Anda di halaman 1dari 11

Teh dan

Pengkhianat

Teh dan Pengkhianat adalah buku


kumpulan cerita pendek karya Iksaka
Banu yang diterbitkan oleh Kepustakaan
Populer Gramedia pada bulan April 2019.
Buku setebal 164 halaman dengan nomor
ISBN 978-602-4811-38-9 ini
mengantarkan penulisnya meraih
penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa
2019 pada Kategori Prosa. Tahun itu, dua
sastrawan lainnya juga menerima
penghargaan yang serupa, yaitu Irma
Agryanti melalui karyanya, Anjing Gunung
dan Rio Johan dengan karyanya, Ibu
Susu.[1]

Teh dan Pengkhianat


Berkas:Teh-dan-Pengkhianat.jpg

Pengarang Iksaka Banu

Bahasa Indonesia

Genre Fiksi sejarah

Penerbit Kepustakaan Populer


Gramedia

Tanggal terbit Cetakan: I, April 2019

Halaman 164

ISBN ISBN 978-602-4811-


38-9
Latar belakang
Tiga belas cerpen terangkum dalam Teh
dan Pengkhianat. Sekalipun ramuan yang
digunakan masih relatif sama, yaitu lebih
menitikberatkan kepada tokoh seorang
Belanda, baik yang murni maupun
tergolong Mestizo—berdarah campuran
setengah Eropa—sembari menyebarkan
pesan-pesan jikalau sejarah itu tak selalu
hitam putih, melainkan berwarna-warni.
Kisah-kisah yang dituturkan terasa Lebih
menarik karena tak cuma berbicara
terkait perang. Lembaran awal hingga
akhir dapat menyentuh perkara
kemanusiaan, perkara fanatisme buta,
harapan, pengorbanan, hingga
perjuangan, yang dalam hal ini
perjuangan melawan ketidakadilan.
Ranah kemanusiaan dalam karya ini
dapat dilihat dari Kalabaka. Tulisan
tersebut mengangkat fakta sejarah
terkait pembantaian orang-orang Banda
Neira di Maluku (Banda) yang dilakukan
oleh tentara. Serangan itu bahkan
diceritakan melibatkan seratus orang
samurai bayaran atau ronin. Dikisahkan,
seorang schutterij—milisi nontentara dari
kalangan terhormat yang mahir
menggunakan senjata—yang notabene
orang Belanda ternyata masih memliki
hati nurani dan menolak keras kekerasan
yang dilakukan di daerah tersebut,
sekalipun ia dihukum.
Kedua, perkara fanatisme buta. Hal ini
tersaji secara renyah dalam tulisan Tegak
Dunia. Kisah ini menitikberatkan cerita
pada hadirnya globe—tiruan bumi—dalam
membungkam opini para pemuka agama
saat itu yang meyakini bahwa bumi itu
datar, karena saking fanitiknya dengan
agama. Karena merasa lelah dengan
realita tersebut, seorang petinggi
schutterij bernama Kapten Zwarte Van de
Vlek menulis di halaman 21: bahwa bumi
bulat adalah bid'ah terbesar yang
dilakukan orang Kristen kepada kaumnya
sendiri. Terkait bumi datar sendiri, walau
sudah memasuki abad ke-21, keyakinan
itu nyatanya masih diyakini banyak orang
hingga hari ini. Diskusi itu dibuka dalam
halaman 28. "Ia boleh setia pada
keyakinannya, tetapi ia tak bisa
mengancam pihak yang sudah memiliki
bukti lebih kuat dan diuji banyak orang."

Ketiga, perkara Harapan. Suatu hal yang


wujudkan dalam bentuk cerpen Belenggu
Emas yang bercerita tentang kekaguman
wanita kulit putih kepada sesosok wanita
pribumi yang digadang-gadang sebagai
pembaharu. Wanita tersebut tak lain ialah
Rohana Kudus, salah seorang pelopor
emansipasi—selain Kartini—yang menjadi
tokoh gerakan perempuan di Sumatra
Barat, dan menerbitkan surat kabar yang
membawa serta harapan untuk kemajuan
kaum perempuan, Soenting Melajoe
(SM). Kekaguman wanita kulit putih
terlihat jelas di halaman 115 kala ia
berucap: Aku harus bertemu dengan
wanita Minang yang luar biasa ini. Wanita
yang telah menjadi ilham bagi banyak
orang di Hindia.

Keempat, perkara pengorbanan, yang


dijumpai dari cerpen Variola. Kisah yang
mengangkat cara Hindia memerangi
wabah cacar yang penyebarannya sangat
cepat di Nusantara. Kala itu, orang-orang
di Ambon, Ternate, dan Bali bahkan
meninggal dunia. Karenanya, pengiriman
vaksin dari Belanda muncul sebagai
solusi dan dibarengi solusi lain berupa
produksi vaksin di Nusantara. Namun,
kedua solusi tersebut cenderung lama.
Tak cocok dengan situasi genting yang
terjadi. Mau tak mau, upaya pencegahan
haruslah disegerakan. Solusi lainnya
adalah mencari anak yatim piatu di
Batavia. Setelahnya, mereka dibawa ke
Bali. Dalam perjalanan, tubuh mereka
dimasukkan vaksin untuk kemudian
dipanen bagi banyak orang agar mereka
segera bangkit menaklukkan penyakit.
Meski mendapat penolakan, akhirnya
solusi ini bisa menjadi bukti bahwa
orang-orang kulit putih tak melulu
menjajah. Ada rasa kemanusiaan tinggi di
dalam diri mereka.
Terakhir, tentang perjuangan. Hal ini
dijelaskan dengan apik dalam cerpen
yang sama dengan judul buku, yakni Teh
dan Pengkhianat. Dalam kisah tersebut
kita akan melihat kontradiksi bahwa yang
berjuang melawan kemunafikan adalah
buruh-buruh dari Tiongkok. Mereka
melakukan pemberontakan didasarkan
karena dua pokok, yaitu gaji yang jauh
dari kesepakatan dan tentu saja karena
kekejaman pemimpin yang kerap
menghukum berlebihan. Uniknya, justru
pemerintah Hindia Belanda, pada saat itu
jusetru memanfaatkan orang Indonesia
yang cukup terkenal untuk memukul
mundur laju pemberontakan. Tokoh yang
digunakan jasanya ialah Alibasah Sentot
Prawirodirjo, mantan jenderal perang dari
Diponegoro. Di sinilah letak berwarnanya
sejarah. Siapa yang benar dan siapa yang
salah, sekali lagi hanya urusan sudut
pandang dan kepentingan.

Lihat pula
Kusala Sastra Khatulistiwa

Referensi
1. Resensi Buku Teh dan Pengkhianat - Bukti
Sejarah Tak Selamanya Membosankan (ht
tp://voi.id/lifestyle/1548/resensi-buku-i-te
h-dan-pengkhianat-i-bukti-sejarah-tak-sela
manya-membosankan) Detha Arya
Tifada, VOI-Lifestyle. Diakses 21 Juli
2020
Diperoleh dari
"https://id.wikipedia.org/w/index.php?
title=Teh_dan_Pengkhianat&oldid=22725471"

Halaman ini terakhir diubah pada 22 Januari


2023, pukul 21.35. •
Konten tersedia di bawah CC BY-SA 4.0 kecuali
dinyatakan lain.

Anda mungkin juga menyukai