Anda di halaman 1dari 29

18

BAB II
KAJIAN LITERATUR

A. Humanisme
1. Pengertian Humanisme
Pengertian humanisme berdasarkan pendapat Amsal Bakhtiar
adalah asal kata humanisme yaitu humanitas yang mana arti dari humanitas
adalah pendidikan manusia. Dalam bahasa Yunani disebut paideia. Pada
pertengahan abad ke-14 M, humanisme disebut sebagai sebuah gerakan dari
cabang ilmu filsafat yang timbul di Italia dan kemudian berkembang di
seluruh Eropa.1 Humanisme memiliki paham kemanusiaan yang menjadikan
pusat dari kesadaran adalah manusia itu sendiri. Paham ini berawal dari
seorang Dewa bernama Bromotheus, seorang Dewa dari Mitologi Yunani
yang merasa kasihan dan jatuh hati dengan nasib manusia pada saat itu, dia
akhirnya mencari obor kebijaksanaan (pengetahuan) sebagai suluh yang
akan diberikan kepada manusia dari para Dewa.2
Kita bisa mengamati secara bahasa, maka humanisme berasal dari
dua kata humanis dan isme yang artinya manusia dan paham atau aliran.
Singkatnya, humanisme adalah istilah yang merujuk pada konsep
memanusiakan manusia dengan menjunjung tinggi pri kemanusiaan dan
mengupayakan pergaulan antara manusia satu dengan lainnya untuk
mencapai hidup yang lebih baik.
Menurut Abdurrahman Wahid, Islam memandang bahwa
humanisme merupakan pemuliaan martabat manusia di hadapan Tuhan, oleh
karena itu, manusia harus dimuliakan. Dengan demikian, manusia akhirnya
menjadi terminal terakhir melampaui nilai-nilai apapun bahkan formalisme
Islam yang sering ia kritisi.3 Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
humanisme adalah sudut pandang terkait konsep manusia yang mana
menjadi manusia adalah sebagai khalifah dimuka bumi ini. Artinya, manusia
1
Amsal Baktiar, Filsafat Agama Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2009), h. 145.
2
Jon Avery, Hasan Aksari, Menuju Humanisme Spiritual Kontribusi Perspektif Muslim-
Humanis, (Surabaya: Risalah Gusti, 1995), h. 164.
3
Syaiful Arif, Humanisme Gus Dir (Pergumulan Islam dan Kemanusiaan), (Yogyakarta:
ar-Ruzz Media, 2013), h. 279-280.
19

tidak berdiri sendiri dibidang kebebasan, melainkan ada amanah


dipundaknya untuk senantiasa memanusiakan manusia. Jika dikorelasikan
dengan Pendidikan Agama Islam, maka konsep humanisme harus tetap
mengacu pada Alquran dan hadist.
2. Sejarah Perkembangan Humanisme
Sebagai sebuah gerakan reaksi kritis terhadap adanya belenggu
kekuasaan yang terdapat di lembaga-lembaga, humanisme hadir di Eropa
pada abad pertengahan. Pada masa itu daya rasionalitas manusia dan
kebebasannya berada pada situasi yang sangat gelap. Kondisi kematian daya
nalar manusia menggambarkan adanya abad kegelapan pada masa itu, hal
ini ditandai dengan hadirnya sekat-sekat yang memisahkan antara duniawa
dan ranah agama-spiritualitas. Kehidupan Eropa di abad pertengahan berada
pada wacana teologis yang hegemonis dengan model kekuasaan para
pemimpin lembaga agama yang sangat doktriner dan otoriter. Otoritas
agamawan yang begitu absolut kemudian menghambat perkembangan
penemuan-penemuan para ilmuan, bahkan teori-teori baru yang
berseberangan dengan kekakuan dogma agama akan dianggap menyimpang
atau sesat. Konsep-konsep rasionalisasi atas atas pemahaman dan keyakinan
yang tidak sesuai dengan tradisi-tradisi agama dianggap menyimpang atau
melawan kekuatan Tuhan. Petrarca pada waktu itu melukiskan para teolog
sebagai orang yang sibuk mengamati pepohonan tapi melupakan keindahan
hutan secara keseluruhan.4
Prinsip-prinsip humanisme sebagai cita-cita untuk memanusiakan
manusia atau sebagai usaha humanisasi, jika disandingkan dengan cita-cita
dalam konteks agama, sebenarnya adalah suatu bentuk cita-cita yang sama.
Pemahaman seperti itu, namun demikian menjadi persoalan tersendiri ketika
dalam perkembangan keberadaan agama-agama sering dipandang
kontradiktif terhadap usaha memanusiakan manusia. Sejarah hegemoni
institusi agama di abad pertengahan jelas menimbulkan praktek-praktek
penindasan dan ketidakadilan prinsip yang menjauhi prinsip humanisasi.
Kehidupan beragama sering kali terjadi paradoks yang kemudian hal ini
4
Sumasno Hadi, Konsep Humanisme Yunani Kuno dan Perkembangannya dalam
Sejarah Pemikiran Filsafat, Jurnal Filsafat, Vol 22 No. 2, Agustus 2012, h. 1.
20

oleh dunia modern menjadi sumber kritikan. Hal tersebut terlihat dalam
skeptisme Feurbach yang menganggap bahwa agama adalah proyeksi
manusia belaka, dan Tuhan hanyalah angan-angan manusia yang tidak
memiliki kenyataan pada dirinya.5
Pendegradasian atas manusia, atas esensinya dan atas statusnya di
alam semesta ini, sebagaimana diakibatkan oleh keyakinan-keyakinan lama,
mau tidak mau membangkitkan humanisme di zaman renaissance. Sejak itu,
humanisme seringkali dipandang sebagai suatu paham modern yang tujuan
pokoknya adalah mengagungkan manusia itu sendiri serta esensialitasnya di
tengah jagad raya. Akar-akar humanisme berasal dari Athena, namuns
ebagai suatu paham universal, ia telah menjadi fondasi peradaban modern di
Barat. Pada hakikatnya humanisme merupakan reaksi keras terhadap filsafat
skolastik dan agama Kristen zaman pertengahan.6 Gerakan humanisme
Renaissance kemudian diikuti munculnya gerakanreformasi gerakan gereja
untuk kembali pada ajaran Kitab suci. Hal inikemudian menyebabkan
perubahan konstelasi agama di Eropa sehingga melahirkan pandangan-
pandangan seperti nasionalisme, kapitalisme dan demokrasi sebagai tiga ciri
utama dunia atau abad modern.7
Humanisme abad modern diwarnai dengan timbulnya suatu
perkembangan pesat atas ilmu pengetahuan seperti pada pertemuan Francis
Bacon yang meletakkan metode induksi modern dan perkembangan bidang
fisika yang dipelopori oleh Isac Newton. Dimulai dari perkembangan ilmu
pengetahuan tersebut, yang didorong oleh gerakan pencerahan, kemudian
timbul sekularisasi dalam kancah dunia modern, yang pengaruhnya menjadi
diskursus utama pada era selanjutnya, yaitu pada era kontemporer.
Humanisme kontemporer dapat disamakan dengan suatu pandangan atas
dunia dan manusia, yang secara sempit dapat juga diartikan sebagai sebuah
toleransi dalam tatanan sistem sosial. Hal tersebut kemudian menimbulkan
pandangan bahwa agama lebih banyak dilihat dari sisi negatifnya terhadap

