Anda di halaman 1dari 13

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/321126485

Humanisme Islam: Potret Romantis dan Responnya terhadap Modernisme

Working Paper · June 1999


DOI: 10.13140/RG.2.2.14216.11523

CITATIONS READS

0 1,194

1 author:

Sokhi Huda
UIN Sunan Ampel Surabaya
95 PUBLICATIONS   14 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

New Inventions View project

Zakat, infaq dan shadaqah View project

All content following this page was uploaded by Sokhi Huda on 03 February 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


HUMANISME ISLAM:
Potret Romantis dan Responnya terhadap Modernisme

Makalah Dipresentasikan pada Seminar Kelas


Mata Kuliah Filsfat Islam

Oleh:
Sokhi Huda
NIM: F0.1.4.98.42

Dosen Pembimbing:
DR. A. Khozin Afanndi, MA.

Program Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri


Sunan Ampel Surabaya
Juni 1999
1

HUMANISME ISLAM:
Potret Romantis dan Responnya terhadap Modernisme*

Oleh: Sokhi Huda

Eksistensi umat Islam teruji untuk menghidupkan kembali Tuhannya yang turut
dimatikan oleh Modernisme, agar semua manusia dapat menikmati humanitasnya.
(Sokhi Huda)

A. Pendahuluan
Humanisme merupakan salah satu karakter renaissance Eropa sejak abad ke-15
dan ke-161 sebagai fenomena global sejarah. Ia, sebagai embrio abad modern,
merupakan respon terhadap abad pertengahan yang ketika itu alam pikiran manusia
dikungkung oleh gereja (agama/Tuhan)2.
Dalam kediriannya, humanisme memiliki konsep sendiri, yaitu penemuan
manusia dan dunia. Sebagai sebuah konsep yang mandiri, ia berada dalam sistem
abstraksi tentang hal-hal yang berkenaan dengan kedirian manusia, sehingga abstraksi
hunamisme tidak semata-mata dimiliki oleh Renaissance Eropa, akan tetapi juga
peradaban-peradaban lain yang memenuhi kriteria abstraksi tersebut. Atas dasar itu,
pemakalah mencoba untuk menggunakan abstraksi tersebut sebagai media untuk melihat
sajian humanisme Islam dalam khazanah historisnya. Sedangkan fokus yang hendak
penulis bidik adalah "potret romantis humanisme Islam dan responnya terhadap
modernisme".

*
Makalah dipresentasikan pada seminar kelas mata kuliah Filsafat Islam, Program Pascasarjana
IAIN Sunan Ampel Surabaya, pada Kamis; 3 Juni 1999, dalam bimbingan DR. A. Khozin
Afanndi, MA.
1
Satu karakter lainnya, selain humanisme, adalah individualisme. Dengan kedua karakter itu,
Renaissance, sebagaimana dikembangkan oleh J. Barckhardt (1860), memiliki konsep sejarah
yang menunjuk periode yang bersifat individualisme, kebangkitan budaya antik dan penemuan
manusia dan dunia. Lihat Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales Hingga
James (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1990), 109, 110.
2
Ibid., 109.
2

Paparan di atas memproduk keniscayaan beberapa permasalahan; yaitu: (1) Apa


dan bagaimana humanisme itu, dan apa hubungannya dengan modernisme?; (2) Apa dan
bagaimana humanisme Islam itu?; (3) bagaimana potret romantis humanisme Islam?;
dan (4) bagaimana respon romantisisme Islam terhadap modernisme?.
Penulis mencoba untuk "membedah pintu" sejumlah permasalahan di atas
dengan pendekatan historis komparatif3. Pada level konsep, dikonfirmasi antara
humanisme modern (Eropa) dan humanisme Islam. Pada potret romantis, ditampilkan
wajah humanisme Islam yang dimiliki oleh sejarahnya. Kemudian pada respon
romantisisme Islam, didemonstrasikan sikap intelektual beberapa pemikir Islam terhadap
modernisme, atau para orientalis yang dengan sikap objektifnya menyajikan --dari hasil
galiannya-- fakta historis yang terpendam.

