Anda di halaman 1dari 13

Agama dan Ideologi

Karl Marx
Teori-teori Freud mengenai sihir dan agama, seperti sebagian besar teori psikologis yang dibahas pada
bab 3, memiliki kesulitan terbesar dalam berhadapan dengan ciri sosial dari praktek dan kepercayaan
religius. Meskipun demikian, teori Freud sering dibandingkan dengan salah satu teoretikus sosiologi
yang akan dibahas di sini, yaitu Karl Marx. Tentu saja terdapat persamaan di antara teori Freud dan Karl
Marx. Keduanya memandang agama sebagai suatu ilusi yang menenangkan dan membahagiakan, yang
pada akhirnya akan dibuang pada saat manusia tidak lagi membutuhkan ilusi tersebut. Keduanya pun
tidak memandang agama sebagai bagian utuh dari masyarakat manusia atau kehidupan itu sendiri, dan
keduanya dalam hal ini juga dapat dibedakan dengan para teoretikus fungsionalis yang akan dibahas
nanti. Namun, teori Marx secara esensial merupakan teori sosiologis, bukan psikologis. Agama bagi Marx
pada dasarnya merupakan produk dari masyarakat kelas. Gagasannya mengenai agama merupakan
baigan dari teori umumnya mengenai pengasingan dalam masyarakat yang dibagi berdasarkan kelas.
Agama dipandang sebagai hasil pengasingan dan juga suatu ekspresi dari kepentingan suatu kelas. Pada
saat yang bersamaan, agama merupakan alat manipulasi dan penindasan dari kelompok kelas bawah
dalam masyarakat, suatu ungkapan protes terhadap penindasan serta bentuk kepasrahan dan
penghiburan di hadapan penindasan. Menurut Marx, di dalam masyarakat pra-kelas, manusia
bergantung pada alam. Masyarakat primitive memiliki sedikit kendali atas alam dan sedikit pengetahuan
mengenai proses alami. Karenanya, mereka mencoba untuk memiliki kendali atas alam melalui cara
religius dan magis. Saat masyarakat memiliki pembagian kelas, manusia kembali berada pada posisi di
mana mereka tidak dapat mengendalikan kekuatan yang mempengaruhi mereka dan di mana
pengetahuan mereka tidak memadai. Dalam masyarakat kelas, tatanan sosial dipandang sebagai sesuatu
yang tetap dan teratur, yang mengendalikan dan menentukan perilaku manusia. Namun, tatanan sosial
tidak lain hanyalah tindakan dan perilaku anggota dari masyarakat itu sendiri. Pada kenyataanya,
tatanan sosial adalah buatan masyarakat, yang dijaga oleh tindakan masyarakat itu sendiri. Secara
singkat, dalam masyarakat, manusia diasingkan dan memiliki suatu pandangan yang membingungkan
mengenai realita. Produk manusia dipandang sebagai suatu ciptaan dari pengaruh eksternal. Mereka
menghadapi suatu realita independen yang lebih dianggap menentukan daripada ditentukan oleh
tindakan manusia1. Marx berpendapat bahwa Ludwig Feuerbach telah menunjukkan bahwa ciri-ciri dari
tuhan digambarkan melampaui manusia ke dalam suatu alam yang ajaib di mana, dalam suatu bentuk
yang dilebih-lebihkan, mereka (tuhan) dianggap memerintah suatu keberadaan yang independen dan
mengendalikan manusia melalui peritahnya. Marx menambahkan suatu pandangan bahwa orang Kristen
percaya bahwa Tuhan menciptakan manusia berdasarkan rupa dirinya sendiri, padahal sesungguhnya
manusialah yang menciptakan Tuhan berdasarkan rupa dirinya sendiri. Kekuasaan dan kekuatan
manusia digambarkan pada Tuhan yang muncul sebagai makhluk yang maha kuasa dan maha sempurna.
Karenanya, agama adalah suatu pembalikan dari situasi yang sesungguhnya karena merupakan hasil
pengasingan. Feuerbach telah menunjukkan sifat alami dari ilusi agama; langkah berikutnya adalah
untuk menunjukkan bagaimana ilusi ini dapat dipahami dalam hal struktur masyarakat. Contoh, Marx
berkata di dalam Theses on Feuerbach bahwa:
Feuerbach memulai dari fakta mengenai pengasingan diri religius, suatu duplikasi dunia
ke dalam suatu dunia religius yang imajiner dan dunia yang nyata. Karyanya memiliki
peran dalam pembubaran dunia religius menjadi dunia sekuler. Dia mengabaikan fakta
bahwa walau karyanya telah selesai, masih ada hal utama yang harus diselesaikan.
1

Dianggap menentukan tindakan manusia, daripada ditentukan oleh tindakan manusia.

Karena fakta bahwa dasar sekuler melepaskan dirinya dari dirinya sendiri dan menyusun
dirinya sendiri dalam awan sebagai suatu alam independen hanya dapat dijelaskan oleh
pembelahan dan kontradiksi dari dasar sekuler ini. Karenanya, hal tersebut harus
dipahami dalam kontradiksinya sendiri, dan kemudian dirombak dengan menghilangkan
semua kontradiksi.
(Marx dan Engels, 1957, hal. 63)
Maka, kritik terhadap agama merupakan kritik terhadap masyarakat yang menciptakan agama. Tidak
ada perlakuan sistematis terhadap agama dalam tulisan Marx. Apa yang dia harus katakan memiliki
banyak bagian yang tersebar di seluruh karyanya. Salah satu bagian yang paling ekstensif terdapat di
dalam karyanya Contribution to the Critique of Hegels Philosophy of Right yang memiliki bentuk yang
sangat padat dari seluruh pendekatannya kepada analisis agama. Hal berikut perlu dibaca sebelum
membahas elemen-elemennya:
Dasar dari kritik ireligius2 adalah: Manusia menciptakan agama, agama tidak
menciptakan manusia. Dalam kata lain, agama merupakan kesadaran diri dari manusia
yang telah atau belum menemukan jati dirinya, maupun yang telah kehilangan jati
dirinya. Tetapi manusia bukanlah makhluk abstrak yang berada di luar dunia. Manusia
adalah dunia dari manusia yaitu, negara dan masyarakat. Negara dan masyarakat
menciptakan agama, suatu kesadaran dunia terbalik3, karena mereka(negara dan
masyarakat) adalah suatu dunia terbalik. Agama adalah teori umum dari dunia tersebut,
termasuk ringkasan ensiklopediknya, logikanya dalam bentuk populer, point dhonneur4
spiritualistiknya, antusiasmeya, sanksi moralnya, penyempurnaannya yang khidmat,
dasar universalnya bagi pembenaran dan penghiburan. Agama merupakan realisasi
imajinatif5 mengenai esensi manusia karena esensi manusia tidak memiliki realita yang
nyata. Perlawanan terhadap agama merupakan perlawanan terhadap dunia lain, di
mana agama merupakan aroma spiritual.
Kesulitan religius6 pada waktu yang bersamaan adalah ekspresi dari dan protes
terhadap kesulitan yang nyata. Agama merupakan keluh kesah dari makhluk yang
tertindas, hati dari dunia yang tak berhati, sama seperti semangat dari situasi yang tak
bersemangat7. Agama adalah opium bagi orang-orang. Penghapusan agama sebagai
kebahagiaan yang tak nyata dari masyarakat diperlukan bagi kebahagiaan yang nyata.
Permintaan untuk menghapus ilusi dari kondisi tersebut adalah permintaan untuk
menghapuskan suatu kondisi yang memerlukan ilusi. Kritik terhadap agama terdapat
dalam embrio dari kritik terhadap kesengsaraan, lingkaran cahaya yang adalah agama.
Kritik telah memetik bunga imajiner dari rantai bukan agar manusia mengenakan rantai
tersebut tanpa fantasi apapun, tetapi agar manusia melepaskan rantai resbut dan
membuang bunga tersebut. Kritik terhadap agama menyadarkan manusia agar dia
2