5
Bambang Sugiharto, Humanisme dan Humaniora: Relevansinya bagi Pendidikan,
(Yogyakarta: Jalasutra, 2008), h. 188.
6
Ali Syariati, Tugas Cendekiawan Muslim, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2001), h. 1.
7
Bambang Sugiharto, Humanisme dan Humaniora, h. 88-89.
21

humanisme kontemporer ketimbang dimensi positifnya.8 Berdasarkan


keseluruhan pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa konsep
humanisme dari zaman Yunani Kuno sampai pada humanisme kontemporer
mengalami rivalitas konseptual.
3. Tokoh-tokoh Humanisme
Terdapat beberapa tokoh humanisme antara lain Arthur W. Combs,
Abraham Maslow dan Carl Rogers. Adapun pendapatnya terkait konsep
humanisme akan dijelaskan sebagai berikut :
a. Arthur W. Combs
Combs berpendapat bahwa banyak guru yang membuat
kesalahan dengan berasumsi bahwa siswa akan mau belajar jika materi
pelajarannya disusun dan disajikan sebagaimana mestinya. Padahal arti
tidaklah menyatu pada materi pelajaran itu, sehingga yang penting ialah
bagaimana membawa si siswa untuk memperoleh arti bagi pribadinya
dari materi pelajaran tersebut dan menghubungkannya dengan
kehidupannya.9
Jadi, menurut Combs, belajar akan lebih bermanfaat jika
menghadirkan makna atau arti. Maka, guru tidak bisa memakaksana
materi dipahami oleh peserta didik manakala tidak relevan dengan
kehidupan mereka, semisal pelajaran matematika yang tidak mudah
dipahami oleh beberapa siswa. Bukan karena siswa tersebut bodoh,
melainkan karena tidak ada alasan mengapa mereka harus mempelajari
hal tersebut.
Combs memberikan lukisan persepsi diri dan dunia seseorang
seperti dua lingkaran (besar dan kecil) yang bertitik pusat pada satu.
Lingkaran kecil adalah gambaran dari persepsi diri sedangkan lingkaran
besar adalah persepsi dunia. Makin jauh persitiwa-peristiwa itu dari
persepsi diri makin berkurang pengaruhnya terhadap perilakunya. Jadi,

8
Miftahul Munir, Filsafat Kahlil Gibran: Humanisme Teistik, (Yogyakarta: Paradigma,
2005), h. 22.
9
Sukardjo dan Ukim Komarudin, Landasan Pendidikan, Konsep dan Aplikasinya,
(jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009), h. 58.
22

hal-hal yang mempunyai sedikit dengan hubungan dengan diri, makin


mudah hal itu terlupakan.10
b. Abraham Maslow
Berbeda dengan Coms, Abraham Maslow mengusung teori
humanis yang menghendaki suatu pendidikan yang baru. Pendidikan
yang diyakini oleh Abraham Maslow dapat memberikan sebuah tekanan
yang lebih besar dalam proses pengembangan potensi seseorang,
terutama potensi manusia yang manusiawi, memahami diri dan orang
lain, dalam mencapai pemenuhan atas kebutuhan-kebutuhan dasar
manusia, tumbuh ke arah aktualisasi diri.
Teori yang digagas oleh Maslow adalah hirarki kehidupan.
Maslow berpendapat bahwa minat atau motivasi peserta didik dalam
belajar tidak dapat berkembang kalau kebutuhan-kebutuhan pokok tidak
terpenuhi. Anak-anak yang sekolah tanpa makan pagi atau sebelumnya
tidak tidur nyenyak, atau membawa persoalan-persoalan keluarga yang
bersifat pribadi, cemas ataupun takut, tidak berminat
mengaktualisasikan dirinya dengan memanfaatkan belajar sebagai
sarana untuk mengembangkan potensi-potensi yang dipunyainya.11
c. Carl Roges
Selain kedua tokoh tersebut, terdapat Carl Roges yang teorinya
lebih mengarah pada optimisme dan penuh harapan tentang manusia
karena manusia memiliki potensi-potensi yang sehat untuk maju. Dia
mengambarkan seperti bunga yang tumbuh sepenuh potensinya jika
kondisinya tepat, tetapi masih dikendalikan oleh lingkungan, manusia
juga akan tumbuh dan mencapai potensinya jika lingkungannya cukup
bagus. Namun, tidak seperti bunga, potensi yang dimiliki manusia
sebagai individu bersifat unik.12

10
M. Dalyono, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), h. 45.
11
M. Dimyati Mahmud, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1989), h. 168.
12
Matt Jarvis, Teori-teori Psikologi, Pendekatan Metode untuk Memahami Prilaku,
Perasaan, dan Pikiran Manusia, (bandung: Nusa Media dan Nuansa, 2007), h. 87.
23

4. Humanisme Ali Syariati


Dalam pemikiran Ali Syariati, aspek kemanusiaan menjadi bagian
bahasan yang penting. Nilai-nilai kemanusiaan ini dibahas dalam teori
humanisme. Humanisme sendiri oleh Ali Syariati diartikan sebagai aliran
filsafat yang menyatakan bahwa tujuan pokok yang dimilikinya adalah
untuk keselamatan dan kesempurnaan manusia.13 Tema kemanusiaan
menjadi perhatian khusus oleh Ali Syariati. Pemikiran progesif yang
dibangun oleh Ali Syariati dibangun untuk kesejahteraan masyarakat
didasarkan atas pemahaman yang utuh dan tepat terkait hakikat manusia itu
sendiri.
Menurut Ali Syariati, Allah menciptakan manusia sebagai wakil-
Nya dari bentuk yang paling rendah yaitu tanah liat yang kemudian
ditiupkan ruh kepaanya. Dengan demikian, manusia diciptakan oleh Allah
memiliki dualitas yang unik dan bertolak belakang, dua hakikat yang
berbeda yaitu tanah dan ruh yang suci. Fakta ini perlu dibaca secara
simbolik, tanah yang dianggap sebagai simbol kerendahan serta kenistaan,
sedangkan ruh adalah simbolitas dari gerak abadi menuju kesempurnaan dan
kemuliaan sebagaimana sumbernya, Tuhan yang Maha Mulia. Oleh karena
itu, manusia adalah makhluk dengan dua arah kecenderungan, yang satu
membawanya ke bawah, sementara dimensi lainnya yaitu ruh cenderung
naik ke puncak spiritualitasnya ke Dzat yang Maha Suci.14
Dalam diskursus humanisme, Ali menawarkan konsep Rausyan
Fikr. Rausyan Fikr digunakan Ali untuk merujuk pada orang yang
melakukan perjuangan tertentu. Menurut Ali, orang-orang yang tercerahkan
adalah manusia yang memiliki kesadaran kemanusiaan dan keadilan sosial
di masanya yang akan memberinya rasa tanggungjawab sosial untuk
melakukan perubahan. Jika orang yang tercerahkan berasal dari kalangan
intelektual, maka akan semakin berpengaruh karena dia dapat memainkan
peran yang lebih penting.15 Itu artinya, rausyan fikr adalah manusia yang

13
Ali Syariati, Humanisme Antara Islam dan Madzhab Barat, (bandung: Pustaka
Hidayah, 1996), h. 39.
14
Ali Syariati, Tugas Cendekiawan Muslim, h. 6-7.
15
Ali Syariati, Membangun Masa Depan Islam, (bandung: Penerbit Mizan, 1998), h. 27-
28.
24

dengan kualitasnya mampu melepaskan dirinya dari ketetapan atau belenggu


yang ada serta melepaskan egoisme dalam dirinya.
Ali Syariati lebih fokus pada humanisme religius yang dianggapnya
menjadi sebuah alternatif baru sebagai pijakan pendidikan, dimana
pendidikan tidak hanya berkutat pada gagasan teoritis, melainkan juga perlu
adanya penekanan pentingnya kontribusi intelektual muslim dalam upaya
membangun masyarakat Islam yang ideal, yaitu masyarakat yang mampu
mengawal perubahan dalam rangka menegakkan hak-hak kaum tertindas.
Menurut Ali, nilai-nilai kemanusiaan tidak bisa lepas dari aspek
spiritualitas mengingat kodrat manusia sebagai makhluk spiritual. Untuk itu,
gerakan pembaruan Islam Ali Syariati paling tidak memiliki dua karakter
utama, yaitu ideologi pembebasan sebagai penegak nilai-nilai kemanusiaan
dan Islam sebagai dasar filosofisnya.
Ali Syariati berpendapat bahwa sejalan dengan pemikiran manusia
yang semakin luas dengan bertemunya beberapa peradanam lama dan baru,
pasti akan mempengaruhi kehidupan manusia, dengan demikian perlu
adanya yang memperhatikan martabat manusia sebagai individu dan
otonomi dalam suatu masyarakat yang bebas.16 Maka dari itu, Ali
mengatakan bahwa humanisme dijadikan sebagai istilah yang meliputi
realitas sosial masyarakat yang perlu mendapat perhatian lebih utama dalam
menunjang kelangsungan hidup yang lebih manusiawi, supaya tidak terjadi
kesenkangan yang sangat jauh dari fitrah manusia.

