Anda di halaman 1dari 3

Agama dan Penderitaan Manusia

Pada periode abad pertengahan, peran agama sangat penting bagi kehidupan manusia.
Agama diyakini sebagai lembaga yang mampu menjawab serta menjelaskan berbagai fenomena
dan perubahan yang terjadi di alam semesta. Agama oleh para teolog dipandang sebagai
pengadilan yang memiliki wewenang absolut untuk menentukan klaim kebenaran. Selain itu
agama diyakini sebagai jalan untuk berjumpa dengan realitas ilahi yang oleh umat beragama
disebut sebagai Tuhan. Salah satu ciri khas yang menandai periode ini adalah prinsip teosentris,
menempatkan Tuhan sebagai causa prima. Gagasan ini cukup bertahan lama dan berpengaruh
pada masanya namun berlahan meredup ketika memasuki periode modern. Martin Heidegger
adalah salah satu tokoh penting yang mengawali babak baru perubahan cara pandang filsafat
yang mulanya berciri teosentris menjadi antroposentris. Pada periode ini, rasionalitas dan
prinsip subjektifitas sangat dijunjung tinggi. manusia menjadi raja untuk menentukan klaim
kebenaran.

Pada periode ini, manusia ditempatkan sebagai subjek utama, bukan lagi Tuhan atau
alam sebagaimana yang diakui para filsuf pada zaman Yunani kuno. Pada masa modern, posisi
agama mengalami degradasi. Comte hadir dengan gagasan positivismenya yang secara implisit
mengabaikan peran agama di ruang publik karena dinilai masih berada dalam taraf teologis dan
metafisis. Arus perlawanan terhadap dominasi agama semakin menguat dengan munculnya
golongan ateisme modern seperti Feuerbach, Marx, Freud, dan Nietzsche. Kehadiran mereka
mempertanyakan seberapa penting peran agama bagi kehidupan manusia sekaligus melancarkan
kritik yang cukup tajam tehadap praktek-praktek keagamaan manusia modern.

Feuerbach misalnya menilai bahwa agama merupakan hasil proyeksi manusia. Agama
tidak lebih dari cita-cita ideal manusia yang tidak kesampaian. Konsekuensinya adalah bahwa
bukan Allah yang menciptakan manusia melainkan manusia yang menciptakan Allah. Gagasan
Feuerbach dilanjutkan oleh Marx. Feurbach menegaskan bahwa agama adalah proyeksi
manusia, khayalan manusia. Betul, agama adalah dunia khayalan, dimana manusia mencari
dirinya sendiri. tetapi persolananya Feuerbach tidak menjelaskan mengapa manusia melarikan
diri dari kehidupan nyata. Jawaban yang diberikan Marx adalah bahwa kehidupan nyata dengan
struktur kekuasaannya tidak mengizinkan manusia untuk mewujudkan hakekatnya. Manusia
melarikan diri ke dunia khayalan karena dunia nyata menindasnya, (Suseno: 2016).
Marx juga mengritik agama sebagai candu masyarakat. Agama merupakan tempat pelarian
manusia yang tidak bisa bersaing di dunia nyata. Agama selalu menawarkan kebahagian,
kehidupan kekal dan jaminan keselamatan bagi golongan kecil dan tertindas. Marx menilai ini
hanyalah sebuah ilusi. Agama menjanjikan masa depan yang belum pasti dan mengabaikan
realitas hidup yang terjadi saat ini. Agama menina-bobokan manusia, sehingga mereka
mengabaikan kemampuan dasariahnya sebagai manusia yang berjiwa petarung.

Menurut Marx, manusia akan keluar dari kemabukan rohani menuju kehidupan yang
otentik apabila agama dihapus dari dunia ini. Argumentasi Marx menarik untuk didiskusikan.
Pernyataan Marx ada benarnya. Kenyatan bahwa agama sebagai tempat pelarian bisa diterima
dan dibuktikan kebenarannya. Pada dasarnya banyak orang yang belum terlalu paham tentang
cara hidup beragama. Banyak orang yang mempunyai keyakinan bahwa segala persoalan bisa
diselesaikan dalam agama, tanpa perlu sebuah usaha dan kerja keras. Padahal, berdoa tanpa
bekerja itu tidak ada hasilnya. Tuhan memberikan kita akal budi untuk membedakan yang baik
dan yang buruk, berjuang untuk mempertahankan hidup dan mampu menyesuakin diri dengan
perkembangan zaman. Persoalan hidup tidak bisa diselesaikan hanya dengan berdoa. Berdoa dan
bekerja merupakan dua komponen yang tidak bisa dipisahkan, mesti berjalan beriringan. Selain
itu, gagasan Marx layak untuk dievalusi. Marx mengatakan bahwa apabila agama dihapus dari
dunia ini, manusia akan menjadi dirinya sendiri. Manusia akan mencapai kebahagian dan bahkan
kekayaan. Argumen Marx terlalu berlebihan.

Dalam kehidupan nyata masih benyak orang yang beragama dan beriman yang hidupnya
berkecukupan dan bahkan dengan menghayati hidup sebagai orang beragama ia bertumbuh
menjadi pribadi yang terbuka dan solider dengan yang lain. Kenyataan ini dengan sendirinya
meruntuhkan arguentasi Marx. Kedua, gagasan Marx tidak bisa diterjemahkan secara lurus
apalagi dalam konteks bangsa Indonesia yang mempunyai sejarah dan kultur yang sangat khas.
Dalam konteks Indonesia, persoalan agama tidak hanya berhenti pada sebuah pelarian tetapi
justru masuk pada persolan yang lebih kompleks yaitu diskriminasi dan intoleransi. Jika
diperhatikan secara serius, persoalan Intoleransi dan radikalisme di Indonesia tidak dilakukan
atas nama institusi agama melainkan individu-individu tertentu. Perbuatan individu tentu tidak
serta merta dianggap sebagai perwakilan dari identias agama yang diyakininya, karena pada
prinsipnya semua agama selalu menawarkan dan mengajarkan kasih dan tolernasi. Orang-orang
yang masih menganggap agama atau kepercayaan di luar agamanya sebagai golongan “yang
lain” adalah orang-orang yang belum terlalu paham dengan dengan nilai spiritual yang
terkandung dalam agama yang diyakininya. Jika pada akhirnya kita tetap tidak bisa menerima
“yang lain” karena perbedaan agamanya, marilah kita menerima mereka sebagai sesama
manusia. Agama hadir bukan untuk menciptkan penderitan, melainkan mengatasi penderitan.
Agama merupakan jalan menuju kebahagian, kasih, dan persaudaraan bukan perpecahan.

Ervino Hebri Handoko

Anda mungkin juga menyukai