Irreligious. Bisa berarti tidak beriman atau yang menentang agama.


Reversed world-consciousness
4
Point dhonneur. Secara literal: titik kehormatan. Oxford: suatu tindakan atau keadaan yang mempengaruhi
reputasi atau nurani seseorang.
5
Fantastic Realization. Bisa juga: kesadaran imajiner. Cek lagi.
6
Religious distress. Cek lagi
7
Spirit of spiritless situation. Bisa juga berarti: jiwa dari situasi yang tak berjiwa.
3

berpikir, bertindak, dan membentuk realitanya seperti seorang manusia yang telah
sadar dan berpikir, sehinga dia akan mengelilingi mataharinya yang nyata. Agama
hanyalah matahari palsu yang berputar di sekitar manusia selama manusia tersebut
tidak mengelilingi dirinya sendiri.
(ibid., hal. 37-8)
Maka, agama adalah suatu kesadaran dunia terbalik karena merupakan hasil dari dunia terbalik. Dalam
klaim tersebut, kita melihat pencirian agama sebagai ideologi. Bagi Marx, agama adalah bentuk pikiran
yang di dalamnya manusia dan keadaannya muncul terbalik seperti dalam suatu kamera obskura (ibid.,
hal. 66). Hal tersebut menjadi demikian karena dalam masyarakat yang dibagi berdasarkan kelas suatu
masyarakat yang di dalamnya kita memandang diri sendiri sebagai sesuatu yang ditentukan daripada
sebagai agen penentu, yang di dalamnya kita sangat ditentukan oleh wujud sosial kita ke suatu tingkat
segala hal berada dalam posisi terbalik. Engels menyatakan gagasan tersebut seperti berikut: Agama
hanyalah refleksi imajinatif dalam pikiran manusia mengenai kekuatan eksternal yang mengendalikan
kehidupan mereka, suatu refleksi di mana kekuatan duniawi mengambil bentuk kekuatan supranatural
(ibid., hal. 56).
Pada awalnya, kekuatan alamlah yang direfleksikan, tapi dengan kemunculan pembagian kelas,
kekuatan sosial menjadi supranatural. Saat Marx menyebutkan bahwa agama adalah teori umum dari
dunia terbalik, dia mengacu pada refleksi imajinatif yang melibatkan suatu penjelasan dan
penggambaran mengenai masyarakat serta sifatnya karena manusia dalam masyarkat yang seperti itu
tidak dapat mengerti atau melihat kebenaran yang sebenarnya. Namun, agama juga merupakan dasar
universal bagi penghiburan dan opium masyarakat. Implikas di sini adalah bahwa penghiburan apapun
yang dapat agama berikan kepada mereka yang menderita atau tertindas, penghiburan tersebut hanya
seperti obat yang memberikan bantuan yang singkat dan akan menumpulkan indera serta memiliki efek
samping yang buruk. Agama tidak member solusi nyata dan, pada kenyataannya, cenderung
menghalangi solusi nyata dengan membuat penderitaan serta penindasan menjadi dapat ditahan.
Agama memainkan perannya dalam membantu mengabadikan setiap keadaan yang menghasilkannya.
Agama mendorong kepasrahan daripada pencarian cara untuk mengubah dunia. Namun, agama lebih
dari sekedar kompensasi dan dasar universal dari pembenaran atas dunia terbalik, agama lebih dari
penjelasan mengenai dunia tersebut. Agama adalah suatu kekuatan yang mengesahkannya. Sesuatu
yang memberikan penghiburan dan menghasilkan kepasrahan juga digunakan untuk menyakinkan kelaskelas yang mendapatkan keuntungan dari perubahan, bahwa keadaan mereka tidak hanya pasti, tapi
juga ditakdirkan oleh otoritas yang lebih tinggi. Submisivitas dari kelas yang ditindas dicerminkan dalam
kepatuhannya terhadap perintah agama. Agama menawarkan kompensasi atas penderitaan kehidupan
dalam suatu kehidupan di masa depan, tapi kompensasi tersebut bersyarat pada penerimaan
ketidakadilan dalam kehidupan.
Namun, tidak hanya kelas tertindas yang religius. Anggota dari kelas yang berkuasa pun seringkali
menjadi religius. Agama bukan hanya sekedar alat manipulative untuk mengendalikan kelompok yang
ditindas dalam masyarakat. Sampai batas tertentu, agama dapat ditegakkan oleh kelas penguasa karena
secara sadar maupun tidak, agama dipandang sebagai kekuatan pengendalian sosial, tetapi dapat jika
diikuti karena kelas penguasa sendiri terasingkan kepada tingkat tertentu. Kebutuhan untuk mengambil
berbagai ukuran untuk menjaga hak istimewa membuat kelas ini memandang tatanan sosial sebagai
cara manusia telah memilih untuk mengatur dirinya sendiri dan dalam sifat berbagai hal. Dalam
persepsi mereka, tentu bukanlah bahwa hak istimewa sedang dijaga, tetapi bahwa tatanan dan
kestabian yang baik harus dijaga. Ketidaksetaraan, superioritas, dan subordinasi, perbedaan antara