B. Pendidikan Humanis
1. Pengertian Pendidikan Humanis
Membahas mengenai pengertian pendidikan humanis, maka yang
perlu dikupas sebelum membicarakan terkait pendidikan humanis secara
utuh adalah pengertian pendidikan dan pengertian humanis.
Noeng Muhadjir mengartikan pendidikan sebagai sebuah upaya
terprogam dan terencana untuk mengantisipasi perubahan sosial oleh
pendidik dalam membantu peserta didik dan suatu sosial untuk berkembang
16
Muhammad Yasir Nasution, Manusia menurut Al-Ghazali, (Jakarta: Rajawali Mas,
1988), h. 132.
25

ketingkat normatif yang lebih baik, bukan hanya tujuannya, melainkan juga
cara dan jalannya.17
Jika kita mengamati pengertian pendidikan yang tertuang dalam
Undang-undang Sisdiknas Bab 1 pasal 1 ayat (1), yang menyebutkan bahwa
pendidikan adalah usaha sadar dan terancang untuk mewujudkanpotensi
belajar agar peserta didik secara aktif mampu mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia dan ketrampilan yang diperlukan
oleh dirinya dan masyarakat, bangsa dan juga negara, maka dapat
disimpulkan bahwa pendidikan adalah suatu kegiatan yang dilakukan secara
sadar dan direncanakan secara terancang untuk kemudian orientasinya
adalah membentuk manusia yang mampu memelihara dan mengembangkan
fitrah serta potensinya menuju insan kamil, menuju manusia seutuhnya. Itu
artinya, pendidikan juga dapat dikatakan sebagai usaha seseorang maupun
kelompok yang disusun secara sistematis, terarah untuk mencapai tujuan
yaitu mengembangkan kepribadian dan kemampuan dasar manusia menuju
perubahan tingkah laku, kedewasaan, pemahaman, serta tindak-tanduk
peserta didik yang mana proses pendidikan ini bisa dilakukan secara formal
maupun non-formal.
Humanis memiliki pengertian sebagai orang yang mendambakan
dan memperjuangkan terwujudnya pergaulan hidup yang lebih baik,
berdasarkan asas pri kemanusiaan, pengabdi kepentingan sesama umat
manusia, penganut paham yang menganggap manusia sebagai objek
terpenting serta penganut humanisme.18
Dengan demikian, pendidikan humanis adalah suatu sistem
pendidikan yang mana proses pendekatannya menggunakan pendekatan
humanis, yang berarti proses pendidikannya juga menganut aliran
humanisme yang menjadikan manusia sebagai salahsatu objek terpenting
dalam pendidikan.

17
Noeng Muhadjir, Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial, (Jakarta: Balai Pustaka,
2006), h. 5
Tim Penyusun Kamus Pusat embinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen
18

Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), h.
361.
26

2. Dasar dan Tujuan Pendidikan Humanis


Dasar yang dijadikan landasan dalam pendidikan humanis adalah
adanya kesetaraan antara manusia satu dengan lainnya, ini berarti
menandakan bahwa semua manusia memiliki kedudukan yang sama, tidak
ada yang sempurna dan diciptakan sepaket dengan kelebihan dan
kekurangan masing-masing. Untuk itulah, sesama manusia harus saling
menghargai dan menghormati dengan segala bentuk perbedaan yang ada.
Dalam Islam juga kita telah diajarkan bahwa manusia itu sama, yang
membedakan adalah tingkat ketaqwaannya, hal ini sebagaimana
difirmankan Allah dalam Alquran surah al-Hujarat ayat 13:
       
       
      
“ Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya perangai yang paling
mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara
kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Melihat.” ( Q.S.
Al-Hujarat : 13 ).
Berdasarkan ayat diatas sudah terlihat jelas bahwa manusia
diciptakan untuk saling mengenal serta mengerti tentang tanggungjawab
serta kewajiban masing-masing manusia untuk hidup didunia ini. Dari ayat
tersebut juga telah tersirat pendidikan humanis yang tidak hanya ditujukan
kepada umat Islam semata, melainkan seluruh umat manusia dianjurkan
untuk mengenal, menghormati, melindungi, menghargai serta saling
membantu satu sama lainnya. Jika nilai-nilai dalam alquran sudah
dijalankan, maka konsep pendidikan humanis akan benar-benar bisa kita
rasakan dan semakin jelas terlihat. Hal ini sesuai dengan tujuan pendidikan
yang juga menghendaki manusia itu menjadi manusia yang merdeka serta
dijunjung martabatnya oleh manusia lainnya.
Sedangkan tujuan pendidikan humanis adalah terbentuknya pola
pendidikan yang menempatkan manusia sebagai manusia. Manusia dengan
segala potensi yang dimilikinya perlu untuk mendapat pengajaran, arahan
27

dan bimbingan. Itu artinya, pendidikan humanis bermaksud untuk mencapai


dasar dari pendidikan humanis diatas.
3. Komponen-komponen Pendidikan Humanis
Pada dasarnya komponen pendidikan humanis sama dengan
komponen pendidikan pada umumnya, yaitu adanya guru/pendidik,
siswa/peserta didik, metode belajar yang digunakan, kurikulum serta
evaluasi. Berikut komponen-komppnen pendidikan humanis :
a. Guru atau pendidik
Guru atau pendidik adalah seseorang yang mendidik, guru
merupakan peranan yang penting dalam proses belajar mengajar. Guru
merupakan fasilitator bagi siswa, pengajar atau guru adalah seseorang
yang memberi kemudahan bagi siswa. Siswa akan mudah belajar bila
pengajar berpartisipasi sebagai teman belajar, sekutu yang lebih tua
dalam pengaalamn belajar yangs edang dialami. 19 Dalam pendidikan
humanis, posisi guru dan peserta didik tidak menempati posisi atas
bawah, melainkan pada prosesnya lebih menekankan pada interaksi
antara keduanya dalam rangka menciptakan pengetahuan bersama, apa
yang diketahui guru harus ditransfer kepada siswa sehingga siswa
memiliki pemahaman yang sama dengan guru.
b. Siswa atau peserta didik
Peserta didik adalah semua orang yang melibatkan diri dalam
kegiatan pendidikan atau dilibatkan secara langsung, yaitu semua
masyarakat yang mengikuti kegiatan pembelajaran dilembaga
pendidikan formal dan non-formal.20 Artinya pendidikan humanis disini
membantu siswa atau peserta didik untuk mengembangkan dirinya
sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Peserta didik disini menjadi
pelaku utama yang akan melaksanakan kegiatan belajar dari
pengalaman yang dia alami sendiri. Dengan memberi bimbingan yang
tidak mengekang pada siswa dalam proses pembelajaran maka guru

19
Tresna Sastrawijaya, Proses Belajar Mengajar di Perguruan Tinggi, (Jakarta:
Departemen Agama, 1989), h. 39.
20
Hasan Basri, Beni Ahmad Saebeni, Ilmu Pendidikan Islam, (bandung: Pustaka Setia,
2010), h. 133.
28

akan dapat lebih mudah menanamkan nilai-nilai atau informasi kepada


peserta didik.
c. Metode
Metode yang digunakan dalam penerapan pendidikan humanis
tentu beragam, bisa dengan metode yang membawa suasana belajar
kearah yang menggembirakan, memberikan pelayanan kepada peserta
didik dengan lemah lembut tanpa merendahkan, membuat komunikasi
yang terbuka, serta memberikan pengetahuan baru dan memberi model
yang baik untuk dicontoh.
d. Kurikulum
Kurikulum dalam pendidikan humanis berpusat pada
problematika dan situasi yang faktual dan kongkret. Itu artinya, peserta
didik dan pendidik bekerja sama untuk menganalisis permasalahan yang
terjadi dan berdiskusi untuk mencari solusi permasalahannya. Peran
guru disini adalah sebagai mediator yang membantu peserta didik untuk
membangun ilmunya sendiri secara kreatif dan kritis. Kurikulum
pendidikan humanis diarahkan pada perkembangan peserta didik agar
tidak sekedar memahami sebuah ilmu, melainkan mampu
mengembangkan dan menerapkan ilmu tersebut.
e. Evaluasi
Dalam pendidikan humanis, evaluasi tergantung pada tujuan
dan pemahaman yang jelas tentang bagaimana kesadaran bekerja.
Untuk meningkatkan progam-progam pendidikan, tidak mungkin
diperoleh dengan adanya evaluasi yang objektif atas hasil-hasil dari
progam penyadaran dan umpan balik yang bermanfaat, karena sumber-
sumber tersebut terbatas maka dari itu evaluasi memainkan peran yang
penting.21
Jadi, dalam pendidikan humanis, peserta didik harus dipandang
sebagai individu yang memiliki otoritas individu, yang mana mereka
menjadi manusia yang merdeka yang mampu mengambil keputusan
dengan didasari sikap tanggungjawab sejak dini.
21
William A. Smith, Conscientizacao: Tujuan Pendidikan Paulo Freire, (Yogyakarta:
PustakaPelajar, 2008), h. 10.
29

