Anda di halaman 1dari 30

SOSIOLOGI AGAMA

DALAM TEORI
SOSIOLOGI KLASIK
Materi ke 4 dan 5
Sosiologi klasik merupakan penggolongan masa yang didasarkan pada model
perkembangan teori pada awal kelahiran sosiologi. Pada masa ini yang
menjadi fokus utama adalah tokoh-tokoh yang mencetuskan gagasan.
Berbagai macam gagasan yang dikeluarkan oleh seorang tokoh, dipelajari
dalam satu bagian besar. Tokoh-tokoh yang muncul pun merupakan orang-
orang yang berjasa besar dalam perkembangan sosiologi awal. Namun, yang
perlu diperhatikan adalah tidak semua tokoh sosiologi klasik akan memiliki
subab khusus dalam bab ini.
Teori Agama Karl Marx
Nama Karl Marx adalah nama yang amat familiar bagi seorang mahasiswa sosiologi masa
ini. Ide-idenya paling mudah melekat dalam pikiran (meskipun tidak semua setuju) karena
gagasannya yang amat kritis. Ketika baru berkenalan dengan ide-ide Marx, mahasiswa
sosiologi baru biasanya akan menggebu-gebu dan berlaku seperti seorang Marxis baru.
Marx merupakan seorang sosiolog, ekonom, juga filsuf yang namanya banyak dikenal oleh
para intelek berkat gagasannya yang radikal, yakni komunisme. Sayangnya, dalam hal
ekonomi Marx mempunyai reputasi buruk karena semua pemikirannya tidak berpihak
kepada kelas atas termasuk pengusaha dan pedagang besar (dalam terminologi khas Marx
disebut borjuasi kapitalis).
Marx bersama dengan teman-teman Hegelian juga berperan besar tentang
gagasan materialisme historis. Gagasan ini menjadi antitesis dari filsafat
Hegelian yang tengah berkembang pesat ketika pertengahan abad 19, yaitu
filsafat idealis. Menurut Pals, Marx bersama „teman-temannya‟ yang
mengembangkan filsafat materialis yakin “bahwa semenjak manusia pertama
kali muncul di muka bumi ini, mereka bukan hanya dimotivasi oleh “ide-ide
besar”, namun lebih dikendalikan oleh kebutuhan materi, kebutuhan yang
dapat membuat mereka bertahan hidup”
Marx tidak mempunyai ketertarikan khusus tentang agama. Ia hanya
menyisipkan pembahasan perihal agama ketika membahas alienasi. Marx
membahas agama sebagai bagian dari suprastruktur dan kaitannya dengan
ekonomi dan politik. Uniknya, Marx sendiri mungkin telah menjadi Tuhan bagi
„penganutnya‟, yakni para Marxian dan penganut komunisme. Pals bahkan
menganalogikan kesakralan tulisan Marx dengan kitab Injil bagi umat Kristen.
Hal ini sama sekali tidak mengherankan, sebab Marx bersama teman sejati dan
juga teman seideologinya, Engels, telah bersama-sama menciptakan karya yang
sangat berpengaruh dalam paham komunisme; juga perannya dalam gagasan
revolusi
Sebelum membahas mengenai agama, perlu dipahami sekilas mengenai
pemikiran Marx. Inti utama gagasan Marx adalah segala realitas sosial yang
terbangun di dunia ini didahului oleh keinginan manusia untuk hidup dengan
layak. Hal ini tentu diraih dengan usaha-usaha yang besifat ekonomis. Marx
juga mengatakan bahwa sejarah umat manusia itu sendiri berasal dari
pertentangan antar kelas yang diawali dengan adanya privatisasi. Masalah-
masalah yang selanjutnya timbul adalah sebagai dampak dari dinamika sektor
ekonomi. Maka, bagi Marx, ekonomi adalah pondasi dari struktur masyarakat
atau juga disebut sebagai basis struktur.
