembangan masyarakat mensyaratkan pemanfaatan sumber
daya dan kekuatan dari dalam untuk proses perubahan. Selain untuk
menjamin partisipasi lokal yang sebesar-besarnya dalam proses
pembangunan, pemanfaatan sumber daya dan kekuatan dari dalam
akan menjamin kelanjutan proses pembangunan.140
Kondisi ini meletakkan masyarakat sebagai subjek pembangunan
itu sendiri, bukan sebagai objek pembangunan.Dengan begitu strategi
pembangunan dapat dilaksanakan dengan dua model, yaitu struktural
dan kultural tanpa ada batas sekat yang memisahkan. Pada level
struktural, masyarakat memahami kebijakan pemerintah dan mampu
memberikan penilaian terhadap kebijakan tersebut dan ikut serta
melaksanakannya dengan sadar. Pada aras kultural, kebijakan
pemerintah secara tidak langsung telah terbentuk dan berjalan dalam
masyarakat dan menjadi basis kekuatan kultural yang sinergi dengan
model struktural tersebut.
Dalam model pembangunan ekonomi yang menempatkan
manusia sebagai titik sentral, sasaran penciptaan peluang kerja dan
partisipasi rakyat perlu mendapatkan perhatian utama. Ini berarti
bahwa dalam penyusunan rencana pembangunan, setiap kebijakan,
program, proyek-proyeknya berisi komponen-komponen kuantitatif
dalam sasaran-sasaran peluang kerja, peluang berusaha dan partisipasi
rakyat tersebut, lengkap dengan tolak ukur dan cara-cara menilainya.141
Orientasi pembangunan ekonomi pada era reformasi ini, sangat
bergantung pada pembangunan manusia dan kebudayaanya.Tidak
138
Ibid.
139
Ibid.
140
.Ibid.
141
Mubyarto, Sistem dan Moral Ekonomi Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1994), hlm. 44.
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 63

hanya pembangunan ekonomi melalui politik ekonomi tetapi


mensyaratkan juga pembangunan ekonomi melalui rekonstruksi
perangkat kehidupan (kebudayaan) yang telah disinergikan dengan
etos-etos ekonomi.Pembangunan ekonomi dari berbagai perspektif,
tentu saja membutuhkan bagunan operasional yang toleran nilai lokal
tetapi juga perkembangan dunia internasional sebagai pengimbangan.
Kenyataan sejarah tentang perkembangan perekonomian Indonesia,
menjadi pengalaman nyata bangsa, bahwa ekonomi selalu terpengaruh
dengan sifat, dan dinamika faktor non ekonomi.Salah satu faktor non
ekonomi yang harus diperhatikan dalam upaya pembangunan ekonomi
adalah faktor hukum.
Setelah reformasi nasional, hukum terombang-ambing dalam
jalinan kelindan dengan kebutuhan legitimasi keadilan atau sebagai
sarana rekayasa perubahan. Tentu posisi serupa ini, yang hingga
sekarang masih berlansung, tidak bisa dibiarkan terus menerus.
Kontektualisasi hukum ekonomi sebagai panglima, menuntut
mekanisme yang integral dan tahapan yang runut.Ia harus menjadi
obor penerang untuk menterjemahkan semangat konstitusi sekaligus
menjadi pemandu bagi kebijakan ekonomi agar mampu mendorong
pertumbuhan. Namun pada waktu yang sama juga harus mengayomi
dan memayungi bagi isu-isu pemerataan, pengentasan kemiskinan dan
pemihakan pada sector ekonomi kerakyatan.
Faktor utama bagi hukum untuk dapat berperan dalam pem-
bangunan ekonomi adalah apakah hukum mampu menciptakan
stability, predictability dan fairness. Dua hal pertama adalah prasyarat
bagi sistem ekonomi apa saja untuk berfungsi. Termasuk dalam fungsi
stability adalah potensi hukum menyeimbangkan dan mengakomodasi
kepentingan yang saling bersaing.Kebutuhan fungsi hukum untuk
dapat meramalkan (predictability) akibat dari suatu langkah-langkah
yang diambil khususnya penting bagi negeri yang sebagian besar
rakyatnya untuk pertama kali memasuki hubungan ekonomi yang
tradisional. Aspek keadilan seperti perlakuan yang sama dan standar
64 Politik Ekonomi Islam...

pola tingkah laku pemerintah adalah perlu untuk menjaga mekanisme


pasar dan mencegah birokrasi yang berlebihan.142 Oleh sebab itu cabang-
cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat
hidup orang banyak dikuasai oleh negara.Kalau tidak, tampuk produksi
jatuh ketangan orang-orang yeng berkuasa dan rakyat banyak ditindas.143
Orientasi pembangunan ekonomi dalam sektor norma hukum
sejauhnya telah dilindungi dalam konstitusi melalui pasal 33 UUD 1945,
tetapi pada sektor rill yang ditekankan belum mampu melindungi sumber
daya tersebut dari tangan para mafia ekonomi dan mafia hukum.
Penerapan paradigma pembangunan ekonomi sesuai amanat
Pancasila dan UUD 1945, melalui: (a) penguatan sistem ekonomi
Indonesia berlandaskan nilai-nilai “kekeluargaan dan kebersamaan”;
(b) pengelolaan dan pengaturan perekonomian nasional berdasarkan
perencanaan yang baik; (c) penataan sistem distribusi kepemilikan dan
pengusahaan berbagai sumber daya ekonomi secara berkeadilan; dan
(d) pemerintah harus memiliki peran strategis dalam menyusun
regulasi, utamanya pengaturan pemilikan, penguasaan dan pengusahaan
sumber daya ekonomi bangsa sehingga mampu mendorong peran
lembaga ekonomi nasional, swasta, koperasi dan BUMN/BUMD,
termasuk investor asing secara harmonis dan berkeadilan.144
Kondisi ini menunjukkan orientasi pembangunan ekonomi juga
bergantung pada kesuksesan penegakan hukum. Kondusivitas budaya
juga menentukan pembangunan ekonomi. Untuk mewujudkan
pembangunan ekonomi harus bersamaan dengan membangun aspek
non ekonomi tersebut sebagai aspek yang tak terpisahkan. Aspek-
aspek non ekonomi tersebut merupakan capital non-ekonomi yang
sama pentingnya dengan pembangunan ekonomi itu sendiri.
142
Erman Rajagukguk, “Peranan Hukum di Indonesia, Menjaga Persatuan, Memulihkan Ekonomi
dan Memperluas Kesejahteraan Sosial”, Pidato ilmiah disampaikan pada Dies Natalis dan
Peringatan Tahun Emas UI, di Universitas Indonesia Depok tahun 2000, hlm.13.
143
H.R.E. Kosasih Taruna Sepandji, Konstitusi dan Kelembagaan Negara, (Bandung: Penerbit
Universal,2000), hlm. 88.
144
Marsuki, serial Diskusi Peran Nilai-Nilai Agama dalam Gerakan Revolusi Mental untuk
Reorientasi Pembangunan Ekonomi, Makassar, Bappenas, 29 September 2015.
BAB III
ANALISIS SITUASI SOSIAL, KEAGAMAAN,
DAN MENTALITAS BANGSA

3.1. Gambaran Umum Kehidupan Sosial


Keagamaan

M
enelusuri kehidupan keberagamaan masyarakat
Indoenesia sesungguhnya merupakan suatu usaha untuk
memahami bagaimana agama itu diekspresikan di dalam
kehidupan masyarakat itu sendiri. Usaha untuk melihat dan memahami
ekspresi keberagamaan, menurut Joachim Wach, dapat dilihat dari
tiga bentuk, yaitu: Pertama, pemikiran keagamaan, yaitu ekspresi
pengalaman keagamaan dalam bentuk konsep-konsep atau ajaran yang
bercorak teoritis dan intelektualis; kedua, prilaku keagamaan (ritual),
yaitu ekspresi perbuatan dalam bentuk tingkah laku atau perbuatan
sebagai bentuk penerapan praktis dari konsep-konsep atau hasil
pemikiran yang bersifat teoritis dan intelektualis; ketiga, perkumpulan
(organisasi) keagamaan, yaitu himpunan orang-orang yang mempunyai
pemikiran dan perbuatan yang sama.1
Memakai kacamata Joachim Wach di atas kemudian menilik
kehidupan beragama masyarakat Indonesia yang mendiami gugusan

1
Joachim Wach, Ilmu perbandingan Agama: Inti dan Bentuk Pengalaman Kagamaan, (Jakarta:
Desantara, 1999).
66 Politik Ekonomi Islam...

pulau-pulau yang menjadi barisan kesatuan bangsa ini memiliki corak


ekspresi keberagamaan dan kepercayaan yang beranekaragam.
Keanekaragaman ini menjadikan Indonesia dikenal sebagai bangsa dan
negara yang majemuk, khususnya dari aspek keagamaan. Tidak
berlebihan juga dikatakan bahwa Indonesia adalah salah satu negara
dengan tingkat keanekaragaman atau tingkat heterogenitas yang tinggi.
Keanekaragaman atau kemajemukan keberagamaan merupakan
hasil dialektika dari perjalanan panjang budaya dan tradisi masyarakat
Indonesia sendiri. Agama merupakan faktor komplementer dalam
sebuah sistem kebudayan, yang telah ada cukup lama sebelum bangsa
Indonesia terbentuk. Bahkan jauh sebelum peradaban agama-agama
besar masuk ke kepulauan nusantara (Indonesia), sudah ada tradisi
keagamaan (agama lokal) yang hidup dan diyakini oleh masyarakat
setempat sebagai bentuk ekpresi terhadap adanya Tuhan. Sejarah
mencatat bahwa berlabuhnya kapal-kapal pedangan Gujarat India,
arab, Portugis, Belanda telah membuka diri bangsa ini pada lingkup
interaksi antar peradaban keagamaan pada masa itu. Kehadiran
peradaban agama-agama besar itu juga telah membuka dan mendorong
terwujudnya keanekaragaman keagamaan, tradisi, dan kultur ketika
bersentuhan dengan agama-agama lokal. Persinggungan yang terjadi
tersebut tidak serta merta menghilangkan agama dan tradisi, tetapi
masyarakat lokal (bangsa Indonesia) mampu mengembangkan nilai-
nilai budaya dan tradisi lokal ditengah-tengah persinggungan peradaban
yang berbeda. sehingga agama tumbuh dan berkembang bersama tradisi
yang berlaku dalam masyarakat setempat. Oleh sebab itu, bagi
masyarakat Indonesia agama dan tradisi ibarat dua sisi mata uang yang
terpisahkan, namun tetap bisa dikenali perbedaan mendasar sifat dan
karakter antara keduanya.
Disadari atau tidak, singgungan peradaban yang terjadi pada
dasarnya telah membangun daya elastisitas masyarakat Indonesia
dalam berinteraksi dengan peradaban yang berbeda-beda, baik kultur,
tradisi, suku, ras, agama, dan lainnya. Keadaan ini menjadikan
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 67

Indonesia lebih istimewa karena ditengah perbedaan keberagamaan


masyarakatnya mampu menjalin komitmen serta kesadaran untuk
hidup bersama dalam teritorial NKRI. Kesadaran masyarakat atas
kemajemukan inilah yang dalam kehidupan masyarakat modern
dikenal dengan masyarakat berkesadaran plural. Salah satu ciri utama
masyarakat berkesadaran plural adalah pengakuan dan penghormatan
atas perbedaan yang ada dan menyakini bahwa perbedaan itu
sesungguhnya merupakan kehendak Tuhan yang tidak bisa dipungkiri.
Sebaliknya, penolakan terhadap pluralitas merupakan pengingkaran
terhadap kehendak Tuhan, dan bahkan penolakan terhadap pluralitas
justru akan menimbulkan ketegangan ataupun bahkan konflik antar
umat beragama—untuk tidak menutup mata bahwa terkadang
perbedaan yang ada kerap kali memunculkan ketegangan-ketegangan
dan bahkan konflik antar umat beragama. Semua itu merupakan sebuah
dinamika dalam perjalanan kehidupan beragama bagi masyarakat
Indonesia. Dinamika sosial yang terjadi tersebut sesungguhnya
merupakan cerminan dari tingkat keberagamaan masyarakat
Indonesia itu sendiri.
Keberadaan agama bagi masyarakat Indonesia merupakan
bagian penting dalam menjalani kehidupan, karena agama tidak hanya
menyangkut hunbungan manusia dengan Tuhannya atau hubungan
bersifat batiniah, tetapi agama turut banyak terlibat disetiap lini
kehidupan masyarakat. Bahkan dalam catatan sejarah, agama memiliki
andil besar dalam perjuangan untuk melepaskan bangsa ini dari
penjajahan kolonial. Agama menjadi motivasi dan inspirasi bagi rakyat
Indonesia untuk berpikir, membangun sikap mentalitas, meneguhkan
jati diri bangsa, guna berjuang mencapai kemerdekaan.
Oleh sebab itu, bukan sebuah kebetulan jika para founding father
menjadikan dasar ketuhanan dan kemanusiaan itu sebagai pondasi
utama ideologi dasar negara Inoneisa, sebagaimana yang termaktub
dalam Pancasila dan juga UUD 1945. Pancasila dan UUD 1945
menjamin dan sekaligus melindungi seluruh warganya untuk beragama
68 Politik Ekonomi Islam...

sesuai dengan ajaran agama dan kepercayaan yang dianutnya. Jaminan


kebebasan beragama bagi semua pemeluk agama diatur dalam UUD
Negara RI tahun 1945, khususnya dalam pasal 28E, pasal 28I, pasal
28J, dan pasal 29 dan diperkuat dengan sejumlah produk perundang-
undangan lainnya.
Sejauh ini ada enam agama yang diakomodir oleh negara, yaitu:
Islam, Katholik, Protestan, Hindu, Budha, dan Khong Hu Cu. Jika
dilihat secara persentase jumlah penganut agama, maka mayoritas
masyarakat Indoensia penganut agama Islam, bahkan termasuk
penganut agama Islam (muslim) terbesar di dunia. Selain keenam
agama tersebut, negara juga mengakomodir aliran kepercayaan yang
notabanenya merupakan agama lokal, yang sampai saat ini beberapa
diantaranya masih bertahan dan tetap eksist ditengah himpitan
mayoritas agama-agama besar dunia yang dianut oleh masyarakat In-
donesia. Di luar keenam agama dan ditambah dengan beberapa aliran
kepercayaan, negara Indonesia juga membebaskan penganut agama-
agama untuk hidup sesuai dengan ajaran agama yang diyakininya.
Kesemua penganut agama-agama tersebut tersebar dari ujung pulau
Sabang sampai Marauke. Meskipun diantara daerah di Inonesia
terdapat agama mayoritas mutlak yang dianut masyarakatnya, namun
negara menjamin di bumi Indonesia ini tidak ada agama ekslusif yang
harus lebih dominan di antara agama-agama lainnya.
Meskipun agama sebagai ideologi dasar bangsa, bukan berarti
Indonesia menjadi negara agama yang mengakui satu agama dan
dijadikan dasar hukum negara. Begitu juga sebaliknya, bukan negara
sekuler yang mengabaikan peran dan posisi agama, tetapi Indoneisa
adalah negara nasionalis yang menjunjung nilai-nilai agama. sehingga
Mukti Ali, dalam Mulyanto Sumardi, menyebutkan bahwa masyarakat
Indonesia merupakan masyarakat yang bercorak religius (agamaniah).2
Indonesia adalah negara Pancasila dimana semua penganut agama
2
Mulyanto Sumardi, dkk, Penelitan Agama: Masalah dan Pemikiran, (Jakarta: Sinar Harapan,
1982), hlm. 20.s
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 69

bebas menjalankan ajaran agamanya masing-masing. Namun di dalam


mengamalkan agama ada rambu-rambu yang harus ditaati semua pihak
agar tidak terjadi persinggungan satu sama lain yang bisa menyebabkan
rusaknya persatuan dan kesatuan bangsa.
Sejak awal para pendiri bangsa telah menyadari bahwa agama
merupakan bagian yang tak terpisahkan bagi masyarakat Indoneisa.
Melalui agama, sikap mentalitas karakter bangsa dapat terbentuk.
Keragaman keberagamaan masyarakat Indonesia merupakan modal
sosial yang sangat berharga. Kesadaran akan keragaman memungkinkan
bangsa ini memenuhi kebutuhan dan memperoleh ketahanan hidup
guna mencapai terwujudnya kesejahterahan hidup masyarakat
Indonesia Keragaman yang dimiliki bangsa ini merupakan modal besar
untuk membawa bangsa ini maju sejajar dengan negara-negara lainnya.
Namun seperti yang diketahui bersama, dalam beberapa dekade
belakangan ini terjadi pergeseran karakter jati diri, dan ditambah lagi
degradasi moral anak bangsa. Kondisi ini semakin terasa getarannya
dan terlihat kepermukaan pada masa pergantian orde baru ke era
reformasi. Perubahan radikal yang terjadi turut menjungkirbalikkan
nilia-nilai (agama) yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia, dan terasa
hampir tercarabut sampai ke akar-akarnya. Betapa tidak, bangsa ini
mengalami krisis multidimensional di segala bidang, baik di bidang
politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, maupun agama. Di bidang
politik misalnya, prilaku korup dikalangan pejabat pemerintah, bagi
rakyat awam tampak beringas dan mendemostrasikan sikap antisosial,
antikemapanan, dan kontraproduktif serta goyah dalam keseimbangan
rasio dan emosinya. Di bidang hukum, rendahnya penegakan hukum
bagaikan mata pisau yang tajang ke bawah tetapi tumpul ke atas, di
bidang sosial dapat dilihat dari meningkatnya tindakan kriminal,
narkoba yang merajalela, angka kemiskinan yang kian meningkat,
Keadaan seperti ini sesungguhnya sangat kontradiktif dan bertolak
belakang dengan cita-cita bangsa.
70 Politik Ekonomi Islam...

Kondisi ini semakin diperparah lagi dengan munculnya konflik-


konflik di masyarakat, baik atas nama agama, suku ataupun golongan.
Nilai-nilai ideologi bangsa, baik agama maupun budaya yang menjadi
landasan kesatuan dan keakraban bangsa menjadi longgar, tak lagi
diperhatikan. Kondisi yang serba tak stabil ini seakan-akan telah
menghilangkan citra bangsa ini sebagai bangsa toleran, berbudaya, dan
masyarakat yang religius. Krisis multidimensional yang dihadapi
bangsa ini pada akhirnya berimbas pada pembangunan material dan
spiritual bangsa yang tersendat, discontinue, unlinier dan unpredictable.3
Kondisi seperti ini pelan tapi pasti akan membawa bangsa ini
menuju kehancuran apabila dibiarkan. Dalam keadaan yang demikian,
bangsa dan negeri yang besar ini harus segera berbenah diri. Keragaman
yang ada ditengah masyarakat Indonesia merupakan suatu hal yang
istimewa dan sangat berharga. Keragaman yang dimiliki bangsa ini
merupakan modal kekayaan yang sangat besar, yang memungkinkan
bangsa ini memenuhi kebutuhan dan memperoleh ketahanan hidup
guna mencapai terwujudnya kesejahteraan hidup. Maka perlu disadari
bahwa keragaman agama yang dimiliki bangsa ini merupakan modal
besar untuk membawa bangsa ini maju sejajar dengan negara-negara
lainnya. Untuk itu modal yang besar ini (agama) perlu dimaksimalkan
guna menjawab dan menyelesaikan persoalan bangsa ini.
Di sini harus dipahami, sejauhmana komitmen keberagamaan
umat yang mejadi pondasi ideologi bangsa ini terlibat dalam proses
pembangunan, yang tengah menghadapi tantangan. Jika masyarakat
menjunjung tinggi nilai-nilai agama, maka sudah semestinya agama
turut andil dalam menyelesaikan persoalan bangsa. Mengutip pendapat
Prof. Gregory Baum–seorang Pakar Sosiologi Pengetahuan Jerman–

3
Sumantri, 2012 dalam http://www.setneg.go.id. Tidak bisa dipungkiri bahwa peralihan dari
sistem pemerintahan orde baru yang lebih ototarian ke era reformasi yang lebih demokratis
juga memiliki sisi positif bagi masyarakat Indonesia. Sisi positif dari perubahan orde baru ke
orde lama, dimana demokratisasi yang kian membaik dan juga demokrasi Indonesia kian
dikokohkan dengan diperkuatnya elemen-elemen penopangnya, yang salah satunya ditandai
dengan semakin berperannya kekuatan masyarakat sipil (civil society) di dalam sistem bernegara
kita.
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 71

yang menyatakan bahwa kebenaran agama tidak bisa lepas dari


keterkaitannya dengan “komitmen solidaritas”dan “komitmen
emansipatoris”. Komitmen solidaritas meniscayakan kebenaran agama
mampu mengeluarkan manusia dari lingkaran ideologis yang sempit,
keras, dan penuh permusuhan menuju kehidupan yang penuh
kedamaian dan keharmonisan, tanpa kecurigaandan kekerasan.
Sedangkan komitmen emansipatoris sebagai ukuran kebenaran agama
harus mampu membebaskan umat manusia dari kebodohan, keter-
belakangan, kemiskinan, dan sejenisnya.4 Untuk itu, nilai-nilai agama
yang selama ini hampir tersingkirkan di dalam kehidupan masyarakat,
mesti direvitalisasi dalam menjawab tantangan yang dihadapi bangsa.

3.1.1. Memahami Kemiskinan


Agama memiliki seperangkat nilai-nilai yang dijadikan manusia
sebagai pedoman dalam mengarungi dinamika kehidupan. Mungkin
tidak berlebihan menempatkan nilai-nilai agama menjadi penggerak
perubahan dalam menjawab tantangan kehidupan sosial. Karena tidak
sedikit fakta sejarah yang mengungkapkan bahwa agama dan seperagkat
nilai-nilai di dalamnya berperan sebagai penggerak perubahan dalam
menghadapi berbagai persoalan dan tantangan zaman.
Fenomena kemiskinan merupakan salah satu problem sosial
yang menjadi bayang-bayang menakutkan di tengah proses pembanguan
suatu negara. Oleh sebab itu, persoalan kemiskinan ini merupakan
tantangan zaman yang menjadi perhatian serius bagi semua kalangan.
Melalui berbagai forum, baik nasional maupun internasional, topik
seputar kemiskinan menjadi isu yang didiskusikan. Persoalan
kemiskinan unumnya selalu dikaitkan dengan permasalahan utama
dalam pembangunan ekonomi suatu negara, terlebih lagi di negara-
negara berkembang seperti Indonesia. Meskipun Indonesia sebagai

4
Edi Junaedi, Menakar Komitmen Keberagamaan Umat, dikutip dari http://bimasislam.
kemenag.go.id/ post/opini/menakar-komitmen-keberagamaan-umat, (diakses pada tangal 4
april 2014)
72 Politik Ekonomi Islam...

negara berkembang yang secara konsisten melakukan pembangunan


nasional dalam berbagai aspek, namun tidak serta merta menjadikan
Indonesia sebagai negara yang bebas dari persoalan kemiskinan.
Berbagai upayapun telah dilakukukan pemerintah melalui berbagai
program dan rumusan-rumusan kebijakan guna menekan angka
kemiskinan di Indonesia. Namun fakta memperlihatkan bahwa usaha
yang dilakukan tersebut belum sepenuhnya menjadikan masyarakat
Indonesia terbebas dari problem kemiskinan.
Persoalan kemiskinan seperti sebuah piramida, hal ini dapat
dilihat dari tingginya persentase masyarakat miskin daripada yang
kaya. Dalam konstitusi negara menyebutkan bahwa fakir miskin dan
anak-anak terlantar dipelihara oleh negara atau mendapat jaminan
hidup yang layak dari pemerintah. Namun keterbatasan anggaran
negara menjadi hambatan dalam menjalankan kebijakan tersebut
secara tuntas. Meskipun begitu, pemerintah harus memerhatikan dan
bekerja keras mencarikan solusi yang terbaik dalam penanganan
persoalan kemiskinan. Di sisi lain, Peran aktif seluruh elemen anak
bangsa sangat dibutuhkan untuk menyelesaikan persoalan kemiskinan,
baik dari lembaga pendidikan, organisasi kemasyarakatan, organisasi
keagamaan, kalangan aktivis, agamawan, dan lainnya. Persoalan
pengentasan kemiskinan inilah yang menjadi salah satu agenda
sekaligus tantangan utama bagi bangsa Indonesia.
Meskipun begitu, persoalan pengentasan kemiskinan ini
bukanlah semudah membalikkan telapak tangan. Kemiskinan sebagai
suatu kenyataan yang kompleks. Untuk itu perlu keseriusan dan
konsistensi dari berbagai pihak, khususnya pemerintah, dalam
memikirkan dan penyelesainan persoalan kemiskinan. Persoalan
kemiskinan dapat berdampak negatif bagi tatanan sosial di masyarakat,
seperti timbulnya tindakan kriminal, sentimen-sentimen antara kaya-
miskin dan bahkan timbulnya isu SARA dengan mengunakan
masyarakat miskin sebagai ujung tombak untuk kepentingan oknum
atau golongan tertentu. Dalam konteks ini keberadaan agama tidak
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 73

bisa dikesampingkan dalam upaya pengentasan kemiskinan tersebut.


Karena agama memiliki nilai-nilai yang inheren dengan nilai-nilai
kemanusiaan sebagai penggerak perubahan guna menjawab persoalan
kemiskinan. Terlebih lagi Indonesia merupakan negara yang
menempatkan agama sebagai bagian dari asas dasar negara,
sebagaimana tercantum pada sila pertama dari pancasila.
Kemiskinan dalam konteks arti, defenisi maupun indikator
dirumuskan secara variatif. Para ahli dalam berbagai persepektif bidang
keilmuan telah banyak mengkaji dan meneliti problem kemiskinan.
Melalui studi-studi tersebut, melihat bahwa telah banyak defenisi,
indikator dan pengkontruksian realitas sebuah masyarakat yang
disebut masyarakat miskin. Hal ini memperkaya pengetahuan bahawa
realitas masyarakat miskin itu sendiri merupakan suatu fenomena multi
face dan multidimensional.
Dalam konteks pembangunan ekomoni, terdapat beberapa
istilah untuk menyebutkan “masyarakat kemiskinan”, di antaranya
seperti kelompok penggiran atau kaum marjinal, golongan yang
terlupakan, golongan kelas bawah, masyarakat akar rumput, (the grass
root).5 Istilah-istilah ini dipakai untuk menggambarkan keadaan dan
tempat tinggal mereka dalam arus pembangunan yang bergulir dalam
suatu negara.
Dari sisi pengertiannya, BAPPENAS (Badan Perencanaan dan
Pembangunan Nasional) merangkum defenisi kemiskinan sebagai
kondisi di mana seseorang atau sekelompok orang tidak mampu
memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan
mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar
tersebut antara lain, tidak terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan,
pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya
alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakukan atau ancaman
tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-

5
Robert Chambers, Pembangunan Desa, hlm. 132
74 Politik Ekonomi Islam...

politik.6 Sering kali kondisi kemiskinan tersebut dipahami secara


tunggal sebagai akibat dari budaya kebodohan, kurangnya
keterampilan teknis, rendahnya produktifitas, etos kerja yang rendah,
dan sebagainya, yang dalam hal ini selalu dikaitkan dengan kemiskinan
berbasis need for achievment. Sehingga upaya penanggulangan sering
dikaitnya dengan pelaksanaan berbagai program pelatihan, kursus-
kursus dan juga pemberian bantuan melalui kreasi inovatif, atau bahkan
bantuan yang diberikan secara cuma-cuma.7 Namun perlu dipahami
bahwa persoalan kemiskinan bukan semata-mata muncul akibat dari
sistem budaya yang demikian, tetapi juga terkadang dipengaruhi oleh
faktor-faktor lain yang kerap mendukung, seperti struktur sosial
ekonomi, sosial budaya, sosial politik, lingkungan (alam dan geografis),
yang menjadikan mereka memiliki keterbatasan atau bahkan
ketidakberdayaan dalam mengakses sumber-sumber pendapatan
untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup. Faktor-faktor tersebut tidak
pernah membuka peluang bagi mereka untuk keluar dari problem
kemiskinan.8
Dengan demikian, mengetahui bahwasanya terdapat banyak
aspek-aspek yang melatarbelakangi kondisi kemiskinan. Aspek-aspek
yang melatarbelakangi kemiskinan tersebut sangat tergatung pada
tatanan sosial dan lingkungan yang mereka (masyarakat miskin)
hadapi. Sebagai contoh, problem masyarakat miskin di perkotaan
dengan masyarakat miskin di pedesaan, atau dengan masyarakat
pedalaman tentunya persoalan kemiskinan yang dihadapi sangat
berbeda. Maka kajian tentang persoalan kemiskinan yang kompre-
hensip dan multidimensional sangat diperlukan guna memahami dan
mencari penjelasan tentang fenomena kemiskinan agar tidak terjadi
distorsi terhadap eksistensi masyarakat secara substansial, yakni
masyarakat miskin itu sendiri. kesalahan dalam menanggulanginya.
6
Bappenas, artikel ekonomi rakyat dan kemiskinan, 2005.
7
Lihat Heru Nugroho, Menimbulkan Ide-ide Kritis, cet. Ke-2, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2001), hlm. 44-45.
8
Mubyarto, Ekonomi Rakyat dan Program IDT, (Yogykarta: Aditya Media, 1996), hlm. 27.
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 75

Setidaknya kondisi kemiskinan dapat dibagi dalam empat


bentuk,9 yaitu:
1) Kemiskinan absolut, yaitu apabila pendapatan yang diperoleh masih
di bawah garis kemiskinan atau tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan hidup dasar, seperti pangan, sandang, kesehatan, rumah
layak huni, pendidikan dan lain sebagainya.
2) Kemiskinan relatif, yaitu kondisi miskin yang terjadi akibat
ketimpangan pendapatan. Kondisi seperti ini bisa dikarenakan oleh
pengaruh kebijakan pembangunan yang belum menjangkau seluruh
masyarakat.
3) Kemiskinan kultural; bentuk ini mengacu pada persoalan sikap
seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh faktor budaya
prilaku yang tidak mau atau kurang berusaha untuk memperbaiki
tingkat kehidupan, budaya prilaku tersebut seperti prilaku malas,
pemboros, tidak kreatif meskipun ada bantuan dari pihak luar, dan
lain sebagainya.
4) Kemiskinan struktural; situasi miskin yang disebabkan karena
rendahnya akses terhadap sumber daya yang terjadi dalam suatu
sistem sosial budaya dan sosial politik yang tidak mendukung
pembebasan kemiskinan, tetapi seringkali menyebabkan suburnya
kemiskinan.
Dalam perkembangan terakhir, Owin Jarnasy10 menyebutkan
bahwa bentuk kemiskinan struktural lebih banyak menjadi sorotan
sebagai penyebab tumbuh dan berkembangnya ketiga bentuk
kemiskinan yang lain. Kemiskinan struktural ini dapat dibedakan
menjadi dua jenis yaitu kemiskinan alamiah dan kemiskinan buatan
(artificial). Pertama, kemiskinan alamiah; berkaitan dengan
kelangkaan sumber daya alam dan prasarana umum, serta keadaan
9
Nasikun, Isu dan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan, (Diktat Mata Kuliah Magister
Administrasi Publik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 2001).
10
Jarnasy, Owin. Keadilan, Pemberdayaan dan Penanggulangan Kemiskinan, (Jakarta: Belantika,
2004),
76 Politik Ekonomi Islam...

tanah yang tandus. Kedua, kemiskinan buatan yaitu lebih banyak


diakibatkan oleh sistem modernisasi atau kebijakan pembangunan
yang membuat masyarakat tidak dapat menguasai sumber daya,
sarana, maupun fasilitas ekonomi yang ada secara merata.11
Dalam kerangka analisa teori secara umum, penyebab
munculnya persoalan kemiskinan tersebut dapat dilihat dalam dua
sudut pandang pendekatan, yaitu pendekatan internal dan pendekatan
eksternal. Pendekatan internal sering dikaitkan dengan teori
modernisasi (modernazation theory) dalam menganalisis kemiskinan
suatu masyarakat. Asumsi yang dibangun melalui pendekatan internal
memandang bahwa kemiskinan yang menimpa individu atau kelompok
masyarakat diakibatkan oleh induvidu atau masyarakat itu sendiri.
Kondisi ini terjadi sebagai akibat dari sejumlah faktor-faktor internal
yang bersumber dari nilai-nilai budaya tradisional yang dianut oleh
individu atau masyarakat itu sendiri. Teori ini dibangun berdasarkan
kerangka pemikiran yang mempertentangkan antara nilai-nilai modern
dengan nilai-nilai tradisional secara asimetris.12 Sebab-sebab kemiskinan
yang berkaitan dengan kondisi individu atau masyarakat itu sendiri
dapat dilihat dalam kehidupan nyata, seperti tidak atau kurang percaya
pada kemampuannya, keengganan mengaktualisasikan potensi yang
ada dalam bentuk kerja nyata yang serius, serta keengganan
memberikan respek yang optimal terhadap perputaran waktu.
Sedangkan pendekatan eksternal dalam menganalisa persoalan
kemiskinan lebih banyak dikembangkan oleh pemikiran-pemikiran
kaum marxian. Pendekatan internal ini menyebutkan bahwa penyebab
kemiskinan yang terjadi dimasyarakat bukanlah akibat dari nilai-nilai
budaya yang dianut oleh masyarakat itu sendiri, tetapi sebagai akibat
11
Mas’oed, M., Politik, Birokrasi dan Pembangunan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset. 1997).
12
Mashoed, Pemberdayaan masyarakat miskin: membuka kawasan terisolasi, (surabaya: Papyrus,
2004), hlm. 39- 53. Dalam perkembangan selanjutnya, ide-ide teori modernisasi ini telah
mengilhami suatu teori yang disebut dengan culture of poverty (budaya kemiskinan) yang
digagas oleh lewis melalui hasil penelitiannya terhadap masyarakat di Amirika latin, baik yang
bermukim di perkotaan maupun di daerah pedesaan, dalam upaya memahami persoalah
kemiskinan.
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 77

langsung dari tindakan eksploitasi terhadap sumber-sumber daya


ekonomi.13 sebab kemiskinan yang berkaitan dengan kondisi eksternal
ini ialah seperti terkonsentrasinya modal di tangan orang-orang kaya
(konglomerat), terkonsentrasinya akses (seperti; pendidikan, kesehatan,
ekonomi, barang, jasa, dsb) di wilayah perkotaan, ekspolitasi sumber
daya alam yang dilakukan tanpa memperhatikan lingkungan sekitar,
dan lain sebagainya yang menyebabkan orang atau masyarakat tidak
memiliki kesempatan untuk mengaktualisasikan potensi-potensinya
untuk terlepas dari belenggu kemiskinan.
Berkaitan dengan kondisi kemiskinan yang disebabkan oleh
faktor eksternal ataupun internal, Nasikun14 menyoroti beberapa
sumber dan penyebab terjadinya kemiskinan, yaitu:
a. Policy induces processes, yaitu proses kemiskinan yang dibentuk
atau diproduksi dan dilestarikan melalui pelaksanaan suatu
kebijakan, seperti kebijakan antikemiskinan, tetapi dalam realitasnya
justru melestarikan kemiskinan untuk tujuan oknum tertentu.
b. Socio-economic dualism, kemiskinan seperti ini terjadi akibat pola
produksi kolonial yang terjadi pada negara-negara ekskolonial.
Sebagai contoh petani-petani menjadi termarjinalkan (terpinggirkan)
dikarenakan tanah-tanah yang paling subur dikuasai oleh petani
skala besar yang berorientasi pada kegiatan ekspor.
c. Population growth, persepektif ini didasarkan pada teori Malthus,
yang menyebutkan bahwa pertambahan jumlah penduduk yang tidak
seimbang dengan ruang untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar.
d. Recources management and the enironment, yaitu adanya suatu
unsur mismanagement sumber daya alam dan lingkungan sehingga
menyebabkan rendahnya produktifitas. Sebagai contoh dalam

13
Mashoed, Pemberdayaan masyarakat miskin, hlm. 54.
14
Nasikun, Isu dan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan, (Diktat Mata Kuliah Magister
Administrasi Publik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 2001). Lihat juga Surat Kabar
Suara Pembaharuan. 24 April 2004.
78 Politik Ekonomi Islam...

manajemen pertanian, hal ini dapat dilihat dari prilaku asal tebang
yang akan menurunkan produktifitas.
e. Natural cycles and processes, yaitu kemiskinan yang terjadi karena
siklus alam. Misalnya para petani yang mengarap sawah hanya
mengandalkan air hujan (sawah tadah hujan) yang apabila musim
kemarau datang tidak memungkinkan untuk menggarap sawah.
f. The marginalization of woman, yaitu peminggiran kaum perempuan
karena masih beranggapan bahwa perempuan merupakan golongan
kelas kedua. Kondisi ini menyebabkan askes-akses dan penghargaan
diberikan lebih rendah dari laki-laki.
g. Cultural and ethnic factor, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh
faktor budaya dan etnik, semisalkan budaya pola hidup konsumtif
dikalangan suatu masyarakat atau negara.
h. Explotative intermediation, yaitu kemiskinan yang timbul akibat
dari keberadaan seseorang yang berlagak menolong tetapi justru
menjadi penodong, seperti rentenir atau lintah darat.
i. Internal political fragmentation and civil stratfe, yaitu kemiskinan
yang terjadi akibat adanya suatu kebijakan yang diterapkan pada
suatu daerah yang fregmentasi politiknya kuat.
j. International processes, yaitu masuk dan bekerjanya sistem-sistem
kolonialisme dan kapitalisme yang membuat negara semakin miskin.
Selain beberapa faktor di atas, Robert Chambers, dalam Nasikun,
menyebutkan bahwa kemiskinan merupakan integrated concept yang
memiliki lima dimensi, yaitu:
a. kemiskinan (proper), situasi orang miskin mempunyai tanda-tanda
sebagai berikut; Pertama, rumah mereka reot dan dibuat dari bahan
bangunan yang bermutu rendah, perlengkapan yang sangat minim,
tidak memiliki MCK sendiri. Ekonomi keluarga bercirikan gali lubang
tutup lubang. Kedua, pendapatan mereka tidak menentu dan sangat
rendah.
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 79

b. ketidakberdayaan (powerless), Orang miskin tidak berdaya


menghadapi rentenir atau orang-orang lain yang sering meng-
eksploitasi mereka. Mereka juga tidak berdaya menghadapi polisi
atau aparat negara lain yang sering tidak ramah terhadap mereka.
c. kerentanan menghadapi situasi darurat (state of emergency),
Keempat, kerentanan (vulnerability). Dalam menghadapi paceklik
keluarga miskin mencukupi kebutuhan sehari-hari mereka dengan
menjual barang-barang yang dimiliki dan laku dijual, utang pada
tetangga yang lebih mampu, atau mengurangi makan mereka baik
dari segi jenis atau frekuensinya. Keadaan darurat membuat tidak
hanya keluarga miskin menjadi lebih miskin, juga rawan dari berbagai
macam penyakit, yang tidak jarang dapat membawa kematian.
d. ketergantungan (dependence), kelemahan fisik keluarga miskin
disebabkan oleh beberapa hal seperti tidak adanya seorang laki-laki
sehat yang menjadi kepala keluarga, sehingga keluarga terpaksa
dikepalai seorang perempuan yang di samping bekerja mengurusi
pekerjaan rumah sehari-hari, juga harus bekerja untuk menghidupi
keluarga. Akibatnya keluarga miskin lemah secara fisik akibat
rendahnya gizi, beban kerja terlalu berat dan interaksi berbagai bibit
macam penyakit akibat kemiskinan.
e. keterasingan (isolation) baik secara geografis maupun sosiologis.
Kelompok miskin dapat terasing karena tempat tinggalnya yang
secara geografis terasing, atau karena mereka tidak memiliki akses
terhadap sumber-sumber informasi.15
Lebih lanjut Chambers menyatakan bahwa kelima dimensi
kemiskinan tersebut sering dialami oleh masyarakat di negara-negara
sedang berkembang, khususnya masyarakat di wilayah pedesaan.16

15
Nasikun. Diktat Mata Kuliah. Isu dan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan. Magister
Administrasi Publik. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 2001. dan Jarnasy, Owin.
Keadilan, Pemberdayaan dan Penanggulangan Kemiskinan. (Jakarta: Belantika, 2004).
16
Nasikun, Isu dan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan, (Diktat Mata Kuliah Magister
Administrasi Publik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 2001).
80 Politik Ekonomi Islam...