penguasa dan yang dikuasali semuanya dipandang sebagai ciri masyarakat manusia yang tidak dapat
dihindari. Hal ini bukanlah sekedar suatu rasionalisasi.
Komitmen kepada gagasan tersebut dan pengesahan religius mereka berasal dari rasa takut kelas
penguasa akan kekacauan sosial dan ketergantungannya pada kekuatan yang nampak berada di luar
kendali mereka. Hal tersebut berasal dari rasa bahwa kelas tersebut harus melakukan apa yang harus
dilakukan demi kepentingan kestabilan dan tatanan sosial.
Marx juga mengemukakakn bahwa agama dapat menjadi suatu ungkapan protes terhadap penindasan
dan penderitaan yang dialami dalam masyarakat yang dibagi berdasarkan kelas, juga sesuatu yang
mendorong penerimaan bentuk masyarakat yang seperti itu. Namun, agama adalah bentuk protes yang
tidak dapat membantu kelas yang tertindas untuk mengatasi keadaan mereka suatu obat yang
meredakan, bukan menyembuhkan. Pengakuan bahwa agama adalah keluh kesah dari makhluk yang
tertindas dalam tulisan Marx telah menyebabkan suatu tradisi analisis mengenai gerakan agama
tertentu, khususnya pergerakan milenial8, sebagai suatu protes politik dan gerakan yang berdasarkan
kelas yang diungkapkan dalam istilah agama. Mereka dipandang sebagai gerakan sosialis sebelum
waktunya dan kemudian akan mengalami kegagalan. Pendekatan ini akan dibahas dalam bab
berikutnya, tapi satu hal yang harus diperhatikan di sini adalah bahwa, dalam memandang mereka
sebagai menggambarkan suatu kesadaran kelas yang baru mulai, hal tersebut nampak mengabaikan
penekanan Marx pada ciri agama yang seperti opium dan membingungkan.
Pada akhirnya, Marx berpendapat bahwa agama harus dihapus sebagai kebahagiaan palsu dari
masyarakat sebelum mereka dapat meraih kebahagiaan yang nyata. Namun, karena agama merupakan
produk kondisi sosial, agama tidak dapat dihapuskan kecuali dengan menghapuskan kondisi sosial
tersebut. Karenanya, institusi masyarakat komunis akan menghapus agama. Dalam suatu lingkungan
yang seperti itu, manusia akan mengendalikan masyarakatnya sendiri, daripada diatur olehnya,
pengasingan akan dapat diatasi, dan pandangan realita yang membingungkan tidak akan berlaku lagi.
Seprti Tylor, Frazer, dan Freud, Marx percaya bahwa agama tidak memiliki masa depan. Agma bukanlah
suatu kecenderungan sifat manusia yang inheren, tetapi produk dari situasi sosial tertentu. Marx
menyebutkan secara jelas dalam tesis ketujuh dari Feuerbach di mana dia berkata bahwa sentimen
religius sendiri adalah produk sosial dan individu yang abstrak berada dalam realita bagi bentuk
masyarakat tertentu (ibid., hal. 64).
Kritik Marx
Kritik besar pertama yang dapat dibuat dari pendekatan Marx terhadap agama, yang menyangkut soal
penciriannya mengenai agama sebagai ungkapan kepentingan kelas dan bentuk ideologi, berguna bagi
kelas yang berkuasa. Terdapat sedikit keraguan bahwa agama dapat dan telah digunakan dengan cara
seperti itu. Sesorang dapat berpendappat bahwa dalam masyarakat yang dibagi berdasarkan kelas,
agama akan digunakan seperti itu. Seperti yang Marx ungkapkan, gagasan dominan dalam segala masa,
secara umum merupakan gagasan dari kelas penguasa, termasuk gagasan religius yang cenderung
mengesahkan kedudukannya dan menghalangi penolakan kepadanya. Pemimpin dan organisasi agama
sering menempatkan diri mereka ke dalam situasi ini, menerima suatu aliansi dengan kekuatan sekuler
di mana pengesahan religius ditukar dengan dukungan negara dan bahkan monopoli yang didukung
negara dalam hal agama. Namun, pertanyaan yang tersisa adalah apakah agama dapat dikatakan
sebagai sesuatu yang ideologis dan manipulative atau apakah agama hanya digunakan dengan cara
seperti ini dalam beberapa keadaan. Karena suatu set kepercayaan dapat digunakan dengan tujuan
8

Millennial movements. Secara literal: gerakan seribu tahun.

tertentu, apakah ini berarti bahwa agama tidak lebih dari suatu alat untuk mendukung suatu tatanan
sosial tertentu? Kritik Marx berkata tidak. Marx sendiri yang mengatakan tidak. Jika agama secara
fundamental merupakan alat manipulasi, maka orang dapat melihatnya berasal dari kelas dominan
dalam masyarakat. Namun Marx, dalam melihat agama sebagai produk pengasingan, melihat bahwa
agama berasal dari mereka yang paling terasingkan, yaitu kelas bawah. Dia menekankan fungsi
kompensasinya dan fakta bahwa agama merupakan ungkapan protes.
Tentunya, agama dapat digunakan dalam tujuan ideologis. Namun, untuk mengatakan bahwa agama
dapat dijadikan alam manipulasi tidaklah menjelaskan agama itu sendiri, dibandingkan dengan berkata
bahwa seni atau drama dapat digunakan untuk tujuan ideologis, hal ini menjelaskan seni dan drama.
Penjelasan mengenai agama sebagai manipulasi ideologis hanya dapat menjelaskan mengapa agama
mengambil bentuk tertentu atau menerima penekanan dan interpretasi tertentu. Hal ini tidak
menjelaskan agama seperti demikian. Singkatnya, analisis agama dan ideologi sampai batas tertentu
memiliki masalah dalam kaitannya dengan pengasingan. Hal ini muncul dalam interpretasi Marx
mengenai agama sebagai suatu ungkapan protes dan cara legitimasi yang meredakan protes. Agama
dapat menjadi kedua hal tersebut dalam pandangan Marx, karena sebagai suatu ungkapan protes,
agama tidak memiliki dampak yang signifikan. Agama tidak menyebabkan perubahan keadaan yang
menciptakan agama itu sendiri, tapi pada kenyataannya cenderung menjaga keadaan itu sendiri. Dalam
memindahkan solusi ke dalam suatu bidang imajiner, agama tidak menimbulkan ancaman kepada status
quo, tetapi cenderung menopangnya dalam menyalurkan aspirasi melalui jalur yang aman. Hal ini
bukanlah suatu kedudukan yang sesuai untuk menerima kritik agama, tetapi secara dia-diam mengakui
bahwa agama secara fundamental berdasar dalam keadaan dari kelas bawah dan bahwa aspek ideologis
dari agama bersifat sekunder.
Hal ini meningkatkan kemungkinan, satu hal yang tidak pernah diakui oleh Marx dan Engels, bahwa
agama mungkin merupakan suatu yang lebih dari sekedar fantasi kompensasi yang seperti opium dan
memunculkan kepasrahan. Contoh, mungkinkah agama bukanlah suatu cara untuk menjaga suatu rasa
akan makna dan kehormatan di dalam kondisi yang sulit? Bagaimanapun juga, Marx tidak percaya
bahwa hal itu dapat terjadi di sebagian besar masyarakat kelas bagi kelas bawah untuk secara mendasar
mengubah keadaan mereka. Hal ini hanya dapat menjadi mungkin pada zaman kapitalisme akhir.
Kemudian, mengapa seeorang harus mengharapkan pandangan mengenai dunia yang ada menjadi
dunia yang tidak menerima status quo dan mencoba membuat orang beradaptasi serta menerima
keadaan mereka? Apakah seseorang menerima atau tidak bahwa terdapat suatu keadaan yang
membingungkan dalam pandangan dunia religius yang berasal dari suatu pengasingan, hal tersebut
tidak terjadi bahwa hal terebut hanyalah suatu kompensasi. Ada lebih banyak hal yang dapat terlibat di
dalamnya. Pendekatan Marxist cenderung mengabaikan banyak aspek agama, terlalu menyederhanakan
fenomena yang kompleks, dan membuat suatu generalisasi yang luas. Marx dan pengikutnya tidak
memperhatikan fakta bahwa agama mungkin adalah suatu usaha untuk berhadapan dengan pertanyaan
universal, sesuatu yang inheren dalam keadaan manusia, berkaitan dengan arti penderitaan, yaitu
kehidupan dan kematian. Ini adalah pertanyaan yang meningkatkan kepentingan kelas dan situasi sosial
tertentu. Implikasinya adalah bahwa hal tersebut hanya membuat masalah bagi orang di dalam
masyarakat suku, di mana mereka bergantung pada alam, dan bagi orang di dalam masyarakat yang
dibagi berdasarkan kelas. Di dalam masyarakat komunis, orang-orang tidak akan memikirkan pertanyaan
tersebut, tapi akan memperhatikan hal yang bersifat material sehingga agama akan berhenti tumbuh.
Namun, hal ini nampak tidak masuk akal bahwa upaya penghapusan masalah tersebut akan datang dari
organisasi kapitalis tertentu, yang berkaitan produksi oleh suatu institusi dari tatanan sosial dan
ekonomi yang berbeda, akan menghilangkan semua faktor dan kekuatan yang mendasari pandangan
religius dunia.

