Anda di halaman 1dari 9

TUGAS 2

ANALISIS DAN STUDI KASUS

Dosen Pengampu : Prof. Dr. Ramlan Silaban, M. Si

Oleh :

Nama : Eva Theresia Patrisia Marbun


NIM : 8216142008
Program Studi : Magister Pendidikan Kimia
Kelas :B

PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN KIMIA


UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
MEDAN
2021
Dari Mitos Menjadi Logos
Sejarah perkembangan filsafat dan sains tidak bisa dilepaskan dari sejarah umat manusia
dalam mengembangkan sains. Filsafat dilahirkan karena kemenangan akal atas dongeng-dongeng
atau mitos-mitos/ mite-mite yang diterima dari manusia, yang memberitahukan tentang asal-
mula segala sesuatu, baik dunia maupun manusia. Akal manusia tidak puas dengan keterangan
dongeng-dongeng atau mitos-mitos tersebut, karena tidak bisa dibuktikan dengan akal.
Kebenaran hanya dapat diterima oleh iman atau kepercayaan.
“Dalam dunia ilmu pengetahuan, tidak pernah ada referensi yang menjelaskan bahwa
mitos-mitologi bisa dipertentangkan dengan logos, bahkan sains dan teknologi. Justru logos yang
‘menyempurnakan’ proses pemerolehan ilmu pengetahuan, bahwa ketika mitos-mitologi di
jamannya, tidak bisa lagi memberikan pertanggungjawaban atas realitas yang terjadi, maka logos
hadir sebagai upaya untuk menjelaskan realitas”.
Sebagaimana umum dikenal, dunia kebudayaan Yunani Kuno pada awal kemunculannya
selalu membuka diri pada dunia luar, yang berimbas pada pergerakan-perubahan budaya di
jaman itu. Kebudayaan Yunani Kuno yang konon didominasi oleh mitos-mitologi, akhirnya
digeser oleh adanya logos (rasio), sebagai cara yang paling memadai untuk menjelaskan berbagai
persoalan yang muncul dalam realitas.  Tampak pula bahwa ada sebuah ketidakpahaman yang
memadai pada maksud dan arti sesungguhnya mitos-mitologi, dan ketidaktahuan akan proses
bergesernya itu ke logos, sebagai satu-satunya jalan bagi orang Yunani untuk menjelaskan
realitas.
Di dalam kebudayaan Yunani Kuno, ada sebuah kepercayaan pada mitos-mitologi. Mitos
atau mite berasal dari kata Yunani mythos yang berarti kata atau perkataan.  Sebagai suatu istilah
teknis, mitos dapat dipakai untuk menyatakan apa yang tidak dapat hadir secara kelihatan. Maka
mitos secara sederhana dapat dikatakan sebagai kisah atau cerita tentang asal usul dunia dan
alam semesta dan manusia yang berasal dari para dewa. Atau kisah tentang pekerjaan dewa-dewa
dalam kehidupan dunia manusia dan alam semesta.
Adapun yang menjadi karakteristik mitos antara lain: Pertama, mitos selalu berbicara
tentang para dewa dalam hubungannya dengan manusia dan dunia, dalam arti segala sesuatu
terjadi dalam alam semesta berasal dari para dewa. Kedua, karena mitos memuat kisah suci
tentang asal mula manusia dan alam semesta, maka mitos hanya dapat dibacakan atau diceritakan
di tempat-tempat suci, misalnya di tempat ibadah atau kuil para dewa. Ketiga, mitos harus
dikisahkan pada waktu-waktu khusus atau waktu-waktu suci, misalnya pada waktu ibadat atau
pemujaan kepada para dewa. (ibid.) 
Selanjutnya, mitos perlu dibedakan dari mitologi. Mitologi berasal dari gabungan kata
mythos dan logos yang secara harafiah berarti kata tentang perkataan atau kata-kata tentang apa
yang tak kelihatan. Mitologi dimaksudkan sebagai penafsiran atau interpretasi mengenai mitos
yang dijadikan doktrin atau ajaran resmi agama. Karakteristik mitologi adalah bahwa mitologi
itu bisa berubah bila dipandang interpretasi tersebut tidak lagi relevan. Selain itu, jika mitos
diterima begitu saja tanpa interpretasi, maka mitologi umumnya dapat diciptakan oleh mereka
yang berkepentingan demi tujuan tertentu dan dapat diganti sesuai kehendak interpretator.

Bagaimana Filsafat Mengubah Mitos Menjadi Logos?


