Anda di halaman 1dari 11

Dualisme dan Dikotomi dalam Worldview Barat

Pengantar

Salah satu ciri khas yang melatar-belakangi pandangan hidup barat adalah dualisme 1 atau
dikotomi dalam memandang dan memahami suatu fakta2, dimana pada gilirannya nanti akan
membawa pada pemahaman yang membedakan antara kebenaran agama dan ilmu
pengetahuan. Dualisme diterima secara mutlak akibat upaya sekularisasi yang barat anggap
sebagai buah dari problem pemahaman teologi dan teks mereka. Demikian karena, corak
pemikiran ini bisa ditelusuri semenjak zaman yunani kuno silam. Di zaman modern, agama
dan metafisik bahkan dianggap tidak ilmiah karena tidak mempunyai nilai rasionalitas.3
Diantara implikasinya, konsep alam dianggap sepenuhnya material, alam selain fisik harus
ditolak karena tidak bisa dicapai, nilai kebenaran hanya relevan jika disandarkan pada indera
dan rasio, hingga terjadi pertentangan antara sifat subyektif-obyektif ataupun rasionalisme-
empirisme pada asumsi dasar filsafat keilmuan, dan sebagainya. Maka bukan hal yang
mengagetkan jika muncul pernyataan-pernyataan seperti: “Tuhan kan mutlak, pemahaman
manusia yang relatif tidak mungkin bisa mencapainya”, ”al qur’an kan mutlak sedangkan
penafsiran kita relatif, karena itu yang bisa tau kebenaran hanya Allah, kita tidak bisa
mengklaim pemahaman kita yang paling benar”, “jika mengkaji persoalan demikian,
lepaskan dulu imannya”, “yang tidak rasional dan tidak ada bukti fisiknya tidak bisa
dinyatakan benar”, dll. Dari kekacauan berpikir ini kemudian munculah berbagai istilah
seperti penjahat santun, pelacur moralis, begitu juga Islam liberal, Islam Nusantara, Islam
Inklusif, dan Islam Moderat.4
Dalam makalah ini akan dibahas dualisme dalam worldview peradaban Barat berdasarkan
kritik dari pemikiran al Attas. Dengan analisisnya yang kritis al Attas berhasil membuktikan
bahwa ada perbedaan tajam antara pemikiran Barat dan Islam terutama bagi paham dualisme
yang bertentangan secara diametral dengan paham tauhid dalam Islam. Dari sini al Attas

1
Menurut al Attas ada tiga hal yang mendasari kebudayaan dan peradaban barat selain dualisme yaitu doktrin
tragedi dan humanisme. Lihat S.M.N al Attas, Islam, Secularism and the Philosophy of the Future
(London:Mansell, 1985) hal 205.
2
Lihat Hamid Fahmi Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam (Gerakan bersama Missionaris, Orientalis dan
Kolonialis) (Ponorogo:CIOS,2010) Hal 11.
3
Lihat Usep Mohammad Ishaq, Positivisme Logis dan Sains Bebas Tuhan, artikel dalam www.pimpin.web.id
diakses tanggal 20/09/2017.
4
Lihat Hamid Fahmi Zarkasyi, Misykat (Jakarta:INSISTS, 2012) hal 80. Anton Ismunanto, Tauhid dan Ilmu,
Relasi dan Implikasi, makalah hasil kajian PKU Periode VII ISID Gontor Thn 2013-2014, (tidak diterbitkan) hal
1.
kemudian memperkenalkan sebuah konsep original yang telah inheren dalam tradisi
intelektual islam yang disebutnya dengan ‘Metode Tauhid dalam Ilmu Pengetahuan’.

Antara Dualisme dan Dikotomi

Dalam kamus filsafatnya Simon Blackburn mendefinisikan dikotomi sebagai “a division


into two/dikotomi adalah sebuah pembagian kepada dua”.5 Disini makna dichotomy lebih
disinonimkan dengan separation, split, division dan classification, terkait penggunaannya
kamus Collins menandai dimana terkadang kata ini digunakan untuk merujuk pada kondisi
yang membingungkan bahkan kontradiksi, namun pada umumnya hal ini adalah salah
(incorrect).6 Adapun dualisme Simon menjelaskan “any view that postulates two kinds of
thing in some domain is dualistic, contrasting views according to which there is only one kind
of thing are monistic. The most famous example of the contrast is mind-body dualism,
contrasted with monism in the form either of idealism (only mind) or more often physicalism
(only body or matter)/sebuah pandangan yang terbangun dari dua jenis sesuatu yang berasal
dari beberapa domain adalah dualistik, berlawanan dengan pandangan dimana menurutnya
hanya ada satu jenis sesuatu, itulah monistik. Contoh kontras yang paling terkenal adalah
dualisme pikiran-tubuh, dikontraskan dengan monisme yang dalam bentuk lainnya idealisme
(hanya pikiran) atau lebih sering fisikisme (hanya tubuh atau materi). 7 Disini dualisme lebih
condong pada makna to oppose atau to contrast yang cenderung mempertahankan perbedaan-
perbedaan mendasar yang terdapat dalam suatu entitas, hingga pada prakteknya berlaku
pembagian sesuatu secara konseptual kepada dua hal yang saling berlawanan sebagai aspek
yang saling kontras.8 Bisa kita tangkap bahwa antara dikotomi dan dualisme keduanya sama
dalam hal penduaan/pemisahan, perbedaannya bisa dibilang tipis. Jika dikotomi memisahkan
sesuatu dari hal yang sama, dualisme lebih pada menghadapkan/mempertentangkan dua hal
yang dianggap berbeda.