Mungkin Marx akan mengakui bahwa ada hal yang lebih tentang agama daripada pandangannya, yang
akan muncul jika hal tersebut diberitahukan kepada dia. Sampai pada batas tertentu, kesalahan dalam
pandangan Marx mengenai pertanyaan agama adalah salah satu kelalaian. Hal inilah yang dia buang dari
catatannya, karena menimbulkan masalah. Namun, Marx akan menawarkan suatu kritik agama dan
menganalisa aspek-aspeknya yang akan mempengaruhi tujuan utamanya, yaitu untuk menyediakan
kritik terhadap eksploitasi di dalam masyarakat kapitalis yang akan berpengaruh dalam keruntuhan
kapitalisme. Marx jarang menuluskan suatu minat akademik, tetapi secara umum dia memliki tujuan
politik. Hal ini tidak bermanfaat bagi semua tujuan untuk menganalisa segala aspek agama, tetapi akan
berguna dalam menghadapi segala hal yang menghalangi tujuan tersebut. Karenanya, Marx tidak
mencoba menghasilkan suatu analisis komprehensif mengenai agama (McKown, 1975; Plamenatz, 1975,
hal. 228). Namun, Marx memberi kesan bahwa apa yang dia katakan mengenai agama adalah esensi dari
analisisnya dan bahwa pandangannya bersifat kasar, memihak, sembrono, dan tidak cerdas.
Gagasan Marx mengenai agama juga dapat dipelajari dalam prediksi yang ada di dalamnya. Gagasan
tersebut mengimplikasikan bahwa seiring pertumbuhan kesadaran kelas, akan ada peninggalan agama
dan konsentrasi sebagian rakyat jelata pada bentuk aksi politis. Singkatnya, seseorang harus
mengantisipasi peningkatan sekulariasi, dan sekularisasi yang lebih besar di dalam masyarakat kapitalis
yang maju dan di antara rakyat jelata. Sebagian besar pengamat akan setuju bahwa ada suatu proses
sekularisasi dalam banyak negara. Namun, sekularisasi tidak berhubungan dekat dengan tingkat
kematangan kapitalisme yang diukur dengan tingkat kemajuan industri, ataupun dengan tingkat
kesadaran kelas dari proletariat industri yang diukur dengan dukungan bagi kelompok sayap kiri dan
partai komunis. Negara kapitalis yang paling maju, Amerika Serikat, menunjukan salah satu tingkat
terendah dari sekularisasi di antara negara-negara industri, setidaknya seperti yang diukur oleh
persatuan dan keanggotaan gereja, dan suatu tingkat rendah dalam kesadaran kelas. Masyarakat Eropa
telah menunjukkan kesadaran kelas yang lebih tinggi dan sekularisasi yang lebih ekstensif, tetapi dalam
berbagai tingkat yang tidak berhubungan dengan satu sama lain, maupun dengan tingkat industrialisasi.
Kesadaran kelas tidak jauh berbeda pada kasus-kasus tersebut. Juga, di dalam negara tertentu, gaya
hidup sekuler sering tidak terbatas pada kaum proletar, tapi meluas sampai ke seluruh masyarakat. Hal
ini menunjukkan bahwa hubungan religiositas, kesadaran kelas, dan tingkat industrialisasi lebih rumit
daripada yang diperkirakan teori Marxis, bahkan walaupun teori tersebut cocok dengan beberapa fakta
tersebut. Juga terdapat beberaa masalah, yang diabaikan di dalam generalisasi yang dibahas di atas,
yang berkaitan dengan apa yang dimaksud dengan sekularisasi dan bagaimana mengukurnya suatu
masalah yang tidak dapat dipelajari pada poin ini, tetapi akan dibahas pada bab berikutnya. Untuk
menggambarkan pendekatan Marxis dalam hal yang lebih substantif, bab berikutnya akan melhat pada
pendekatan Marxis dan lainnya kepada gerakan milenial.
Kedatangan milenium
PENGANTAR
Marx dan khususnya Engels, menerapkan gagasan mereka pada banyak aspek agama dan khususnya
pada analisis gerakan religius seperti Kekristenan awal dan gerakan milenial. Mereka tertarik pada
potensi gerakan tersebut dalam merubah dunia dan asosisasinya dengan pemberontakan dan revolusi
pada sebagian kaum yang tertindas dalam masyarakat. Pada bab ini, catatan mereka mengenai gerakan
milenial dari Abad Pertengahan dan cara gagasan mereka yang berkaitan dengan gerakan tersebut telah
dikembangkan oleh penulis-penulis baru yang akan dibahas dan diterapkan pada beragam fenomena
tersebut, baik secara historis maupun kontemporer.
Gerakan milenial adalah suatu fenomena yang sering terjadi di Dunia Ketiga dan negara berkembang
atau di masa lalu, hal ini mendapatkan perhatian lebih dari para antropolog dan ahli sejarah daripada

