Anda di halaman 1dari 16

BAB III

TUBUH DAN SEKSUALITAS MANUSIA

“Satu-satunya cara yang memungkinkan kenyataan Allah yang tak terlihat menjadi terlihat adalah
melalui tubuh manusia. Demikianlah tubuh manusia menjadi sebuah penunjuk pada kenyataan
Allah, menjadi sebuah penjelasan atau perkataan tentang Allah, menjadi logos (perkataan) tentang
theos (Allah). Tubuh manusia adalah sebuah theos – logos, sebuah teologi.” (Deshi Ramadhani,
Lihatlah Tubuhku, hlm. 22).

Memang tubuh merupakan unsur paling fundamental dalam hidup manusia. Berada
sebagai manusia tak bisa terpisah dari berada dalam tubuh dan pribadi tertentu. Untuk itu
berlandaskan pada kata-kata Paus Yohanes Paulus II di atas, maka pada bagian ini kita akan
menelaah persoalan mendasar yang mesti dijawab atas pertanyaan tentang hakikat tubuh
manusia itu sendiri dan seksualitasnya serta bagaimana memahaminya secara tepat. Sebagai
pengantar baiklah kita melihat terlebih dahulu konsep-konsep tentang tubuh manusia.

3. 1. Konsep-Konsep Tentang Tubuh Manusia

3. 1. 1. Konsep Dualistis

Dalam sejarah umat manusia ternyata tubuh dan daya seksualitas tidak selamanya
dinilai secara proporsional. Umumnya seksualitas dan tubuh manusia seringkali ditafsir di
antara dua ekstrem yang saling berseberangan, yaitu antara penghinaan dan pendewaan atas
seks atau tubuh. Malahan ada yang melihat tubuh sebagai wakil dari dunia kegelapan atau
dosa dan jiwa sebagai bagian dari keilahian yang mestinya dikejar dan dipertahankan.
Berikut ini kita akan melihat beberapa pandangan dualistis tentang tubuh.
1. Platonis (Plato, ± 348 SM). Menurut Plato manusia adalah makluk yang terdiri dari
badan dan jiwa. Namun dari keduanya itu realitas yang benar hanyalah jiwa spiritual,
sebab jiwa berasal dari kerajaan ide-ide abadi, tempat kesempurnaan. Sementara
tubuh dalam pemikiran Plato tidak lain merupakan penjara jiwa dan Roh atau jiwa
terbelenggu dalam tubuh ini. Keadaan ideal manusia adalah ketika jiwa manusia
dibebaskan dari badan melalui kontemplasi. Paltonisme beranggapan bahwa jiwa
bersifat abadi, tak berubah dan bukan materi. Cinta yang suci selalu berkorelasi
dengan keindahan atau keutuhan jiwa sedangkan cinta profan selalu terpenjara dalam
tubuh jasmani. Keadaan yang paling diimpikan adalah menghindari segala bentuk
aktifitas seksual badaniah. Askese idela dirayakan dan bersama dengan itu penolakan
perkawinan dan hidup berkeluarga. Segala bentuk hidup duniawi direndahkan dan
menekankan terutama kontemplasi murni sebagai bentuk hidup yang baik (the good
life). Pandangan ini jelas hanya menjunjung tinggi kenyataan jiwa atau yang spiritual
saja. Tubuh manusia bukan merupakan bagian utuh dari manusia itu sendiri karena
dia menghalangi manusia mencapai kesempurnaan. Orang hidup dengan penantian
terus menerus untuk membebaskan jiwa dari penjara tubuh. Sikap ini jelas sangat
mempengaruhi padangan yang utuh atas seksualitas.

2. Plotinus (± 270 Masehi). Sebagai seorang penganut neo-Platonisme dia tentu masih
membawa konsep Plato tentang tubuh manusia. Baginya tubuh tidak lain adalah
sumber penghinaan terhadap diri sendiri. Malah ia sendiri merasa malu karena
memiliki badan. Berangkat dari pendapat bahwa materi adalah jahat atau buruk,
maka badan itu buruk dan merupakan kubur jiwa itu sendiri. Jiwa (nous) harus bebas
dari ketertarikan dengan badan, lewat katarsis, agar bisa kembali kepada nous ilahi.
Cita-cita moralnya tak lain adalah pelepasan diri dari hawa nafsu dan menolak
perkawinan.

3. Stoisisme. Aliran ini dicetuskan oleh Zeno (334-262 SM) yang berasal dari Citium,
Siprus. Inti filsafat stoisisme terletak pada pandangan bahwa tidak ada autoritas yang
lebih tinggi selain dari pada nalar. Mereka amat menekankan keberadaan tanpa hawa
nafsu dan menilai segala bentuk ekspresi emosi-emosi yang mendalam sebagai
sesuatu yang buruk, jahat. Emosi mestinya ditundukkan pada nalar. Tubuh manusia
menurut mereka akan larut dalam alam dan berakhir di sana. Sebab dunia yang
ditampakkan kepada manusia adalah dunia Alam dan alam diatur oleh prinsip-prinsip
yang bisa dipahami secara rasional.Seneca seorang filsuf Stoa mengajarkan bahwa
tanda dari kebesaran sejati seseorang terletak pada tercapainya keadaan di mana dia
tidak lagi tertarik, terganggu atau tergoda oleh apapun. Bagi kaum Stoa seks bukan
sesuatu yang buruk dalam dirinya sendiri, tapi hawa nafsu sangat dicurigai dan
ditolak. Mereka pun mengakui perkawinan hanya untuk maksud prokreasi.

4. Manikheisme. Aliran ini didirikan oleh seorang yang bernama Mani yang hidup
antara tahun 216-276 M di Iran. Aliran ini berusaha menggabungkan beberapa ajaran
yang telah diseleksi dari Zaratustra, Buddha dan Yesus dan kemudian mengajarkan
dualisme ekstrem. Manikheisme dicirikan oleh pemahaman kosmologisnya tentang
pertentangan atau peperangan antara Kerajaan Terang (yang baik, yang spiritual)
48 | Moral Pribadi
dengan Kerajaan Gelap (yang jahat, dunia material). Kerajaan Terang itu berada di
bawah kekuasaan Allah dan Kerajaan Gelap itu dikuasai oleh Iblis. Melalui suatu
proses dan perjuangan terus menerus dalam sejarah manusia, Kerajaan Terang akan
dihantar secara perlahan dari dunia material dan kembali kepada dunia terang dari
mana dia sebelumnya datang. Cita-cita moral manikheisme adalah membebaskan
manusia dari unsur gelap yang jahat itu dengan membuat mati raga yang ketat,
termasuk menghindari dan berpantang dari segala aktifitas seksual yang menurutnya
hina karena merupakan bagian dari dunia Kerajaan Gelap.

5. Jansenisme. Aliran ini didirikan oleh Cornelius Jansen (± 1638) yang kemudian
memecah belah Gereja Katolik di Perancis pada pertangahan abad 17. Mereka sangat
menekankan konsep predestinasi dari ajaran St. Agustinus dan didukung oleh
pemikiran filsuf Pascal dan Antoine Arnauld. Jansenisme menegaskan bahwa orang
diselamatkan semata-mata oleh rahmat Allah, bukan oleh kekuatan kehendak mereka
sendiri, karena semua inisiatif spiritual itu berasal dari Allah saja. Oleh karena dosa
asal, maka kodrat manusia dan karena itu juga seksualitas kita telah dinodai dan
semata-mata pasif dan tidak ada artinya lagi. Tubuh tidak akan bisa mengatasi
pengaruh jahat kalau tidak dibantu oleh gerakan rahmat yang lebih tinggi dan lebih
kuat dari dosa asal itu. Dengan konsep ini mereka yakin bahwa kalau manusia
mengikuti gerakan jiwanya, yang menurut mereka dipengaruhi oleh rahmat ilahi,
maka seorang akan selamat. Sedangkan kalau seorang takluk pada tubuh yang sudah
dirusak oleh dosa asal, maka itu akan menghantarnya pada kejahatan, dosa. Karena
itu menurut mereka manusia itu ditarik secara kuat, meski juga secara bebas, pada
yang baik atau yang jahat, menurut apa yang mendominasi hidup mereka, yakni
Rahmat atau Dosa Asal. Dengan ini jelas tubuh atau seksualitas dilihat sebagai
bagian dari dosa asal, atau sebagai suatu dosa.

6. Katharisme(Catharism). Katharisme merupakan sebuah nama yang diberikan untuk


sekelompok sekte Kristiani dengan unsur-unsur keyakinan yang dualistik dan
gnostik. Aliran ini muncul di Languedoc, Perancis dan pada sebagian wilayah Eropa
pada abad ke 11 dan terus berkembang pada abad 12 dan 13. Mereka juga sangat
dipengaruhi oleh aliran Manikheisme. Menurut penganut Katharisme dunia fisik
adalah jahat dan diciptakan oleh Rex Mundi (Penguasa atau Raja Dunia), yang
menguasai segala yang bersifat badaniah, yang khaos dan karena itu ia
memang sangat berkuasa. Sementara itu allah yang mereka yakini dan yang
mereka sembah sesungguhnya tidak pernah mengambil tubuh manusia
(disinkarnasi); sebuah keberadaan atau prinsip roh murni dan secara sempurna tak
dinodai oleh cacat material. Dia adalah allah cinta, yang tenang dan damai. Dengan
ini tubuh manusia adalah jahat karena merupakan bagian dari materi dan
menurut mereka tujuan hidup manusia adalah memulihkan seksualitas atau materi
dan membaharuinya sebab itu jahat agar bisa bersatu kembali dengan sang cinta.

7. Bapa-Bapa Gereja. Beberapa bapa Gereja seperti sudah kita lihat pada bab terdahulu
juga amat dipengaruhi aliran Platonis dan Plotinus. Seksualitas dinilai berbahaya

49 | Moral Pribadi
karena melekat pada tubuh manusia. Mereka berpendapat bahwa kepuasan seksual
melemahkan kemampuan jiwa atau roh dan mengaburkan pikiran seseorang.
Perkawinan ideal adalah perkawinan tanpa adanya aktifitas seksual.

3. 1. 2. Konsep Unitaris

Sebetulnya pandangan ini juga sudah dikembangkan dalam gereja Katolik sejak
permulaan berdasarkan beberapa pemahaman tentang seksualitas manusia. Bahwa tubuh
tidak sebatas satu bagian dari manusia tapi lebih merupakan ekspresi dari keberadaan
manusia yang utuh. Manusia bukan saja memiliki tubuh, melainkan bahwa dia sendiri
adalah tubuh. Tubuh memang terdiri atas materi yang membentuknya, tetapi mendapat
kemanusiawiannya karena ikatannya dengan aku personal. Aku personal tak lain suatu
keadaan yang mengikat dan membentuk tubuh dan jiwa sebagai satu kesatuan.

Konsep tentang aku personal yang mengikat tubuh dan jiwa ini bisa kita jumpai
dalam kitab Homerus ketika diperkenalkan istilah psiche dan soma. Psyche merupakan
substansi yang sejalan dengan tubuh dan merupakan nafas hidup yang akan meninggalkan
tubuh pada waktu kematian. Sedangkan soma bukanlah badan yang bertentangan dengan
jiwa.

Aristoteles kemudian lebih memahami tubuh manusia yang terdiri atas materi dan
jiwa sebagai forma (hilemorfisme), anima forma corporis. Pandangan Aristoteles ini lebih
melihat perpaduan antara tubuh dan jiwa.

Dari ajaran Kitab Suci kita pun mengetahui bahwa tubuh dan jiwa merupakan satu
kesatuan. Karena itu Kitab Suci memakai term-term khusus yang melukiskan kesatuan
tubuh dan jiwa. Misalnya: Term daging (basaar, yang berarti darah dan daging) yang
menunjukkan keseluruhan pribadi manusia (Kej 37,27). Kemudian dalam Perjanjian Baru
dipakai term sarx dan soma untuk menunjukkan manusia dalam keseluruhannya, manusia
yang belum ditebus, yang masih terikat dengan dorongan-dorongan seksual dan karena itu
berbeda dengan pneuma (manusia yang telah ditebus). Jiwa merupakan sebutan bagi seluruh
pribadi dengan segala aspeknya (Mrk 14).

St.Paulus sendiri dalam ajarannya tentang tubuh menggarisbawahi beberapa hal


berikut: pertama, bahwa tubuh itu merupakan sesuatu yang mulia. Tubuh merupakan
ungkapan dari keseluruhan pribadi (II Kor 4:10). Kedua, bahwa tubuh kita adalah milik
Kristus dan merupakan Bait Roh Kudus (I Kor 6:13, 15, 19, 20). Manusia dipanggil untuk
terus memuliakan Allah dengan tubuhnya, sebab tubuh yang fana ini tak akan binasa sebab
akan dibangkitkan kembali. Jika Paulus mempertentangkan tubuh dan jiwa itu berarti ia
menyoroti keanekaan aspek dalam diri manusia.

3. 1. 3. Pandangan Filsafat Modern Tentang Badan

3. 1. 3. 1. Kesatuan Badan dan Kepribadian Manusia


50 | Moral Pribadi
Kita mesti membedakan penggunaan kata badan dalam konteks ilmu pengetahuan,
khususnya ilmu biologi dengan kata badan dalam konteksnya yang riil. Dalam ilmu biologi
sering kita mendengar pemakaian kata badan, tetapi itu tidak merujuk pada subyek tertentu.
Jadi makna kata badan di sini hampa dan tidak jelas. Oleh karena badan itu selalu berkaitan
erat dengan seorang pribadi, dengan satu subyek, maka badan yang konkret memang
selalu berpadu dengan ego tertentu. Dengan ini kita mengenal bahwa ini badanku,
badanmu, badannya. Setiap badan mewakili pribadi tertentu. Saya adalah badan.

3. 1. 3. 2. Hubungan Ego dengan Badan

Ada perbedaan ego corpus sum dan ego habeo corpus. Memiliki badan tentu saja
berbeda dengan memiliki barang, sebab badan sebagai milikku itu terikat erat dengan diriku.
Tak ada jarak sedikitpun antara aku dan badanku. Artinya eksistensiku begitu menyatu
dengan badanku walaupun keduanya memang tetap berbeda. Dalam kontak dengan dunia
sekitar pun aku tetap membawa badanku. Badan merupakan jembatan yang
mempertemukan pribadi dengan dunia sekitar. Badan juga merupakan sarana komunikasi,
penerjemah, penampakan konkret dari seluruh keadaan diriku. Saya menyatakan cinta dan
kasih sayang juga melalui badan. Meski demikian badan tetap juga suatu sarana penerjemah
yang tidak sempurna, malah boleh dibilang terbatas. Sebab ekspresi badanku bisa saja
sangat berbeda dari apa yang ada dalam diriku. Sehingga memang suatu tugas terus menerus
bagi setiap pribadi untuk mengharmoniskan ekspresi tubuh dengan kepribadiannya sendiri.

3. 2. Tubuh dalam Perspektif Teologi Kristiani dan Antropologi Kristiani

3. 2. 1. Tubuh dalam Credo

Ada beberapa kebenaran iman tentang tubuh manusia yang bisa kita jumpai dalam
rumusan credo yang juga menampakkan kebesaran dan keluhuran nilai tubuh manusia.
Aspek-aspek tersebut adalah:

1. Penciptaan (langit dan bumi)

Dari tulisan Kitab Kejadian kita mengetahui bahwa dualisme antropologis berakar
juga pada dualisme religius. Dualisme religius meyakini adanya dua prinsip utama yang
menggerakkan dunia, yakni: kebaikan yang menjiwai jiwa manusia dan kejahatan yang
menjiwai badan manusia. Dalam konteks iman dan moral Kristiani dikenal hanya ada
satu prinsip utama dan fundamental, yaitu prinsip kebaikan. Kebaikan itu merupakan
prinsip satu-satunya bagi keberadaan makhluk ciptaan. Prinsip ini memberikan eksistensi
kepada setiap makhluk. Allah Pencipta menjadi sumber satu-satunya dari segala yang ada
dan menjadi prinsip positif satu-satunya. Karena itu semua yang berasal dari Allah
menyadang atribut baik. Allah melihat semuanya baik. Penegasan yang sama diulangi-Nya
51 | Moral Pribadi
ketika Ia menciptakan manusia. Semuanya sangat baik adanya. Dengan ini jelas bahwa
tubuh manusia yang diciptakan Allah memang baik adanya.

2. Inkarnasi

Untuk memahami secara mendalam tubuh seorang manusia kita mesti pertama-tama
melihat pada peristiwa inkarnasi, Allah mengambil rupa manusia, hidup dan memiliki tubuh
manusia. Tubuh Kristus yang dikandung oleh Perawan Maria, dilahirkan dalam kandang
hina Betlehem, yang dipersembahkan dalam kenisah pada hari kedelapan, dipelihara oleh
Yosef dan Maria, dibaptis di sungai Yordan, yang berubah rupa di gunung Tabor, yang
dipersembahkan bagi kita dalam derita dan kematian-Nya, yang dibangkitkan dan naik ke
surga serta bersatu dalam misteri Tritunggal Mahakudus telah mengangkat dan memuliakan
juga tubuh manusia kepada kemuliaan Allah yang transenden dan tak terbatas. Dengan ini
Allah diperkenalkan kepada kita secara amat istimewa melalui kehadiran seorang manusia
dan kehadiran seorang manusia selalu merupakan suatu kehadiran yang bertubuh. Tubuh
pun senantiasa merupakan tubuh seksual dan dengan ini seksualitas kita pun menjadi dasar
untuk kesanggupan kita mengenal dan mengalami Allah.

Inilah arti terdalam dari penciptaan manusia sebagai pribadi seksual, yakni bahwa
setiap orang beriman memang ditakdirkan untuk bersatu dengan Allah, yang diri-Nya
sendiri, telah mengambil tubuh seorang manusia. Karena memang ”...tubuh bukanlah untuk
percabulan, melainkan untuk Tuhan dan Tuhan untuk tubuh” (I Kor 6:13). Sebagaimana
Konsili Vatikan II mengajarkan: ”...kebenaran satu-satunya adalah bahwa hanya dalam
misteri Sabda menjadi manusia (tubuh, daging), maka misteri manusia itu dapat
memperoleh ilhamnya” (Gaudium et Spes, No. 22). Kristus, Adam baru melalui pewahyuan
misteri Bapa dan cinta-Nya, sungguh mengangkat martabat manusia dan membuat
panggilan ilahinya menjadi jelas. Kristus sungguh-sungguh menyatakan kemanusiaan dalam
tubuh-Nya melalui pewahyuan akan misteri Bapa dan cinta-Nya.

Dengan pengertian ini maka bisa dikatakan bahwa inkarnasi merupakan moment
teologi. Penginjil Yohanes dan kemudian bapa-bapa Gereja Timur melihat bahwa inkarnasi
bukan hanya titik awal melainkan juga sudah menjadi titik akhir penebusan. Kristus
mengangkat kodrat atau tubuh manusia kepada martabatnya yang sejati karena Dia telah
menebus diri dan tubuh manusiawi itu melalui Tubuh-Nya sendiri. Inkarnasi karenanya
tidak lain adalah saat penebusan karena tubuh manusia diangkat kepada keilahian.

3. Penebusan Yesus Kristus

Karya penebusan terjadi dalam dan melalui tubuh. Term-term sentral dalam I Kor
11:23-26 adalah: darah yang ditumpahkan dan tubuh yang dikorbankan. Tubuh dan darah
Kristus adalah pemberian diri sendiri sebagai pangkal keselamatan. Putra Allah memberi
diri-Nya dalam bentuk tubuh dan darah. Moment pemberian diri ini diteruskan dalam gereja
52 | Moral Pribadi
yang adalah Tubuh Mistik Kristus. Pemberian diri Yesus Kristus dialami secara baru oleh
gereja dan dialami secara konkrit dalam sakramen-sakramen. Thomas Aquinas melihat
sakramen sebagai peninggalan inkarnasi Yesus Kristus (relique incarnationis Christi).
Tubuh suci dan yang menyucikan dari Yesus Kristus meresapi tubuh dan pribadi manusia
serta menyelamatkannya. Kristus menebus kita melalui sakramen-sakramen yang
merupakan perwujudan dari peristiwa inkarnasi itu sendiri. Sakramen-sakramen memang
secara langsung berkaitan dengan tubuh manusia, karena dapat dilihat dan dirasakan serta
menuntut sikap tertentu yang diperlukan dalam menerimanya, seperti sikap tobat, hormat
dan taat. Dengan demikian melalui tubuh, kita pun turut merasakan karya
penyelamatan dari Kristus sendiri yang terus berlangsung dalam ziarah gereja di
dunia ini.

4. Kebangkitan Badan

Kebesaran dan kemuliaan tubuh manusia juga dapat dipahami dalam terang misteri
kebangkitan akhir. Credo mengakui juga kebangkitan badan. Itu berarti dalam keyakinan
iman katolik tubuh bukanlah kondisi sementara dan fana. Penantian akan
penyempurnaan akhir, akan keselamatan eskatologis mengandung juga penyempurnaan
manusia secara utuh dan menyeluruh termasuk segenap tubuhnya. Namun perlu diingat
bahwa dalam realitas yang baru itu (tubuh yang telah dibangkitkan) segala kapasitas
prokreasi dan daya seksualitas yang ada dalam tubuh manusia pun berakhir, tidak
diperlukan lagi. Satu-satunya hal yang tetap tertinggal adalah kenyataan seksualitas kita
sebagai laki-laki atau sebagai perempuan

3. 2. 2. Tubuh Dalam Ajaran Yohanes Paulus II

Refleksi Yohanes Paulus II tentang tubuh manusia tertuang dalam sebuah teologi
yang disebutnya Teologi Tubuh. Teologi Tubuh merupakan rangkuman dari 129
pertemuannya pada setiap hari rabu, pada masa jabatannya sebagai Paus, tepatnya sekitar
tahun 1979 sampat 1984.

Yohanes Paulus II melihat bahwa untuk menciptakan tata dunia yang lebih baik, hal
penting yang perlu dikerjakan adalah membawa kembali tiap manusia pada pemahaman
yang benar tentang tubuhnya sebagai perempuan, dan tubuhnya sebagai laki-laki. Dalam
Teologi Tubuh, Yohanes Paulus II memulai refleksinya dengan berakar pada Kitab
Kejadian, secara khusus kisah penciptaan manusia.

Melalui teologi tubuhnya, Yohanes Paulus II memiliki satu agenda khusus untuk
memerangi jejak-jejak kesesatan Manikheisme yang masih banyak ditemukan di antara
manusia zaman ini, termasuk di dalam Gereja sendiri. Hal ini terlihat dari sikap yang
menilai tubuh sebagai sesuatu yang menghambat perkembangan hidup rohani. Segala
sesuatu yang berkaitan dengan tubuh manusia dilihat sebagai musuh kesucian, sehingga
53 | Moral Pribadi
harus dengan sekuat tenaga diperangi. Dalam pemikiran Yohanes Paulus II tubuh
manusia itu pada mulanya secara penuh dikuasai oleh daya untuk mengasihi, untuk
memberikan diri secara bebas, total, setia, dan berbuah. Keempat ciri yang mendasari
hubungan cinta dalam perkawinan itu memperlihatkan adanya arti nupsial (arti perkawinan)
yang terkandung dan terungkap dalam tiap tubuh manusia. Dengan ini maka cara
seseorang memandang tubuh sesamanya tidak bisa terlepas dari konsep tentang tubuh
yang mengungkapkan sebuah pribadi (persona). Bukan tubuh yang semata-mata materi,
fisik. Konsep yang memandang tubuh semata-mata sebagai obyek itu bermula ketika
manusia jatuh dalam dosa. Karena setelah dosa asal tubuh seorang manusia sudah tak
sanggup lagi mengungkapkan diri dan mengagumi tubuh lain dalam arti nupsial itu.
Ketelanjangan tubuh harus segera ditutupi. Inilah suatu perubahan besar: dari ”telanjang
tanpa merasa malu” (Kej 2:25), menjadi ”malu dan takut karena telanjang” (Kej 3:7, 10-11).

Tepatlah bahwa dosa telah membingungkan manusia tentang arti tubuhnya sebagai
laki-laki dan perempuan. Untuk itu demi memperlihatkan kembali apa artinya tubuh
manusia, dibutuhkan sebuah contoh tubuh manusia yang kasat mata, bisa dilihat, bisa
disentuh. Hanya Tubuh Yesus yang bisa melakukan itu. Peristiwa inkarnasi yang telah kita
lihat di atas (Sabda menjadi daging: atau, tepatnya Sabda menjadi Tubuh) adalah peristiwa
besar ketika Allah mengajak kembali manusia untuk mengagumi arti tubuhnya sebagai
manusia.

Karol Wojtiła (yang kemudian menjadi Yohanes Paulus II dan pengajar Teologi
Tubuh) adalah juga seorang yang turut berperan dalam perumusan dokumen Konsili
Vatikan II Gaudium et Spes. Salah satu bagian yang kerap dirujuk sendiri olehnya dalam
ajaran Teologi Tubuh adalah Gaudium et Spes 22: ”Sesungguhnya hanya dalam misteri
Sabda yang menjelmalah misteri manusia benar-benar menjadi jelas...Kristus...sepenuhnya
menampilkan manusia bagi manusia...” Inkarnasi adalah jawaban Allah agar manusia
menemukan jawaban jelas dan tegas bagi kebingungan akan arti tubuhnya.

Dari pemikiran Yohanes Paulus II di atas ada beberapa kesimpulan yang bisa
ditarik:

● Yohanes Paulus II amat menekankan aspek personalistis dari tubuh manusia.


Bahwa tubuh manusia tidak lain adalah pribadi manusia itu sendiri. Karena itu:

54 | Moral Pribadi
a. Pribadi manusia secara fundamental membentuk suatu ada bersama dengan dan
untuk yang lain. Allah menciptakan laki-laki dan perempuan dan memanggil mereka pada
persatuan dan pemberian diri. Dari kesendirian asali (original solitude) Adam mengenali
dirinya ketika melihat tubuh Hawa. Dalam suatu dialog yang penuh hormat dan dalam
perjumpaan dengan yang lain, Adam memahami tubuhnya sebagai pribadi.

b. Pemberian diri seseorang itu terkondisi dalam pribadinya yang unik sebagai laki-
laki dan perempuan. Pria terkondisi melalui tubuhnya sebagai pihak yang memberi dan
wanita tercipta dengan tubuh yang siap untuk menerima. Sehingga dalam pemikiran
Yohanes Paulus II tubuh pria dan tubuh wanita menampakkan nilai terdalam dari kodrat
Allah yang senantiasa memberi dan juga simbol manusia yang hanya bisa hidup dari
pemberian Allah itu (menerima). Dosa terjadi ketika manusia tidak lagi mau sebatas
menerima, tetapi dengan kehendak sendiri merampas apa yang sebenarnya sudah akan
diberikan oleh Allah. Maka kepriaan dan kewanitaan mestinya dihormati dalam
keunikannya masing-masing.

c. Dalam kaitan dengan perkawinan, tubuh manusia dapat merupakan ekspresi cinta
personal. Karena itu tubuh manusia tidak bisa direduksi kepada dorongan atau persoalan
seks semata-mata, tetapi lebih dari itu yakni sebagai sumber ungkapan cinta personal.
Dengan demikian tidak ada dominasi atas tubuh yang lain atau perlakuan yang menghina
tubuh lain sebagai obyek belaka. Tubuh dengan hubungan seksual dalam perkawinan adalah
persatuan antar pribadi dengan komitmen tunggal untuk saling mengasihi secara sempurna,
dengan seluruh realitas tubuh.

d. Melalui ajaran teologi tubuh sebetulnya Yohanes Paulus II sedang mengajarkan


pentingnya pengontrolan diri untuk selalu tinggal dalam kebajikan kemurnian. Sebab
kebajikan ini bertujuan tunggal: melindungi cinta yang utuh dari cinta yang sekedar
memperalat dan merendahkan orang lain.

3. 3. Empat Kualitas Dalam Tubuh Manusia Menurut Teologi Tubuh Yohanes Paulus II

Dari pemaparan sekilas tentang teologi tubuh menurut Yohanes Paulus II di atas,
maka sebetulnya ada empat kualitas dari tubuh manusia yang melekat erat dengan pribadi
itu sendiri.

1. Tubuh Manusia itu Simbolis

Melihat kembali pengalaman kesendirian asali (original solitude) yang dihadapi


Adam sebelum Allah menciptakan Eva, maka ada dimensi positif dan negatif yang bisa
dijumpai di sana. Dimensi positif adalah bahwa Adam menyadari perbedaan dirinya dengan
segala ciptaan yang lain. Adam merasa bahwa dia berkuasa atas segala ciptaan yang lain,
55 | Moral Pribadi
meskipun dia juga merupakan bagian dari semuanya itu (ciptaan). Dimensi negatifnya
adalah bahwa Adam tidak bisa menemukan tubuh lain yang serupa dengan tubuhnya. Dia
sendirian. Kedua dimensi ini kemudia sama-sama membangun pengalaman Original
Solitude ( kesendirian asali).

Adam menyadari bahwa dia memang memiliki hubungan khusus dengan Allah,
sesuatu yang tidak bisa dirasakan dan dialami oleh ciptaan yang lain. Ini membuktikan
bahwa tubuh kita memang unik dan karenanya ada sesuatu yang lebih dari sekedar
”memiliki” tubuh. Ada yang lebih dari sekedar memandang tubuh dengan mata kita. Kita
ternyata memiliki dimensi yang tak kelihatan. Kita berpikir, mengasihi, berdialog dengan
Pencipta dan membangun relasi intim dengan-Nya. Hal-hal yang hanya bisa dibuat melalui
tubuh manusia dan yang tak bisa dilakukan oleh ciptaan yang lain. Jadi dalam tubuh kita ada
dua dimensi yang senantiasa berpadu, yakni a visible and invisible dimension (dimensi yang
kelihatan dan yang tak kelihatan).

Dengan dua dimensi ini maka kita pun akan secara tepat memahani makna simbolis
dari tubuh manusia itu. Kata simbol berasal dari kata sýmbolon (bahasa Yunani: συν- (syn-), berarti
"bersama-sama," dan βολή (bolē), "melempar"). Sýmbolon artinya ”melempar bersama-sama”, melempar
atau meletakkan bersama-sama dalam satu ide atau konsep objek yang kelihatan, sehingga
objek tersebut mewakili gagasan. Simbol dapat menghantarkan seseorang ke dalam gagasan
atau konsep masa depan maupun masa lalu. Dalam konteks tubuh manusia berarti
memahami serentak dimensi yang kelihatan dan yang tak kelihatan itu. Sehingga ketika
berbicara tentang tubuh manusia yang simbolis, maka yang dimaksudkan adalah bahwa
tubuh manusia itu lebih daripada sekedar “sesuatu atau materi atau barang.” Tubuh itu juga
menampakkan yang tak kelihatan. Inilah yang dimaksudkan dengan sebuah simbol:
menghadirkan secara serempak pada saat yang sama sesuatu yang kelihatan dan yang tak
kelihatan. Sebuah simbol adalah sesuatu yang dilihat, namun serentak juga mengangkat
perhatian kita pada sesuatu yang tak kelihatan namun nyata. Sebuah simbol karenanya,
menghubungkan – mempersatukan – dunia yang kelihatan dan dunia yang tak kelihatan
menjadi satu.

Ketika kita mengatakan bahwa tubuh manusia itu simbolis, maka yang dimaksudkan
adalah bahwa tubuh itu memiliki kemampuan untuk menunjuk pada sesuatu yang
melampaui dirinya dalam adanya yang kelihatan. Tepat sekali bahwa tubuh memang bisa
dilihat dan aspek fisik ini memiliki makna tersendiri. Kita tahu ada dokter, ilmuwan dan ahli
syaraf berusaha memahami dan mengkaji dimensi ini, dan mereka memang mampu. Namun
ternyata tubuh manusia itu bisa menunjuk pada sesuatu yang melampaui apa yang terlihat
ini, yakni menunjuk pada dimensi spiritual dan dimensi yang tak kelihatan dari pribadi
manusia itu sendiri. Sehingga tepat sekali kalau kita memikirkan seseorang kita bukan cuma
membayangkan wajahnya, melainkan juga segala karakter dan sifatnya, kepribadiannya.
Inilah dunia simbol yang kita hidupi dan ditegaskan kembali lewat dimensi negatif dari
kesendirian asali (original solitude). Adam tidak bisa menjumpai tubuh lain yang serupa
56 | Moral Pribadi
dengannya. Ada banyak tubuh lain yang telah diciptakan oleh Allah yang dilihat Adam,
namun tak satu pun yang serupa. Dia tidak bisa membangun relasi dan ikatan dengan
mereka secara sempurna.

Hanya ketika Allah menghantar Hawa kepadanya, maka Adam bisa keluar dari
kesendirian asalinya: ”Inilah dia tulang dari tulangku dan daging dari dagingku” (Kej
2:23). Inilah yang membedakan. Adam bisa mengenal dirinya hanya karena tubuh Eva
memiliki makna simbolis dari kodrat tubuh seorang manusia. Tak seperti tubuh binatang
yang secara sederhana menghadirkan tubuh binantang dengan instingnya, tubuh manusia
menghadirkan secara serempak keseluruhan pribadi – yang kelihatan dan yang tak
kelihatan.

2. Tubuh Manusia itu Nupsial (Latin: nuptialis, nuptiae= berkaitan dengan perkawinan)

Begitu Adam melihat Hawa dia mengetahui dan menemukan sesuatu yang berbeda.
Ada tubuh manusia yang lain, yang dengannya dia dapat berelasi secara mendalam. Hawa
menyempurnakan apa yang ada pada Adam. Ini berarti bahwa mereka bisa menjadi satu.
Inilah yang bisa kita jumpai dari realitas tubuh laki-laki dan tubuh perempuan yang jelas
sangat berbeda. Begitu pula dengan kenyataan seksualitas. Seksualitas pria lebih berada di
luar sedangkan wanita lebih berada di dalam. Ini berarti bahwa keduanya diciptakan untuk
satu sama lain, tercipta untuk menjadi ”satu daging”.

Ketika Yohanes Paulus II mengatakan bahwa tubuh manusia itu nupsial maka yang
dimaksukannya adalah bahwa tubuh manusia itu diperuntukkan untuk mencintai – itu
diciptakan untuk persatuan, persahabatan. Kita dapat memahami hal ini dari kodrat simbolis
tubuh manusia itu sendiri. Seorang pria dan seorang wanita mendapatkan diri tertarik
terhadap satu sama lain. Inilah yang disebut ketertarikan fisik, namun ada juga di sana
sebuah ketertarikan spiritual. Mereka menikah dan menjadi satu secara seksual.

Baiklah diperhatikan secara mendalam di sini. Tubuh manusia itu nupsial, karena dia
tercipta untuk mengasihi – untuk sebuah relasi yang tetap. Kemampun untuk mencinta
adalah bukti nyata adanya arti nupsial yang melekat erat pada tubuh manusia. Arti nupsial
ini mau menyatakan bahwa dengan tubuhnya manusia ingin mencintai dalam bentuk
pemberian diri yang kualitasnya selalu ditentukan oleh keempat ciri yang tak terpisahkan:
bebas, total, setia, berbuah. Jadi tubuh manusia tidak tercipta hanya demi kesenangan
sensual, karena sesungguhnya ada yang lebih dari sekedar sensual. Tubuh manusia bersifat
simbolis dan semua yang dilakukan juga membawa dimensi spiritual. Dalam dan melalui
tubuh seseorang mengungkapkan cinta – realitas spiritualnya yang terdalam. Sehingga oleh
karena tubuh manusia itu nupsial maka ketika seorang suami dan istri melakukan aktifitas
seksual, mereka juga berkomunikasi tentang aspek yang kelihatan dan yang tak kelihatan
dari tubuh mereka masing-masing. Seks memang berbicara tentang kesenangan sensual dan

57 | Moral Pribadi
itu tidak bisa diragukan. Namun seks juga berbicara tetang bahasa spiritual. Seks berbicara
tentang bahasa cinta. Ketika suami dan istri berkomunikasi mereka mengungkapkannya
secara sensual dan spiritual. Mereka berkomunikasi sebagai pribadi-pribadi bertubuh. Seks
secara amat kuat berbicara tentang cinta. Dengan ini kita melihat bahwa kontrasepsi jelas
berseberangan dengan bahasa cinta itu, bahasa tubuh. Dia pada akhirnya bisa melenyapkan
dimensi simbolis dan nupsial dari tubuh manusia itu sendiri.

3. Tubuh Manusia itu Bebas Tetapi Telah Ternoda

Sebelum manusia jatuh dalam dosa (dosa asal) tubuhnya dan karenanya pribadi
manusia juga bebas. Pengalaman asali ketiga dalam teologi tubuh disebut ketelanjangan
asali (original nakedness). Kitab Kejadian 2:25 menulis: “Mereka keduanya telanjang,
manusia dan isterinya itu, tetapi mereka tidak merasa malu.” Ini merupakan simbol dari
kebebasan berkomunikasi. Kita telah melihat bahwa supaya manusia itu bisa mencintai,
pribadi manusia itu harus bebas dan inilah yang dimaksudkan dengan original nakedness
itu. Bagaimana kita dapat mengatakan bahwa tubuh manusia dan pribadi manusia itu
dimaksudkan untuk mencintai jika mereka tidak bebas? Kebebasan adalah kondisi
fundamental bagi tindakan mengasihi. Tanpa kebebasan laki-laki dan perempuan
tidak dapat saling memberi dan menerima cinta.

Akan tetap tubuh manusia bagaimanapun telah dinodai oleh dosa asal (original sin) .
Sebab setelah memakan buah terlarang itu, manusia mengetahui bahwa mereka telanjang
dan mereka menjadi malu. Perlu diperhatian di sini bahwa tubuh manusia bukanlah
penyebab dosa itu. Dosa merupakan bagian dari kodrat spiritual kita, dan karena tubuh kita
ini merupakan perpaduan antara badan dan jiwa – karena kita ini simbolis – maka tubuh
juga turut dipengaruhi dosa asal. Sesungguhnya, kita akan mengalami dalam cara amat
radikal, kejatuhan kodrat tubuh manusia itu, ketika kita meninggal. Kematian tubuh kita
merupakan konsekwensi dari dosa asal. Meski demikian kematian bukanlah kehendak Allah
seperti kebanyakan yang kita dengar. Allah adalah Allah orang hidup. Dia menghendaki
kehidupan dan bahkan agar manusia itu hidup secara penuh. Sehingga kematian selalu dan
dimana-mana menurut ajaran Katolik merupakan konsekwensi dari dosa asal.

Selain kematian, konsekwensi lain dari dosa asal adalah ketakteraturan dorongan
seksual. Seorang laki-laki dapat melecehkan tubuh perempuan dan merendahkan
martabatnya. Pria dapat menjadi berkuasa dan memandang perempuan sebagai obyek atau
sesuatu yang bisa dipakai dan dipergunakan dan sesudah itu bisa dilupakan begitu saja.
Inilah yang sering terjadi dalam sejarah manusia. Laki-laki bisa memandang hanya pada
aspek fisik perempuan (dimesi yang kelihatan) dan melupakan dimensi yang tak kelihatan
dari tubuhnya. Singkatnya, dosa telah mempersulit manusia untuk melihat betapa tubuh
manusia itu bersifat simbolis. Dewasa ini banyak sarana dipergunakan untuk lebih

58 | Moral Pribadi
menekankan dimensi yang kelihatan dari tubuh manusia (umumnya wanita). Semua itu
semakin mempersulit kita untuk memahami kebenaran riil dari pribadi manusia itu sendiri.

4. Tubuh Manusia Telah Ditebus

Meski tubuh manusia itu telah dinodai dosa asal, namun itu tidak berarti kehancuran
total. Yesus Kristus melalui kematian dan kebangkitan-Nya, memperbaharui kembali dalam
setiap tubuh dan pribadi manusia makna terdalam keberadaan dan tubuh manusia itu sendiri.
Tubuh-Nya telah disalibkan. Tubuh-Nya yang telah mati menjadi pembaharu bagi tubuh
manusiawi kita. Serdadu yang menikam lambung-Nya telah mengalirkan keluar darah dan
air yang menjadi sumber sakramen-sakramen Gereja. Kemudian, setelah kebangkitan-Nya,
Yesus menampakkan diri-Nya kepada para rasul dan membiarkan mereka menyentuh
tubuh-Nya.

Dengan ini kita melihat satu kenyataan bahwa setelah kematian dan kebangkitan
Yesus, hidup kita ternyata jauh lebih baik sebelum dosa asal. Allah sekarang masuk dalam
sejarah manusia. Allah yang melampaui segala pemikiran kita, kini tampak bagi kita. Ia
terlahir sebagai bayi dengan tubuh telanjang di kandang Bethlehem, Ia menjadi manusia
yang bisa disentuh, dicium dan didengarkan. Benar bahwa Allah telah memasuki sejarah
manusia dan dalam pribadi Yesus Kristus kita semakin memahami makna tubuh, seksualitas
dan pribadi kita.

Kristus menjadi milik kita. Oleh tubuh-Nya, tubuh kita yang telah dinodai kini
dimuliakan, ditebus dan diperbaharui. Bahkan dalam Tubuh-Nya kita dibangkitkan dengan
seluruh tubuh kita kepada hidup baru bersama Kristus. Kita menerima Kristus dalam
sakramen-sakramen. Kita mati dengan Dia dalam baptisan. Kita bangkit lagi bersama-Nya
juga dalam pembaptisan. Dalam Ekaristi kudus kita hadir di hadapan Kristus yang mati,
bangkit dan naik ke surga dengan segenap tubuh-Nya. Hal ini menjadi mungkin lewat hosti
kudus yang telah menjadi Tubuh Kristus dan anggur yang telah menjadi darah Kristus.
”Makanlah, inilah Tubuh-Ku yang diserahkan bagimu. Minumlah, inilah darah-Ku yang
dipersembahkan bagimu.” Tubuh kita telah diperkenankan berpadu dengan Tubuh dan
Darah Kristus. Kita bukan menerima sebuah simbol atau tanda, melainkan KRISTUS
sendiri.

Dalam dan melalui Kristus kita masuk lebih dalam pada kesadaran bahwa tubuh kita
dan juga bagian terdalam dari diri dan pribadi kita, seluruhnya telah ditebus. Pengalaman
kita dalam mengenal dan mengasihi Kristus sesungguhnya menolong kita untuk masuk ke
dalam pengalaman asali dan karenanya masuk pada pemahaman yang lebih dalam untuk
mengerti tubuh dan seksualitas kita sendiri; tentang siapakah kita ini dan bagaimanakah
hidup kita seharusnya.

59 | Moral Pribadi
3. 4. Kesimpulan

Dari keseluruhan uraian di atas ada beberapa kesimpulan yang bisa diambil.

♦ Konsep filsafat modern yang melihat keterpaduan antara tubuh dan pribadi
sesungguh sejalan dengan perspektif Kristiani. Berhadapan dengan pelbagai pandangan
ekstem terhadap tubuh manusia, maka gereja Katolik berusaha mengedepankan
keseimbangan dan keterpaduan antara jiwa dan badan, termasuk di sini seksualitas. Dari
credonya tentang kebangkitan badan, jelas gereja sangat menghormati keilahian tubuh dan
seksualitas manusia dan tak pernah berusaha merendahkan apalagi meremehkannya seperti
pada dualisme filsafat Manicheisme. Tubuh tidak pernah dibenci dan dinilai buruk. Akan
tetapi sebaliknya dalam perpespektif Kristiani tubuh juga bukanlah segala-segalanya.
Artinya tidak ada pendewaan tubuh. Dari kejatuhan manusia pertama dalam dosa, maka
tubuh dan seksualitas mesti tetap menghadapi keterbatasan-keterbatasannya. Sebab selalu
ada bahaya kalau manusia terlalu mendewakan tubuh dan seksualitasnya.

♦ Manusia adalah keterpaduan antara aspek yang kelihatan dan yang tak kelihatan,
satu totalitas, yang berarti:

► Bahwa Allah menciptakan manusia seturut citra-Nya dalam kesatuan utuh badan
dan jiwa. Tak bisa dikatakan bahwa cuma jiwalah yang merupakan citra Allah
dan karena itu kudus, melainkan utuh: Badan dan Jiwa merupakan Citra Allah.

► Keselamatan Allah mencakup keseluruhan diri manusia sebagai makhluk rohani


maupun jasmani. Sebab dosa tidak saja menodai kesucian jiwa manusia, tetapi
juga tubuh manusia. Karena itu karya penebusan Allah tidak bisa terbatas pada
keselamatan jiwa saja.

► Melalui tindakan dan perilaku seksual yang sehat setiap orang Kristiani
memaklumkan identitas dirinya sebagai pengikut Kristus dan merealisasikan citra
dirinya sebagai Citra Allah. Panggilan ini didasarkan pada hakekat moralitas
Katolik yang senantiasa bersumber pada imitatio Christi di mana setiap orang
dipanggil untuk mewujudkan dirinya sebagai citra Allah dengan mengikuti
teladan Kristus sendiri yang telah menjadi tubuh, manusia. Dengan ini maka
setiap tindakan seksual adalah juga penampakan wujud Allah. Dari pemahaman
ini maka seksualitas mesti dipandang secara positif. Lewat tindakan-tindakan
seksual yang sehat dan bertanggung jawab kita juga memberi kesaksian tentang
diri kita sebagai putera dan puteri Allah sendiri.

♦ Sekali lagi mesti ditegaskan bahwa tidak ada satu tubuh manusia pun di dunia ini
yang bersedia untuk diobyekkan. Tubuh adalah satu totalitas yang tak bisa dipisah-pisahkan
demi maksud-maksud tertentu. Keterpaduan antara jiwa dan badan, antara aspek jasmani
dan rohani dalam tubuh manusia dengan jelas membantah serta mempersalahkan setiap
upaya untuk memperlakukan tubuh sendiri atau tubuh yang lain semata-mata sebagai obyek
60 | Moral Pribadi
atau sarana. Dengan konsep ini pula kita dengan jelas mengatakan bahwa praktek
pornografi, prostitusi dan sebagainya itu adalah dosa dalam pandangan Katolik. Sebab
praktek semacam ini menghina aspek ilahi, aspek spiritual dalam tubuh manusia dan hanya
menekankan aspek insani, fisik, yang jasmani sebagai obyek untuk mendapatkan kepuasan,
keuntungan dan kesenangan semata-mata.

♦ Melalui tubuhnya manusia mengekspresikan kasih sayang dan cinta. Tubuh jelas
merupakan jembatan untuk pertemuan antar pribadi. Sebab tak ada relasi dan perjumpaan
antar pribadi tanpa tubuh. Segala kesanggupan rohani pun hanya bisa direalisasikan dalam
dan melalui tubuh. Tugas kita adalah senantiasa melatih tubuh agar bisa menerjemahkan
ekspresi cinta kasih secara tepat, sempurna dan bertanggung jawab.

_________________________________

DAFTAR PUSTAKA

Lawler Ronald, Josef Boyle Jr., William E. May. Catholic Sexual Ethic. Huntington,

61 | Moral Pribadi
Indiana: Our Sunday Visitor, 1998.

Maas, Kees. Teologi Moral Seksualitas. Ende: Nusa Indah, 1998.

Nelson, James B. Embodiment – An Approach To Sexuality and Christian Theology.

Minneapolis, Minnesota: Augsburg Publishing House, 1978.

Percy, Anthony. The Theology of The Body Made Simple: Discover John Paul II’s Radical

Teaching on Sex, Love, And The Meaning of Life. Philipines: Paulines, 2006.

Radcliffe, Timothy. Amare Nella Libertà. Sessualità e Castità. Magnano: Edizioni Qiqajon,

2007.

Ramadhani, Deshi. Lihatlah Tubuhku: Membebaskan Seks Bersama Yohanes

Paulus II. Yogyakarta: Kanisius, 2009.

West, Christopher. The Theology of the Body Explained. North Melbourne: Freedom

Publishing Pty Ltd, 2006.

Yohanes Paulus II. Familiaris Consortio (Anjuran Apostolik). Jakarta: Departemen

Dokumentasi Dan Penerangan KWI, Maret 2004.

62 | Moral Pribadi

Anda mungkin juga menyukai