Dikotomi/Dualisme sebagai Prinsip dalam Worldview Barat


5
Lihat entri: Dichotomy dalam Simon Blackburn, Oxford Dictionary of Philosophy (New York: Oxford
University Press Inc.,2008) hal 99.
6
Lihat entri dichotomy dalam www.collinsdictionary.com, diunggah pada tanggal 28/09/2017.
7
Oxford Dictionary of Philosophy , entri: Dualism, hal 105.
8
Sebagaimana ditulis dalam Oxford Dictionary yang lengkapnya “ the division of something conceptually into
two opposed of contrased aspects, or the state of being so divided. Manakala dalam filsafat disana ia juga
diartikan sebagai “a theory or system of thought that regards a domain of reality in terms of two independent
principles especially mind and matter (Cartesian dualism). Lihat entri: Dualism di
https://en.oxforddictionaries.com/definition/dualism, diunggah pada tangggal 03/11/2017.
al Attas mengatakan dalam Risalah untuk Kaum Muslimin ketika mengomentari tentang
penegasan doktrin humanisme9 yang terjadi dalam peradaban barat. Manakala dalam wujud
politiknya ia bertransformasi menjadi sosialisme dan kapitalisme yang saling bertentangan
namun bermula dari dasar yang sama (humanisme), bahwa:
“intisari falsafah hidup kebudayaan barat ini berdasarkan kepada
penerimaan faham dualisme, atau penduaan yang mutlak peri hakikat,
termasuk penduaan nilai kebenaran, sebagai kenyataan yang
dianggapnya benar dan mutlak. Faham dualisme ini mengikrarkan
adanya dua hakikat dan kebenaran yang bertentangan dan yang mutlak.
Sebab inilah kita lihat dari asal mulanya, dari sejak timbulnya falsafah
yunani kuno, sifat penting kebudayaan barat ini telah nyata kelihatan,
dimana pembezaan serta pengisbatan mutlak telah dijelaskan antara
yang ruhani dan yang jasmani; antara yang bersifat benda dan yang
tiada bersifat benda; antara tuhan dan insan; antara ilmu dan tanzil;
antara agama dan negara; antara hukum dan undang-undang dan akhlak.
Maka kita lihat penduaan ini wujud dalam segala segi hidup
kebudayaan barat termasuk penilaian kebenaran, dan inilah juga yang
dimaksudkan dengan pandangan shirik berbanding dengan tawhid”.10
Ditempat lain saat menjelaskan apa itu kebudayaan/peradaban barat yakni sebagai
“Peradaban yang berkembang dari percampuran sejarah pelbagai
kebudayaan, falsafah, nilai dan aspirasi Yunani dan Romawi kuno;
penyatuannya dengan ajaran Yahudi dan Kristian dan perkembangan
dan pembentukan lebih jauh yang dilakukan orang Latin,Germanik,
Celtik dan Nordik. Dari Yunani kuno diserap unsur falsafah,
epistemologi, dasar pendidikan dan etika serta estetika; daripada
Romawi unsur-unsur hukum dan ketatanegaraan serta pemerintahan;
