BAB II
KAJIAN LITERATUR
A. Humanisme
1. Pengertian Humanisme
Pengertian humanisme berdasarkan pendapat Amsal Bakhtiar
adalah asal kata humanisme yaitu humanitas yang mana arti dari humanitas
adalah pendidikan manusia. Dalam bahasa Yunani disebut paideia. Pada
pertengahan abad ke-14 M, humanisme disebut sebagai sebuah gerakan dari
cabang ilmu filsafat yang timbul di Italia dan kemudian berkembang di
seluruh Eropa.1 Humanisme memiliki paham kemanusiaan yang menjadikan
pusat dari kesadaran adalah manusia itu sendiri. Paham ini berawal dari
seorang Dewa bernama Bromotheus, seorang Dewa dari Mitologi Yunani
yang merasa kasihan dan jatuh hati dengan nasib manusia pada saat itu, dia
akhirnya mencari obor kebijaksanaan (pengetahuan) sebagai suluh yang
akan diberikan kepada manusia dari para Dewa.2
Kita bisa mengamati secara bahasa, maka humanisme berasal dari
dua kata humanis dan isme yang artinya manusia dan paham atau aliran.
Singkatnya, humanisme adalah istilah yang merujuk pada konsep
memanusiakan manusia dengan menjunjung tinggi pri kemanusiaan dan
mengupayakan pergaulan antara manusia satu dengan lainnya untuk
mencapai hidup yang lebih baik.
Menurut Abdurrahman Wahid, Islam memandang bahwa
humanisme merupakan pemuliaan martabat manusia di hadapan Tuhan, oleh
karena itu, manusia harus dimuliakan. Dengan demikian, manusia akhirnya
menjadi terminal terakhir melampaui nilai-nilai apapun bahkan formalisme
Islam yang sering ia kritisi.3 Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
humanisme adalah sudut pandang terkait konsep manusia yang mana
menjadi manusia adalah sebagai khalifah dimuka bumi ini. Artinya, manusia
1
Amsal Baktiar, Filsafat Agama Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2009), h. 145.
2
Jon Avery, Hasan Aksari, Menuju Humanisme Spiritual Kontribusi Perspektif Muslim-
Humanis, (Surabaya: Risalah Gusti, 1995), h. 164.
3
Syaiful Arif, Humanisme Gus Dir (Pergumulan Islam dan Kemanusiaan), (Yogyakarta:
ar-Ruzz Media, 2013), h. 279-280.
19
oleh dunia modern menjadi sumber kritikan. Hal tersebut terlihat dalam
skeptisme Feurbach yang menganggap bahwa agama adalah proyeksi
manusia belaka, dan Tuhan hanyalah angan-angan manusia yang tidak
memiliki kenyataan pada dirinya.5
Pendegradasian atas manusia, atas esensinya dan atas statusnya di
alam semesta ini, sebagaimana diakibatkan oleh keyakinan-keyakinan lama,
mau tidak mau membangkitkan humanisme di zaman renaissance. Sejak itu,
humanisme seringkali dipandang sebagai suatu paham modern yang tujuan
pokoknya adalah mengagungkan manusia itu sendiri serta esensialitasnya di
tengah jagad raya. Akar-akar humanisme berasal dari Athena, namuns
ebagai suatu paham universal, ia telah menjadi fondasi peradaban modern di
Barat. Pada hakikatnya humanisme merupakan reaksi keras terhadap filsafat
skolastik dan agama Kristen zaman pertengahan.6 Gerakan humanisme
Renaissance kemudian diikuti munculnya gerakanreformasi gerakan gereja
untuk kembali pada ajaran Kitab suci. Hal inikemudian menyebabkan
perubahan konstelasi agama di Eropa sehingga melahirkan pandangan-
pandangan seperti nasionalisme, kapitalisme dan demokrasi sebagai tiga ciri
utama dunia atau abad modern.7
Humanisme abad modern diwarnai dengan timbulnya suatu
perkembangan pesat atas ilmu pengetahuan seperti pada pertemuan Francis
Bacon yang meletakkan metode induksi modern dan perkembangan bidang
fisika yang dipelopori oleh Isac Newton. Dimulai dari perkembangan ilmu
pengetahuan tersebut, yang didorong oleh gerakan pencerahan, kemudian
timbul sekularisasi dalam kancah dunia modern, yang pengaruhnya menjadi
diskursus utama pada era selanjutnya, yaitu pada era kontemporer.