4. Konsep Humanisme dalam Kultur Pendidikan


Mengusung prinsip pemberdayaan tiap manusia, hal ini menjadi
orientasi wawasan humanisme dalam pendidikan untuk mengupayakan
individu yang bebas mengembangkan potensinya. Itu artinya pendidikan
diadakan untuk mengelola dan mengembangkan diri manusia agar menjadi
manusia yang utuh sesuai kodrat fitrah yang dimilikinya, setidaknya ada dua
karakter utama orientasi perkembangan pendidikan yang berkembang sejak
abad pertengahan hingga kini. Pertama, orientasi mencari kebenaran.
Pendidikan dilakukan untuk mencari kebenaran sejati. Ini merupakan
orientasi pendidikan skolastik. Kedua, orientasi pengabdian masyarakat,
pendidikan diposisikan sebagai upaya penyejahteraan masyarakat. Akar visi
humanisme yang tergambar dalam paradigma pendidikan ini adalah
pengabdian masyarakat yang juga bisa berarti pendidikan dilakukan hanya
untuk kepentingan manusia. 22
Pendidikan yang secara umum bertujuan untuk membantu manusia
mendapatkan eksistensi kemanusiaannya secara utuh, dengan pendekatan
konsep humanisme maka pendidikan akan diarahkan untuk menjadikan
manusia lebih baik dalam menjalani kehidupan. Dengan bekal akal yang
membedakan manusia dengan makhluk lainnya, manusia diorientasikan
kearah agar menjadi manusia yang cakap dan mandiri dalam menghadapi
masalah-masalah, baik permasalahan pribadi maupun sosial. Konsep
humanis diharapkan mampu menjadikan manusia menonjolkan dua aspek
penting yang ada dalam dirinya yaitu spiritualitas dan inteleqtualitas,
dengan kata lain pendidikan dengan pendekatan konsep humanisme
diarahkan pada pengembangan kepribadian yang mencakup pada oleh pikir,
karsa dan cipta.
Peran manusia sebagai bagian integral masyarakat, seorang
individu akan selalu terikat dengan hubungan interpersonal dengan individu
lainnya, untuk itulah pendidikan humanistik tidak bisa mengesampingkan

22
Quhfi Mu’arif, Menggali Akar Visi Humanis Liberal Art Membentuk Manusia
Berparadigma Holistik, dalam Jurnal Edukasi Vol Viii/nomor 1/2011, h. 42.
30

dimensi sosial manusia.23 Sebab, walaupun bagaimanapun, manusia akan


senantiasa hidup berdampingan dan saling membutuhkan.
5. Wacana Humanisme dalam Kurikulum
Tujuan utama dari humanisme adalah perkembangan dari
aktualisasi diri manusia secara otonom dalam humanisme adalah sebagai
fasilitator. Afeksi dan kognitif adalah kuncinya, sedangkan tujuannya adalah
membangun manusia yang dapat mengaktualisasikan driinya dalam
lingkungan. Dijelaskan juga bahwa hakikat manusia adalah unik, memiliki
potensi individual dan dorongan internal untuk berkembang dan
menentukan perilakunya. Oleh sebab itu, setiap diri manusia bebas dan
memiliki kecenderungan untuk tumbuh dan berkembang mencapai
aktualisasi diri secara maksimal.
Humanis adalah hal yang sederhana namun sulit dimaknai.
Pendekatan humanis menyatu dalam diri manusia, akan tetapi sulit merekat
pada setiap sikap dan tingkah laku manusia. Humanisme adalah hal yang
unggul dalam kondisi jiwa manusia. Humanisme membicarakan martabat,
otonomi, kebebasan, integritas, kesejahteraan, kesetaraan dan potensi.
Demikian adanya peserta didik sebagai golongan manusia. Peserta didik
yang menyelubungi diri dengan pendekatan humanis adalah hal yang
mampu membuat keputusan sendiri tentang kehidupan mereka. Peserta
didik memiliki kepercayaan serta alasan tersendiri dalam menjalani
pedidikan.
Kurikulum pendidikan humanistik dikembangkan oleh para ahli
pendidikan humanistik. Aliran ini lebih memberikan tempat utama pada
siswa. Guru diharapkan dapat membangun hubungan emosional yang baik
dengan peserta didiknya, oleh karena itu, peran guru yang diharapkan
diantaranya adalah sebagai berikut24:
a. Mendengar pandangan realitas peserta didik secara komprehensif.
b. Menghormati individu peserta didik.
c. Tampil alamiah, otentik dan tidak dibuat-buat.

23
Quhfi Mu’arif, Menggali Akar Visi, h. 44.
24
Departemen Agama RI, Pedoman Umum Pelajaran Umum Madrasah Aliyah, (Jakarta:
Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Depag RI, 2003), h. 5.
31

Dalam pendekatan humanistik sebagai dasar pengembangan


kurikulum, peserta didik diajarkan untuk membedakan hasil berdasarkan
maknanya. Pendekatan pengembangan kurikulum ini melihat kegiatan
sebagai sebuah manfaat untuk peserta dimasa depan. Sesuai dengan konsep
yang dianut, yaitu aliran pendidikan pribadi, pendekatan ini lebih
memberikan tempat utama pada siswa.25
Wacana humanisme dalam kurikulum pendidikan adalah adanya
beberapa karakteristik yang tidak lepas dari karakteristik pendidikan
humanisti, diantaranya yaitu26:
a. Adanya hubungan yang harmonis antara guru dan siswa, hal ini
bertujuan untuk membangun suasana belajar yang baik, seharmonis
mungkin harus membangun hubungan antara guru dan siswa, tersebab
pengaruh psikis sangat mempengaruhi daya tangkap siswa saat belajar,
maka konsep ini perlu dibentuk sehingga guru tidak terkesan
menakutkan.
b. Adanya integritas yaitu dalam kurikulum berbasis humanistik
menekankan kesatuan prilaku bukan saja yang bersifat intelektual,
tetapi juga emosional dan tindakan, ini merupakan komitmen dari
pendidikan humanis yang mana berupaya untuk mengembalikan
pendidikan pada realitas sosial.
c. Adanya totalitas yaitu kurikulum humanistik harus mampu memberikan
pengalaman yang menyeluruh (totalitas), bukan terpenggal-penggal
(parsial).
d. Model evaluasi tidak ada kriteria pencapaian.