daripada ajaran Yahudi dan Kristian unsur keyakinan beragama; dan
daripada orang Latin, Germanik, Celtik dan Nordik kemerdekaan,
semangat kebangsaan dan nilai tradisi mereka, serta pengembangan
ilmu sains tabi‘i, fizik dan teknologi. Dengan kekuatan ini, bersama
bangsa Slavia, mereka telah mendorong peradaban ini ke puncak
9
Paham ini termanifestasikan dalam ungkapan “human being is the measure of all things” yang bisa ditelusuri
akarnya pada pemikiran Prothagoras.
10
S.M.N al Attas, Risalah untuk kaum Muslimin dalam Himpunan Risalah (Kuala Lumpur:IBFIM, 2015) hal 21.
Buku ini dicetak pertama kali pada tahun 2001.
kekuasaan. Islam juga telah memberi banyak sumbangan yang penting
kepada peradaban Barat dalam bidang ilmu dan dalam menanamkan
semangat rasional dan saintifik. Tetapi ilmu serta semangat rasional dan
saintifik itu telah disusun kembali dan ditata ulang untuk disesuaikan
dengan acuan kebudayaan Barat sehingga melebur dan menyatu dengan
unsur lain yang membentuk watak serta keperibadian peradaban
Barat”.11
al Attas kemudian menandai bahwa :
“Peleburan dan penyatuan itu kemudian berkembang menghasilkan
suatu dualisme yang khas dalam pandangan alam dan tata nilai
kebudayaan dan peradaban Barat. Suatu dualisme yang tidak dapat
diselesaikan menjadi kesatuan yang harmoni, kerana terbentuk daripada
berbagai idea, nilai, kebudayaan, kepercayaan, falsafah, dogma, doktrin
dan teologi yang saling bertentangan. Kesemuanya ini mencerminkan
suatu pandangan dualistik terhadap realiti dan kebenaran yang diikuti
dengan pertempuran yang menghancurkan harapan. Dualisme itu
menguasai semua aspek kehidupan dan falsafah Barat; baik yang
spekulatif, sosial, politik, atau kebudayaan-sebagaimana ia telah
menyusup dengan begitu hebat ke dalam agama Barat”12.
Akhirnya terjadilah bagi Barat suatu periodesasi zaman khusus yang mencerminkan proses
kesejarahan dialektik dimana setiap zaman coraknya selalu berubah, yang dicirikan dengan
“dominasi sistem-sitem pemikiran yang berdasarkan materialisme ataupun idealisme,
didukung pendekatan metodologis seperti empirisisme, rasionalisme, realisme, nominalisme,
pragmatisme, positivisme, logika positivisme, dan kritisisme”. 13 Kesemuanya bergerak maju
mundur dari abad ke abad dan muncul silih berganti bahkan hingga hari ini.
Secara historis pemikiran dualisme mempunyai perjalanan panjang yang tergambar dalam
pergulatan konsep kebaikan dan kejahatan oleh kaum Zoroaster semenjak abad 1000 SM,
yang terminologinya baru diperkenalkan pada tahun 1700 oleh Thomas Hyde. Dalam tradisi
filsafat yunani bisa dikatakan dualisme telah mendominasi cara berpikir para filsuf yang