Marx (dan juga Engels) memandang agama sebagai bagian dari skenario
pertentangan kelas. Berkat ini, mereka berdua bersama dengan tokoh-tokoh
lain seperti Weber dan Durkheim, mendapat „gelar‟ reduksionis dalam
mendefinikan agama. Marx menganggap agama tidak lebih dari sebuah
bentuk ideologi. Marx yang dari awal mengadopsi materialisme historis,
melihat agama sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan dan menjaga
status quo. Kaum borjuis menggunakan agama untuk melakukan alienasi dan
penundukan kepada kelas-kelas di bawahnya. Namun, menurut Turner, untuk
memahami sosiologi agama Marx, lebih baik menyimak sumbangan Engels
yang relatif lebih jelas dalam membahas agama.
Marx yang sedari muda mengikrarkan diri menjadi ateis, tidak tertarik untuk terlibat dalam
kegiatan yang bersifat religius dan berbau spiritual. Dengan dipengaruhi ilmu psikologi, Marx
menganggap bahwa agama dan kegiatan lain yang memuja sesuatu yang sifatnya supranatural,
merupakan manifestasi keputus-asaan manusia atas ketidakmampuannya untuk bertarung dalam
kontestasi pertentangan kelas. Jika boleh disederhanakan, agama bagi Marx adalah sebuah cara
untuk “melarikan diri‟ dari kenyataan.
Agama juga membuat manusia teralienasi dari dunianya sendiri, dari dunia
nyata. Seseorang mengabdikan dirinya untuk kepentingan di akhirat dan
mengorbankan kepentingannya di dunia yang sifatnya sekuler. Hal ini akibat
dari doktrin-doktrin agama, terutama askestisme tradisional yang
mengajarkan untuk menjunjung tinggi kesederhanaan. Konsep alienasi oleh
Marx digunakan untuk menjelaskan keadaan keterasingan seseorang dalam
dunia yang melingkupinya selama ini. Mereka terasing dari realitas yang
sebenarnya dilakukan sehari-hari dan tanpa merasa terbebani akan hal itu.
Agama yang sebagai candu, juga berfungsi sebagai perekat sosial. Fungsi
perekat ini akan banyak dibahas dalam tokoh fungsonalis seperti Durkheim.
Kedua hal ini bagaikan dua mata pisau yang tajam. Keadaan damai yang
semu berkat kontrol sosial agama, menyebabkan kaum proletar pasrah dalam
menerima nasibnya sebagai kaum tertindas. Bahkan mungkin mereka
samasekali tidak merasa tertindas. Janji-janji akan kebahagiaan yang akan
diperoleh di akhirat nanti menjadi pelipur lara dan meredam kemarahan
mereka akan kemiskinan dan segala keterbatasan akses. Bagi Marx, hal ini
diakibatkan kesadaran kelas proletar yang cenderung candu terhadap agama
(saat itu di Jerman, Kristianitas).
Teologi Kristen dan filsafat Hegelian adalah dua hal yang ditolak oleh
Marx dan menjadi sasaran kritiknya. Terkait dengan perannya dalam
menciptakan alienasi, “keduanya telah merampas apa yang seharusnya
dimiliki oleh manusia dengan memberikannya kepada sesuatu yang
sebenarnya asing, yaitu Yang Absolut atau Tuhan” (Pals, 2011: 203). Perlu
diketahui, pemikiran Marx tentang agama banyak dipengaruhi oleh karya-
karya Feuerbach. Kutipan tersebut juga berlaku ketika Marx menjelaskan
perihal kapitalisme.
Sumbangan Pemikiran Auguste Comte
dalam Sosiologi Agama
Sumbangan pemikiran Comte mengenai agama tidak terlalu banyak. Ia hanya
mengantarkan kita terhadap awal-awal kemunculan positivism yang
dikaitkan dengan agama dalam sosiologi agama di masa sekitar abad
pencerahan. Maka dari itu, subab ini tidak diberi judul Teori Agama Auguste
Comte.
