Dibacakan Sosialisasi Kurikulum, Silabus, dan Buku pendamping Pembelajaran Muatan Lokal
Bahasa daerah 2015 di SLB Negeri Pembina Malang, Jl. Cipto VIII/32
karya-karya sastra roman Balai Pustaka dan Pujangga Baru yang memperlihatkan
bagaimana warna lokal atau kearifan lokal diolah menjadi karya sastra rekaan yang
melakukan gerakan inward looking (mencari ke dalam khazanah bangsanya sendiri)
yang secara sentripetal bergerak ke timur atau melakukan gerakan outward looking
yang secara sentrifugal memilih barat untuk sasaran gerakannya.
Penjajah tidak memberikan ruang yang bebas bagi sastrawan masa penjajahan
untuk mencipta. Beberapa batasan dengan sengaja diciptakan oleh penjajah, karena
penjajah sadar bahwa melalui membaca pribumi akan menjadi terdidik dan terbuka
pikirannya untuk melawan penjajah. Kondisi setengah terbelenggu itulah yang
mendorong para sastrawan untuk mencari alternatif, di antaranya menggali harta
karun masa lampau, yakni peninggalan sejarah. Dengan kemungkinan itu, Sanusi
Pane menghasilkan Sandyakala ning Majapahit yang memanfaatkan peristiwa sejarah
untuk menyampaikan pikirannya tentang nasionalisme, bahwa kepentingan pribadi
dapat menggagalkan tercapai tujuan yang mulia, yaitu tercapainya keutuhan
sebuah kerajaan besar. Lebih dari itu, saling curiga, saling memanfaatkan
kesempatan untuk kepetingan pribadi lebih banyak menghasilkan kehancuran
daripada kemenangan. Jika kita percaya pada pernyataan ahli sejarah Perancis
bahwa sejarah akan berulang, maka karya Sanusi Pane ini telah hadir untuk
memberikan pelajaran bahwa betapa pun kuatnya sebuah kekuasaan, pada suatu saat
kekuatan itu akan kendor oleh perselisihan di antara pemegang kekuasaan yang saling
mengedepankan kepentingan pribadi.
Rustam Efendi melirik kemungkinan lain dengan menggali epos Ramayana.
Dalam dramanya berjudul Bebasari, dikisahkan tentang Prabu Rama yang
membebaskan istrinya, Dewi Sinta, dari raja angkara murka Dasamuka. Lalu
terjadilah skenario cerita itu: Dewi Shinta ditawan oleh raja dari Ngalengkadirja itu.
Prabu Rama, sang suami, haruslah berusaha membebaskan belahan hatinya.
Penderitaan Ibu Pertiwi Dewi Sinta yang tertawan oleh penjajah Rahwana harus
diakhiri. Dewi Sinta, Sang Ibu Pertiwi, harus bebas(ari)-merdeka, meskipun untuk itu
harus ada pengorbanan jiwa.
Dari contoh di atas, dapat kita petik pelajaran, bahwa sejarah dan epos
mengandung mengandung kearifan lokal yang berisi mesiu yang mampu menyulut
daya juang bagi perjuangan membebaskan negeri dengan menggunakan sastra.
2. Problematika Lokal sebagai Sumber Kearifan lokal
Mengirimkan anak untuk mengenyam pendidikan ala Belanda merupakan
salah satu fenomena yang terjadi di zaman penjajahan. Konsekuensi pilihan itu bisa
menimbulkan peristiwa berikutnya, seorang pemuda dari kalangan keluarga
konservatif tertarik kepada gadis yang memiliki cara berpikir maju, cerdas, dan
mampu menyatakan pikirannya secara terbuka. Jika rasa tertarik pemuda itu tidak
bertepuk sebelah tangan, maka terjadilah hubungan cinta antara pemuda desa
berpendidikan Belanda dengan gadis keturunan Belanda. Ketika hubungan cinta itu
telah terjalin, muncullah ke permukaan persoalan-persoalan yang terkait dengan
perbedaan budaya, cara pandang, cara berpikir, dan adat-istiadat. Menurut skenario
Abdoel Moeis dalam Salah Asuhan, barat dan timur tidak boleh bertemu secara
harmonis. Barat harus dianggap sebagai pengganggu bagi kehidupan harmonis timur,
sehingga Hanafi pun harus berpisah dengan Corrie du Busje. Akhirnya, sebagai
hukuman Hanafi tidak dapat kembali ke haribaan ibunya, atau pulang kembali ke
pelukan istrinya Rapiah karena ia telah merusak kebudayaan nenek moyangnya.