B. Abstraksi Konseptual-Filosofis tentang Manusia


Dalam pandangan "filsafat manusia", sebagaimana kajian Drijarkara, manusia
adalah pertama: makhluk yang berhadapan dengan diri sendiri. Dia bersatu dan berjarak
terhadap diri sendiri. Kebersatuan itu merupakan persona/pribadi, dan keberjarakannya
dinyatakan dengan melakukan dan mengolah, mengangkat dan merendahkan diri sendiri.
Kedua: manusia adalah makhluk yang berada dan menghadapi alam kodrat. Dia
merupakan kesatuan dengan, akan tetapi juga berjarak terhadap alam. Kebersatuan itu
menjadikan manusia sebagai bagian dari sistem alam, dan keberjarakannya dinyatakan
dengan kemampuan memandang, mengolah, dan mengubah alam. Ketiga: manusia
adalah makhluk yang terlibat dalam situasi. Situasi itu berubah dan mengubah manusia.
Dengan ini ia menyejarah. Meskipun demikian, manusia tetap dia sendiri.4 Oleh karena
itulah, manusia tidak saja ada, tetapi juga berada dalam dinamika persona, memiliki
dinamika sebagai realitas alam, dan menyejarah dengan kediriannya. Filafat modern

3
Pendekatan historis-komparatif adalah penelitian sejarah untuk membandingkan gejala-gejala
yang sejenis, baik berdasarkan perbedaan waktu terjadinya maupun perbedaan tempat terjadinya.
Lihat Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial (Yogyakarta: Gajah Mada University
Press, 1991), 78, 81-82.
4
N. Drijarkara, S.J., Filsafat Manusia (Yogyakarta: Kanisius, 1997), 7.
3

memandang manusia sebagai: (1) homo ludens (makhluk yang bermain), sebagaimana
dikaji secara khusus oleh Johan Huizinga, ahli sejarah terkenal Belanda5, di samping
sebagai (2) homo faber (makhluk tukang yang menggunakan alat-alat dan bahkan
memproduksi alat-alatnya sendiri) dan (3) homo sapiens (makhluk arif yang memiliki
akal budi dan dengan demikian mengungguli semua makhluk hidup yang lain. Secara
khusus sebagai homo ludens, manusia ingin menyelidiki perkaitan antara permainan dan
kebudayaan, dengan mempergunakan pengetahuannya.6
Sebagai perbandingan, al-Ghazali, seorang aktor filsafat abad pertengahan,
memandang manusia sebagai substansi immaterial yang berdiri sendiri dan merupakan
subjek yang mengetahui. Manusia mempunyai identitas esensial yang tetap, tidak
berubah-ubah, yaitu al-nafs (jiwa). Al-nafs adalah substansi yang berdiri sendiri, tidak
bertempat, dan merupakan tempat pengetahuan intelektual (al-ma'qulat) berasal dari
`alam al-malakut atau `alam al-'amar.7 Apabila dikategorisasi, maka dapat dinyatakan
bahwa pandangan pertama dan kedua berorientasi vertikal (ketuhanan), sedangkan
pandangan ketiga berorientasi horisontal (dinamika sejarah manusia sendiri).

C. Konfirmasi Konsep: Humanisme Modern dan Humanisme Islam


Sebelum dibuka konfirmasi, terlebih dulu dihadirkan telaah peristilahan secara
umum dan sejarah filsafat, sebagai pintu masuk. Humanisme (Inggris: humanism)
mempunyai beberapa arti: (1) menganggap individu rasional sebagai nilai paling tinggi;