sosiolog. Terdapat dua jenis studi dalam literature mengenai gerakan milenial. Pertama, terdapat studi
historis yang menggunakan konsep dan pendekatan sosiologi, dan kedua, studi antropologi, yang banyak
didasari pada pengamatan dari sumber yang asli dan telah dapat mendokumentasikan keadaan
kemunculan pergerakan tersebut secara detail. Dua jenis studi ini cenderung menghasilkan suatu
interpretasi yang berbeda, tapi saling melengkapi. Jenis studi tersebut juga menyediakan suatu dasar
komparatif bagi perkembangan dan pengujian teori dari jenis pergerakan religius tersebut. Studi
tersebut tidak hanya menarik dalam studi itu sendiri, tapi juga merupakan suatu kepentingan teoretis.
Walau sebagian besar bagian dari gerakan ini cenderung hilang saat milenium yang dijanjikan gagal
tercapai, mereka berubah menjadi tradisi religius yang penting. Kekristenan dulunya adalah suatu
gerakan milenial pada fase awalnya dan dalam tradisi Kristen, suatu pengaruh milenial terus ada
sepanjang sejarahnya.
Gerakan milenial mengharapkan suatu perubahan total dari tatanan dunia yang ada sekarang. Terdapat
lima ciri utama dari pandangan milenial seperti bagaimana transformasi ini akan muncul dan juga
sifatnya. Cohn (1970) dan Talmon (1966) mengidentifikasi banyak ciri yang sama yang kemudian akan
bergabung menjadi suatu definisi. Gerakan milenial adalah gerakan religius yang mengharapkan suatu
keselamatan kolektif yang akan datang, total, terakhir, dan duniawi9 (ibid., hal. 166). Cohn
menghilangkan aspek terakhir10, tetapi menambahkan bahwa keselamatan ini akan hadir secara ajaib.
Dalam gerakan milenial, tatanan dunia sekarang diharapkan berubah kapanpun. Perubahan ini
diperkirakan terjadi dalam hitungan hari, minggu, ataupun bulan. Perubahan tersebut akan bersifat
sempurna dan total dan sering dianggap sebagai hasil dari malapetaka terakhir yang akan
menghancurkan tatana dunia sekarang. Suatu dunia sempurna akan hadir, dan di dalamnya, semua
orang akan dibebaskan dari segala masalah dan penderitaan. Perdamaian, keadilan, dan hal baik lainnya
akan muncul. Tidak akan ada kejahatan maupun kesedihan. Tidak akan ada perkembangan lagi karena
suatu dunia yang sempurna akan hadir dan dunia tersebut secara esensial tidak berbeda dari dunia
material yang ada; perbedaannya adalah tidak terdapat masalah dalam dunia sempurna tersebut. Ini
adalah keselamatan duniawi, bukan dari dunia lain. Para penganutnya tidak mencari jalan keluar dari
dunia ini, tetapi mencari suatu kehidupan yang sempurna di dalamnya. Pada akhirnya, milenium sering
dipandang sebagai sesuatu yang berlaku dalam seluruh masyarakat atau kelompok di dalamnya, hal ini
bersifat kolektif daripada individual. Ini adalah bentuk keselamatan kolektif.
Suatu ciri tambahan yang umum dan penting adalah peran utama dari seorang nabi atau pemimpun
yang telah mengalami penglihatan yang berkaitan dengan kedatangan milenium dan percaya bahwa dia
telah dipilih secara khusus untuk misinya. Kadang, sang nabi ini dipandang sebagai pahlawan kultural
yang kembali dari kematian atau suatu tokoh supranatural dalam bentuk manusia dalam masyarakat
suku, terkadang dianggap sebagai leluhur yang datang kembali. Dalam kasus ini, pergerakan tersebut
dapat dikatakan sebagai mesianis. Juga, (gerakan) mesianis adalah gerakan yang percaya bahwa saat
malapetaka terakhir terjadi, seorang pemimpin karismatik, ataupun pahlawan dari masa lampau, akan
muncul dan membawa peristiwa tersebut.
Ciri umum lainnya adalah tingkat emosi tinggi yang muncul. Gerakan ini sering bersifat histeris dan
menimbulkan kebahagiaan. Gerakan tersebut cenderung menyebar pada laju yang cepat dan
melibatkan mereka yang tunduk pada pengaruhnya, mereka yang seluruh kehidupannya terikat dengan
harapan milenial. Sering terdapat suatu pemutusan total dengan kehidupan yang lama. Semua
9

Imminent, total, ultimate, this-worldly


ultimate

10

moralitas, peraturan, norma, dan budaya yang lama akan ditinggalkan. Seringkali harapan milenial
sangatlah kuat sehingga orang-orang meninggalkan aktivitas produktif normal mereka. Mereka pun
bahkan dapat meninggalkan rumah dan ladang, dan dalam beberapa kasus, telah menghancurkan
barang-barang yang dimiliki dan ternak mereka karena percaya bahwa semua itu takkan dibutuhkan lagi.
Ciri umum lainnya adalah rasa bersalah yang dalam atau tanggung jawab atas keburukan yang dimiliki.
Di Melanesia, seringkali penduduk pribumi merasa bahwa segala petaka yang terjadi adalah hasil dari
kesalahan mereka sendiri. Mereka bisa saja tertipu, tapi hal ini bisa terjadi hanya karena mereka
memiliki gagasan dan perilaku yang bodoh ataupun salah. Milenium hadir saat seseorang menemukan
cara untuk membuat segalanya menjadi benar. Dalam pembahasannya mengenai Kekristenan awal,
Engels (Marx dan Engels, 1957) mengidentifikasikan suatu rasa bersalah dan tanggung jawab personal
yang sama akan penyakit 11di Kekaisaran Roma, yang diungkapkan dalam istilah dosa dan sifat pendosa
dari manusia yang dapat ditebus oleh kebaikan Tuhan dan pengorbanan dalam bentuk penyelamat
mesianis. Hal ini mengulang suatu tema yang mirip, yang sering nampak dalam pembahasan agama
suku, mengenai penderitaan dan asosiasinya dengan tanggung jawab pribadi atau dengan keadaan
hubungan moral dalam kelompok atau komunitas.
Hal ini membawa kita ke suatu pertanyaan mengenai keadaan mendasar yang menghasilkan dan
mendorong respon milenial. Sebagian besar penulis, mengenai pertanyaan ini, telah melihat suatu
hubungan yang sangat kuat antara mileanisme dengan perampasan dan penindasan. Karena hal
tersebut, biasanya ada suatu hubungan yang sangat dekat antara gerakan milenial dengan aspirasi
politik dari mereka yang terlibat di dalamnya. Karena alasan inilah, studi gerakan milenial telah terikat
dengan studi kemunculan kesadaran dan kegiatan politik di antara masyarakat dan strata sosial yang
sebelumnya belum menunjukkan suatu minat dalam aktivitas politik.
Sejumlah studi telah dilaksanakan dari suatu perspektif Marxis. Salah satu dari catatan paling awal
dalam istilah sosiologi mengenai ledakan milenial adalah tulisan milik Engel mengenai pergerakan yang
berpusat di sekitar Thomaz Muntz selama perang petani12 di German pada Abad Pertengahan (Engels,
1965). Jenis interpretasi ini memulai suatu tradisi panjang yang melihat gerakan milenial sebagai suatu
gerakan politik yang baru muncul dari permusuhan, penindasan, dan eksploitasi (antar) kelas.
Hobsbawm (1971) dan Worsley (1970) secara khusus telah berkontribusi dalam tradisi ini. Mereka
cenderung menekankan kontribusi postif dari milenialisme ke perkembangan gerakan politik realistis di
antara masyarakat kelas bawah. Namun, pandangan tersebut dapat dibedakan dengan pandangan
Marx. Dia melihat semua agama, dan mungkin gerakan milenial juga, bersifat seperti opium, imajiner,
dan cenderung menghalangi kemungkinan dari realisasi dari tujuan politik yang nyata, praktis, dan
konkrit.
Pendekatan yang lain menekankan suatu ciri yang irasional dan putus asa dari gerakan ini (Cohn, 1970).
Perbedaan di antara dua pendekatan in adalah yang satu melihat milenialisme sebagai suatu fenomena
sosial, sementara yang lainnya, walaupun mengakui pentingnya faktor sosial, melihatnya sebagai suatu
respon psikologis.
Seseorang dapat mempertimbangkan pendekatan Burridge (1969), yang menekankan faktor psikologis
sampai ke tingkat tertentu, sambil melihat pergerakan sebagai bagian dari transisi dari suatu set nilai