11
S.M.N al Attas, Dewesternisasi Ilmu dalam Jurnal Terjemahan Alam & Tamadun Melayu 1:2 (2010)
University of Malaya hal 3-4. Diterjemahkan oleh Khalif Muammar A. Harris yang diambil dari bab V dari
buku Islam and Secularism Kuala Lumpur: ISTAC, Cetakan II, 1993).

12
Dewesternisasi Ilmu, hal 4.
13
S.M.N al Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, an exposition of the Fundamental Elements of the
Worldview of Islam (Kuala Lumpur:ISTAC,1995) hal 3.
tercermin dalam berbagai refleksi pemikiran filosofisnya. Seperti Phythagoras yang
berpendapat bahwa segala sesuatu diciptakan saling berlawanan: satu dan banyak, terbatas
dan tak terbatas, berhenti dan gerak, baik buruk dsb. Sejalan dengan Phytagoras ada
Empedocles dimana baginya dunia dikuasai oleh dua hal cinta dan kebencian. Plato juga
demikian ia memisahkan jiwa dari raga. Bahkan Aristoteles yang tidak setuju dengan
gurunya (Plato) juga terjebak kedalam dualisme dimana ia memisahkan akal dari jiwa.
Golongan pemikir kristiani pada mulanya adalah pengikut Plato, sehingga pada abad ke 13
mereka mulai pindah ikut Aristoteles dengan ditambah beberapa modifikasi dalam
pemikirannya. Selanjutnya memasuki abad renaisans dualisme Plato kembali mereka usung,
hingga sampai pada tangan Descartes kemudian dualisme mencapai tahap klimaksnya yang
mana ia membedakan antara res cogitans (substansi ide/pikiran) dan res extensa (substansi
material). Konsep dualisme Descartes inilah yang kemudian dikenal dengan Cartesian
Dualism yang pada dasarnya difungsikan untuk menjelaskan fakta-fakta didunia fisik/materi
secara mekanis dan matematis.14 Demikianlah, pada intinya semua itu terjadi karena
sebagaimana yang al Attas katakan bahwa:
“Barat merumuskan pandangannya terhadap kebenaran dan realiti
bukan berdasarkan ilmu wahyu dan dasar keyakinan agama, tetapi
berdasarkan tradisi kebudayaan yang diperkuat oleh dasar falsafah.
Dasar falsafah ini berangkat daripada tekaan/praduga yang berkaitan
hanya dengan kehidupan sekular yang berpusat pada manusia sebagai
entiti fizik dan haiwan rasional. Meletakkan ruang yang besar bagi
kekuatan rasional manusia sebagai satu-satunya kekuatan yang akan
menyingkap sendiri seluruh rahasia alam dan hubungannya dengan
eksistensi, serta menyingkap hasil pemikiran spekulatif itu bagi
perkembangan nilai etika dan moral yang berevolusi untuk
membimbing dan mengatur kehidupannya. Tidak akan ada kepastian
dalam spekulasi falsafah seperti kepastian keagamaan yang
berdasarkan ilmu yang diwahyukan seperti yang difahami dan dialami
dalam Islam. Inilah sebabnya ilmu serta nilai yang memancarkan
pandangan alam dan mengarahkan kehidupan peradaban tersebut akan
sentiasa ditinjau ulang dan berubah”.15
14
Misykat, hal 77-79. Ismail Setiawan, Kritik terhadap Dualisme Epistemologi Barat Modern, makalah hasil
kajian PKU ISID Gontor (tidak diterbitkan) hal 260-261. Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta:Gramedia
Pustaka Utama, 2005) hal 175.
15
Dewesternisasi Ilmu, hal 4.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan yang dibawakan al Attas maka tidaklah aneh jika
kemudian diramalkan akan muncul suatu aliran mengkhawatirkan yang akan menggugat
dasar-dasar ajaran Kristiani yang disebut sekularisme atau sekularisasi16 dalam peradaban
Barat. Dahulu, saat kristiani dihadapakan dengan tradisi filsafat Hellenisme, proses
dikotomisasi antara agama dan akal tidak bisa terhindaran karena memang keduanya masing-
masing mempunyai eklusifitas sendiri. Jika dalam tradisi Hellenisme Yunani berbasiskan
supremasi akal, tradisi Kristen menekankan pada supremasi keimanan. Sampai disini Para
filosof dan teolog mereka pun mencoba untuk mengembangkan teori-teori mengenai
hubungan antar wahyu dan akal hingga gereja kemudian menjadikan hal ini sebagai
legitimasi untuk melembagakan sebuah institusi yang dikenal dengan praktek kejamnya yakni
inquisisi.17 Demikianlah, sekularisme (yang lahir dari sekularisasi) kemudian menemukan
momentumnya setelah terjadi pemisahan antara nilai-nilai agama dengan dunia yang
sebelumnya agama dipisahkan dengan negara dimana pada zaman pertengahan gereja
menonopoli seluruh institusi sosial yang ada.18 Maka melalui sekularisasi inilah mereka
berharap klaim kebenaran yang selama ini dimonopoli atas nama agama/gereja/tuhan bisa
dijernihkan kembali, setelah ini giliran akal/manusia yang akan mencari dan memaknainya,
jika di abad pertengahan akal sudah tunduk dibawah hegemoni doktrin agama maka sekarang
adalah giliran agama yang harus tunduk kepada akal. Itulah yang disebut sekularisasi yaitu
pembebasan manusia dari kungkungan agama dan metafisika yang mengontrol akal dan
bahasanya.19
Lebih jauh lagi pandangan hidup dikotomis dari dualisme ini pun selanjutnya melahirkan
suatu mode pemikiran dialektis yang disebut oleh al Attas dengan “either- orism” yang

16
Perbedaan antara sekularisme dan sekularisasi adalah sekularisme mencerminkan pandangan hidup yang
tertutup dalam cakupan suatu zaman adapun sekularisasi ia mencerminkan keterbukaan, meski sebagian ada
yang mengatakan bahwa barat menolak sekularisme dan tidak untuk sekularisasi namun hal ini adalah sama saja
dimana keduanya sama-sama mengandung relativisme kesejarahan, sekularisasi akhirnya juga menjadi suatu
aliran yaitu sekularisasionisme. Disamping itu bisa dibedakan juga bahwa sekularisme adalah nama aliran yang
dipegang dan diilhami suatu komunitas atau individu berbeda dengan sekularisasi maka sebagai sebuah gerakan
dari sekularisme bisa dimungkinkan seseorang tidak paham mengenainya tapi turut juga terlibat didalamnya.
Lihat Islam, Secularism and the Philosophy of the Future hal 44; M. Syukri ismail, Kritik terhadap Sekularisme
(Pandangan Yusuf Qardhawi) (Ponorogo: CIOS) hal 6; Majukah Islam menjadi Sekuler (Kasus Turki)
(Ponorogo:CIOS,) hal 5; Happy Susanto, Sekularisasi dan Ancaman bagi Negara dalam jurnal Tsaqafah.
17
Anis malik thoha, Problem Hubungan antara Agama dan Sains di Dunia Barat dalam Jurnal ISLAMIA Thn
II No 5/2005. Lihat juga S.M.N al Attas, Barat Masa kini dan Latar belakang kristen dalam Jurnal ISLAMIA
Thn III No 2; Hamid Fahmi Zarkasyi, Akar Kebudayaan Barat dalam Jurnal ISLAMIA Thn III No 2; Adian
Husaini, Wajah Peradaban Barat (Jakarta:GIP,2006).
18
Mohd sani badron, Secularization, its threat to the Politics, Nature and Values salah satu makalah dalam buku
diktat kursus Worldview of Islam Series (WISE) yang diselenggarakan oleh UTM (Universiti Teknologi
Malaysia) dan HAKIM (Himpunan Keilmuan Muslim); Syamsuddin Arif, Kemodernan, Sekularisasi dan
Agama dalam Jurnal ISLAMIA Thn III No 2, hal 35.
19
Islam, Secularism and the Philosophy of the Future, hal 15. Adnin Armas, Kritik terhadap Sekularisasi
Harvey Cox dalam Jurnal ISLAMIA Thn III No 2, hal 28.
diambil dari pernyataan either this or that “kalau tidak begini mesti begitu“. Paham ini
memandang sesuatu senantiasa dari dua sudut pandang yang bertentangan yang diakhiri
dengan penerimaan dari yang satu dan penolakan dari yang lain20. Mode paham inilah yang
banyak mewarnai berbagai aliran pemikiran khas kebaratan baik modern atau postmodern
seperti dalam aliran epistemologinya ada rasionalisme dan empirisisme, realisme dan
idealisme dalam metafisika ada esensialisme dan eksistensialisme, dalam hal keagamaan ada
fundamentalisme/konservatisme/radikalisme yang dihadapkan dengan liberalisme, dalam
liberalisme sendiri juga ada dikotomi antara tradisi agama (turats) dan kemodernan bagi
mereka yang satu adalah absolut/mutlak sedangkan yang lain adalah relatif, dalam pluralisme
ada inklusisivisme dan eksklusivisme, eksoterik dengan esoterik, transenden dan imanen,
dalam politik dan ekonomi ada teokrasi dan demokrasi begitu juga sosialisme dan
kapitalisme, dalam metodologi ada tekstual dan kontekstual, historis dan normatif, induktif
dan deduktif, subyektif dan obyektif, bahkan didunia pendidikan islam sekalipun masih
didapati juga adanya pengaruh pemikiran dikotomis yang membedakan antara ilmu-ilmu
umum (sains) dan agama.

Prinsip Tauhidik dalam Worldview Islam.

Salah satu karakteristik penting dalam pandangan hidup islam adalah konsep berpikir
integralnya (tauhidi), sehingga dari sini ia mengambil langkah berseberangan dengan
peradaban barat yang dikotomis atau mendua dalam melihat realitas dan kebenaran 21.
Demikian karena, dalam epistemologi dan metodologinya islam tidak membedakan antara
subyektif dan obyektif, antara historis dan normatif, tekstual dan kontekstual, dimana
jiwa/akal22 manusia sebagai saluran ilmu adalah bersifat kreatif yang dengan persepsi,
20
Lihat catatan kaki No. 28 dalam Ugi suharto, Islam dan Sekularisme, Pandangan al Attas dan al Qaradhawi
dalam Jurnal ISLAMIA Thn 2 No 6, juga Khalif Muammar, Pandangan Islam Terhadap Tradisi dan
Kemodenan dalam Jurnal Hadhari UKM 4 (1) (2012) hal 38.
21
Menarik untuk diketahui bahwa apa yang real menurut worldview barat maka ia pastilah benar, sedangkan
apa yang tidak real maka otomatis tidak benar. Disini kita bisa pahami bahwa apa yang dimaksud realitas sendiri
dalam metafisikanya hanyalah sebatas fenomena sosial di alam inderawi yang pada hakikatnya menegaskan
perubahan, sampai muncul pernyataan terkenal dikalangan mereka bahwa tidak ada yang tetap kecuali
perubahan itu sendiri. Berbeda dengan islam dalam memahami realitas, dimana menurutnya ada realitas lain
selain daripada dunia ini karena itu kebenaran baginya tidak bisa hanya diukur dengan relitas dunia inderawi ini.

22
Kemampuan akal tidaklah terbatas kepada pentafsiran dan pengalaman hal-hal yang berkaitan dengan alam
inderawi atau hal-hal fisikal, material dan duniawi menurut kerangka logika semata-mata, bahkan kemampuan
akal dapat juga meliputi pemahaman secara langsung terhadap kebenaran-kebenaran agama, wujud tuhan, dan
segala sesuatu dalam kewujudan. Namun bentuk pencerahan yang dialami manusia adalah berbeda bagi seorang
saintis terjadi kejelasan secara sepotong-potong karena hanya terlatih untuk mengalami dan berpikir pada tahap
imajinasi dan intelegensinya ia berpartisipasi dalam membentuk dan menterjemahkan dunia
indera dan pengalaman inderawi23. Maka dalam tradisi islam sejatinya telah
merepresentasikan berbagai metode didalam penyelidikan tanpa menjadikan salah satu
dominan dari yang lain. Metode inilah yang disebut al Attas sebagai “Metode Tauhid dalam
Ilmu Pengetahuan”. Dengan metode tauhid inilah problematika dikotomi yang salah bisa
diselesaikan, dimana banyak kalangan yang masih menganggap apa yang obyektif lebih nyata
dan valid daripada yang subyektif, seperti halnya pada ilmu pengetahuan alam/natural science
yang diklaim lebih objektif dianggap mempunyai tingkat validitas yang lebih tinggi dari
ilmu-ilmu agama yang dianggap subjektif.24

al Attas menekankan bahwa sejatinya apa yang obyektif dan subyektif tidak dapat
dipisahkan, sebab ia merupakan kesatuan dari realitas yang sama sehingga hubungan
keduanya saling melengkapi. Sebagaimana seorang arsitek, dimana dia akan dapat berlaku
obyektif jika mengetahui rumah yang telah didesain, seperti bentuk, tinggi, lebar, panjang
dari tiap bagian, sebagaimana ia harus mengetahui berbagai material dan segala sesuatu yang
diperlukan. Namun ia tidak akan dapat mengetahui keadaan yang sebenarnya dari rumah
tersebut sebelum ia berdiam diri didalamnya. Maka hanya setelah ia mendiaminya ia bisa
mengetahui dengan tepat mana ruangan yang menurutnya paling nyaman pada saat itu. maka
penilaian subjektif ini tidaklah menghilangkan aspek luar yang obyektif dari pengetahuan
mengenai rumah.25

Mengenai aliran epistemologinya maka islam tidaklah menganut rasionalisme,


empirisisme, begitu juga positivisme logis atau kritisisme, dan tetap bersifat rasional dan
empirikal.26 Meski metode dalam tradisi intelektual barat mempunyai kesamaan dengan
tradisi islam seperti penggunaan medium panca indera eksternal yang terdiri dari indera raba,

kesadaran inderawi berdasarkan kebiasaan, sedangkan seorang sufi adalah lebih dari itu, karena mereka
mengembangkan disiplin terhadap daya upaya etika-ruhani internal yang mengalami dan menanggapi kebenaran
mutlak secara langsung. Adi setia, Epistemologi Islam menurut al Attas, dalam Jurnal ISLAMIA Thn II No 6,
hal 55. lihat juga Wan Mohd Nor Wan Daud, Epistemologi Islam dan Tantangan Pemikiran Umat dalam Jurnal
ISLAMIA Thn II No 5.

23
Hamid Fahmi Zarkasyi, Islam Sebagai Pandangan Hidup dalam Hamid Fahmy Zarkasyi. Dkk , Membangun
Pondasi Peradaban Islam (Semarang:Unissula,2008), hal 23.
24
Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik pendidikan Islam Syed M. Naquib al Attas
(Bandung:Mizan,2003) hal 295.
25
Ibid, hal 296.
26
Syamsuddin Arif, Ilmu, Kebenaran dan Keraguan: Refleksi Filosofis-Historis, hal 11, orasi ilmiah yang
disampaikan dalam rangka memperingati ulang tahun ke 13 INSISTS di gedung joang ’45 Selasa, 1 Maret 2016.
Diolah dari akun beliau di www.academia.com.
bau, rasa, lihat, dan dengar dan indera internal seperti representasi, estimasi, rekoleksi dan
imaginasi. Disamping itu keduanya juga bersandar pada akal sebagai alat dan sumber
pengetahuan. Aliran kritisisme bahkan menggunakan pandangan hidup dan tidak menerima
empirisisme yang menafikan kaitan antara worldview dengan pemahaman terhadap realitas
yang disisi-lain bertentangan dengan rasionalisme yang melepaskan pandangan hidup dari
realitas. Dititik inilah kritisisme mencoba menggabungkan antara keduanya dengan mengakui
alam nyata dan pengaruh pandangan manusia terhadapnya, ia pun tidak sepenuhnya percaya
pada kemampuan kognitif manusia dan mengakui apa yang mungkin dilakukan dan apa yang
tidak karena keterbatasannya.

Namun tidak dipungkiri terdapat perbedaan mendasar antara barat dan islam dalam prinsip
epistemologi yang dilatar belakangi oleh pandangan hidup masing-masing, jika Islam
bertolak dari pandangan hidup yang bersumber dari wahyu, sedangkan Barat dari spekulasi
filosofis rasionya yang dirumuskan dari pengalaman inderawi. Islam menganggap wahyu
sebagai sumber ilmu pengetahuan tentang realitas dan kebenaran yang paling valid dan
otoritatif dimana ia kemudian menjadi sumber utama bagi prinsip ontologisnya yang
dimaknai sebagai visi metafisis tentang wujud dan realitas tertinggi yang berpusat pada
Tuhan. Dari sini maka wujud Tuhan menempati posisi sentral dalam sistem atau struktur
ontologi islam, realitas fisik yang nampak dipandang sebagai realitas relatif yang
berhubungan dan bergantung pada realitas metafisis yang absolut. Maka dalam struktur
ontologisnya dikenal pengkategorian menjadi sensible world/’alam syahadah dan invisible
world/’alam mulk yang memberi indikasi bahwa pencarian ilmu tidak hanya sekedar
persoalan indera atau akal analitis yang bidang operasionalnya dalam peradaban Barat
modern dibatasi oleh realitas alam dan pengalaman inderawi saja. Ia dengan demikian harus
melibatkan realitas tertinggi, sebab hanya dalam konteks inilah maka hakikat dan pentingnya
realitas alam yang nyata ini dapat dipahami. Oleh karena itu, pengetahuan pragmatis
horizontal tentang realitas alam berada dibawah pengetahuan vertikal kontemplatif dan
apresiatif tentang makna kedua alam itu baik yang nampak atau tidak.27

Hal diatas juga berkaitan dengan prinsip kosmologis yang dalam islam dipahami sebagai
visi tentang struktur, proses, dan fungsi dari realitas fenomenal di alam yang nampak ini,
yang mana ia dilihat sebagai ciptaan yang sejalan dengan al quran yang tidak diciptakan
(karena ia difirmankan). Sebab dalam islam keduanya mempunyai sistem ayat yang integral

27
Adi Setia, Al Attas’ Philosophy of Science dalam Jurnal Islam & Science by Center for Islam and Science
Canada Vol. 1 (December 2003) No. 2, hal 178.
yang sama-sama memberi petunjuk kepada manusia tentang Penciptanya. Al quran adalah
kitab yang tertulis sedangkan alam semesta ini tak ubahnya kitab yang tak tertulis. al Attas
mengatakan “alam dunia ini terdiri dari ayat-ayat Tuhan, yang makna simboliknya
diilhamkan kepada manusia dan memberi kesempatan pada manusia untuk mengamati dan
melibatkan dirinya dalam mengetahui aspek realitas ini agar dapat memahami hakikatnya
yang tertinggi”. Karena susunan dan sistem kebendaan pada alam ciptaan adalah
analog/serupa dengan susunan dan sistem kata dalam wahyu, maka benda-benda pada dunia
empiris harus juga diperlakukan sebagai kata-kata, sebagai ayat dan simbol yang terdapat
dalam jaringan konsep-konsep yang seluruhnya menggambarkan suatu kesatuan organis yang
merefleksikan al quran itu sendiri.28 Karena struktur ontologis dan kosmologis islam yang
demikianlah, realitas dan kebenaran dimaknai berdasarkan kajian metafisika terhadap dunia
yang nampak dan yang tidak nampak, hingga pendekatan terhadap realitas fisik dan
metafisik, ayat ayat kauniyyah dan syar’iyyah bersifat integral, dengan kata lain epistemologi
Islam berkaitan erat dengan struktur metafisika dasarnya yang telah terformulasikan sejalan
dengan wahyu, hadits, akal, pengalaman dan intuisi.29
Inilah yang menjadi titik perbedaan antara Islam dan Barat, pandangan Barat terhadap
realitas dan kebenaran adalah terbentuk berdasarkan akumulasi pandangan terhadap
kehidupan kultural, tata nilai dan berbagai fenomena sosial, meski ia mencerminkan susunan
yang koheren namun sejatinya adalah bersifat artifisial yang selalu berubah seiring dengan
perubahan sosial, tata nilai, dan tradisi intelektual yang dialaminya. Dalam kasusnya,
pandangan ini terbentuk secara gradual/bertahap melalui spekulasi filosofis dan penemuan
ilmiah yang selalu berubah dan terbuka sesuai kondisi dan situasi zaman, hingga ia
mengalami proses transformasi dialektis dari thesis kepada anti thesis dan kemudian
sinthesis, dalam konsep dunianya dari teosentis/god centered kemudian antroposenris/man
centered sampai menjadi god-man centered, sampai pada titik anti worldview/anti meta-
naratif dizaman postmodern saat ini yang sebenarnya bersifat skeptis.30

Penutup

28
Ibid, hal 180.
29
S.M.N al Attas, A Commentary on the Hujjat al-shiddiq of Nur al-Din al-Raniri, (Kuala lumpur:Ministry of
Education and Culture,1986) hal 464-465 dalam Hamid Fahmy Zarkasyi, Islamic Worldview sebagai
Paradigma Sains Islam, salah satu makalah dalam buku Islamic Science, Paradigma, Fakta dan Agenda diedit
oleh Syamsuddin Arif, hal 2.
30
S.M.N al Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, hal 2.
Dalam pandangan Islam dualisme ataupun dikotomi tidaklah sah secara epistemologis
maupun metodologis, karena berusaha memisahkan sesuatu yang satu yang seharusnya saling
melengkapi satu sama lainnya. Jika dikatakan pengetahuan manusia relatif memang ada
benarnya yaitu ketika dihadapkan dengan wahyu, namun hal ini tidak sepatutnya menjadikan
kita relatifis saat berlaku dengan sesama mereka, tinggal masalahnya apakah yang kita
anggap ilmu itu benar dan sah secara epistemologi islam atau tidak. 31 Maka dari sini
pengetahuan milik manusia juga ada mutlaknya, lagi pula dalam penafsiran al qur’an umat
muslim telah mempunyai metodenya sendiri dimana pada ayat-ayat yang telah jelas
maknanya diterapkan tafsir yang bersumber dari pemahaman nabi melalui hadits-haditsnya.
Sehingga sebagaimana yang bersumber dari nabi adalah wahyu, pemahaman kita terhadap al
qur’an setelah mengacu otoritas tadi juga merupakan pemahaman yang bernilai wahyu.
Begitu juga untuk ayat-ayat yang masih samar-samar/ambigu maka diterapkan takwil yang
dalam prinsipnya tetap mengacu pada tafsir juga.
Pada tataran formal, kehidupan dan perkara duniawi bagi seorang muslim merupakan
lahan investasi baginya untuk kehidupan ukhrawi yang abadi, perihal duniawi pun dipandang
dari perspektif ukhrawi, demikianlah dunia tidak bisa didikotomikan dengan akhirat.
Sehingga sebagai seorang muslim, keimanan (yang intinya yaitu tauhid) haruslah
bertransformasi menjadi pandangan hidup yang berfungsi dalam memahami realitas dan
kebenaran, maka ia sangat berkait rapat dalam berbagai segi aktivitas kehidupannya tidak
hanya secara formal-individual tapi juga sosial dan teknologi.32 Dengan demikian iman
sebagai manifestasi dari keyakinan tidak dilepaskan dari ilmu 33, setiap bertambahnya ilmu
seharusnya keimanan juga bertambah, disinilah standing point yang benar-benar harus
diperhatikan sebagaimana ungkapan “man izdada ilman wa lam yazdad hudan lam yazdad
minalllahi illa bu’dan”.34

31
Khalif Muammar, Pandangan Islam terhadap Tradisi dan Kemodenan; Wan Mohd Nor Wan Daud,
Epistemologi Islam dan Tantangan Pemikiran Umat.
32
Sebagaimana Prof. Alparslan mendefinisikan worldwiew sebagai “the foundation of all human conduct,
including scientific and technological activities”, dalam Hamid Fahmy Zarkasyi. dkk Islam, Membangun
Pondasi peradaban islam (Semarang:Unissula,2008) hal 4.
33
Mengenai kaitan ilmu dan keyakinan lihat, Syamsuddin Arif, Ilmu, antara keyakinan dan keraguan, Mohd
Zaidi bin Ismail, Faham Ilmu dalam Islam: Pengamatan terhadap Tiga takrifan utama Ilmu dalam Jurnal of
Afkar University of Malaya Bil 10/2009. Wan Mohd Nor Wan Daud, Budaya ilmu, Anton Ismunanto, Tauhid
dan Ilmu.
34
Lihat Ihya’ Ulumuddin, hadits ke enam dalam kitab al’ilm bab ke enam “fi afaati al ‘ilmi wa bayan ‘alamat
ualama’ al akhirah wan al ‘ulama’ as su’ “. Diantara ulama yang mendhoifkan hadits ini yaitu Ibn subki, lihat
al mustakhraj min al kutub, takhrij ahadits ihya ‘ulum ad din oleh abi ‘abdillah mahmud bin muhammad al
haddad, keduanya diakses dari al maktabah asy syamilah.

Anda mungkin juga menyukai