Sebagai kesimpulan, kita dapat menangkap kearifan lokal dari novel Salah Aasuhan
bahwa Abdoel Moeis memandang barat mengandung unsur yang belum bisa berpadu
dengan timur, khususnya dengan adat-istiadat Minang.
3. ZAMAN PASCAKEMERDEKAAN
Di zaman perjuangan untuk mencapai kemerdekaan, segala daya-upaya
dikerahkan untuk menggapai negeri impian. Ketika negara yang dicita-citakan telah
berada dalam rengkuhan, maka berubahlah arah dan tujuan perjuangan. Cita-cita yang
kita paterikan dalam dada adalah negara merdeka yang gemah ripah loh jinawi, tata
tentrem kerta raharja, subur kang sarwa tinandur murah kang sarwa tinuku (damai
sentosa, subur dan makmur karena apa-apa yang ditanam mudah tumbuh dan subur,
sehingga penduduknya mengalami kehidupan yang tenteram karena apa-apa yang
dibelinya murah).
Akan tetapi, dalam negara merdeka kenyataannya tidak demikian. Kehidupan
yang damai seperti dilontarkan oleh para dalang belumlah mudah digapai meskipun
pagelaran sudah menjelang usai. Karena itu, lakon yang ceritanya tentang yang kuat
menindas yang lemah, yang berkuasa memangsa makhluk yang dikuasai, mayoritas
menindas minoritas, akan terus ada sampai dunia yang sementara ini kelak binasa.
Inilah subject matter kearifan lokal yang menjadi lahan subur cipta kreatif sastra.
Bagaimana sastrawan memahami kearifan lokal di daerahnya masing-masing
dan bagaimana kearifan lokal itu diterjemahkan ke dalam karya sastra yang mereka
tulis? Penerjemahan kearifan lokal oleh masing-masing sastrawan tentu berbeda satu
sama lain. Sastrawan Jawa, Bali, dan Madura tentunya memiliki kreativitas sendiri
yang menunjukkan ciri khasnya masing-masing, sebagaimana dipaparkan berikut.
3.1.1 Warna Lokal dan Kearifan Lokal Sastrawan Jawa
Almarhum Umar Kayam memandang dunia pewayangan tidak hanya ada di
dalam pagelaran, melainkan juga dijumpai di alam nyata. Begitu filosofi itu
dipahaminya dalam cerita pendeknya Parta Krama. Kayam mengangkat episode
menikahnya penengah Pandawa, Raden Harjuna, yang ketika mudanya masih
bernama Parta, sebagai latar parodi wayangnya. Harjuna muda yang tertarik pada
Rara Ireng, atau Sumbadra, adik Prabu Kresna dimintai syarat untuk menjemput
penganten wanita dengan kereta kencana dewa-dewa, yang ditarik oleh kerbau danu
piaraan para dewa, dan harus diiringi suara gamelan Lokananta, gamelan dari surga.
Mendengar syarat tersebut, Raden Harjuna segera melesat kekayangan untuk
menghadap dewa di Jonggringslaka. Dog ... dog ... dog ... heeeee kocap kacarita ....
Kecanggihan diplomasi wanita, rayuan calon istri yang meminta tebusan yang
tidak masuk akal, dan penggunaan kekuatan supranatural untuk memperoleh apa
yang diinginkan inilah yang mengilhami Umar Kayam untuk menulis cerita pendek
Parta Krama yang merupakan parodi dari cerita wayang Raden Harjuna Melamar
Sumbadra. Pengarang Para Priyayi itu menyampaikan kritik terhadap kondisi
politik-sosial saat ini, yaitu bahwa seorang istri besar pengaruhnya terhadap
keputusan yang dibuat oleh suaminya. Karena itu, istri juga merupakan sasaran
empuk untuk disogok agar istri mendorong suaminya menghasilkan keputusan yang
sesuai dengan keinginan penyogoknya.