11
12

Malaise. Oxford: suatu rasa ketidaknyamanan, penyakit, atau kegelisahan yang tidak diketahui penyebabnya.
Peasant War. Kata peasant berarti petani. Cek lagi.

dan asumsi ke suatu set yang baru, dalam situasi sosial yang berubah secara radikal, seperti perpaduan
dari kedua pendekatan tersebut.
PANDANGAN MARX DAN ENGELS MENGENAI GERAKAN MILENIAL
Engels (1965) mencirikan peran dari Luther dalam Reformasi Jerman sebagai orang pertama yang
mendorong para petani dalam tuntutan mereka akan perbaikan keadaan, tetapi kemudian
meninggalkan mereka saat para petani meminta perubahan yang terlalu jauh. Luther telah memberikan
para petani suatu senjata yang kuat, yaitu penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa daerah, karena
sekarang mereka dapat membaca tentang Kekristenan awal dan mengenai janji milenial yang mereka
terapkan dalam situasi mereka sendiri. Tetapi Luther sendiri merepreentasikan kepentingan dari kelas
yang kaya dan yang miskin. Kepentingan kaum tani dan daerah diungkapkan oleh Thomas Muntzer yang
pada awal studinya berada di bawah pengaruh gagasan milenial yang berhubungan dengan Hari Kiamat,
kejatuhan dari gereja dan dunia yang rusak.
Muntzer kemudian terlibat dalam sekte Anabaptis milenial. Dia berkeliling ke seluruh Jerman,
memberikan khotbah yang menentang gereja dan kependetaan, dan khotbahnya secara cepat menjadi
makin politis dan revolusioner. Dia menyokong pembentukan Kerajaan Tuhan di bumi dan dengan ini dia
menunjukkan suatu masyarakat tanpa perbedaan kelas, menurut Engels suatu masyarakat tanpa
barang milik pribadi dan tanpa otoritas pusat, suatu masyarakat yang bebas.
Muntzer menarik minat banyak pengikut, tetapi Engels mengatakan bahwa dia telah melampaui
gagasan dan tuntutan dari sebagian besar petani. Dia menciptakan suatu partai elite dan elemen paling
maju dari kelompok revolusioner di dalam masyarakat yang masih memiliki massa minoritas yang
sedikit. Waktu belum datang bagi gagasannya. Masih banyak pemberontak petani yang terpecah dan
tidak terkoordinir yang terjadi di seluruh Jerman, tetapi semuanya kalah. Muntzer menjadi seorang nabi
bagi revolusi yang memacu semangat para petani. Dia diakui sebagai pemimpin dari salah satu
kelompok pemberontakan yang berpusat di Muhlhausen di Thuringia. Kelompok ini juga dikalahkan oleh
Landgrave Philip von Hese pengikut Muntzer dibantai dan Muntzer sendiri telah ditangkap, kemudian
disiksa dan dipenggal. Engels menekankan nilai komunisme dan egalitarianism dari ajaran Muntzer dan
cenderung meremehkan unsure milenial yang ada. Dia juga menyajikan aspirasi milenial Muntzer
sebagai suatu awal faham komunisme, berabad-abad sebelum digunakan dalam gagasan dan konsep
religius karena pada Abad Pertengahan, hal tersebut tidak dapat dibahas dalam bidang lain. Muntzer
dipandang sebagai seorang pahlawan dan martir, serta salah satu tokoh revolusi pertama yang
mendorong perang antar kelas. Hal ini telah menjadi kecenderungan umum bagi para sejarawan Marxis
dalam menginterpretasikan pergerakan tersebut. Dengan cara ini, Engels menemukan tradisi dalam
interpretasi gerakan milenias sebagai suatu gerakan politik yang baru dengan dasar kelas, dan sebagai
awal dari gerakan politik revolusioner modern.
KRITIK TERHADAP PERSPEKTIF MARXIS
Cohn (1970) sangat kritis terhadap pendekatan ini dan menyajikan gambaran yang sangat berbeda
mengenai pergerakan yang berpusat pada Muntzer. Dia menekankan sifat mistis dari pemikiran Muntzer
dan obsesinya akan impian milenial. Tulisannya dipenuhi dengan klaim dan kepercayaan yang fantastis.
Salah satu catatan mengenai perjuangan terakirnya memberitahukan kita bahwa Muntzer mengklaim
bahwa dia telah berbicara dengan Tuhan dan telah dijanjikan kemenangan, serta bahwa dia akan
mampu menangkan peluru meriam dengan menggunakan lengan jubahnya. Para pengikutnya nampak
percaya bahwa suatu keajaiban yang luar biasa akan terjadi. Seperti komunisme Muntzer dan
perhatiannya terhadap keadaan para petani, Cohn mengklain bahwa dia acuh tak acuh terhadap