Sumbangan pemikiran Comte mengenai agama tidak terlalu banyak. Ia hanya
mengantarkan kita terhadap awal-awal kemunculan positivismeyang
dikaitkan dengan agama dalam sosiologi agama di masa sekitar abad
pencerahan. Maka dari itu, subab ini tidak diberi judul Teori Agama Auguste
Comte.
Auguste Comte, seorang intelektual yang termasuk dalam jajaran yang
dipengaruhi Teori Evolusi Darwin. Seperti halnya Herbert Spencer, Comte
juga seorang Darwinian sosial. Ia berada di bawah naungan paradigma fakta
sosial dan aliran positivistik. Pemikiran Comte yang terkenal adalah hukum
tiga tahap. Bagi Comte yang Darwinian, masyarakat sangat mirip dengan
organisme. Mereka tumbuh dan berkembang, juga melakukan evolusi.
Hukum tiga tahap Comte menganalogikan evolusi yang terjadi pada
organisme, pada masyarakat.
Pemikiran manusia berevolusi sejak zaman primitif sampai dengan zaman
modern. Ia membagi tahap-tahapnya dengan mendasarkan pada kemampuan
manusia untuk merespon realitas yang ada di sekitarnya (terutama gejala
alam). Masyarakat paling awal ditempatkan pada tahap pemikiran paling
sederhana, yakni teologis. Tahap ini dijelaskan sebagai keadaan ketika
manusia yang tidak mampu mencerna dan mencari tahu sebab-sebab
terjadinya peristiwa di sekitarnya, dengan menyerahkannya kepada kekuatan-
kekuatan supranatural. Kemudian, manusia mengalami perkembangan tahap
pemikiran dengan mulai mencari-cari sebab terjadinya sesuatu, meskipun
masih sangat terbatas. Comte menamai tahap ini tahap metafisis
Perkembangan manusia paling modern berada di tahap tiga, yakni tahap
positivis. Pemikiran manusia tidak lagi berupa kepercayaan dan perkiraan
coba-coba. Manusia sudah mampu berpikir secara logis dengan
menggunakan rasionalitas mereka untuk menemukan kebenaran ilmiah.Teori
yang diungkapkan Comte ini juga digunakan oleh antropologi dalam meneliti
evolusi agama. Antropologi agama menyimpulkan isi dari hukum tiga tahap
adalah “kepercayaan manusia mula-mula berkembang dari kepercayaan
terhadap Tuhan yang banyak kepada yang satu, dari politheisme ke
monotheisme dan dari syirik ke tauhid”
Masyarakat modern adalah masyarakat positivistik. Pernyataan ini seolah menjadi kredo yang
hidup dalam perkembangan keilmuan abad 20. Fenomena-fenomena spiritual dan supranatural
adalah sesuatu yang tidak masuk akal dan tidak dapat diukur dengan syarat-syarat kebenaran
ilmiah. Agama seringkali diidentikkan dengan hal-hal mistis, meskipun pada perkembangan
lebih lanjut agama dan mistis dijelaskan sebagai dua hal yang berbeda. Terkait dengan tahap
teologis yang berhubungan erat dengan agama, agama dipandang “sebagai penghalang
kemajuan rasional” (Turner, 2012: 79). Maka, tidak heran jika kemudian paham sekularisme
berkembang pesat di sekitar abad pencerahan.
Teori Agama Emile Durkheim
Emile Durkheim merupakan seorang sosiolog Perancis yang pemikirannya
akan selalu hadir dalam diskusi sosiologi klasik dan modern. Ia mendapat
julukan bapak sosiologi karena telah membidani kelahiran sosiologi. Ketika
para intelektual era 1800-an menganggap bahwa masyarakat merupakan hal
yang abstrak, Durkheim menegaskan bahwa:
“Sebuah masyarakat bukan hanya sekelumit pemikiran yang ada dalam
kepala seseorang, tapi merupakan kumpulan sekian banyak fakta –mulai dari
bahasa, hukum, kebiasaan, ide, nilai, tradisi, teknik, sampai kepada aneka
jenis produk yang dihasilakn masyarakat tersebut (Pals, 2011: 139).”
