Ujung pena kaum akademis harus tajam, tetapi teks-teks hasil torehannya
seyogianya tidak mengandung “hawa panas”. Itu sebabnya dalam tradisi akademis,
kata-kata bernuansa subyektif dalam teks ilmiah harus disingkirkan si penulis.
Pertama, menciptakan mitos tokoh hero yang gigih melawan Belanda sebagai
bagian wacana historis pemersatu bangsa.
Kedua, mengeliminasi wacana radikalisme Islam dalam upaya menciptakan negara-
bangsa yang toleran terhadap keragaman agama dan budaya.
Ketiga, “merangkul” kembali etnis Minang ke haribaan Indonesia yang telah
mendapat stigma negatif dalam pandangan pusat akibat peristiwa PRRI.
Kita tak yakin, sudah adakah biji zarah keindonesiaan di zaman perjuangan TIB dan
tokoh lokal lain yang hidup sezaman dengannya, yang kini dikenal sebagai pahlawan
nasional.
Kita juga tahu pada zaman itu perbudakan adalah bagian sistem sosial dan
beberapa kerajaan tradisional Nusantara melakukan ekspansi teritorial dengan
menyerang beberapa kerajaan tetangga. Para pemimpin lokal berperang melawan
Belanda karena didorong semangat kedaerahan, bahkan mungkin dilatarbelakangi
keinginan untuk mempertahankan hegemoni sebagai penguasa yang mendapat saingan
akibat kedatangan bangsa Barat. Namun, mereka akhirnya menjadi pahlawan
nasional karena bangsa memerlukan mitos pemersatu.
Bukan manusia sempurna
Namun, sejak awal 1833 perang berubah menjadi perang antara kaum Adat
dan kaum Agama melawan Belanda. Memorie Tuanku Imam Bonjol (MTIB)—
transliterasinya oleh Sjafnir Aboe Nain (Padang: PPIM, 2004), sebuah sumber
pribumi yang penting tentang Perang Paderi yang cenderung diabaikan sejarawan
selama ini—mencatat, bagaimana kedua pihak bahu-membahu melawan Belanda.
Dalam MTIB, terefleksi rasa penyesalan TIB atas tindakan kaum Paderi atas
sesama orang Minang dan Mandailing. TIB sadar, perjuangannya sudah melenceng
dari ajaran agama. “Adapun hukum Kitabullah banyaklah yang terlampau dek oleh
kita. Bagaimana pikiran kita?” (Adapun banyak hukum Kitabullah yang sudah
terlangkahi oleh kita. Bagaimana pikiran kalian?), tulis TIB dalam MTIB (hal 39).
Beberapa hari kemudian, kancil sedang asik memakan daun ketika seorang pemburu
melihatnya.
Namun, tepat pada saat itu tikus melihat hal tersebut dan langsung mengigit kaki
Pemburu.
Akibatnya, tembakannya pun meleset dan kacil bisa kabur setelah menyadari bahaya
yang mengintai.
“Sama-sama, ayo kita harus secepatnya pergi dari sini,” sahut tikus.