kesejahteraan material kaum miskin. Menurut Cohn, Muntzer menggunakan ketidakpuasan sosial dalam
suatu programnya, yang fantastis dan tidak realistis, mengenai masyarakatnya yang sempurna.
Muntzer, dan Engels pun mengakui ini, melakukan banding kepada para pangeran dan penguasa untuk
mendirikan masyarakatnya yang sempurna, tetapi tidak begitu mengejutkan bahwa tak ada yang tertarik
dengan gagasan Muntzer. Kemudian, Muntzer pun berbalik kepada para petani yang tidak sejahtera.
Bahkan, sebagian besar dari mereka sama sekali tidak tertarik akan gagasan milenialnya. Tak lama
kemudian, terjadilah gerakan milenial yang terkait dengan kelompok sosoial yang mengalami banyak
kerugian, tetapi massa dari petani Jerman pada masa Muntzer merupakan kelompok yang lebih baik
daripada masa sebelumnya. Militansi mereka merupakan konsekuensi dari kepercayaan diri dan mereka
mencoba untuk menghilangkan rintangan yang masih menghalangi mereka. Cohn mengkalim bahwa hal
ini benar, setidaknya pada kelompok yang berinisiatif dalam melakukan pemberontakan. Oleh karena
itu, Muntzer dan gagasannya tidak menarik minat para kelompok tersebut. Tuntutan mereka lebih
realistis dan politis, serta mereka terkadang mampu mendapatkan hasil melalui negosiasi dengan para
pangeran. Saat mereka masuk ke dalam konflik terbuka, hal ini sering terjadi karena para pangeran
sengaja membuat mereka masuk ke dalamnya, agar memiliki alasan untuk menghancurkan mereka.
Para petani dan hal tradisionalnya menghalangi tujuan para pangeran dalam membangun rezim
absolute, yang memaksakan pajak dan hukum baru, serta melakukan sentralisasi. Engels
menggambarkan suatu rangkaian konflik yang berkepanjangan, yang tidak ada kaitannya dengan
milenialisme.
Menurut Cohn, peran Muntzer sangatlah dibesar-besarkan oleh Engels dan yang lainnnya. Muntzer tidak
memiliki peran dalam sebagian besar pemberontakan; aspirasi dan programnya pun tidak menjadi
tuntutan para pemberontak. Di sini, seperti dalam kasus analisisnya mengenai Kekristenan, Engels
menunjukkan kecenderungannya untuk menemukan gerakan revolusioner yang sadar akan kelas di
antara masyarakat kelas bawah pada berbagai periode sejarah tanpa melakukan pembktian. Pada
kenyataanya, jika agama bertindak sebagai opium yang menghalangi masyarakat kelas bawah untuk
meraih tujuan mereka, seperti yang Marx katakan, maka interpretasi Engels mengenai gerakan milenial
sama sekali tidak terkait dengan Marxisme. Gerakan milenial menggambarkan kurangnya kesadaran dan
pengertian akan keadaan yang nyata dan apa yang mungkin terjadi dalam keadaan tersebut. Gerakan
tersebut menggambarkan suatu pola pikir religius yang membingungkan, yang mengharapkan
perubahan sosial, yang tidak berasal dari usaha manusia tetapi dari kekuatan supranatural.
Konflik kelas tersebut bukanlah hal utama dari jenis pergerakan ini, hal ini juga merupakan temuan dari
studi Adas (1979) mengenai lima gerakan antikolonial yang terjadi dalam kondisi yang beragam di Asia
Tenggara, India, Selandia Baru, dan Afrika. Konflik antara pemilik tanah dan petani, kaya dan miskin, dan
lainnya tidak muncul dalam kasus-kasus tersebut. Para petani, penduduk desa, dan kelompok suku
bangkit melawan musuh bersama di bawah kepemimpinan atau dukungan dari petinggi elite tradisional
dan kelompok dengan status yang tinggi dari suatu wilayah tertentu. Adas menemukan analissi kelas
yang tidak memadai untuk memahami jenis gerakan tersebut.
Cohn dan Adas memiliki pandangan yang mirip, bahwa bukan kemiskinan atau ketidaksejahteraan saja
yang menyebabkan fantasi milenial tersebut. Tetapi, mereka tidak setuju mengenai ciri nyata dari
gerakan yang ada setelahnya. Cohn berpendapat bahwa pada Abad Pertengahan, petani biasa yang
hidup seara tradisional, tidak peduli betapa miskinnya, tidak dipaksa untuk bergabung dalam
pemberontakan yang terjadi dari waktu ke waktu. Kelompok marginal dari masyarakatlah yang
menyediakan pengikut gerakan tersebut para petani yang tak memiliki lahan, pengangguran,
pengemis, dan semua yang tidak memiliki tempat yang diakui di dalam masyarakat.