Pemikiran-pemikiran Durkheim terpengaruh dari antropologi dan filsafat. Hal
ini terlihat dari caranya memberikan definisi terhadap agama. Bryan Turner
dalam bukunya Teori Agama dan Teori Sosial Kontemporer (2012),
mengatakan bahwa definisi agama yang ditawarkan Durkheim dan
antropolog William Smith memiliki kemiripan. Mereka berdua
mendefinisikan agama melalui praktek-praktek sosial keagamaan dalam
masyarakat.
Daniel Pals, penulis buku Seven Theories of Religion, memasukkan Durkheim sebagai salah
satu tokoh penting yang menyumbang gagasan mengenai agama. Buku ini membahas tentang
tujuh teori tentang agama dipandang dari berbagai perspektif keilmuan. Karya Pals ini sering
digunakan sebagai referensi bagi antropolog maupun sosiolog. Baginya, teori Durkheim
termasuk dalam “teori-teori klasik yang dianggap sebagai bentuk paling asli dan orisinil, bukan
teori yang sudah dalam kemasan yang kompleks” (Pals, 2011: 22). Meskipun Durkheim bukan
satu-satunya tokoh sosiolog yang dimasukkan (ada juga Karl Marx), namun ia menempati posisi
khusus dengan ciri khasnya dalam memandang agama sebagai fakta sosial.
Durkheim berada di tengah-tengah pemikiran sekuler awal abad 20 yang
sedang populer. Maka, tidak heran jika “tema utama sosiologi agama
Durkheim adalah keberadaan dikotomi yang sakral dan yang profan dan
dampak sosial dari praktek-praktek yang berkaitan kategori-kategori religius”
(Turner, 2012: 93). Durkheim meletakkan agama sebagai fakta sosial. Ia
mengkritik definisi-definisi agama yang hanya berkutat pada makna agama
secara spiritual dan magis. Menurutnya, definisi-definisi tersebut tidak
berusaha mencari peran agama dalam realitas sosial. Padahal agama sebagai
bagian fakta sosial memiliki peran penting dalam integrasi sosial masyarakat.
Durkheim melihat adanya fungsi magis dan spiritual dari agama. Upacara-
upacara keagamaan dan segala ritual yang dilakukan secara bersama-sama
menumbuhkan kesadaran kolektif sebagai konsekuensi dari realitas yang
dialami bersama. Kesadaran ini berupa identitas yang diakui bersama bahwa
mereka bagian dari kelompok yang sama, yakni agama. Kohesi sosial ini
yang kemudian menjadi faktor pemersatu dalam suatu masyarakat. Dalam hal
ini, Durkheim membuat fenomena sakral dan profan yang biasanya dijauhkan
dan dianggap tidak berhubungan, menjadi berhadapan meskipun masih dalam
domain yang dikotomi.
Beberapa kajian tentang agama menggunakan metode perbandingan agama.
Biasanya, akan ada hasil akhir berupa konklusi bahwa terdapat sebuah agama
yang paling benar. Bahkan para filsuf abad 19 cenderung berakhir pada
kesimpulan bahwa agama sendiri merupakan sesuatu yang salah. Namun,
Durkheim justru menilai bahwa tidak ada agama yang salah, karena
“fenomena yang riil dan objektif yang ada dibalik sombol-simbol religius
bukanlah Tuhan atau dewa, melainkan masyarakat” (Turner, 2012: 95).
Sekali lagi, Durkheim melihat agama dari sisi fungsi praktek religiusnya
dalam meningkatkan keeratan masyarakat.
Turner menjelaskan secara sederhana peta pemikiran Durkheim dengan sebuah bagan yang
isinya adalah upacara kolektif, kegembiraan kolektif, sentimen bersama, dan keyakinan
bersama. Upacara kolektif yang dilakukan dan menghasilkan kegembiraan kolektif, dapat
memantik sentimen bersama karena adanya rasa berbagi pengalaman yang sama. Kohesi yang
terjadi berdampak pada timbulnya sebuah nilai yang diyakini bersama, yang kemudian
dimanifestasikan dalam tindakan sosial dalam masyarakat. Sayangnya, upacara kolektif ini tidak
hanya ada dalam sebuah upacara ritual keagamaan. Durkheim mendapat kritik bahwa efek yang
sama bisa saja didapat ketika kita mendatangi acara lain, pesta misalnya. Keyakinan bersama
yang ditimbulkan oleh sentimen bersama juga hadir dalam kasus nasionalisme. Lalu, apakah
keduanya juga disebut agama?
Masalah muncul ketika kohesi sosial semacam ini dihadapkan pada masyarakat bertipe
solidaritas organis. Karya terdahulu Durkheim, The Division of Labour, membagi masyarakat
dalam dua tipe (yang mungkin juga berupa tahapan perkembangan masyarakat), yakni
masyarakat dengan solidaritas mekanis dan solidaritas organis. Masyarakat mekanis adalah tipe
masyarakat yang cenderung mendasarkan kesadaran kolektif mereka dengan mengandalkan
homogenitas diantara mereka. Masyarakat ini bersifat tradisional dan sederhana. Tidak ada
diferensiasi yang mencolok, sehingga kohesi sosial mudah terbentuk. Sedangkan masyarakat
bertipe solidaritas organis, terdapat pembagian kerja dan diferensiasi yang tinggi. Kohesi sosial
oleh rasa persamaan identitas tidak mungkin didapat dari rasa heterogenitas.
Teori Agama Max Weber
Maximillian Weber atau lebih dikenal Max Weber merupakan salah satu sosiolog Jerman yang
pemikirannya berada di bawah paradigma definisi sosial. Meskipun sebagian besar paradigma
ini berada dalam kategori sosiologi mikro, namun analisis Weber terhadap tindakan sosial masih
memperhatikan fakta sosial dan struktur (dalam porsi tertentu). Sedikit berbeda dengan teori
yang lain meskipun dalam satu paradigma yang sama, seperti fenomenologi yang sangat
mengutamakan definisi individual. Sosiologi Weber berkisar pada tindakan sosial individu dan
rasionalitas. Weber juga menjadi bagian dari tokoh sosiologi interpretatif karena menurut Schutz
“Weber membela metode yang disebutnya verstehen” (Raho, 2007: 133). Sumbangan Weber
dalam sosiologi agama terdapat dalam karyanya The Sociology of Religion (1966) dan The
Protestant Ethics and the Spirit of Capitalism (1930)
Meskipun dipuji memiliki pemikiran brilian dan penting dalam teori agama,
Daniel Pals tidak mengikutsertakan teori Weber dalam bukunya Seven Theories
of Religion (2011). Menurut Pals, syarat pemilihan teorinya adalah orisinalitas
dan konsistensi. Weber tidak memenuhinya “karena kemampuannya yang luar
biasa dalam melihat kompleksitas masyarakat dan kesanggupannya
menggabungkan berbagai perspektif demi mencapai kombinasi penjelasan yang
kaya dalam teorinya” (Pals, 2011: 22). Ia juga mengatakan bahwa lebih baik jika
kajian mengenai Weber dibahas pada karya lain yang khusus menjelaskan
pemikirannya.
Telah disebutkan bahwa sebagian besar pembahasan Weber berkutat pada
tindakan sosial dan rasionalitas. Namun, ternyata tulisan-tulisan dan pemikiran
Weber juga digunakan oleh Bryan Tuner (2012) untuk menganalisis pertukaran
sosial yang seharusnya masuk dalam paradigma yang berbeda, yakni perilaku
sosial. George Ritzer juga menggunakan rasionalitas Weber sebagai kerangka
berpikir utama dalam karyanya McDonaldization of Society (2013). Ritzer
membuat pemikiran Weber tampil lebih kritis namun tetap Weberian.
SELESAI

Anda mungkin juga menyukai