Humanisme kontemporer dapat disamakan dengan suatu pandangan atas
dunia dan manusia, yang secara sempit dapat juga diartikan sebagai sebuah
toleransi dalam tatanan sistem sosial. Hal tersebut kemudian menimbulkan
pandangan bahwa agama lebih banyak dilihat dari sisi negatifnya terhadap
5
Bambang Sugiharto, Humanisme dan Humaniora: Relevansinya bagi Pendidikan,
(Yogyakarta: Jalasutra, 2008), h. 188.
6
Ali Syariati, Tugas Cendekiawan Muslim, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2001), h. 1.
7
Bambang Sugiharto, Humanisme dan Humaniora, h. 88-89.
21
8
Miftahul Munir, Filsafat Kahlil Gibran: Humanisme Teistik, (Yogyakarta: Paradigma,
2005), h. 22.
9
Sukardjo dan Ukim Komarudin, Landasan Pendidikan, Konsep dan Aplikasinya,
(jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009), h. 58.
22
10
M. Dalyono, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), h. 45.
11
M. Dimyati Mahmud, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1989), h. 168.
12
Matt Jarvis, Teori-teori Psikologi, Pendekatan Metode untuk Memahami Prilaku,
Perasaan, dan Pikiran Manusia, (bandung: Nusa Media dan Nuansa, 2007), h. 87.
23
13
Ali Syariati, Humanisme Antara Islam dan Madzhab Barat, (bandung: Pustaka
Hidayah, 1996), h. 39.
14
Ali Syariati, Tugas Cendekiawan Muslim, h. 6-7.
15
Ali Syariati, Membangun Masa Depan Islam, (bandung: Penerbit Mizan, 1998), h. 27-
28.
24
B. Pendidikan Humanis
1. Pengertian Pendidikan Humanis
Membahas mengenai pengertian pendidikan humanis, maka yang
perlu dikupas sebelum membicarakan terkait pendidikan humanis secara
utuh adalah pengertian pendidikan dan pengertian humanis.
Noeng Muhadjir mengartikan pendidikan sebagai sebuah upaya
terprogam dan terencana untuk mengantisipasi perubahan sosial oleh
pendidik dalam membantu peserta didik dan suatu sosial untuk berkembang
16
Muhammad Yasir Nasution, Manusia menurut Al-Ghazali, (Jakarta: Rajawali Mas,
1988), h. 132.
25
ketingkat normatif yang lebih baik, bukan hanya tujuannya, melainkan juga
cara dan jalannya.17
Jika kita mengamati pengertian pendidikan yang tertuang dalam
Undang-undang Sisdiknas Bab 1 pasal 1 ayat (1), yang menyebutkan bahwa
pendidikan adalah usaha sadar dan terancang untuk mewujudkanpotensi
belajar agar peserta didik secara aktif mampu mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia dan ketrampilan yang diperlukan
oleh dirinya dan masyarakat, bangsa dan juga negara, maka dapat
disimpulkan bahwa pendidikan adalah suatu kegiatan yang dilakukan secara
sadar dan direncanakan secara terancang untuk kemudian orientasinya
adalah membentuk manusia yang mampu memelihara dan mengembangkan
fitrah serta potensinya menuju insan kamil, menuju manusia seutuhnya. Itu
artinya, pendidikan juga dapat dikatakan sebagai usaha seseorang maupun
kelompok yang disusun secara sistematis, terarah untuk mencapai tujuan
yaitu mengembangkan kepribadian dan kemampuan dasar manusia menuju
perubahan tingkah laku, kedewasaan, pemahaman, serta tindak-tanduk
peserta didik yang mana proses pendidikan ini bisa dilakukan secara formal
maupun non-formal.
Humanis memiliki pengertian sebagai orang yang mendambakan
dan memperjuangkan terwujudnya pergaulan hidup yang lebih baik,
berdasarkan asas pri kemanusiaan, pengabdi kepentingan sesama umat
manusia, penganut paham yang menganggap manusia sebagai objek
terpenting serta penganut humanisme.18
Dengan demikian, pendidikan humanis adalah suatu sistem
pendidikan yang mana proses pendekatannya menggunakan pendekatan
humanis, yang berarti proses pendidikannya juga menganut aliran
humanisme yang menjadikan manusia sebagai salahsatu objek terpenting
dalam pendidikan.
17
Noeng Muhadjir, Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial, (Jakarta: Balai Pustaka,
2006), h. 5
Tim Penyusun Kamus Pusat embinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen
18
Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), h.
361.
26
19
Tresna Sastrawijaya, Proses Belajar Mengajar di Perguruan Tinggi, (Jakarta:
Departemen Agama, 1989), h. 39.
20
Hasan Basri, Beni Ahmad Saebeni, Ilmu Pendidikan Islam, (bandung: Pustaka Setia,
2010), h. 133.
28
22
Quhfi Mu’arif, Menggali Akar Visi Humanis Liberal Art Membentuk Manusia
Berparadigma Holistik, dalam Jurnal Edukasi Vol Viii/nomor 1/2011, h. 42.
30
23
Quhfi Mu’arif, Menggali Akar Visi, h. 44.
24
Departemen Agama RI, Pedoman Umum Pelajaran Umum Madrasah Aliyah, (Jakarta:
Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Depag RI, 2003), h. 5.
31
27
Chabib Thoha, dkk, Metodologi Pengajaran Agama, (Yogyalarta: Pustaka Pelajar,
1999), h. 1.
28
Heri Gunawan, Kurikulum dan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, (Bandung:
Alfabeta, 2013), h. 201.
29
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Agama Islam, Upaya Mengefektifkan Pendidikan
Agama Islam di Sekolah, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), h. 76.
33
34
Heri Gunawan, Kurikulum dan Pembelajaran, h. 207.
36
35
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, h. 78.
36
Abdul Majid, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi, Konsep, dan
Implementasi Kurikulum 2004, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), h. 138.
37
sangat penting sebab dengan pendidikan ini orangtua maupun guru akan
berupaya semaksimal mungkin untuk mengearahkan peserta didik/anak
kepada kepribadian yang sesuai dengan ajaran Islam.
5. Pendidikan Humanisme dalam Paradigma Pendidikan Islam
Menciptakan pendidikan Islam yang humanis berarti memformat
pendidikan yang mampu menyadarkan nalar kritis peserta didik masyarakat
muslim agar tidak jumud dengan hanya berpasrah menerima apa yang sudah
ada dan berlaku sebagai budaya yang lestari dilingkungannya. Tapi juga
mampu mendialogkan dengan perkembangan zaman yang ditengarai dengan
maraknya teknologi serta pesatnya laju perkembangan ilmu pengetahuan di
segala penjuru yang kian hari kian mengasingkan. Hal ini seharusnya
dipahami oleh peserta didik yang hidup di era global untuk kemudian
meningkatkan kemampuan mengamati situasi dan kondisi. Prinsip belajar
pun harus bisa diselaraskan dengan perkembangan. Sebab jika tidak, pada
nantinya manusia akan jauh tertinggal dan terasingkan.37
Pendidikan Islam memiliki peran yang strategis sebagai sarana
human resources dan human investment. Jadi, pendidikan selain bertujuan
menumbuh kembangkan kehidupan yang lebih baik, juga telah ikut
mewarnai dan menjadi landasan moral dan etik sebagai perekat nilai
kemanusiaan dalam pemberdayaan jati diri bangsa.
Terlepas dari definisinya, pendidikan Islam hingga saat ini masih
saja menghadapi berbagai permasalahan kompleks, dari permasalahan yang
bersifat konseptual-teoritis hingga persoalan operasional-praktis. Menurut
Bassam Tibbi, sebagaimana yang dikutip oleh Abdul Wahid, pendidikan
Islam saat ini sedang mengalami masalah-masalah yang besar seperti
dikotomi, ilmu pengetahuan yang masih bersifat umum, rendahnya
semangat penelitian, bersifat hafalan dan pergeseran dari knowledge
orientation menjadi certificate orientation.38
37
Saifullah Idris, Tabrani, Realitas Konsep Pendidikan Humanisme dalam Konteks
Pendidikan Islam, Jurnal Edukasi, p-ISSN 2460-4917, h. 103.
38
Abdul Wahid, Pendidikan Islam Kontemporer: Problem Utama, Tantangan dan
Prospek dalam Paradigma Pendidikan Islam, ( Semarang: Fak. tarbiyah IAIN Semarang, 2001), h.
279.
38
1. Pengertian
Sebelum mengkaji lebih jauh tentang pengembangan kurikulum
Pendidikan Agama Islam, perlu dikemukakan terlebih dahulu apa itu
kurikulum. Kurikulum berasal dari bahasa Yunani yang semula digunakan
dalam bidang olahraga, yaitu currere yang berarti jarak tempuh lari, yakni
jarak yang harus ditempuh dalam kegiatan berlari mulai dari start hingga
finish. Pengertian ini kemudian diterapkan dalam bidang pendidikan.
Bahasa Arab mengistilahkan kurikulum dengan kata manhaj, yakni jalan
terang yang dilalui oleh manusia dalam bidang kehidupannya, sedangkan
dalam konteks pendidikan, kurikulum berarti jalan terang yang perlu dilalui
oleh pendidik/guru dengan peserta didik untuk mengembangkan
pengetahuan, ketrampilan dan sikap serta nilai-nilai. Al-Khauny
menjelaskan lembaga pendidikan dalam mewujudkan tujuan pendidikan
yang diinginkan.40
Pengertian yang lama tentang kurikulum lebih menekankan pada isi
pelajaran atau isi mata kuliah, dalam arti sejumlah mata pelajaran atau
kuliah disekolah atau perguruan tinggi, yang harus ditempuh untuk
mencapai suatu ijazah atau tingkat, juga keseluruhan pelajaran yang
disajikan oleh suatu lembaga pendidikan. Dapat dikatakan bahwa kurikulum
adalah suatu perangkat yang mengemas suatu mata pelajaran yang akan
disampaikan oleh pendidik atau diatur oleh instituti pendidikan terkait
pembentukan mata pelajaran yang dikualifikasikan sesuai dengan jenjang
pendidikannya. Dari pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa
kurikulum pendidikan agama Islam merupakan suatu perangkat yang
mengatur tentang pengembangan pendidikan agama Islam sesuai dengan
jenjang pendidikan.
Pandangan M. Arifin terhadap kurikulum adalah seluruh bahan
pelajaran yang harus disajikan dalam proses kependidikan dalam suatu
sistem institusional pendidikan.41 Jika melihat dalam Undang-undang,
kurikulum merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai
40
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah
dan Perguruan Tinggi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 01.
41
M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), h. 183.
40
tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan
tertentu.
Memperhatikan pengertian pendidikan agama Islam yang
diungkapkan diatas bahwa pendidikan agama Islam merupakan system
pendidikan yang diselenggarakan atau didirikan dengan niat untuk
mengejawantahkan ajaran dan nilai-nilai Islam dalam kegiatan
pendidikannya. Maka, dapat disimpulkan bahwa kurikulum pendidikan
agama Islam adalah suatu progam atau seperangkat rencana yang mengatur
pendidikan agar berisikan berbagai bahan ajar dan pengalaman belajar yang
direncanakan dan dirancang secara sistematis dan tersusun atas dasar
norma-norma yang berlaku dan dijadikan pedoman dalam proses
pembelajaran bagi tenaga kependidikan dan peserta didik untuk mencapai
tujuan pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan agama Islam.
Dalam realitas sejarahnya, pengemabangan kurikulum Pendidikan Agama
Islam ternyata mengalami perubahan-perubahan paradigma, walaupun
dalam beberapa hal tertentu paradigma sebelumnya masih tetap
dipertahankan hingga sekarang.
Hal ini dapat dicermati dari fenomena berikut : (1) Perubahan dari
tekanan pada hafalan dan daya ingatan tentang teks-teks dari ajaran-ajaran
agama Islam, serta disiplin mental spiritual sebagaimana pengaruh dari
Timur Tengah, kepada pemahaman tujuan, makna dan motivasi beragama
Islam untuk mencapai tujuan pembelajaran Pendidikan Agama Islam. (2)
Perubahan dari cara berpikir tekstual, normatif dan absolutis kepada cara
berpikir historis, empiris dan kontekstual dalam memahami dan mejelaskan
ajaran-ajaran dan nilai-nilai agama Islam. (3) Perubahan dari tekanan pada
produk atau hasil pemikiran keagaman Islam dari para pendahulunyakepada
proses atau metodologinya sehingga menghasilkan produk tersebut, dan (4)
Perubahan dari pola pengembangan kurikulum Pendidikan Agama Islam
yang hanya mengandalkan pada para pakar dalam memilih dan menyusun
isi kurikulum Pendidikan Agama Islam kearah keterlibatan yang luas dari
41
42
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, h. 11.
43
Nana Sudjana, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di sekolah, (Bandung: Sinar
Baru Algensindo, 2013), h. 21.
42
44
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam, h. 11-12.
43
e. Asas filosofis
Asas filosofis dalam penyusunan kurikulum, berarti bahwa
dalam penyusunan kurikulum hendaknya berdasar dan terarah pada
falsafah bangsa yang dianut. Filsafat atau falsafah berasal dari bahasa
Yunani : philosopis, philo, philos, philein yang berarti cinta, pecinta,
mencintai, sedang sophia berarti kebijaksanaan, wisdom, kearifan,
nikmat, hakikat dan kebenaran. Seperti yang kita ketahui bahwa
pandangan hidup bangsa Indoesia adalah pancasila. Itu artinya, setiap
47
Dakir, Perencanaan dan Pengembangan Kurikulum, (jakarta: Rineka Cipta, 2010), h.
64-67
46
48
Dakir, Perencanaan dan Pengembangan, h. 78.
49
Dakir, Perencanaan dan Pengembangan, h. 84.