Perubahan mitos ke logos merupakan revolusi, mengingat pemenuhan pengertian dan
syarat-syarat. Dengan demikian Revolusi pengetahuan ini secara tidak langsung merupakan
revolusi pertama dan utama. Hal tersebut dikarenakan buah dari revolusi ini merupakan dasar
dari segala perubahan pemikiran. Poin yang perlu digaris bawahi ialah perubahan pola pikir yang
tidak hanya menerima mitos sebagai wahyu yang diwartakan turun temurun, melainkan pola
pikir untuk mencari dan terus mencari kebenaran. Revolusi-revolusi yang terjadi setelah
Revolusi pengetahuan merupakan usaha untuk mencari kebenaran. Selain itu munculnya ilmu
pengetahuan, yang memiliki banyak pengaruh dalam merubah dunia, juga merupakan buah dari
Revolusi pengetahuan. Dengan adanya ilmu pengetahuan, maka berkembanglah pola pikir
manusia yang nantinya pola pikir tersebut melahirkan revolusi yang lain.
Filsafat mendekanstruksi (menghancurkan sampai pondasi) merubah total menghilangkan
bentuk awal dari mitos menjadi logos. Dengan cara mengubah cara piker (budaya mentalitas)
primitif menjadi berkelas dengan fenomna-fenomna ilmiah dengan penelitian dan pembuktian
yang berdasarkan logika dan dapat diterima. Bahwa tidak ada sesuatu yang serta merta tiba-tiba
terjadi tanpa ada proses didalamnya. Filsafat menggiring manusia pada hakekatnya dan
menggunakan bagian dari pada dirinya yang membedakanya dengan yang lain secara optimal
berdasarkan fungsinya yaitu berfikir.itulah penyebab beralihnya mitos menjadi logos.
Pada abad ke 6, ketika globalisasi belum ada, di seluruh dunia (especially di
Yunani) simultaneously terjadi pergantian cara berpikir dari ‘mitos’ menjadi ‘logos’.
Cara berpikir mitos mempunyai beberapa ciri, yaitu imagerial; yang bertitik tumpu pada
image, citra, atau bentuk. Misalnya di legenda tangkuban perahu, orang-orang jaman dulu
melihat sebuah gunung yang berbentuk seperti perahu terbalik, kemudian mereka buatlah cerita
yang berkorelasi dengan itu, sehingga terciptalah legenda tangkuban perahu. Ciri kedua,
yaitu persepsi yang undifferentiated; semua hal diperlakukan sama dengan manusia; bisa diajak
bicara, diminta pertolongan, dan sebagainya. Maka itulah jaman dahulu terdapat adat-adat seperti
tarian hujan (hujan dianggap bisa mendengar manusia) atau minta rezeki dari pohon (pohon yang
sebenarnya benda mati dipercayai bisa memberi). Ciri ketiga, yaitu kultur lisan (ciri favorit
saya); di mana orang-orang memaknai suatu kata dari efek imajinatif/auranya, bukan makna
otentik dari kata itu sendiri. Sebagai contoh, ada gedung-gedung di Indonesia yang dinamai,
misalnya Manala Swanabakti. Ada artinyakah? Tidak. Namun kata itu memang punya
kesan greatness dan mirip kata sansakerta yang terkesan tua dan elegan.
Manusia kemudian mulai menyadari bahwa segala sesuatu itu haruslah logis dan masuk
akal, karena pemakaian akal itu yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lain. Maka
terbentuklah cara berpikir logos. Ciri logos yang pertama adalah konsep yang menjadi pilar dan
makna yang denotatif (dipastikan); makna haruslah tunggal, tidak seperti mitos yang
mempunyai kecenderuangan bermakna banyak. Makanya dalam sains, definisi kata itu sangat
penting. Ciri kedua, presisi yang spesifik (differentiated). Semua hal harus dipilah. Manusia
adalah manusia. Benda mati adalah benda mati. Tidak boleh disamakan. Ciri ketiga, kultur
baca-tulis. Manusia menyadari bahwa memori mereka terbatas. Maka dengan menumpahkan isi
kepala ke dalam tulisan, ide-ide dan ilmu mereka bisa bertahan lama.
Dari kedua penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa logos maunya ‘menjelaskan’,
sedangkan mitos itu ‘melukiskan/menyentuhkan pada kesadaran’. Logos itu bentuknya pasti,
sedangkan mitos itu misteri; masalah dalam mitos yang deep dan misterius tak bisa diselesaikan
segampang logos yang bisa dihitung dan dipastikan. Logos dipakai dengan nalar,
sedangkan mitos dengan hati. Logos itu yang menjadikan pesawat yang beratnya berton-ton bisa
terbang, sedangkan mitos itu tentang mengapa manusia bisa bahagia mendengar musik yang
indah dan senang melihat lukisan rupawan.
Filsafat lahir dari mitos, kita sekarang harus mengakui bahwa mitos menuju ilmu, melalui
sastra dan filsafat, justru bisa disebut “demitologisasi” (Palmquist, 2002). Demitologisasi
mengacu pada proses pengambilan mitos (dalam pengertian modern sebagai keyakinan yang
keliru) keluar dari mitos—yaitu mempertanyakan keyakinan-keyakinan kita yang tak tertanyakan
dengan harapan mengubahnya menjadi ungkapan kebenaran yang lebih handal.

Membuktikan Kebenaran Ilmiah


Kebenaran” merupakan kata benda. Namun janganlah terlalu cepat langsung
menanyakan dan mencari benda yang namanya “kebenaran”, jelas itu tidak akan ada
hasilnya; itu merupakan usa- ha yang sesat. Meskipun ada kata benda “kebenaran”, namun
dalam realitanya tidak ada benda “kebenaran”, yang ada dalam kenyataan secara ontologis
adalah sifat “benar”.
Sebagaimana sifat-sifat lain pada umumnya, kita dapat me- nemukan serta
mengenalnya pada hal yang memiliki sifat bersang- kutan, demikian pula sifat “benar” tentu
saja juga dapat dicari dan dapat ditemukan dalam hal-hal yang memiliki sifat “benar”
tersebut. Misalnya sifat “bersih” dapat ditemukan pada udara yang ber- sih, lantai yang
bersih; sifat “tenang” dapat ditemukan dalam sua- sana kelas yang tenang, suasana hati yang
tenang. Demikian pula sifat “benar” pada umumnya dapat ditemukan pada hal-hal berikut:
pemikiran yang benar, jawaban yang benar, pengetahuan yang benar, penyataan yang benar,
penjelasan yang benar, pendapat yang benar, pandangan yang benar, informasi yang benar,
berita yang benar, tindakan yang benar, kebijaksanaan yang benar.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa sifat “benar” da- pat berada pada kegiatan
berpikir maupun hasil pemikiran yang da- pat diungkapkan dalam bahasa lisan maupun
tertulis, yang berupa: jawaban, penyataan, penjelasan, pendapat, informasi, berita, tindakan,
peraturan. Hasil pemikiran pada pokoknya menunjukkan ada atau tidak-adanya hubungan
antara yang diterangkan dengan yang menerangkan. Misalnya yang menunjukkan adanya
hubungan: udara bersih, lampu menyala, rumah terbakar api, binatang meng- gigit orang,
orang makan mangga. Pernyataan yang menunjukkan tidak-adanya hubungan antara yang
diterangkan dan yang mene- rangkan dinyatakan dengan menggunakan kata ’tidak’. Contoh,
pasar sayur ini tidak bersih, tanaman padi tidak subur, kambing tidak hidup di air, manusia
tidak bersayap.
Hasil pemikiran dikatakan benar, bila memahami bahwa ada hubungan antara yang
diterangkan dengan yang menerangkan, dan ternyata memang ada hubungan, atau
memahami bahwa tidak ada hubungan antara yang diterangkan dengan yang menerangkan,
dan ternyata memang tidak ada hubungan. Hasil pemikiran dikata- kan salah, bila memahami
bahwa ada hubungan antara yang diterangkan dengan yang menerangkan, padahal tidak ada,
atau mema- hami bahwa tidak ada hubungan antara yang diterangkan dengan yang
menerangkan, padahal ada.
Karena kebenaran merupakan sifat dari pengetahuan, untuk membahas adanya berbagai
kebenaran, kita perlu mengetahui ada- nya berbagai macam pengetahuan. Sebagaimana
pengetahuan dapat dibedakan atas dasar berbagai kriteria penggolongan, demikian pula
berkenaan dengan kebenaran pengetahuan juga dapat digo- longkan atas dasar beberapa
kriteria. Pertama, atas dasar sumber atau asal dari kebenaran pengetahuan, dapat bersumber
an- tara lain dari: fakta empiris (kebenaran empiris), wahyu atau kitab suci (kebenaran
wahyu), fiksi atau fantasi (kebenaran fiksi). Kebe- naran pengetahuan perlu dibuktikan
dengan sumber atau asal dari pengetahuan terkait. Kebenaran pengetahuan empiris harus
dibuk- tikan dengan sifat yang ada dalam obyek empiris (yang didasarkan pengamatan
inderawi) yang menjadi sumber atau asal pengetahuan tersebut. Kebenaran wahyu
sumbernya berasal dari wahyu atau ki- tab suci yang dipercaya sebagai ungkapan tertulis dari
wahyu. Sehingga yang menjadi acuan pembuktian kebenaran wahyu adalah wahyu atau kitab
suci yang merupakan tertulis dari wahyu. Sedangkan kebenaran fiksi atau fantasi bersumber
pada hasil pemikiran fiksi atau fantasi dari orang bersangkutan. Dan yang menjadi acuan
pembuktiannya adalah alur pemikiran fiksi atau fantasi yang terwujud dalam ungkapan lisan
atau tertulis, visual atau auditif, atau dalam ungkapan keempat-empatnya.
Kedua, atas dasar cara atau sarana yang digunakan untuk memperoleh kebenaran
pengetahuan. Antara lain dapat menggunakan: indera (kebenaran inderawi), akal budi
(kebenaran intelektual), intuisi (kebenaran intuitif), iman (kebenaran iman). Kebenaran
pengetahuan perlu dibuktikan dengan sarana yang digunakan untuk memperoleh
pengetahuan terkait. Kebenaran pengetahuan inderawi (penglihatan) harus dibuktikan dengan
kemampuan indera untuk menangkap hal atau obyek inderawi dengan segala kelebihan dan
kekurangannya. Penglihatan dapat menghasilkan pengetahuan tentang warna, ruang, ukuran
besar/kecilnya obyek, serta adanya suatu gerak atau perubahan. Sesuai dengan perspektif
penglihatan disadari bahwa penangkapan penglihatan sering tidak tepat. Kita mengalami tipu
mata. Misalnya, bintang yang semestinya besar tampak di penglihatan sebagai bintang
kecil; sepasang rel kereta api yang seharusnya sejajar ternyata tampak di penglihatan
sebagai yang semakin menciut di kejauhan. Kebenaran intelektual didasar- kan pada
pemakaian akal budi atau pemikiran agar dapat berpikir secara lurus, yaitu mengikuti kaidah-
kaidah berpikir logis, sehing- ga tidak mengalami kesesatan dalam berpikir. Kebenaran
intuitif didasarkan pada penangkapan bathin secara langsung (konkursif) yang dilakukan
oleh orang bersangkutan, tanpa melalui proses pe nalaran terlebih dahulu (diskursif).
Sedangkan kebenaran iman di- dasarkan pada pengalaman hidup yang berdasarkan pada
keperca- yaan orang bersangkutan.
Ketiga, atas dasar bidang atau lingkup kehidupan, membuat pengetahuan diusahakan
dan dikembangkan secara berbeda. Antara lain, pengetahuan agama (kebenaran agama),
pengetahuan moral (kebenaran moral), pengetahuan seni (kebenaran seni), pengetahu- an
budaya (kebenaran budaya), pengetahuan sejarah (kebenaran historis), pengetahuan hukum
(kebenaran yuridis), pengetahuan politik (kebenaran politik). Kebenaran pengetahuan perlu
dipahami berdasarkan bahasa atau cara menyatakan dari lingkup/bidang ke- hidupan terkait.
Misalnya, penilaian baik atas tindakan dalam bi- dang moral tentu saja perlu dibedakan
dengan penilaian baik ten- tang hasil karya dari bidang seni.
Keempat, atas dasar tingkat pengetahuan yang diharapkan dan diperolehnya: yaitu
pengetahuan biasa sehari-hari (ordinary knowledge) memiliki kebenaran yang sifatnya
subyektif, amat ter- ikat pada subyek yang mengenal, pengetahuan ilmiah (scientific
knowledge) menghasilkan kebenaran ilmiah, pengetahuan filsafati (philosofical knowledge)
menghasilkan kebenaran filsafati. Krite- ria yang dituntut dari setiap tingkat kebenaran
ternyata berbeda. Kebenaran pengetahuan yang diperoleh dalam pengetahuan biasa sehari
cukup didasarkan pada hasil pengalaman sehari-hari, se- dangkan kebenaran pengetahuan
ilmiah perlu diusahakan dengan pemikiran rasional (kritis, logis, dan sistematis) untuk
memperoleh pengetahuan yang selaras dengan obyeknya (obyektif).

Tenggelamnya KM Sinar Bangun di Danau Toba


Senin, 18 Juni 2018, sebuah kapal yang bernama KM Sinar bangun dinyatakan tenggelam.
Singkat kronologisnya, kapal ini dinyatakan tenggelam sekitar pukul 17:30 WIB. Menurut
informasi, kapal ini berlayar sekitar pukul 16:50 WIB dari Simanindo menuju Tiga Ras. Tidak
lama setelah berlayar, sekitar 30 menit kemudian, Kapal ini terjebak angin dan ombak yang
sangat kencang (Menurut saksi yang selamat), Hingga akhirnya kapal KM Sinar
Bangun dinyatakan tenggelam. Berikut adalah beberapa mitos dan fakta yang beredar di telinga
masyarakat tentang tenggelamnya kapal KM Sinar Bangun:
1. Nakhoda tembak
Dalam dunia transportasi kapal, ternyata dikenal istilah nakhoda tembak. Istilah ini berarti
ada nakhoda lain sebagai pengganti untuk mengendarai kapal selain nakhoda sebenarnya. Hal
inilah yang sebenarnya terjadi pada KM Sinar Bangun. Kejanggalan ini berhasil terkuak saat
nama nakhoda KM Sinar Bangun tidak terdaftar sebagai korban hilang ataupun selamat. 
Nakhoda yang berinisial TS ini adalah warga desa Simarmata, Kabupaten Samosir.
2. Ada sekitar 80 pelampung didalam kapal yang tidak dibagikan
Sebelum berangkat, ombak-ombak kecil memang sudah ada namun tidak begitu diperhatikan.
Lalu sekitar 30 menit setelah keberangkatan kapal, ada angin kencang yang mendorong kapal.
sehingga ia tidak bisa mengendalikan setir. (Kemudian kapal terbalik). Lalu ia berusaha keluar
mencari celah untuk keluar, ia menemukan celah sinar dari kaca kapal yang kemudian
dipecahkan. Setelah ia berusaha ke permukaan, ternyata kapal sudah terbalik. Masing-masing
orang menyelamatkan diri hingga kapal bantuan menuju mereka disaat yang sama.  Kapal
mulai tenggelam perlahan-lahan. Situasi pada saat itu adalah ketika orang berusaha
menyelamatkan diri masing-masing. Hingga akhirnya ada sekitar 80 pelampung yang tidak
sempat dibagikan.
3. Sebelumnya, kapal sudah dipenuhi air dibagian bawahnya
Menurut saksi yang selamat, kapal yang sudah berlayar selama 30 menit sudah dipenuhi air
dibagian bawah kapal. Sehingga ketika angin dan ombak yang tiba-tiba membesar menyebabkan

kapal tenggelam. Saksi juga mengkonfirmasi bahwa lebih dari 100 orang penumpang dan banyak
kendaraan roda 2 yang dimuat kapal tersebut.
4. Penangkapan ikan mas raksasa
Tragedi tenggelamnya KM Sinar Bangun di perairan Danau Toba juga dihubungkan
dengan kisah berbau mistis atau mitos. Bicara hal mistis percaya atau tidak percaya semua
kembali ke pribadi masing-masing. Salah seorang saksi menuturkan sehari sebelum terjadinya
tragedi tenggelamnya kapal KM Sinar Bangun, seekor ikan mas yang sangat besar dengan berat
14 kg berhasil ditangkap seorang pemancing di Desa Paropo Tao Silalahi. Pemancing itu bahkan
mengklaim bahwa ikan mas raksasa tersebut diyakini paling besar didapat di Danau Toba dalam
kurun waktu 20 tahun terakhir. Menurut beberapa masyarakat, ikan itu bukanlah ikan biasa. Ikan
itu adalah salah satu penjaga danau yang harusnya dilepas kembali ke danau. Apabila dilanggar,
kita tidak tau apa. Pastinya akan ada musibah besar yang menimpa. Dan tak lama memang,
keesokan harinya bencana besar pun menimpa. Seakan-akan itu adalah pertanda dari pelanggaran
yang dilakukan oleh sekelompok pemancing tersebut. Hal ini memang menjadi pro kontra dalam
pandangan masyarakat. Namun banyak yang menganggap bahwa mitos itu memang benar
adanya dan sudah dibuktikan secara nyata.

DAFTAR RUJUKAN

https://media.neliti.com/media/publications/81854-ID-menguak-kebenaran-ilmu-pengetahuan-
dan-a.pdf
https://andika-smr.blogspot.com/2018/07/mitos-dan-fakta-tenggelamnya-kapal-km.html
https://kiranams.wordpress.com/2015/12/20/filsafat-1-mitos-dan-logos/

Anda mungkin juga menyukai