5
Kajian Huizinga dituangkan dalam "Homo Ludens: Proeve eener bepaling van het spel-element
der cultuur (1983), yang mendapat pengakuan internasional. Kajiannya tentang permainan
dimulai dari (1) makna dan (2) fungsi permainan, (3) permainan dan perlombaan, (4) permainan
dan kebudayaan, lalu klimaksnya (5) kritik atas kebudayaan modern. Periksa K. Bertens,
Panorama Filsafat Modern (Jakarta: Gramedia, 1987), 1-12.
6
Ibid., 1. Selanjutnya, liku-liku semantis "permainan" divonis dengan pokok-pokok penjelasan
bahwa permainan itu; (1) terjadi spontan; (2) seolah-olah keluar dari kehidupan
biasa/sebenarnya; (3) mempunyai batasbatas waktu dan ruang; (4) menciptakan
orde/keteraturan; dan (5) mempunyai aturan.
7
Muhammad Yasir Nasution, Manusia menurut al-Ghazali (Raja Grafindo Persada, 1996), 69-
70. Pada periode klasik dan pertengahan, orientasi para filosof adalah esensi manusia yang
dirumuskan melalui refleksi yang sangat spekulatif. Sedangkan para filosof periode modern
berorientasi kepada eksistensinya dalam sejarah.
4

(2) menganggap individu sebagai sumber nilai terakhir; (3) mengabdi pada pemupukan
perkembangan kreatif dan perkembangan moral individu secara rasional dan berarti
tanpa acuan pada konsep-konsep adikodrati.8 Penekanan pandangan tersebut adalah pada
posisi elit "individu" dan "rasional" manusia. Keduanya digunakan sebagai referensi
untuk kepentingan pengabdian terhadap kreatifitas dan moralitas yang sekular dan
bahkan ateis.
Dalam sejarah filsafat, istilah humanisme digunakan dalam setidaknya empat hal.
Pertama: doktrin Pitagoras mengangkat manusia sebagai ukuran, yang kontras terhadap
ragam bentuk absolutisme, khususnya yang bersifat epistemologis. Kedua: dalam
Renaissance istilah itu menunjukkan gerak balik kepada sumber-sumber Yunani, dan
kritik individual serta interpretasi individual, yang kontras terhadap tradisi skolatisisme
dan otoritas religius. Ketiga: pada abad kemudian, istilah itu sering dipakai dalam
kontras terhadap teisme, yang menempatkan dalam manusia sumber kebaikan dan
keatifitas. Keempat: F.C.S. Schiller dan William James, untuk mengangkat humanisme
sebagai pandangan yang bertolak belakang terhadap absolutisme filosofis. Ini kontras
terhadap pandangan Pitagoras. Alasannya adalah, humanisme menurut kedua tokoh itu
dipandang melawan hal-hal absolut-metafisi dan bukan yang epistemologis, yakni
melawan dunia tertutup idealisme absolut. Oleh karena itu, penekanannya pada alam
atau dunia yang terbuka, pluralisme, dan kebebasan manusia.9

1. Humanisme Modern (Eropa)


Humanisme muncul dalam setting gerakan Renaissance yang terjadi di Eropa
(Italia dan Perancis), untuk menghidupkan kembali kemajuan kemanusiaan (alam
pikiran) yang pernah terjadi pada abad klasik, menentang kungkungan gereja. Istilah
Renaissance digunakan para sejarahwan untuk menunjuk berbagai periode kebangkitan
intelektual, khususnya yang terjadi di Eropa, dan lebih khusus lagi di Italia, sepanjang
abad ke-15 dan ke-16. Bukti yang mewarnai kebangkitan itu adalah munculnya karya

8
Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996), 259.
9
Ibid., 295-296.
5