C. Pendidikan Agama Islam


1. Pengertian Pendidikan Agama Islam
Pendidikan agama merupakan salahsatu dari tiga subyek pelajaran
yang harus dimasukkan kedalam kurikulum setiap lembaga pendidikan
25
Agus Zaenal Fitri, Manajemen Kurikulum Pendidikan Islam, (Bandung: Alfabeta,
2013), h. 120.
26
Suprihatin, Pendekatan Humanistik dalam Pengembangan Kurikulum Pendidikan
Islam, Jurnal Potensia: Jurnal Kependidikan Islam, vo 3, no. 1, h. 101-102.
32

formal di Indonesia. Harapannya adalah untuk mewujudkan kehidupan


beragama sebagai salah satu dimensi kehidupan agar bisa hadir secara
terpadu.27 Zakiyah darajat mendefinisakan Pendidikan Agama Islam adalah
suatu usaha sadar untuk membina dan mengasuh peserta didik agar
senantiasa dapat memahami ajaran Islam secara menyeluruh (kaffah). Tidak
sekedar memahami ajaran Islam, namun juga ditujukan untuk mampu
menghayati serta mengamalkan dan menjadikan Islam sebagai satu-satunya
pandangan hidup.28
Definisi pendidikan agama Islam secara lebih rinci dan jelas tertera
dalam kurikulum pendidikan agama Islam ialah sebagai upaya sadar dan
terencana dalam menyiapkan peserta untuk mengenal, memahami,
menghayati hingga mengimani, bertaqwa dan berakhlak mulia dalam
mengamalkan ajaran agama Islam dari sumber utamanya kitab suci alquran
dan hadist melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, latihan serta
penggunaan pengalaman, namun tidak berhenti sampai pada tahapan itu,
melainkan perlu juga diselaraskan dengan tuntunan untuk menghargai
penganut agama lain dalam tatanan kerukunan antar umat beragama, hal ini
dimaksudkan untuk mewujudkan masyarakat beragama yang bersatu dan
menjunjung tinggi persatuan bangsa.
Dari pengertian tersebut, dapat ditemukan beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam pembelajaran pendidikan agama Islam yaitu sebagai29:
a. Pendidikan agama Islam sebagai usaha sadar, yakni kegiatan
bimbingan, pengajaran dan atau latihan yang dilakukan secara
terencana dan sadar atas tujuan yang hendak dicapai.
b. Menyiapkan peserta didik sebagai ujung tombak pendidikan agar bisa
mencapai tujuan, dalam hal ini peserta didik perlu dibimbing, diajari
atau dilatih dalam meningkatkan keyakinan, pemahaman, penghayatan
dan pengalaman terhadap ajaran Islam.

27
Chabib Thoha, dkk, Metodologi Pengajaran Agama, (Yogyalarta: Pustaka Pelajar,
1999), h. 1.
28
Heri Gunawan, Kurikulum dan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, (Bandung:
Alfabeta, 2013), h. 201.
29
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Agama Islam, Upaya Mengefektifkan Pendidikan
Agama Islam di Sekolah, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), h. 76.
33

c. Pendidik atau guru pendidikan agama Islam yang melakukan


bimbingan, pengajaran dan atau latihan secara sadar terhadap peserta
didiknya untuk mencapai tujuan pendidikan agama Islam.
d. Kegiatan pembelajaran pendidikan agama Islam diarahkan untuk
meningkatkan keyakinan, pemahaman, penghayatan dan pengalaman
ajaran agama Islam dari peserta didik, disamping untuk membentuk
kesalehan dan kualitas pribadi juga untuk membentuk kesalehan sosial.
Dapat dipahami bahwa pendidikan agama Islam memang
diharapkan mampu membentuk kesalehan pribadi pada peserta didik namun
dengan tetap diimbangi dengan kesalehan sosial sehingga orientasi dari
pendidikan agama Islam tidak menumbuhkan sikap fanatisme kepada
peserta didik, sikap intoleran serta tidak menjadikan peserta didik memiliki
sikap lemah dalam menjaga kerukukan hidup beragama dan bermasyarakat.
Dengan kata lain, pendidikan agama Islam diharapkan mampu menciptakan
ukhuwah islamiyah dalam arti luas.
2. Tujuan Pendidikan Agama Islam
Secara sederhana, tujuan merupakan sesuatu yang akan dituju,
yaitu hal yang akan dicapai dengan usaha atau kegiatan. Dalam bahasa arab
dinyatakan dengan ghayat atau maqasid. Sedang dalam Bahasa Inggris,
istilah tujuan dinyatakan dengan goal atau purpose atau objective.30 Suatu
kegiatan akan berakhir, bila tujuannya sudah tercapai, namun jika hal itu
bukan sebagai tujuan akhir, maka kegiatan akan terus dilaksanakan untuk
kemudian mencapai tujuan akhirnya.31
Tujuan pendidikan agama Islam adalah sesuatu yang ingin dicapai
setelah melakukan serangkaian proses pendidikan agama Islam disekolah
atau madrasah. Ada beberapa pendapan terkait tujuan akhir dari pendidikan
agama Islam. Salah satunya adalah al-Attas yang menghendaki tujuan
pendidikan agama Islam itu adalah manusia yang baik. Sementara itu,
Marimba mengatakan, menurutnya tujuan pendidikan agama Islam adalah
terciptanya orang yang berkepribadian muslim. Berbeda dengan al-Abrasy,
30
Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2003), h. 76.
31
Zakiyah Darajat, Metode Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2001), h.
72.
34

menghendaki tujuan akhir pendidikan agama Islam itu adalah terbentuknya


manusia yang berakhlak mulia. Munir Musyi mengatakan tujuan akhir
pendidikan agama Islam adalah manusia yang sempurna.32
Pendidikan agama Islam memang menghendaki peserta didik
mampu mengimplementasikan serta memanifestasikan tujuan hidupnya
sebagaimana yang telah digariskan Allah dalam Alquran. Difirmankan
bahwa tujuan penciptaan manusia adalah untuk beribadah kepada Allah,
ibadah yang dimaksud yaitu dalam konsep luas, bukan hanya sebagaimana
pendapat atau anggapan yang menyebutkan bahwasanya beribadah itu
sebatas hablumminallah, sebatas sholat, zakat, puasa dan haji.
Dalam merumuskan tujuan tentunya tidak boleh menyimpang dari
ajara Islam. Sebagaimana yang telah diungkapkan Zakiyah Darajat, terdapat
tiga prinsip dalam merumuskan tujuan, yaitu33:
a. Memelihara kebutuhan pokok hidup yang vitas seperti agama, jiwa dan
raga, keturunan, harta, akal dan kehormatan.
b. Melengkapi dan menyempurnakan segala kebutuhan hidup manusia
sehingga sesuatu yang menjadi kesulitan dapat diatasi dan dihilangkan
serta yang diperlukan mudah didapat.
c. Mewujudkan keindahan dan kesempurnaan dalam suatu kebutuhan.
Penekanan terpenting dari pendidikan agama Islam pada dasarnya
adalah hubungan antar sesama manusia yang dilandasi dengan nilai-nilai
Islam yang berkenaan dengan moralitas sosial. Senafas dengan ini, arah
pelajaran etika didalam alquran secara tegas diwacanakan bahwa Nabi
diutus untuk memperbaiki akhlak. Maka, pendidikan agama Islam bertujuan
untuk menumbuhkan serta meningkatkan keimanan peserta didik melalui
pemupukan pengetahuan, pengalaman dan penghayatan terkait ajaran
agama. Sehingga peserta didik siap menjadi manusia yang kuat iman serta
mampu mengimplementasikan nilai-nilai keagaman dalam kehidupan
sehari-hari. Oleh sebab itu, jika membicarakan tujuan pendidikan agama
Islam maka harus tetap mengacu pada penanaman nilai-nilai Islam dan tidak
dibenarkan jika melupakan etika maupun moralitas sosial.
32
Heri Gunawan, Kurikulum dan Pembelajaran, h. 205.
33
Zakiya Darajat, Metode Pengajaran Agama, h. 74-76.
35

3. Fungsi dan Peranan Pendidikan Agama Islam


Peran dan fungsi pendidikan agama Islam demikian strategis dalam
menciptakan kondisi masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur.
Pendidikan Islam akan membimbing dan memproses sumber daya manusia
dengan bimbingan wahyu hingga terbentuk individu-individu yang memiliki
kompetensi memadai. Pendidikan agama Islam memfasilitasi manusia untuk
belajar dan berlatih mengaktualisasikan segenap potensi yang dimilikinya
menjadi kompetensi sebagai manusia yang kompeten, yang profilnya
digambarkan Allah sebagai sosok ulil albab, sebagai manusia muslim
paripurna, yaitu manusia yang beriman, berilmu dan beramal shaleh sesuai
dengan tuntunan ajaran Islam seperti terungkap dalam QS. Ali Imran : 190-
191. Berdasarkan ayat tersebut tampak jelas sasaran dan tujuan pendidikan
Islam yaitu menjadikan manusia yang ulil albab, suka berdzikir dan
berpikir, beramal dimanapun berada, berdoa dan tawadhu terhadap Allah
sehingga tidak ada rasa sombong dan pembangkangan yang berarti. Lebih
jauh profil insan ulil albab ini menggambarkan sosok manusia yang
kompeten yaitu seorang yang beriman (dzikir/afektif), berilmu
(fikir/kognitif) dan memanfaatkan ilmunya dalam kehiduapan
(amal/psikomotorik). Dengan demikian, pendidikan Islam berfungsi dan
berperan dalam membangunSDM yang kompeten dan berakhlak mulia.34
Pendidikan agama Islam seharusnya diberikan sejak dini. Dalam
Islam dikenal dengan istilah pendidikan sepanjang hayat yang artinya
selama seseorang masih bernafas tidak terlepas pendidikan dalam dirinya,
sebab setiap langkah hidup manusia pada hakikatnya adalah belajar dan
mempelajari.