Dimensi kemiskinan yang dapat dilihat dan diamati merupakan


realitas kehidupan masyarakat. Beberapa dimensi tersebut di
antaranya:17
a. Kemiskinan dalam dimensi ekonomi; yaitu kondisi kekurangan atau
bahkan tidak memiliki sumber daya yang dapat untuk memenuhi
kebutuhan dasar hidup, seperti sandang, pangan papan, kesehatan,
pendidikan dan lain sebagainya. Dalam realitas kehidupan di tengah
masyarakat, kemiskinan dalam dimensi ekomoni ini paling mudah
terlihat, diamati, diperbandingkan, dan diukur dari individu atau
masyarakat.
b. Kemiskinan dalam dimensi kesehatan; dimensi ini sangat berkaitan
dengan dimensi ekonomi, di mana tingkat pendapatan rendah atau
bahkan tidak memiliki pendapatan yang cukup akan diikuti oleh
rendahnya akses memperoleh fasilitas kesehatan. Ketika
permasalahan kesehatan berhadapan dengan kemiskinan maka
reaksi masyarakat miskin bermacam-macam, seperti menghindari
atau memperpendek jasa rawat inap, membeli setengah atau bahkan
sepertiga obat resep. Di sisi lain, rendahnya sumber pendapatan
berdampak pada sulitnya memepenuhi makanan yang bergizi atau
kemampuan untuk mencegah berbagai penyakit. Sehingga mereka
sangat rentang dengan tingginya angka kesakitan dan bahkan
kematian kematian.
c. Kemiskinan dalam dimensi sosial dan budaya; hal ini dapat terjadi
karena kurangnya jaringan sosial dan struktur yang mendukung
untuk mendapatkan kesempatan guna menunjang produktifitas
individu atau masyarakat. Faktor seperti ini dapat disebabkan oleh
diri sendiri, seperti tingkat pendidikan, budaya bermalas-malasan.
Di sisi lain juga dapat disebabkan oleh hambatan dari luar kemampuan
sesorang, seperti birokrasi atau aturan yang menghalangi untuk

17
Chariswardani Suryawati, Memahami Kemiskinan Secara Multidimensional, (Jurnal Manajemen
Pelayanan Kesehatan (JMPK), Vol. 08, No. 03, Septermber 2005), hlm. 121.
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 81

memanfaatkan kesempatan yang ada. Di negara-negara sedang


berkembang (negara dunia ketiga), proses modernitas sering
menghadapi hambatan sosial budaya dikarenakan nilai-nilai budaya
tradisional yang kuat. Kuatnya nilai-nilai tersebut menyebabkan
kehidupan masyarakat menjadi statis, belum mengalami deferensiasi
struktural sehingga perkembangan politik, sosial, ekonomi, dan
budaya mengalami kemajuan yang lambat atau bahkan tidak
mengalami kemajuan yang berarti.18
d. Kemiskinan dalam dimensi sosial politik; dalam konteks ini,
kebijakan pemerintah, baik disengaja atau tidak, dapat menyebabkan
kemiskinan. Hal ini dikarenakan sistem sosial politik yang dapat
menentukan alokasi dan bahkan penggunaan sumber daya untuk
kepentingan sekelompok orang. Sehingga mengurangi atau
menghilangkan akses dan kesempatan individu atau masyarakat
dalam hal produksi ataupun kreativitas. Kondisi seperti ini secara
tidak langsung berpengaruh pada upaya pengembangan kreativitas
dan produksi, yang pada titik tertentu akan berpengaruh pada
kualitas individu dan masyarakat.19 hal ini para teoritisi mengatakan
bahwa a country is a poor because it is poor, but a country is poor
because of poor policies.20 (terjemahan bebas: sebuah negara atau
masyrakat miskin bukan karena mereka miskin, tetapi karena
kebijakan pemerintah yang salah).
e. Dimensi Pendidikan, Agama, dan Budi Pekerti: dalam kondisi
tertentu, penyebab kemiskinan selalu dihubungankan dengan
rendahnya tingkat pendidikan. Oleh sebab itu pendidikan peran
signifikan dalam upaya keluar dari jerat kemiskinan. Karena
pendidikan memberikan kemampuan untuk berkembang dengan

18
Smelser, Neil. Toward Theory of Modernization, dalam Amitai Etzioni dan Eva Etzioni (Ed),
Social Change. (New York: Basic Books, 1964), hlm. 268–84.
19
Ellies, S. The Dimension of Poverty, (Kumarian Press. 1994).
20
Owin Jarnasy, Keadilan, Pemberdayaan dan Penanggulangan Kemiskinan, (Jakarta: Belantika,
2004). Lihat juga Nasikun, Isu dan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan, (Diktat Mata
Kuliah Magister Administrasi Publik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 2001).
82 Politik Ekonomi Islam...

penguasaan ilmu-ilmu dan keterampilan. Konsep pendidikan ini


tidak harus terpaku pada konsep pendidikan formal, tetapi konsep
pendidikan nonformal, seperti, pelatihan, kursus keterampilan,
penyuluhan, penatran atau bimbingan, dan lain sebagainya.21
Dalam konteks pendidikan sosial memberikan peranan yang
signifikan dalam upaya pemberdayaan, partisipasi, demokratisasi,
kepercayaan diri, maupun kemandirin. Begitu juga dalam konteks
pendidikan agama dan budi pekerti, penanaman nilai-nilai agama dan
budi pekerti khususnya bagi anak-anak dan pemuda sangat besar
pengaruhnya. Sehingga pengentasan kemiskinan tidak terpaku pada
pada aspek ekonomi dan fisik semata, tetapi juga menyentuk pada
aspek nonfisik (rohani). Baik pendidikan sosial, agama, dan budi pekerti
harus mendapatkan tempat

3.1.2. Sinergisitas Agama sebagai Upaya Penang-


gulangan Kemiskinan
Telah diuraikan di atas, bahwa fenomena kemiskinan merupakan
problem sosial yang selalu berhadapan dengan proses pembangunan
suatu negara. Maka tidak berlebihan kalau persoalan kemiskinan harus
dipandang sebagai permasalahan sosial kemanusian. Dengan cara
pandang seperti ini akan membawa konsekuensi tertentu, yaitu penang-
gulangan kemiskinan tidak cukup hanya semata-mata didasarkan pada
kebaikan hati seseorang saja, tetapi harus didasarkan pada panggilan
moral, kewajiban sosial, dan dilakukan oleh masyarakat secara
keseluruhan.
Dalam konteks inilah peranan agama tidak bisa dikesampingkan,
sebab agama mampu memberi pengaruh yang besar terhadap suatu
pergerakan dan perjuangan bagi individu maupun masyarakat.
Beberapa contoh kasusnya dapat dilihat dari hasil penelitian Weber

21
Tjahya Supriatna, Birokrasi Pemberdayaan dan Pengentasan Kemiskinan.(Bandung: Humaniora
Utama Press, 1997).
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 83

yang menyimpulkan bahwa adanya pengaruh ajaran kristen protestan


untuk memotivasi penganutnya menjadi kaum kapitalis besar,22
penelitian yang dilakukan Robert Bella dalam masyarakat jepang yang
menyipulkan bahwa pengaruh ajaran Tokugawa terhadap kaum samu-
rai berhasil membangun perindustrian Jepang, modernisasi Islam yang
gagas dan dikembangkan oleh Muhammad Abduh juga menjadi
motivasi kuat dalam pergerakan masyarakat mesir melawan penjajahan
(Inggris). Begitu juga di Indonesia, agama juga menjadi bagian
terpenting bagi pergerakan dan perjuangan dalam merebut
kemerdekaan dari tangan bangsa-bangsa penjajah, baik dari sisi politik
(nasionalisme), ekonomi, sosial, dan pendidikan—dalam banyak
penelitian dikalangan umat Islam menyebutkan bahwa terdapat
persinggungan motivasi lahirnya pergerakan organisasi keagamaan di
Indonesia dalam perjuangan kemerdekaan dengan moderensasi Islam
yang digagas oleh Muhammad Abduh di Mesir.23 Dari sini dapat dilihat
bahwa perjuangan yang didasari oleh agama mimiliki peran signifikan
dalam memberikan inspirasi, memotivasi, dan mobilisasi untuk
melakukan perubahan.
Jika dalam era perjuangan kemerdekaan agama menjadi
penggerak dan inspirasi dalam pejuangan kemerdekaan, maka dalam
era pembangunan sekarang nilai-nilai agama harus disandarkan sebagai
inspirasi, motivasi dan pengerak perubahan dalam perjuangan
pengentasan kemiskinan ini. Apapun agamanya tentunya memiliki
nilai-nilai luhur dan mulia bagi kemanusiaan. Nilai-nilai agama tersebut
merupakan substansi dari agama itu sendiri. Tanpa bentuk, atribut,
dan ekspresi keagamaan maka sebuah substansi agama tidak bisa
dikenali. Dengan begitu nilai-nilai substansi dari agama harus tampil
dalam bentuk nyata yaitu dalam bentuk tindakan dan pengamalan,

22
Max Weber, Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme, (Jakarta:Pustaka Promethea, 2000).
23
A. Singgih Basuki, Pemikiran Keagamaan A. Mukti Ali, (Yogyakarta: Suka Press, 2013), hlm.
136.
84 Politik Ekonomi Islam...

sehingga subtansi agama (berupa nilai-nilai yang luhur dan mulia) akan
menjadi fungsional dan oprasional bagi individu dan masyarakat.24
Dengan begitu kehadiaran nilai-nilai agama membentuk pribadi-
pribadi yang utuh dan tangguh bagi pemeluknya, sekaligus menjadi
kekuatan dalam menggerakkan umatnya untuk berjuang bersama, yang
dalam kontek ini berjuang melawan kemiskinan. Dengan kata lain agam
mampu dijadikan sebagai landasan struktural bari perjuangan sekaligus
sebagai sumber motivasi dan inspirasi bagi penganutnyanya, baik
secara individual maupun kolektif.
Agama beserta perangkat di dalamnya diharapkan mampu
memberikan kontribusi dalam pembangunan ekonomi guna
memperbaiki derajat hidup dan kehidupan umatnya untuk membawa
manfaat bagi kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat Indonesia.
indeks kedalaman kemiskinan masyarakat naik dari 1,75% (Maret
2013) menjadi 1,89%. Kemudian indeks keparahan kemiskinan naik
dari 0,43% (Maret)menjadi 0,48%, demikian menurut Kepala BPS
Suryamin dalam konferensi pers di kantornya (detik.com, 2/1/2014)
Menurut Armida, Faktor-faktor yang paling relevan bagi upaya
keluar dari kemiskinan di suatu konteks sosial, ekonomi, politik, dan
budaya tertentu: Mayoritas berusia produktif: 31–50 tahun, Mayoritas
pernah mendapat pendidikan formal tingkat dasar dan menengah. Di
komunitas-komunitas perkotaan, mover umumnya mendapat
pendidikan menengah. Memiliki pendapatan yang stabil terutama
karena mereka melakukan diversifikasi sumber pendapatan atau
memperoleh gaji tetap. Salah satu cara diversifikasi yang menjaga
stabilitas pendapatan mover adalah dengan memiliki sumber
pendapatan dari luar sektor pertanian. Oleh sebab itu, secara umum
kelompok mover cenderung punya ketergantungan yang lebih kecil
pada sektor pertanian daripada kelompok faller dan poor. Memiliki

24
Komaruddin Hidayat dan Muhamad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan: Persepektif Filsafat
Prennial, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003, hlm. 109.
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 85

rasa percaya diri yang relatif lebih tinggi daripada kelompok faller dan
poor. Memiliki tingkat partisipasi sosial yang relatif tinggi. Tingkat
partisipasi sosial ini khususnya terlihat dari keikutsertaan mover pada
berbagai kegiatan sosial dan organisasi formal di masyarakat.25

3.1.3. Peran Tokoh Agama dalam Pembangunan


Ekonomi
Pembangunan ekonomi merupakan bagian terpenting dalam
agenda pembangunan suatu bangsa. Kondisi pembangunan
perekonomian Indonesia saat ini masih dihadapkan pada sejumlah
tantangan dan hambatan. Pemerintah terus berupaya membangun
perekonomian melalui berbagai program dan kebijakan guna mendorong
pertumbuhan ekomoni. Untuk dapat maju dan berkembang pem-
bangunan sektor ekonomi tidak bisa berdiri sediri, perlu adanya
dukungan dari berbagai sektor-sektor lain, termasuk di dalamnya
dukungan dan keberpihakan nilai-nilai agama, serta bagaimana
keikutsertaan tokoh agama dalam pembangunan ekonomi. Artinya
nilai dan peran tokoh/pemimpin atau pemuka agama tidak mesti
dikesampingkan—untuk tidak menyebutkan diabaikan—dalam
pembangunan ekonomi. Disisi lain juga para tokoh agama tidak harus
“duduk manis” menanti perubahan dan pembangunan ekonomi yang
bergulir kencang, tetapi juga harus ikut berperan aktif dan terlibat dalam
pembangunan ekonomi di Indoenesia, terlebih lagi dalam skala global.
Lantas pertanyaan yang muncul kemudian ialah peran aktif dan
keterlibatan seperti apa yang mesti dimainkan oleh pimpinan/tokoh
agama dalam pembangunan ekonomi? Tampaknya pertanyaan ini
sangat menggelitik dan mengherankan, karena terkesan memaksakan.
Bahkan boleh jadi akan muncul anggapan bahwa untuk mewujudkan
pembangunan ekonomi sendiri memperlukan penguasaan keilmuan

25
Armida Salsiah Alisjahbana, serial diskusi pusat Peran Nilai-Nilai Agama dan tokoh Agama
dalam Gerakan Revolusi Mental untuk Reorientasi Pembangunan Ekonomi, Jakarta, 26 Juni
2015.
86 Politik Ekonomi Islam...

bidang ekonomi sendiri, sementara kebanyakan dari tokoh/pemuka


agama hanya berbekal ilmu keagamaan, atau apakah setiap pimpin
agama harus belajar dan mendalami ilmu-ilmu ekonomi? Sebelum
mendiskusikah hal ini lebih jauh maka perlu dijabarkan dahulu tentang
korelasi agama dan ekonomi.
Berbicara mengenai korelasi antara agama dan ekonomi, hal yang
paling mendasar yang perlu didudukkan ialah cara memandang agama
itu sendiri. Disini agama tidak hanya dipandang pada tataran teologis
semata, yang dalam hal ini agama hanya berkaitan dengan urusan
akhirat (surga dan neraka) atau teologis-normatif semata. Tetapi agama
harus dikontekskan dengan aspek sosiologis, yakni memandang
sebagai bagian subsistem dan pranata dari sistem sosial kemasya-
rakatan yang diterapkan secaranya nyata, dengan menempatkan nilai
dan norma agama dalam kehidupan di masyarakat terkait dengan
pembangunan ekonomi. Korelasi agama dengan pembangunan ekonomi
disini bukanlah hubungan kausalitas, namun merupakan hubungan
timbal-balik. Artinya dalam pembangunan ekonomi, agama merupakan
salah satu faktor pendorong terjadinya pembangunan ekonomi.
Max Weber (1864-1920) merupakan salah satu tokoh yang
mengkaji secara akademik tentang korelasi agama dengan ekonomi.
Melalui karyanya yang berjudul “Etika Protestan dan Semangat
Kapitalisme (Die Protestantische Ethik un der Giest Des Kapitalismus)”,26
yang menyatakan bahwa paham ajaran keagamaan Calvinisme dan
Lutherian dalam ajaran protestan memiliki pengaruh besar terhadap
etos kerja dan semangat berproduksi dikalangan masyarakat protestan
guna mendapatkan kesejahteraan dan kemakmuran hidup. Semangat
etos kerja yang terinspirasi dari ajaran Calvinisme dan Lutherian
tersebut, menurut Waber, pada akhirnya melahirkan kaum kapitalis
besar. Kajian-kajian mengenai korelasi agama dan ekonomi dalam
ajaran Calvinisme dan Lutherian yang membangkitkan etos kerja

26
Lihat Max Weber, Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2006).
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 87

tersebut tentunya tidak hanya dalam ajaran prostestan saja, tetapi juga
terdapat dalam ajaran agama-agama lainnya—disini tidak mengabaikan
aspek dimensi lain yang dapat dijadikan kajian dan analisa sebaga
dimensi pembangunan ekonomi.
Agama dengan seperangkat nilai di dalamnya, diakui atau tidak,
dapat membangkitan spirit bagi penganutnya. Sektor pembangungan
ekonomi merupakan salah satu sektor penting dari berbagai agenda
pembangunan bangsa ini, karena persoalan ekonomi pada akhirnya
berkaitan langsung dengan drajat hidup masyarakat. untuk itu,
pembanguna ekonomi yang dilakukan baik di tingkat kota maupun
tingkat desa pada dasarnya harus melibatkan unsur-unsur yang ada di
masyarakat. maka menjadi sangat penting kiranya peranan dari tokoh
masyarakat (yang dalam hal ini tokoh agama)
Bidang-bidang yang terkait langsung dengan kesejahteraan hidup
masyarakat, maka di perlukan keterlibatan berbagai unsur yang ada di
masyarakat itu sendiri. Unsur-unsur yang ada di masyarakat
merupakan modal sosial yang mesti diberdayakan. Setidaknya selama
ini ada tiga peran penting yang emban dan dapat dijalankan oleh tokoh
agama yaitu pertama, peran edukasi yang mencakup seluruh dimensi
kemanusiaan dan membangun karakter bangsa. Kedua, peran memberi
pencerahan kepada masyarakat di saat situasi-situasi yang tidak
menentu, dan ketiga, peran membangun sistem, suatu tradisi, budaya
yang mencerminkan kemuliaan. Disamping ketiga peran tersebut,
pemuka ataupun pemimpin agama dituntut terus menggali dan
mengeksplorasi kembali doktrin-doktrin agama untuk membangkitkan
etos kerja umatnya guna membangun ekonomi, terlebih lagi ditengah
tantangan pembangunan ekonomi global.
Dalam konteks inilah tokoh agama memiliki peran strategis
sebagai agen perubahan dalam pembangunan ekonomi. Tokoh atau
pemimpin agama harus mampu memasuki ruang-ruang pembangunan
ekonomi dan berperan serta sebagai agent of change dalam pemba-
ngunan ekonomi dengan menempatkan nilia-nilai agama sebagai basis
88 Politik Ekonomi Islam...

pembangunan. Tokoh agama atau pimpinan agama tidak hanya dituntut


mengandalkan bahasa verbal (konvensional-normatif) dalam
memberikan materi-materi keagamaan, yang memposisikan tokoh
agama sebagai penyebar pesan-pesan normatif kegamaan, tetapi juga
harus mampu menginternalisasikan pesan-pesan keagamaan tersebut
ke dalam kehidupan rill di masyarakat secara langsung. Dengan
demikian tokoh, pimpinan, pemuka agama tidak hanya untuk
memperkukuh aspek religiustas umat, tetapi juga memperkukuh basis
soisal dalam mewujudkan pembangunan ekonomi.
Keterlibatan tokoh agama dalam pembangunan ekonomi
semacam ikon yang menjadi penggerak dan inspirator menuju situasi
yang diinginkan. Pada masyarakat, khusunya masyarakat tradisional,
kebergantungan terhadap aktor/agen/tokoh sebagai penggerak dan
inspirator perubahan dan pembangunan masih dirasa sangat dominan.
Sedangkan pada masyarakat modern, perubahan-perubahan yang
terjadi didalamnya lebih bergantung pada kerja terstruktur, meskipun
adanyanya peran aktor tetap menjadi bagian penting yang tak
terpisahkan di dalam masyarakat.
Selain itu, harus disadari bahwa peran serta tokoh/ pemimpin
agama dalam pembangunan ekonomi tentunya akan berhadapan
dengan sejumlah tantangan, baik itu dari internal maupun eksternal.
Aspek internal tantangan yang dihadapi biasanya berkaitan dengan
sosio-ekonomi masyarakat yang beragam; keragaman budaya,
keragaman jenjang pendidikan yang berpengaruh terhadap penge-
tahuan, pemahaman, dan wawasan masyarakatnya. Sedangkan dari
aspek internal biasanya sering kali muncul kepentingan-kepentingan
golongan tertentu yang mengancam harmonisasi interaksi di dalamnya,
karena bagainamapun isu pembangunan ekonomi seringkali menjadi
alasan apologetik dalam melahirkan ragam problematika sosial lainnya.
Terlebih lagi alasan ekonomi ini terkadang sering kali menjadi alasan
pembenaran atas tindakan-tindakan yang dapat dikategorikan sebagai
pelanggaran terahadap norma-norma sosial keagamaan.
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 89

Seseorang dianggap sebagai tokoh (ditokohkan) dalam masyarakat,


diantaranya adalah karena pendidikan, pekerjaan, kekayaan, keahlian,
keturunan, dan lain-lain. Namun demikian berbagai faktor yang
menjadi latar belakang seseorang menjadi tokoh tidak akan baik kalau
dalam dirinya tidak memiliki jiwa kepemimpinan. Oleh karena itu
kemampuan mempengaruhi orang lain merupakan perpaduan yang
baik jika digabungkan dengan faktor-faktor tersebut. Oleh karena itu
dalam ajaran kepemimpinan yang disampaikan oleh Ki Hajar
Dewantara, bahwa seorang pemimpin yang baik harus memiliki tiga
sifat utama yaitu ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa,
dan tut wuri handayani. Hal yang demikian tentunya harus dimiliki
pula pada mereka yang ditokohkan oleh masyarakat.

3.1.4. Peran Lembaga Sosial Keagamaan dalam


Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat
Selain peran tokoh agama dalam pembangunan ekonomi, yang
tak kalah penting juga ialah peran serta lembaga atau organisasi
keagamaan. Sebagai sebuah bangsa yang masyarakatnya dikenal
sebagai masyarakat religius, keberadaan lembaga ataupun organisasi
keagamaan tidak bisa dilepaskan dalam kehidupan keberagamaan
masyarakat Indonesia. Lembaga keagamaan merupakan bagian dari
representasi kehidupan keberagamaan masayrakat Indonesia itu
sendiri, tentunya berdasarkan aliran keagamaaan dan kepercayaannya.
Keberadaan lembaga ataupun organisasi keagamaan ini merupakan
wadah bagi umat (masyarakat) untuk mengekspresikan dan
mengembangkan segala bentuk pemikiran, ide gagasan, prilaku
(tindakan) keagamaan, dan sebagainaya. Oleh karenanya, keberadaan
lembaga keagamaan Lembaga keagamaan memiliki peran vital untuk
pemberdayaan masayarakat, baik di bidang sosial, politik, budaya,
ekonomi dan sebagainya.
Jika ditinjau dari aspek kesejarahan, maka diketahui bahwa
oraganisasi-organisasi keagamaan (khususnya Islam, yang menjadi
90 Politik Ekonomi Islam...

agama mayoritas di Indonesia) telah sejak lama ada dan berkembang


dalam sejarah dinamika kehidupan keberagamaan masyarakat
Indonesia. Bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka, organisasi-
organisasi keagamaan telah tumbuh dan berkembang sesuai dengan
ide gagasan (ideologi), pemikiran, dan pergerakan, baik yang bergerak
di bidang politik, sosial, pendidikan, ekonomi, budaya dan lainnya.
Keberadaan organisasi-organisasi pada masa prakemerdekaan dapat
dilihat dari lahirnya Serikat Islam, Muhammadiyah, NU (Nahdlatul
Ulama), dan lainnya (tidak bisa disebutkan satu persatu disini).
Kehadiran organisasi keagamaan tersebut membawa sebuah semangat
pembaharuan yang begitu mendasar di tengah masyarakat, yang pada
masa itu tengah terpuruk diberbagai dimensi kehidupan. Organisasi-
organisasi tersebut secara sadar mengintegrasikan diri untuk menjawab
dan menyelesaikan permasalah-permasalahan umat (masyarakat) pada
masa itu, seperti penjajahan, kemiskinan, kebodohan, kesehatan, dan
lain sebagainya. Tujuan mendari dari semua itu ialah agar bangsa ini
terbebas dari penjajahan kolonial dan masyarakat Indonesia bisa
bangkit dari keterpurukan menuju kehidupan yang lebih baik dan lebih
sejahterah. Oleh sebab itu peran dari organisasi-organisasi keagamaan
tersebut turut memberikan andil besar dalam perjuangan kemerdekaan.
Bahkan sampai detik ini, Muhammadiyah dan NU sebagai ormas
keagamaan terbesar di Indonesia masih tetap memberikan kontribusi
besar dan nyata dalam pembangunan bangsa Indonesia.
Dalam konteks era kemerdekaan yang sudah memasuki usia 70
tahun, masih didapati dan menyaksikan berbagai persoalan yang
dihadapi oleh bangsa ini. Mulai dari persoalan menjangkitnya prilaku
korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di kalangan pejabat pemerintahan,
ketimpangan pembangunan antar wilayah, indeks pembangunan
manusai yang masih rendah, mutu pendidikan yang masih rendah,
serta banyak lagi berbagai persoalan-persoalan struktural yang tengah
dihadapi bangsa ini. Kondisi yang tengah dihadapi bangsa ini tentunya
menghambat proses pembangunan bangsa. Hal ini berimbas pada
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 91

meningkatnnya angka kemiskinan masyarakat, terhambatnya taget


pembangunan ekonomi nasional, rendahnya produktivitas masyarakat,
yang pada akhirnya terjadi ketimpangan pedapatan ekonomi antar
kelompok masyarakat. Sehingga menimbulkan jurang pemisah yang
lebar antara “si miskin” dan “si kaya”.
Sebenarnya pemerintah maupun swasta telah berusaha
mengatasi berbagai persoalan sosial-ekonomi tersebut dengan
berbagai kebijakan. Salah satu kebijakan yang diambil pemerintah ialah
melalui pemberdayaan ekonomi rakyat (masyarakat). Salah satu
kebijakan dalam upaya pemberdayaan ekonomi masyarakat ialah
kebijakan pengembangan UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah). Sistem pemberdayaan seperti ini didasarkan pada potensi
sangat besar dalam perekonomian masyarakat, dimana daya tahan dan
strategi survival masyarakat dalam menghadapi keterbatasan dan
goncangan ekonomi yang ada merupakan gambaran pontensi tersebut.
Sebagai contoh adalah kekuatan ekonomi masayarakat 70% bergerak
dibidang ekonomi informal dan bergerak pada level ekonomi mikro
dan hanya 30% yang bergerak dibidang formal. Sektor informal ini
menunjukkan bahwa banyak kegiatan perekonomian masyarakat yang
mikro ini mampu survival dengan segala keterbatasan dan guncangan
ekonomi. Melalui penelitian dan analisanya, pemerintah menyadari
bahwa sektor ekonomi informal mikro (kegiatan ekonomi masyarakat
lapisan bawah) adalah potensi yang dapat dimanfaatkan dan
dikembangkan untuk pembangunan ekonomi kerakyatan (masyarakat)
dan sekaligus pembangunan ekonomi nasional.
Disini pemerintah terus berupaya menyusun sebuah format
pemberdayaan ekonomi mikro dengan menjadikan masyarakat sebagai
pilar utama dan garda depan ekonomi nasional. Pemberdayaan
ekonomi masyarakat meruapakan salah satu tema sentral yang
diletakkan dan diorientasikan searah dan selangkah dengan paradigma
baru pendekatan pembangunan. Paradigma pembangunan lama yang
bersifat top-down perlu direorientasikan menuju pendekatan bottom-
92 Politik Ekonomi Islam...

up dengan menempatkan masyarakat sebagai pusat pembangunan.27


Secara implisit paradigma bottom-up mengandung arti bahwa kegiatan
ekonomi berlangsung dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Ini
berarti bahwa masyarakat akan berperan sebagai pelaku dan sekaligus
pemilik kegiatan ekonomi informal yang madiri, yang memposisikan
pemerintah sebagai mitra kerja sekaligus sebagai pelaku pendukung
kegiatan ekonomi mereka. Dalam penerapannya, kegiatan pember-
dayaan menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama pada setiap
tahapan, langkah, dan proses kegiatan ekonomi. Oleh sebab itu,
pemerintah berupaya sedapat mungkin memfasilitasi dan mendukung
berbagai kegiatan ekonomi masyarakat dengan menyiapkan sistem
kepranataan yang dibutuhkan.
Namun dari kesemua usaha tersebut belum menunjukkan hasil
yang optimal. Sehingga usaha dan cita-cita untuk membangun
kesejahteraan masyakat melalui pemberdayaan ekonomi masyarakat
masih jauh dari yang diharapkan. Hal ini dapat dilihat dari banyak
kelompok masyarakat atau komunitas, terutama mereka yang miskin
dan terpinggirkan, belum menikmati secara langsung manfaat atau hasil
kebijakan ekonomi selama ini. Belum terpenuhinya berbagai kebutuhan
dasar mereka pada tingkat minimun, masih tingginya angka kemiskinan
dan pengangguran merupakan indikator belum tercapainya sasaran
kebijakan ekonomi tersebut. Ketidak-optimalan kebijakan ini mungkin
disebabkan oleh beberapa faktor kendala, seperti penerapan
mekanisme kebijakan dilapangan yang belum maksimal, kebijakan
yang berpihak pada masyarakat kecil yang “setengah hati”, globalisasi,
atau kesenjangan budaya di dalam masyarakat itu sendiri. Disini
pemerintah perlu menyadari bahwa penerapan kebijakan tersebut tidak
bisa dilakukan sendiri, perlu adanya keterlibatan elemen-elemen lain
dalam upaya pemberdayaan ekonomi masyarakat.

27
Miftachul Huda, Pekerjaan Sosial dan Kesejahteraan Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2008), hal. 270.
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 93

Melihat realitas fenomenas sosio-ekonomi seperti ini, lembaga/


organisasi keagamaan tidak boleh “menutup mata”, apalagi mengabaikan
persoalan yang terkait langsung dengan hajat kehidupan umat
(masyarakat). Lembaga agama harus memiliki kepekaan dan komitmen
yang kuat untuk mengintegrasikan diri untuk ikut dalam pemberdayaan
ekonomi masyarakat, terutama masyarakat kecil dan terpinggirkan.
Karena keberadaan lembaga keagamaan merupakan salah satu lembaga
yang bersentuhan langsung dengan masyarakat, khususnya masyarakat
bawah (the grass root)—artinya keanggotaan (member) dari lembaga
atau organisasi keagamaan itu ialah masyarakat itu sendiri. Kerter-
libatan lembaga atau organisasi keagamaan dalam pemberdayaan
ekonomi masyarakat adalah sebagai bentuk kepedulian dan tanggung
jawab sosial terhadap persoalan yang dihadapai umat (masyarakat)
saat ini.
Terlebih lagi era reformasi sekarang ini telah banyak lembaga-
lembaga ataupun organisasi-organisasi keagamaan yang lahir da
berkembang di tengah masyarakat Indonesia, baik berskala nasional
(yang dikelolah pemerintah maupun swasta) maupun yang bersifat
lokal, seperti majelis ta’lim, yayasan pendidikan Islam, yayasan yatim
piatu, lembaga-lembaga dakwah Lokal, dan sebagainya.28 Entah itu
lembaga keagamaan yang berasaskan agama Islam, Katholik, Protestan,
Budha, Hindu, Khong Hu Cu maupun aliran keperyaan lainnya.
Keberadaan lembaga/ organisasi keagamaan yang beranekaragam dan
berjumlah banyak ini merupakan kekuatan sosial (modal sosial) yang
di miliki bangsa Indonesia untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat.
Lembaga keagamaan harus mampu membangkitkan semangat
pembaharuan guna membangun perekonomian masyarakat (umat).
Untuk itu lembaga keagamaan sedapat mungkin untuk berpikir,
merencanakan, berinovasi, serta bertindak dalam rangka pemberdayaan

28
Lihat Mubarok, Peta Keagamaan di Indonesia; Edisi II di 10 Provinsi, (Jakarta: Departemen
Agama RI Badan Penelitian Dan Pengembangan Agama Proyek Penelitian Agama 1994/
1995), h. 19
94 Politik Ekonomi Islam...

ekonomi agar masyarakat memperoleh kehidupan yang lebih baik dan


lebih sejahtera. Peran dan keterlibatan lembaga keagamaan sangat
penting dan signifikan, sebab lembaga/organisasi tentunya memiliki
strukutur susunan pengurus, manajemen dan anggota yang lengkap.
Masing-masing anggota dapat melaksanakan fungsinya sesuai dengan
bidang tugasnya serta dapat bekerja sama dengan didukung oleh
administrasi yang tertib dan teratur. Oleh karenanya keberadaan
lembaga/organisasi keagamaan sedapat mungkin mampu menunjukkan
fungsi dan peranannya secara optimal dalam sektor pemberdayaan
ekonomi masyarakat. Memiliki program kegiatan yang jelas sesuai
dengan kebutuhan dan permasalahan umat yang ada disekitarnya.
Pemberdayaan ekonomi masyarakat merupakan upaya untuk
memperkuat posisi ekonomi yang dimiliki masyarakat, dalam rangka
menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi
masyarakat untuk memanfaatkan peluang-peluang ekonomi yang
ada.29 Tujuan terpenting dari pemberdayaan ekonomi masyarakat ialah
untuk mendidik masyarakat agar mampu berkembang, mandiri,
berswadaya, dan memiliki pola pikir yang kosmopolitan, sehingga
mampu memunculkan inovasi-inovasi kreatif dalam bidang ekonomi.
Inilah yang disebut pemberdayaan ekonomi kreatif. Konsep ini
menyangkut penguasan teknologi, pemilikan modal, dan akses ke pasar
dan ke dalam sumber-sumber informasi, serta keterampilan
manajemen. Aspek penting dalam suatu program pemberdayaan
ekonomi masyarakat adalah program yang disusun melibatkan
masyarakat, khususnya kaum miskin berpenghasilan rendah dan
kelompok yang terpinggirkan. Hal ini dilakukan agar program-program
tersebut mampu menjawab kebutuhan dasar masyarakat. Di samping
itu program pemberdayaan juga mesti dibangun dari sumberdaya lokal
sehingga tidak menciptakan ketergantungan, sensitif terhadap nilai-
nilai budaya lokal, memperhatikan dampak lingkungan, serta

29
Hani Yuliawati, “Pemberdayaan Ekonomi Buruh Gendong Wanita”, Jurnal Pengembangan
Masyarakat Islam Populis, (Yogyakarta:Fak. Dakwah UIN Suka, 2007), hal.110.
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 95

keterlibatan berbagai pihak serperti instansi pemerintah, lembaga


penelitian, perguruan tinggi, LSM, swasta dan pihak lainnya, serta
dilaksanakan secara berkelajutan.
Dengan demikian, strategi program ini menitikberatkan pada
transformasi kapasitas manajemen ekonomi kerakyatan serta teknis
pasar masyarakat melalui proses pemberalajar langsung (learning by
doing) melalui proses fasilitas manajemen ekonomi mikro. Penerapan
strategi ini memungkinkan masyarakat untuk mampu membuat
rencana yang rasional, membuat keputusan, melaksanakan rencana
dan keputusan yang diambil, mengelolah dan mempertanggung
jawabkan hasil-hasil kegiatan ekonomi, serta mampu mengembangkan
produk perekonomian yang telah dihasilkan sesuai dengan kebutuhan
dan tuntutan pasar. Melalui penerapan strategi ini di harapakan terjadi
peningkatan ekonomi secara bertahap, dimana sumber daya manusia
dan kapasitas ekonomi/ usaha komunitas manjadi kekuan ekonomi
bangsa.
Dari sini dapat ketahui bahwa pada dasarnya proses pember-
dayaan mengandung dua kecenderungan yaitu; Pertama, pemberdayaan
menekankan kepada proses pemberian dan pengalihkan sebagian
kekuasaan atau kekuatan dan kemampuan kepada masyarakat agar
menjadi lebih berdaya. Proses pemberian sebagian kekuasaan ini dalam
rangka meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat
berdasarkan asas demokrasi ekonomi, yang menyebutkan bumi dan
air dan kekayaan alam adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat.
Kecenderungan melalui jenis ini disebut kecenderungan primer dari
makna pemberdayaan.
Kedua, pemberdayaan ekonomi rakyat (masyarakat) adalah
kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh rakyat, dengang ditujukan
untuk memenuhi kebutuhan dasarnya individu atau kelompok
masyarakat. Agar kelompok masyarakat memiliki kekuatan untuk
melakukan kegiatan ekonomi, maka perlu adanya upaya pembangunan
96 Politik Ekonomi Islam...

aset material guna mendukung kemandirian kegiatan ekonomi. Aset


materil tersebut dapat dilakukan dengan keterlibatan atau bahkan
pembentukan organisasi/ lembaga atau perkumpulan yang bertujan
memperkuat kegiatan ekonomi dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.30 Dengan demikian secara praktis upaya
pengerahan sumber daya manusia maupun sumberdaya alam untuk
mengembangkan potensi ekonomi rakyat akan meningkatkan
produktivitas ekonomi masyarakat itu sendiri. Sehingga masyarakat
memiliki sumber pengelolah ekonomi produktif yang mandiri untuk
meningkatkan nilai tambah penghasilannya.31
Dari semua itu, maka dapat dikatakan bahwa pemberdayaan
ekonomi masyarakat merupakan upaya penguatan kepemilikan faktor-
faktor produksi, penguatan penguasaan distribusi dan pemasaran,
penguatan masyarakat untuk mendapatkan gaji/upah yang memadai,
dan penguatan masyarakat untuk memperoleh informasi, pengetahuan
dan ketrampilan, yang harus dilakukan secara multi aspek, baik dari
aspek masyarakatnya sendiri, maupun aspek kebijakan.
Seluruh rangkaian kegiatan dalam pemberdayaan masyarakat
dalam program penguatan ekonomi kerakyatan memiliki pola dasar
yang secara umum dapat dikelompokkan dalam tiga tahapan kegiatan
pemberdayaan. Pertama,tahap peningkatan sumberdaya manusia
masyarakat. Dalam rangka menempatkan komunitas sebagai pelaku
utama ekonomi mikro, tingkat kemampuan manajerial ekonomi yang
terfokus dan terarah memiliki peluang yang lebih besar dibandingkan
tingkat kemampuan manajerial ekonomi di bawah rata-rata. Selain itu,
kemampuan masyarakat dalam mengidentifikasi kebutuhan dan
potensinya, serta membuat rencana yang rasional juga menjadikan
persyaratan keberhasilan perekonominan mereka. Oleh karenanya,
fasilitas kepada masyarakat dalam peningkatan kapasitas merupakan
30
Gregory Grossman, Sistem-Sistem Ekonomi,( Jakarta: Bumi Aksara, 1984), hlm. 19.
31
Mubyarto, Pengembangan Ekonomi Rakyat dan Penanggulangan Kemiskinan (Jakarta:
Kumpulan Karangan, 1996), hlm. 21.
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 97

kebutuhan awal dan khususnya dalam aspek penyiapan masyarakat


dengan kegiatan ekonomi yang terfokus dan terarah.
Kedua, tahap perencanaan dan pelaksanaan kegiatan ekonomi.
Dalam mengaktualkan rencana, komunitas masyarakat perlu
melakukan rencana yang strategis sesuai dengan kapasitas masing-
masing dengan di mana aspek budaya ekonomi menjadi perhatian
khusus. Kemampuan melihat peluang dan sumberdaya kunci yang ada
merupakan aspek terpenting. Dalam kaitannya dengan fasilitas ini,
pemerintah memberikan stimulan dana kepada komunitas untuk
merealisasikan rencanya terutama dalam kegiatan ekonomi informal
kerakyatan seperti, perkebunan, peternakan dan lain sebagainya, tanpa
menutup kemungkinan adanya bantuan tidak mengikat dari pihak lain.
Ketiga, tahap pengembangan kelembangaan ekonomi
masyarakat. Pengembangan ekonomi masyarakat merupakan fasilitas
penting dalam kontek pembangunan ekonoi. Dalam rangkaian
kegiatannya, fasilitas ini mengarah kepada pembuatan aturan main
lembaga ekonomi masyarakat, formalisasi lembaga ekonomi
masyarakat, pelatihan dalam rangka peningkatan kapasitas manajeman
dan teknis kepada masyarakt maupun lembanga ekonomi masyarakat,
pembentukan jaringan kerja dengan lembanga ekonomi lain,
pemanfaatan akses sumberdaya ekonomi dalam rangka kemitraan, dan
pembukaan akses terhadap pengambil kebijakan.
Salah satu upaya yang kini dapat ditempuh oleh lembaga/
organisasi adalah menciptakan peluang usaha dan mendorong
tumbuhnya semangat wirausaha di kalangan masyarakat, terutama
masyarakat kecil. Kegiatan kewirausahaan ini memiliki potensi yang
besar, karena mampu membangun perekonomian masyarakat yang
mandiri, mampu menciptakan lapangan pekerjaan baru, dan pada
akhirnya diharapkan akan mmpu menciptakan kesejahteraan hidup
dan pemerataan pembangunan perekonomian secara merata.
Sebenarnya upaya pengembangan kewirausahaan ini sudah digaungkan
98 Politik Ekonomi Islam...

dalam GBHN 1993, pada angka 8, butir f, yang menyebutkan bahwa


“Pembinaan usaha ekonomi rakyat diutamakan pada pengembangan
kewirausahaan, penyediaan sarana dan prasarana, fasilitas pendidikan
dan pelatihan, pembiayaan dan penyuluhan, serta permodalan”.
Kebijaksanaan yang menekankan pentingnya pengembangan
kewirausahaan didasarkan pada kepedulian dan pengakuan pemerintah
terhadap kegiatan ekonomi masyarakat yang semakian tinggi, dan
pemerintah juga menyakin bahwa pembangunan dan pemberdayaan
kegiantan ekonomi masyarakat sangat potensial dikembangkan untuk
menopang perekonomian nasional.
Berkaitan dengan pemberdayaan ekonomi umat, Musa Asy’arie
mengatakan bahwa: “Institusi-institusi keagamaan perlu mendorong,
dan kalau mungkin memberikan kesempatan kepada pemeluknya,
supaya berlatih dan mempersiapkan dirinya untuk memilih peluang
menjadi wirausahawan”.32 Lebih lanjut Musa Asy’arie memaparkan
langkah-langkah yang harus dilakukan adalah dengan jalan
memberikan pembinaan sebagai bekal yang amat penting ketika mereka
memasuki dunia wirausaha. Program pembinaan dapat dilakukan
melalui beberapa tahapan kegiatan yaitu:
a. Pelatihan usaha, disini masyarakat diberikan pemahaman terhadap
konsep-konsep kewirausahaan dengan segala macam seluk-beluk
permasalahan yang berkaitan dengan dunia kewirausahaan.
b. Pemagangan, kegiatan ini sangat perlu karena suasana dan realitas
usaha mempunyai karateristik yang khas, dan berbeda dengan dunia
pendidikan atau kegiatan di luar usaha. Oleh sebab itu, pemagangan
bertujuan untuk pengenalan terhadap realitas usaha secara intens
dan empirik.
c. Penyusunan proposal, bertujuan sebagai acuan dan target
perkembangan usaha. Melalui penyusunan proposal ini juga

32
Musa Asy’arie, Etos Kerja dan Pemberdayaan Ekonomi Ummat (Yogyakarta: Lesfi, 1997),
hlm. 141.
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 99

memungkinkan untuk membuka jalinan kerjasama dengan berbagai


lembaga perekonomian lainnya.
d. Permodalan, permodalan dalam bentuk uang merupakan salah satu
faktor penting dalam dunia usaha. Membangun dunia usaha
memerlukan dukungan keuangan yang cukup stabil. Untuk itu perlu
diadakan hubungan kerjasama yang baik dengan lembaga keuangan,
baik perbankan maupun dana bantuan yang disalurkan melalui
kemitraan usaha lainnya.
e. Pendampingan, ketika usaha itu dijalankan, maka calon wirausaha
perlu mendapat pendampingan oleh tenaga kerja profesional.
Keberadaan pendampingan ini berfungsi sebagai pengarah sekaligus
pembimbing, sehingga kegiatan usaha yang digelutinya benar-benar
berhasil dikuasainya, bahkan mampu melaksanakan usaha-usaha
pengembangan ke sektor lain.
f. Jaringan bisnis, melalui berbagai tahapan yang konsisten, sistematis
dan berkelanjutan, maka upaya untuk melahirkan wirausaha sejati
hanya menunggu waktu saja. Proses selanjutnya perlu dibentuk
networkingbisnis yang saling melengkapi, memperkuat dan
memperluas pasar.33
Dari uraian di atas dapat terlihat bahwa upaya pemberdayaan
ekonomi masyarakat merupakan suatu upaya yang dilaksanakan secara
terencana dan sistematis untuk memberdayakan potensi seluruh
lapisan masyarakat secara terpadu. Pada tatatan praktisnya, hasil akhir
dari pembinaan ini ialah masyarakat mampu memanfaatkan peluang-
peluang usaha, sehingga melahirkan lahan usaha yang bersifat mandiri
dan memiliki kekuatan bagi masyarakat. Disini pemanfaatan peluang
usaha dengan cara membuka lahan usaha tidak mesti usaha yang sifat
besar, tetapi dapat ditempuh dengan membuka atau membangun usaha
kecil. Untuk itu dalam memberdayakan usaha kecil perlu adanya
konsep strategi ekonomi kerakyatan yang mampu menjadikan
33
Musa Asy’arie, Etos Kerja dan Pemberdayaan..., hlm 144.
100 Politik Ekonomi Islam...

masyarakat berusaha untuk mandiri. Setidaknya strategi pemberdayaan


usaha kecil mesti mempertimbangkan aspek; pertama, menciptakan
dan mengembangkan usaha yang relevan dengan potensi ekonomi
daerah atau masyarakat sekitar; kedua, memprioritaskan pemanfaatan
dan penggunaan bahan baku lokal dalam kegiatan berproduksi; ketiga,
mengembangkan kemampuan kewirausahaan melalui keterampilan,
kreatifitas, dan inovasi. 34
Setidaknya strategi pemberdayaan ekonomi kecil (mikro)
tersebut berupaya untuk mengoptimalkan pemanfaatan potensi dan
sumber daya lokal sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat secara terencana dan berkelanjutan. Dengan demikian
masyarakat dapat berpartisipasi dan meningkatkan produktifitasnya
serta mengembangkan usaha-usaha yang dapat menopang perekonomian
masyarakat. tahap pengembangan usaha ini juga merupakan agenda
yang mesti dibangun secara sistematis dan berkesinambungan.
Mengembangkan ekonomi rakyat berarti tetap menjalankan kegiatan
sistem ekonomi “dari rakyat”, “oleh rakyat”, dan “untuk rakyat”.
Mengembangkan ekonomi masyarakat berarti berupaya untuk
meningkatkan kemampuan rakyat dengan cara mendinamisasikan
potensi yang dimilikinya. Pengembangan ekonomi rakyat dapat dipilih
dari tiga sisi:35
a. Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi
masyarakat untuk berkembang. Dasar dari pemikiran ini ialah bahwa
setiap manusia, dan setiap masyarakat memiliki potensi yang dapat
dikembangkan.
b. Memperkuat potensi ekonomi yang dimiliki oleh masyarakat itu.
Dalam rangka memperkuat potensi ekonomi rakyat ini, upaya
34
Zulkarnain, Membangun Ekonomi Rakyat: Persepsi Tentang Pemberdayaan, (yogyakarta:
Adicipta, 2003), hal. 14.
35
Mubyarto, Ekonomi Rakyat & Program IDT, (Yogyakarta: Aditya Media, 1999), Hal. 21. Lihat
juga Ginanjar Kartasasmita, Pemberdayaan Suatu Pengantar: Sebuah Tinjauan Administrasi
(Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Dalam Ilmu Administrasi, Malang: UNIBRAW,
1996), hlm. 41.
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 101

memperkuat potensi ekonomi masyarakat dapat dilakukan dengan


peningkatan taraf pendidikan, derajat kesehatan, serta terbukanya
kesempatan untuk memanfaatkan peluang-peluang ekonomi..
c. Mengembangkan ekonomi rakyat juga mengandung arti melindungi
rakyat dan mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang,
serta mencegah eksploitasi golongan ekonomi yang kuat atas yang
lemah. Upaya melindungi rakyat tersebut tetap dalam rangka proses
pemberdayaan dan pengembangan. Sehingga pengembangan
ekonomi rakyat sangat berpengaruh pada pemanfaatan potensi dan
skill yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Ketika masyarakat
memiliki ide-ide kreatif dalam pengembangan ekonominya, maka
harus diimbangi dengan apa yang dipunyai, bagaimana kemampuan-
nya, sejauh mana mereka akan mengembangkannya. Dari hal itu
masyarakat sendirilah yang akan menentukan, partisipasi juga
diutamakan dalam upaya tersebut.
Banyak pengembangan ekonomi masyarakat lokal menggunakan
bentuk pengembngan ekonomi masyarakat yang konservatif yaitu
dalam bentuk industri lokal. Program tersebut dapat berhasil dalam
mengembangkan aktivitas ekonomi masyarakat Hal ini melibatkan
pemanfaatan kekayaan sumber daya lokal, bakat, minat dan keahlian
beserta taksiran keuntungan-keuntungan alam dari lokalitas tertentu
dan kemudian memutuskan apa jenis industri baru yang mungkin
berhasil. Masyarakat lokal yang memiliki ide-ide untuk bisnis baru
dapat dibantu mengubah impian mereka menjadi kenyataan dengan
bantuan materi (uang) dari pemerintah dan dengan saran mengenai
cara-cara mengelola usaha kecil. 36Akan tetapi tidak menutup
kemungkinan bagi pengusaha industri kecil dapat berdiri sendiri tanpa
bantuan pinjaman modal dari pemerintah. Hal ini dapat terwujud
apabila wirausahawan (pengusaha) dapat membuat dan menjalankan
manajemen yang bagus dalam usaha atau industrinya.
36
Jim Ife & Frank Tesoriero, CommunityDevelopment:Alternatif Pengembangan Masyarakat di
Era Globalisasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hal. 425.
102 Politik Ekonomi Islam...

Disadari atau tidak, pelaku usaha kecil terkadang cenderung


mengabaikan konsep manajemen dalam kegaiatan usahanya. sehingga
banyak usaha kecil yang sebenarnya memiliki prospek yang bagus
tidak dapat berkembang atau bahkan “gulung tikar” (bangkrut) karena
miss-manajemen atau salah kelola dari pemiliknya. Disisi lain bisa jadi
sebuah usaha kecil yang sebenarnya memiliki prospek bagus tetapi
tidak didukung oleh manajemen bisnis yang baik, sehingga usaha
tersebut sulit berkembang atau bahkan tidak berkembang. Dengan
demikian penting bagi pelaku usaha kecil untuk mencermati dan belajar
mengenai manajemen usaha. Pada umumnya usaha kecil dapat
berkembang disebabkan karena keuletan, ketelitian, dan kemampuan
yang cukup handal dari pengusahanya sendiri.
Namun demikian untuk maju dan berkembang ketahap yang
lebih maju lagi, yaitu pada level menengah, juga dibutuhkan wawasan
mengenai dunia usaha secara lebih profesional, karena mau tidak mau
ia harus mulai menerapkan sistem manajemen usahanya yang baik.
Manajemen sebuah usaha tidak semata-mata manajemen usaha
berlandaskan teori-teori manajemen semata tetapi diperlukan
pendekatan yang bersifat multi aspek dan multi dimensional.
Dari tahapan-tahapan terkait dengan pemberdayaan ekonomi
masyarakat tersebut, maka mesti melihat tingkat keberhasialan dari
upaya pemberdayaan itu sendiri. secara sederhana, pemberdayaan
ekonomi masyarakat dapat dikatakan berhasil apabila telah mencapai
tujuan dan fokus perhatian utama dari pemberdayaan. Untuk mengetahui
fokus dan tujuan pemberdayaan secara operasional, maka perlu
diketahui indikator keberdayaan yang dapat menunjukkan seseorang
itu berdaya atau tidak. Keberhasilan pemberdayaan masyarakat dapat
dilihat dari keberdayaan masyarakat yang menyangkut dengan
kemampuan ekonomi, kemampuan mengakses manfaat kesejahteraan,
dan kemampuan kultural dan politis. Ketiga aspek tersebut dikaitkan
dengan empat dimensi kekuasaan, yaitu “kekuasaan di dalam (power
within)”, “kekuasaan untuk (power to)”, “kekuasaan atas (power
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 103

over)”, dan “kekuasaan dengan (power with)”.37 Sedangkan menurut


T. Sumanugroho indikator keberhasilan pemberdayaan ekonomi
masyarakat adalah meningkatnya harkat dan martabat lapisan
masyarakat yang dalam kondisi tidak mampu dapat melepaskan diri
dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata lain
memandirikan masyarakat.38 Dengan demikian pemberdayaan
masyarakat dapat dikatakan berhasil dalam konteks ini ketika
masyarakat dapat mencapai tujuan, yaitu mengubah kondisi kurang
mampu dalam bidang ekonomi menjadi mampu dan terbebas dari jerat
kemiskinan dan keterbelakangan.
Dari semua paparan di atas, terlihat bahwa untuk memberdayakan
ekonomi masyarakat memerlukan proses yang sangat panjang, dengan
menerapkan beberapa tahapan kegiatan yang sifatnya berkelanjutan
dan kontinyu. Dengan kata lain apabila kegiatan pemberdayaan dalam
pemberdayaan ekonomi masyarakat ingin berhasil atau mendapatkan
hasil yang optimal, maka perlu disusun program pembinaan yang dapat
dilakukan melalui beberapa tahapan kegiatan-kegiatan, dan yang paling
penting ialah kegiatan-kegiatan terseubut dilakukan secara
berkesinambungan dengan melibatkan konsep-konsep menajemen
usaha yang bagus dan sehat. Dalam konteks yang demikianlah peranan
yang mesti diisi dan tindak lanjuti oleh lembaga/ organisasi keagamaan
secara konsisten dan berkesinambungan. Terlebih lagi, lembaga
keagamaan memilik power dalam memobilisasi masyarakat untuk
memperdayakan potensi-potensi usaha guna meningkatkan taraf
perekonomian masyarakat itu sendiri. Potensi ekonomi masyakat yang
bergerak disektor informal merupakan kekuatan yang dapat mengangkat
perekonomian dan kesejahteraan masyarakat. Dengan keterlibatan
lembaga agama dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat diharapkan
mampu membangkitkan perekonomian nasional.
37
Edi suharto, Membangun Masyarakat Memberdayakakan Rakyat, Cet. IV, Bandung : PT
Refika Aditama, 2010 hal. 63.
38
T. Sumanugroho, Sistem Intervensi Kesejahteraan Sosial (Cet-II; Yogyakarta: PT. Harindita,
1987), hlm. 60.
104 Politik Ekonomi Islam...

3.2. Mentalitas Perilaku Masyarakat


Secara harfiah mentalitas berarti keadaan dan aktivitas jiwa
(batin) atau cara berpikir atau berperasaan. Mentalitas dimaknai sebagai
“a way of thinking or the ability to think and learn” atau cara
(kemampuan) berpikir atau belajar.39 Mentalitas perilaku40 atau sikap
mental adalah suatu istilah populer untuk dua konsep yang dengan
istilah ilmiah disebut “sistem nilai-budaya” (cultural system) dan
“sikap” (attitude).41 Sistem nilai-budaya adalah sautu rangkain dari
konsep abstrak yang hidup dalam alam pikiran masyarakat, tentang
apa yang dianggap penting dan berharga dalam hidupnya.42 Sistem nilai-
budaya tersebut merupakan konsep-konsep yang abstrak tanpa
perumusan yang tegas, sehingga konsep-konsep tersebut hanya bisa
dirasakan dan sering tidak dapat dinyatakan dengan tegas oleh warga
masyarakat yang bersangkutan.43 Konsep tersebut mendarah daging
dan sukar diubah karena bentuknya yang abstrak dan tidak
dirumuskan rasional. Sistem nilai-budaya tersebut berfungsi sebagai
pengarah dan pendorong kelakuan manusia.44 Jelas sistem nilai-budaya
ini merupakan bagian langsung dari kebudayaan suatu masyarakat.
Sistem nilai-budaya (mentalitas) berbeda dengan sikap (perilaku)
yang lebih mengerucut pada individu per individu dari kelopok

39
Sri Margana, “Konteks Historis Perubahan Mentalitas dalam Paradigma Kebudayaan”, dalam
Semiarto Adji Purwanto (ed.), Revolusi Mnetal Sebagai Strategi Kebudayaan: Bunga Rampai
Seminar Nasional Kebudayaan 2014, (Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kebudayaan, 2015), hlm. 64.
40
Istilah lain yang dapat dianggap semakna dengan mentalitas prilaku adalah apa yang disebut
oleh Koentjaraningrat sebagai sikap mental. Lihat Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan
di Indonesia, cet. ke-24, (Jakarta: Djambatan, 2004), hlm. 387.
41
Ibid.
42
Ibid.
43
Ibid. Secara sempit sistem nilai budaya dapat disimbolkan dalam berbagai ritual yang khas
dalam masyarakat, yang merepresentasikan nilai tertentu dari suatu budaya tertentu. Secara
luas, kehidupan masyarakat tersbut merupakan manifestasi dari sistem nilai-budaya yang
dianut oleh masyarakat tersebut.
44
Sebagai perangkat pengarah tindakan manusia, sistem nilai-budaya tersebut, maka pedomannya
adalah norma-norma yang nyata dalam masyarakat yang biasanya bersifat tegas dan kongkret.
Ibid., hlm. 387-388.
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 105

masyarakat tersebut. Jika mentalitas merujuk pada watak (sosial


budaya) suatu masyarakat tertentu, maka sikap (perilaku) menunjuk
pada kecenderungan [karakter] setiap orang yang menyusun
masyarakat tersebut.45 Meskipun dua konsep tersebut berbeda satu
sama lain, tetapi dalam hubungan teoritisnya memiliki relasi
interkoneksi [berhubungan]. Suatu jaring-jaring budaya merupakan
kenyataan eksternal dari individu maupun masyarakat tetapi
termanifestasi dalam internal individu maupun kelompok melalui jalan
referensi bertindak dalam kehidupan sehari-hari.46
Dalam kasus khusus, masyarakat yang berasal dari pesisir pantai,
yang berprofesi nelayan akan membentuk individu-individu yang
sangat adaptabilitas dengan iklim laut dan memiliki keahlian
[pengetahuan] tentang laut dibanding masyarakat pada umumnya.
Rasionalitas yang dimiliki oleh individu tersebut, tentu didominasi oleh
pengetahuannya tentang kelautan, sehingga apabila ia dihadapkan
dengan suatu problem kehidupan—misalnya, ia membutuhkan uang
untuk kehidupannya sehari-hari—maka ia mungkin akan memilih pergi
ke laut menangkap banyak ikan dari pada harus ke pasar menjadi
penjual [pedagang] barang dagangan. Apa yang dimaksud oleh Ignaz
Kleden barangkali semakna bahwa kebudayaan selalu menjadi cultural
paradigm bagi seseorang yang akan menentukan bentuk dan sudut
kesadaran kognitifnya sekaligus mempengaruhi jenis dan arah pilihan
yang ditetapkan berdasarkan preferensi nilai yang dianut dalam
kebudayaan tersebut.47
Menjadi konsensus publik bahwa suatu mentalitas masyarakat
akan menentukan arah perkembangan masyarakat tersebut. Misalkan

45
Koentjaraningrat mengartikan sikap sebagai potensi pendorong yang ada dalam jiwa individu
untuk bereaksi terhadap lingkungannya. Ibid., hlm. 388.
46
Lihat Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion, terj. Inyiak Ridwan Muzir (Yogyakarta:
IRCiSoD, 2011), hlm. 336.
47
Ignas Kleden, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, (Jakarta: LP3ES, 1980), hlm. 185-188.
Dalam Sri Margana, “Konteks Historis Perubahan Mentalitas dalam Paradigma Kebudayaan”,
dalam Semiarto Adji Purwanto (ed.), Revolusi Mnetal Sebagai Strategi Kebudayaan: Bunga
Rampai Seminar Nasional Kebudayaan 2014, hlm. 65.
106 Politik Ekonomi Islam...

pada program pembangunan, 48 maka posisi mentalitas suatu


masyarakat merupakan prasyarat yang akan menentukan kesuksesan
program tersebut. Suatu pembangunan tentu saja membutuhkan
mentalitas yang berorientasi pada pembangunan, bukan kontradiktif
atau kontraproduktif pembangunan. Koentjaraningrat menyebutkan
empat prasyarat yang harus dipenuhi oleh suatu bangsa agar suatu
pembangunan dapat diintensifkan, yaitu: (1) suatu bangsa yang hendak
mengintensifkan usaha pembangunan harus memulai dengan usaha
serius pada pembentukan kepribadian masyarakatnya yang lebih
menilai tinggi orientasi masa depan, sehingga lebih bersifat hemat untuk
bisa lebih teliti memperhitungkan hidupnya di masa depan; (2) menilai
tinggi hasrat eksplorasi untuk meningkatkan kapasitas berinovasi; (3)
orientasi ke arah achievement dari karya; dan (4) menilai tinggi
mentalitas berusaha atas kemampuan sendiri, percaya kepada diri
sendiri, berdisiplin murni dan berani bertanggung jawab.49
Prasyarat pertama yang disebutkan oleh Koentjaraningrat
adalah pembangunan suatu bangsa harus diawali dengan usaha negara
menumbuhkan kesadaran masyarakat akan masa depan yang lebih
baik. Kesadaran masyarakat atas pentingnya perbaikan nasib pada
masa depan menjadi frame of references masyarakat dalam berpikir,
berusaha dan menilai hasilnya. Prasyarat ini memungkinkan
masyarakat menilai sendiri efektifitas dan efesiensi dari usaha
kesehariannya dan belakangan akan memilih kegiatan yang

48
Secara konseptual pembangunan adalah suatu proses interaksi-interkoneksi antara lima variabel,
yaitu: (1) sumber daya manusia; (2) sumber daya alam; (3) modal; (4) teknologi; dan (5)
kelembagaan (institusi sosial). Lihat Suyatno, “Agama, Kebudayaan dan Perubahan Masyarakat”,
dalam Musa Asy’arie, dkk., (ed.), Agama, Kebudayaan dan Pembangunan: Menyongsong Era
Industrialisasi, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988), hlm. 155.
49
Koentjaraningrat, Bunga Rampai: Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, cet. ke-11,
(Jakarta: PT Gramedia, 1984), hlm. 36. Bandingkan dengan Suyatno yang menyebutkan
bahwa proses pembangunan adalah proses yang meliputi proses modernisasi. Modernisasi
sendiri bersyarat orientasi pada masa depan, sikap dinamis dan aktif, efisiensi penggunaan
waktu, rasionalisasi dan bukan berdasar perasaan, sikap terbuka terhadap pemikiran dan
penemuan ilmiah, menghargai prestasi dan fungsi bukan pada status. Lihat Suyatno, “Agama,
Kebudayaan dan Perubahan Masyarakat”, dalam Musa Asy’arie, dkk., (ed.), Agama, Kebudayaan
dan Pembangunan: Menyongsong Era Industrialisasi, hlm. 155.
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 107

memberikan keuntungan bagi orientasinya masa depannya. Secara


teoritis, pada prasyarat ini soft skill masyarakat bertambah dalam
tataran pembangunan alam pikiran.
Prasyarat pertama tersebut menjadi krangka berpikir dan
bersifat masyarakat terhadap potensi alam sekitar termasuk
lingkungan sosialnya. Pada tahap ini lah hasrat eksploitasi diharapkan
muncul dan berujung pada keinginan—jika tidak menggunakan kata
“keterpaksaan”—masyarakat untuk meningkatkan kapabilitas dalam
berinovasi demi orientasi masa depan yang telah dicita-citakan. Setelah
memiliki kapabilitas berinovasi, maka poin selanjutnya adalah
berorientasi pada karya yang telah dihasilkan, terlepas dari motif
ekonomi atau kepuasan terhadap karya tersebut. Poin yang paling
krusial dalam prasyarat yang ketiga ini adalah produktifitas masyarakat
terhadap karya terus meningkat baik dari segi kualitas maupun
kuantitas. Akhirnya produktifitas tersebut akan diuji konsistensinya
oleh prasyarat yang keempat, yaitu mentalitas berusaha atas kemampuan
sendiri, kepercayaan diri, kedisiplinan dan tanggung jawab.
Konsep praktis yang digambarkan di atas, tentu saja harus
berafiliasi dengan konsepsi idealitas yang hidup dalam masyarakat.
Jika tidak maka pembangunan akan terpenjara pada jebakan
formalitas. Arah pembangunan harus jelas dan relevan. Sehingga secara
logis, apa yang dikatakan oleh Koentjaraningrat bahwa terlebih dahulu
diperlukan suatu bayangan ke depan mengenai bentuk masyarakat
seperti apa yang ingin dicapai melalui pembangunan tersebut.50
Kesuksesan pembangunan tidak hanya terletak pada kesuksesan
mengubah, tetapi juga menjamin terciptanya kemakmuran bukan
seperti yang disebut oleh Machiaveli sebagai citta corottisima (kota
korup) atau yang disebut oleh Alfarabi sebagai mudun al-jahiliyyah
(kota jahiliyah). Penegasan teoritis seperti Yudi Latif dalam sebuah
bukunya mengutif pandangan Mohandas K. Gandhi yang menengarai

50
Ibid., hlm. 32.
108 Politik Ekonomi Islam...

adanya ancaman yang mematikan dari “tujuh dosa sosial”, yaitu politik
tanpa prinsip, kekayaan tanpa kerja keras, perniagaan tanpa moralitas,
kesenangan tanpa nurani, pendidikan tanpa karakter, sains tanpa
humanitas dan peribadatan tanpa pengorbanan.51
Pandangan Mohandas K. Gandhi yang dikutif oleh Yudi Latif
tersebut, jika dilihat lebih seksama, tampak [sekali] apa yang disebut
dengan mentalitas. Pada poin politik, maka setiap kebijakan harus
dilandasi dengan “prinsip-prinsip” yang meletakkan kepentingan
rakyat sebagai hal paripurna; akumulasi kekayaan tidak didapat dengan
jalan haram melainkan dengan “kerja keras” dan etos kerja yang tidak
merugikan orang lain [apa lagi negara]; roda perekonomian terutama
perniagaan dijalankan dengan prinsip “moralitas” seperti kejujuran;
kesenangan dapat didapatkan dan diekspresikan dalam batas kewajaran
tanpa menyalahi koridor hati “nurani” [manusia berperasaan] dan tidak
merusak tatanan budaya norma kesopanan; pendidikan dikembangkan
dengan menekankan “karakter”, tidak sebatas formalitas yang
berorientasi pada nilai pasar melainkan nilai saintifik juga afektif;
pengembangan sains tidak dibebaskan dari nilai “humanitas”, tetapi
diarahkan pada reproduksi nilai-nilai kemanusiaan; dan peribadatan
yang tidak hanya menyembah tuhan persepsi dan konsepsi melainkan
menghayati nilai ketuhanan yang membutuhkan “pengorbanan” demi
terciptanya masyarakat toleransi [tidak teo-egoistik].
Sebenarnya paparan di atas bermuara pada satu tesis umum yang
mematenkan bahwa suatu pembangunan pada esensinya adalah suatu
perubahan positif. Prubahan segala lini kehidupan masyarakat baik
perubahan melalui jalan graduil (bertahap) atau revolusi (dadakan).
Perubahan segala lini kehidupan masyarakat adalah hal yang sangat
sulit—untuk tidak mengatakan mustahil—digapai secara keseluruhan.
Maka untuk mewujudkan perubahan tersebut, yang [paling] mungkin
dilakukan adalah mendorong masyarakat ke arah revolusi mental
51
Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2011), hlm. 48.
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 109

dengan kebijakan divergen ke berbagai sektor, misalnya relasi budaya


dan ekonomi. Identifikasi budaya-budaya yang prokreasi ekonomi
sama artinya dengan peletakan batu pertama orientasi pembangunan
ekonomi. Identifikasi antropologi dan ekonomi terhadap kecenderungan
perilaku masyarakat pernah dilakukan oleh Koentjaraningrat, Clifford
Geertz termasuk Soedjatmoko dan beberapa sarjana lainnya.
Ilustrasikan beberapa mentalitas prilaku masyarakat, menarik
apa yang diajukan oleh Koentjaraningrat dengan meminjam krangka
Kluckhohn52 untuk menjelaskan masalah-masalah pokok dalam hidup
yang menjadi orientasi sistem nilai-budaya manusia. Koentjaraningrat
mengambil ilustrasi antar dua golongan besar dalam masyarakat yang
menunjukkan suatu mentalitas yang berbeda, yaitu apa yang disebut
dengan orang desa untuk yang pertama dan apa yang disebut sebagai
orang kota untuk yang kedua. Identifikasi sederhana dari kedua
golongan ini adalah yang pertama biasanya bekerja pada sektor
pertanian maka mentalitasnya disebut mentalitas petani. Sedangkan
yang kedua memiliki profesi yang lebih variatif, yaitu sebagai buruh,
pedagang, usahawan atau pegawai. Dari profesi ini, tampaknya paling
mendominasi adalah kelas pegawai (pada kota-kota di Jawa Tengah
disebut mentalitas priyayi).53
Dua kerangka Kluckhohn yang pertama, hakekat hidup dan
hakekat karya. Pada masyarakat petani kecenderunganntya adalah
tidak biasa berspekulasi tentang hakekat dari hidup, dari karya dan
hasil karya manusia. Maka orientasi karyanya hanya sebatas pemenuhan
kebutuhan sehari-hari dalam bahasa Koentjaraningrat adalah hanya
untuk makan. Sedangkan mentalitas priyayi Jawa menghubungkan
hakekat karya dengan onsep amal. Konsep amal di sini berbeda dengan

52
Kerangka Kluckhohn menjelaskan sistem nilai budaya dalam semua kebudayaan di dunia
sebenarnya mengenai lima pokok dalam kehidupan manusia, yaitu: (1) masalah hakekat
hidup; (2) hakekat karya ; (3) persepsi manusia tentang waktu; (4) pandangan manusia terhadap
alam sekitarnya; dan (5) hakekat hubungan antara manusia dengan sesamannya. Lihat
Koentjaraningrat, Bunga Rampai: Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, hlm. 28-31.
53
Ibid., hlm. 35.
110 Politik Ekonomi Islam...

konsep ‘amal dalam Islam ataupun karma dalam Hindu-Buddha.


Konsep amal dalam alam pikiran Jawa tidak dikaitkan dengan wujud
hidup kelak, kelahiran kembali ataupun kehidupan akhirat. Konsep
amal dibayangkan sebagai hasil karya yang mewujudkan kebahagiaan
sebatas dalam hidup ini.54 Maksudnya adalah hakikat karya dalam
persepsi mentalitas priyayi Jawa tidak disangkut-pautkan dengan
konsep surga-neraka, reingkarnasi ataupun kehidupan-kehidupan
pasca kematian alamiah sebagaimana yang dikonsepsikan oleh agama
Islam atau Hindu.
Persepsi petani tentang waktu bersifat terbatas dan sederhana.
Irama waktu ditentukan menurut kebiasaan bercocok tanam atau
aktivitas-aktivitas pertanian. Sebagian besar orientasi hidup petani
sebatas menutupi keadaan masa kini, dengan arti tidak mengenal
manajemen perencanaan masa depan. Sedangkan mentalitas priyayi
disibukkan dengan orientasi dengan warisan masa lampau. Hal ini dapat
dilihat pada rutinitas kehidupan priyayi yang diisi dengan suatu rasa
sentimen yang agak berlebihan terhadap benda-benda pusaka nenek
moyangnya dengan aksesori mitologi, silsilah dan karya-karya
pujangga kuno dan disertai upacara-upacara [ritual] yang rumit.55
Adapun pandangan terhadap alam sekitar, petani lebih bersifat
pasif karena konsep mengenai pengaruh nasib yang sangat dominan.
Tampaknya Koentjaranigrat tidak begitu membedakan mentalitas
priyayi dengan petani dalam krangka ini. Untuk konsep hubungan
antara sesama manusia, dapat dilustrasikan pada prinsip “sama rata
sama rasa”. Konsep ini menjadi semboyan kolektivitas petani sekaligus
menjadi tulang punggung soliditas dan solidaritar mereka. Sedangkan
mentalitas priyayi terpatri pada susunan struktur atasan dan bawahan
yang manentukan pola respek sosial. Istilah sederhananya adalah
konsep menunggu restu dari atas.56
54
Ibid.
55
Ibid., hlm. 39.
56
Ibid., hlm. 42.
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 111

Berbeda dengan Koentjaraningrat, Geertz menfokuskan studinya


pada proses panjang modernisasi ekonomi di dua kota Indonesia, yaitu
kota Mojokuto di Jawa dan kota Tabanan di Bali. Di Mojokuto proses
modernisasi dimotori oleh para pedagang kecil yang mayoritas berlatar
belakang sebagai Islam [menganggap diri] reformis sedangkan di
Tabanan Bali dimotori oleh kaum aristokrasi yang kekuasaannya
terhadap birokrasi mulai terjepit. Mentalitas pedagang di Mojokuto
disebut Geertz cenderung nonkonformis, individualis, sadar akan
pentinganya ekonomi, dan sedikit sekali terikat oleh kekangan-
kekangan masyarakat desa yang tradisionil. Di lain pihak, di Tabanan
Bali muncul suatu golongan elit yang berdasarkan dan bermotivasi
politik dengan kecenderungan mentalitas kesulitan melepaskan
kepentingan-kepentingan spesifik ekonomis dari kepentingan-
kepentingan bersifat umum kebudayaan.57

3.2.1. Hambatan Budaya dalam Pengembangan Ekonomi


Pengembangan ekonomi suatu masyarakat sangat bergantung
pada kesiapan dan sifat masyarakat terhadap perubahan-perubahan,
misalnya dari perekonomian tradisional menuju panggung ekonomi
modern yang ditandai dengan penggunaan teknologi terkini secara
masif pada dataran industri. Pengembangan ekonomi merupakan
program paten setiap rezim pemerintahan. Menurut Mukti Ali,
pembangunan nasional pada hakikatnya adalah pembangunan manusia
seutuhnya dan bersifat menyeluruh. Dasar dari suatu pembangunan
bukan terletak pada perwujudan segi fisik teknologi dan ekonominya
semata, juga bukan saja terletak dalam perwujudan segi rohani dan
mental spiritual, melainkan dalam pengembangan seluruh dimensi serta
segi yang dibutuhkan dalam keserasian dan keselarasan demi
terwujudnya manusia yang dewasa berkepribadian.58
57
Clifford Geertz, Penjaja dan Raja: Perubahan Sosial dan Modernisasi Ekonomi di Dua Kota
Indonesia, terj. S. Supomo, (Jakarta: PT Gramedia, 1977), hlm. 145.
58
A. Mukti Ali, “Beberapa Catatan Tentang Agama, Kebudayaan dan Pembangunan”, dalam
Musa Asy’arie, dkk., (ed.), Agama, Kebudayaan dan Pembangunan: Menyongsong Era
Industrialisasi, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988), hlm. 19.
112 Politik Ekonomi Islam...

Untuk merealisasikan demokrasi ekonomi di tengah-tengah


kehidupan berbangsa, Mukti Ali juga menitikberatkan kesadaran akan
adanya tantangan besar yang menjadi poin krusial, yaitu harus
dikembangkan suasana yang makin membangkitkan peranan yang aktif
dan dinamis dari seluruh masyrakat dalam pembangunan.59 Tujuannya
adalah untuk memacu (membumikan) gairah (spirit) masyarakat dalam
membangun. Pembangunan ekonomi selalu menjadi sentral kebijakan
pemerintah dari setiap periode kepemimpinan, mulai dari awal
kemerdekaan (terutama masa orde baru) hingga periode paling
mutakhir, yaitu periode Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Seperti yang
digambarkan oleh Musa Asy’arie dalam sebuah artikel yang menyoroti
jalannnya revolusi mental yang diusung sebagai visi oleh pemerintah
Jokowi-JK. Pada artikel tersebut, secara singkat disebutkan historisitas
kebijakan Soeharto setelah mengambil alih kepemimpinan Indonesia.
Pada saat itu, Soeharto dihadapkan pada dua pilihan konsep
pembangunan. Konsep pertama yang diusung oleh Widjojo Nitisastro
dengan pembangunan prioritas ekonomi untuk mengejar angka
pertumbuhan ekonomi.60
Konsep kedua yang diajukan oleh Soedjatmoko dengan
pembangunan prioritas manusia dengan fokus kebudayaan untuk
meningkatkan kualitas manusia melalui pendidikan. Pada saat itu
Soeharto memilih gagasan pertama karena lebih jelas dan terukur
dengan menetapkan Widjojo Nitisastro sebagai menteri untuk
menjabarkan konsepnya.61 Pada perjalannnya hingga hari ini terjadi
59
Ibid., hlm. 9.
60
Lihat Musa Asy’Arie, “Revolusi Mental yang Kian Tergores” Harian Kompas edisi 31 Agustus
2015, hlm. 6.
61
Ibid. Selanjutnya menurut Musa Asy’arie yang sebenarnya terjadi adalah paradoks akut antara
prioritas pembangunan ekonomi dan revolusi mental yang diusung oleh rezim mutakhir.
Setelah rezim Soeharto jatuh, kepemimpinan Indonesia silih berganti, hingga sekarang Jokowi-
JK, ternyata tak terjadi perubahan mendasar pada konsep pembangunan. Terjadi perubahan
sana-sini tetapi tidak fundamental, artinya perubahan hanya sebatas tambal sulam. Konsep
revolusi mental dalam pasal 8 Nawacita Jokowi-JK, yang pada dasarnya adalah mengubah
pola berpikir dan berprilaku yang revolusioner untuk kepentingan rakyat yang berujung
(seharusnya) di kepala dan di dada bukan di perut atau di bawah perut. Realitas yang terjadi
(setidaknya dalam 10 bulan awal kepemimpinan), Jokowi-JK terjebak dalam kubangan prioritas
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 113

ketimpangan di berbagai tempat, dengan tingkat angka pembangunan


yang sangat senjang misalnya di Indonesia bagian tengah dengan
indonesia bagian timur atau barat.
Pada dasarnya, pengembangan ekonomi dalam pendekatan
industrialisasi bertumpu pada ilmu dan teknologi yang berperan dalam
memaksimalkan usaha-usaha pembangunan menjadi lebih efektif dan
efisien. Industrialisasi menuntut adanya cara, mentalitas dan sikap baru
dalam memahamai, mengelola dan memanfaatkan modal, sumber daya
alam, dan sumber daya manusia. Maka prasyarat yang utama adalah
kondisi masyarakat yang ditopang oleh adanya etos kerja, birokrasi
yang lancar, profesionalisme, kreatifitas, sikap hidup yang produktif,
sikap hidup yang rasional dan realistis serta kemampuan mengelola
hasil perkembangan yang sudah dicapai.62
Apa yang disebutkan oleh Mukti Ali di atas tampaknya secara
makro saja mengkritisi apa yang dibutuhkan oleh suatu negara
berkembang untuk mengepakkan sayapnya. Pandangan itu telah
melampaui sudut pandang antropologi tentang ekonomi, atau secara
sederhana pendekatan yang diajukan lebih ke arah pendekatan ilmu
ekonomi atau sosiologi. Ekonomi dengan pendekatan industrialisasi
yang bertumpu pada ilmu dan teknologi merupakan bagian ekonomi
yang telah melampaui apa yang disebut Geertz sebagai masa pra-take
off. Untuk melihat peluang kemajuan ekonomi suatu masyarakat tentu
tidak hanya melihat aktivitas-aktivitas artifisial yang secara langsung

ekonomi yang makin memburuk. Seperti kurs rupiah melemah, harga pangan (daging)
membengkak, laju pertumbuhan ekonomi melambat, kesenjangan makin melebar, dan sampai
pada resuffle kabinet dengan mengganti Menko Perekonomian. Artinya Jokowi-JK tetap
meletakkan pembangunan ekonomi sebagai prioritas. Sehingga problem klasik, yaitu
pembangunan yang terkendala oleh kebudayaan (sikap mental bangsa dalam mengelola
kekuasaan—egoisme sektoral—seperti, nepotisme, pragmatisme, sikap mental yang tidak
menghargai waktu, mendapatkan kekayaan secara instan dan jalan pintas, dan lain-lain),
sejatinya tetap lestari dan selalu direproduksi dalam setiap priode kepemimpinan. Akhirnya
tak ada jalan lain selain mengubah prioritas ekonomi (berbasis perut) ke prioritas pembangunan
manusia (rasionalitas dan nurani) sehingga tujuan utama pembangunan dapat tercapai.
62
A. Mukti Ali, “Beberapa Catatan Tentang Agama, Kebudayaan dan Pembangunan”, dalam
Musa Asy’arie, dkk., (ed.), Agama, Kebudayaan dan Pembangunan: Menyongsong Era
Industrialisasi, hlm. 19.
114 Politik Ekonomi Islam...

menunjukkan perubahan radikal atau dengan istilah “quantum jump”,


misalnya besarnya pendapatan perkapita suatu masyarakat.
Dipandang dari perspektif ahli-ahli antroopologi, perubahan-
perubahan ekonomi tersebut tidaklah tampak sedramatis seperti yang
disebutkan oleh ahli-ahli ekonomi. Perubahan-perubahan masyarakat
akan berjalan setahap demi setahap dalam jangka waktu yang lama,
yang dimulai dari perubahan-perubahan di tataran nilai-nilai kehidupan
masyarakat dan karakteristik fungsi lembaga-lembaga masyarakat,
yang kemudian secara perlahan merembes melalui kehidupan keluarga,
sistem pendidikan, organisasi-organisasi ekonomi dan politik. Pada
akhirnya muncul sebagai perubahan-perubahan sosial budaya yang
besar di masyarakat.63
Observasi Geertz yang lama dan sangat intensif di dua kota
tersebut, menunjukkannnya betapa kedua kota tersebut—Mojokuto
dan Tabanan—telah melahirkan kelompok entrepreneurs yang
mempunyai tingkah laku—barangkali problem—hampir sama. Di
Mojokuto, golongan entrepreuners ini muncul dari kaum Santri64 yang
berpikiran maju, yang konsen pada sektor perdagangan. Di Tabanan
golongan ini muncul ketika kemerdekaan mulai menimbulkan
ancaman-ancaman langsung atas kehidupan para ningrat penguasa,
terutama kekuasaannya dalam bidang politik.65 Mojokuto dan Tabanan
merupakan dua masyarakat yang latar belakang dan sejarahnya
berbeda tetapi [tampak] tidak berpengaruh atas persamaan-persamaan
yang kemudian muncul. Persamaan-persamaan yang mencolok dari
kedua kota tersebut terdapat pada fakta: (1) pada kedua masyarakat

63
Lihat Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, “Pengusaha Pribumi dan Proses Pertumbuhan Ekonomi di
Indonesia: Sebuah Tanggapan atas Hipotesa-Hipotesa Geertz” dalam Clifford Geertz, Penjaja
dan Raja: Perubahan Sosial dan Modernisasi Ekonomi di Dua Kota Indonesia, terj. S. Supomo,
(Jakarta: PT Gramedia, 1977), hlm. XX.
64
Untuk melihat terminologi Geertz tentang Santri, baca Clifford Geetz, Abangan, Santri, Priyayi
dalam Masyarakat Jawa, terj. Aswab Mahasin, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1981). hlm. 165-301.
65
Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, “Pengusaha Pribumi dan Proses Pertumbuhan Ekonomi di Indo-
nesia: Sebuah Tanggapan atas Hipotesa-Hipotesa Geertz” dalam Clifford Geertz, Penjaja dan
Raja..., hlm. XXI-XXII.
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 115

tersebut tampak terjadi perubahan-perubahan yang memungkinkan


munculnya “economic rationality” dan kemudian penggunaannya
dalam kehidupan masyarakat sehari-hari; dan (2) pada kedua
msyarakat itu muncul nilai-nilai baru—semacam “economic ethic”—
yang memberikan keleluasaan kepada “economic rationality” untuk
memainkan peranannya dalam kehidupan masyarakat.66
Geertz menjelaskan empat ciri khas dari perkembangan ekonomi
di Mojokuto, yaitu: (1) perkembangan itu terjadi di dalam dan di atas
landasan pola pola perdaganan tradisioniil; (2) masalah inti yang
dihadapi oleh para pemimpin perkembangan itu adalah masalah
organisasi; (3) kelompok pengusaha itu adalah suatu kelompok bukan
kumpulan orang yang serba kebetulan saja; dan (4) ciri khas keempat
adalah perkembangan itu tergantung pada sekaligus juga merupakan
tenggapan terhadap suatu revolusi yang belum selesai dalam gaya hidup
kekotaan sebagai resultan dari perubahan umum yang telah terjadi
pada struktur sosial di Mojokuto satu dekade sebelumnya.67 Keempat
ciri khas itu menurut Geertz yang menetapkan koordinat utama pola
perkembangan di Mojokuto dan merupakan rasio-sosio budaya sebagai
wadah perkembangan itu mulai mekar.68
Untuk mengidenrifikasi perkembangan ekonomi Tabanan,
Geertz menggunakan istilah “kolektivisme pluralistis”. Istilah ini
diaggap sebagai label yang menunjukkan kompleksitas hubungan sosial
atau persekutuan-persekutuan sosial yang saling menyilang di Tabanan.
Istilah orang bali menyebut persekuatuan ini adalah seka, yaitu suatu
kelompok sosial, dibentuk berdasarkan kriteria yang tunggal dan
eksklusif, kriteria keanggotaan, dan dicurahkan untuk mencapai tujuan
sosial tertentu, misalnya keanggotaan keagamaan, politik, ekonomi,
dan apa saja. Pola organisasi secara seka ini memberikan suatu pola

66
Ibid., hlm. XXII.
67
Clifford Geertz, Penjaja dan Raja: Perubahan Sosial dan Modernisasi Ekonomi di Dua Kota
Indonesia, terj. S. Supomo, (Jakarta: PT Gramedia, 1977), hlm. 78-80.
68
Ibid., hlm. 81.
116 Politik Ekonomi Islam...

yang bersifat sangat kolektif tetapi juga sanagat kompleks dan fleksibel
kepada struktur masyarakat desa di Bali.69 Mentalitas yang paling
menonjol dari orang Bali—barangkali implikasi dari sistem seka ini—
adalah melakukan segala sesuatu secara berkelompok, bahkan untuk
mengerjakan tugas yang sederhana sekalipun hampir senantiasa
melibatkan jumlah tenaga yang jauh melebihi yang secara teknis
diperlukan.70 Kecenderungan untuk lebih mengarahkan masing-masing
kelompok pada satu sasaran dari pada mempergunakan satu kelompok
untuk mencapai tujuan yang beraneka ragam. Ini lah yang disebut
sebagai kolektivisme pluralistis.71 Bentuk komunitas yang lain yang
terdapat di Bali yang juga merupakan ikatan seka yang tidak menentu
adalah apa yang disebut sebagai banjar, yaitu komuniti berdasarkan
wilayah yang paling dasar di Bali yang terdiri dari sepuluh samapai dua
ratus rumah tangga. Komuniti sosial yang lain ialah subak, yaitu kata
lain untuk menyebutkan irrigation society (masyarakat pengairan)
yang dihubungkan oleh satu aliran pengairan.
Analisis budaya yang paling menarik dari deskripsi antropologi
terhadap dua kota tersebut adalah apa yang dikatakan oleh Geertz:

Jika dikatakan bahwa pertumbuhan yang efektif itu memerlukan


sekian banyak fokus-kelompok dan sekian banyak fokus-pribadi,
yang terlalu banyak tapi juga jangan terlalu sedikit, maka kesimpulan
semacam itu, tentu saja, hanyalah suatu kesimpulan yang lemah
dan mengelakkan diri dari persoalan... Pendekatan kelompok di
Tabanan, kolektivisme-pluralistisnya, berguna dalam hal
pengerahan modal, tetapi merugikan dalam usaha memperbaiki
efisiensi dan rasionalitas; pendekatan pribadi di Mojokuto,
individualisme-ekonomi-pasarnya, berguna dalam efisiensi, tapi
merugikan dalam permodalan. Dari satu segi, kedua kota itu sedang
menghadapi masalah organisatoris yang sama—bagaimana
mendirikan firma-firma yang sungguh-sungguh modern yang dapat
menemukan keseimbangan yang paling produktif antara kebebasan
69
Ibid., hlm. 89.
70
Orang Bali secara mengejek menyebutnya bebek-bebekan. G. Bateson dan M. Mead, Balinese
Character, (New York: New York Academy of Science, 1942) dalam Clifford Geertz, Penjaja
dan Raja..., hlm. 89.
71
Clifford Geertz, Penjaja dan Raja..., hlm. 90.
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 117

inisiatif perseorangan dan dukungan kelompok dengan landasan


yang luas—tetapi mereka mencoba menyelesaikannya dari dua arah
yang diametris bertentangan. Di Tabanan, dukungan kelompok itu
tidak merupakan soal, yang menjadi masalah ialah kebebasan inisiatif
perseorangan; di Mojokuto, justru sebaliknya. Kalau di Bali perkem-
bangan itu terancam oleh perkembangan kolektif yang berlebihan
maka di Jawa terancam oleh kurangnya perkembangan itu.72

Yang dimaksud Geertz menjadi masalah di Tabanan adalah apa


yang disebut perusahaan setengah milik umum. Misalnya ilustrasi
Koentjaraningrat yang menyebutkan dengan konsep sama-rata-sama-
rasa. Implikasinya sangat sederhana, konsep tersebut memberi
beberapa kewajiban kepada setiap orang, yaitu kewajiban untuk terus
menerus memelihara hubungan baik dengan sesamanya (kelompoknya),
terus-menerus memperhatikan keperluan-keperluan kelompoknya,
dan sedapat mungkin selalu membagi rata keuntungan-keuntungan
dengan kelompoknya. Konsep ini pada dasarnya sangat bernilai, hanya
saja segi negatifnya adalah konsep itu mewajibkan suatu sikap
konformisme yang besar,73 yang tentunya menghambat—dalam
persepsi kapitalis, hal ini tentu sangat menghambat akumulasi kapital
untuk menjalankan usaha yang lebih besar—perkembangan ekonomi.
Ibarat bermain poco-poco, maju dua langkah, mundur satu langkah
atau apa yang disebut sebagai perubahan tanpa kemajuan.
Pada kehidupan pasca-reformasi (untuk merujuk era kontemporer),
berbagai problem yang [tampak] menghambat perkembangan
ekonomi, misalnya budaya konsumerisme, hedonisme sampai pola
produksi tak populis atau yang disebut dengan monopoli dan eksplorasi.

3.2.2. Budaya Negatif dalam Pembangunan: Konsu


merisme, Hedonsime, Monopoli dan Eksploitatif
Budaya konsumsi atau lebih ringan disebut sebagai konsumerisme
merupakan bagian kecil saja dari gaya hidup. Secara sederhana,
72
Ibid., hlm. 134.
73
Koentjaraningrat, Bunga Rampai: Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, hlm. 41.
118 Politik Ekonomi Islam...

mengukur konsumerisme adalah mengukur tingkat produksi. Jika


angka produksi lebih tinggi dari angka konsumsi, maka konsumerisme
dapat ditekan. Tetapi, di sisi lain, jika angka konsumsi jauh lebih rendah
dibanding angka produksi, maka terjadi proses produksi yang tidak
produktif. Relasi konsumsi dan produksi sebenarnya korespondensial,
hanya saja ketika terjadi angka konsumsi yang terlalu tinggi sedangkan
angka produksi terlalu rendah akan menjadi ketidak seimbangan.
Masyarakat akan terjadi defisit pemasukan. Sebaliknya jika angka
konsumsi terlalu sedikit, produsen akan defisit. Gaya hidup merupakan
cara-cara terpola dalam menginvestasikan aspek-aspek tertentu
kehidupan sehari-hari dengan nilai sosial atau simbolis, sekaligus
merupakan cara bermain dengan identitas.74 Dengan menampilakn
gaya hidup yang dipilih, seseorang bukan hanya untuk memenuhi hasrat
dan kebutuhan dirinya sendiri, tetapi sekaligus juga sebagai cara untuk
memperlihatkan atau meneguhkan diri dari kelompok sosial manakah
mereka sebetulnya ingin dipersepsikan oleh orang lain.75
Dalam pendekatan sosiologi ekonomi, perilaku konsumsi dan
aspek budaya sering dipahami sebagai dua hal yang sebenarnya
menyatu. Perilaku seseorang membeli produk budaya, mengonsumsi
produk termasuk memanfaatkannya acap kali dipengaruhi dan
dibentuk oleh gaya hidup (selain faktor sosial seperti kelas, usia,
gender). Secara operasional gaya hidup adalah adptasi aktif individu
terhadap kondisi sosial dalam rangka memenuhi kebutuhan untuk
menyatu dan bersosialisasi dengan orang lain. Gaya hidup mencakup
sekumpulan kebiasaan, pandangan dan pola-pola respon terhadap
hidup, serta terutama perlengkapan untuk hidup. Cara berpakaian,
cara kerja, pola konsumsi, bagaimana individu mengisi kesehariannya
merupakan unsur-unsur yang membentuk gaya hidup.76 Gaya hidup

74
Bagong Suyanto, Sosiologi Ekonomi: Kapitalisme dan Konsumsi di Era Masyarakat Post-
Modernisme, (Jakarta: Kencana, 2013), hlm. 147.
75
Bagong menyebut ini sebagai sebuah bentuk permainan identitas sosial yang dikembangkan
seseorang untuk menampilkan citra dirinya, Ibid.
76
Ibid., hlm. 138.
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 119

selain dibentuk oleh faktor di atas, juga dipengaruhi oleh keterlibatan


seseorang dalam kelompok sosial terutama rutinitas interaksi dan pola
stimulus.77 Perilaku konsumsi membeli dan mengonsumsi produk-
produk budaya, bukan sekedar aktifitas ekonomi—mengonsumsi
produk atau menggunakan komoditas untuk memuaskan kebutuhan-
kebutuhan matriel—tetapi lebih dari itu, aktivitas ini juga berhubungan
dengan mimpi, hasrat, identitas dan komunikasi atau dalam istilah John
Storey sebagai budaya pop.78
Fenomena yang menarik dari perilaku konsumsi ini adalah apa
yang disebut sebagai masyarakat pengonsumsi kesan. Barang yang
dijual bukan hanya sebagai barang dalam esensinya sebagai materiel
tetapi barang sebagai simbol eksistensi. Meskipun begitu, dalam
kenyataannya selalu ada komoditas masyarakat yang berorientasi law
cost. Masyarakat yang berkarakter dan terbiasa pada gaya hidup
konsumsi kesan dapat dikatakan sebagai masyarakat konsumerisme.
Konsumsi tidak ada batasnya meskipun kebutuhan primer dan
sekunder telah terpenuhi. Masyarakat konsumen yang berpaham
konsumsi sebagai jalan mencapai aktualisasi diri dan akan berpandangan
bahwa konsumsi adalah satu-satnya cara termudah untuk meng-
aktualisasikan kedirian. Konsekuensinya adalah pemenuhan
kebutuhan bukan lagi mengikuti struktur Abraham Maslow, tetapi
melampaui yaitu kebutuhan yang sifatnya hedonis.
Tanpa disadari mentalitas yang terbentuk adalah mentalitas
berorientasi konsumsi, meskipun dari jalan konsumsi itu sendiri dapat
juga tumbuh masyarakat produksi. Semangat konsumsi sebenarnya
dapat menjadi pertimbangan bagi cikal bakal budaya produksi, hanya
saja jika diikuti daya rasionalitas. Pilihan rasional, misalkan akan
mengarahkan masyarakat konsumerisme tersebut akan berbelanja

77
Alfathri Adlin (ed.), Resistensi Gaya Hidup: Teori dan Realitas, (Yogyakarta: Jalasutra, 2006),
hlm. 36-39.
78
John Storey, Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop: Pengantar Komprehensif Teori dan
Metode, (Jakarta: Jalasutra, 2007), hlm. 169.
120 Politik Ekonomi Islam...

secara produktif, yaitu memilih bahan konsumsi yang mendukung


produktifitas, bukan konsumsi dalam makna tunggal tetapi konsumsi
bermakna juga produksi. Jika konsumerisme tidak diimbangi dengan
pilihan rasional,79 maka sebenarnya masyarakat yang terbentuk adalah
masyarakat hedonisme. Konsep konsumerisme yang tidak seimbang
dengan rasionalitas akan meletakkan konsepsi materi sebagai tujuan
hidup. Terlepas dari hedonisme yang tumbuh bersama konsumerisme,
kedua budaya itu berjasa dengan apa yang menjadi objek tunggalnya
yaitu, materiel yang disebut komoditas. Komoditas memiliki karakter
meterial yang sanggup memenuhi kebutuhan manusia maupun karakter
sosial yang digunakan untuk mengekspresikan relasi-relasi eksploitatif
diantara orang sebagai relasi antar objek.80
Jika menggunakan sudut pandang semiotika sebagaiman
konsepsi di atas, maka komoditas sebagai objek konsumsi merupakan
lokus makna sosial. Jean Baudrillard memperjelas bahwa tanda di sini
terutama mengacu pada aliran perbedaan di dalam sistem itu sendiri.81
Ini berarti, jika komoditas adalah lokus makna sosial, maka apa yang
dikatakan Throstein Veblen sebagai conspicuous consumption
(pemborosan uang) sebagai tanda kelas atas atau kelas bawah hanyalah
efek sekunder. Efek primer konsumsi adalah perbedaan, dan perbedaan
itu dapat ditambahkan kemudian dan diubah bila perlu.82 Pada level
ini, konsumsi sah saja dianggap sebagai penanda posisi sosial
masyarakat. Sebaagai contoh ketika seseorang membeli dan
menggunakan sebuah produk baik barang atau jasa, maka apa yang ia
beli dan kenakan tersebut sebenarnya sebagai bagian cara ia untuk
memperlihatkan posisi sosialnya, singkatnya penanda identitas
sosialnya. Jika konsekuensi primer konsumsi yang disebutkan Ritzer—

79
Pilhan rasional juga termasuk meletakkan pengetahuan moral keagamaan sebagai bingkai
konsumsi.
80
George Rtzer dan Barry Smart, Handbook Teori Sosial, terj. Imam Muttaqien dkk., cet. II,
(Bandung, Penerbit Nusa Media, 2012), hlm. 832.
81
Ibid.
82
Ibid., hlm. 833.
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 121

perbedaan—maka konsep mentalitas pembangunan yang diajukan oleh


Koetjaranigrat menguatkan tesis Soedjatmoko yang menyebutkan
bahwa pembangunan terhambat karena faktor mental budaya. Ideologi
yang terbangun dalam budaya konsumsi mengutub menjadi
kontraproduktif dengan pembangunan. Jika tujuan pembangunan yang
disebutkan oleh Koentjaraningrat dan juga disebutkan oleh Mukti Ali
adalah pembangunan manusia yang utuh maka tujuan pembangunan
tersebut relatif sulit tercapai. Revolusi mental sebagai pemandu jalan
pembangunan akan bergantung pada pemilihan komoditas dan
terjebak pada problem konsumerisme dan hedonisme.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia monopoli adalah situasi
pengadaan barang dagangan tertentu (di pasar lokal atau nasional)
sekurang-kurangnya sepertiga dikuasai oleh satu orang atau satu
kelompok, sehingga harganya dapat dikendalikan, seperti penguasaan
minyak bumi dan gas alam oleh pemerintah dan hak tunggal untuk
berusaha lainnya.83 Menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1999,
monopoli adalah penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang
dan atau pengunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu
kelompok pelaku usaha. Sedangkan praktik monopoli adalah pemusatan
kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengaibatkan
dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang atau jasa tertentu
sehingga menimbulakan persaingan usaha tidak sehat dan dapat
merugikan kepentingsan umum.84
83
Depdikbud, Kamus Bahasa Indonesia, edisi kedua, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), hlm. 664.
84
Pasal 1 angka 1 dan 2 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli
dann Persaingan Usaha Tidak Sehat. Beberapa definisi operasional yang disebutkan dalam
UU tersebut antara lain: Pasal 1 angka 3 “Pemusatan kekuatan ekonomi adalah penguasaan
yang nyata atas suatu pasar bersangkutan oleh satu atau lebih pelaku usaha sehingga dapat
menentukan harga barang dan atau jasa”; pasal 1 angka 4 “Posisi dominan adalah keadaan di
mana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan
dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi di antara
pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan
akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau
permintaan barang atau jasa tertentu; dan Pasal 1 angka 6 “Persaingan usaha tidak sehat
adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau
pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum
atau menghambat persaingan usaha”
122 Politik Ekonomi Islam...

Baik menurut bahasa maupun istilah legal formal tersebut di atas,


monopoli hanya berputar pada satu konsepsi yaitu pemusatan
kekuasaan pada satu tangan baik orang atau kelompok orang. Dalam
kajian antropologi misalnya kasus monopoli yang digambarkan oleh
Geertz tentang pelaku usaha Tabanan Bali, yaitu para aristokrat yang
posisinya dalam pemerintah mulai melemah. Yang menarik dari kasus
monopoli yang diprakarsai oleh masyarakat Tabanan adalah tujuannya
untuk mempertahankan status quo sebagai ganti meruntuhnya
kekuasaan mereka dalam bidang pemerintahan. Data sejarah tentang
monopoli dalam bidang ekonomi adalah kedatangan bangsa Erofa ke
Indonesia untuk mengumpulkan rempah-rempah sebagai komoditi
dagang yang laris di pasar internasional. Pada kasus ini adalah praktik
monopoli yang dimainkan oleh kongsi dagang Belanda, yaitu VOC pada
tahun 1602.
Pada beberapa kasus di Indonesia, secara yuridis monopoli
setidaknya dibedakan menjadi dua, yaitu monopoli legal dan monopoli
ilegal. Monopoli legal adalah monopoli yang tidak dilarang oleh
hukum. Sebaliknya monopoli ilegal adalah yang dilarang oleh hukum.85

85
Arie Siswanto, Hukum Persaingan Usaha, (Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia, 2002), hlm. 22.
BAB IV
ARAH POLITIK EKONOMI ISLAM
DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL
INDONESIA

4.1. Pergeseran Pemikiran Pembangunan


Ekonomi

S
ejarah pembangunan ekonomi telah mengahsilkan banyak corak
sejalan perkembangan masyarakat. Sebagaimana yang terjadi
pada dasawarsa 1970-an. Pada masa itu, banyak bermunculan
reaksi dari para pakar yang meninjau dan memikirkan kembali tentang
rumusan pembangunan ekonomi. Reorientasi tersebut bertujuan untuk
mengoreksi perubahan arti (meaning), tujuan (goals), strategi dan
kebijakan pembangunan ekonomi (strategy and development policy).1
Pradigma pembangunan (dominant development paradignt)
yang dominan adalah paradigm yang mengacu pada pertumbuhan
ekonomi. Pradigma tersebut juga merupakan paradigm yang banyak
memengaruhi pemikiran terkait praktik pembangunan ekonomi di
negara sedang berkembang (NSB), terutama pada dasawarsa 1950-an
dan 1960-an. Pada masa inilah, produk nasional bruto (GNP) ataupun

1
Lihat misalnya uraian lengkap Muana Nanga ‘Mencermati Pergeseran Dalam Paradigma
Pembangunan, dalam jurnal Meditek, Vol. 8, no. 21, Januari-April 2000, hlm. 67-79
124 Politik Ekonomi Islam...

produk domestik bruto (GDP) yeng berkedudukan sebagai indiaktor


tunggal terbaik (the best single indicator) dari pembangunan ekonomi
diterima secara baik. Dengan demikian, pencapaian kesuksesan dalam
pertumbuhan ekonomi yang terletak pada kemampuan mencapai angka
target pertumbuhan yang telah ditetapkan merupakan inti dari
pembangunan ekonomi. Adapun persoalan-persoalan lainnya yang juga
penting adalah terkaiat kemiskinan (proverty), pengangguran
(unemployment), dan ketimbangan dalam distribusi pendapatan
(income inequality).2
Daerah perkotaan menjadi focus utama dari pembangunan
ekonomi yang menempatkan target laju angka pertumbuhan sebagai
sasaran utama. Hal ini mengakibatkan, industrialisasi di daerah
perkotaan menjadi target utama untuk terus dikembangkan karena
dianggap sebagai hal yang mutlak dalam pertumbuhan ekonomi.
Menurut Griffin3 praktik industrialisasi senantiasa menekankan pada
modal yang tinggi, pengenalan teknologi modern juga padat dengan
modal sebagai upaya untuk mendorong pertumbuhan dari kawasan-
kawasan tertentu di kota-kota metropolitan.
Adapun wilayah pedesaan, tidak terlalu menjadi fokus dalam
pertumbuhan ekonomi. Desa dengan focus ekonomi pada bidang
pertanian sering dimarginalkan, bahkan sering menjadi korban demi
mempercepat industrialisasi modern yang ada di perkotaan. 4
Kehadiran sumber daya manusia juga tidak terlalu menjadi faktor
penting dalam proses pembangunan yang sedang dijalankan, dan
seringkali hanya menjadi faktor sisa (residual factor). Keadaan demikian
jelas menyatakan bahwa wilayah perkotanaan dengan indutrialisasi
modernya jauh lebih diutamakan daripada wilayah pedesaan.

2
Muana Nanga, Mencermati Pergeseran... hlm. 68.
3
Keith Griffin, Alternative Strategies For Economic Development, New York: St. Martin’s
Press Ltd, 1989, hlm. 29.
4
Micahel P. Todaro, Economic Development, Fifth Edition, Longman Group Ltd, 1997, hlm. 14.
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 125

Eddy Lee5 menyebutkan bahwa selama ini desa selalu menjadi


sumber bahan makanan, bahan mentah, dan tenga kerja murah bagi
industri di perkotaan. Pembangunan desa bukan urusan utama. Dengan
demikian, cara terbaik untuk menjamin kemakmuran rakyat adalah
dengan memaksimalkan laju pertumbuhan menyeluruh (overall
growth rate), dan pertanian dipandang sebagai sektor tradisional yang
tunduk pada the low of diminishing Returns dan ditandai dengan
besarnya kelebihan tenaga kerja. Hal ini mengakibatkan terjadinya
kesenjangan antara masyarakat kota dengan masyarakat desa, yang
berdampak pada semakin kuatnya arus urbanisasi ke kota-kota besar.
Pembangunan berbasis angka pertumbuhan pada dasawarsa
1950-an saat ini dianggap gagal oleh banyak kalangan ekonom, hal itu
ditandai dengan semakin tingginya negara berkembang dengan angka
pengangguran yang tinggi, kemiskinan yang relatif belum teratasi dan
indeks gini rasio sebagai alat ukur ketimpangan pendapatan semakin
tinggi. Kondisi yang demikian itu memunculkan paradigma yang
berbasis pada orientasi pemerataan.
Pada perkembangannya, mulai bermunculan wacana kritik yang
bertujuan untuk melakukan refedisi untuk pembangunan ekonomi.
Hal tersebut muncul di sekitar tahun 1970-an. Pembangunan ekonomi
berbasis pemerataan merupakan upaya untuk menjawab kegagalan
paradigma ekonomi berbasis angka pertumbuhan (GNP) yang muncul
dengan argumentasi bahwa pembangunan ekonomi hendaknya memper-
timbangkan dan bertujuan untuk mengurangi angka kemiskinan,
ketidakmerataan, dan pengangguran. Dengan adanya upaya tersebut,
maka pembangunan ekonomi di kemudian hari diharapkan tidak hanya
terpusat pada angka pertumbuhan (GNP), tetapi harus memperhatikan
tujuan untuk mengurangi kesenjangan antar penduduk.
Prof. Gerald Meier berpendapat tentang pentingnya dilakukan
reorientasi terhadap pembangunan ekonomi, secara khusus terkait arti
5
Lihat Eddy Lee K, “Changing approaches to Rural Development”, in International Labour
Review, Vol. 19, 1 Januari/Februari, 1980.
126 Politik Ekonomi Islam...

dan kebijakan pembangunan ekonomi, dengan cermat ia uraikan


sebagai berikut:

“The future development calls for a basic reconsideration of the


meaning of development and a fundamental redirection of
development policy. Instead of settling for any aggregrate, or even
per capita, index of “development”, we must recognize the severals
dimensions of “economic development”. Instead of seeking
“development” as an end, we might better view it as a means – as
an instrumental process for overcoming persistent poverty, absorbing
the surplus labor, and diminishing inequality”.6

Gagalnya pembangunan ekonomi berbasis laju angka pertumbuhan


(GNP) menjadi paradigm pada perkembangan ekonomi dengan focus
pemerataan yang pada umumnya terjadinya di negara-negara
berkembang. Hal tersebut mengakibatkan munculnya perhatian dalam
pertumbuhan ekonomi pada persoalan-persoalan, seperti kemiskinan,
kesenjangan, dan pengangguran. Paradigma pemerataan (equity –
centered development paradigm) atau (welfare paradigm) memfokus-
kan pada penciptaan lapangan kerja produktif yang diperuntukkan
kaum miskin. Dengan demikian, paradigm pemerataan ini bertujuan
untuk memperbaiki distribusi pendapatan dan kekayaan melaui direct
intervention dari negara dan menempatkan tujuan pemenuhan
kebutuhan orang miskin sebagai agenda utama.
Dalam pembangunan ekonomi berbasis pemerataan terdapat
lima elemen pokok, yaitu (1) redistribusi awal dari harta (assets) yang
ada; (2) penciptaan institusi-institusi lokal yang memungkinkan
masyarakat miskin untuk berpartisipasi di dalam gross roots
development; (3) investasi pada modal manusia (human capital); (4)
pola pembanungan yang lebih padat karya (employment intensive);
dan (5) pertumbuhan pendapatan per kapita yang pesat dan
berkelanjutan.7
6
Gerald Meier, Leading Issues in Economic Development, Fifth Edition. New York: Oxford
University Press, 1989. Hlm. 9.
7
Keith Griffin, Alternative Strategies...hlm. 30.
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 127

Di negara-negara sedang berkembang, paradigm pembangunan


ekonomi yang berbasis pada pemerataan telah memberikan perhatian
terhadap persoalan-persoalan kemiskinan. Alternative yang hanya
bersifat parsial sebagai solusi yang dihasilkan dari paradigm
pembangunan ekonomi yang berbasis pada pemerataan menjadi
kekurangan dari pradigma tersebut. hal tersebut berakibat pada
terwujudnya masyarakat yang kurang produkti dan tidak mandiri
sehingga masyarakat cenderung tergantung kepada birokrasi. Hal ini
terjadi karena masyarakat miskin pada dasarnya memiliki keter-
gantungan pada program-program pengentasan kemiskinan yang
diberikan oleh pemerintah.
Mencermati kedua paradigma beserta kelemahan-kelemahannya
seperti telah dijelaskan di atas, terciptalan paradigma pembangunan
ekonomi yang ketiga. Paradigma ini sering disebut dengan paradigm
pembangunan ekonomi yang terfokus pada rakyat. Chambers
menjelaskan bahwa pembangunan ekonomi berparadigma pada rakyat
maksudnya adalah berpusat pada manusia atau masyarakat (people
centered), participatory, empowering dan sustainabll. Paradigm yang
dipelopori oleh Davis Korten ini memberikan perhatian besar terhadap
perkembangan manusia, kesejahteraan manusia, keadilan, kelestarian
lingkungan hidup, serta kemandirian ekonomi. Logika dasar dari
paradigma ini adalah keseimbangan ekologi manusia’ dan sumber daya
pembangunan yang utama adalah informasi dan inisiatif yang kreatif
dan tidak pernah habis.8
Korten berpendapat bahwa paradigm pembangunan yang
berpusat pada manusia atau rakyat ini bertujuan untuk mengembangkan
manusia itu sendiri dengan focus pada pengaktualisasian nilai atau
potensi kemanusiaan, seperti, harga diri (selft esteem), kemandirian
(self-reliance), martabat (dignity), pemberdayaan (empowernment).
Fokus utama pembangunan dalam paradigm ini yaitu untuk menjadikan

8
Muana Nanga, Mencermati Pergeseran... hlm. 73.
128 Politik Ekonomi Islam...

manusia sebagai objek utama pembangunan.9 Hal ini berbanding


terbalik dengan paradigma pembangunan ekonomi pada masa orde
baru. Musa Asy’arie menjelaskan bahwa Logika pembangunan sejak
awal orde baru memfokuskan pada pembangunan ekonomi melalui
infrastruktur. Pada kenyataannya, usaha tersebut tidak berhasil
membawa masyarakat Indonesia keluar dari kemiskinan. Bahkan
sebaliknya, usaha tersebut menjadikan semakin banyak masyarakat
Indonesia tidak siap dalam menghadapi arus global.10
Korten berpendapat bahwa pembangunan ekonomi yang
berbasis manusia atau rakyat harus menjadi prioritas utama bahkan
sebagai syarat utama (condition-sine qua non) pelaksanaan sustainable
development, yang diyakini menjadi elemen dasar pembangunan yang
luas dan berkelanjutan.11 Sujadmoko juga berpendapat yang sama
dengan Korten. Ia berpendapat bahwa pembangunan ekonomi harus
menekankan pada wilayah kebudayaan, yang tidak lain juga harus
berpusat pada pengembangan manusia secara utuh.

4.2. Politik Pembangunan Ekonomi Berbasis


Nilai Agama
Masyarakat tradisional selalu memiliki cara tersendiri dalam
menempatkan agama di kehidupan sehari-hari mereka. Secara
psikologis agama terbukti mampu memberikan rasa aman, tentram,
dan mengurangi tekanan dari rasa cemas yang muncul dari rasa takut
yang berlebihan. Hal ini didukung oleh penelitian Malinowski yang
dilakukan pada masyarakat Trobriand. Temuannya ialah bahwa
masyarakat Trobriand senantiasa melakukan upacara ritual setiap
mereka hendak melaut.12

9
David C. Korten, Getting to the 21st Century, Kumarian Press, 1990, hlm. 29.
10
Musa Asy’arie, disampaikan pada sesi serial diskusi daerah di Yogyakarta dengan tema Peran
Nilai Agama dan Tokoh Agama untuk Reorientasi Pembangunan Ekonomi dalam Gerakan
Revolusi Mental, Yogyakarta, 20 Agustus 2015.
11
David C. Korten, Getting to the 21st Century...hlm. 29.
12
J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan (Jakarta: Kencana,
2007), 299-300
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 129

Selain itu, agama memiliki fungsi untuk membentuk nilai-nilai


sosial yang berpengaruh dalam kehidupan manusia di bidang ekonomi.
Weber dalam karyanya yang berjudul Etika Protestan mengungkapkan
bahwa agama Protestan sangat berperan dalam menumbuhkan spirit
of enterprenuership, dengan adanya anjuran untuk senantiasa bekerja
keras, sabar terhadap ujian serta tidak boros. Weber berpendapat
bahwa masyarakat harus selalu berusaha tanpada henti dan putus aja,
juga selalu menginvestasikan sumber dana yang ia miliki.13 Sikap rakus
karena belum memperoleh keuntungan, bukan merupakan ciri
kapitalisme dan bukan semangat kapitalisme itu sendiri.
Kapitalisme sangat identik dengan pengendalian, pengekangan,
dan rasionalitas. Selain itu, hal selalu melekat pada faham yang satu ini
adalah pencarian keuntungan (profit) yang dapat diperbaharui dalam
jangkan panjang dan terus menerus dengan usaha-usaha kapitalis yang
rasional. Dengan demikian, dalam suatu tatanan masyarakat kapitalistik,
jika terdapat suatu usaha kapitalis individual yang tidak memanfaatkan
kesempatan untuk mengambil keuntungan, maka usaha tersebut pasti
akan mengalami kehancuran.14 Pandangan Weber tentang hal ini adalah
bahwa penolakan terhadap tradisi, atau perubahan yang cepat dalam
metode dan evaluasi terhadap kegiatan ekonomi, tidak akan mungkin
terjadi tanpa dorongan moral dan agama. Namun, dia juga mengajukan
bukti bahwa terdapat perbedaan di dalam berbagai kelompok
keagamaan untuk ikut ambil bagian dalam kapitalisme ini.15
Adapun di kalangan masyarakat modern, peran agama terhadap
kegiatan ekonomi cenderung berkurang. Ekonomi yang menekankan
pada pentingnya rasionalitas dan sekularisme, seringkali menyebabkan
benturan-benturan antara kepentingan dengan agama yang menekankan
kepercayaan pada hal-hal yang supranatural. Dengan demikian,

13
Ibid, hlm. 299
14
Max Weber, Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme. Terjemahan (Surabaya: Pustaka
Promethea, hlm. 29-30.
15
Betty R. Scharf, The Sosiological Study of Religion, (Jakarta: Kencana, 2004), hlm. 206.
130 Politik Ekonomi Islam...

keberadaan (existence) agama menjadi terpisah dengan ekonomi.16


Perbedaan yang tajam akan terlihat jika agama dihubungkan dengan
lembaga-lembaga yang melaksanakan aktivitas ekonomi.

Hal lain yang berlaku dalam tindakan ekonomi (produksi dan


pertukaran komoditi) adalah nilai-nilai yang bersifat boros (consumatory
atau instrumental) selalu dipraktikkan sedangkan hubungan personal
menjadi kurang dikembangkan. Dengan dipraktikkannya nilai-nilai
tersebut, aktivitas ekonomi lebih bersifat sekular atau profan ketimbang
sakral. Hal ini berakibat pada timbulnya pandangan bahwa nilai dan
tata cara kehidupan ekonomi yang bedasarkan atas asumsi-asumsi yang
lebih mudah diuji dalam pengalaman empiris, lebih siap dijalani dan
lebih mudah dipastikan sekarang atau nanti. Dalam hal inilah, ekonomi
dapat dihubungkan dengan agama dan dibawa ke arah kebenaran.
Karena hal tersebut akan menimbulkan aktivitas ekonomi menjadi
sesuatu hal yang bersifat sakral.17
Musa Asy’arie berpendapat terkait pembangunan manusia
seutuhnya. Menurutnya, Pembangunan manusia secara tepat yang
berlandaskan pada Pancasila dan UUD 45 adalah pembangunan
manusia yang sutuhnya menjadi program perencanaan pembangunan
yang diprioritaskan. Hal ini membuktikan adanya keterkaitan antara
sumber daya manusia yang unggul. Apabila sumber daya manusia
unggul, maka pembangunan ekonomi, sosial, dan budaya dapat berjalan
untuk mewujudkan keadilan dan kemakmuran.18
Adanya usaha untuk mengkaitkan antara pembangunan ekonomi
yang mengandung nilai-nilai agama menjadi hal menarik untuk diteliti
lebih lanjut. Hal ini dikarenakan agama merupakan aspek yang tidak
dapat dilepaskan dari kehidupan aktivitas manusia, khususnya di

16
Narwoko, Sosiologi...hlm. 299.
17
Thomas F. O’Dea, Sosiologi Agama: Suatu Pengantar Awal (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1995), hlm. 218.
18
Musa Asy’arie, Peran Nilai Agama, serial diskusi...20 Agustus 2015.
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 131

Indonesia. Hal ini menjadi penting untuk dirumuskan terkait


pembangunan agama yang berbasis nilai-nilai agama. Musa Asy’arie
juga telah mencoba menformulasikan tentang paradigma pembangunan
ekonomi yang berbasis nilai agama dengan menekankan nilai-nilai
agama dalam konteks Indonesia. Hal tersebut juga senada dengan
rumusan Pancasila, yang berarti bahwa pancasila sudah tepat menjadi
pondasi dasar paradigma pembangunan ekonomi.

Bagan diolah dari bahan paparan Musa Asy’arie

Fahry Ali berpendapat terkait agama dalam konteks Indonesia


memiliki kecenderungan untuk selalu menyesuaikan dengan
perkembangan ekonomi yang juga terus berkembang. Hal ini bermakna
bahwa adanya proses perubahan sudut pandang terhadap hal-hal baru
dapat dilakukan untuk menggerakkan pembangunan ekonomi berbasis
nilai agama. Keadaan masyarakat Indonesia selalu siap menggerakkan
seluruh kemampuannya untuk pembangunan agama, baik infrastruktur
maupun sosial capital. Adapun rasionalisasi nilai-nilai pra kapitalistik
yang ada harus dilakukan untuk membangkitkan kesadaran orientasi
pembangunan ekonomi yang sesuai dengan nilai-nilai agama. Dalam
hal inilah peran dari tokoh agama menjadi penting.

19
Fahry Ali, Serial Diskusi Pusat, Peran Nilai-Nilai Agama dan Tokoh Agama dalam Gerakan
Revolusi Mental untuk Reorientasi Pembangunan Ekonomi. Jakarta, 26 Juni 2015.
132 Politik Ekonomi Islam...

Sebagaimana yang telah diuraikan oleh Musa dan kemudian


direkonstruksi oleh Fahry bahwa pembangunan ekonomi berbasisi
agama adalah terkait memposisikan agama dalam konteks kehidupan
masyarakat Indonesia. Dengan demikian, agama akan memiliki andil
besar dalam mendorong pembangunan ekonomi sehingga dapat sejalan
dengan semangat nilai-nilai keagamaan. Di Indonesia itu sendiri, peran
tokoh agama yang bertugas untuk memberikan penjelasan, tafsir, serta
interpretasi terhadap nilai-nilai agama sangat besar dalam usaha
mendukung pembangunan ekonomi di Indonesia. Hal tersebut
dikarenakan dalam konteks masyarakat Indonesia, nilai-nilai agama
akan dipadukan dalam system maupun kehidupan masyarakatnya.
Secara lebih luas Musa Asy’arie mengeksplorasi bahwa tokoh-
tokoh agama kemudian memproduksi nilai-nilai agama yang kemudian
dijadikan sebagai panduan oleh masyarakat. Agar lebih mudah difahami
dan diamalkan, maka para tokoh agama juga menjelaskan nilai-nilai
agama tersebut kepada masyarakat. Proses interpretasi dan reproduksi
dari nilai-nilai agama akan menentukan model dan corak bagi umat
manusia dalam memahami realitas-realitas kehidupan. Bagan di bawah
ini menjelaskan terkait proses nilai tersebut diproduksi:

Bagan diolah dari paparan Musa Asy’arie

Jika mencermati bagan di atas, maka dapat dilihat bahwa proses


produksi wacana dan interpretasi nilai agama dalam kehidupan sehari-
hari sangat diperlukan dengan memperhatikan konteks masyarakat
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 133

yang ada. Nilai-nilai agama senantiasa menginspirasi seluruh kehidupan


pengikutnya. Begitu pula dalam pembangunan ekonomi, nilai-nilai
agama hendaknya dijadikan sebagai fondasi kebijakan. Contohnya
dalam Islam, dikenal konsep khalifah yang bertugas sebagai wakil
Tuhan di bumi. Selain itu, dikenal pula konsep tazkiyyah yaitu misi
mensucikan hubungan manusia dengan Tuhan, sesama manusia,
lingkungan, masyarakat dan negara.20 Konsep-konsep tersebut harus
dapat menjamin bahwa kegiatan pembangunan tidak merusak
lingkungan, serta menjamin kesejahteraan manusia sebagai subjek dan
objek pembangunan yang dilakukan secara komprehensif.21
Keterkaitan nilai agama dalam pembangunan ekonomi
memunculkan aspek keterkaitan antara akhlak-moral, spritual,
kebendaan, sosial dan ekonomi yang tidak dapat dipisahkan. Hal ini
jelas bermaksud agar tujuan pembangunan dapat tercapai. Fokus
pembangunan ekonomi berbasis nilai agama terletak pada pembangunan
manusia dari semua aspek kehidupannya. Kebutuhan manusia tidak
hanya terletak pada kebutuhan material saja, melainkan juga
kebutuhan spiritual dan non material.22 Pada bagian inilah terlihat
perbedaan mendasar antara pembangunan ekonomi yang bersifat
konvensional dengan pembangunan ekonomi berbasis nilai agama.
Paradigma pembangunan ekonomi dengan semangat nilai-nilai
agama harus memastikan bahwa pembangunan yang dijalankan dan
tujuan dari pembangunan tersebut memiliki korelasi yang sejalan, yaitu
untuk memastikan bahwa kebutuhan material manusia yang diukur
dari tingkat kesejahteraan ekonomi dan kebutuhan non material yang
diukur dari rendahnya frustasi sosial, dapat dipenuhi.

20
Khursid Ahmad, “Economic Development in an Islamic Framework”, dalam Studies Islamic
economics, (Jeddah, King Abdul Aziz University, 1976), hlm. 178.
21
Ausaf Ahmad, “Economic Development in Islamic Development Revisited”, dalam
Development and Islam: Islamic Perspectives on Islamic Development, (New Delhi: Institute
of Objective Studies, 1998), hlm. 52
22
Umar Chapra, The Islamic Vision of Development in the Light of Maqashid Al Shariah,
(Jeddah: Islamic Research and Training Institute, 2008), hlm. 5
134 Politik Ekonomi Islam...

Dalam konteks pembangunan ekonomi yang berbasis nilai agama


di Indonesia telah termaktub dalam Pancasila, sebagaimana dikemuka-
kan Musa Asy’arie, bahwa Pancasila mewakili semangat religiusitas
masyarakat dalam segala aspek kehidupan. Pembangunan dengan
fokus pada manusia dan kebudayaan menjadi agenda utama dalam
proses pembangunan ekonomi jangka panjang. Hal ini karena kemajuan
manusia dan kebudayaan akan sejalan dengan pembangunan ekonomi.
Hal ini sejalan dengan pernyataan Soejadmoko.
Musa Asy’arie menekankan tujuan pembangunan ekonomi
berbasis nilai agama yang terumuskan dalam Pancasila harus mengacu
pada tujuan prioritas yang telah dirumuskan dalam lima poin penting
yang diambil dari pembukaan UUD 1945, yaitu: 1) mencerdaskan kehi-
dupan bangsa; 2) menciptakan keadilan; 3) menciptakan kemakmuran;
4) perdamain dunia; 5) peradaban yang mulia.23 Maka jelas bahwa fokus
utama pembangunan ekonomi seperti tertuang dalam UUD 1945 dan
Pancasila adalah pembangunan manusia. Lihatlah bagan di bawah ini:

Sumber: Bahan Paparan Musa Asy’arie


23
Menurut Musa kesalahan fatal pemerintah pada masa orde baru khususnya meletakkan
pembangunan ekonomi fokus pada angka pertumbuhan dan pemenuhan infrastruktur bukan
pada pembangunan manusia, hasilnya negara yang fokus pada pembangunan manusia seperti
Malaysia, Jepang dan negaera lainnya mengalam kemajuan pesat pada bidang ekonomi dan
teknologi dalam kurun waktu 5 Dasawarsa trakhir. Musa Asy’arie, Serial diskusi daerah
Yogyakarta, Hotel Primier Jogja, 20 September 2015.
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 135

Orientasi pembangunan ekonomi yang ideal menurut logika


UUD 45 dan Pancasila sudah seharusnya mengedepankan pembangunan
manusia seutuhnya.

4.3. Kerjasama Agamawan dan Pemerintah


untuk Pembangunan Ekonomi
Kehadiran berbagai elemen masyarakat berperan besar dalam
pembangunan bangsa di segala aspek kehidupan, baik sosial-ekonomi
maupun politik-budaya. Adanya kerjasama antara pemerintah dengan
masyarakat menghasilkan terbentuknya komunitas, aktivitas, serta
berbagai saluran aspirasi yang terwujud dalam berbagai gerakan. Salah
satunya adalah komunitas agama. Komunitas ini memiliki peran besar
dalam pembangunan ekonomi dengan kekuatan umat para pengikutnya
yang terikat dengan rasa solidaritas yang besar.
Secara mendasar, agama yang merupakan system sosial yang
sudah terlembaga dalam setiap lapisan masyarakat, dijadikan sebagai
nilai yang mengikat kehidupan setiap penganutnya. Nilai-nilai agama
yang telah dipahami oleh setiap penganutnya dijadikan sebagai acuan
dalam berinteraksi baik kepada Tuhan, sesame manusia, maupun alam
sekitar. Ajaran itu juga dapat diterapkan untuk mendorong pembangunan
ekonomi.24 Pembahasan terkait etos kerja yang terkandung dalam
agama menjadi pendorong untuk pembangunan ekonomi. Hal tersebut
banyak diteliti dan dipelajari terkait ajaran-ajaran agama yang berperan
penting dalam perilaku ekonomi maupun ajaran-ajaran agama yang
telah terinternalisasi di dalam perilaku penganutnya. Weber
berpendapat bahwa, di dalam ajaran agama telah ditemukan semangat-
semangat yang mendorong kepada aktivitas ekonomi, seperti etos
kerja, jujur dan hemat. Melalu risetnya dalam ajaran Calvinisme ia
telah membuktikan bahwa semangat-semangat tersebut menjadi nilai

24
Nanat Fatah Nasir, Etos Kerja Wirausahawan Muslim, (cet. I Bandung: Gunung Jati Press,
1999), hlm. 45.
136 Politik Ekonomi Islam...

yang mendorong munculnya Kapitalisme Eropa. Ajaran Calvinisme


tentang kerja sebagai Beruf atau panggilan dipahami tidak hanya
sekedar pemenuhan keperluan, melainkan sebagai tugas suci (Weber,
1905:20). Menurut Weber, sikap hidup keagamaan ialah “askese
duniawi”. Kerangka pemikiran teologis ini bermakna bahwa “semangat
kapitalisme” yang bersandarkan kepada cita ketekunan, hemat,
berperhitungan, rasional, dan sanggup menahan diri, telah menemukan
pasangannya. Sukses hidup yang dihasilkan oleh kerja keras dapat dianggap
sebagai pembenaran bahwa ia, si pemeluk, adalah orang yang terpilih.25
Secara historis, pembahasan dan keterkaitan antara keyakinan
dan agama26 sudah tidak dapat dipisahkan. Contohnya adalah eksistensi
beberapa agama besar yang sangat erat kaitannya dengan perjalanan
historis Indonesia dan Asia. Akan sangat sulit jika kita ingin memisah-
kan antara orang Asia dan agama. Meskipun sekularistik telah

25
Max Weber, Die Protestantische Ethik und der “Geist” des Kapitalismus. diterjemahkan oleh
Talcott Parson. 1959. The Protestant Ethic and the spirit of capitalism, , New York: Char Les
Scribner’s Son.(terjemahan Yusuf Priyasudiarja. 2002. Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme.
Surabaya: Pustaka Promethea)
26
Durkheim menjelaskan bahwa agama adalah sistem kepercayaan dan amalan yang bersepadu
yang berkaitan dengan benda-benda yang kudus, yaitu benda-benda yang diasingkan dan
dianggap mempunyai kuasa yang dapat menyatukan semua ahli masyarakat ke dalam suatu
komuniti moral atau gereja. Berasaskan definisi ini agama dianggap sebagai sesuatu yang
kolektif dan secara nyata adalah produk sosial yang bertujuan untuk mempersatukan ahli
masyarakat ke dalam suatu komuniti moral. Di dalam ajaran agama ada yang kudus (sacret)
dan ada yang profane. Kudus disucikan dan dianggap sebagai ekspresi simbolik dari realitas
sosial, kemudian memiliki suatu kualitas transendental, sedangkan profane adalah kebalikan
dari sakral yaitu sesuatu yang biasa saja. Emile Dukheim. The Elementary Forms of The
Religious Life. Terj. Joseph Ward Swain. London: George Allen & Unwin.hlm.47.
Geertz menyatakan bahwa agama adalah (1) sistem yang terdiri dari berbagai simbol yang
bertindak untuk (2) mewujudkan dalam diri manusia suatu perasaan dan ransangan yang
kuat, menyeluruh dan berkepanjangan melalui (3) pembentukan kesadaran terhadap
kewujudan satu bentuk aturan umum yang tertib dan terarur yang berkaitan dengan kehidupan,
serta (4) menyelubungi kesadaran tersebut dengan satu bentuk aura yang kelihatan betul-betul
berwibawa, (5) perasaan dan ransangan tersebut seolah-olah mempunyai kebenaran yang
sangat unik dan istimewa. Clifford Geertz. Interpretation of Cultures. New York: Basic
Books,1973. Inc., hlm.90.
Koentjaraningrat adalah seorang antropologis terkenal di Indonesia. Karya karyanyanya banyak
dijadikan rujukan. Koentjaraningrat dalam melihat agama menegaskan bahwa ada lima
komponen agama, antara lain: (1) emosi keagamaan; (2) sistem keyakinan; (3) sistem ritus dan
upacara; (4) peralatan ritus dan upacara; (5) umat agama. Koentjarningrat. Sejarah Teori
Antropologi I. Universitas Indonesia Press,1987, Jakarta.,hlm. 80.
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 137

menguasai banyak aspek kehidupan masyarakat Asia, masyarakat Asia


dan keberadaan agama saling terkait. Agama akan terus hidup dan
dibutuhkan dalam momen-momen tertentu. Watak religiusitas ini
menjadikan peran agama dalam dalam segala aspek kehidupan manusia
memiliki ruangnya tersendiri.
Meniadakan agama dalam mengkaji masyarakat merupakan
keputusan yang tidak tepat, karena dengan meniadakan agama dalam
pembahasan ‘konstruksi sosial’, maka di saat itu pula peneliti telah
menghilangkan satu aspek penting yang seharusnya menjadi kajian
tersendiri dalam pembahasan ‘konstruksi sosial’ tentang cara
masyarakat menjalani kehidupannya. Agama yang telah terintegrasi
dalam setiap rutinitas kehidupan manusia akan menjadi bagian penting
untuk menjadi sumber kehidupan manusia, menjadi acuan cara
pandang manusia, dan bahkan menjadi penentu kehidupan seseorang
akan terus berjalan. Bahkan di era digital saat ini sekalipun agam sering
terpinggirkan, namun fakta membukrikan bahwa agama tetap menjadi
kajian yang ‘seksi’ untuk terus menemukan relevansinya dalam
perbincangan sejaran peradaban manusia.27
Setiap agama pasti memiliki nilai-nilai agung, ajaran yang
dipahami oleh penganutnya, serta implikasi dari pemahaman mereka
yang menjelma menjadi perilaku masyarakat. Nilai-nilai agama tidak
digali dan diinterpretasikan oleh semua orang yang beragama,

27
Tanpa disadari proses marginalisasi agama dengan tidak menyatakan dibuang, menimbulkan
krisis spiritualitas, Krisis ini ditandai dengan hilangnya pegangan hidup, makna yang terdalam
dan nilai yang mampu menjawab kegelisahan manusia menghadapi orientasi hidup yang
serba pragmatis menjadikan manusia tak pernah puas dengan segala yang dicapai, lihat
misalnya penjelasan Danah Zohar dan Ian Marshal “krisis Makna” dalam SQ: Kecerdasan
Spiritual, terj. Rahmani Astuti dkk, (Bandung: Mizan Pustaka, 2007) hlm. 16-3. krisis ini
ditandai dengan cara pandang dan paradigma ‘manusia modern’ dalam mendefenisikan
hidup yang berorientasi pada pemenuhan materil. Akibat dari fenomena di atas, masyarakat
modern, yang sering digolongkan the post industrial society, suatu masyarakat yang telah
mencapai tingkat kemakmuran materi sedemikian rupa dengan perangkat teknologi yang
serba mekanis, bukannya semakin mendekati kebahagian hidup, melainkan sebaliknya, kian
dihinggapi rasa cemas justru akibat kemewahan hidup yang diraihnya. Mereka telah menjadi
pemuja ilmu dan teknologi, sehingga tanpa disadari integritas kemanusiaannya tereduksi, lalu
terperangkap pada jaringan sistem rasionalitas teknologi yang sangat tidak human.
138 Politik Ekonomi Islam...

melainkan oleh tokoh-tokoh agama, yaitu orang-orang yang ahli atau


memahami secara mendalam ajaran agama. Tokoh-tokoh agama yang
disebut-sebut sebagai ‘wakil Tuhan’ di bumilah yang kemudian akan
mengarahkan sejarah perjalanan dari suatu agama yang dipercayainya.
Nilai agama dan kehadiran tokoh agama adalah 2 entitas yang
saling berkaitan. Ajaran-ajaran agama yang dipahami, disebarluaskan,
dan dipraktekkan oleh penganut agama terletak pada cara para tokoh
agama dalam mendiskusikan dan mewacanakan nilai-nilai agama
tersebut. Banyak cara yang ditempuh oleh para tokoh agama untuk
mendiskusikan maupun mewacanakan nilai-nilai agama tersebut, di
antaranya adalah dengan cara mengkhotbahkan, merongrong tema-
tema keagamaan, menyeminarkan, maoun menyampaikannya dalam
ceramah-ceramah. Keseluruhan cara tersebut juga turut andil dalam
membentuk diskursus paham keagamaan di level penganut. Sebagai
contoh, jika tema yang sering disuarakan adalah tema tentang perdebatan
teologis atau berputar-putar pada pusaran khilafiyah (perbedaan tokoh
agama dalam memahami ajaran agama) maka tidak heran jika penganut
agama juga akan ‘terjebak’ pada wacana dan isu-isu yang sama.
Diskursus keagamaan di era saat ini menghilangkan batas-batas
antara ‘the others’ yang tidak lagi terhalang oleh jarak. Kehadiran agama
dan ideologi serta masalah-masalah utama bagi negera-negara
berkembang yang semakin jelas kemunculannya. Keadaan demikian
menuntut kehadiran agama melalui tokoh-tokohnya harus mampu
membuat gebarakan baru yang mendorong percepatan, pembangunan,
perbaikan ekonomi, masalah lingkungan, isu-isu sosial-politik serta
banyak hal lain yang membutuhkan daya dorong dari sisi keagamaan.
Revolusi mental yang digelorakan oleh Joko Widodo harus
ditopang oleh pembangunan mentalitas masyarakat Inodnesia yang
kuat, nilai-nilai agama, dan pemahaman tokoh agama harus menjadi
daya dobrak, pendorong, dan inspirasi utama untuk perubahan
mentalitas tersebut. Orientasi ekonomi masyarakat yang pragmatis
dan terjebak pada cara pandang matrealisme an sich harus diubah agar
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 139

semangat ‘revolusi mental’ tidak kehilangan arah pada aspek ekonomi.


Keadaan ini mengharuskan adanya reorientasi ekonomi.
Nilai agama yang berkaitan dengan aspek ekonomi bercorak
‘progresif’ serta mengandung semangat kompetitif yang sehat. Selain
itu, nilai agama juga mendorong dan melegetimasi ‘kreativitas’ yang
bernilai ekonomis. Hal ini harus menjadi tema utama di dalam khutbah-
khutbah, seminar maupun perbincangan keagamaan. Dengan demikian,
secara langsung para tokoh agama menyampaikan pesan untuk terus
semangat dalam memperbaiki kehidupan dengan pembangunan
ekonomi dengan legetimasi doktrin agama. Kehadiran agama mendorong
bahkan mewajibkan kemajuan dalam bidang ekonomi. Secara tidak
langsung hal ini akan menggeser perdebatan dan diskursus keagamaan
yang selama ini memenuhi wacana keagamaan yang hanya terfokus
pada wilayah teologis, khilafiyah, dan hal-hal yang cenderung hitam-
putih, salah-benar, serta kampanye kebencian atas nama agama.28
Nilai agama yang inklusif (terbuka) atas perubahan-perubahan
yang terjadi seiring dengan perubahan masyarakat harus menjadi
alternatif pilihan tokoh agama. Sementara nilai agama yang eksklusif
terhadap perubahan cara pandang tentang ekonomi harus direinterpre-
tasikan kembali agar menumbuhkan semangat untuk perbaikan
pembangunan ekonomi umat manusia.
Keterkaitan nilai agama, tokoh agama dengan revolusi mental
merupakan keterkaitan yang saling mendukung satu sama lain.
28
Lihat misalnya dalam satu dekade terakhir, diskursus keagamaan di Indonesia khususnya
Islam lebih didominasi oleh persoalan khilafiyah, perdebatan teologis, kampanye kebencian
antarmazhab serta diskursus hitam-putih. Puncaknya aksi kekerasan, diskriminasi serta terror
atas nama agama. Setara Institute, “Laporan Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di
Indonesia: Berpihak dan Bertindak Intoleran”, (Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara
dalam Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia), Jakarta: Publikasi Setara Institute,
2008, hlm. 79-81. Dalam Islam yang pernah dianggap sesat karena tidak sama dengan
mayoritas di antaranya adalah Jemaat Ahmadiyah, LDII, Al Arqom, kasus Alqiyadah Al Islamiyah
(Pimpinan Ahmad Moshaddeq), Salam-ullah (Pimpinan Lia Eden), Tarekat Wahidiyah
(Tasikmalaya), Satariyah (Medan) dan lain-lain. Saksi Yehova pernah dilarang, karena dianggap
sesat oleh kalangan gereja dan pada masa Gus Dur larangan tersebut dicabut. Uli Parulian
Sihombing, dkk, Menggugat BAKORPAKEM Kajian Hukum terhadap Pengawasan Agama dan
Kepercayaan di Indonesia, (Jakarta: The Indonesian Legal Resource Center/ILRC, 2008, hlm. 4.
140 Politik Ekonomi Islam...

Keseluruhan variable tersebut, memiliki fungsinya masing-masing.


Nilai agama dijadikan panduan, inspirasi, dan sumber dalam melakukan
interpretasi terhadap pemahaman yang baru. Nilai agama juga
mendukung proses reorientasi pembangunan ekonomi. Adapun tokoh
agama menjadi aktor penting dan agensi yang berperan untuk
memproduksi nilai agama agar dapat dipahami oleh umat. Tokoh
agama menjadi perpanjangan tangan Tuhan untuk melakukan
internalisasi ajaran agama. Sedangkan revolusi mental menjadi sebuah
nilai yang ikut serta berkolaborasi dengan nilai-nilai agama yang
dipandu oleh tokoh agama untuk melakukan reorientasi pembangunan
ekonomi berbasis kombinasi antara nilai agama dan nilai esensial
revolusi mental dalam konteks keIndonesiaan.
Kehadiran tokoh agama sebagai penggerak revolusi mental harus
diposisikan dalam konteks sebuah gerakan. Hal itu berarti bahwa tokoh
agama menjadi agensi penting sebagaimana yang telah dijelaskan oleh
Giddens, bahwa tokoh (agensi) harus diletakkan ke dalam sebuah
struktur.29 Giddens dengan teori strukturasinya menekankan pada
“praktik sosial yang tengah berlangsung”. Ia menyatakan bahwa “di
dalam teori strukturasi, cakupan dasar studi ilmu-ilmu sosial, bukan
merupakan pengalaman seseorang, maupun keberadaan totalitas sosial
dalam bentuk apapun, melainkan praktek yang disusun sepanjang
ruang dan waktu”.30 Pernyataan tersebut juga bermakna bahwa realitas
sosial di masyarakat selalu berkaitan dengan fungsi agensi untuk
memainkan perannya.
Haidar Nasir menjelaskan bahwa di dalam strukturasi, kehadiran
praktik sosial sangat diperlukan, baik berbentuk aksi maupun struktur
kehidupan masyarakat. Strukturasi terfokus pada “suatu cara dimana
29
Secara khusus dalam hubungannya antara agen (pelaku, aktor) dan struktur. Menurut Giddens,
seperti dikutip Ritzer dan Goodman, bahwa “Setiap penelitian ilmu sosial atau sejarah pasti
melibatkan pengaitan tindakan (seringkali digunakan secara sinonim dengan agensi) dengan
struktur…tidak mungkin struktur ‘menentukan’ tindakan atau sebaliknya. Goerge Ritzer dan
Douglas J. Goodman. Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan
Mutakhir, terjemahan Nurhadi. (Yogyakarta: Kreasi Wacana. 2008), hlm. 568.
30
Goerge Ritzer dan Douglas J. Goodman. Teori Sosiologi...hlm. 569.
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 141

struktur sosial (social structure) diproduksi, direproduksi, dan diubah


di dalam dan melalui praktik”. Pemaknaan strukturasi juga sering
dihubungkan dengan konsep dualitas struktur, yang menyatakan
bahwa struktur-struktur diproduksi dan direproduksi oleh tindakan
manusia maupun medium tindakan sosial.31 Cara pandang strukturasi
yang dikemukakan oleh Giddnes terkait tokoh agama sebagai agensi
sosial menjadi menarik untuk dibahas lebih lanjut. Perspektif tersebut
mengemukakan bahwa peran sentral tokoh agama sebagai agensi yang
memproduksi agama untuk dipahami oleh umat, diaktualisasikan, dan
diterjemahkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, ruang
keagamaan dan wajah agama ditentukan oleh tokoh agama itu sendiri.
Di Indonesia hubungan antara agama dan politik telah didominasi
menjadi salah satu birokratisasi-peraturan isu agama oleh Departemen
Agama. Kebijakan-kebijakan terhadap agama yang lahir dari institusi
pelaksana (yaitu, pengadilan atau birokrasi) dari modus delegasi
(vertikal dibandingkan horizontal) kemudian membentuk hubungan
antara pembuat kebijakan dan lembaga yang menerapkannya.
Heterogenitas agama memiliki dampak besar pada prospek pembangunan
bangsa dan demokratisasi politik, dan pentingnya kebijakan terhadap
agama, dalam proses demokrasi politik dalam suatu negara.32
Musa Asy’arie memfokuskan pada ideologi kebangsaan yang
dijadikan pilar rujukan. Agama difungsikan oleh tokoh agama sebagai
elemen penting dan mendasar dalam memainkan peran agama dalam
segala aspek kehidupan. Dalam konteks ekonomi, peran mereka dibagi
ke dalam 6 peran yang dapat dijalankan oleh masing-masing tokoh:
1. Membumikan nilai agama sesuai dengan kondisi Indonesia, artinya
bahwa nilai-nilai agama manapun tidak tepat jika dipertentangkan
31
Haidar Nasir, “Memahami Strukturasi Dalam Perspektif Sosiologi Giddens” dalam Sosiologi
Reflektif, Volume 7, Nomor 1, Oktober 2012, hlm. 2.
32
Sezgin, Yüksel1, and Mirjam2 Künkler. “Regulation of “Religion” and the “Religious”: The
Politics of Judicialization and Bureaucratization in India and Indonesia.” Comparative Studies
In Society & History 56, no. 2 (April 2014): 448-478. Humanities Full Text (H.W. Wilson),
EBSCOhost (accessed September 24, 2014).
142 Politik Ekonomi Islam...

dengan konsep nilai yang ada di tengah-tengah masyarakat Indonesia


terkait semangat pembangunan.
2. Menghargai pluralitas agama. Konteks beragama masyarakat
Indonesia yang multi religon harus menjadi salah satu dasar terkait
proses diproduksinya nilai agama tersebut yang disesuaikan dengan
konteks masyarakat yang beragam. Hal ini sebagai bentuk upaya
mengkontekstualisasikan nilai agama dengan semangat pluralitas
agama yang ada di Indonesia.
3. Memajukan Pendidikan dan Kebudayaan. Dua elemen penting ini
sebagai pilar pembangunan manusia seutuhnya harus menjadi fokus
kalangan tokoh agama. Pendidikan bertujuan untuk menjadikan
generasi bangsa Indonesia sebagai bangsa yang religius dan maju
dalam berbagai bidang kehidupan. Adapun kebudayaan menjadi
media bagi para tokoh agama dalam memproduksi budaya yang
mendorong bersinerginya nilai-nilai agama dengan nilai-nilai
kebudayaan sehingga akan terwujudnya semangat dan kekuatan
dalam menjalankan roda pembangunan.
4. Mengembangkan Jiwa enterpreneurship dan etos Kerja. Tugas dan
fungsi para tokoh agama dalam pembangunan, khususnya dalam
bidang ekonomi harus terfokus pada dua aspek, yaitu pengembangan
jiwa enterpreneurship dan etos kerja pengembangan jiwa
enterpreneurship merupakan semangat untuk berwiraswasta.
Semanga kejiwaan inilah yang masih sangat rendah di kalangan
masyarakat Indonesia. Semangat masyarakt Indonesia masih
terdorong untuk menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Adapun aspek
kedua yaitu etos kerja. Etos kerja menjadi aspek penting, karena
dengan etos kerja yang baik dan kuat proses pengembangan dan
memajukan dunia enterpreneurship dapat berjalan secara perlahan
dan berkesinambungan.
5. Mengembangkan konsep keluarga berencana. Peran tokoh agama
masih sangat relevan dalam pengembangan konsep KB. Adapun
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 143

konsep ini bertujuan untuk menekan laju angka pertumbuhan


penduduk Indonesia. Jika angka pertumbuhan tinggi sementara
peluang demografi dan peluang usaha dan tenaga kerja berbanding
terbalik dengan angka pertumbuhan tersebut, maka berbagai
masalah, baik sosial, ekonomi dan politik akan bermunculan. Dalam
hal inilah sebenarnya peran tokoh agama menjadi sangat penting
untuk terus mengkampanyekan KB sebagai alternatif dalam
pembangunan keluarga berkualitas.
6. Melawan korupsi dan memberikan sanksi agama. Upaya tokoh agama
dalam memerangi dan melawan korupsi adalah bagian dari ijtihad
sekaligus sebagai upaya penegakkan nilai agama dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sanksi berupa fatwa yang
dapat mencegah praktik korupsi sangat penting untuk terus
disuarakan dan diformulasikan oleh tokoh agama sebagai bagian
dari proses penyadaran dalam praktik kenegaraan.
Secara sederhana konsep yang dibangun Prof Musa Asy’arie33
seperti bagan di bawah ini:

Peran Tokoh Agama untuk Reorientasi Pembangunan Ekonomi

33
Diambil dari bahan paparan Prof. Dr. Musa Asy’arie dalam seminar serial diskusi Kajian
Pragis di Provinsi DI Yogyakarta, 20 Septmber 2015
144 Politik Ekonomi Islam...

Berkaitan dengan peran tokoh agama dalam revolusi mental


sebagai usaha mereorientasi pembangunan ekonomi, maka
pemanfaatan modal sosial dan modal psikologis bagi prilaku ekonomi
harus sejalan dengan modal spiritual untuk menggerakan masyarakat
menuju the movers melalu subsidi kebutuhan dasar seperti pekerjaan,
pendidikan, dan kesehatan bagi masyarakat. Hal ini dapat terjadi jika
peran pemerintah dan tokoh agama dapat bersinergi secara baik dalam
menjalankan peran masing-masing tentunya untuk saling mendukung
ke arah yang lebih baik.
Gerakan revolusi mental harus dimulai dari tokoh agama,
masyarakat, dan politik. Hal tersebut dikarenakan masyarakat Indonesia
masih memiliki cara pandang terhadap tokoh agama sebagai sosok yang
dipanuti dan dihormati. Selain itu cara berpikir keagamaan di sebagian
masyarakat Indonesia masih menjadi model penerima bukan sebagai
pengoreksi ataupun memproduksi, sehingga kehadiran tokoh agama
sangat penting bagi proses pembangunan manusia di Indonesia.34
Arah reorientasi pembangunan Indonesia berbasis nilai agama
melalui peran tokoh agama bertujuan untuk pembangunan umat
produktif yang dilakukan melalui gerakan revolusi mental. Variabel-
variabel yang saling bersinergi dan berkaitan ini diupayakan untuk
membuka jalan dan peluang bagi bergesernya paradigma variabel
sentral. Hal ini bermaksud menjadikan tokoh agama sebagai fokus
dalam pembangunan umat produktif yang dijalankan melalui nilai
agama dan nilai revolusi mental. Hal itu tentu dilakukan untuk
mewujudkan manusia yang berkualitas, baik dari aspek kesejahteraan
ekonomi, moralitas, mapun spiritual.
Sebagaimana yang telah dikemukakan dalam Teori Strukturasi
oleh Giddnes, tokoh agama diposisikan sebagai salah satu agensi.
Dengan demikian, maka tugas pokok dari agensi tokoh agama adalah

34
Salah satu kesimpulan dalam serial diskusi pusat Kajian Pragis Revolusi Mental ‘Peran Nilai-
Nilai Agama dan Tokoh Agama dalam Gerakan Revolusi Mental untuk Reoreintasi
Pembangungan Ekonomi, Jakarta, 26 Juni 2015
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 145

untuk menggerakan revolusi mental yang memiliki tiga nilai


fundamental, yaitu gotong royong, integritas, dan etos kerja.

Sinergisitas Tokoh Agama, Revolusi Mental dan Reorientasi


Pembangunan Ekonomi

Berdasarkan bagan di atas, maka dapat dilihat bahwa sinergisitas


antara tokoh agama, revolusi mental, dan reorientasi pembangunan
ekonomi menunjukkan adanya peran ganda yang dimainkan oleh tokoh
agama, yaitu sebagai aktor yang berperan dalam menafsirkan,
memperoduksi, dan mereproduksi ulang tafsiran atas nilai-nilai agama.
Nilai agama yang mendukung pembangunan ekonomi, semangat
reorientasi pembangunan serta nilai-nilai revolusi mental harus lebih
sering didengungkan dan dijadikan tema utama dalam mimbar agama.
Peran kedua dari tokoh agama adalah sebagai agensi sosial atau aktor
sosial yang berusaha mengimplementasikan serta mengaktualisasikan
nilai-nilai agama dan nilai esensial revolusi mental ke dalam bentuk
program kegiatan, rencana aksi melalui lembaga agama yang dimotori
dan dipimpin oleh tokoh agama, baik secara organisatoris dan kolektif.
146 Politik Ekonomi Islam...

Reorientasi pembangunan ekonomi adalah hasil akhir dari proses


internalisasi nilai agama dan nilai esensial revolusi mental yang
dilakukan oleh tokoh agama. Tujuan akhir dari reorientasi jangka
panjang tersebut meliputi, meningkatnya produktivitas masyarakat,
meningkatnya daya saing untuk menciptakan budaya kompetitif,
dengan tujuan akhir meningkatkan kualitas hidup masyarakat.

4.4. Lanskap Pembangunan Politik Ekonomi


Islam
Pada zaman keemasan Islam yaitu abad ke-7 sampai ke 14,
ekonomi dan agama adalah suatu hal yang menyatu, dan tidak dapat
terpisahkan. Begitupun pada sistem ekonomi yang diperkenalkan oleh
Barat, mereka yang merupakan ahli ekonomi Eropa adalah pendeta
ataupun ahli agama seperti halnya Thomas Aquinas, Augustin dan lain-
lain. Masa mereka dikenal dengan masa ekonomi skolastik.
Pertentangan masyarakat atas dominasi gereja menyebabkan semua
tindakan gereja atas ekonomi diberhentikan, dan setelah itu dilakukan
lah pemisahan, hal ini dimulai dengan adanya revolusi yang terjadi
dibelahan bumi Eropa, dengan penentangan terhadap gereja yang
memiliki kuasa penuh atas ekonomi rakyat, sehingga menyebabkan
terbukanya pintu untuk memisahkan antara ekonomi dengan nilai-
nilai keagamaan.
Dewasa ini disaat semuanya kembali mencair kajian-kajian ilmu
ekonomi untuk mencari kembali nilai religius dan kemanusiaan dimulai
kembali. Para ekonom kontemporer mulai mencari lagi sampai mereka
menyadari kembali betapa pentingnya kajian ekonomi yang berkarakter
religius, bermoral, dan human.35 Maka dari itu banyak ekonom yang
terlahir dan mulai mengkaji kembali ilmu ekonomi yang berkaitan
dengan nilai kemanusiaan, baik perorangan, masyarakat maupun bangsa.

35
Sasono, Adin, Didin Hafdudin, A.M. Saefuddin, dkk. 1998. Solusi Islam atas Problematika
Umat (Ekonomi Pendidikan dan Dakwah). Jakarta: Gema Insani Press. h.30
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 147

Ekonomi dalam Islam telah memberikan contoh dalam berbagai


macam tindakan ataupun aktifitas ekonomi dengan dilandasi oleh
hukum syariat. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat dapat terhindar
dari berbagai macam praktik-praktik ekonomi yang menyimpang.
Sehingga kegiatan atau aktifitas masyarakat Islam yang berkaitan
dengan hal ekonomi memiliki rujukan berdasarkan Islam, dan tentunya
kesemua hal itu telah diatur dalam Al Qur’an dan Sunnah sesuai dengan
landasan masyarakat Islam untuk menjalankan keyakinannya. Seperti
apa yang berbunyi dalam surat al-Muthaffifin ayat 1-6 artinya:
“Celakalah (siksalah) untuk orang-orang yang menipu. Bila mereka
menimbang dari manusia untuk dirinya, mereka sempurnakan
(penuhkan). Dan bila mereka menimbang untuk orang lain mereka
kurangkan. Tiadakah mereka menyangka bahwa mereka akan
dibangkitkan? Pada hari yang besar (kiamat)? Yaitu pada hari
manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam.” Maka dari ayat
tersebut jelaslah bahwa kegiatan ekonomi yang berkaitan dengan
dagang dan lain sebagainya yang berkaitan dengan hal yang demikian
itu hendaknya melaksanakan timbangan dengan seadil-adilnya tidak
berlaku curang atau mengurangi hak masing-masing manusia.
Ayat tersebut sangat jelas mengingatkan kepada kita agar kiranya
berlaku adil, begitupun dalam hal ekonomi hendaknya tidak mengurangi
berat timbangan. Dalam konsep sistem ekonomi Islam ada beberapa
konsep dasar yang menjadi pembeda antara sistem ekonomi Islam
dengan sistem ekonomi konvensional, terutama persoalan perekono-
mian yang mampu menunjang aqidah seseorang. Dalam ajaran Islam
aqidah merupakan pondasi dasar atas segala sesuatu yang dilakukan
seorang muslim di dunia ini. Begitu juga dalam praktik sistem ekonomi
Islam, aqidah dijadikan sebagai fondasi utama dalam merealisasikan
sistem ini. Dalam kajian sistem ekonomi Islam, semua bentuk kegiatan
ekonomi harus diorentasikan untuk menunjang aqidah dan aqidah
dijadikan sebagai asas dalam kegiatan perekonomian. Dalam kacamata
Islam ekonomi bukanlah tujuan akhir dari kehidupan manusia, tapi
148 Politik Ekonomi Islam...

merupakan suatu kelengkapan dalam kehidupanya, sarana untuk


mencapai tujuan yang lebih tinggi, penunjang dan layanan bagi aqidah
serta misi yang diembannya.36 Dengan begitu praktik-praktik ekonomi
Islam jelas berdasarkan moralitas pada diri seseorang yang mendorong
untuk menjalankan perekonomian sesuai dengan keinginan bersama.
Ekonomi syariah atau dikenal juga dengan ekonomi Islam
sebagaimana dikemukakan oleh Afzalur Rahman adalah sebuah sistem
ekonomi yang berbeda dengan sistem kapitalisme dan sosialisme.
Ekonomi Islam memiliki kebaikan-kebaikan yang terdapat dalam
kedua sistem tersebut dan terbebas dari kelemahan-kelemahan yang
ada dalam kedua sistem tersebut. Melalui ekonomi Islam tidak hanya
menyiapkan individu-individu sejumlah kemudahan dalam bekerja
sama berlandaskan syariah, tetapi juga memberikan pendidikan moral
yang tinggi dalam kehidupan.37
Kebijakan perekonomian dalam Islam bertujuan untuk men-
ciptakan masyarakat yang didasarkan pada keseimbangan distribusi
kekayaan dengan menempatkan nilai-nilai material dan spiritual secara
seimbang. Kebijakan yang dilakukan dalam ekonomi Islam lebih
banyak peranannya dibandingkan dengan ekonomi konvensional.
Perbedaan yang melibatkan peranan antara ekonomi Islam dengan
konvensional yaitu: 1.) Peranan moneter relatif lebih terbatas dalam
ekonomi Islam dibanding dalam ekonomi konvensional yang tidak
bebas bunga. 2.) Dalam ekonomi Islam, pemerintah harus memungut
zakat dari setiap muslim yang memiliki kekayaan melebihi jumlah
tertentu (nisab) dan digunakan untuk tujuan-tujuan sebagaimana
tercantum dalam QS Al-Taubah: 60. 3.) Ada perbedaaan substansial
antara ekonomi Islam dan non-Islam dalam peranan pengelolaan utang
publik. Hal ini karena utang dalam Islam adalah bebas bunga, sebagian
besar pengeluaran pemerintah dibiayai dari pajak atau berdasarkan

36
Al Qardhawi, Yusuf. 1997. Norma Dan Etika Ekonomi Islam Jakarta: Gema Insani Press. h.3
37
Afzalurrahman, Muhammad Sebagai Pedagang terj. Dewi Nurjulianti, dkk (Jakarta: Yayasan
Swarna Bhumi, 1996), hlm. 10.
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 149

atas bagi hasil. Dengan demikian, ukuran utang publik jauh lebih sedikit
dalam ekonomi Islam dibanding ekonomi konvensional.38
Pembangunan ekonomi merupakan taktik untuk meraih tujuan
dari sebuah bangsa. Tolak ukur untuk menilai keberhasilan
pembangunan ekonomi dapat diukur melalui beberapa aspek, yaitu
perkembangan ekonomi, pendapatan perkapita penduduk, persentase
pengangguran, kemiskinan, dan neraca pembayaran. Fakta yang ada
di lapangan menunjukkan adanya pencapaian yang belum maksimal,
dikarenakan belum sepenuhnya mengikut sertakan masyarakat.
Terjaidnya peningkatan kemiskinan dan pengangguran, memaksa
untuk dilakukan perumusan kembali terkait strategi pembangunan di
Indonesia. Hal itu dilakukan sebagai usaha untuk merangkul seluruh
lapisan masyarakat, dan tidak ada lagi masyarakat yang terbengkalai.
Para ekonom, sosiolog, maupun politikus, mulai gencar melakukan
penelitian terkait usaha mewujudkan pembangunan yang akan mampu
menghapuskan kemiskinan dan pengangguran di Indonesia. Kegiatan
tersebut kemudian menarik perhatian para ulama dan ekonom muslim
untuk ikut serta dalam perumusan kembali terkait strategi
pembangunan yang tepat untuk Indonesia. Hal ini yang kemudian
menjadi daya tarik tersendiri. Para ulama dan ekonom muslim tersebut
memberikan pilihan baru yang sejalan dengan konsep ekonomi Islam
yang berlandaskan pada ajaran-ajaran Islam yang mengharuskan
pengikutnya untuk bertindak secara professional yang diwujudkan
pada penerapan sikap rapi, benar, tertib, serta teratur.
Ada tiga tujuan yang hendak dicapai dalam ekonomi Islam antara
lain: 1.) Islam mendirikan tingkat kesetaraan ekonomi dan demokrasi
yang lebih tinggi, ada prinsip bahwa “kekayaan seharusnya tidak hanya
beredar di kalangan orang-orang kaya saja. “Prinsip ini menegaskan
bahwa setiap anggota masyarakat seharusnya dapat memperoleh akses
yang sama terhadap kekayaan melalui kerja keras dan usaha yang jujur.
38
Istanto. 2013. Pengantar Ekonomi Syariah: Makalah Kebijakan Fiskal Dalam Islam Jakarta:
Pustaka Media Syariah. h.1
150 Politik Ekonomi Islam...

2.) Islam melarang pembayaran bunga dalam berbagai bentuk pinjaman.


Hal ini berarti bahwa ekonomi Islam tidak dapat memanipulasi tingkat
suku bunga untuk mencapai keseimbangan (equiblirium) dalam pasar
uang (yaitu antara penawaran dan permintaan terhadap uang). Dengan
demikian, pemerintahan harus menemukan alat alternatif untuk
mencapai equilibrium ini. 3.) Ekonomi Islam mempunyai komitmen
untuk membantu ekonomi masyarakat yang kurang berkembang dan
untuk menyebarkan pesan dan ajaran Islam seluas mungkin. Oleh karena
itu, sebagian dari pengeluaran pemerintah seharusnya digunakan untuk
berbagai aktivitas yang mempromosikan Islam dan meningkatkan
kesejahtaraan muslim di negara-negara yang kurang berkembang.
Jika melihat berbagai tujuan dalam ekonomi Islam maka
diharapkan mencapai pada taraf tatanan hidup yang baik, tidak ada
lagi ketimpangan yang terjadi pada masyarakat, seperti hal nya yang
terjadi di Indonesia dengan keadaan masyarakat yang masih didominasi
oleh tingkat ekonomi lemah. Ekonomi Islam memberikan solusi dari
berbagai macam aktifitas yang dilakukan oleh masyarakat agar dapat
bersikap adil kepada masyarakat untuk mencapai tingkat kesejahteraan
bagi masing-masing individunya. Kehadiran Undang-undang ekonomi
syariah di Indonesia dengan merujuk kepada syariat Islam membuka
jalan untuk melaksanakan aktifitas ekonomi yang dapat memberikan
kontribusi serta peranan terhadap kemaslahatan bersama melalui jalur
pembangunan nasional.
Membahas peluang ekonomi syariah di Indonesia, tentunya
dapat dikatakan bahwa seharusnya Indonesia merupakan pasar yang
sangat potensial mengingat Indonesia sendiri adalah negara dengan
populasi muslim terbesar di dunia. Akan tetapi, jumlah penduduk
muslim di Indonesia saat ini belum sebanding dengan pangsa pasar
syariah. Di langsir dari laman Kompas.com39 pangsa pasar syariah
Indonesia hingga Oktober 2017 baru mencapai 8%, di mana Malaysia
39
https://ekonomi.kompas.com/read/2017/10/30/063000926/bei—potensi-pasar-modal-syariah-
di-indonesia-masih-sangat-besar
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 151

sudah mencapai angka di atas 23%, Arab Saudi di atas 50%, dan Uni
Emirat Arab mencapai 19,6% pada Juli 2017. Adapun beberapa penyebab
masih rendahnya pangsa pasar syariah di Indonesia adalah ekonomi
syariah sendiri yang masih belum dapat dipenuhi oleh perbankan
ataupun lembaga keuangan lainnya. Akan tetapi, permasalahan utama
yang dihadapi ekonomi syariah di Indonesia saat ini adalah masih
rendahnya tingkat literasi keuangan syariah dan tingkat utilitas produk
keuangan syariah. Bukan hanya itu, masih terdapat berbagai keter-
batasan dalam ekonomi syariah di Indonesia saat ini, diantaranya
keterbatasan suplai produk syariah, keterbatasan akses akan produk
keuangan syariah, dan keterbatasan sumber daya manusia. Oleh karena
itu, optimalisasi koordinasi dengan para pemangku kepentingan, serta
kebijakan jasa keuangan yang selaras sangat diperlukan untuk dapat
saling mendukung perkembangan seluruh sektor keuangan syariah.
Berbicara mengenai ekonomi Islam, maka erat kaitannya dengan
keberadaan bank syariah sebagai representasi dengan ekonomi syariah.
Di Indonesia, keberadaan bank-bank yang berlabel syariah semakin
menjamur. Hal ini menjadi indikator bahwa adanya kemajuan pesat
ekonomi Islam di Indonesia.Kemajuan itu juga kemudian ditandai
dengan meluasnya cakupan bank-bank syariah di Indonesia. Dengan
kata lain, keberadaan bank syariah di Indonesia tidak hanya bertujuan
sebagai media pelaksana dan pemenuhan kebutuhan masyarakat yang
ingin mempraktekkan dan menjadikan Islam sebagai landasan dalam
kegiatan muamalahnya. Keadaan tersebut kemudian menuntut
ekonomi Islam berkembang ke arah yang lebih maju. Hal tersebut dapat
dibuktikan dengan adanya kontribusi ekonomi syariah yang dalam hal
ini diwakilkan oleh bank syariah dalam pembangunan makro. Berikut
ini akan dijelaskan lebih lanjut terkait arah politik ekonomi Islam di
Indonesia yang diwakilkan oleh keberadaan bank syariah di Indonesia.
Liputan6.com40 memuat bahwa: “ketua Umum Ikatan Dai
Indonesia (Ikadi) Ahmad Satori Ismail berharap pemerintah mau
40
https://www.liputan6.com/bisnis/read/3408656/berpenduduk-muslim-terbesar-ekonomi-
syariah-bisa-jadi-lokomotif-ekonomi-ri
152 Politik Ekonomi Islam...

memberikan kesempatan bagi berkembangnya ekonomi syariah di


Indonesia. Menurutnya, perbankan syariah masih belum mendapatkan
tempat di hati masyarakat Indonesia. “Ekonomi syariah seharusnya
bisa menjadi lokomotif perekonomian, apalagi saat ini untuk bisnis
perbankan sudah sangat menjanjikan, menurutnya, tidak sedikit bisnis
perbankan yang mulai ‘melirik’ sistem ekonomi syariah. “Banyak bank
konvensional yang membuka pintu untuk sistem syariah karena tidak
akan rugi.”
Paradigma ini muncul seiring dengan semangat umat Islam untuk
berusaha menerapkan ajaran syari’ah dalam perekonomian. Paradigma
ini menjelaskan bahwa kesejahteraan masyarakat akan dapat tercapai
bila seluruh aktivitas manusia berlandaskan syari’ah atau hukum-
hukum Tuhan. Meskipun belum semua meyakini akan keampuhannya
dalam menyelesaikan masalah-masalah perekonomian, sosial, politik,
hukum, budaya, dan berbagai masalah alam, namun paradigma ini
memberikan pemahaman yang sempurna tentang alam semesta, yakni:
langit, bumi, dan segala isinya termasuk manusia sebagai khalifah
didalamnya.41 Perkembangan ekonomi Islam juga dapat dilihat dengan
mulai diajarkannya ekonomi Islam di berbagai perguruan Tinggi di
Indonesia. Selain itu, kemunculan bank Muamalat pada tahun 1992 di
Indonesia yang kemudian berhasil meluaskan sayapnya menjadi
indikator adanya perkembangan ekonomi Islam di Indonesia itu sendiri.
Hal tersebut juga mengantarkan terbentuknya berbagai undang-
undang yang mendukung tentang ekonomi Islam, seperti UU No. 7
tahun 1992 tentang perbankan, sebagaimana yang telah diubah dalam
UU No. 10 tahun 1998 dan UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia.42 Dengan menjamurnya bank-bank syariah maupun muamalat
yang ada di Indonesia, maka dapat dilihat bahwa arah ekonomi Islam
di Indonesia untuk masa mendatang mengarah ke arah yang lebih baik.
41
Agung/ Pembangunan Dalam Persefektif Ekonomi Islam / Jurnal Justitia Islamica Vol.10 No.1
Juni 2013 h.14
42
Tira Nur Fitria, “Kontribusi Ekonomi Islam dalam Pembangunan Ekonomi Nasional”, dalam
Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam Vol. 02, No. 03, November 2016, Surakarta, hlm. 29.
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 153

Definisi bank syariah menurut Undang-Undang Perbankan


Syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya yang
didasarkan pada prinsip-prinsip syariah dan menurut jenisnya terdiri
dari bank umum syariah dan bank pembiayaan rakyat syariah. Dengan
demikian, aktivitas dasar dari perbankan syariah adalah menghimpun
dana dari masyarakat, menyalurkan pinjaman atau pembiayaan kepada
masyarakat, dan menyediakan jasa-jasa keuangan dan sistem pem-
bayaran lainnya. Adapun nilai dasar lembaga keuangan dan perbankan
syariah adalah pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan
berkeadilan atau yang biasa disebut dengan ukhuwah / Jama’ah, yang
diwujudkan dalam tiga wujud, yaitu:
1. Adil, yaitu senantiasa bersikap jujur dalam melaksanakan transaksi
dengan nasabah. Hal itu terwujud dengan transaksi yang transparan,
fair, tanpa penipuan, persaingan sehat, serta kontrak yang adil.
2. Menghindari kegiatan yang tidak baik yang diwujudkan dengan tidak
menjual produk yang merusak dan merugikan, serta membawa
berbahaya baik bagi bank maupun nasabah. Selain itu, tidak
menggunakan sumber daya yang ilegal dan tidak adil.
3. Kemaslahatan yang diwujudkan melalui sikap produktif, tidak
spekulatif, efisien, efektif, berkelanjutan dalam penggunaan sumber
daya, akses yang sebesar-besarnya bagi masyarakat untuk
mendapatkan sumber daya yang sebesar-besarnya.
4. Keseluruhan wujud tersebut dilandaskan pada aqidah.
Bank syariah sebagai sebuah lembaga juga memiliki prinsip dasar
operasioanl, yaitu sebagai berikut:
1. Penghimpunan dana masyarakat, yang meliputi: Titipan (Wadiah)
dan bagi hasil (Mudharabah)
2. Penyaluran dana kepada masyarakat, yang meliputi bagi hasil
(Mudharabah, Musyarakah) dan Jual-Beli (Murabahah, Bai’
Bitsaman ‘Ajil, Istisna’, Salam)
154 Politik Ekonomi Islam...

3. Sewa (Ijarah, Bai’ Takjiri)


4. Pinjaman Kebajikan (Qardhul Hasan)
5. Jaminan/gadai (rahn)
6. Jasa lalu lintas keuangan, yang meliputi perwakilan (wakalah), penjamin
(kafalah), pemindahan hutang (hiwalah), imbalan (ju’alah), sharf.
Adapun jasa-jasa perbankan bank syariah yaitu:
1. Wakalah (Perwakilan), seperti Produk: Transfer, Inkaso, Debit Card,
L/C
2. Kafalah (Penjaminan), seperti Produk: Bank Guarantee, L/C, Charge
Card
3. Hawalah (Pengalihan Piutang), seperti Produk: Bill Discounting,
Anjak Piutang, Post Dated Check
4. Sharf (Pertukaran mata uang), seperti Produk: Jual beli Valuta Asing.
Dalam penyediaan jasa-jasa di atas, bank memperoleh ujrah (fee
based income). Karena ujrah diperoleh dari pemanfaatan asset/
teknologi milik bank sendiri, maka tidak termasuk yang dibagihasilkan.
Berikut ini perbedaan Bank Syariah dan Konvensional:
Keterangan Bank Konvensional Bank Syariah
Sistem yang digunakan Non-bunga (bagi hasil,
Berbasis bunga
dalam produk marjin, sewa, fee)
Hanya Dewan Komisaris Dewan Komisaris, Direksi
Susunan Pengurus
dan Direksi &Dewan Pengawas Syariah
Hanya satu jenis
Jenis pengikatan / akad Beragam jenis akad
pengikatan
Hasil investasi setiap Berfluktuasi, sesuai kinerja
Tetap
bulannya bank
Hanya bisnis
Semua bisnis yang
Penyaluran dana menguntungkan yang
menguntungkan
sesuai prinsip syariah

Laporan kinerja Kurang transparan Transparan

Dapat berperan sebagai


Fungsi sosial Tidak ada
Lembaga Amil Zakat (LAZ)
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 155

Sebagai lembaga keuangan yang berlandaskan nilai-nilai Islam,


bank syariah tidak bisa dilepaskan dari keberadaan akad sebagai salah
satu ciri khusus dari bank Syariah. Berikut jenis-jenis akad yang ada di
Bank Syariah:

Penghimpunan Penyaluran Dana Jasa-jasa


Dana Perbankan

Wadiah Piutang Rahn


- Giro - Qardh Wakalah
- Tabungan - Murabahah Kafalah
Mudharabah - Salam Hawalah
- Tabungan - Istishna Sharf
- Deposito Investasi

- Mudharabah : a. Mutlaqah

- Mudharabah b. Muqayyadah
- Musyarakah
Sewa
- Ijarah
- Ijarah Muntahiyyah Bittamlik

Di dalam bank syariah juga dikenal konsep dan sistem perbankan


syari’ah.
1. Masyarakat pemilik dana akan dihimpun dananya dengan
menggunakan konsep al-wadiah dan al-mudharobah,
2. Dana akan disalurkan kepada masyarakat pengguna dana dengan
konsep bagi hasil (Mudharabah dan Musyarakah) dan jual beli
(Murabahah).
Wadi’ah
1. Akad titipan dimana barang yang dititipkan dapat diambil sewaktu-
waktu.
2. Pihak yang menerima titipan dapat meminta jasa untuk keamanan
dan pemeliharaan barang yang dititipkan.
3. Ada 2 jenis wadiah :
156 Politik Ekonomi Islam...

a. Wadiah Amanah ’! Pihak yang menerima titipan tidak


diperkenankan mengambil manfaat dari barang yang dititipkan
(contoh : safe deposit box).
b. Wadiah Yaddhamanah ’! Pihak yang menerima titipan boleh
mengambil manfaat dari barang yang dititipkan (contoh : giro &
tabungan)
Mudharabah
1. Akad usaha dua pihak dimana salah satunya memberikan modal
(Shahibul Maal) sedangkan yang lainnya memberikan keahlian
(Mudharib).
2. Modal 100% berasal dari shahibul maal.
3. Nisbah keuntungan disepakati di muka oleh kedua belah pihak,
termasuk penentuan revenue atau profit sharing.
4. Jika untung maka dibagi sesuai nisbah yang disepakati
5. Jika rugi seluruhnya ditanggung oleh shahibul maal (jika kerugian
bukan karena kelalaian mudharib).
6. Modal dapat dikembalikan kepada shahibul maal secara berangsur-
angsur.
7. Ada dua jenis mudharabah :
a. Mudharabah Mutlaqah ’! Mudharib diberikan kebebasan dalam
mengelola dana shahibul maal (sepanjang memenuhi syariah Is-
lam).
b. Mudharabah Muqayyadah ’! Mudharib wajib mengelola dana
sesuai keinginan shahibul maal, misalnya kepada proyek/nasabah
tertentu. Dalam perbankan disebut dengan istilah chanelling
(dalam hal ini, bank menerima fee).
Qardh
1. Akad hutang-piutang uang, tanpa bunga.
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 157

2. Umumnya digunakan untuk pinjaman kesejahteraan karyawan.


3. Dapat pula disalurkan sebagai bagian dari fungsi sosial bank syariah
(dalam hal ini penerima qardh harus merupakan mustahiq).
Murabahah
1. Akad jual-beli dimana bank bertindak selaku penjual dan nasabah
selaku pembeli.
2. Harga beli diketahui bersama dan tingkat keuntungan untuk bank
disepakati di muka.
3. Bank dapat meminta uang muka dari nasabah
4. Dalam fiqih klasik, murabahah dilakukan secara tunai, dalam
praktek perbankan, nasabah dapat membayar secara cicilan.
5. Karena tidak membayar secara tunai, nasabah dapat diminta untuk
memberikan jaminan.
6. Apabila nasabah melunasi sebelum jatuh tempo, maka dapat
diberikan diskon sesuai kesepakatan bersama.
7. Dalam fiqih klasik, penjual membeli barang langsung dari penjual
pertama.
8. Dalam perbankan syariah, umumnya aplikasinya sebagai berikut :
a. Bank melakukan pemesanan barang kepada supplier, namun
barang dikirim langsung kepada nasabah. Ini dilakukan karena
bank tidak memiliki gudang penyimpanan barang.
b. Nasabah membeli sendiri langsung dari supplier selaku wakil
bank. Dalam hal ini bank melakukan akad wakalah dengan
nasabah.
Salam
1. Akad jual beli tangguh/pesanan dimana pembayaran dilakukan di
muka dan barang diterima beberapa waktu kemudian.
158 Politik Ekonomi Islam...

2. Dalam pembiayaan ini bank bertindak selaku pembeli sedangkan


nasabah bertindak selaku penjual. Uang pembelian diberikan dimuka
kepada nasabah.
3. Barang yang dipesan harus memiliki spesifikasi dan jumlah satuan
yang jelas dan standar.
4. Biasanya diterapkan untuk pembiayaan produk pertanian (agrobased
industries) atau produk2 yang terstandarisir.
5. Bank dapat menjual barang tersebut sebelum jatuh tempo kepada
pihak lain dengan cara yang sama (salam) tapi tidak boleh dikaitkan
dengan Salam yang pertama. Produk ini disebut Salam Paralel.
6. Salam Paralel dilarang dilakukan terhadap nasabah yang sama,
karena dikhawatirkan terkena hukum riba.
7. Apabila nasabah gagal (wan prestasi, default) menyerahkan barang
yang dipesan, maka kewajiban terhadap bank tidak berubah. Artinya
penyerahan barang harus tetap dilakukan, meskipun harus ditunda
karena kegagalan.
Istishna’
1. Akad istishna mirip dengan Salam. Perbedaannya terletak pada
obyek yang dibiayai dan cara pembayaran.
2. Pada Istishna obyek yang dibiayai bersifat ‘customized’, sehingga
harus dibuat lebih dahulu. Pada Salam, obyek yang dibeli/dibiayai
terstandarisasi.
3. Pada Salam pembayaran oleh bank dibayar dimuka sekaligus,
sedangkan pada istishna, pembayaran oleh bank dapat dicicil/
bertahap.
4. Umumnya diterapkan pada produk jasa konstruksi, seperti
pembiayaan pembangunan/renovasi rumah.
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 159

Musyarokah
1. Akad join venture, di mana bank dan nasabah sama-sama
memberikan modal (patungan) dalam usaha yang akan dijalankan.
2. Nisbah keuntungan disepakati di muka oleh kedua belah pihak,
termasuk penentuan revenue atau profit sharing.
3. Porsi nisbah boleh berbeda dengan porsi modal, asalkan disepakati
bersama.
4. Keuntungan dibagi sesuai nisbah yang disepakati.
5. Kerugian ditanggung sesuai porsi modal masing-masing.
6. Selaku partner bisnis, bank berhak ikut serta dalam pengaturan
manajemen.
Ijarah
1. Akad sewa-menyewa, di mana bank sebagai pemberi sewa (mu’jir)
dan nasabah sebagai penyewa (musta’jir).
2. Pada umumnya bank tidak memiliki barang, tapi menyewa dari pihak
lain dan kemudian menyewakannya lagi kepada nasabah dengan nilai
sewa yang lebih tinggi. Hal ini dibolehkan selama tidak ada kaitan
antara akad sewa pertama dengan akad kedua.
3. Sebagai mu’jir, bank bertanggung jawab atas pemeliharaan aset yang
disewa.
Ijarah Muntahiyah Bittamlik
1. Akad sewa-menyewa, di mana penyewa (musta’jir) diberikan opsi
untuk memiliki obyek yang disewanya (Financial Lease).
2. Dimungkinkan apabila bank memiliki obyek yang disewakan.
3. Ijarah Muntahiyyah Bittamlik pada dasarnya terdiri dari dua akad,
yaitu akad sewa dan janji (opsi) pemilikan.
4. Peralihan kepemilikan tidak bisa dilakukan apabila akad sewa belum
berakhir.
160 Politik Ekonomi Islam...

5. Selama kepemilikan belum beralih, bank bertanggung jawab atas


pemeliharaan asset yang disewa
Rahn
1. Rahn dalam syariah memiliki dua makna :
a. Fiducia: penyerahan barang, tapi hanya dokumennya saja yang
ditahan. Barang masih digunakan oleh pemilik.
b. Gadai: penyerahan barang secara fisik, sehingga pemilik tidak
dapat menggunakannya lagi.
2. Umumnya dipergunakan sebagai pengikatan jaminan atas pinjaman
yang diberikan.
Riba
1. Riba Qardh adalah suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu
yang disayaratkan terhadap yang berutang
2. Riba jahiliah adalah dibayarnya lebih dari pokok pinjaman karena
sipeminjam tidak mam[u membayar utangnya pada waktu yang telah
ditetapkan.
3. Riba fadhl/buyu adalah pertukaran barang sejenis yang tidak
memenuhi ciri yang sama, baik secara kualitas maupun kuantitas
sehingga menimbulkan ketidakjelasaan (gharar) bagi kedua pihak.
4. Riba nasiah adalah penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis
barang yang dipertukarkan
Adapun prinsip-prinsip Riba yaitu sebagai berikut:
1. Pertukaran barang yang sama jenis dan nilainya tetapi berbeda jumlah
dilakukan secara tunai dan kredit.
2. Pertukaran barang yang sama jenis dan jumlahnya tetapi berbeda
nilai (harganya) dilakukan secara kredit, tetapi bila dilakukan secara
tunai dari tangan ke tangan maka tidak riba
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 161

3. Pertukaran barang dengan nilai atau harga yang sama, tetapi berbeda
jenis dan kuantitas nya yang dilaksanakan dengan system kredit,
tetapi bila dilakukan dari tangan ke tangan dan secara tunai maka
bukan termasuk riba.
Bank syariah sangat identik dengan penolakan terhadap bunga
yang dipercaya mengandung unsur riba. Dengan demikian, di dalam
sistem bank syariah dikenal sistem bagi hasil. Berikut ini merupakan
perbedaan sistem bunga dan bagi hasil:
a. Bunga
1. Penetuan bunga dibuat ketika akad
2. Persentasi didasarkan pada modal yang dipinjamkan
3. Bunga dibayarkan secara tetap
4. Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat
5. Eksistensi bunga diragukan
b. Bagi hasil
1. Bagi hasil di awal akad dengan berpatokan kepada adanya
kemungkinan untung dan rugi
2. Pembagian hasil didasarkan pada keuntungan yang diperoleh
3. Bagi hasil difokuskan pada untung yang didapat
4. Adanya peningkatan bagi hasil sesuai dengan peningkatan usaha
5. Tidak adanya keraguan
c. Jasa-Jasa Keuangan Islam
1. Banking, currently offers almost all products as conventional one
does.
2. Bahkan, beberapa produk sangat populer, misalnya mortgages
3. Some of products are still beng developed, e.g. credit card
162 Politik Ekonomi Islam...

d. Investasi Equity
1. Islamic stock market
2. Islamic Market Indexs:
a. Dow Jones Islamic Indexes
b. FTSE Global Islamic Index Series
c. Jakarta Islamic Market Index
3. Islamic bond
4. Islamic Mutual Fund
Abdullah Saeed menyatakan bahwa setidaknya ada 3 faktor
utama yang mengantarkan munculnya bank Islam, yaitu: (1.)
Munculnya kelompok neo-revivalis yang menyatakan bahwa bunga
bank adalah riba, (2.) Melimpahnya minyak di Negara-negara Teluk
yang berimplikasi pada peningkatan kemakmuran negara-negara
disekitarnya, dan (3.) Adanya adaptasi yang dilakukan oleh beberapa
Negara terhadap konsep tradisional riba.43 Munculnya ide pendirian
lembaga keuangan syariah berimplikasi pada munculnya dua model
sistem keuangan negara, yaitu negara yang sepenuhnya menerapakan
sistem keuangan Islam didalam sistem keuangannya seperti Iran,
Pakistan dan Sudan, dan negara yang menganut sistem keuangan ganda
yaitu sistem konvensional dan Islam. Model ini diterapkan di sebagian
besar negara saat ini, termasuk Indonesia.44
Secara umum dinamika perkembangan industri keuangan
syariah di dunia dapat digambarkan sebagai berikut:45

43
Abdullah Saeed, Islamic Banking and Interest: A Study of Prohibition of Riba and Its
Contemporary Interpretation (Boston: Brill, 1999), hlm. 8.
44
Penjelasan lengkap mengenai sistem keuangan di berbagai negara Islam, lihat, Ausaf Ahmad,
Instruments and Regulation and Control of Islamic Banks by The Central Banks (Jeddah:
Islamic Development Bank, 2000), hlm. 32-35.
45
Penjelasan lengkap mengenai perkembangan industri keuangan syariah, lihat. Ibrahim Warde,
Islamic Finance in The Global Economy (Edinburg: Edinburg University Press, 2000), hlm. 73.
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 163

a. Tahun 1970-an berupa pendirian lembaga perbankan Islam dalam


bentuk bank komersial syariah (commercial syariah banks), dalam
bentuk produk-produk bank komersial (commercial banking
products), dengan cakupan wilayah masih pada kawasan Timur
Tengah (Gulf/ME).
b. Tahun 1980-an berupa pendirian bank komersial syariah dan juga
asuransi dan perusahaan investasi syariah (commercial islamic
banks, takaful–Islamic insurance, syariah investment co’s),
sedangkan produknya sudah mencakup pada asuransi serta sindikasi
keuangan Islam. Adapun areanya sudah mencakup Asia Pasifik.
c. Tahun 1990-an mulai didirikan lembaga keuangan syariah yang
diikuti olehpendirian berbagai perusahaan asuransi, investasi, dan
manajemen aset.
Produk-produk yang diluncurkan juga sudah bertambah, seperti
reksadana syariah. Cakupannya mencapai Eropa dan Amerika.
d. Tahun 2000-an ditandai dengan pendirian lembaga keuangan Islam,
ecommerce, manajemen likuiditas, broker dan dealer serta
instrumen pasar modal Islam. Pada dekade ini cakupannya sudah
mampu mencapai pasar global.

4.5. Peluang dan Tantangan Orientasi Politik


Ekonomi Islam
Secara historis perkembangan sistem ekonomi syariah di Indo-
nesia sudah ada sejak tahun 1911 yang diwakilkan oleh adanya
organisasi Syarikat Dagang Islam yang beranggotakan tokoh-tokoh
muslim yang mempraktekkan ekonomi Islam sesuai dengan al-Quran
maupun hadits dalam melakukan muamalah. Ekonomi Islam kemudian
terus berkembang di Indonesia dengan didirikannya Bank Muamalah
Indonesia (BMI) dan Bank-Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS)
pada tahun 1992. Ketika terjadi krisis di Indonesia pada tahun 1997,
kehadiran bank-bank muamalah maupun syariah di Indonesia semakin
164 Politik Ekonomi Islam...

menjamur. Bahkan pada tahun 1998, sistem perbankan Islam dan


gerakan ekonomi syariah di Indonesia mengalami kemajuan yang
sangat signifikan. Rentan tahun 1992-1998, bank-bank syariah yang
ada di Indonesia meskipun mengalami perkembangan, namun tidak
signifikan. Salah satu hal yang menyebabkan terjadinya hal tersebut
dikarenakan belum adanya UU yang mengatur tentang perbankan
syariah di Indonesia. Pada saat itu, hanya ada UU No. 10 tahun 1998
yang berkaitan dengan perbankan. Sedangkan untuk perbankan syariah
hanya UU No. 7 Tahun 1992 dan PP No. 72 Tahun 1992. Berdasarkan
UU No. 7 Tahun 1992, bank syariah dipahami sebagai bank bagi hasil.
Selebihnya bank syariah harus tunduk kepada peraturan perbankan
umum yang berbasis konvensional. Karenanya manajemen bank-bank
syariah cenderung mengadopsi produk-produk perbankan konvensional
yang “disyariatkan”.Dengan variasi produk yang terbatas. Akibatnya
tidak semua keperluan masyarakat terakomodasi dan produk yang
ada tidak kompetitif terhadap semua produk bank konvensional.”
Agustianto menjelaskan, perkembangan ekonomi syariah dalam
bentuk lembaga perbankan dan keuangan syariah memang
menunjukkan perkembangannya yang sangat pesat. Orang yang akan
melakukan ekonomi syariah sudah dapat dengan mudah didukung oleh
lembaga- lembaga perekonomian Islam seperti Perbankan Syariah,
Asuransi Syariah, Pasar Modal Syariah, Reksadana Syariah, Obligasi
Syariah, Leasing Syariah, Bank Pembiayaan Rakyat Syariah, Baitul
Mal wat Tamwil, Koperasi Syariah, Pegadaian Syariah, Dana Pensiun
Syariah, lembaga keuangan publik Islam seperti Lembaga Pengelola
Zakat dan Lembaga Pengelola Wakaf serta berbagai bentuk bisnis
syariah lainnya. Namun sayangnya, meskipun perkembangan lembaga
perbankan dan keuangan syariah demikian cepat, namun dari sisi
hukum atau peraturan perundang undangan yang mengaturnya masih
jauh tertinggal, termasuk hukum-hukum yang berkaitan dengan
penyelesaian sengketa bisnis (hukum dagang) syariah.”Padahal secara
yuridis, penerapan hukum ekonomi syariah di Indonesia memiliki
dasar hukum yang sangat kuat,” katanya.
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 165

Dengan perkembangan ekonomi global dan semakin


meningkatnya minat masyarakat terhadap ekonomi dan perbankan
Islam, ekonomi Islam menghadapi berbagai permasalahan dan
tantangan-tantangan yang besar. Ada lima problem dan tantangan yang
dihadapi ekonomi Islam saat ini, pertama, masih minimnya pakar
ekonomi Islam berkualitas yang menguasai ilmu-ilmu ekonomi mod-
ern dan ilmu-ilmu syariah secara integratif. Kedua, ujian atas
kredibilitas sistem ekonomi dan keuangannya, ketiga, perangkat
peraturan, hukum dan kebijakan, baik dalam skala nasional maupun
internasional masih belum memadai. Keempat, masih terbatasnya
perguruan Tinggi yang mengajarkan ekonomi Islam dan masih
minimnya lembaga tranining dan consulting dalam bidang ini, sehingga
SDI di bidang ekonomi dan keuangan syariah masih terbatas dan belum
memiliki pengetahuan ekonomi syariah yang memadai. Kelima, peran
pemerintah baik eksekutif maupun legislatif, masih rendah terhadap
pengembangan ekonomi syariah, karena kurangnya pemahaman dan
pengetahuan mereka tentang ilmu ekonomi Islam.”Dalam menerapkan
kembali ekonomi syariah di Indonesia maka yang sangat perlu diper-
hatikan adalah peranan pemerintah yang tidak hanya memperhatikan
segi regulasi dan legal formal saja, tetapi juga keberpihakan yang riil
kepada lembaga perbankan dan keuangan syariah dalam kebijakan
ekonomi dan pembangunan,” katanya.Misalnya, seperti suntikan
modal, pembiayaan proyek pembangunan, tabungan dan setoran haji,
pendirian Asuransi dan Bank BUMN Syariah. Selain itu, ekonomi
syariah, tidak hanya bisa bergantung pada lembaga keuangan syariah
itu sendiri, tidak juga hanya bergantung pada peran pakar seperti IAEI
(Ikatan Ahli Ekonomi Islam), tetapi semua stakeholder yang harus
bekerja sama dengan pemerintah (Depkeu, BI, Departemen terkait),
ulama, parlemen (DPR/DPRD), perguruan tinggi, pengusaha (hartawan
muslim), ormas Islam dan masyarakat Islam pada umumnya. “Mereka
harus mempercepat perkembangan ekonomi. Masalah sosialisasi dan
edukasi masyarakat tentang ekonomi syariah juga saat ini masih minim.
Ini harus terus-menerus dilakukan sosialisasinya, karena tingkat
166 Politik Ekonomi Islam...

pemahaman dan pengetahuan masyarakat tentang ekonomi syariah


masih sangat rendah,” katanya.
Perkembangan ekonomi Islam di Indonesia pada awalnya masih
belum diikuti oleh perkembangan dalam bidang hukum ataupun
undang-undang yang berkaitan dengan ekonomi Islam ini. Berdasarkan
fakta bahwa dari sisi hukum atau peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentangekonomi syariah masih jauh tertinggal, seperti belum
adanya Undang-Undang tentang Asuransi Syariah dan Lembaga
Keuangan Mikro Syariah (BMT). Padahal dalam berbagaistudi tentang
hubungan hukum dan pembangunan ekonomi menunjukkan
bahwapembangunan ekonomi tidak akan berhasil tanpa pembaharuan
hukum. Memperkuat institusi-institusi hukum adalah prasyarat bagi
kemajuan ekonomi (precondition for economic change), serta alat
untuk melakukan perubahan sosial (an agent of social change).
Dalam istilah yang lain namun memiliki makna yang sama,
Masudul Alam Choudhury menyebutkan dengan istilah politik
ekonomi, yang juga bermaksud sebagai tujuan yang akan dicapai oleh
kaedah-kaedah hukum yang dipakai untuk berlakunya suatu
mekanisme pengaturan kehidupan masyarakat. Ia berpendapat bahwa
politik ekonomi Islam adalah essentially a study of the endogenous
role of ethico-economic relationships between polity and the deep
ecological system. Dalam redaksi yang lain beliau mendefinisikan
sebagai the study of interactive relationships between polity (Shura)
and the ecological order (with market subsystem).46
Sumantoro memberikan pengertian hukum ekonomi sebagai
seperangkatnorma-norma yang mengatur hubungan kegiatan ekonomi
dan secara substansial sangat dipengaruhi oleh sistem yang digunakan
oleh suatu negara yang bersangkutan (sosialis, liberalis, atau campuran).
Sementara itu F. X Sudiana mengemukakan bahwa hokum ekonomi
adalah semua peraturan perundang-undangan yang mengatur kehidupan
46
Nur Kholis, Potret Politik Ekonomi Islam Di Indonesia Era Reformasi, dalam www.uii-
ac.id,diakses tanggal 30 Juni 2018, hlm. 2
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 167

ekonomiyang sifatnya publik. Pendapat ini sejalan dengan pandangan


Mariam Darus Badruzzaman yang memberikan pembatasan hukum
ekonomi hanya sebagai pengaturan-pengaturan hubungan yang
menyangkut bidang ekonomi antara negara dan individu.47 Demikian
pula Satjipto Raharjo memberikan pengertian hukum ekonomi meru-
pakan hukum publik yang khususnya mengatur persoalan-persoalan
ekonomi demi kepentingan umum dan kelangsungan hidup bangsa.
Fakta pendukung terhadap premis di atas dapat dilihat secara
gamblang dalam perjalanan pengimplementasian ekonomi Islam di
Indonesia. Sebagai contoh, perkembangan ekonomi Islam di Indone-
sia sebelum era reformasi sangat jauh tertinggal dibanding negara
muslim lain seperti Malaysia. Kondisi ini tidak lepas dari politik hukum
dari pemerintah yang berkuasa dalam menyikapi perkembangan
ekonomi Islam. Hal ini terlihat dari awal berdirinya perbankan syariah
di Malaysia yang didukung regulasi pemerintah Malaysia yaitu Islamic
Banking Act tahun 1983. Sedangkan perbankan Syariah di Indonesia
baru mulai tahun 1992 yaitu dengan berdirinya Bank Muamalat
Indonesiayang hadir tanpa dukungan peraturan perundangan yang
memadai. Pada sepuluh tahun pertama, tidak terjadi perkembangan
yang cukup berarti pada sektor perbankan syariah ini disebabkan tidak
adanya payung hukum dan legalitas kelembagaan yang kuat.
Perkembangan yang positif Baru terjadi setelah disahkannya Undang-
Undang No. 10Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang
No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan, sehingga landasan hukum bank
syariah menjadi cukup jelas dan kuat, baik dari segi kelembagaannya
maupun landasan operasionalnya. Dalam undang-undang ini “prinsip
syariah” secara definitif terakomodasi. Kenyataan ini menunjukkan
bahwa ketersediaan pranata hukum merupakan keniscayaan dalam
pembangunan ekonomi.48
47
Mariam Darus Badruzzaman, Beberapa Pemikiran Tentang Upaya Penyelesaian Sengketa
Ekonomi di Luar Pengadilan. PDF file, diakses dari www.Bphn.net, tanggal 30 Juni 2018.
48
Nevi Hasnita, “Politik Hukum Ekonomi Syariah di Indonesia”, dalam Jurnal Legitimasi, Vol.
1, No. 2, Januari-Juni 2012, hlm. 113.
168 Politik Ekonomi Islam...

Sebagaimana yang terjadi di berbagai belahan dunia Islam


lainnya, awal pertumbuhan ekonomi Islam ditandai dengan pendirian
bank Islam/bank syariah, maka praktik ekonomi Islam di Indonesia
ditandai dengan pendirian Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada tahun
1991, yang baru beroperasi pada tahun 1992. Saat Itu belum memakai
nama Bank Syariah tetapi sebagai bank bagi hasil, karena belum ada
payung hukum yang menjadi naungan berdirinya bank syariah di In-
donesia. Dalam kurun waktu mulai dari tahun 1991-1998,
perkembangan bank syariah di Indonesia tergolong lambat. Hal ini
disebabkan karena tidak didukung oleh aspek perundangan-undangan.
Undang-undang yang ada saat ini adalah Undang-Undang No. 7 Tahun
1992 tentang Perbankan dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 72 Tahun
1992 yang merupakan salah satu peraturan pelaksanaan undang-
undang tersebut. Dalam Pasal 6 Undang-Undang No. 7 Tahun 1992
ditentukan bahwa bank umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
yang kegiatannya berasaskan prinsip bagi hasil, tidak diperkenankan
melakukan usaha yang tidak berasaskan prinsip bagi hasil. Begitu juga
sebaliknya. Ini bermakna, tidak ada peluang untuk membuka Syariah
Windows di bank konvensional.
Peraturan itu menjadi penghalang bagi berkembangnya bank
syariah, karena jalur pertumbuhan bank syariah hanya melalui
perluasan kantor bank syariah yang telah ada atau pembukaan bank
syariah baru yang membutuhkan dana sangat besar. Di sisi lain, dengan
segala keterbatasannya keberhasilan pendirian BMI sebagai bank yang
menganut prinsip syariah, telah mengilhami kesadaran masyarakat
untuk mengamalkan ekonomi syariah, sehingga sejak itu mulai
didirikan lembaga keuangan syariah mikro yaitu Bank Perkreditan
Rakyat Syariah (BPRS, kini singkatannya menjadi Bank Pembiayaan
Rakyat Syariah) dan Baitul Mal Wattamwil (BMT).49
49
Istilah BMT berasal dari dua suku kata yaitu bayt al-mal dan bayt al-tamwil.Istilah bayt al-mal
berasal dari kata bayt dan al-mal.Bayt artinya bangunan atau rumah, sedangkan al-mal berarti
harta benda dan kekayaan.Jadi secara etimologis (harfiyyah) atau segi bahasa berarti, baytul
mal berarti rumah kekayaan. Namun demikian kata bayt al-mal biasa diartikan sebagai
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 169

Pada tahun 1998, pemerintah mengundangkan Undang-Undang


No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan terhadap Undang-Undang No.
7 Tahun 1992 tentang perbankan, yang di dalamnya sudah memuat
tentang operasi perbankan berdasarkan prinsip syariah. Setahun
kemudian pemerintah mengundangkan Undang-Undang No. 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia (BI) yang dalam Pasal 10, menyatakan
bahwa BI dapat menerapkan policy keuangan berdasarkan prinsip-
prinsip syariah. Hadirnya dua undang-undang tersebutsemakin
memperkokoh landasan yuridis eksistensi bank syariah di Indonesia.
Selain mengatur bank syariah, kedua undang-undang tersebut juga
menjadi landasan hukum bagi perbankan nasional untuk mulai
melaksanakan dual banking system, yaitu sistem perbankan
konvensional dan syariah yang berjalan secara berdampingan, dimana
bank konvensional yang telah ada dibolehkan membuka Syariah
windows. Sejak itu, didirikan berbagai Unit Usaha Syariah (UUS) di
bank konvensional seperti Bank IFI cabang usaha Syariah (1999), Bank
Jabar cabang usaha Syariah (2000), Bank BNI 46 Syariah (2000),
Bank Bukopin cabang Usaha Syariah (2001), BRI Syariah (2001), Bank
Danamon Syariah (2002), BII Syariah (2003) dan lain-lain. Di samping
itu berdiri pulaBank Umum Syariah (BUS) seperti Bank Syariah
Mandiri (BSM) yang sepenuhnya beroperasi secara Syariah (1999) dan
Bank Syariah Mega Indonesia (2004).Hingga Januari 2011, telah
menjadi 11 BUS, 23 UUS, 151 BPRS dengan aset mencapai 95 Trilyun
plus 745 M (per Januari 2011).50
Secara rinci kilasan politik hukum dalam bidang ekonomi syariah
ini dapat dipetakan sebagai berikut:

perbendaharaan (umum atau negara).Sementara bayt al-tamwil berasal dari kata bayt artinya
rumah, dan al-tamwil merupakan bentuk masdar yang artinya pengumpulan harta.Jadi bayt
al-tamwil dapat diartikan sebagai rumah pengumpulan harta atau dapat diidentikkan dengan
bank pada zaman modern ini. Dalam konteks Indonesia, BMT memiliki makna yang khas,
yaitu lembaga keuangan mikro Syariah untuk membantu usaha ekonomi rakyat kecil, yang
beranggotakan perorangan atau badan hukum, yang dijalankan berdasarkan prinsip Syariah
dan prinsip koperasi. Pada akhir 2010, jumlah BMT di Indonesia mencapai 4000an
buah.Ibid.,hlm. 114.
50
Nur Kholis, Potret Politik Ekonomi Syariah..., hlm. 3
170 Politik Ekonomi Islam...

1. Diundangkannya UU No. 19 tahun 2008 yang berkaitan dengan Surat


Berharga Syariah Negara (SBSN) disahkan pada 7 Mei 2008. Lahirnya
Undang-Undang SBSN ini bertujuan untuk membiayai Anggara
Pendapatan dan Belanja Negara yang selalu defisit, termasuk juga
untuk pembiayaan proyek. Adanya Undang-Undang SBSN akan
memberikan pembiayaan pembangunan secara lebih variatif
sehingga dapat lebih menyerap dana dari para investor secara
ekstensif. Undang-Undang ini telah menjadi landasan hukum bagi
pemerintah RI untuk penerbitan sukuk negara guna menarik dana
dari investor. Sukuk dipandang sebagai alternatif yang lebih baik
daripada berutang ke luar negeri karena antara lain mengandung
unsur kerja sama investasi, berbagi risiko dan keterlibatan aset
(proyek riil) yang juga mendasari penerbitan sukuk. Ini
menunjukkan dukungan pemerintah untuk mendanai APBN dengan
instrumen keuangan syariah, dan terbukti perkembangan sukuk
global maupun ritel sangat pesat setelah ada political will pemerintah
dengan mengesahkan UU SBSN.51
2. Diundangkannya UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah,
pada tanggal 17 Juni 2008. Lahirnya Undang-Undang Perbankan
Syariah menandai era baru perbankan syariah yang sudah memiliki
payung hukum jelas. Dengan Undang-Undang Perbankan Syariah
ini makin memperkuat landasan hukum perbankan Syariah sehingga
dapat setara dengan bank konvensional. Selain itu, payung hukum
ini makin menguatkan eksistensi perbankan syariah di Indonesia
dan juga dapat makin memacu peningkatan peran dan kontribusi
perbankan syariah dalam mengentaskan kemiskinan (poverty
alleviation), kesejahteraan masyarakat, dan pembukaan lapangan
kerja serta pembangunan nasional.52

51
Abdul Ghofur Anshori, Penerapan Prinsip Syariah Dalam Lembaga Keuangan: Lembaga
Pembiayaan dan Perusahaan Pembiayaan(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 132-137.
52
Zainuddin Ali, Hukum Perbankan Syariah (Yogyakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 16.
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 171

3. Pemerintah yang diwakili BUMN mendirikan Bank Syariah. Bukti


nyata dari politik ekonomi Islam yang diperankan pemerintah dalam
sektor industri perbankan syariah adalah berdirinya Bank Syariah
Mandiri (BSM) yang modal inti terbesarnya dari Bank Mandiri yang
nota benenya bank BUMN, berdirinya BRI Syariah yang modal inti
terbesarnya dari Bank BRI yang nota benenya bank BUMN, BNI
Syariah yang modal inti terbesarnya dari BNI 45 yang nota benenya
bank BUMN, pegadaian syariah yang berada dibawah perum
pegadaian yang merupakan BUMN, dan lain-lain.
4. Diundangkannya UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf
Selain itu, dikeluarkan juga PP N0. 42 tahun 2006 dan Kepmen No.
4 tahun 2009. Itu semua menunjukkan politik ekonomi Islam yang
diperankan pemerintah RI dalam ranah keuangan publik Islam telah
menunjukkan keberpihakannya pada penerapan keuangan publik
Islam secara legal formal.
5. Dibentuknya Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN
MUI) pada tanggal 10 Februari 1999, yang didasarkan pada Surat
Keputusan (SK) MUI No. kep-754/MUI/II/1999.
6. Diberlakukannya Undang-Undang tentang zakat, yaitu UU No. 38
tahun 1999.
7. Diundangkannya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006. Diundang-
kannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
telah memberikan arah baru bagi kompetensi Peradilan Agama
untuk menangani, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat
pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang
ekonomi syariah.53
53
Ekonomi Syariah yang dimaksud dalam pasal 49 huruf i, penjelasannya mencakup (a) banksyari
ah; (b).lembaga keuangan mikro syari ah. (c). asuransi syari ah; (d). reasuransi syari ah; (e).
Reksadana syari ah; (f). obligasi syari ah dan surat berharga berjangka menengah syari ah; (g).
sekuritas syari ah; (h). pembiayaansyari ah; (i). Pegadaian syari ah; (j).dana pensiun lembaga
keuangan syari ah; dan (k).bisnis syari ah.
172 Politik Ekonomi Islam...

8. KHES (Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah) yang dikordinir oleh


Mahkamah Agung (MA) RI yang kemudian dilegalkan dalam bentuk
PERATURAN MAHKAMAH AGUNG (PERMA) 02 Tahun 2008
merupakan respon terhadap perkembangan baru dalam kajian dan
praktek ekonomi Islam di Indonesia. Kehadiran KHES merupakan
bagian upaya positifisasi hukum perdata Islam dalam sistem hukum
nasional, mengingat praktek ekonomi syariah sudah semakin
semarak melalui LKS-LKS. Kompilasi tersebut dapat dijadikan acuan
dalam penyelesaian perkara-perkara ekonomi syariah yang semakin
hari semakin bertambah.
9. Gerakan Wakaf Tunai
Gerakan nasional wakaf tunai dimotori oleh Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono di Istana Negara Jakarta pada 8 Januari 2010,
pengelolaannya diserahkan ke Badan Wakaf Indonesia (BWI). BWI
sudah membuat aturan tentang wakaf uang sehingga pengumpulan,
penggunaannya dan pertanggungjawabannya dapat transparan serta
akan diaudit oleh auditor independen. Melalui gerakan nasional
wakaf tunai, maka kini masyarakat dapat melakukan wakaf
berbentuk uang yang lebih mudah dan lebih fleksibel digunakan
untuk kesejahteraan umat.
10. Dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2008
Asuransi syariah tentang Perubahan Kedua atas Peraturan
Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha
Perasuransian. Walaupun pemerintah belum mengundangkan
secara khusus tentang asuransi Syariah, akan tetapi hadirnya
Peraturan Pemerintah Nomor 39 tersebut menunjukkan
keberpihakan pemerintah terhadap pengembangan industri asuransi
syariah sebagai bagian politik ekonomi Islamnya.
11. Didirikannya Direktorat pembiayaan Syariah di DEPKEU
Direktorat Pembiayaan Syariah, Direktorat Jenderal Pengelolaan
Utang Departemen Keuangan RI merupakan direktorat yang
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 173

melaksanakan amanah Undang-Undang No. 19 Tahun 2008 tentang


SBSN, sehingga lahirnya berbagai jenis sukuk negara, di antaranya
adalah sukuk ritel dan korporasi.54
Adanya legislasi hukum ekonomi Islam di Indonesia membawa
dampak bagi Indonesia. Secara umum dampak positif yang dihasilkan
yaitu:55
1. Adanya gambaran hukum secara pasti atau dengan kata lain tingginya
tingkat prediktibilitas. Keadaan ini kemudian menjadikan manusia
akan lebih mampu memprediksi akibat hukum dari suatu perbuatan
yang dilakukan.
2. Perundang-undangan juga memberikan kepastian mengenai
nilaiyang dipertaruhkan. Sekali suatu peraturan dibuat, maka menjadi
pasti pula nilai yang hendak dilindungi oleh peraturan tersebut. Oleh
karena itu orang tidak perlu lagi memperdebatkan terkait diterima
atau tidaknya suatu nilai.
Menurut ulama fikih, sisi positif hukum Islam dalam bentuk
perundang-undangan antara lain:
1. Memudahkan para praktisi hukum untuk merujuk hukum sesuai
dengan keinginannya. Kitab-kitab fikih yang tersebar di dunia Islam
penuh dengan perbedaan pendapat yang kadang-kadang mem-
bingungkan dan menyulitkan. Dengan adanya undang-undang yang
mengatur bidang ekonomi syariah, para hakim/praktisi hukum tidak
perlu lagi mentarjih berbagai pendapat dalam literatur fikih.
2. Mengukuhkan fikih Islam dengan mengemukakan pendapat paling
kuat. Fikih Islam penuh dengan perbedaan pendapat, bukan saja
antar madzhab, tetapi juga perbedaan pendapat antar ulama dalam
madzhab yang sama, sehingga sulit untuk menentukan pendapat
terkuat darisekian banyak pendapat dalam satu madzhab. Keadaan

54
Nurkholis, Potret Politik Ekonomi Syariah..., hlm. 5.
55
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum(Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 84
174 Politik Ekonomi Islam...

seperti ini sangat menyulitkan hakim (apalagi orang awam) untuk


memilih hukum yang akan diterapkan. Dalam kaitan ini, undang-
undang yang sesuai dengan pendapat yang kuat akan lebih praktis
dan mudah dirujuk oleh para hakim, apalagi di zaman modern ini
para hakim pada umumnya belum memenuhi syarat-syarat
mujtahid, sebagaimana yang ditetapkan oleh ulama.
3. Menghindari sikap taklid madzhab di kalangan praktisi hukum, yang
selama ini menjadi kendala dalam lembaga-lembaga hukum.
4. Menciptakan unifikasi hukum bagi lembaga-lembaga peradilan.
Apabila hukum dalam suatu negara tidak hanya satu, maka akan
muncul perbedaan keputusan antara satu peradilan dan peradilan
lainnya. Hal ini tidak hanya membingungkan umat, tetapi juga
menganggu stabilitas keputusan yang saling bertentangan antara satu
pengadilan dan pengadilan lain.
Selain dampak positif, legislasi hukum Islam juga membawa
dampak negatif, di antaranya yaitu:56
1. Munculnya kekakuan hukum. Dalam persoalan ini ulama fikih
menyatakan bahwa hukum bisa terbatas, sedangkan kasus yang
terjadi tidak terbatas. Di sisi lain, fikih Islam tidak dimaksudkan
berlaku sepanjang masa, tetapi hanya untuk menjawab persoalan
yang timbul pada suatu kondisi, masa, dan tempat tertentu. Oleh
karena itu, hukum senantiasa perlu disesuaikan dengan kondisi,
tempat, dan zaman. Tidak jarang ditemukan bahwa peristiwa yang
menghendaki hukum lebih cepatberkembang dibandingkan dengan
hukum itu sendiri. Oleh karena itu. Adanya undang-undang bisa
memperlambat perkembangan hukum itu sendiri.
2. Tertutupnya pintu ijtihad.
3. Munculnya persoalan taklid baru.

56
Ensiklopedi Hukum Islam dimuat dalam Jurnal Mimbar Hukum No. 47 Th.XI Al-Hikmah &
DITBINBAPERA Islam, Jakarta, hlm.84.
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 175

4. Mengabaikan perbedaan-perbedaan atau ciri-ciri khusus masing-


masing mazhab.
Meskipun terdapat berbagai tantangan, produk hukum ekonomi
Islam dalam bentuk legislasi telah hadir di Indonesia dengan pembuatan
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES).57
Adanya perubahan UU perbankan syariah merupakan indikator
terjadinya kemajuan dalam perbankan syariah. Hal ini kemudian
mengakibatkan ekonomi syariah atau ekonomi Islam berkontribusi
dalam pembangunan di Indonesia, khususnya pembangunan secara
makro. Pengertian pembangunan ekonomi dalamIslam itu sendiri,
berdasarkan pemahaman terhadapsyariah, yang bersumber dari Al-
Qur’an dan Sunnah, dengan penekanan bahwa keberhasilan
pembangunan harus disertai pengetahuan tentang konsep-konsep
pembangunan klasik dan modern, serta pengalaman negara-negara
yang telah berhasil dalam melakukan usaha pembangunan. Pembangunan
dalam pemikiran Islam bermula dari kata ‘imârah atau ta’mîr,
sebagaimana yang diisyarat dalam Q.S. Hud:6, yang artinya:”Dia
(Allah) telah menciptakan kamudari bumi (tanah) dan meminta kamu
untuk memakmurkannya.” Jika dihubungkan dengan penciptaan
manusia sebagai khalifah di bumi yang tercantum dalam Q.S. al-
Baqarah: 30, yang artinya: “Dan ketika Tuhanmu berfirman kepada
pa0ra malaikat: Sesungguhnya Aku menjadikan khalifah dimuka
bumi.” Maka dapat diketahui bahwa manusia yang ditugaskan untuk
melakukan pembangunan, sehingga tercipta kemakmuran.
Menurut Alexander, Pembangunan (development) adalah proses
perubahan yang mencakup seluruh sistem sosial, seperti politik,
ekonomi, infrastruktur, pertahanan, pendidikan dan teknologi,
kelembagaan, dan budaya. Portes mendefenisiskan pembangunan
sebagai transformasi ekonomi, sosial dan budaya. Sedangkan istilah
pembangunan ekonomi (economic development) biasanya dikaitkan
57
Bambang Iswanto, “Ekonomi Islam dan Politik Hukum di Indonesia”, dalam Mazahib, Vol.
XII, No. 2, Desember 2013, hlm. 89.
176 Politik Ekonomi Islam...

dengan perkembangan ekonomi dinegara-negara berkembang.


Sebagian ahli ekonomi mengartikan istilah ini sebagai economic
development is growthplus change, yang artinya Pembangunan
ekonomi adalah pertumbuhan ekonomi yang diikuti oleh perubahan-
perubahan dalam struktur dan corak kegiatan ekonomi. Dengan kata
lain, dalam mengartikan istilah pembangunan ekonomi, ekonom tidak
hanya tertarik kepada masalah perkembangan pendapatan nasional
yang nyata, tetapi juga kepada modernisasi kegiatan ekonomi, misalnya
kepada usaha perombakan sektor pertanian yang tradisional, memper-
cepat pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pendapatan.
Dalam berbagai literatur tentang ekonomi Islam, kedua istilah
ini juga ditemukan. Ekonomi Islam pada dasarnya memandang bahwa
pertumbuhan ekonomi adalah bagian dari pembangunan ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi didefenisikan dengan a suistained growth of a
right kind of outputwhich can contribute to human welfare, yaitu
pertumbuhan terus menerus dari factor produksi secara benar yang
mampu memberikan konstribusi bagi kesejahteraan manusia.
Berdasarkan pengertian ini, maka pertumbuhan ekonomi menurut
Islam merupakan hal yang syarat akan nilai. Suatu peningkatan yang
dialami oleh faktor produksi tidak dianggap sebagai pertumbuhan
ekonomi jika produksi tersebut misalnya memasukkan barang-barang
yang terbukti memberikan efek buruk dan membahayakan manusia.
Sedangkan istilah pembangunan ekonomi yang dimaksudkan dalam
Islama dalah the process of allaviating poverty andprovision of ease,
comfort and decency in life, yaitu proses untuk mengurangi
kemiskinan serta menciptakan ketentraman, kenyamanan dan tata
susila dalam kehidupan. Berdasarkan pengertian tersebut, maka dapat
dilihat bahwa pembangunan ekonomi menurut Islam mencakup dua
dimensi, yaitu secara kualitatif dan kuantitatif, dengan tujuan
mencapai kesejahteraan di dunia dan akhirat.
Di sektor perbankan di Indonesia, hingga saat ini sudah ada tiga
Bank Umum Syariah (BUS), 21 unit usaha syariah bank konvensional,
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 177

528 kantor cabang (termasuk Kantor Cabang Pembantu (KCP), Unit


Pelayanan Syariah (UPS), dan Kantor Kas (KK)), dan 105 Bank
Pengkreditan Rakyat Syariah (BPRS). Aset perbankan syariah per
Maret 2007 lebih dari Rp. 28 triliun dengan jumlah Dana Pihak Ketiga
(DPK) hampir mencapai 22 Triliun. Meskipun asset perbankan syariah
baru mencapai 1,63 persen dan dana pihak ketiga yang dihimpun baru
mencapai 1,64% daritotal asset perbankan nasional (per Februari
2007), namun pertumbuhannya cukup pesat dan menjanjikan.
Diproyeksikan, pada tahun 2008, share industri perbankan syariah
diharapkan mencapai 5 persen dari total industri perbankan nasional.
Di sektor pasar modal, produk keuangan syariah seperti reksa dana
dan obligasi syariah juga terus meningkat. Sekarang ini terdapat 20
reksa dana syariah dengan jumlah dana kelola 638,8 miliar rupiah.
Jumlah obligasi syariah sekarang ini mencapai 17 buah dengan nilai
emisi mencapai 2,209 triliun rupiah.
Di sektor saham, pada tanggal 3 Juli 2000 BEJ meluncurkan
Jakarta Islamic Index (JII). JII yang merupakan indeks harga saham
yang berbasis syariah terdiri dari 30 saham emiten yang dianggap telah
memenuhi prinsip-prinsip syariah. Data pada akhir Juni 2005tercatat
nilai kapitalisasi pasar sebesar Rp325,90 triliun atau 43% dari total
nilai kapitalisasi pasar di BEJ. Sementara itu, volume perdagangan
saham JII sebesar 348,9 juta lembar saham atau 39% dari total vol-
ume perdagangan saham dan nilai perdagangan saham JII sebesar
Rp322,3 miliar atau 42%dari total nilai perdagangan saham. Peranan
pemerintah yang sangat ditunggu-tunggu oleh pelaku keuangan syariah
di Indonesia adalah penerbitan Undang-undang Perbankan Syariah
dan Undang-undang Surat Berharga Negara Syariah (SBSN).
Di sektor asuransi, hingga Agustus 2006 ini sudah lebih 30
perusahaan yang menawarkan produk asuransi dan reasuransi syariah.
Namun, market share asuransi syariah belumbaru sekitar 1% dari pasar
asuransi nasional. Di bidang multifinance pun semakin berkembang
dengan meningkatnya minat beberapa perusahaan multifinance dengan
178 Politik Ekonomi Islam...

pembiayaan secara syariah. Angka-angka ini diharapkan semakin


meningkat seiiring dengan meningkatnya permintaan dan tingkat
imbalan (rate of return) dari masing-masing produk keuangan syariah.
Media Indonesia online58 memaparkan pernyataan Kepala Staf
Presiden Jendral (purn) Moeldoko yang berperan sebagai wakil ketua
Pembina Pengurus Pusat (MES) beliau menjelaskan bahwa,
“pemerintah sangat serius untuk menggarap potensi ini dan tidak ingin
hanya menjadi target pasar dan produk industri negara-negara lain,
atau hanya sekadar dari konsumen. Dengan potensi pasar yang besar
di negara kita, kita harus menjadi penggerak utama perekonomian
syariah, ini menekankan agar dalam pengembangan ekonomi syariah
harus betul-betul bermanfaat bagi hal-hal yang produktif, termasuk
mendukung upaya penanggulangan kemiskinan dalam rangka menekan
angka ketimpangan.” Dalam acara yang sama dan dilangsir oleh media
yang sama, Ketua MUI Ma’ruf Amin juga menjelaskan upaya untuk
terus menumbuhkan dan memperbesar sektor ekonomi syariah di
Indonesia tidak mudah dan tidak murah. Upaya perintisan dan
pemantapan fondasi sudah dilakukan dengan baik. Sektor ekonomi
syariah sudah memiliki pijakan kuat, baik dari sisi regulasi, fatwa terkait
produk, jasa dan akad, infrastruktur lembaga keuangan dan bisnis
syariah, pemenuhan sumber daya insani, dan masyarakat madani yang
mengadvokasi akselerasi pertumbuhan ekonomi syariah, sejumlah
kendala dan hambatan yang selama ini menjadi penghambat tumbuh
kembangnya ekonomi syariah berangsur-angsur sudah mulai dikikis.
Misalnya kendala permodalan, kita terus mendorong pemerintah
untuk masuk lebih jauh ke sektor ekonomi syariah, misalnya dengan
menambah dan memperbesar porsi BUMN untuk diubah dengan sistem
syariah, Sukuk yang dikeluarkan oleh negara yang dapat dijadikan
alternatif sumber pembiayaan pembangunan di negeri ini dapat menjadi
acuan kisah sukses bahwa masyarakat akan semakin percaya diri kalau

58
https://www.medcom.id/ekonomi/mikro/GNGM3Xjk-moeldoko-indonesia-harus-jadi-
penggerak-ekonomi-syariah
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 179

negara mau menjamin dan serius menggarap sektor ekonomi syariah.


Sukuk negara di Indonesia saat ini menjadi yang terbesar di dunia.
Dengan kebijakan itu, dan bersedianya Pak Moeldoko dilantik, hal ini
sekaligus menjadi pertanda bahwa pemerintah menunjukkan
kesungguhan dan keberpihakannya terhadap sektor keuangan dan
bisnis syariah,” pungkasnya.
Media Indonesia online59 menyebutkan bahwa ekonomi syariah
bisa menjadi lokomotif syariah. Ekonom dari Institute for Development
of Economics and Finance (INDEF), Nailul Huda, mengakui bahwa
potensi ekonomi Syariah di Indonesia sangat besar. Apalagi mayoritas
penduduk di negara ini adalah muslim. “Ini akan jadi kekuatan
tersendiri,” ujarnya. Ia menyambut baik hasil rapat kerja Masyarakat
Ekonomi Syariah (MES) yang berlangsung akhir pekan kemarin. Salah
satu keputusan yang diambil dalam rapat tersebut adalah penempatan
Kepala Staf Presiden Jenderal (purn) Moeldoko sebagai wakil ketua
Pembina Pengurus Pusat MES. Sesudah dilantik kemarin, Moeldoko
menegaskan bahwa Indonesia berpotensi mengembangkan sektor
ekonomi syariah karena mayoritas beragama Islam. Ia juga
menekankan komitmen pemerintah yang ingin serius menggarap
potensi ekonomi syariah agar Indonesia tidak hanya sebagai konsumen
maupun pangsa pasar industri bagi negara lain. Berdasarkan data,
Moeldoko mengungkapkan penggunaan pembiayaan syariah mencapai
41,8 persen yang sebagian digunakan unuk konsumsi sedangkan
pembiayaan modal kerja sebanyak 34,3 persen dan investasi sekitar
23,2 persen. Moeldoko memaparkan aset perbankan syariah pada
sektor industri keuangan syariah mencapai Rp435 triliun pada 2017
atau 5,8 persen dari total aset perbankan Indonesia.”
Perkembangan ekonomi syariah di Indonesia tidak terlepas dari
beberapa faktor baik dari eksternal maupun internal. Faktor eksternal
berasal dari luar negeri, melihat perkembangan ekonomi syariah di

59
http://m.mediaindonesia.com/read/detail/151432—ekonomi-syariah-harus-jadi-pilihan-realistis
180 Politik Ekonomi Islam...

negara-negara lain, terutama yang berpenduduk mayoritas Muslim.


Negara-negara tersebut telah mengembangkan ekonomi syariah setelah
timbulnya kesadaran tentang perlunya identitas baru dalam
perekonomian mereka. Kesadaran ini kemudian ’mewabah’ ke negara-
negara lain dan akhirnya sampai ke Indonesia.
Sedangkan faktor internal antara lain adalah kenyataan bahwa
Indonesia ditakdirkan menjadi negara dengan jumlah penduduk
Muslim terbesar di dunia. Fakta ini menimbulkan kesadaran di sebagian
cendikiawan dan praktisi ekonomi tentang perlunya suatu ekonomi
yang sesuai dengan nilai-nilai Islam dijalankan oleh masyarakat Muslim
di Indonesia. Di samping itu, faktor politis juga turut bermain.
Membaiknya “hubungan” Islam dan negara menjelang akhir milineum
lalu membawa angin segar bagi perkembangan ekonomi dengan prinsip
syariah. Meningkatnya keberagamaan masyarakat juga menjadi faktor
pendorong berkembangan ekonomi syariah di Indonesia.
Munculnya kelas menengah Muslim perkotaan yang terdidik dan
relijius membawa semangat dan harapan baru bagi industri keuangan
syariah. Mereka mempunyai kesadaran bahwa agama bukan sekedar
shalat, puasa, dan ibadah-ibadah mahdah lainnya saja, akan tetapi
agama harus diterapkan) dalam setiap aspek kehidupan termasuk
dalam berekonomi. Faktor berikutnya adalah pengalaman bahwa sistem
keuangan syariah tampak cukup kuat menghadapi krisis moneter
tahun 1997-1998. Bank syariah masih dapat berdiri kokoh ketika
“badai” itu menerpa dan merontokkan industri keuangan di Indonesia.
Di samping itu, faktor rasionalitas bisnis pun turut membesarkan
ekonomi syariah. Bagi kelompok masyarakat yang tidak cukup dapat
menerima sistem keuangan syariah berdasarkan ikatan emosi (personal
attachment) terhadap Islam, faktor keuntungan menjadi pendorong
mereka untuk terjun ke bisnis syariah. problemnya, perbankan syariah
kita relatif kecil, semata-mata sektor riil yang berbasis syariah itu masih
belum berkembang. Permintaan kredit kepada bank syariah akhirnya
terbatas dan belum bisa menjadi bank besar. Pada akhirnya, bank
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 181

syariah memberikan kredit yang tidak ada hubungannya dengan


kegiatan halal atau syariah demi menghidupi bank tersebut. Pemerintah
Indonesia sudah banyak melakukan kebijakan afirmasi termasuk
membentuk Komite Nasional Ekonomi Syariah untuk memperbaiki
kualitas pasar keuangan syariah di Indonesia. Sehingga yang diharapkan
kedepannya adalah berdirinya bank-bank syariah yang besar.
Ada tiga hal yang menjadi sumbangan ekonomi syariah bagi
ekonomi nasional yang disampaikan melalui berita (globalmulia.ac.id)60
yaitu : 1.) Ekonomi syariah memberikan andil bagi perkembangan
sektor riil. Pengharaman terhadap bunga bank dan spekulasi
mengharuskan dana yang dikelola oleh lembaga-lembaga keuangan
syariah disalurkan ke sektor riil. 2.) Ekonomi syariah lewat industri
keuangan syariah turut andil dalam menarik investasi luar negeri ke
Indonesia, terutama dari negara-negara Timur-tengah. Adanya
berbagai peluang investasi syariah di Indonesia, telah menarik minat
investor dari negara-negara petro-dollar ini untuk menanamkan
modalnya di Indonesia. Minat mereka terus berkembang dan justru
negara kita yang terkesan tidak siap menerima kehadiran mereka
karena berbagai ’penyakit akut’ yang tidak investor friendly, seperti
rumitnya birokrasi, faktor keamanan, korupsi, dan sebagainya. 3.)
Gerakan ekonomi syariah mendorong timbulnya perilaku ekonomi
yang etis di masyarakat Indonesia. Ekonomi syariah adalah ekonomi
yang berpihak kepada kebenaran dan keadilan dan menolak segala
bentuk perilaku ekonomi yang tidak baik seperti sistem riba, spekulasi,
dan ketidakpastian (gharar).
Dalam teori-teori ekonomi, nilai-nilai yang ditawarkan ekonomi
Islam tergolong hal yang baru. Meskipun pada kenyataannya ajaran
Islam memberikan petunjuk-petunjuknya dalam beraktivitas ekonomi
tetapi secara bangunan ilmu masih membutuhkan proses untuk menjadi
mapan. Termasuk dalam hal ini adalah cabang-cabang dari ilmu

60
http://globalmulia.ac.id/berita-perkembangan-ekonomi-syariah-dan-peran-sertanya-dalam-
pembangunan-indonesia.html
182 Politik Ekonomi Islam...

ekonomi sendiri, yang pada perkembangan berikutnya juga muncul


sebagai alternatif dan menjadi bagian dari ekonomi Islam. Muncul dan
berkembangnya ilmu ekonomi Islam ini turut memberikan alternatif
pemecahan masalah yang berlarut-larut akibat dari mengusung gagasan
kapitalisme dan berbagai macam aliran ekonomi yang mengalami
kegagalan. Disisi lain ajaran syari’ah Islam memang menuntut para
pemeluknya untuk berlaku secara professional yang dalam prosesnya
menampilkan kerapian, kebenaran, ketertiban, dan keteraturan.
Prof. Bambang Brodjonegoro, Ph.D dalam kuliah umumnya di
Universitas Indonesia selaku kepala Bappenas menyampaikan filosofi
dari ekonomi Islam yaitu ekonomi yang bisa menerjemahkan nilai-
nilai dari agama Islam dalam kehidupan sehari-hari yang berbasis
barang dan jasa tanpa riba. Salah satunya, zakat yang bisa dijadikan
instrumen sebagai pemerataan dalam perekonomian sekaligus mengurangi
kemiskinan dan mencegah ketimpangan. Untuk mengembangkan
peran perbankan syariah dalam pembangunan nasional termasuk
fasilitas perbankan syariah untuk seluruh segmen masyarakat,
optimalisasi dana-dana sosial keagamaan agar tepat sasaran dan bisa
digunakan sebagai investasi, seperti wira haji, membiayai proyek-
proyek infrastruktur pendidikan dan pembangunan, meningkatkan
daya saing industri keuangan, serta mendorong kemandirian ekonomi
Islam di Indonesia. Beliau juga menjelaskan bahwa pemerintah fokus
ke depannya, pada bidang jasa, seperti FFT (Food, Fashion, Tourism)
yang bersertifikasi halal untuk mendorong pendapatan devisa negara
dari sektor pariwisata. Tentu untuk mewujudkannya perlu member-
dayakan pesantren yang lebih mandiri, dan mengoptimalkan
pembangunan, yaitu sukuk, dana sosial islam (zakat, infaq, shadaqah,
dan wukuf).61
Berbagai upaya oleh semua pihak, baik itu pemerintah, industri,
maupun para pengusaha adalah bertujuan untuk mencapai
61
http://www.feb.ui.ac.id/blog/2017/10/31/peran-ekonomi-islam-dalam-mewujudkan-
pembangunan-yang-adil-dan-berkelanjutan/
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 183

kesejahteraan bersama. Namun tujuan kesejahteraan ini dalam


pelaksanaannya tidaklah mudah untuk dicapai. Banyak kendala-
kendala yang menghadang jalannya proses pembangunan yang menjadi
sarana untuk mencapai kesejahteraan bersama. Sehingga yang timbul
adalah masyarakat yang telah mendapatkan hasil dari pembangunan,
dan sebagian lagi belum merasakannya. Dalam kehidupan memang
akan terjadi perbedaan dan kesenjangan ekonomi atau rezeki diantara
pelaku ekonomi, karena hal tersebut merupakan sunnatullah. Kondisi
inilah yang secara religius akan menciptakan mekanisme ekonomi,
yang berkelebihan menolong yang kekurangan sehingga kesenjangan
akan semakin menyempit walaupun tidak bisa dihilangkan sama sekali.
Dengan demikian hanya dengan tolong menolong dan saling memberilah,
maka kebutuhan manusia itu dapat terpenuhi, karena yang kaya
membutuhkan yang miskin dan sebaliknya yang miskin membutuhkan
yang kaya.
Sumbangan-sumbangan yang telah dilakukan oleh masyarakat
Islam terhadap pembangunan di Indonesia dapat dilihat ketika dana
haji dijadikan sebagai salah satu sumber pembiayaan proyek
infrastruktur. Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ma’ruf
Amin mengaku tak mempermasalahkan jika pemerintah menggunakan
dana haji untuk pembangunan infrastruktur. Ma’ruf mengatakan MUI
telah mengeluarkan fatwa terkait pembangunan infrastruktur yang
menggunakan dana investasi para calon jamaah haji. “ Dana haji itu
kan memang boleh diinvestasi itu, sekarang saja mungkin ada Rp 35
triliun itu sudah digunakan untuk Sukuk, Sukuk itu sudah mendapatkan
fatwa dari dewan syariah nasional majelis fatwa MUI dan saya juga
tanda tangani itu untuk kepentingan infrastruktur untuk lain-lain,” ujar
Ma’ruf di rumahnya di Koja, Jakarta Utara, Senin (31/7/2017).62
Presiden mengatakan dalam pengelolaan dan penggunaan dana
haji harus melekat unsur kehati-hatian karena merupakan dana milik
62
https://nasional.kompas.com/read/2017/07/31/17453421/ketua-mui—dana-haji-boleh-
diinvestasikan-untuk-infrastruktur
184 Politik Ekonomi Islam...

umat. “Harus prudent, harus hati-hati, silakan mau dipakai untuk


infrastruktur, saya hanya memberikan contoh, silakan dipakai untuk
Sukuk, silakan ditaruh di Bank Syariah, banyak sekali macamnya,”
Selain hati-hati pemanfaatan dana haji, menurut Jokowi harus mem-
berikan manfaat dan keuntungan bagi umat Muslim ataupun calon
jemaah haji yang memiliki dana tersebut. “Tapi semuanya perlu
dikalkulasi yang cermat, dihitung yang cermat. Semuanya dihitung,
semuanya harus dikalkulasi. Semuanya harus mengikut Peraturan
Perundang-undangan yang ada.63
Patut diketahui, Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 15
Tahun 2006 Tentang Pendaftaran Haji mengatur, antara lain, pendaftaran
haji dilaksanakan setiap hari kerja sepanjang tahun. Kebijakan tersebut
menghasilkan waiting list (daftar tunggu) jemaah haji atau daftar calon
jemaah haji yang telah mendapatkan nomor porsi, tetapi belum dapat
diberangkatkan ke tanah suci karena keterbatasan kuota. Seiring
waktu, jumlah waiting list semakin meningkat hingga menyentuh angka
yang cukup besar, mengingat setiap tahunnya ada sekitar 500 ribu
jemaah yang mendaftar, baik untuk haji reguler maupun haji khusus,
sedangkan kuota haji hanya tersedia untuk 211 ribu orang. Sampai
dengan akhir Juli 2017, waiting list jemaah haji reguler tercatat sebesar
3.305.207 orang dan haji khusus sejumlah 104.941 orang. Peningkatan
jemaah waiting list berkorelasi positif dengan peningkatan akumulasi
dana setoran Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH). Dengan
demikian, pemerintah berkewajiban untuk mengelola dana haji yang
terkumpul dari para calon jemaah haji tersebut.
Ada tiga poin penting yang disepakati dalam kesepakatan
tersebut. Pertama, inisiatif penempatan dana haji pada SBSN tidak
hanya dari Kementerian Agama, melainkan juga dari Kementerian
Keuangan. Kedua, penempatan dana SBSN juga dapat menjadi
pertimbangan usulan alokasi Kementerian Keagamaan dalam APBN

‘63 http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-40767439
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 185

untuk tahun anggaran berikutnya, khususnya terkait penyelenggaraan


haji yang dibiayai SBSN PBS. Ketiga, penempatan dana haji pada SBSN
dapat berupa instrumen SBSN nontradable dan SBSN tradable. SBSN
atau sukuk negara kemudian dikenal dengan nama Sukuk Dana Haji
Indonesia (SDHI). Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan
Risiko Kementerian Keuangan mencatat, hingga 12 Januari 2017,
outstanding SDHI mencapai Rp 36,7 triliun. Pemerintah meyakini,
keuntungan yang akan diperoleh jika dana tersebut ditempatkan dalam
SBSN SDHI adalah imbal hasil yang menguntungkan dan pengelolaan
dana yang lebih transparan. Sebab, dengan waktu tunggu keberangkatan
haji mencapai 32 tahun (paling lama), dana tersebut akan lebih aman
disimpan dalam SDHI. berdasarkan UU Nomor 34 Tahun 2014
Tentang Pengelolaan Keuangan Haji, diatur juga soal pembentukan
Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) yang bertugas mengelola
penerimaan, pengembangan, pengeluaran, dan pertanggungjawaban
keuangan haji. Mengemban amanat untuk menjaga dana umat, BPKH,
bertugas menempatkan dana umat ke dalam instrumen investasi
syariah dengan prinsip kehati-hatian yang tinggi, maka kewenangan
Kementerian Agama terkait pengelolaan dana haji hanya sebatas
operasional penyelenggaraan haji dan pengembangan dana haji dalam
bentuk Surat Utang Negara (SUN), sukuk negara dan produk
perbankan (deposito). Data menunjukkan dana haji yang terkumpul
per 30 Juni 2017 mencapai angka Rp 99,34 triliun, yang terdiri atas
nilai manfaat sebesar Rp 96,29 triliun dan Dana Abadi Umat sebesar
Rp 3,05 triliun. Dari perincian itu, dana haji yang diinvestasikan
memberikan manfaat bagi jamaah haji berupa subsidi biaya haji
sehingga meringankan biaya jamaah haji sebesar 50 persen. Total biaya
haji yang seharusnya dibayarkan Rp 68 juta per calon jemaah, dengan
subsidi tersebut, berkurang setengahnya, menjadi Rp 34 juta. Mengacu
pada UU Nomor 34 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Keuangan Haji,
BPKH mengelola investasi keuangan haji dalam bentuk produk
perbankan, surat berharga, emas, investasi langsung, dan investasi
lainnya. Dalam menjalankan tugas, BPKH berpedoman pada rencana
186 Politik Ekonomi Islam...

strategis (renstra) untuk jangka waktu lima tahun. Renstra yang dibahas
bersama Dewan Perwakilan Rakyat tersebut memuat penjabaran secara
rinci mengenai bagaimana dana haji akan dikelola pada periode
tersebut, termasuk kebijakan mengenai berapa besar dana haji yang
diinvestasikan melalui sejumlah instrumen investasi. Prinsip
pelaksanaan renstra adalah untuk sebesar-besarnya kepentingan
jemaah haji, antara lain, dalam bentuk peningkatan kualitas
penyelenggaraan ibadah haji, efisiensi biaya dan subsidi dana haji, serta
kemaslahatan umat Islam. “Anggota badan pelaksana dan anggota
dewan pengawas BPKH bertanggung jawab atas penempatan dan/atau
investasi keuangan haji secara keseluruhan, termasuk pemilihan
instrumen investasi yang dianggap memberi imbal hasil yang besar,
juga potensi risiko yang ditimbulkan atas kesalahan dan/atau kelalaian
dalam pengelolaan.64
Jika dibandingkan dengan Malaysia dalam pengelolaan dana haji,
Malaysia sudah mendirikan Lembaga Tabung Haji Malaysia (LTHM)
sejak 1963. Laporan Tahunan LTHM 2015 mencatat aset bersih sebesar
59,5 miliar ringgit atau sekitar Rp 180 triliun. sedangkan hasil keuntungan
investasi mencapai Rp 8 triliun setiap tahunnya. LTHM berinvestasi
dengan pembagian 50 persen untuk investasi saham, 20 persen untuk
real estat, 20 persen untuk investasi pendapatan tetap (deposito atau
reksa dana), dan 10 persen instrumen pasar uang (obligasi). Selain
meringankan biaya penyelenggaraan ibadah haji, dana tabungan haji
tersebut juga menjadi sumber pendapatan yang berkelanjutan melalui
investasi di sektor strategis seperti properti, usaha perkebunan,
konsesi, dan pembangunan infrastruktur.
Walaupun demikian dana haji yang dikeluarkan untuk pem-
bangunan mendapatkan respon dari berbagai kalangan, pro dan kontra
hadir didalamnya atas kebijakan yang dilakukan dalam mengelola dana
haji untuk membangun infrastruktur. Seperti apa yang dilangsir dari
64
https://www.bappenas.go.id/files/9815/1131/6812/Siaran_Pers__Manfaat_Investasi_
Dana_Haji_untuk_Umat.pdf
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 187

laman tirto.id65. Wacana pemerintah agar dana haji diinvestasikan


untuk proyek infrastruktur menuai kontroversi. Di satu pihak ada yang
menganggap wacana itu salah kaprah, tapi di pihak lain ada yang
menganggap wacana itu justru dapat memberi faedah. “Kami menolak,”
kata Wakil Ketua Komisi VIII DPR Sodiq Mudjahid kepada tirto, Senin
(31/7). Sodiq menilai rencana pemerintah menginvestasikan dana haji
untuk proyek infrastruktur serupa pembangunan jalan tol dan pelabuhan
berpretensi menyalahi undang-undang. Ia mengatakan Undang-
Undang No.34/2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji menyebutkan
dana haji harus diprioritaskan untuk kepentingan jamaah haji. Misalnya
untuk membangun pondokan bagi jamaah haji di Arab Saudi atau
membeli pesawat khusus haji. Ia percaya dengan begitu biaya
penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) yang ditanggung jamaah bisa
ditekan. “Banyak yang masih mahal dan fasilitas yang belum baik.
Investasi itu terutama harus ke sana, ke infrastruktur haji,” ujar
politikus Partai Gerindra. Ketua Komisi VIII dari Fraksi Partai Amanat
Nasional Ali Taher punya pendapat senada. Ia curiga pemerintah ingin
memanfaatkan dana haji lantaran sudah kehabisan anggaran untuk
membiayai sejumlah proyek ambisius di bidang infrastruktur. Sebab
menurut dia dana haji mestinya diinvestasikan ke sektor-sektor
syariah. “PAN sejak awal sudah bulat menolak investasi yang ingin
dilakukan pemerintah,” kata Ali mengenai sikap partainya. Sementara
Hamka Haq, anggota Komisi VIII Fraksi PDI Perjuangan membantah
anggapan bahwa pemerintah sedang memanfaatkan dana haji untuk
mengatasi defisit anggaran pembangunan. Menurutnya, nilai total dana
haji yang terkumpul sekarang sangat kecil dibandingkan APBN yang
dikelola pemerintah. “Dananya (haji) tidak seberapa. Cuma Rp 80
triliun. APBN kita saja ribuan triliun,” kata Hamka. Hamka menyangka
banyak orang tidak memahami niat baik pemerintah. Ia percaya proyek
infrastruktur seperti membangun jalan tol dan pelabuhan justru bisa
membuat dana haji lebih berfaedah. Sebab proyek-proyek tersebut

65
https://tirto.id/kontroversi-investasi-dana-haji-faedah-atau-salah-kaprah-ctGn
188 Politik Ekonomi Islam...

relatif bisa menghasilkan keuntungan cepat dan berlipat yang bisa


digunakan untuk mensubsidi BPIH jemaah. “Daripada dananya
puluhan tahun mengendap begitu saja,” ujar Hamka.
Hamka menilai saran pemerintah agar dana haji dimanfaatkan
untuk membangun infrastruktur justru perlu didukung. Tidak perlu
ada dikotomi antara investasi di bidang infrastruktur umum maupun
syariah. Sebab menurutnya, mayoritas penduduk Indonesia adalah
muslim. Merekalah pihak yang banyak menikmati hasil dari pelbagai
proyek infrastruktur yang ada. “Kalau kita membangun bangsa ini, itu
untuk umat juga,” kata Ketua DPP PDI Perjuangan ini. Seperti halnya
Hamka, anggota DPR Komisi VIII dari Fraksi PKB Maman Imanulhaq
menyatakan penggunaan dana haji untuk infrastruktur bukanlah
sebuah masalah. Karena, menurutnya saat jamaah haji menyerahkan
dana haji telah ada akad wakalah yang memungkinkan BPKH untuk
mengelolanya. “Itu kan saat penyerahan setoran jamaah sudah menanda-
tangani akad wakalah. BPKH berhak mengelola itu,” kata Maman.
Meski begitu, menurut Maman, penggunaan dana tersebut mesti
dilakukan dengan cermat dan disertai pengawasan. “Agar tidak ada
penyelewengan,” ujar Maman Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat
Zulkifli Hasan mengingatkan pemerintah tidak gegabah dalam
mengelola dana haji. Ia berpandangan kendati saat ini sudah ada BPKH,
akan tetapi tidak serta merta suara masyarakat ditinggalkan. Pemerintah,
kata Zulkifli, perlu mendengar suara dari ormas-ormas besar Islam di
Indonesia. “Bisa dengan majelis ulama, NU, dengarkan Muhammadiyah,”
kata Zulkifli. Ketua PBNU Masdar F. Mas’udi tidak melihat ada
persoalan dari usul pemerintah agar dana haji diinvestasikan ke proyek
infrastruktur. Asalkan, kata Masdar, pemerintah memenuhi ketentuan
yang disyaratkan oleh undang-undang. “Enggak masalah, menurut
saya. Yang penting ketentuan yang berlaku terkait hal itu dipenuhi
dan pada saatnya uang dipakai atau dibutuhkan, tersedia,” kata
Masdar. Sekretaris Jendral PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti belum mau
berkomentar. “Belum ada keputusan di PP Muhammadiyah,” kata
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 189

Mu’ti. Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan secara


prinsip dana haji boleh dikelola untuk hal-hal produktif.
Asalkan pengelolaan dana tersebut memenuhi lima persyaratan
yang mengacu pada aturan fiqih dan konstitusi. Selain itu, pengelolaan
dana haji juga mesti mendapat persetujuan DPR. Hal ini menurutnya
sejalan dengan UU No.34/2014. “Lima syarat boleh tidaknya investasi
yang dipilih nantinya yakni berprinsip syariah, penuh kehati-hatian,
lalu harus aman atau tidak berisiko rugi, ada nilai manfaat yang
dihasilkan sesuai ketentuan undang-undang dan juga memberi nilai
manfaat untuk jamaah calon haji sendiri,” kata mantan Sekretaris
Jendral DPP PPP ini dilansir Antara. Bagi Menteri Perencanaan
Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Pembangunan Nasional
(Bappenas) Bambang Brodjonegoro, dana haji memang seyogyanya
dimanfaatkan untuk investasi seperti infrastruktur dan sukuk. Hal ini
sebagai antisipasi menurunnya nilai mata uang dari tahun ke tahun.
“Akibatnya, nilai riil turun terus nanti setelah 10 tahun. Naik haji,
nilainya sudah jauh dari nilai yang ditaruh di awal. Karena itu
pengelolaan dana haji harus dilakukan dengan investasi yang baik, dan
ritme yang cukup,” ujar Bambang. Kendati demikian, Bambang
mengatakan semua transaksi dana haji haruslah dikelola secara syariah.
“Sehingga ketika melakukan investasi, pasti harus ada fatwa atau
rekomendasi dari DSN dan OJK (Otoritas Jasa Keuangan). Menurut
saya sudah clear, investasi jalan setelah ada fatwa tersebut,” kata
Bambang lagi.”66 Walaupun demikian perjalanan mengenai pro kontra
ini menjelaskan tujuan dan manfaatnya bagi setiap umat Islam yang
ada di Indonesia. Mereka merasakan perkembangan dalam hal
infrastruktur melalui andil mereka atas dana haji, hal ini menjelaskan
kepada kita semua bahwa dana dari umat yang menjalankan haji
seyogyanya digunakan untuk kepentingan dan kemaslahatan bersama,
sehingga alur dana yang diberikan terlihat jelas untuk pembangunan
negeri. Tak hanya itu, sistem ekonomi Islam makin bersinar ketika
66
https://tirto.id/kontroversi-investasi-dana-haji-faedah-atau-salah-kaprah-ctGn
190 Politik Ekonomi Islam...

beberapa lembaga Islam mengumpulkan dana zakat, infak dan sedekah


dari masyarakat berpunya yang bersimpati untuk kemudian disalurkan
kepada masyarakat yang membutuhkan.
Dana-dana ini dikelola dan disalurkan oleh tenaga-tenaga muda
yang amanah dan professional untuk bantuan kemanusiaan pada
korban bencana alam dan kelaparan seperti pendidikan, kesehatan
serta bantuan yang sifatnya caritas. Sejak saat itu, beberapa lembaga
yang menamakan dirinya sebagai lembaga zakat mulai bermunculan
bak cendawan di musim hujan dan bekerjasebagai pengelola zakat
(amil ) tak lagi dipandang sebelah mata. Puncaknya, pemerintah
kemudian mengakui keberadaan mereka (lembaga pengelola zakat, baik
Badan Amil Zakat maupun Lembaga Amil Zakat) melalui seperangkat
peraturan yang terkodifikasi dalamUndang-Undang Nomor 38 tahun
1999 tentang Pengelolaan Zakat setelah mendapat desakan masyarakat.
Setelah melalui perjalanan dan perjuangan yang panjang, umat Islam
akhirnya mampu memosisikan zakat dari wacana fikih ke wacana
hukum nasional, dalam arti zakat masuk dalam tata perundang-
undangan negara. Disamping dana haji, zakat juga mengambil bagian
untuk memberdayakan perekonomian di Indonesia.
Islam sebagai Ad-dyn menawarkan beberapa doktrin bagi
manusia yang berlaku secara universal dengan dua ciri dimensi, yaitu
kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di dunia serta kebahagiaan dan
kesejahteraan hidup di akhirat. Problem kemiskinan makin hari makin
mengemuka di berbagai daerah di Indonesia sebagai akibat dari keter-
purukan ekonomi bangsa yang berkepanjangan.1 Untuk mengatasi
masalah kemiskina Allah SWT menurunkan syari’at berupa zakat yang
ditujukan kepada umat Islam yang mampu agar memiliki kepedulian
terhadap orang-orang yang disebutkan dalam surat at- Taubah 9:103
yang memiliki arti : Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan
zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah
untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman
jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 191

Zakat adalah salah rukun Islam yang wajib dipenuhi oleh semua
muslim. Zakat dalam pelaksanaannya harus ditetapkan dan diatur oleh
agama dan negara. Prinsip zakat meliputi dasar-dasar yang sangat luas
yakni zakat adalah kewajiban untuk melaksanakan tugas ekonomi
dalam hal ini agar menghindarkan penumpukan kekayaan pada
sekelompok kecil orang kaya, dalam segi sosial zakat memungkinkan
pelaksanaan tanggung jawab orang-orang kaya untuk membantu para
mustahik dan dapat memenuhi kebutuhan mereka, serta tanggung
jawab moral yang menyebabkan zakat dapat mensucikan harta yang
dimiliki agar hartanya diridhai oleh Allah SWT.
Zakat dan pajak merupakan dua instrumen fiskal yang dapat
diterapkan oleh pemerintah sebagai upaya pendanaan pembangunan
negara, terlepas dari khilafiyah pendapat ada yang diantara para ulama
dan ekonom muslim. Zakat sebagai pengurang pajak penghasilan dapat
berpengaruh terhadap makro ekonomi, antara lain berpengaruh
terhadap tingkat konsumsi agregat dari masyarakat, tingkat tabungan,
dan tingkat investasi. Selain itu zakat akan lebih optimal jika mampu
sebagai pengurang pajak penghasilan dan bukan sekedar pengurang
penghasilan kena pajak, berdasarkan simulasi perhitungan yang
dilakukan memperlihatkan bahwa zakat sebagai pengurang pajak
penghasilan mampu memberikan pengaruh yang lebih luas di dalam
perekonomian dibandingkan dengan hanya sebagai pengurang
penghasilan kena pajak.67
Zakat dapat dijadikan sebagai salah satu bentuk modal bagi usaha
kecil. Dengan demikian, zakat memiliki pengaruh yang sangat besar
dalam berbagai hal kehidupan umat, di antaranya adalah pengaruh
dalam bidang ekonomi. Pengaruh zakat yang lainnya adalah terjadinya
pembagian pendapatan secara adil kepada masyarakat Islam. Dengan
kata lain, pengelolaan zakat secara profesional dan produktif dapat
ikut membantu perekonomian masyarakat lemah dan membantu
67
M, Nur Riyanto/ Optimalisasi Peran Zakat dalam Memberdayakan Perekonomian Umat
Islam / Jurnal Ulul Albab Vol.14 No.1 Juni 2013 h.14
192 Politik Ekonomi Islam...

pemerintah dalam meningkatkan perekonomian negara, yaitu


terberdayanya ekonomi umat sesuai dengan misi-misi yang diembannya.
Diantara misi-misi tersebut adalah 1.) Misi pembangunan ekonomi dan
bisnis yang berpedoman pada ukuran ekonomi dan bisnis yang lazim
dan bersifat universal. 2.) Misi pelaksanaan etika bisnis dan hukum;
3.) Misi membangun kekuatan ekonomi untuk Islam, sehingga menjadi
sumber dana pendukung dakwah Islam.68
Agar program zakat produktif dapat berjalan dengan efektif dan
terjadi peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin secara signifikan,
diperlukan upaya dari seluruh umat Islam baik pemerintah, badan amil
zakat, masyarakat di Indonesia, dalam mengembangkan zakat sesuai
dengan potensinya, sehingga zakat dapat dimanfaatkan sesuai dengan
fungsinya. Disamping itu, agar efektif dapat mencapai tujuan dalam
meningkatkan kemandirian usaha mustahik, diperlukan program yang
tepat sasaran dan berdaya guna dengan salah satunya melakukan
pendampingan dalam mengelola dana bagi yang membutuhkan,
sehingga dana yang dialokasikan kepada mustahik pada akhirnya akan
meningkatkan kesejehteraannya dan membawanya keluar dari
kemiskinan.69 Tujuan zakat antara lain mengentaskan kemiskinan,
zakat yang dikelola oleh amil zakat mampu mengurangi kemiskinan,
sehingga jika dilihat dari sisi kedalaman tingkat kemiskinan zakat
dianggap mampu mengurangi beban orang miskin, contoh kecilnya
yaitu ketika si miskin bekerja sebagai buruh kasar dan tertimpa musibah
seperti halnya jatuh sakit, maka zakat yang membiayai pengobatannya,
sehingga ia tidak perlu lagi untuk mengeluarkan uang hasil pekerjaannya
untuk biaya perobatan.
Tata kelola zakat harus menjawab kebutuhan umat. Sehingga
dapat membangun kepercayaan masyarakat. Pernyataan tersebut

68
Muhammad dan Ridwan Mas ud.2005. Zakat dan Kemiskinan Instrumen Pemberdayaan
Ekonomi Umat. (Yogyakarta: UII Press),
69
Yoghi, Citra Pratama/ Peran Zakat dalam Penanggulangan Kemiskinan/ The Journal of
Tauhidinomics Vol. 1 No. 1 2015 h.103
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 193

diungkapkan Direktur Pemberdayaan Zakat dan Wakaf Kementerian


Agama (Kemenag) Muhammad Fuad Nasar ditemui INDOPOS di sela-
sela peluncuran buku 50 tahun Bamus BNI dan Bamuis BNI Laz-Nas
modern pertama di Indonesia di Jakarta, Rabu (25/4). Menurut Fuad,
penghimpunan zakat secara nasional oleh Baznas telah melebihi angka
pertumbuhan ekonomi di Indonesia yang hanya 5 persen. Sementara
rata-rata pertumbuhan zakat mencapai 20 persen.” Ini fenomena
sangat baik sekali, seiring dengan pertumbuhan kelas menengah muslim
di Indonesia,” ujarnya. Pertumbuhan ini, dikatakan Fuad dipengaruhi
oleh upaya sosialisasi Baznas dan lembaga amil zakat (Laz) serta
dukungan dari pemerintah. Ia menambahkan, keberhasilan peng-
himpunan zakat oleh Baznas di daerah didukung oleh peran pemerintah
daerah. “Kami selalu mengingatkan kepada Kepala Daerah wajib
menjalankan UU tentang zakat. Ini penting, karena wujud kontribusi
masyarakat terhadap pembangunan menginginkan terwujudnya
kemakmuran dan mengatasi kemiskinan,” terangnya. Lebih jauh ia
menyebutkan, potensi zakat di Indonesia sebesar Rp.12,5 Trilliun.
Sementara target pemerintah dalam setiap tahun mampu terhimpun
zakat hingga Rp.8 Triliun. Jumlah itu menurutnya berasal dari seluruh
baznas dan Laz di Indonesia.” Potensi zakat tertinggi dari penghasilan
profesi, seperti karyawam, pegawai dan masyarakat,” katanya.70
Bank Indonesia berkomitmen untuk terus mendorong
perkembangan ekonomi syariah. Sebab, ekonomi syariah bisa menjadi
penyelamat ekonomi Indonesia misalnya melalui wakaf dan zakat
Kepala divisi pengembangan ekonomi dan keuangan syariah Bank
Indonesia Dadang Muljawan mengatakan zakat dan wakaf merupakan
pilar perkembangan ekonomi syariah. “Kalau keduanya bisa dikelola
dengan baik, akan bisa menggeliatkan perekonomian Indonesia,” kata
Dadang saat berdiskusi dengan awak media di gedung Bank Indonesia,
Kamis (26/3) Dalam hal wakaf, kata Dadang, Indonesia memiliki begitu

70
https://indopos.co.id/read/2018/04/25/136012/pertumbuhan-zakat-melebihi-pertumbuhan-
ekonomi-nasional
194 Politik Ekonomi Islam...

banyak aset yang bisa dimanfaatkan. Contohnya adalah tanah wakaf.


Dia mengatakan, berdasarkan data dari Badan Wakaf Indonesia, tanah
wakaf yang ada di Indonesia jumlahnya mencapai 3,7 miliar meter
persegi. “Kebanyakan tanah wakaf itu lahannya tidak dimanfaatkan.
Bayangkan bagaimana kalau lahan tersebut bisa dikelola untuk
kegiatan produktif,” ucap dia. Dadang menceritakan, BI belum lama
ini juga pernah dipertontonkan oleh BWI sebuah tayangan dari
pengelolaan tanah wakaf. Salah satunya untuk pembuatan sekolah di
sebuah daerah. Tanah wakaf yang dijadikan sekolah tersebut mampu
menampung ratusan siswa. “Ini kan sangat membantu sekali program
pemerintah dalam pengentasan kemiskinan,” ujarnya. Kemudian dari
segi zakat, BI mencoba mendorong Baznas (Badan Amil Zakat Nasional)
untuk membuat semacam model bisnis pengelolaan zakat untuk
menjangkau masyarakat kelas menengah bawah dengan dana murah.
Ini penting mengingat masalah pengentasan kemiskinan dari dulu
penyebabnya selalu sama. Yakni sulitnya mengangkat ekonomi
masyarakat bawah. Sebagai bentuk realisasi mendorong peran zakat
serta wakaf, BI akan menggelar pertemuan dengan Baznas, BWI, Dewan
Syariah Nasional, serta Majelis Ulama Indonesia pada 30 Maret di
Jakarta. Pertemuan itu akan membahas beberapa poin seperti
penyusunan skema pemanfaatan zakat, kajian keterhubungan dana
zakat dan wakaf untuk usaha mikro, serta edukasi dan sosialisasi
ekonomi dan keuangan syariah. “Intinya potensi dari dana zakat dan
wakaf bila dikelola dengan optimal dapat mendukung pembangunan
ekonomi yang lebih produktif dan berkualitas,” ucapnya.71
Pengoptimalisasian zakat terus dilakukan oleh pemerintahan
Indonesia guna pemerataan ekonomi terjadi pada setiap lapisan
masyarakat. Langkah yang dilakukan untuk itu perlu adanya reformasi
zakat sebagai akses untuk memberikan kemudahan dalam membayar
zakat. Dilansir dari laman Kompas.com Berdasarkan data Badan Amil

71
https://www.republika.co.id/berita/ekonomi/syariah-ekonomi/15/03/26/nltelb-zakat-dan-
wakaf-bisa-menjadi-penyelamat-ekonomi-indonesia
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 195

Zakat Nasional (Baznas), potensi zakat di Indonesia sekitar Rp 217


triliun atau setara 18 miliar dolar AS per tahun. Namun karena
keterbatasan pengetahuan pemberi zakat dan pengelolaan yang tidak
optimal, jumlah zakat yang dikumpulkan tak mencapai 2 persen. Dia
mengatakan, jika mekanisme pembayaran zakat lebih mudah, maka
akan semakin banyak masyarakat yang membayar zakat. “Yang paling
penting, orang yang kasih zakat, mereka tahu uangnya untuk siapa dan
uangnya dipakai untuk apa. Jadi harus ada transparansi dari pengelola
zakat,” kata Bambang. Bambang memperkirakan, nantinya masyarakat
akan menuntut untuk mengetahui penyaluran zakat yang telah
dibayarkan. Pemerintah, lanjut dia, menginginkan zakat dapat
mendukung kegiatan-kegiatan yang sebelumnya sudah dicover oleh
APBN. Nantinya pemerintah akan terus berkoordinasi dengan lembaga
pengumpul zakat, seperti Baznas. Kemudian KNKS yang dipimpin oleh
Presiden Republik Indonesia Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf
Kalla yang akan menyatukan antara pemerintah dengan regulator,
seperti Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Majelis
Ulama Indonesia. “Kalau kita menolong orang, akan lebih baik
menolongnya lebih dari 1 pihak, idealnya dari APBN pemerintah dan
zakat masyarakat,” kata Bambang. Dengan demikian, lanjut dia,
kemiskinan akan semakin cepat teratasi. “Kalau misalnya untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat sekian ratus ribu rupiah per bulan,
dia dapat rutin bantuan dari pemerintah ditambah zakat dari
masyarakat, kemiskinan akan lebih cepat berkurang. Dibanding kalau
kita bergantung APBN dari tahun ke tahun.”72
Zakat dapat berfungsi sebagai salah satu sumber dana sosial-
ekonomi bagi umat Islam. Artinya pendayagunaan zakat yang dikelola
oleh Badan Amil Zakat tidak hanya terbatas pada kegiatan- kegiatan
tertentu saja yang berdasarkan pada orientasi konvensional, tetapi
dapat pula dimanfaatkan untuk kegiatan- kegiatan ekonomi umat,

72
https://ekonomi.kompas.com/read/2017/08/24/203000926/pemerintah-dorong-reformasi-
zakat-
196 Politik Ekonomi Islam...

seperti dalam program pengentasan kemiskinan dan pengangguran


dengan memberikan zakat produktif kepada mereka yang memerlukan
sebagai modal usaha. Zakat memiliki peranan yang sangat strategis
dalam upaya pengentasan kemiskinan atau pembangunan ekonomi.
Berbeda dengan sumber keuangan untuk pembangunan yang lain, zakat
tidak memiliki dampak balik apapun kecuali ridha dan mengharap
pahala dari sisi Allah SWT semata. Namun demikian, bukan berarti
mekanisme zakat tidak ada sistem kontrolnya. Nilai strategis zakat
dapat dilihat melalui: Pertama, zakat merupakan perintah agama. Ia
merupakan cerminan dari keimanan seseorang. Kedua, sumber
keuangan zakat tidak akan pernah berhenti. Artinya orang yang
membayar zakat, tidak akan pernah habis dan yang telah membayar
setiap tahun atau periode waktu yang lain akan terus membayar.ketiga,
zakat secara empirik dapat menghapus kesenjangan sosial dan sebaliknya
dapat menciptakan redistribusi aset dan pemerataan pembangunan.
Pengembangan zakat bersifat produktif dengan cara dijadikannya
dana zakat sebagai modal usaha, untuk pemberdayaan ekonomi
penerimanya, dan supaya fakir miskin dapat menjalankan atau
membiayai kehidupannya secara konsisten. Dengan dana zakat tersebut
fakir miskin akan mendapatkan penghasilan tetap, meningkatkan
usaha, mengembangkan usaha serta mereka dapat menyisihkan
penghasilannya untuk menabung.73 Dengan berkembangnya usaha kecil
menengah dengan modal berasal dari zakat akan menyerap tenaga
kerja. Hal ini berarti angka pengangguran bisa dikurangi, berkurangnya
angka pengangguran akan berdampak pada meningkatnya daya beli
masyarakat terhadap suatu produk barang ataupun jasa, meningkatnya
daya beli masyarakat akan diikuti oleh pertumbuhan produksi,
pertumbuhan sektor produksi inilah yang akan menjadi salah satu
indikator adanya pertumbuhan ekonomi.74
73
Adi, Isbandi Rukminto. 2002. Pemikiran-pemikiran dalam Pembangunan Kesejahteraan Sosial,
Jakarta: Lembaga Penerbit FE-UI
74
Milles Mattew B. dan Hubermen A. Machael, Analisa Data Kualitatif, Buku tentang Sumber
Metode-metode Baru, UI Press, Jakarta, 1992.
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 197

Zakat memiliki peran penting yang bisa dimainkan dalam


mengenali kemiskinan dan kelaparan yang secara umum lebih tinggi
yang bisa disaksikan di negara-negara dengan populasi Muslim yang
besar, dan sebagian besar terletak di Afrika dan Asia. Di beberapa negara
dengan mayoritas penduduk Muslim, organisasi negara didirikan untuk
mengumpulkan, menyalurkan dan menggunakan dana zakat. Enam
negara mayoritas Muslim memiliki sistem kewajiban yang diberlakukan,
di mana penduduknya wajib membayar zakat. Di sembilan negara
lainnya, pembagian zakat melalui organisasi resmi dilakukan secara
sukarela, sedangkan di 25 negara tidak ada sistem pemerintah yang
diberlakukan. Namun pada umumnya, zakat diberikan secara pribadi
dari satu individu ke individu lain. Banyak umat Muslim memberikan
zakat pada perorangan—pada kenalan yang miskin, misalnya— karena
dampak dari pemberian lebih nyata dan segera. Mereka memilih
pemberian perorangan dibanding dengan memberikan kontribusi
melalui organisasi besar karena mereka mungkin tidak yakin dana yang
disalurkan melalui organisasi akan mencapai mereka yang membutuh-
kan. Ketika seseorang memenuhi kewajiban membayar zakat, ia bisa
memurnikan kekayaannya. Meskipun tampaknya kekayaan berkurang
akibat pembayaran zakat, pada tingkat sosial hal ini membantu
perputaran kekayaan yang menguntungkan semua orang dengan
membangkitkan aktivitas ekonomi dan jaring pengaman sosial.
Telah muncul juga pengakuan bahwa memberi pada isu dan
tujuan yang lebih tinggi, seperti kemiskinan, dan bukannya pada
individu, mungkin bisa mencapai dampak yang lebih besar. Kontribusi
keuangan pada kenalan mungkin memberikan bantuan dengan segera,
tetapi itu hanya solusi sementara. Dampak jangka panjang pada
pengurangan kemiskinan membutuhkan pemberian keterampilan yang
tepat pada masyarakat untuk membuka pintu pada berbagai
kesempatan. Memberikan kontribusi zakat melalui lembaga resmi bisa
mencapai lebih banyak orang, menargetkan orang dengan kebutuhan
198 Politik Ekonomi Islam...

paling besar dan menyediakan solusi berkelanjutan pada tantangan


pembangunan.75
Pendapatan dan pengeluaran dalam ranah ekonomi Islam salah
satunya diatur melalui mekanisme zakat. Pembaharuan zakat menjadi
penting untuk dilakukan, karena selama ini sebagian besar umat masih
memandang zakat sebagai ibadah yang terlepas kaitannya dengan
persoalan ekonomi dan sosial, maka saat ini zakat harus dipandang
sebagai sumber kekuatan ekonomi umat terutama di Indonesia
sehingga dapat dipergunakan untuk menyelesaikan berbagai
permasalah sosial yang ada di Indonesia. Dalam praktiknya zakat masih
kurang menyentuh masyarakat, tidak tepat pada sasarannya. Sebagi
upaya muwujudkan produktifitas dalam pengelolaan dana zakat, dana
hasil zakat dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan
lahir batin masyarakat. Esensi dari zakat sendiri adalah selain untuk
memenuhi kebutuhan konsumtifnya juga memenuhi segala kebutuhan
hidupnya termasuk pendidikan, tempat tinggal dan sandang mereka.
Dari sinilah pola pemberian zakat kepada para mustahik tidak hanya
bersifat konsumtif saja, namun dapat pula bersifat produktif.
Pendayagunaan zakat secara produktif yang pemahamannya
lebih kepada bagaimana cara atau metode menyampaikan dana zakat
kepada sasaran dalam pengertian yang luas, sesuai dengan tujuan
syariat dan tepat pada sasaran. Berdasarkan pemaparan di atas, maka
dapat dilihat bahwa keberadaan bank syariah khususnya di Indonesia
merupakan wujud dari adanya system ekonomi Islam yang diterapkan
di Indonesia. Ekonomi Islam yang terwujud dalam wadah bank
Muamalah pertama kali muncul pada tahun 1992. Namun, secara
historis penerapan nilai-nilai Islam dalam kegiatan bermuamalah telah
diterapkan oleh sekelompok masyarakat Indonesai yang tergabung
dalam sebuah lembaga bernama Sarikat Dagang Islam.Bank syariah
terus mengalami kemajuan.Meskipun demikian, perkembangan bank

75
http://www.id.undp.org/content/dam/indonesia/2017/doc/INS-Zakat-Indonesian.pdf
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 199

syariah di Indonesia itu sendiri semakin meningkat ketika telah


ditetapkannya beberapa Undang-Undang yang mengatur tentang
keberadaan bank syariah.Dengan adanya undang-undang tersebut,
maka bank syariah di Indonesia telah memiliki kekuatan hukum. Selain
itu, keadaan demikian juga menjadikan bank syariah di Indonesia
berkontribusi besar dalam penyelenggaraan pembangunan di Indone-
sia, baik pembangunan yang bersifat mikro maupun pembangunan yang
bersifat makro.
Hal tersebut dapat dilihat dari semakin berkembangnya ranah
dan cakupan dari ekonomi syariah yang tidak hanya terwujud dalam
bentuk bank-bank syariah, melainkan lembaga-lembaga keuangan
syariah lainnya, salah satunya adalah asuransi syariah yang juga
berperan besar dalam mewujudkan pembangunan makro di Indonesia.
Fakta-fakta tersebut merupakan indikator bahwa landscape
pembangunan ekonomi Islam di Indonesia terus mengarah kepada
perkembangan yang signifikan dan berkontribusi besar dalam
pembangunan di Indonesia.
BAB V
PENUTUP

K
ajian ini mencoba menggali terkait keikutsertaan dan peran
dari nilai-nilai agama dan tokoh agama dalam proses
pembangunan bangsa, secara eksplisit di dalam bidang
pembangunan ekonomi. Adanya keikutsertaan dan peran besar nilai-
nilai agama dan tokoh agama dalam pembangunan bangsa dilakukan
beriringan dengan adanya inisiatif dari pemerinatah yang menjadikan
revolusi mental sebagai gerakan perubahan dalam berbagai aspek
kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal tersebut tercermin dari
adanya kaitan antara nilai-nilai esensial revolusi mental yang telah
diwujudkan dalam tiga nilai dasar fundamental, yaitu integritas, etos
kerja, dan gotong royong, dengan nilai-nilai agama yang mendukung
terjadinya reorientasi pembangunan ekonomi.
Adanya keikutsertaan nilai-nilai agama dan peran tokoh agama
dalam proses menuju reorientasi pembangunan ekonomi yang
berkeadilan, berkepihakan terhadap kelompok-kelompok lemah, dan
berupaya menjadikan masyarakat lebih mandiri secara ekonomi,
berjalan seiringan dengan adanya gerakan revolusi mental yang
diagendakan sebagai perubahan.
Penyampaian nilai-nilai agama yang mendukung semangat
pembangunan kepada masyarakat, disampaikan melaui tokoh-tokoh
agama. Dalam hal inilah peran tokoh-tokoh agama sebagai penyampai
nilai-nilai agama yang mendukung semangat pembangunan yang telah
202 Politik Ekonomi Islam...

diinternalisasi, dan diinterpretasikan secara tepat dalam konteks yang


ada. Proses onterpretasi tersebut kemudian memiliki semangat ruh
pembangunan dan akhirnya mendorong terwujudnya umat yang lebih
produktif.
Mengkaitkan nilai agama dan peran tokoh agama dengan gerakan
revolusi mental yang bertujuan untuk reorientasi pembangunan
ekonomi, dalam kajian ini dapat disimpulkan dalam beberapa poin
penting, yaitu:
a. Selain memiliki sumber daya alam yang melimpah, Indonesia juga
memiliki sumber daya sosial yang besar. Sumber daya sosial tersebut
meliputi kekayaan kearifan budaya dan kekayaan nilai agama.
sumber daya sosial tersebut yang dapat menggerakkan semangat
dan energi pembangunan. Namun sangat disayangkan, bahwa nilai-
nilai kearifan dan nilai keagamaan belum sepenuhnya mendapatkan
daya dukung yang kuat untuk dapat berkontribusi dalam proses
pembangunan.
b. Tokoh agama di kalangan masyarakat Indonesia memiliki peran
penting. Hal tersebut dikarenakan cara berpikir masyarakat yang
masih membutuhkan aktor sosial yang bergerak dalam bidang
keagamaan. Dalam hal ini, tokoh-tokoh agama berperan sebagai
pemberi pemahaman terkait nilai-nilai agama terhadap umat
sekaligus sebagai agensi perubahan dalam menentukan arah dan
tujuan dari pesan dan ajaran agama yang disampaikan.
c. Nilai Agama Islam memiliki keterkaitan erat dengan kehadiran tokoh
agama. Hal tersebut jelas terjadi karena agama sebagai ajaran yang
memiliki nilai-nilai harus disampaikan oleh seorang tokoh-tokoh
agama yang memahami nilai-nilai tersebut. Dengan demikian, tokoh
agama dipercaya sebagai wakil Tuhan dalam menterjemahkan dan
menginternalisasikan nilai agama ke masyarakat atau umat. Nilai-
nilai agama yang selama ini banyak diproduksi oleh tokoh agama
cenderung lebih terfokus pada nilai yang berorientasi pada persoalan
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 203

eskatologis (akhirat), sementara nilai yang berorientasi pada wilayah


dunia mendapatkan porsi yang masih sedikit. Dengan demikian,
masalah ibadah ritualistik menjadi prioritas dalam berbagai pengajian,
khutbah, dan tema-tema di mimbar agama. Reaktualisasi peran
tokoh agama untuk memproduksi dan menterjemahkan nilai-nilai
agama dalam pembangunan yang memiliki keterkaitan dengan nilai-
nilai esensial revolusi mental seperti integritas, etos kerja dan gotong
royong lebih mendapatkan ruang yang lebih luas untuk disampaikan
di mimbar-mimbar agama. Selain itu, nilai agama, peran sentral
tokoh agama, dan nilai kearifan budaya juga menjadi modal sosial
yang perlu mendapatkan tempat yang luas untuk berkontribusi
dalam pembangunan.
d. Dalam proses pengintegrasian, internalisasi, dan aktualisasi nilai-
nilai agama Islam secara organisatoris dan sistematis, kehadira
lembaga keagamaan berperan sangat besar. Keberadaan lembaga
dan organisasi keagamaan dalam konteks masyarakat beragama di
indonesia merupakan bagian dari ciri khas semangat kolektivisme
umat yang memiliki visi dan misi yang sama. Selain itu, lembaga
agama juga merupakan tempat berkumpulnya para tokoh agama
dalam merumuskan berbagai gerakan secara kolektif. Visi, misi serta
tujuan tokoh agama terkait dengan program prioritas lembaga atau
organisasi merupakan pengejawantahan dari pikiran-pikiran tokoh
agama terkait umat. Oleh karena itu, menggeser paradigma lembaga
dan organisasi keagamaan ke arah paradigm dengan semangat
pembangunan yang tercermin dalam nilai-nilai esensial revolusi
mental menjadi hal yang sangat penting untuk dilakukan.
e. Reorientasi pembangunan ekonomi terfokus pada upaya perubahan
orientasi pembangunan ekonomi yang bertumpu pada angka
pertumbuhan sebagai indikator utama pembangunan. Adapun
pembangunan ekonomi yang sebenarnya harus terfokus dan
memberikan perhatian pada asas keadilan, pemerataan, dan
keberpihakan terhadap masyarakat lemah.
BIBLIOGRAFI

Buku
Amin Abdullah dkk.,Mencari Islam: Studi Islam dengan Berbagai
Pendekatan, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000
Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?, cet. I,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996
Adam Malik, Mengabdi Republik cetakan ke-2 angkatan 45, Jakarta:
Gunung Agung, 1984
Anthony Giddens, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern: Suatu
Analisis Karya Marx, Durkheim, dan Max Weber, terj.
Soeheba Kramadibrata, Jakarta: UI Press, 2009
Anthony Giddens, Teori Strukturasi: Dasar-Dasar Pembentukan
Struktur Sosial Masyarakat, terj. Maufur dan Daryatno,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010
Arief Budiman, “Kemiskinan, Pemiskinan, dan Peran Agama: Sebuah
Peta Pemikiran” dalam JB. Banawiratma, SJ., dkk. (ed.),
Iman, Ekonomi, dan Ekologi: Refleksi lintas Ilmu danLintas
Agama, Yogyakarta: Kanisius, 1996
Anwar Abbas, Bung Hatta dan Ekonomi Islam, Jakarta: Kompas Media
Nusantara, 2010
206 Politik Ekonomi Islam...

Ahmad M. Saefuddin, Studi Nilai-Nilai Sistem Ekonomi Islam,


(Jakarta: Media Da’wah, 1984
Ahmad Janan Asifudin, Etos Kerja Islami, Surakarta: Universitas
Muhammadiyah. 2004
Adi Sulistiyono dan Muhammad Rustamaji, Hukum Ekonomi Sebagai
Panglima, Sidoarjo: MasMedia Buana Pustaka, 2009
A. Singgih Basuki, Pemikiran Keagamaan A. Mukti Ali, Yogyakarta:
Suka Press, 2013
Alfathri Adlin (ed.), Resistensi Gaya Hidup: Teori dan Realitas,
Yogyakarta: Jalasutra, 2006
Arie Siswanto, Hukum Persaingan Usaha, Jakarta: Penerbit Ghalia
Indonesia, 2002
Ausaf Ahmad, “Economic Development in Islamic Development
Revisited”, dalam Development and Islam: Islamic
Perspectives on Islamic Development, New Delhi: Institute
of Objective Studies, 1998
Betty R. Scharf, The Sosiological Study of Religion. Terjemahan,
Jakarta: Kencana, 2004
B. Herry-Priyono, Anthony Giddens: Suatu Pengantar, Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia, 2002
Bagong Suyanto, Sosiologi Ekonomi: Kapitalisme dan Konsumsi di
Era Masyarakat Post-Modernisme, Jakarta: Kencana, 2013
Clifford Geetz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa,
terj. Aswab Mahasin, Jakarta: Pustaka Jaya, 1981
Clifford Geertz, Penjaja dan Raja: Perubahan Sosial dan Modernisasi
Ekonomi di Dua Kota Indonesia, terj. S. Supomo, Jakarta:
PT Gramedia, 1977
Clifford Geertz. Interpretation of Cultures. New York: Basic
Books,1973
Chariswardani Suryawati, Memahami Kemiskinan Secara
Multidimensional, (Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
(JMPK), Vol. 08, No. 03, Septermber 2005
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 207

Departemen Penerangan RI, Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi dengan


Tambahan Re-So-Pim Tahun Kemenangan Genta Suara
Revolusi, Surabaya: Pertjetakan Negara dan Pers
Nasional,1963
Deliar Noor, Pemikiran Politik di Negeri Barat, Jakarta: Rajawali, 1982
Deden Ridwan, M. Ali Mustofa, dan Ahmad Gaus, 2006, Metode
Penelitian Agama: Teori dan Praktik, Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2006
Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion (edisi Bahasa Indonesia),
akarta: Penerbit Al Qolam,2001
Daniel Dhakidae, Soekarno,Membongkar Sisi-sisi Hidup Putra Sang
Fajar, Jakarta: Kompas, 2013
Dadang Kahmad. Sosiologi Agama. Bandung: Pt. Remaja Rosdakarya,
2000
Depdikbud, Kamus Bahasa Indonesia, edisi kedua, Jakarta: Balai
Pustaka, 1994
David C. Korten, Getting to the 21st Century, Kumarian Press, 1990
Danah Zohar dan Ian Marshal “krisis Makna” dalam SQ: Kecerdasan
Spiritual, terj. Rahmani Astuti dkk, Bandung: Mizan Pustaka,
2007
Emili Durkheim, The Elementary Forms of The Religiuous Life:
Sejarah Bentuk-Bentuk Agama yang Paling Dasar, terj.
Inyiak Ridwan Muzir dan M Syukri, Yogyakarta: IRCidSoD,
2011
Edi suharto, Membangun Masyarakat Memberdayakakan Rakyat, Cet.
IV, Bandung : PT Refika Aditama, 2010
Francis Fukuyama, Trust: Kebijakan Sosial dan Penciptaan
Kemakmuran, Yogyakarta: Qalam, 1999
Goerge Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi: Dari Teori
Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir, terj.
Nurhadi, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2008
George Rtzer dan Barry Smart, Handbook Teori Sosial, terj. Imam
Muttaqien dkk., cet. II, Bandung, Penerbit Nusa Media, 2012
208 Politik Ekonomi Islam...

Gerald Meier, Leading Issues in Economic Development, Fifth Edition.


New York: Oxford University Press, 1989
Gregory Grossman, Sistem-Sistem Ekonomi, Jakarta: Bumi Aksara,
1984
H.A.R. Tilaar Perubahan sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik
Transformatif Untuk Indonesia, Jakarta: Grasindo, 2002
Heru Nugroho, Menimbulkan Ide-ide Kritis, cet. Ke-2, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2001
Hefni Zayn, Berbagai Pendekatan Memahami Islam,Yogyakarta:
pustaka pelajar 2012
Ihsan Ali Fauzi dan Syamsu Rizal Panggabean, Demokrasi dan
Kekecewaan, Jakarta: Paramadina, 2009
Iman Toto K Rahardjo dkk., Bung Karno dan Ekonomi Berdikari,
Jakarta: Gramedia, 2001
Johnson, Doyle Paul Teori Sosiologi Klasik dan Modern 1. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.1986
J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, Sosiologi: Teks Pengantar dan
Terapan, Jakarta: Kencana, 2007
Jim Ife & Frank Tesoriero, Community Development: Alternatif
Pengembangan Masyarakat Di Era Globalisasi, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2008
Jamaludin, Sejarah Sosial Islam di Lombok Tahun 1740-1935 (Studi
Kasus Terhadap Tuan Guru), ttt: Puslitbang Lektur dan
Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian
Agama RI, 2011
John Storey, Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop: Pengantar
Komprehensif Teori dan Metode, Jakarta: Jalasutra, 2007
Joachim Wach, Ilmu perbandingan Agama: Inti dan Bentuk
Pengalaman Kagamaan, Jakarta: Desantara, 1999
Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan
Etika, edisi kedua, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi, cet. VI
Bandung: Penerbit Mizan, 1993
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 209

Komaruddin Hidayat dan Muhamad Wahyuni Nafis, Agama Masa


Depan: Persepektif Filsafat Prennial, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2003
Keith Griffin, Alternative Strategies For Economic Development, New
York: St. Martin’s Press Ltd, 1989
Kosasih Taruna Sepandji, Konstitusi dan Kelembagaan
Negara,Bandung: Penerbit Universal,2000
Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, cet. ke-24,
Jakarta: Djambatan, 2004
Koentjaraningrat, Bunga Rampai: Kebudayaan, Mentalitas dan
Pembangunan, cet. ke-11, Jakarta: PT Gramedia, 1984
Koentjarningrat. Sejarah Teori Antropologi I. Universitas Indonesia
Press, 1987
Kudhori, Neoliberalisme Menumpas Petani, Yogyakarta: Resist Book,
2002
Musa Asy’arie, dkk., (ed.), Agama, Kebudayaan dan Pembangunan:
Menyongsong Era Industrialisasi, Yogyakarta: IAIN Sunan
Kalijaga Press, 1988
Musa Asy’arie, Etos Kerja dan Pemberdayaan Ekonomi Ummat
Yogyakarta: Lesfi, 1997
Mohammad Sidki Daeng Materu, Sejarah Pergerakan Nasional
Bangsa Indonesia, Jakarta: Gunung Agung, 1985
Muhammad Djakfar, Agama, Etika, dan Ekonomi: Wacana Menuju
Perkembangan Ekonomi Rabbaniyah, cet. 1, Malang: UIN
Malang Press, 2007
M.Dawam Raharjo , Gerakan Keagamaan dalam Penguatan Civil
Society, Jakarta : LSAF dan The Asia Foundation,1999
Mark S. Cladis, Emile Durkheim and Moral Education a Pluralistic
Society, New York: First Publish, 1998
Max Weber, Die Protestantische Ethik und der “Geist” des
Kapitalismus. diterjemahkan oleh Talcott Parson. 1959. The
Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, New York: Char
Les Scribner’s Son.(terjemahan Yusuf Priyasudiarja.. Etika
210 Politik Ekonomi Islam...

Protestan dan Semangat Kapitalisme. Surabaya: Pustaka


Promethea2002
Max Weber, Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme, Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 2006
Miftachul Huda, Pekerjaan Sosial dan Kesejahteraan Sosial,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008
Mubarok, Peta Keagamaan di Indonesia; Edisi II di 10 Provinsi,
Jakarta: Departemen Agama RI Badan Penelitian Dan
Pengembangan Agama Proyek Penelitian Agama 1994/ 1995
Mubyarto, Sistem dan Moral Ekonomi Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1994
Mubyarto, Ekonomi Rakyat dan Program IDT, Yogykarta: Aditya
Media, 1996
Mubyarto, Pengembangan Ekonomi Rakyat dan Penanggulangan
Kemiskinan, Jakarta: Kumpulan Karangan, 1996
M. Mas’oed, Politik, Birokrasi dan Pembangunan, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar Offset. 1997
M. Mashoed, Pemberdayaan masyarakat miskin: membuka kawasan
terisolasi, surabaya: Papyrus, 2004
Mulyanto Sumardi, dkk, Penelitan Agama: Masalah dan Pemikiran,
Jakarta: Sinar Harapan, 1982
Micahel P. Todaro, Economic Development, Fifth Edition, Longman
Group Ltd, 1997
Nanat Fatah Nasir, Etos Kerja Wirausahawan Muslim, cet. I Bandung:
Gunung Jati Press, 1999
Nurcholish Madjid, Fiqih Lintas Agama: Pembangun masyarakat
Inklusif Pluralis, Jakarta: Paramadina, 2004
Nasikun, Isu dan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan, Diktat Mata
Kuliah Magister Administrasi Publik, Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta. 2001
Neil Smelser, Toward Theory of Modernization, dalam Amitai Etzioni
dan Eva Etzioni (Ed), Social Change. New York: Basic Books,
1964
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 211

Owin Jarnasy. Keadilan, Pemberdayaan dan Penanggulangan


Kemiskinan, Jakarta: Belantika, 2004
Peter L Berger, Langit Suci: Agama Sebagai Realitas Sosial, terj.
Hartono, Jakarta: LP3ES, 1999
Philip H. Phenix, Realms of Meaning: A Philosophy of The Curriculum
for General Education, New York: McGraw-Hill Book
Company, 1994
Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan, terj. Alimandan, Jakarta:
Prenanda
Ronald Inglehart, Modernization and Postmodernizations: Cultural,
Economic and Political Change in 43 Societies, Princeton,
New Jersey: Princeton University Press, 1997
Sartono Kartodirdjo, “Beberapa Perspektif dalam Studi Revolusi
Prancis dan Revolusi Indonesia”, dalam Henri Chambert Loir
dan Hasan Muarif Ambary (ed) Panggung Sejarah, Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1999
Soerjono Soekanto, Beberapa Teori Sosiologi Tentang Struktur
Masyarakat, Jakarta: Rajawali, 1983
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar.Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1990
Semiarto Aji Purwanto (Editor): Revolusi Mental Sebagai Strategi
Kebudayaan: Bunga Rampai Seminar Kebudayaan tahun
2014, Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2015
Soedjatmoko, Etika Pembebasan, Pilihan Karangan Tentang: Agama,
Kebudayaan, Sejarah dan Ilmu Pengetahuan, Jakarta:
LP3ES, 1996
Sudjatmoko, Dimensi Manusia Dalam Pembangunan, Jakarta:
LP3ES, 1983
Sudjatmoko, “Ilmu-ilmu Kemanusiaan dan Masalah Pembangunan”
dalam Masyarakat dan Kebudayaan, Jakarta: Penerbit
Djembatan, 1988
212 Politik Ekonomi Islam...

Satjipto Raharjo, Hukum dan Perubahan Sosial: Suatu Tinjauan


Teoretis Serta Pengalaman-Pengalaman di Indonesia,
Yogyakarta: Genta Publishing, 2009
Sjafruddin Prawiranegara, Agama dan Ideologi dalam Pembangunan
Ekonomi dan Bangsa, Jakarta: Bulan Bintang, 1971
Sjamsuddin, Soekarno: Pemikiran Politik dan Kenyataan Praktek,
Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1993
T. Sumanugroho, Sistem Intervensi Kesejahteraan Sosial Cet-II;
Yogyakarta: PT. Harindita, 1987
Theda Skocpol, Negara dan Revolusi Sosial Suatu Analisis Komparatif
tentang Prancis, Rusia, dan Cina, Jakarta: Erlangga, 1991
Tan Malaka, Naar de “Republiek Indonesia” (Menuju Republik
Indonesia), Yayasan Massa, 1987
Taufik Abdullah (ed.), Agama, Etos Kerja dan Perkembangan
Ekonomi, Jakarta: LP3ES, 1979
Taufik Abdullah dan A.C. van Der Leeden (ed.), Durkheim dan
Pengantar Sosiologi Moralitas, Jakarta: Yayasan Obor, 1986
Thomas Ford Holt, Dictionary of Modern Sociology, New Jersey:
Littlefield, 1974
Tulus T.H. Tambunan, Perekonomian Indonesia: Era Orde Lama
Hingga Jokowi, Bogor: Ghalia Indonesia
Tjahya Supriatna, Birokrasi Pemberdayaan dan Pengentasan
Kemiskinan. Bandung: Humaniora Utama Press, 1997
Thomas F. O’Dea, Sosiologi Agama: Suatu Pengantar Awal, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 1995
Tukiran dkk., (ed.), Sumber Daya Manusia: Tantangan Masa Depan,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007
Uli Parulian Sihombing Dkk, Menggugat BAKORPAKEM Kajian
Hukum Terhadap Pengawasan Agama dan Kepercayaan di
Indonesia, Jakarta: The Indonesian Legal Resource Center
(ILRC), 2008
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 213

Umar Chapra, The Islamic Vision of Development in the Light of


Maqashid Al Shariah, Jeddah: Islamic Research and Training
Institute, 2008
Wawan Tunggul Alam, Demi Bangraku Pertentangan Sukarno Vs.
Hatta, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003
Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan
Aktualitas Pancasila, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
2011
Zulkarnain, Membangun Ekonomi Rakyat: Persepsi Tentang
Pemberdayaan, Yogyakarta: Adicipta, 2003

Jurnal, Media Cetak dan Internet


AgusSutisna:https://www.academia.edu/8922897/landasan_
ontologis_revolusi_mental_sang_presiden / 30 Juni 2015.
Amiya Kumar Bagchi, “The Past Development and The Future of the
Development State”, Journal of World-System Research,
Vol. XI, No. 2
Bappenas, artikel ekonomi rakyat dan kemiskinan, 2005.
Dokumen RPJMN, Bappenas, 2015-2019
Edi Junaedi, Menakar Komitmen Keberagamaan Umat, dikutip dari
http://bimasislam.kemenag.go.id/ post/opini/menakar-
komitmen-keberagamaan-umat, (diakses pada tangal 4 april
2014)
Eddy Lee K, “Changing approaches to Rural Development”, in Inter-
national Labour Review, Vol. 19, 1 Januari/Februari, 1980
Erman Rajagukguk, “Peranan Hukum di Indonesia, Menjaga Persatuan,
Memulihkan Ekonomi dan Memperluas Kesejahteraan
Sosial”, Pidato ilmiah disampaikan pada Dies Natalis dan
Peringatan Tahun Emas Universitas Indonesia, di Universitas
Indonesia Depok tahun 2000.
214 Politik Ekonomi Islam...

Hani Yuliawati, “Pemberdayaan Ekonomi Buruh Gendong Wanita”,


Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam Populis,
Yogyakarta:Fak. Dakwah UIN Suka, 2007
Haedar Nashir, “Memahami Strukturasi dalam Perspektif Sosiologi
Giddens” Jurnal Sosiologi Reflektif, Vol. 7, No. 1, Oktober
2012
Ignas Kleden, “Menerapkan Revolusi Mental”, Kolom Opini, Koran
harian Kompas, 25 September 2014.
Joko Widodo, ‘Revolusi Mental’ Kolom Opini, Koran harian Kompas,
Sabtu 10 Mei 2014.
Julian Hoppit, “The Nation, the State, and the First Industrial
Revolution,” Journal of British Studies, April 2011
Karlina Supelli, “Arti Revolusi Mental”, dalam laman Bayt al Hikmah
Institute, https://ahmadsamantho.wordpress.com/2014/
07/04/mengartikan-revolusi-mental/ 30 Juni 2015.
Khursid Ahmad, “Economic Development in an Islamic Framework”,
Studies Islamic economics, Jeddah, King Abdul Aziz
University, 1976
Majalah Revolusi Mental, vol. 1- Agustus 2015, Penerbit Pokja
Revolusi Mental Kementerian Koordinator Pembangunan
Manusia dan Kebudayaan RI, tahun 2005
Musa Asy’Arie, “Revolusi Mental yang Kian Tergores” Harian Kompas
edisi 31 Agustus 2015
Muana Nanga ‘Mencermati Pergeseran Dalam Paradigma
Pembangunan, dalam jurnal Meditek, Vol. 8, no. 21, Januari-
April 2000
Peter Bachrach dan Morton S. Baratz, “The Two Faces of Power”
American Political Science Power, Vol. 56, 1956.
Paulus Wirutomo, ‘Retorika Revolusi Mental’, Kolom Opini harian
Kompas, Rabu 29 April 2015.
Pieter P. Gero, “Frans Seda Memutar Haluan Ekonomi, “in Memoriam”,
Kompas, 11 Januari, 2010
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 215

Rosmiani, “Etos Kerja Nelayan Muslim di Desa Paluh Sebaji Deli


Serdang Sumatera Utara: Hubungan Antara Kualitas
‘lkhgfdzsfhkKeagamaan dengan Etos Kerja”, Thesis, Pada
Program Kerja bxdghjukl;’sama Pascasarjana Institut Agama
Islam Negeri Jakarta dan Pascasarjana UI Jakarta, 1996
Siti Rohmatul Fauziah, “Peran Tokoh Agama Dalam Masyarakat
Modern Menurut Anthony Giddens” Skripsi (Yogyakarta:
Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam
Sumantri, 2012 dalam http://www.setneg.go.id. Tidak bisa dipungkiri
bahwa peralihan dari sistem pemerintahan orde baru yang
lebih ototarian ke era reformasi yang lebih demokratis juga
memiliki sisi positif bagi masyarakat Indonesia.
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Peristiwa_10_November akses pada
tanggal 20 juli 2015.
Triguna, IBG Yudha. . “Memahami dan memfungsikan lingkungan
sosial-Budaya Sebagai Strategi Inovasi” makalah di UIN jogja,
14 september 2002.
INDEKS BUMD 50

D
Dawam Raharjo 39
demokrasi
A 11, 15, 17, 33, 38, 45,
74, 87, 109, 116
Agama Departemen Agama 109
2, 6, 18, 19, 22, 25, 28, 29,
32, 33, 34, E
35, 36, 37, 38, 52, 53, 56,
Ekonomi
64, 65, 66, 67, 99,
11, 13, 18, 25, 36, 39, 43,
106, 109,
45, 47, 62,
111, 113, 133, 143,
66, 69, 87, 88, 95,
144, 147, 150, 158, 161,
99, 105, 111, 113, 114, 115,
162, 163, 164,
117, 128, 130, 133, 136, 139,
165, 166, 167, 168,
140, 141, 155
169, 170
ekonomi
agama 99, 100
1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 9, 10,
Agamawan 105
11, 14, 15, 17, 18, 19, 20, 21
agamawan 1, 57
Emile Durkheim 13, 165
agensi
Etos Kerja
23, 108, 109, 112, 113, 158
22, 162, 165, 166, 167, 169
agent of change 68
Etos kerja 3, 110
Al-Quran 2
etos Kerja 110
al-Quran 128
etos kerja
Amin Abdullah 32, 33, 34, 161
1, 2, 4, 6, 11, 17, 21, 22,
antar umat beragama 52, 53
23, 24, 25, 27, 37, 41, 47,
APBN
58,
43, 132, 144, 146, 152, 153
67, 68, 84, 88, 105, 110,
B 113, 157

Bahasa 94 F
bahasa 5, 25, 68, 85, 94
Francis Fukuyama 40, 163
Budaya 87, 164, 170
Budha 53, 73
218 Politik Ekonomi Islam...

G L
gerakan sosial 26, 28 legislatif 129
Giddens 29, 30, 32, 108
M
H
masjid 25
Haidar Nasir 109 Masyarakat
Hindu 3, 27 26, 65, 66, 91, 92, 99, 122,
hindu 27 139, 162, 163, 164, 167,
169, 170
I masyarakat 1, 4, 7, 9, 11, 13,
14, 15,
Ideologi 94, 167
18, 21, 23, 25, 26, 27, 28,
ideologi 21, 28, 45, 53, 54, 55,
30,
56, 70, 107
32, 33, 34, 36, 37, 40, 41,
Integritas 17
42, 43, 47, 48, 49, 51, 52, 53,
integritas 113, 157
54, 55, 57, 58, 59, 60, 61, 63, 64,
Interpretasi 164
65, 67, 68, 69, 70, 71, 72,
interpretasi 6, 102, 103, 106, 108
73, 74, 75, 76, 77, 78,
K 79, 80,
81, 82, 83, 84, 85, 86, 87, 88, 89,
Kapitalisme 90, 92, 93, 94, 96, 98, 99,
2, 67, 100, 105, 161, 162, 165 100,
kapitalisme 102, 103, 104, 105, 106,
2, 19, 22, 45, 61, 100, 106, 115, 141 107, 108, 109, 110, 111,
Kebudayaan 112, 114,
38, 110, 164, 165, 167, 169 116, 117, 118, 119, 120,
kebudayaan 122, 129, 130, 133, 138,
14, 38, 39, 44, 47, 49, 140, 141,
82, 87, 99, 104, 110 142, 146, 148, 149,
kekerasan 33 150, 151, 152, 153,
Kekuasaan 12 154, 155,
kekuasaan 158, 159, 166, 170
10, 12, 28, 29, 30, 39, mayoritas
74, 80, 86, 94 38, 53, 54, 61, 65, 70,
khilafiyah 107 86, 117, 139, 153
komunikasi 92 Media 138, 139, 161, 162, 163,
konflik 14, 40, 42, 52, 53, 55 165, 168
Kristen 2 media 11, 25, 30, 110
kristen 64 media massa 11
media sosial 11
MENTALITAS 51
Dr. Muhammad Ramadhan, M.A 219

Mentalitas 81, 86, 90, 164 42, 43, 45


mentalitas , 46, 49, 50, 56, 65,
6, 7, 11, 15, 53, 54, 81, 66, 67, 68, 69, 71, 85,
82, 83, 84, 85, 86, 87, 88, 93, 94, 107 95, 96,
MUhammadiyah 147 97, 98, 99, 101, 102, 103, 104, 105,
Muhammadiyah 70, 147, 162 108, 111,
MUI 133, 138, 142, 143 113, 114, 116, 130,
Mukti Ali 54, 87, 88, 94, 162 136, 137, 150, 152, 155, 157, 158, 159
Pertumbuhan ekonomi 43, 136
N pertumbuhan ekonomi
Nilai Agama 22, 25, 32, 99, 158 38, 43, 46,
nilai agama 47, 87, 95, 96, 97, 119, 136, 138,
3, 4, 5, 6, 7, 19, 22, 157, 158, 159 150, 153
NKRI 52 Peter L. Berger 19
non Muslim 38 POLITIK EKONOMI ISLAM 95
NU 70, 147 Politik Ekonomi Islam 114, 128
politik ekonomi Islam
O 118, 130, 132, 133, 134
Produktif 17
orde baru produktif
43, 45, 46, 47, 54, 87, 99, 170 2, 4, 5, 14, 23, 40, 41,
Organisasi 70 43, 55, 58, 65, 75, 78, 82,
organisasi 97, 112, 120,
16, 23, 27, 51, 57, 64, 138, 150, 151, 152,
66, 69, 155, 158
70, 72, 73, 75, 76, 81,
89, 90, 153, 154, 159, 179 R
Orientasi pembangunan ekonomi
49, 50, 105 reformasi 11, 35, 43, 46, 47, 49,
orientasi pembangunan ekonomi 54, 73, 91, 152, 170
6, 50, 85, 102, 159 religiusitas 47, 68, 104, 106
Repelita 45
P Revolusi Mental
13, 14, 16, 17, 113, 167, 169
Pembangunan Ekonomi Revolusi mental
18, 39, 47, 6, 10, 14, 17, 94, 107
66, 95, 99, 105, 111, 113, 167 revolusi mental
Pembangunan ekonomi 4, 5, 6, 7, 11, 14,
1, 41, 46, 15, 16, 17, 85, 87, 108, 111, 112,
49, 66, 87, 97, 116 113, 114, 157, 158, 159
pembangunan ekonomi ruang publik 11
4, 5, 6, 7,
11, 19, 21, 22, 36, 37, 39, 41,
220 Politik Ekonomi Islam...

S U
Sistem sosial 40 UUD 1945 17, 50, 53, 104
sistem sosial 14, 29, 59, 67
Soedjatmoko W
16, 17, 47, 85, 87, 94, 167 Weber 2, 19, 20, 21, 22, 27, 37,
Soekarno 10, 44, 45, 163, 167 64, 67, 99, 100, 105, 161, 165
Sosiologi 34, 56, 162, 163, 164,
166, 167, 168, 169 Z
sosiologi
9, 13, 18, 28, 30, 34, 35, Zakat 149
62, 67, 88, 92 zakat
Sosiologi Ekonomi 162 116, 133, 141, 142, 148, 149
sosiologi ekonomi 92
Syariah 119, 121, 122, 128, 130,
132, 133, 134, 136, 137, 139,
140, 143, 152
syariah 115, 117, 118, 119, 120,
122, 123, 126, 127, 128,
129,
130, 131, 132, 133, 134, 136, 137,
138, 139,
140, 141, 143, 144,
146, 147, 148, 151, 152, 155

T
Taufik Abdullah 21, 167
The Protestant Ethic of Capitalism
19
Tokoh Agama
28, 32, 36, 66, 111, 113, 170
Tokoh agama
29, 30, 31, 68, 108, 158
tokoh Agama 37
tokoh agama 5, 6, 7, 18, 28, 30,
31, 32, 36, 66, 67, 68, 69,
102, 106, 107, 108, 109,
110,
111, 112, 113, 114, 157, 158, 159
Transformasi 25, 26, 28, 48
transformasi
6, 25, 26, 28, 30, 48, 74
TENTANG PENULIS

Muhammad Ramadhan lahir di Pematang,


3 Januari 1969 Kota Tanjungbalai. Sejak
mahasiswa sudah terlibat aktif di berbagai
organisasi ekstra dan intra kampus. Di tengah
aktifitas kampusnya beliau juga berkecimpung
di dunia entrepreneurship dan pernah menjabat
direktur PINBUK (Pusat Inkubasi Bisnis Usaha kecil) Provinsi
Sumatera Utara. Ia menamatkan program S1 di Fakultas Syari’ah IAIN
Sumatera Utara-Medan tahun 1996, program S2 pada Program
Pascasarjana IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, kemudian menyelesaikan
program S3 di Program Pascasarjana UIN Sumatera Utara Medan
tahun 2016.
Sejak 1998 menjadi dosen di UIN Sumatera Utara. Selain aktif
mengajar, ia merupakan editor beberapa karya buku di antaranya;
“Pergumulan Pemikiran Ekonomi Syari’ah di Indonesia” Cita Pustaka,
Bandung, 2007., dan “Pergumulan Pemikiran Syari’at Islam di
Indonesia; Wacana dan Aksi” Cita Pustaka, Bandung, 2007.
Selanjutnya, ia juga telah menulis buku “Kontestasi Agama dan Politik:
Menyemai Benih Kerukunan Antar Umat Beragama Pascakonflik”,
222 Politik Ekonomi Islam...

terbit di LKiS Yogyakarta tahun 2017. “Politik Ekonomi Islam dalam


narasi Pembangunan Nasional” terbit di LKiS Yogyakarta, 2018.
Beberapa artikel Ramadhan juga dipublikasi di jurnal antara lain;
“Fatwa And Political Development: Resistance To The Fatwa Of MUI
Medan on Istibdal Al-Masjid”. Islamic Law and Society, 12(1), 2017.,
“Politik Hukum Perbankan Syariah di Indonesia”. MIQOT: Jurnal
Ilmu-ilmu Keislaman, 40(2), “Jokowi’s Economic Policy and Islamic
Economics in Indonesia. International Journal on Language, Research
and Education Studies, 2(3), 358-368, 2018.
Kini, selain sebagai akademisi, Ramadhan juga diamanahkan
jabatan sebagai Wakil Rektor II UIN Sumatera Utara, sejak 2016. Ia
tinggal bersama Ibunda Nurmasnun dan Istri tercinta Julida Mas’udy
Hasyim, S.Ag dan anak-anak; Azka Rayyani, M. Adib Rabbani, Amiur
Sulthoni, Abigail Rizqani, Athhar Ramzani, di Kompleks Rumah dinas
UIN Sumatera Utara Medan Jl. Sutomo Medan.

Anda mungkin juga menyukai