Alkisah, seorang istri pejabat senior Bank, Lies Herjuna, meminta BMW seri 7
dan setelan kalung komplit bikinan Bulgari kepada A Jouw A Jouw lewat suaminya,
Drs. Herdjuna, yang pada saat itu sedang mempertimbangkan permohonan kredit A
Jouw A Jouw. Dengan kedudukannya yang tinggi, Drs Herdjuna menyetujui kredit A
Jouw A Jouw, dengan catatan, permintaan istrinya supaya dipenuhi. Beberapa bulan
kemudian, setelah kredit A Jouw A Jouw cair, termuat di surat kabar, bahwa Drs
Herdjuna dan A Jow A Jow dibebaskan dari tuduhan kolusi yang terjadi di Bank
Jonggring Salaka.
Dengan contoh di atas dapat disimpulkan bahwa dunia wayang merupakan
sumber yang kaya bagi kearifan lokal. Sumber mata air kearifan lokal itu tidak akan
pernah kering jika para pemiliknya terampil memanfaatkan airnya.
3.1.2 Warna Lokal dan Kearifan Lokal Sastrawan Bali
Dunia kehidupan Bali, bagi Oka Rusmini, adalah mata air yang tidak pernah
kering bagi karya-karyanya. Penderitaan yang dialami oleh wanita Bali, perbedaan
perlakuan akibat perbedaan kasta, persoalan yang dialami oleh perempuan atau lakilaki yang kawin dengan pasangan yang berbeda kasta, merupakan pokok masalah
yang acapkali diangkat oleh Rusmini ke dalam novel dan cerpen-cerpennya. Dalam
Tarian Bumi, misalnya, Rusmini berkisah bahwa bagi perempuan Bali saat ini, yang
diidam-idamkan adalah hidup dengan laki-laki yang berpikiran cerdas, hidup dari
keringatnya sendiri, dan menghargai wanita dari kemajuan berpikirnya. Perempuan
Bali tidak lagi mendambakan kawin dengan kasta bangsawan yang dapat membuat
hidupnya terkungkung di penjara karena hidup dalam griya rumah tempat tinggal
para bangsawan. Rusmini menuturkan kearifan lokal di bumi tumpah darahnya dalam
cerita seperti berikut ini.
Novel Tarian Bumi (Rusmini, 2004), menceritakan salah satu tokoh, Luh
Sekar dari kalangan sudra, semasa kecil hidupnya penuh dengan kesengsaraan.
Miskin dan selalu menjadi ejekan warga desa karena ayahnya meninggalkan
keluarganya dan terlibat dalam gerakan PKI. Ketika menanjak dewasa, Luh Sekar
ingin menjadi penari joget dengan harapan tidak dihina lagi oleh warga desa. Hal ini
diperkuat oleh anggapan bahwa menjadi seorang penari tidaklah gampang karena
menyangkut anugrah dari dewa tari. Setelah berhasil menjadi penari, Luh Sekar
berkeinginan menikah dengan laki-laki golongan bangsawan dengan gelar Ida Bagus.
Luh Sekar tidak mau menikah dengan golongan sudra karena ia ingin hidup
berkecukupan dan bisa mengangkat derajatnya dari kehinaan. Untuk hal ini, Luh
Sekar melakukan ibadah yang cukup ketat. Keinginannya terkabul, ia diperistri oleh
seorang bangsawan bernama Ida Bagus Pidada. Dengan ini pula namanya berubaha
menjadi Jero Kenanga dan ia harus meninggalkan keluarganya yang sudra. Jero
Kenanga tidak diterima sepenuhnya dalam keluarga suaminya, sementara ia juga
tidak diterima oleh keluarganya sendiri karena mengingat ia sudah menjadi keluarga
griya (bangsawan). Akan sial jadinya jika Jero Kenanga masih dekat dengan keluarga
lamanya. Kesialan itu terbukti ketika suami Kenanga, Ida Bagus Pidada meninggal
dalam keadaan yang mengenaskan dengan luka tusukan di sana-sini dan dalam
pelukan seorang pelacur.
3.1.3 Warna Lokal dan Kearifan Lokal Sastrawan Madura
Keagungan dan kejayaan kerajaan di Madura sirna dilibas penjajahan yang
berjalan berabad lamanya. Kekuasaan sekarang berpindah ke pemimpin formal,
kata-kata guru dilanggar, malapetaka akan menimpa kita (Reng nerrak larangna
guru, maste daraka epanggi, Bahagian II halaman 4).
2. Ketika menyaksikan kepelbagaian makhluk dengan tingkah-laku yang sama
dengan manusia, Angling Darma senantiasa mengingat Tuhannya yang Mahasuci
(... nalekana ngoladin, solana mano' s bannya', semmona ta'bida oreng, emot
da' Maha Socce, Bahagian I halaman 14).
3. Persahabatan antara Raja Angling Darma dengan Naga Pertala lebih daripada
hubungan antara saudara. Mereka juga saling menjaga persahabatan agar kekal
dan abadi. Hubungan itu juga tergambar dalam pepatah Madura, iaitu kenca
palotan, kanca taretan yang bermakna sahabat yang baik itu melebihi saudara
sendiri
(Naga
Pertala
se
esambadin,
ganeko
pan
kenal
lebat
becce, ban bula ajanji, lebbi tretan onggu, Bahagian I halaman 21).
4. Raja yang melanggar janjinya akan mendapat hukuman yang berat dari dewa,
raja yang tidak kuat memegang janji tidak layak menjadi raja. Suara raja adalah
suara Tuhan. (Krana ella terro da' sang Ratih, daddina ta' guggun, monggu rato
cedra oca' dibi', kenneng okom laban diba lebbi, seda la epaste dapa' claka
'epon, Bahagian II halaman 17).
5. Sangatlah sukar untuk raja mengakui kesalahannya. Oleh sebab itu, ketika
Angling Darrna berbuat salah, sesuailah dengan makna yang tersembunyi di
sebalik namanya, dan ia harus menjalani darma. Termasuk di dalamnya ialah ia
harus mengakui kesalahan dan selanjutnya meminta ampun kepada Tuhannya (...
pan sengko' dibi' ta' enda' da' totor bagus, sang raja Angling Darma lebat
ngennes dalem ate, pan atobat sang rato da' ka dibana, Bahagian II halaman 28).
6. Kesedaran bahwa raja boleh juga membuat salah, dan orang salah harus bersedia
dihukum telah digambarkan dengan indah ketika burung belibis yang pandai
berbicara menolak secara halus ketika ia hendak dilantik menjadi raja. (Nangeng
sengko' poma-poma ja' padaddi rato gun dinna ', karan sengko' reya laggi' epaste
nyandang sangsara, Bahagian 111 halaman 3),
7. Petunjuk bagi gadis dalam memilih suami ada empat: a) seperti permata, yakni
laki-laki jernih warna, indah dan utama budinya, karena pemulia itumahal
harganya, b) seperti burung unggulan, bagus bulu dan bunyinya,dan mahal pula
harganya, maka akan disukai orang, c) seperti keris, iaitu dibuat daripada bahan
yang tinggi mutunya, bagus bentuknya dan indah wujud-rupanya, dan d) seperti
wanita utama, terlihat indah dipandang dan halus tingkah laku dan budinya.
8. Untuk melaksanakan Darma (kewajiban utama sebagai manusia mulia), kata
Angling Darma kepada Balik Madrim yang memohon untuk diperkenankan
mengiringi perjalanan rajanya karena ada banyak cobaan dalam perjalanan nanti.
Selain itu, mereka yang berniat melaksanakan darma itu harus kuat memerangi
godaan syaitan dan nafsu (...gun jalan pan raja coba, lamon kodu maksa
ngereng, kodu kellar merrangenna gudana syetan ban bellis, Bahagian IV
halaman 26),
9. Tugas makhluk di dunia ternyata berbeda-beda. Orang tua bertanggung-jawab
membentuk perilaku anaknya, agar jangan sampai anak cacat raganya ataupun
rusak penampilannya. Saudagar pula bertanggung-jawab memberi perhiasan yang
patut. Adalah tidak wajar jika saudagar terlalu banyak mengambil dan
menyimpan keuntungan yang diperolehnya. Kedudukan yang paling agung
adalah Sang Khalik, pemberi nyawa dan kehidupan, iaitu tuhan seluruh alam
yang harus disembah dan dimuliakan.
10.Perilaku wanita terhadap laki-laki: a) Saudara wanita yang lebih tua harus duduk
di sebelah kanan saudara laki-lakinya yang lebih muda, sedangkan wanita yang
lebih
muda
di
sebelah
kiri,
b)
wanita
yang
berkedudukan
sebagai
isteri harus duduk di ujung kaki, karena isteri tidak boleh berada di tempat lebih
tinggi dari laki-laki. Ia juga harus berada di ujung kaki untuk menunjukkan ia siap
bersimpuh menyembah suaminya.
Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa Angling Darma Ambya
Madura bukan hanya sekadar cerita perjalanan, atau cerita percintaan seperti disebut
Drewes, tetapi juga sebuah teks penuh dengan nasihat dan ajaran tentang kemuliaan
budi pekerti. Isi dan amanat yang dikandunginya akan menjadi lebih bermakna di
tangan tukang pengkritik dan pentafsir yang berwibawa. Penamaan manuskrip ini
sebagai ambya pastinya tidak menyimpang jikalau dilihat di sisi bentuknya sebagai
karya seni untuk membentuk rasa, atau dilihat daripada segi fungsinya sebagai
penyampai ajaran moral dan akhlak keagamaan.
Berorientasi ke Timur
Dari analisis terhadap karya sastra seperti dipaparkan sebelum ini tampak
bahwa ada tiga cara memanfaatkan kearifan lokal. Pertama, local genious secara
sentripetal digunakan sebagai landasan untuk mencari model: seperti apakah bentuk
dan isi kebudayaan Indonesia pada masa yang akan datang. Pada tahap ini,
bayangan Indonesia baru belum menemukan bentuknya. Kedua, kearifan lokal
digunakan sebagai batu loncatan untuk menghasilkan subject-matter, tokoh, latar,
peristiwa yang lebih mendarat di bumi Indonesia dan juga berorientasi ke dunia
berwawasan global. Akan tetapi para pelaku budaya masih ragu-ragu untuk memilih
barat sepenuhnya. Namun mereka sadar, bahwa timur tidaklah dapat mewadahi
pikiran mereka sepenuhnya. Ketiga, ketika berada di buminya sendiri yang merdeka,
para pelaku budaya mulai menyadari bahwa di lingkungannya sendiri cukup banyak
masalah yang dapat diangkat menjadi ide tulisan kreatif dengan kendaraan muatan
lokal/warna lokal /local genious. Meskipun demikian, terbersit dalam benak mereka
sebuah pertanyaan, Apakah menggosok ratna mutu manikam kearifan lokal itu suatu
tindakan yang arif? Ataukah perbuatan itu bagaikan mengangkat batang tenggelam?
Marilah kita menyisihkan pikiran yang jernih untuk memberikan pilihan yang mampu
mewujudkan budaya Madura dengan penampilan yang menyenangkan siapa saja
yang mendekatinya sebagaimana terselip dalam lagu Madura modern Kembhang
Malat di bawah ini.
Kembhng Malat
Kembhng Malat pot
Robna bhghus ngapncot
Ghi bhuru potk dari taman sar
Buna room tor asr
Bannya kembhng s sa
Ta seddh akadhi malat
Mnangka kaator d ajunan gust
S sedd akadhi malat
4.2 Berorientasi ke Barat
Untuk kalangan budayawan, seniman, ilmuwan, yang oleh sebab latarbelakang pendidikannya, berorientasi ke barat, mereka selalu beranggapan bahwa
timur itu penuh dengan pikiran yang diwarnai oleh mitos, penuh dengan keanehan,
dan selalu mengkhayalkan dunia impian (dream land) atau dunia masa lalu yang
damai sentosa. Oleh karena itu, kelompok ini berpendapat bahwa pandangan kaum
sentripetal tidak didasarkan pada dunia nyata. Golongan ini secara sentrifugal
bergerak keluar; mereka mencari dunia impian yang lebih menjanjikan, yaitu dunia
barat. Pandangan yang demikian terdapat dalam The Oxford Companion to American
Literature berikut:
"In local-color literature one finds the dual influence of romanticism and realism, since the
author frequently looks away from ordinary life to distant lands, strange customs, or exotic
scenes, but retains through minute detail a sense of fidelity and accuracy of description. Its
weaknesses may include nostalgia or sentimentality" (p. 439).
Kubu kedua ini beranggapan bahwa dalam warna lokal tidak ada kearifan di
dalamnya. Yang dilihat adalah artefak dan mentafak yang penuh kelemahan, karena di
dalam pandangan kubu ini, dalam dunia sentripetal yang ada hanya nostalgia dan
perasaan yang penuh sentimental. Dengan kondisi yang demikian, kubu sentrifugal
telah memberikan penghakiman bahwa kubu sentripetal tidak mampu memberikan
pikiran dan paparan yang tegas dan rinci, dan uraian yang cermat serta seksama.
Sikap yang demikian dapat kita lihat dari pandangan Kartini (1985:1), pelopor
gerakan pencerdasan kaum wanita, di bawah ini:
... Hati saya menyala-nyala karena semangat yang menggelora akan
zaman baru. Ya, bolehlah saya katakan, bahwa dalam hal pikiran dan
perasaan saya, saya tidak turut menghayati Zaman Hindia ini, tetapi saya
sama sekali hidup sezaman dengan saudara-saudara saya perempuan
berkulit putih di barat yang jauh.
Kartini dengan tegas menolak sikap dan pandangan hidup saudara-sudaranya yang
sama-sama berkulit sawo matang yang menurutnya masih berpendirian terbelakang,
terikat oleh masa lampaunya, dininabobokkan oleh keindahan masa lalunya, dikekang
oleh mitos dan warna lokal yang menyilaukan pemiliknya.
Dalam pandangan Kartini di atas, warna kulit tentunya bukan menjadi sasaran
utama Kartini. Fokus sasarannya adalah sikap dan pikiran yang telah dicapai oleh
kaum kulit putih, yaitu cara berpikir maju, berpandangan jauh ke depan. Dengan
demikian, memilih barat merupakan solusi bagi ketertinggalan, cara berpikir lokal,
dan tindakan yang tidak rasional, melainkan emosional.
Cara pandang yang relatif sama dengan Kartini dianut juga oleh Sutan
Takdir Alisjahbana (STA). Melalui tokoh Tuti dalam roman Layar Terkembang
DAFTAR PUSTAKA
Faruk, 1995. Perlawanan Tak Kunjung Usai: Sastra, Politik, Dekonstruksi.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ghazali, Abdus Syukur. 2001. Naskah Angling Darma Ambya Madura. Dalam
Majalah Sari Edisi No. 19, hal 85-107. Universiti Kebangsaan Malaysia.
Kuala Lumpur
Gordon, S.P 2004. Professional Development for School Improvement: Empowering
Learning Communities. Boston: Pearson Education Inc.
Joyce, B.; Weil, M.; Showers, B. Models of Teaching. Boston: Allyn and Bacon.
Kartini. 1985. Surat-surat Kartini. Diterjemahkan oleh Sulastin Soetrisno. Jakarta:
Penerbit Jambatan.
Kayam, Umar. Parta Krama. Harian Kompas, 23 Februari 1997.
Kuntowijoyo, 2002. Perubahan Sosial dalam masyarakat Agraris Madura 1850
1940. Jogjakarta: Mata Bangsa.
Lickona, T. 1991. Educating for Character: How Our Schools can Teach Respect and
Responsibility. New York: Bantam Books.
Murgatroyd, Stephen dan Morgan, Colin. 1993. Total Quality Management and The
School. Buckingham: Open University Press.
Republika Online, Perguruan Tinggi Harus Siap Hadapi MEA,
http://www.republika.co.id/berita/pendidikan/dunia-kampus/15/01/17/nibq9zperguruan-tinggi-harus-siap-hadapi-mea
Rusmini, Oka. 2007. Tarian Bumi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Silins, H.C. 1994. Leadership Characteristics and School Improvement. Australian
Journal of Education. 39 (93), 266-281.
Sitanggang, Suang. 2010. Hidupkan Tradisi yang Hilang 40 Tahun. Harian Pagi
Tribun Jambi, Spirit Baru Negeri Jambe. Senin, 14 Juni 2010.
Sudibyo, Bambang. 2006. Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional
Tahun 2005-2009. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
The University of Iowa Libraries. 2011. Iowa Digital Library adds interactive
collection of Madurese folk tales. Iowa: The University of Iowa. October 11,
2011
Touwen-Bouwsma, Elly (1984). "Madurese." In Muslim Peoples: A World
Ethnographic Survey, edited by Richard V. Weekes, 458-462. Westport,
Connecticut.: Greenwood Press.
Malang, 11 April 2015
B. Syukur Ghazali
Jl. Terusan Ambarawa 59 Malang
(0341) 570-317; 081330240212
abdussyukurghazali@ymail.com