4. Ruang Lingkup Pendidikan Agama Islam


Secara umum, sebagaimana tujuan pendidikan agama Islam diatas,
maka dapat ditarik beberapa dimensi yang hendak dituju oleh kegiatan
pembelajaran pendidikan agama Islam, yaitu :
a. Dimensi keimanan peserta didik terhadap ajaran agama Islam.

34
Heri Gunawan, Kurikulum dan Pembelajaran, h. 207.
36

b. Dimensi penalaran atau pemahaman secara mendalam dalam rangka


melatih intelektual serta keilmuan peserta didik terhadap ajaran agama
Islam.
c. Dimensi penghayatan atau pengalaman batin yang dirasakan peserta
didik dalam menjalankan ajaran Islam.
d. Dimensi pengalaman dalam arti bagaimana ajaran Islam yang telah
diimani, dipahami dan dihayati oleh peserta didik itu mampu
menumbuhkan motivasi dalam dirinya untuk mengamalkan ajaran
agama dan nilai-nilainya serta merealisasikan nilai-nilai tersebut dalam
kehidupan pribadinya dan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.35
Sedangkan menurut Hasbi Ash-Shidiqi, ruang lingkup pendidikan
agama Islam meliputi36:
a. Tarbiyah jismiyyah yaitu segala rupa pendidikan yang wujudnya
menyuburkan dan menyehatkan tubuh serta menegakkannya, supaya
dapat merintangi kesukaran yang dihadapi pengalamannya.
b. Tarbiya aqliyah yaitu sebagaimana rupa pendidikan dan pelajaran yang
hasilnya dapat mencerdaskan akal menajamkan otak semisal ilmu
berhitung.
c. Tarbiyah adabiyah segala sesuatu praktik maupun teori yang dapat
meningkatkan budi dan meningkatkan perangai. Tarbiyah adabiyah atau
pendidikan budi pekerti/akhlak dalam ajaran Islam merupakan salahsatu
ajaran pokok yang mesti diajarkan agar umatnya memiliki dan
melaksanakan akhlak yang mulia sebagaimana telah dicontohkan oleh
Rasulullah SAW.
Dengan melihat deskripsi pendidikan agama Islam dan ruang
lingkup yang sudah dijelaskan diatas maka dapat disimpulkan dengan jelas
bahwa pendidikan agama Islam adalah jembatan menuju pembentukan
manusia yang lebih berkepribadian kuat dan baik berdasarkan pada nilai-
nilai dan ajaran agama Islam. Oleh sebab itu, pendidikan agama Islam

35
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, h. 78.
36
Abdul Majid, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi, Konsep, dan
Implementasi Kurikulum 2004, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), h. 138.
37

sangat penting sebab dengan pendidikan ini orangtua maupun guru akan
berupaya semaksimal mungkin untuk mengearahkan peserta didik/anak
kepada kepribadian yang sesuai dengan ajaran Islam.
5. Pendidikan Humanisme dalam Paradigma Pendidikan Islam
Menciptakan pendidikan Islam yang humanis berarti memformat
pendidikan yang mampu menyadarkan nalar kritis peserta didik masyarakat
muslim agar tidak jumud dengan hanya berpasrah menerima apa yang sudah
ada dan berlaku sebagai budaya yang lestari dilingkungannya. Tapi juga
mampu mendialogkan dengan perkembangan zaman yang ditengarai dengan
maraknya teknologi serta pesatnya laju perkembangan ilmu pengetahuan di
segala penjuru yang kian hari kian mengasingkan. Hal ini seharusnya
dipahami oleh peserta didik yang hidup di era global untuk kemudian
meningkatkan kemampuan mengamati situasi dan kondisi. Prinsip belajar
pun harus bisa diselaraskan dengan perkembangan. Sebab jika tidak, pada
nantinya manusia akan jauh tertinggal dan terasingkan.37
Pendidikan Islam memiliki peran yang strategis sebagai sarana
human resources dan human investment. Jadi, pendidikan selain bertujuan
menumbuh kembangkan kehidupan yang lebih baik, juga telah ikut
mewarnai dan menjadi landasan moral dan etik sebagai perekat nilai
kemanusiaan dalam pemberdayaan jati diri bangsa.
Terlepas dari definisinya, pendidikan Islam hingga saat ini masih
saja menghadapi berbagai permasalahan kompleks, dari permasalahan yang
bersifat konseptual-teoritis hingga persoalan operasional-praktis. Menurut
Bassam Tibbi, sebagaimana yang dikutip oleh Abdul Wahid, pendidikan
Islam saat ini sedang mengalami masalah-masalah yang besar seperti
dikotomi, ilmu pengetahuan yang masih bersifat umum, rendahnya
semangat penelitian, bersifat hafalan dan pergeseran dari knowledge
orientation menjadi certificate orientation.38

37
Saifullah Idris, Tabrani, Realitas Konsep Pendidikan Humanisme dalam Konteks
Pendidikan Islam, Jurnal Edukasi, p-ISSN 2460-4917, h. 103.
38
Abdul Wahid, Pendidikan Islam Kontemporer: Problem Utama, Tantangan dan
Prospek dalam Paradigma Pendidikan Islam, ( Semarang: Fak. tarbiyah IAIN Semarang, 2001), h.
279.
38

Pendidikan Islam yang humanis-religius seharusnya mampu


mengakomodasi gagasan serta pemikiran untuk mengembangkan potensi
yang ada di dalam diri peserta didik dengan dibimbing sesuai nilai-nilai
agama, khusunya agama Islam, maka landasan dari gagasan serta pemikiran
tersebut didasarkan pada ajaran-ajaran Islam.
Dapat disimpulkan bahwa pendidikan humanisme dalam paradigma
pendidikan Islam adalah suatu proses pendidikan yang orientasinya kepada
pendewasaan manusia dengan melakukan pengajaran yang berlandaskan
nilai-nilai humanis, mempertahankan eksitensi, harkat dan martabat
manusia. Artinya, pendidikan humanisme diupayakan untuk mengarahkan
pendidikan kepada penyadaran peserta didik akan potensi/fitrah yang
dimilikinya, serta membantu membangkitkan dan membimbing potensi
tersebut agar peserta didik dapat mengenali siapa dirinya, tujuan hidupnya,
memahami lingkungannya dan mengenali Tuhannya sehingga peserta didik
menjadi manusia yang cerdas secara akal, emosi dan kuat spiritual. Dengan
demikiam, peserta didik akan menjadi manusia yang terbentuk dan tumbuh
menjadi manusia yang mencintai dirinya, Tuhannya dan mencintai sesama
manusia serta mencintai alam dengan tetap menambah ketaqwaan
keimanannya kepada Allah.
Adanya kemampuan manusia dalam mengaktualisasikan diri
melalui pendekatan humanis, maka Islam memberikan aturan-aturan agar
senantiasa berada dalam sikap dan tingkah laku yang lurus. Dalam hal ini,
humanisme dalam Islam senantiasa mengajak manusia dalam
memanusiakan manusia serta melakukan perannya sebagai khalifah.
Pendekatan humanis melekat dalam diri manusia. Islam mengajarkan
pendekatan humanus didasarkan pada prinsip-prinsip yang nyata, yaitu
prinsip fitrah dan rasional. Manusia memanusiakan haruslah didasarkan
pada hubungan sesama umat manusia baik hubungan sesama muslim
ataupun umat lainnya.39

D. Kurikulum Pendidikan Agama Islam


39
Achmad Faqihuddin, Internalisasi Nilai-nilai Humanistik Religius pada Generasi Z
dengan Design for change, Edukasia: Jurnal Penelitian Pendidikan Islam 12, no. 2, h. 263.
39