Respon milenial cenderung terjadi dalam keadaan yang berubah-ubah dan tidak pasti, hal ini dirangsang
oleh perpecahan dari tatanan lama dan pola yang mirip. Hal yang penting lainnya adalah hilangnya
kredibilias dan otoritas Gereja. Hal ini meninggalkan kebutuhan emosional dan banyak orang cenderung
berbalik melawan para nabi dan pengikutnya. Cohn menekankan fakta bahwa pergerakan ini juga
cenderung muncul di tengah pemberontakan politis yang memiliki tujuan yang lebih realistis. Gerakan
milenial pada Abad Pertengahan bukanlah langkah awal bagi gerakan politik, tetapi merupakan langkah
awal bagi pemberontakan yang memiliki tujuan yang fantastik.
Cohn berpandangan bahwa mereka yang terlibat di dalam gerakan tersebut sedang berada dalam
keadaan jiwa patologis dan bahwa secara keseluruhan, semua gerakan tersebut tidaklah masuk akal.
Saat mereka runtuh, tidak ada kecenderungan bagi berbagai hal untuk mencari arah politik yang lebih
nyata. Gerakan tersebut sangatlah tidak berlangsung lama, karena tidak mampu membuat kemajuan
dalam menghadapi masalah ekonomi dan sosial. Adas mempertanyakan mengenai hal ini sebagai suatu
ciri gerakan milenial, atau gerakan revitalisasi milenial. Walaupun gerakan yang dipelajarinya
mendapatkan dukungan dari kelompok yang telah kehilangan kekuasaan dan status politik serta telah
mengalami kondisi ekonomi yang memburuk, gerakan tersebut bersifat sementara, marginal, terpecah,
dan tidak berpondasi. Karena sebagian besar dari mereka merupakan anggota dari komunitas yang
stabil, tetapi berada di bawah tekanan rezim colonial. Cohn dan Adas juga menempatkan suatu
penekanan yang berbeda pada ciri fantastis dari gerakan tersebut. Hal ini sangat sulit diterima bahwa
mereka merupakan produk dari kekacauan psikologil massal atau keadaan mental patologis seperti yang
dinyatakan Cohn. Ciri sosial mereka menyanggah klaim tersebut. Adas tidak begitu memperhatikan
peran dari agen supranatural dalam gerakan ini. Walau kekuatan dan kejadian supranatural merupakan
unsure utama dalam gerakan yang dia pelajari, berrbeda dengan gerakan lainnya, tidak menunggu
milenium tersebut terjadi, para pemimpin dan pengikutnya telah secara aktif mempersiapkan jalan
dengan menggunakan pengetauhan dan insiatif diri mereka.
Tentu, bagi Adas, keberadaan dari strukur sosial tradisional yang utuh menyediakan dasar yang
diperlukan bagi pergerakan untuk bersiap. Para pemimpin, khususnya para nabi, memainkan peran vital
dalam proses ini. Adas memiliki perbedaan dari Cohn dan Talmon dalam melihat kepemimpinan
kenabian yang teratur sebagai suatu unsur vital dan esensial dalam pergerakan ini, daripada sebagai
suatu faktor biasa. Tidak hanya kepemimpinan kenabian yang merupakan syarat utama, tetapi suatu
tradisi kenabian tersebut ditemukan dalam konteks sosio-kultural di mana jenis pergerakan ini muncul.
Gerakan maupun komunitas tersebut secara ekstensif telah terpengaruhi gagasan eskatologis dari luar.
Gerakan revitalisasi milenial tidak terjadi dalam setiap keadaan penekanan colonial. Menurut Adas,
keberadaan faktor-faktor ini sangat penting bagi peristiwa tersebut. Banyak perbedaan di antara Adas
dan Cohn yang dapat dikaitkan dengan fakta bahwa yang satu membahas gerakan medieval, dan yang
satunya lagi membahas gerakan anti-kolonial. Pelajaran yang dapat dipelajari dari hal ini adalah bahwa
sampai batas tertentu, terdapat beragam tingkat pergerakan, dan mungkin tidak hanya dalam gerakan
medieval, historis, dan anti-kolonial, tetapi di antara pergerakan yang terjadi di dalam situasi yang
berbeda di antara kategori tersebut atau yang tidak masuk ke dalam kategori manapun. Seperti yang
akan kita lihat di bagian bawah, hal ini adalah sifat asli dari keadaan kolonial berbeda yang berkaitan
dengan jenis masyarakat, sifat dari kekuasaan colonial, dan sifat dari hubungan antara populasi pribumi
dan penjajah.
MILENIALISME DAN POLITIK
Kepentingan dari unsure kenabian, eskatlogis, dan fantastis apapun yang ada di dalam gerakan, apakah
mereka memberikan jalan bagi gerakan politik yang lebih realistis? Apakah hal-hal tersebut adalah tahap
penyelidikan awal dari suatu kesadaran politis yang sedang bertumbuh? Hal ini adalah suatu klaim yang

dibuat oleh penulis seperti Worsley (1970), dari suatu analisis mengenai kaum pemujaan Melanesia, dan
Hobsbawn (1971), yang menuliskan gerakan di Eropa Selatan pada abad 19. Worsley juga
menghubungkan pergerakan kepada unsure penindasan dalam masyarakat dan melihatnya sebagai
suatu gerakan revolusi yang menolak peraturan, kekuasaan, dan nilai dari kelompok dominan dan
mengalami konflik dengannya. Hal ini mungkin merupkan kelas dominan atau kelompok etnis yang
berbeda, seperti pada kasus penjajahan di Melanesia.
Biasanya, jenis gerakan ini terjadi di antar masyarakat yang terbagi ke dalam kelompok kecil yang tidak
memiliki intsitiusi politik yang memadai ataupun cara organisasi untuk mengatasi situasi yang sedang
dihadapi. Hal ini merupakan bagian dari banyak masyarakat primitive dan khususnya bagi masyarakat
Melansia di mana tidak ada institusi kepemimpinan yang permanen ataupn struktur politik yang lebih
luas daripada kelompok keturunan yang kecil. Juga, medan yang ada berpengaruh bagi pencampuran
beberapa suku kecil dan kelompok linguistik dengan komunikasi yang sangat sedikit. Apa yang dapat
dilakukan oleh gerakan milenial dalam keadaan tersebut adalah untuk menyatukan kelompok yang
terpisah-pisah ini. Situasi yang umum dan penguasa kolonial mendorong kecenderungan ini kepada
persatuan dan caranya seringkali dalam bentuk pemujaan milenial. Situasi umum liannya di mana
gerakan tersebut cenderung muncul adalah yang merupakan organisasi feudal di mana strata para
petani dan rakyat jelata kurang memiliki bentuk organisasi politik yang dapat membantu mereka
melawan otoritas politk.
Marx membandingkan antara petani desa dengan kentang di karung. Mereka berada dalam situasi yang
sama dan memiliki kepentingan yang sama, tetapi tidak membentuk suatu kelas yang nyata dan kurang
memiliki organisasi untuk mencapai tujuan mereka. Para pemimpin cenderung dianggap sebagai
seseorang yang mewakili kepentingan mereka, tetapi para pemimpin ini pun menjadi penguasa mereka
yang baru. Dalam masyarakat yang lebih maju, kecenderungannya lebih kepada Bonapartisme dan
Caesarisme. Dalam masyarakat yang terbelakang, para nabi yang menjanjikan pemecahan masalah
dengan cara yang mistisl cenderung muncul. Dalam pandangan Worsley, gerakan milenial merupakan
fase awal dari gerakan politik dan bentuk dari aktivitas politik di antara kaum petani. Suatu jenis ketiga
dari keadaan di mana gagasan milenial berkembang adalah di dalam konflik dengan kekuasaan superior
dan mengalami banyak kekalahan. Seringkali, pemilihan jalan lain bagi harapan dan mimpi milenial
dalaah hasil dari pergerakan tersebut, sementara hal-hal yang lain merupakan kegagalan. Hal ini telah
terjadi di Afrika dan di Palestina saat Kekristenan muncul. Dalam kasus ini, saat struktur lama dan
organisasi politik lama akan hancur, gerakan milenial dapat menyatukan masyarakat yang terpecah pada
dasar yang baru.

Menurut Worsley, gerakan milenial yang menyatukan masyarakat dengan cara ini, cenderung untuk
berkembang menjadi organisasi politik sekuler yang membuang milenialisme itu sendiri ataupun
menjadi sekte yang pasif, diam, dan lari dari kenyataan. Keadaan di mana suatu kelompok pemujaan
menjadi pasif adalah di mana kelompok tersebut telah kalah, di mana aspirasi poitik tidak lagi
diungkapkan dalam bentuk agama, dan di mana partai politik menggantikan organisasi agama. Dengan
kata lain, walaupun beberapa unsurnya bersifat politis, unsur yang menjaga pandangan milenial setelah
kekalahan, dan setelah sebagian besar anggotanya menganut politk yang sekuler, gerakan tersebut
mengadopsi suatu respon yang berhenti melawan kekuasaan dunia dari tatanan dunia yang ada. Mereka
kehilangan revolusionisme mereka sendiri, dan menyalahkan dosa mereka, ataupun seluruh manusia
daripada kepada unsur dominan yang ada di masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai