Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Mitologi istilah dapat merujuk baik untuk mempelajari mitos (misalnya, mitologi
komparatif ), atau ke tubuh atau koleksi mitos (sebuah mitos, misalnya mitologi Inca ). Dalam
folkloristics , mitos adalah sucinarasi biasanya menjelaskan bagaimana dunia atau umat manusia
datang untuk menjadi dalam bentuk yang sekarang, walaupun, dalam arti yang sangat luas, kata
dapat merujuk kepada cerita tradisional . Mitos biasanya melibatkan supranatural karakter dan
didukung oleh penguasa atau imam , sebagai alegori untuk atau personifikasi dari fenomena
alam, atau sebagai penjelasan dari ritual. Mereka dikirim untuk menyampaikan agama
pengalaman atau ideal, untuk membangun model perilaku, dan untuk mengajar .
Abad kesembilan belas mitologi komparatif ditafsirkan sebagai mitos evolusi menuju
ilmu ( EB Tylor ), "penyakit bahasa" ( Max Müller ), atau salah tafsir magisritual ( James Frazer
). Interpretasi kemudian menolak pertentangan antara mitos dan ilmu pengetahuan, seperti Jung
arketipe, Joseph Campbell 's "metafora potensi spiritual", atau Levi-Strauss 's arsitektur mental
tetap. Ketegangan antara pencarian komparatif Campbell untuk monomyth atau Ur-mitos dan
mitologi skeptisisme antropologi 'asal universal telah menandai abad 20. Selanjutnya, modern
mythopoeia seperti novel fantasi , manga , dan legenda perkotaan , dengan banyak bersaing
buatan mythoi diakui sebagai fiksi, mendukung ide mitos sebagai praktek sosial yang sedang
berlangsung.

B. Perumusan Masalah
Didalam pembuatan makalah ini ada permasalah yang akan ditinjau dan dijadikan bahan
penerangan dalam makalah ini, terdari dari :
1. Apa pengertian Mitologi ?
2. Bagaimana Pandangan tentang mitologi ?
3. Asal Mitologi ?
4. Bagaimana relasi antara Islam dan Mitologi ?
5. Bagaimana Mitologi Islam masyarakat Jawa ?
6. Bagaimana Hubungan antara Islam, Mitos dan Budaya ?
C. Tujuan Penulisan Makalah
Adapun tujuan penulisan makalah yang kami tulis, dalam pembuatan makalah yang
berjudul Mitologi dalam Studi Islam sesuai dengan perumusan masalah di atas adalah :
1. Untuk menjelaskan dan mengetahui tentang pengertian Mitologi.
2. Untuk mengetahui bagaimana pandangan tentang mitologi.
3. Untuk mengetahui Mtologi masyarakat jawa.
4. Untuk mengetahui relasi antara Mitos, Islam dan Budaya.

D. Metode Penulisan Makalah


Metode atau cara yang digunakan dalam penulisan makalah yang berjudul Mitologi
dalam Studi Islam dalam pembuatan makalah ini dalam mencari referensi atau sumbernya
yang kami buat adalah melakukan studi kepustakaan dan mencari sumber dari Internet. Juga
sumber-sumber lain yang dapat menjadikan referensi makalah yang kami buat ini.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Mitologi
Dalam bahasa Indonesia dikenal dua istilah yang sering dipertukarkan penggunaannya
yaitu mite dan mitos. Akan tetapi dalam KBBI kedua istilah ini dibedakan maknanya. Mite
diartikan sebagai cerita yang mempunya latar belakang sejarah, dipercayai oleh masyarakat
sebagai cerita yang benar-benar terjadi, dianggap suci, banyak mengandung hal-hal yang ajaib,
dan umumnya ditkohi dewa. Sedangkan Mitos diartikan sebagai cerita suatu bangsa tentang
dewa dan pahlawan zaman dahulu, yang mengandung penafsiran tentang asal usul semesta alam,
manusia, dan bangsa itu sendiri yang mengandung arti mendalam yang diungkapkan dengan cara
gaib.
Pengertian mitos cukup beragam. Dari sejumlah batas-batasan itu, Rene Kaes
(http://italiano.kaes.htm diakses 28 Mei 2012) menyimpulkannya dengan memberi batasan
menurut zamannya. Pada awalnya mitos (Yunani: muthos) berarti sebuah cerita, percakapan,
pikiran, ucapan, atau pembicaraan. Pada abad ke-19, mitos diartikan sebagai ekspresi dari
representasi idealis kondisi manusia pada masa lampau yang masih orisinil. Kemudian pada abad
ke-20 mitos diberi batasan sebagai sebuah peran aygn menentukan dalam sebuah komunitas
masyarakat atau individual.
B. Beberapa Pandangan Tentang Mitos
Pertanyaan yang sering dilontarkan tentang mitos adalah, “Apakah mitos itu mengandung
unsur kebenaran ?” untuk menjawab pertanyaan ini kita temukan di world Mythology
http://www.paulevans.org/private/educ/oratory.htm diakses 28 Mei 2012) bahwa secara
metaforik dan simbolik, mitos memiliki unsur kebenaran, tetapi tidak secara faktual dan literal.
McDonal dalam (http://www.paulevans.org/private /educ/oratory.htm diakses 28 Mei 2012)
berpendapat bahwa mitos tidak menceritakan kebenaran tetapi melakukan kebenaran; mitos
dapat menjadi jembatan masa lalu dan masa mendatang”. Oleh karena itu, dalam mencermati
sebuah mitos seharusnya memandangnya dari kategori metaforik dan simbolik. Lebih jauh
dijelaskan bahwa mitos sebaiknya diberi makna dengan cara
1. Belajar menginterpretasi mitos secara metaforik dan simbolik
2. Mencermati perbedaan dan persamaan karakter, peristiwa, aksi (motif) dari satu mitos ke mitos
lain, dan
3. Belajar tentang budaya yang terdapat dalam mitos
Sobur (2003) berpendapat bahwa mitos atau dongeng kerap dianggap sebagai cerita yang
“aneh”, yang sulit kita pahami maknanya atau terima kebenarannya karena kisah didalamnya
irasional, “tidak masuk akal”, atau tidak sesuai dengan apa yang kita temui sehari-hari. Akan
tetapi, atas dasar itu pula, mitos yang kerapkali juga dipakai sebagai sumber kebenaran dan
menjadi alat pembenaran ini telah lama menarik perhatian para ahli. Para ilmuwan barat yang
berminat pada teks-pteks kuno, sudah lama menekuni berbagai mitos, yang mereka kumpulakan
dari berbagai tempat dan berbagai suku bangsa di dunia. Sehingga Ahimsa-Putra (2001)
menyimpulkan bahwa kajian mitos atau mitologi ini sekarang sudah begitu banyak menghasilkan
berbagai macam teori.
Berkaitan dengan dialektika mitos dan logos, sindhunata (1983) berpendapat bahwa
usaha manusia untuk mencari jawaban tentang alam semesta sudah dijawab dalam bentuk mitos
yang artinya meloloskan diri dari kontrol rasio manusia. Namun semenjak filsafat lahir (berusaha
menghilangkan mitos) dan menggantinya dengan logos, justru usaha itu melahirkan mitos-mitos
baru. Horkheimer dalam shidunata (1983) berpendapat bahwa usaha manusia rasional adalah
mitos, sebab usaha manusia rasional itu tidak dapat berdiri sendiri, tidak otonom, tidak daoat
mengenal dirinya sendiri: usaha manusia rasional itu terjadi, ada dan mengenai dirinya hanya
berkat di dalam mitos. Dengan kata lain, usaha manusia rasional itu niscaya atau tidak adalah
mitos sendiri.
C. Asal Mitologi
1. Euhemerism
Satu teori menyatakan bahwa mitos itu menyimpang dari peristiwa sejarah yang sebenarnya.
Menurut teori ini, pendongeng berulang kali diuraikan catatan sejarah sampai angka-angka
dalam akun tersebut memperoleh status dewa Sebagai contoh , orang mungkin berpendapat
bahwa mitos tentang angin dewa Aeolus berevolusi dari catatan sejarah seorang raja yang
mengajarkan umatnya untuk menggunakan layar dan menafsirkan angin. Herodotus (Abad ke 5
SM) dan Prodicus membuat klaim semacam ini. Teori ini bernama "euhemerism" setelah
mitologi yang Euhemerus (c.320 SM), yang menyatakan bahwa dewa-dewa Yunani
dikembangkan dari legenda tentang manusia.
2. Alegori
Beberapa teori mengusulkan bahwa mitos dimulai sebagai alegori . Menurut salah satu teori,
mitos dimulai sebagai alegori untuk fenomena alam: Apollo mewakili matahari, Poseidon
merupakan air, dan sebagainya. Menurut teori lain, mitos dimulai sebagai alegori untuk konsep
filosofis atau spiritual: Athena merupakan penilaian bijaksana, Aphrodite mewakili keinginan,
dll Abad ke-19 SanskritistMax Müller didukung teori alegoris mitos. Dia percaya bahwa mitos
dimulai sebagai deskripsi alegoris alam, tetapi lambat laun harus ditafsirkan secara harfiah:
misalnya, deskripsi puitis laut sebagai "mengamuk" akhirnya secara harfiah, dan laut itu
kemudian dianggap sebagai dewa yang menPersonifikasi
3. Mythopoeic berpikir
Sebagian pemikir percaya bahwa mitos dihasilkan dari personifikasi benda mati dan pasukan.
Menurut para pemikir, yang dahulu menyembah fenomena alam seperti api dan udara, secara
bertahap datang untuk menggambarkan mereka sebagai dewa. Sebagai contoh, menurut teori
pikiran mythopoeic , orang dahulu cenderung untuk melihat hal-hal sebagai pribadi, bukan
sebagai hanya objek dengan demikian, mereka menggambarkan peristiwa alam sebagai tindakan
dewa pribadi, sehingga menimbulkan mitos.
4. Mitos-ritual teori
Menurut teori mitos-ritual, keberadaan mitos terkait dengan ritual. Dalam bentuk yang paling
ekstrim, teori ini mengklaim bahwa mitos muncul untuk menjelaskan ritual. Klaim ini pertama
kali dikemukakan oleh sarjana Alkitab William Robertson Smith . Menurut Smith, orang mulai
melakukan ritual untuk beberapa alasan yang tidak terkait dengan mitos;
D. Mitos dan Islam
Agama Islam muncul pada abad ketujuh, dan setelah berkembang ke seantero jazirah
Arab orang-orang yang baru masuk Islam masih mewarisi pengaruh dari Mitologi Arab pra-
Islam maupun Mitologi pra-Yahudi dan Mitologi pra-Kristen dalam memahami ajaran Al-Quran
maupun Hadits Nabi Muhammad.
Dengan demikian banyak ajaran Islam yang dipahami dengan cara mistik atau menurut
paham keyakinan agama sebelum memeluk Islam. Mitos yang masih melekat dan sulit untuk
dihilangkan itu, antara lain mitos Tangan Fatimah yang kadang-kadang digunakan untuk
menetralkan pengaruh dari Mata Iblis, walaupun penggunaanya dilarang dalam Islam, karena
kegunaanya seperti jimatdan takhayul. Di antara para muslim awam terhadap al-Quran dan
Hadist, berbagai ayat dalam Al-Qur'an seperti misalnya Surah An-Nas dan Surah Al-Falaq
kadang-kadang diucapkan sebagaimantra agar memperoleh kejayaan hidup, atau perlindungan
terhadap berbagai takhyul. Padahal Islam mengajarkan doa sebagai landasan usaha manusia dan
bacaan ayat-ayat Al-Quran itu agar dijadikan pengantarnya.
E. Mitologi Islam Masyarakat Jawa
Momentum suran, grebeg mulud, grebeg puasa, grebeg besar, tanggap warsa malam
Jum’at Legenan dan beberapa upacara keagamaan islam lainnya, adalah merupakan upacara
keagamaan yang telah mentradisi di kalangan masyarakat muslim jawa. Upacara-upacara
keagamaan itu, dalam pelaksanaannya senantiasa memiliki nuansa keyakinan keagamaan yang
variatif dan sarat dengan nilai-nilai mitos. Tidak sedikit upacara-upacara ritual dan beberapa
aktifitas pada bulan-bulan serta hari tersebut yang mengarah pada perilaku irasional, mulai dari
bentuk kepercayaan yang bersifat dongeng hingga pada perilaku mitos. Praktik ritualitas pada
setiap hari besar di atas, pada satu sisi mengandung nilai-nilai ajaran keagamaan secara formal,
namun di sisi lain aspek-aspek ajaran itu tanpa disadari telah mengalami proses akulturasi
maupun sinkretisasi dengan keyakinan local setempat.
Pada malam 1 sura misalnya, fenomena di atas banyak kita jumpai pada sejumlah
masyarakat yang mengunjungi tempat-tempat yang dianggap sacral, yaitu Punden, makam, laut
dan tempat-tempat lain yang dianggap keramat. Di tempat itu pula mereka terkadang melakukan
upacara ritual pembakaran kemenyan untuk mengadakan pemujaan dan pengkultusan terhadap
benda-benda keramat secara berlebihan. Bagi muslim yang taat di tempat itu mereka
mengadakan bacaan-bacaan yasin, tahlil, istighastah maupun bacaan-bacaan doa lain yang
dianggap sebagai bacaan penting menurut mereka

F. Hubungan Antara Islam, Mitos dan Budaya


Perspektif Teori Beberapa teori yang relevan untuk mendialektikkan praktek mitos—
sebagai representasi simbol-simbol budaya—dengan ajaran murni keagamaan antara lain adalah
teori Parsons. Teori Parsons ini berbicara mengenai kebudayaan sebagai sistem simbol beserta
teori hirarki sibernetikannya. Menurutnya teori ini mengatakan bahwa kebudayaan sebagai
sistem simbol terbagi ke dalam beberapa sub sistem simbol yang saling berhubungan . Diantara
sub-sub simbol itu ialah simbol kognitif, ekspresif, moral dan konstitutif. Simbol kognitif
sebagai pemenuhan kebutuhan yang bersifat adaptif. Simbol ekspresif sebagai pemenuhan atas
kebutuhan pencapaian tujuan. Simbol moral sebagai pemenuhan bagi penciptaan sumber
integrasi. Sedangkan simbol konstitutif berfungsi sebagai pertahanan pola-pola yang ada dalam
sistem.
Teori lain yang juga relevan untuk mendekati fenomena di atas adalah teori fungsional.
Teori yang memandang bahwa setiap peristiwa dan semua struktur fungsional adalah fungsional
bagi masyarakat. Teori ini memandang bahwa masyarakat terdiri dari beberapa bagian, antara
bagian satu dengan yang lainnya terdapat hubungan yang saling berkaitan dan saling menyatu
dalam keseimbangan. Ketika salah satu diantara bagian yang terdapat dalam masyarakat tersebut
mengalami perubahan, maka akan mengakibatkan adanya perubahan kondisi sistem secara
keseluruhan. Demikian juga ketika islam datang dengan melakukan perubahan-perubahan
terhadap simbol-simbol budaya setempat, maka yang demikian ini pada hakikatnya akan
merubah sistem keseluruhan yang ada. Konsekuensinya kehadiran islam bagi masyarakat
tertentu akan ditolak. Karena kehadirannya tidak fungsional. Namun sebaliknya sikap islam yang
Sementara itu yang dinilai sebagai tradisi intelektual dan spiritual yang paling dinamis
dan kreatif oleh Mark Woodward adalah “Islam Jawa” itu.
Konsep yang terakhir ini nampaknya sesuai dengan pendekatan Simuh, dimana ia membagi
pendekatan terhadap Islam Jawa kepada dua bagian. Pertama, islam dan jawa dipahami sebagai
dua kekuatan yang saling berhadapan. Kedua, islam dan jawa dipahami secara sinkretis, yang
menyatakan bahwa islam dan jawa berkembang secara bersama-sama, saling mengisi dan saling
memaknai.
G. Kepercayaan Antara Agama dan Budaya Jawa
Koentjaraningrat—penulis buku Kebudayaan Jawa—membedakan antara istilah agama,
religi dan kepercayaan. Istilah agama menurutnya lebih tepat untuk menyebut agama-agama
formal (abrahamic religion) yang diakui, baik Hindu, Budha, Islam, Kristen maupun Katolik.
Sedangkan religi adalah untuk menyebut sistem-sistem kepercayaan yang tidak diakui.
Sementara itu kepercayaan adalah sesuatu yang memiliki makna khas yaitu komponen kedua
dalam setiap agama maupun religi. Dengan demikian istilah agama lebih identik dengan agama-
agama besar di dunia, sementara kebatinan yang ada di Jawa cenderung tidak dianggap sebagai
agama besar tersebut.
Menuirut Mulder, kepercayaan jawa sebelum banyak bersentuhan dengan agama-agama
besar dimaksud telah memiliki pandangan hidup yang disebut dengan kejawen atau jawanisme.
Pandangan jawa ini bersifat sinkretis dan toleran. Bermula dari sikap ini “ kejawen” merupakan
dasar yang baik untuk menerima masukan-masukan baru dari agama-agama besar tersebut.
Bahkan dalam bukunya yang lain Mulder mengatakan bahwa untuk masuk menjadi salah satu
agama resmi seseorang tidak harus mencegah praktek mistik dalam batinya.
Mentalitas kejawen condong kepada sinkretisme dan sanggup menampung berbagai
argumentasi agama formal. Perlu dimaklumi bersama bahwa yang dimaksud dengan kejawen
disini terdiri dari dua jenis lingkungan, yaitu lingkungan budaya istana yang relatif telah
menyerap unsur-unsur hinduisme dan lingkungan budaya pedesaan (wong cilik) yang masih
hidup dalam bayang-bayang animisme-dinamisme. Dalam prakteknya, perjalanan sejarah
islamisasi di Jawa itu justru menghadapi kesulitan, utamanya di kalangan budaya istana.
Kesulitan itu dikarenakan raja majapahit ketika itu menolak islamisasi di kalangan istana
tersebut. Jika raja menolak maka islam merasakan kesulitan untuk masuk di kalangan istana.
Atas dasar kenyataan ini para penyebar islam lebih menekankan islamisasi itu di lingkungan
pedesaan, khususnya di kalangan pesisir Pulau Jawa. Disanalah islam berkembang, dan tidak
lama kemudian perkembangan islam yang ada di lingkungan pedesaan itu menjadi pesaing
intelektual kalangan istana. Inilah kemudian terjadinya proses inkulturisasi dan akulturisasi
budaya jawa dan budaya islam yang memanifestasi menjadi islam jawa.
Pada gilirannya islam jawa ini telah mampu menampung dua model institusi keagamaan,
yaitu antara agama resmi dan yang tidak resmi. Meski secara formal masing-masing institusi
keagamaan tersebut terkesan memiliki konstruksi keyakinan yang berbeda. Institusi keagamaan
pertama, memiliki keyakinan pada Tuhan YME. Sedangkan institusi kedua terdapat beberapa
aliran, sebagian aliran memiliki keyakinan terhadap nenek moyang, sebagian aliran yang lain
percaya terhadap sankan paraning dumadi yang artinya menuju ke asal dan tujuan kejadian.
Pendapat yang mayoritas disepakati oleh aliran-aliran kebatinan adalah konsep yang kedua, yaitu
konsep yang searti dengan menuju ke Tuhan.
Dari pandangan Woodward itu telah melahirkan pertanyaan baru, yaitu benarkah antara
sufisme dan sinkretisme memiliki relasi?
Sebagaimana diungkapkan oleh Woodward bahwa sufisme memegang peranan prinsip dalam
mengkonstruksi budaya Jawa. Dalam hal ini adalah mistik esoteris yang menurut Martin Lings --
Mistikus Inggris—diakui sebagai salah satu bagian dari tradisi mistik Islam. Konsep
manunggaling kawulo gusti, sebagai tradisi mistik jawa yang telah berkembang di kalangan
kraton nampaknya lebih identik dengan tradisi esoterisme ini. Jika dikaji lebih detail konsep
manunggaling kawulo lan gusti itu terdapat relasi yang dekat dengan mistik esoteris Ibn ‘Arabi
tentang wahdatu al-wujud.
Bagi kebanyakan antropolog, baik Barat maupun Indonesia mengatakan bahwa “Islam
Jawa” identik dengan “Islam Sinkretis”. Dalam hal ini berbeda dengan Woodward, ia tidak mau
menyebut islam jawa ini identik dengan islam sinkretis. Karena dalam pandangannya, doktrin
Islam telah menggantikan Hinduisme dan Budhisme sebagai aksioma kebudayaan Jawa.
Perbedaan pandangan Woodward dengan mayoritas antropolog Barat ini antara lain dilatar
belakangi oleh sikap skeptisismenya dalam menilai antropologi Barat yang telah gagal
memahami islam Jawa. Tidak hanya itu kalangan islam puritan pun juga mengatakan persoalan
yang hampir senada, yaitu bahwa islam jawa telah dianggap banyak mengalami praktek-praktek
penyimpangan, sehingga islam jawa tidak lagi dinilai sebagai agama yang murni.
Islam singkretisme sebagaimana dimaksudkan di atas secara umum dipahami sebagai
suatu fenomena bercampurnya praktek-praktek dan kepercayaan-kepercayaan dari suatu agama
dengan agama yang lainnya sehingga menciptakan tradisi baru yang berbeda. Berangkat dari
definisi ini, seluruh agama--tanpa terkecuali--telah dimaknai sebagai sinkretis dalam
keasliannya, karena msing-masing agama dibentuk melalui proses dialog dengan keyakinan-
keyakinan lain. Sementara itu dalam pengetahuan modern konsep sinkretisme dibatasi pada
sintesis keagamaan yang terbentuk setelah konsolidasi awal dari suatu agama. Menurut definisi
ini berarti sinkretisme dipahami sebagai suatu praktek keagamaan yang telah menyimpang dari
agama induknya atau ungkapan idealnya.
Meski sinkretisme itu menyimpang dari ideal normatif, namun dalam pandangan para
penganutnya ia tetap memelihara ciri-ciri agama asal. Atas dasar fenomena ini sinkretisme tidak
bisa disamakan dengan bid’ah. Seperti agama-agama dunia lainnya, pemahaman kaum muslim
terhadap inti ajaran normatifnya selalu bervariasi sepanjang waktu dan tempat. Hal ini berarti
bahwa upaya apapun yang dilakukan untuk menggambarkan mana yang betul-betul islam dan
mana yang betul-betul sinkretis senantiasa memunculkan berbagai permasalahan nilai dan
keputusan. Apa yang dianggap sinkretis oleh sebagian kaum muslimin belum tentu dianggap
sinkretis oleh kaum muslim yang lain. Kotroversi ini muncul bukan baru-baru ini saja terjadi,
melainkan sejak abad ke-19-20-an.
PENUTUP

Jadi dapat kesimpulannya, Mitologi atau disebut juga Mitos dalah sebuah kepercayaan
populer atau tradisi yang telah tumbuh di sekitar sesuatu atau seseorang, terutama: satu
mewujudkan cita-cita dan lembaga masyarakat atau segmen masyarakat.
Peleburan atau akulturasi antara Islam dan budaya sudah terjadi sejak Islam mulai
berkembang pada masyarakat.
Mitos dapat dianalisis dari berbagai sudut pandang. Kendati demikian, seorang peneliti
perlu menempatkan mitos itu dalam domain keilmuan tertentu.
DAFTAR PUSTAKA

Anderson, Benedict R.O’G, Mitologi dan Toleransi Orang Jawa. Yogyakarta: Qalam, 2000

Koentjaningrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia, 1993

Kuntowijoto, Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999

Simuh, Sufisme Jawa : Transformasi Tasawuf Isam dalam Mistik Jawa. Yogyakarta: Bentang, 1995

Simuh, Islam dan Pergumulan Budaya Jawa. Jakarta Selatan: Teraju, 2003

(http://italiano.kaes.htm diakses 28 Mei 2012

http://www.paulevans.org/private/educ/oratory.htm diakses 28 Mei 2012

http://www.paulevans.org/private /educ/oratory.htm diakses 28 Mei 2012

Anda mungkin juga menyukai