1. Pengertian
Sebelum mengkaji lebih jauh tentang pengembangan kurikulum
Pendidikan Agama Islam, perlu dikemukakan terlebih dahulu apa itu
kurikulum. Kurikulum berasal dari bahasa Yunani yang semula digunakan
dalam bidang olahraga, yaitu currere yang berarti jarak tempuh lari, yakni
jarak yang harus ditempuh dalam kegiatan berlari mulai dari start hingga
finish. Pengertian ini kemudian diterapkan dalam bidang pendidikan.
Bahasa Arab mengistilahkan kurikulum dengan kata manhaj, yakni jalan
terang yang dilalui oleh manusia dalam bidang kehidupannya, sedangkan
dalam konteks pendidikan, kurikulum berarti jalan terang yang perlu dilalui
oleh pendidik/guru dengan peserta didik untuk mengembangkan
pengetahuan, ketrampilan dan sikap serta nilai-nilai. Al-Khauny
menjelaskan lembaga pendidikan dalam mewujudkan tujuan pendidikan
yang diinginkan.40
Pengertian yang lama tentang kurikulum lebih menekankan pada isi
pelajaran atau isi mata kuliah, dalam arti sejumlah mata pelajaran atau
kuliah disekolah atau perguruan tinggi, yang harus ditempuh untuk
mencapai suatu ijazah atau tingkat, juga keseluruhan pelajaran yang
disajikan oleh suatu lembaga pendidikan. Dapat dikatakan bahwa kurikulum
adalah suatu perangkat yang mengemas suatu mata pelajaran yang akan
disampaikan oleh pendidik atau diatur oleh instituti pendidikan terkait
pembentukan mata pelajaran yang dikualifikasikan sesuai dengan jenjang
pendidikannya. Dari pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa
kurikulum pendidikan agama Islam merupakan suatu perangkat yang
mengatur tentang pengembangan pendidikan agama Islam sesuai dengan
jenjang pendidikan.
Pandangan M. Arifin terhadap kurikulum adalah seluruh bahan
pelajaran yang harus disajikan dalam proses kependidikan dalam suatu
sistem institusional pendidikan.41 Jika melihat dalam Undang-undang,
kurikulum merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai

40
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah
dan Perguruan Tinggi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 01.
41
M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), h. 183.
40

tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan
tertentu.
Memperhatikan pengertian pendidikan agama Islam yang
diungkapkan diatas bahwa pendidikan agama Islam merupakan system
pendidikan yang diselenggarakan atau didirikan dengan niat untuk
mengejawantahkan ajaran dan nilai-nilai Islam dalam kegiatan
pendidikannya. Maka, dapat disimpulkan bahwa kurikulum pendidikan
agama Islam adalah suatu progam atau seperangkat rencana yang mengatur
pendidikan agar berisikan berbagai bahan ajar dan pengalaman belajar yang
direncanakan dan dirancang secara sistematis dan tersusun atas dasar
norma-norma yang berlaku dan dijadikan pedoman dalam proses
pembelajaran bagi tenaga kependidikan dan peserta didik untuk mencapai
tujuan pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan agama Islam.
Dalam realitas sejarahnya, pengemabangan kurikulum Pendidikan Agama
Islam ternyata mengalami perubahan-perubahan paradigma, walaupun
dalam beberapa hal tertentu paradigma sebelumnya masih tetap
dipertahankan hingga sekarang.
Hal ini dapat dicermati dari fenomena berikut : (1) Perubahan dari
tekanan pada hafalan dan daya ingatan tentang teks-teks dari ajaran-ajaran
agama Islam, serta disiplin mental spiritual sebagaimana pengaruh dari
Timur Tengah, kepada pemahaman tujuan, makna dan motivasi beragama
Islam untuk mencapai tujuan pembelajaran Pendidikan Agama Islam. (2)
Perubahan dari cara berpikir tekstual, normatif dan absolutis kepada cara
berpikir historis, empiris dan kontekstual dalam memahami dan mejelaskan
ajaran-ajaran dan nilai-nilai agama Islam. (3) Perubahan dari tekanan pada
produk atau hasil pemikiran keagaman Islam dari para pendahulunyakepada
proses atau metodologinya sehingga menghasilkan produk tersebut, dan (4)
Perubahan dari pola pengembangan kurikulum Pendidikan Agama Islam
yang hanya mengandalkan pada para pakar dalam memilih dan menyusun
isi kurikulum Pendidikan Agama Islam kearah keterlibatan yang luas dari
41

pakar, guru, peserta didik, masyarakat untuk mengidentifikasi tujuan


Pendidikan Agama Islam dan cara-cara mencapainya.42
2. Tujuan Kurikulum Pendidikan Agama Islam
Pada dasarnya, tujuan kurikulum adalah tujuan dari setiap progam
atau rencana dari satuan kependidikan yang akan diberikan kepada peserta
didik. Dalam sistem pendidikan nasional, tujuan umum pendidikan telah
dipaparkan dari falsafah bangsa yakni pancasila yang mana tujuan
pendidikan adalah meningkatkan manusia yang berkualitas, yakni manusia
yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti
luhur, berkepribadian, berdisiplin, bekerja keras, tangguh,
bertanggungjawab, mandiri, cerdas dan terampil serta sehat jasmani dan
rohani.
Makna tujuan umum kurikulum pendidikan agama Islam diatas
pada hakikatnya membentuk manusia Indonesia yang biasa mandiri dalam
konteks kehidupan pribadinya, kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara serta berkehidupan sebagai makhluk berketuhana Yang Maha
Esa.43 Maka, jelas bahwa tujuan kurikulum pendidikan agama Islam
orientasinya adalah membentuk manusia yang mana mampu
mengimplemntasikan dirinya sebagai insan yang berakhlak dalam
bersosialisasi kepada masyarakat, negara dan bangsa.
3. Fungsi dan Peranan Kurikulum Pendidikan Agama Islam
Menurut Muhaimin, fungsi kurikulum Pendidikan Agama Islam
terbagi menjadi fungsi bagi sekolah dan masyarakat, adapun penjelasannya
sebagai berikut :
a. Bagi sekolah/madrasah yang bersangkutan
1) Sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan agama Islam yang
diinginkan atau dalam istilah KBK disebut standar kompetensi
Pendidikan Agama Islam meliputi fungsi dan tujuan pendidikan
nasional, kompetensi lintas kurikulum, kompetensi mata pelajaran
PAI.

42
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, h. 11.
43
Nana Sudjana, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di sekolah, (Bandung: Sinar
Baru Algensindo, 2013), h. 21.
42

2) Pedoman untuk mengatur kegiatan-kegiatan pendidikan agama Islam


disekolah/madrasah.
b. Bagi sekolah/madrasah diatasnya
1) Melakukan penyesuaian.
2) Menghidari keterulangan yang mengakibatkan boros waktu.
3) Menjaga kesinambungan.
c. Bagi masyarakat
1) Masyarakat sebagai pengguna lulusan sehingga sekolah/madrasah
harus mengetahui hal-hal yang menjadi kebutuhan masyarakat dalam
konteks pengembangan Pendidikan Agama Islam.
2) Adanya kerja sama yang harmonis dalam hal pembenahan dan
pengembangan kurikulum Pendidikan Agama Islam.44
Adapun peranan kurikulum Pendidikan Agama Islam terbagi
menjadi peranan konservatif, kreatif serta kritis dan evaluatif.
a. Peranan konservatif
Peranan konservatif menekankan bahwa kurikulum dapat
dijadikan sebagai sarana untuk mentransmisikan nilai-nilai warisan
budaya masa lalu yang dianggap masih relevan dengan masa kini.
b. Peranan kreatif
Peranan kreatif menekankan bahwa kurikulum harus mampu
mengembangkan sesuatu yang baru sesuai dengan perkembangan yang
terjadi dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat pada masa sekarang dan
masa mendatang.

c. Peranan kritis dan evaluatif


Peranan ini dilatarbelakangi oleh adanya kenyataan bahwa nilai-
nilai dan budaya yang hidup dalam masyarakat senantiasa mengalami
perubahan, sehingga pewarisan nilai-nilai dan budaya masalalu kepada
siswa perlu disesuaikan dengan kondisi yang terjadi pada masa sekarang.
4. Komponen-komponen Kurikulum Pendidikan Agama Islam

44
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam, h. 11-12.
43

Ada beberapa komponen dalam kurikulum Pendidikan Agama


Islam, yaitu :
a. Komponen tujuan
Komponen tujuan berhubungan dengan arah atau hasil yang
diharapkan. Dalam skala makro, rumusan tujuan kurikulum erat
kaitannya dengan filsafat atau sistem nilai yang dianut masyarakat.
Dalam skala mikro, tujuan kurikulum berhubungan dengan misi dan
visi sekolah serta tujuan yang lebih sempit, seperti tujuan setiap mata
pelajaran dan tujuan proses pembelajaran.
b. Komponen isi/materi pelajaran
Isi kurikulum merupakan komponen yang berhubungan dengan
pengalaman belajar yang harus dimiliki siswa. Isi kurikulum itu
menyangkut semua aspek baik yang berhubungan dengan materi
pelajaran yang biasanya tergambar pada isi setiap materi pelajaran yang
diberikan maupun aktivitas dan kegiatan siswa. Baik materi maupun
aktivitas itu seluruhnya diarahkan untuk mencapai tujuan yang
ditentukan.
d. Komponen metode/strategi
Kompinen ini merupakan komponen yang memiliki peran
yang sangat penting, sebab berhubungan dengan implementasi
kurikulum. Bagaimana bagus dan idealnya tujuan yang harus dicapai
tanpa strategi yang tepat untuk mencapainya, maka tujuan itu tidak
mungkin dapat tercapai.
e. Komponen evaluasi
Evaluasi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
kurikulum. Melalui evaluasi, dapat ditentukan nilai dan arti kurikulum
sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan apakah suatu kurikulum
perlu dipertahankan atau tidak, dan bagian-bagian mana yang harus
disempurnakan.
Kurikulum 2013 tidak terlepas dari fungsi dan tujuan
pendidikan nasional yang mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa. Dan bertujuan untuk
44

mengembangkan kemampuan peserta didik agar menjadi manusia yang


beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertaanggungjawab.45
5. Asas-asas Kurikulum Pendidikan Agama Islam
a. Asas Religius
Asas religius ditetapkan berdasarkan nilai-nilai ilahi yang
tertuang dalam Alquran maupun as-sunnah, karena kedua kitab tersebut
merupakan kebenaran yang universal, abadi dan futuristik. Disamping
kedua sumber tersebut, dalam pendidikan Islam juga bersumber dalam
dalil ijtihad, suatu hasil pemikiran manusia yang tidak berlawanan
dengan jiwa dan semanagt Alquran dan as-sunnah.46
b. Asas yuridis/hukum
Dasar pelaksanaan pendidikan agama berasal dari perundang-
undangan yang secara tidak langsung dapat menjadi pegangan dalam
melaksanakan pendidikan agama disekolah secara formal. Dasar yuridis
formal tersebut terdiri dari tiga macam, yaitu :
1) Dasar ideal, yaitu dasar falsafah negara pancasila, sila pertama :
Ketuhanan Yang Maha Esa.
2) Dasar struktural/konstitusional yaitu UUD 1945 dalam bab XI
pasal 29 ayat 1 dan 2 yang berbunyi :
a) Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
b) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agama masing-masing dan beribadah menurut agama
dan kepercayaan itu.
3) Dasar operasional, yaitu terdapat dalam Tap MPR No.
IV/MPR/1973 yang kemudian dikokohkan dalam Tap MPR No.
IV/MPR/1978 jo. Ketetapan MPR Np. II/MPR/1983, diperkuat
oleh Tap. MPR No. II/MPR/1988 dan Tap. MPR No. II/MPR/1993
tentang Garis-garis Besar Haluan Negara yang pada pokoknya
45
E. Mulyasa, Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013, cet. 2, (Bandung: PT.
Reamaja Rosdakarya, 2013), h. 20.
46
Saifuloh, Pengembangan Kurikulum Analisis Filosofis dan Implementasinya dalam
Kurikulum 2013, (Banda Aceh: FTK Ar-Rniry Press, 2016), h. 126.
45

menyatakan bahwa pelaksanaan pendidikan agama secara langsung


dimaksudkan dalam kurikulum sekolah-sekolah formal, mulai dari
sekolah dasar hingga perguruan tinggi.
c. Asas psikologi
Dalam ensiklopedia Indonesia asas berarti suatu kebenaran
atau pendirian, atau yang dijadikan pokok suatu keterangan. Asas
psikologi berarti kegiatan yang mengacu pada hal-hal yang bersifat
psikologi. Asas ini memberi arti bahwa kurikulum pendidikan
hendaknya disusun dengan mempertimbangkan tahapan-tahapan
pertumbuhan anak dan perkembangannya yang dilalui anak didik.
Kurikulum pendidikan harus dirancang sejalan dengan ciri-ciri
perkembangan anak didik, tahap kematangan bakat-bakat jasmani,
inteleqtual, bahasa, emosi dan social, kebutuhan dan keinginan, minat,
kecakapan, oerbedaan individu dan lain sebagainya yang berhubungan
dengan aspek psikologi.
d. Asas sosiologi
Sosiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki berbagai
gejala social hubungan antar individu dengan individu, antar golongan,
lembaga social yang disebut juga ilmu masyarakat. Didalam kehidupan
sehari-hari anak selalu bergaul dengan lingkungan atau lingkungan
sekitar.47

e. Asas filosofis
Asas filosofis dalam penyusunan kurikulum, berarti bahwa
dalam penyusunan kurikulum hendaknya berdasar dan terarah pada
falsafah bangsa yang dianut. Filsafat atau falsafah berasal dari bahasa
Yunani : philosopis, philo, philos, philein yang berarti cinta, pecinta,
mencintai, sedang sophia berarti kebijaksanaan, wisdom, kearifan,
nikmat, hakikat dan kebenaran. Seperti yang kita ketahui bahwa
pandangan hidup bangsa Indoesia adalah pancasila. Itu artinya, setiap
47
Dakir, Perencanaan dan Pengembangan Kurikulum, (jakarta: Rineka Cipta, 2010), h.
64-67
46

kegiatan yang dilakukan baik secara lembaga atau perorangan


harapannya tidak boleh bertentangan dengan asas pancasila, termasuk
dalam kegiatan penyusunan kurikulum.
Pancasila dijadikan sebagai suatu ideologi bangsa. Ideologi
adalah suatu gagasan yang berdasarkan pemikiran yang sedalam-
dalamnya dan merupakan hasil pemikiran filsafat. ideologi adalah
ajaranm doktrin, ilmu yang diyakini kebenarannya yang disusun secara
sistematis dan diberi petunjuk pelaksanaannya dalam menanggapi dan
menjelaskan masalah yang dihadapi dalam masyarakat, berbangsa dan
bernegara. Dalam penyusunan kurikulum di Indonesia yang harus diacu
adalah filsafat pendidikan pancasila. Filsafat pendidikan dijadikan dasar
dan arah, sedang pelaksanaannya melalui pendidikan.48
f. Asas ilmu pengetahuan dan teknologi
Ilmu pengetahuan dan teknologi satu sama lain tidak dapat
dipisahkan sebab ilmu pengetahuan yang hanya sebagai ilmu untuk
bahan bacaan tanpa dipraktikkan untuk kepentingan umat manusia
hanyalah teori yang mati. Sebaliknya praktik yang tanpa didasari oleh
ilmu pengetahuan hasilnya akan sia-sia. Memang dalam suatu karya
yang sederhana pelaksanannya tidak membutuhkan teori, tetapi dalam
suatu karya canggih pelaksanaannya pasti utuh berbagai landasan teori
atau hukum-hukum yang kompleks.
Kurikulum tidak boleh meninggalkan kemajuan teknolohi
pendidikan. Peningkatan penggunaan teknologi pendidikan akan
menyebabkan naiknya tingkat efektivitas dan efesiensi proses
pembelajaran tidak menonjolkan peranan guru, terutama dalam memilih
bahan dan cara penyampaiannya menyebabkan siswa pasif. Sekarang
peranan guru dapat digantikan dengan media instruksional baik berupa
media cetak maupun non-cetak terutama media elektronik.49

48
Dakir, Perencanaan dan Pengembangan, h. 78.
49
Dakir, Perencanaan dan Pengembangan, h. 84.

Anda mungkin juga menyukai