seni dan sastra, kemudian penelitian empiris yang melahirkan sains. Jules Michelet,
sejarahwan Prancis, adalah orang pertama yang menyatakan bahwa Renaissance adalah
periode penemuan manusia dan dunia, lebih dari sekadar kebangkitan peradaban yang
merupakan permulaan kebangkitan dunia modern.10
Atas dasar paparan di atas, periode Renaissance dapat disebut juga sebagai zaman
Humanisme. Maksud ungkapan ini adalah bahwa manusia diangkat dari abad pertengahan.
Pada abad pertengahan itu manusia dipandang kurang dihargai sebagai manusia. Gereja
menertapkan bahwa kebenaran diukur berdasarkan ukuran dari Gereja, bukan menurut
ukuran yang dibuat manusia. Humanisme menghendaki manusia sebagai ukuran kebenaran.
Karena menusia mempunyai kemampuan berfikir, maka humanisme menganggap
manusia mampu mengatur dirinya dan dunia. Sehingga, ciri utama Renaissance atau
Humanisme adalah individualisme, lepas dari agama, empirisme, dan rasionalisme.
Pada giliran berikutnya, modernisme benar-benar tegak dengan rasionalisme. Di
tangan Descartes, disebut sebagai bapak filsafat modern, rasionalisme memperoleh
figurnya yang kokoh. Slogan populernya adalah cogito ergo sum (aku berpikir, jadi aku
ada). Di tangan Hobbes, rasionalisme berkembang menjadi ateisme dan materialisme.11
Di tangan Cartesian, rasionalisme berwajah dualistik, yang berpuncak substansi bahwa
realitas dunia ini, tak ubahnya ibarat sebuah mesin raksasa tanpa unsur spiritual yang
namanya Tuhan.12 Bahkan lebih ekstrem lagi, rasionalisme di tangan Nietzsche, ateisme-
nihilisme, lewat retorika agitatifnya dalam salah satu bukunya: "...Kemanakah Tuhan
larinya? Aku akan jelaskan pada kalian. Kita telah membunuhnya. Kita semua adalah
pembunuh.. Belumkah kita sadar dengan para penggali pusara yang sedang
menguburkan Tuhan? .…. Tuhan telah mati. Tuhan tetap mati.13

10
Tafsir, Filsafat..., 109-110.
11
Ibid., 115.
12
Syamsul Arifin, et.al., Spiritualitas Islam dan Peradaban Masa Depan (Yogyakarta: SIPRESS,
1996), 25.
13
Ahmad Syafii Maarif, Al-Qur'an, Realitas Sosial dan Limbo Sejarah (Bandung: Penerbit
Pustaka, 1985), 39.
6

2. Humanisme Islam
Dalam pandangan penulis, humanisme Islam itu bermula dari diterimanya wahyu
pertama "Iqra'” oleh Nabi Muhammad14. Ini penulis konfirmasikan dengan hipotesis
Hasan yang mengemukakan bahwa sejak abad ke-7 "Renaissance Islam" (era of the
promotion of knowledge, and the cultivation of scientific spirit) telah dikibarkan, kala
Eropa masih terselubungi oleh abad kegelapan (Dark Age). 15 Kemudian, hal itu penulis
hubungkan dengan setting historis kaitannya dengan Eropa, sebagaimana dijelaskan oleh
Neill bahwa kebudayaan Kristen di Eropa di antara 600-1000 M. sedang mengalami
masa surut yang rendah. Sementara Lebon mengatakan bahwa "orang Arablah yang
menyebabkan kita mempunyai peradaban, karena mereka adalah imam kita selama enam
abad".16
Berdasarkan data-data tersebut dapat dilihat bahwa nilai "Iqra'" tidak saja diserap
oleh masyarakat Arab sendiri, akan tetapi juga memberi kontribusi riil terhadap
peradaban Eropa, dalam rangka menumbuhkan spirit sains (kebangkitan intelektual).
Kemudian, humanisme Islam yang bernilai kontributif itu dikembangkan oleh Dinasti
Abbasiyah, melalui gerakan penerjemahan karya-karya Yunani, Persia dan India, yang
dipelopori oleh al-Ma'mun (813-833)17, Khalifah yang berisme Mu'tazilah dan
menjadikannya sebagai doktrin resmi khilafah18. Sehingga pada masa ini ilmu
pengetahuan tumbuh dan berkembang sangat pesat, seperti: tafsir, fikih, hadith, nahwu,
teologi, astronomi, optika, matematika, astronomi, aljabar kimia, fisika, filsafat,
kedokteran, geografi dan sejarah. Cristopher Dawson menyebut periode kemajuan Islam
(masa Dinasti Abbasiyah) bersamaan masanya dengan abad kegelapan di Eropa.

14
Faruqi, Isma`il Ragi. The Cultural Atlas of Islam (New York: Macmillan Publishing Company,
1986), 124. Wahyu pertama itu diterima Nabi pada bulan Juni 610 (abad ke-7). Peristiwa penting
pada tahun itu, adalah Khadijah, Ali, dan Abu Bakr masuk Islam, atas kewahyuan tersebut.
15
Masudul Hasan, History of Islam: Classical Period 571 - 1258 C.E. (Delhi, India: Adam
Publishing, 1995), 16.
16
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, I (Jakarta: UI-Press, 1985), 74.
17
Syed Mahmudunnasir, Islam: It's Concept and History (New Delhi, India: Kitab Bhavan, t.t.),
202. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), 52-53.
18
H. Laoust dalam H.A.R. Gibb, at.al., The Encyclopaedia of Islam, Vol.1 (Leiden: E.J. Brill; London:
Luzac & Co., 1960), 272.
7

Penyelidikan Rom Landau mengakui, bahwa dari periode Islam klasik orang Barat
belajar berpikir objektif, dan belajar berdada lapang saat terpasungnya pikiran dan tidak
adanya toleransi terhadap kaum minoritas, sebagai bimbingan bagi renaissance Eropa
yang kemudian membawa pada kemajuan dan peradaban Barat sekarang. Jacques C.
Rislar menegaskan ilmu pengetahuan dan teknik Islam amat dalam mempengaruhi
kebudayaan Barat.19
Berdasarkan data-data tersebut, dapat dilihat bahwa dalam Islam terkandung
nilai-nilai humanisme. Apabila ini dibandingkan dengan hegemoni gereja (Kristen) pada
abad pertengahan Eropa yang menyebabkan "Dark Age", maka tampak ada kontradiksi
di antara keduanya. Justru persoalan yang menarik adalah; ideologi apa yang ditawarkan
Islam, sehingga ada "gayung bersambut" antara spirit ketuhanan (orientasi vertikal)
dengan spirit kemanusiaan (orientasi horisontal)?
Ternyata sejarah telah mencatat bahwa spirit "iqra'" telah berhasil sebagai
instrumen untuk memajukan dan mengembangkan kemanusiaan manusia. Dalam al-
Qur'an terdapat banyak ayat yang seirama dengan "iqra'". Nabi sendiri telah
mentransformasikan spirit keilmuan melalui hadith-hadithnya, termasuk perintah
(petunjuk) mencari ilmu, meskipun di negeri Cina. Bahkan Tuhan tidak setengah-
setengah memberikan kepercayaan kepada manusia, yang dinyatakanNya bahwa
manusia adalah khalifahnya di bumi.20 Tugas sebagai khalifah ini dalam konsep Faruqi
termasuk dalam sistem tauhid sebagai pandangan dunia, yang berunsurkan (1) dualitas,
(2) ideasionalitas, (3) teologi, (4) kapasitas manusia sebagai khalifah, dan (4)
responsibilitas dan hukum. Kemudian al-Qardawi merekonstruksi bahwa kemanusiaan
itu merupakan salah satu karakter ideologi dalam sistem Islam.21

19
Nasution, Islam Ditinjau..., 75.
20
al-Baqarah (2): 30.
21
Yusuf al-Qardhawi, Karakteristik Islam: Kajian Analitik (Surabaya: Risalah Gusti, 1996).
Dalam tulisannya tentang karakteristik kemanusiaan, termuat di dalamnya konsep tentang iqra'
dan kedudukan manusia sebagai khalifah Tuhan. Secara lengkap karakteristik Islam meliputi
dimensi-dimensi: (1) Ketuhanan, (2) kemanusiaan, (3) universal, (4) moderat, (5) kontekstual,
(6) jelas.
8

3. Konfirmasi Konsep
Dengan memperhatikan muatan masing-masing konsep maupun realitasnya, titik
konfirmasinya adalah persoalan: siapa manusia itu; bukan kebenaran itu ditentukan oleh
siapa? Humanisme modern memandang manusia memiliki kemampuan berfikir, dan
dengan itu manusia mampu mengatur dunianya. Sedangkan humanisme Islam
memandang bahwa manusia diberi potensi dan kepercayaan untuk menjadi wakil Tuhan
untuk membangun dunia.

D. Respons Romantisisme Islam terhadap Modernisme


Pada abad modern global (abad ke-16 dan ke-17) yang ditandai dengan naiknya
grafik kemajuan ilmu pengetahuan, Islam justru dapat dikata sedang tidak aktif dalam
kompetisi dunia. Diakui atau tidak, pada ke-17, ke-18, dan ke-19, umat Islam berposisi
aktif hanya sebagai konsumen ilmu-ilmu pengetahuan Barat. Mulai abad ke-19, setelah
melalui abad ke-13 sampai ke-18 (abad pertengahan), ada tanda-tanda munculnya
gerakan modernisme Islam. Muatan utamanya adalah pemberdayaan diri umat Islam
sendiri. Ada tiga format gerakan yang digunakannya, yaitu gerakan politik, moral, dan
intelektual. Meskipun demikian, untuk ukuran persaingan dengan Eropa (Barat), Islam
masih lemah. Sehingga, dalam usaha kebangkitan, masih membekas tajam dalam
kenangan tentang kemajuan Islam pada periode klasik. Mulai awal paruh kedua abad 13
melalui gugurnya Dinasti Abbasiyah oleh Pasukan Ghulagu Khan, dan tumbangnya
Dinasti Umayyah Spanyol oleh tentara Seville, kemajuan ilmu pengetahuan berpindah
ke Barat, apalagi Barat mengembangkannya secara elaboratif.
Romantisisme itu dapat jadi terefleksi dengan memperbanyak kajian-kajian
keluhuran Islam daripada memproduk instrumen-instrumen baru untuk mampu mandiri,
baik dalam bidang ilmu pengetahuan maupun teknologi. Atau, karena merasa bahwa
ketertinggalannya cukup jauh, sehingga terpaksa menikmati suasana romantis. Suasana
ini ditandai oleh banyaknya reproduksi daripada produksi. Menyeiringi romantisisme
itu, terdapat upaya-upaya untuk merespon modernisme lewat ide-ide berani. Pada level
konstruksi ilmu pengetahuan, dapat diagenda lima pokok sumbangan, yaitu: pertama:
9

pada tahun 1960-an dan awal 1970-an, Syed Husain Nasr, sarjana satu-satunya yang
menyajikan perspektif sufi secara terbuka atas krisis epistemologi dalam peradaban
Barat, lewat karyanya "Encounter of Man and Nature". Kedua: Syed Muhammad
Nuqaib al-Attas dan Ismail Raji al-Faruqi memusatkan perhatian di sekitar masalah
"islamisasi" ilmu pengetahuan. Dalam tulisannya "The De-Westernisation of
Knowladge", al-Attas mengajukan kritik jitu terhadap epistemologi Barat. Dia
mengatakan bahwa skeptisisme yang tidak mengenal batas-batas etik dan nilai dari
sistem ilmu pengetahuan Barat adalah merupakan antitesis terhadap epistemologi Islam.
Sementara al-Faruqi menawarkan suatu rencana sistematis yang menyeluruh untuk
merumuskan kembali epistemologi Islam kontemporer dalam karya "Islamisation of
Knowledge: General Principles and Workplan". Asumsi yang mendasarinya adalah,
bahwa penyakit umat hanya dapat diobati dengan injeksi epistemologi.22 Ketiga:
Fazlurrahman dengan metode pemahaman (tafsir) al-Qur'an. Keempat: Arkoun melalui
"kritik epistemologi terhadap bangunan keilmun Agama".23 Kelima: Hassan Hanafi
dengan keberaniannya membalik prinsip dalam tafsir "al-`Ibrah bi `Umum al-Lafz la bi
Khusus al-Sabab"24 menjadi "al-`Ibrah bi `Umum al-Sabab la bi Khusus al-Lafz".
Karya-karya mereka mewakili kesadaran untuk menghidupkan Tuhannya yang oleh
modernisme dinyatakan telah dibunuhnya dan bahkan telah mati.

F. Kesimpulan
Humanisme Islam merupakan gerakan intelektual yang bermaksud membuka
kran untuk mencapai kemajuan dan perkembangan bagi kehidupan manusia sendiri.
Gerakan ini pertama kali dipacu oleh wahyu Tuhan kepada Nabi berupa "iqra'”,

22
Zainuddin Sardar, Jihad Intelektual: Merumukan Parameter-Parameter Sains Islam, terj. A.E.
Priyono (Surabaya: Risalah Gusti, 1998), 42-43.
23
M. Amin Abdullah, "Arkoun dan Kritik Nalar Islam", dalam Johan Hendrik Meuleman, Ed.
Tradisi, Kemodernan dan Metamodernisme: Memperbincangkan Pemikiran Muhammad Arkoun
(Yogyakarta, LKiS, 1996), 3,5.
24
`Abdullah Mahmud, Manhaj al-Imam Muhammad `Abduh fi Tafsir al-Qur'an al-Karim (Kairo,
Mesir: Nashr al-Rasail al-Jami'ah, tt), 36-37.
10

kemudian dipertajam dalam realitas oleh Nabi sendiri dan kemudian semakin
dikembangkan oleh Dinasti Abbasiyah.
Humanisme Islam berspirit ketuhanan. Ini kontras dengan humanisme modern
yang justru ide dasarnya mendobrak peran agama. Hancurnya Dinasti Islam,
menyebabkan Islam memasuki wilayah kenangan di saat khazanahnya menetas dengan
glamor di tangan para penjarahnya. Meskipun demikian, ada pernik-pernik usaha dari
para intelektual muslim untuk merekonstruksi bangunan epistemologi ilmu-ilmu
keislaman sendiri maupun merespon terhadap bangunan epistemologi keilmuan modern.
Menyeiringi kepedulian ini, umat Islam tertantang oleh tugasnya sebagai khalifah Tuhan
di bumi, dan bahkan menghidupkan kembali Tuhannya sendiri setelah turut dimatikan
oleh modernisme.
11

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Amin. "Arkoun dan Kritik Nalar Islam" dalam Johan Hendrik Meuleman,
Ed. Tradisi, Kemodernan dan Metamodernisme: Memperbincangkan Pemikiran
Muhammad Arkoun. Yogyakarta, LKiS, 1996.
Arifin, Syamsul et.al., Spiritualitas Islam dan Peradaban Masa Depan. Yogyakarta:
SIPRESS, 1996.
Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996.
Faruqi, Isma`il Ragi. The Cultural Atlas of Islam. New York: Macmillan Publishing
Company, 1986.
Hasan, Masudul. History of Islam: Classical Period 571 - 1258 C.E. Delhi, India: Adam
Publishing, 1995.
Laoust, H. dalam H.A.R. Gibb, at.al., The Encyclopaedia of Islam, Vol.1. Leiden: E.J.
Brill; London: Luzac & Co., 1960.
Maarif, Ahmad Syafii. Al-Qur'an, Realitas Sosial dan Limbo Sejarah. Bandung:
Penerbit Pustaka, 1985.
Mahmud, Abdullah. Manhaj al-Imam Muhammad `Abduh fi Tafsir al-Qur'an al-Karim.
Kairo, Mesir: Nashr al-Rasa- il al-Jami'ah, tt.
Mahmudunnasir, Syed. Islam: It's Concept and History. New Delhi, India: Kitab
Bhavan, t.t.
Nasution, Muhammad Yasir. Manusia Menurut Al-Ghazali. Raja Grafindo Persada,
1996.
Nawawi, Hadari. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University
Press, 1991.
Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, I. Jakarta: UI-Press, 1985.
Qardhawi, Yusuf. Karakteristik Islam: Kajian Analitik. Surabaya: Risalah Gusti, 1996.
Sardar, Zainuddin. Jihad Intelektual: Merumukan Parameter-Parameter Sains Islam,
terj. A.E. Priyono. Surabaya: Risalah Gusti, 1998.
Tafsir, Ahmad. Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales Hingga James. Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1990.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai