Anda di halaman 1dari 5

291014.

07:38

Dari Blandongan, melihat Lanskap Utara Jawa


Oleh: Rio Heykhal @belvage

Dalam kamus bahasa Jawa karangan Poerwadarminta W.J.S dibantu Hardjasoedarma


C.S bersama Poedjasoedira J.CHR berjudul Baoesastra Djawa terbitan Batavia-Centrum
tahun 1939 memberi arti pada kata “Blandong” sebagai julukan bagi para penebang kayu.
Segera dapat diduga inilah asal muasal kata “Blandongan”, yang bagi masyarakat Banten
Kidul diterjemahkan sebagai pekuburan, pada masyarakat pesisir Gresik diartikan sebagai
sebutan untuk warung di pinggir pantai, dan bagi kaum muda di Yogyakarta, barangkali
akan lebih familiar dengan warung kopi yang berada di daerah Bantul, Sorowajan.
Merasa tak mau kalah, Peter Boomgard (1987) dalam kajiannya soal hutan di Jawa
Forest and Forestry in Colonial Java 1677-1942, melengkapinya dengan menyatakan
bahwa memang sudah menjadi hal umum di kalangan rimbawan dan sejarawan abad
ke-19 menyebut penebang pohon di Jawa pada masa Verenigde Oost Indische Compagnie
(VOC) sebagai “Blandong”. Mungkin dari sanalah asal kata “Blandong” didapat oleh tiga
filolog yang berjasa besar mendokumentasikan kata-kata Jawa ke dalam sebuah kamus
babon. Tentunya setelah Charles van Ophuijsen yang dibantu Engku Nawawi dan Moh.
Taib Sultan Ibrahim lebih dulu selesai merapikan bahasa melayu liar di tahun 1901.
Dalam tulisan ini, saya ingin sejenak menengok ke masa lampau dan mencoba
melacak jejak kata “Blandong” di atas, yang menurut dugaan saya ada sangkut-pautnya
dengan tindak eksploitasi tenaga kerja yang dilakukan kapitalisme zaman silam, terutama
pada kelompok masyarakat di pegunungan utara Jawa, yang setelah ketersediaan kayunya
dibabat habis, minyak buminya diminum terus-menerus, sekarang gunungnya juga akan
dimakan sekalian untuk pabrik semen - di mana melalui foklor di pedesaan Jawa yang
pernah saya dengar semasa kecil, adalah slentingan percakapan horor bahwa hutan adalah
tempat wingit yang banyak dihuni makhluk ghaib, tempat berlangsungnya pasar setan dan
hal-hal misterius lain yang tak terpahami rasionalitas modern zaman ini.
Blandongdiensten, sebagaimana tercantum pada judul di atas, adalah sistem kerja
paksa yang diterapkan oleh negara kolonial di wilayah eksploitasi hutan di Jawa, yang
ketika itu dilangsungkan di beberapa distrik seperti Tuban, Bojonegoro dan Blora. Setiap
rezim di masa ketika sistem kerajaan mendapat legitimasi di pulau ini, VOC, Daendels,
Raffles hingga V.D.Bosch menerapkan Blandongdiesnsten dengan cara yang khas, namun
seragam dari cara mereka melakukan pengerukan sumber daya alam, yaitu alienasi faktor
produksi seperti aturan penarikan pajak yang mencekik hingga sistem sewa tanah
sewenang-wenang yang diterapkan kepada rakyat jelata. Selain dari sumber di buku-buku,
fakta historis semacam ini saya temukan sendiri ketika melakukan penelitian di bekas
desa hutan di Bojonegoro yang sekarang lebih dikenal dengan produksi minyak buminya.
Pada zaman ketika sumber daya kayu belum selangka sekarang dan bernilai ekonomi
tinggi, tenaga Blandong (penebang kayu) tidak pernah dipekerjakan dalam jumlah sedikit.
Pada setiap lokasi penebangan, dipekerjakan sekitar 100 hingga 300 penebang pohon dan
100 sampai 400 regu hewan (Cordes, 1881: Peluso, 2006: 84).
Lalu seperti apakah jenis masyarakat di sekitar hutan pada masa itu? Salah satu di
antaranya adalah Orang Kalang. Dalam Javaansch Nederhuitsch Woordenboek dikatakan
bahwa Kalang adalah sebuah nama etnis di Jawa yang dulu hidup di sekitaran hutan, dan
mereka diduga memiliki asal dari keturunan yang hina (Gericke, 1847; Muslichin 2011;
166). Mitsuo Nakamura (1983), seorang antropolog asal Jepang mencatat dengan menarik
sekaligus kontroversial tentang mitos Orang Kalang yang konon berasal dari keturunan
anjing. Orang-orang Kalang memperteguh keberadaan dirinya dengan keyakinan bahwa
binatang anjing ialah jelmaan dari dewata dan juga sekaligus sosok pangeran yang
mendapat kutukan dari orang tuanya.
Secara sekilas Nancy Peluso (2006) dalam penelitiannya tentang sejarah hutan dan
kemelaratan di Jawa juga sempat mengulas tentang peran besar Orang Kalang tersebut
terkait dengan keberadaan hutan pada masa lampau. Orang Kalang, yang sudah menghuni
hutan sekurangnya sejak Jaman Majapahit, hidup menyebar di seluruh Jawa Tengah dan
di beberapa tempat di Jawa Timur. Pada jaman dulu, Orang Kalang telah dikenal sebagai
pakar dalam soal-soal hutan (Alton, 1922; Peluso, 2006: 46). Keterangan itu lagi-lagi
mendapat kecocokannya ketika saya berburu cerita pada orang-orang tua yang tinggal di
bekas desa hutan Bojonegoro, bahwa Orang Kalang memang memiliki pengetahuan yang
luas dalam soal hutan. Bahkan bekas makamnya berupa balok batu besar ada di sana.
Memang telah banyak para peminat ilmu-ilmu sosial yang menaruh perhatian pada
keberadaan Orang Kalang ini, terutama oleh mereka yang berasal dari luar negeri. Di
antara sebutlah misalnya, F.Seltmann (1987) dalam tulisannya berjudul Die Kalang: Eine
Volksgruppe auf Jave Und Ihne Stamm-mythe, Denys Lombard (2008) dalam karya
spektakulernya Le Carrefour Javanais, dan dari negeri sendiri Mutiah Amini (2006)
dalam Jurnal berjudul dari Poro hingga Paketik: Aktivitas Ekonomi Orang Kalang di
Kota Gede pada masa Depresi-1930, juga Muslichin (2011) dalam jurnal berjudul Orang
Kalang dan Budayanya: Tinjauan Historis Masyarakat Kalang di Kabupaten Kendal.
Sedikit intermezzo, saya jadi teringat buku berjudul “Kalangwan”, karya Zoetmulder
yang merangkum sastra Jawa Kuno dari rentang masa Majapahit hingga Mataram. Secara
kebahasaan, ada kedekatan antara bunyi ”Kalang” dan “Kalangwan”. Namun bila
“Kalang” identik dengan mitos masyarakat yang diyakini berasal dari keturunan yang
hina-dina, secara harafiah “Kalangwan” berarti “Keindahan”. Lantas apa hubungan
“Kalangwan” karya Zoetmulder dan Orang Kalang di masa Majapahit?
Sebuah tulisan berasal dari abad ke-14 berjuluk Negarakertagama, mengidentikkan
Orang Kalang sebagai orang yang berasal dari golongan “paria”, yang umumnya
dipahami sebagai sekelompok orang buangan (tentunya dalam konteks politik), dan
dalam urutan kasta kepercayaan Hindu di India zaman dulu “paria” begitu dekat dengan
kelompok Candala, yakni orang-orang yang kehidupannya berada di bawah garis
kemiskinan. Saya menduga dari sinilah bermulanya mitos Orang Kalang yang disebutkan
oleh antropolog Nakamura itu, yang konon diyakini berasal dari keturunan anjing dan
pangeran yang kena kutukan. Tentu, jika dilihat dengan lebih cermat dan diperbandingkan
dengan cerita-cerita Orang Kalang pada catatan di masa kolonial misalnya, mitos tersebut
akan memberi kesan politis karena sifat ambivalensinya. Asal-usul mitos anjing/asu, bila
diletakkan dalam konteks historis menyiratkan adanya keterkaitan mitos dengan latar
belakang kelas sosial dan ekonomi di masanya, yang cenderung mengecilkan peran besar
Orang Kalang, terutama ketika sistem kerajaan masih eksis di Jawa. Apa yang dipahami
sebagai golongan “paria” atau orang buangan di masa itu sangat mungkin berasal dari
lingkaran kekuasaan untuk membedakan diri dengan kelompok-kelompok yang memiliki
cara pandang berbeda secara politik terhadap kekuasaan dominan di waktu itu.
Pengaruh Orang Kalang yang dikenal memiliki keahlian dalam seluk-beluk soal
hutan ini tidaklah sedikit. Tanpanya, kapitalisme kayu di masa kolonial di tanah Jawa
mungkin tidaklah selancar yang dibayangkan di masa itu. Dan pelabuhan Batavia yang
sekarang berevolusi menjadi Jakarta boleh jadi tak semenarik sekarang. Ketika Belanda
mulai merangsek ke pedalaman Jawa, menundukkan penguasanya lalu mengambil alih
tata kelola hutan yang berada jauh dari Negaragung atau Vorstenlanden alias tanah
kerajaan, untuk selanjutnya disulap sebagai sumber komoditas perdagangan setelah
rempah-rempah dan berdampak pada peminggiran terhadap keberadaan masyarakat
tempatan di sekitar hutan, kejadian itu sempat menyulut kemarahan Orang Kalang.
Melalui tulisan Peluso (2006) terungkap bahwa pada tahun 1770 Orang Kalang sempat
menyerang benteng Belanda di Juwono (yang pada waktu itu dikenal sebagai kota
pelabuhan di pantai utara Jawa) dan menewaskan seorang kopral dan empat orang lain
serta membakar gudang mesiu dan lumbung padi milik residen. Dalam memadamkan
kerusuhan itu, sepuluh pemrotes dan sepuluh orang lainnya tewas terbunuh (van der Chijs,
1891: Peluso, 2006: 36).
Sudah tentu kemampuan Orang Kalang dalam mengenali seluk-beluk hutan di Jawa
memiliki peran strategis dalam pembangunan (sekaligus penghancuran) Jawa, dan hal itu
mencapai puncaknya pada masa ekploitasi rezim Daendels. Secara statistik, antara tahun
1837 dan 1849 rata-rata ada 16.300 blandong (bukan warung kopi) yang dipekerjakan
oleh negara kolonial di Jawa; sampai tahun 1843 penebangan jati mencapai rata-rata
tahunan sebanyak kira-kira 100.000 kayu gelondongan (Ibid, 73). Hasil dari penebangan
kayu hutan di Jawa selain diekspor sebagai komoditas perdagangan juga dimanfaatkan
sebagai bahan untuk pembuatan kapal, pembangunan pabrik, kayu bakar, dan juga untuk
bahan dasar pembangunan jalur rel kereta api, yang di tahun 1915 panjangnya mencapai
2448 kilometer, menghubungkan wilayah Batavia, Bandung, Yogyakarta, Surakarta dan
Surabaya (Shiraishi, 1997: 11). Bayangkan saja berapa kira-kira luas hutan yang dibabat
untuk memenuhi seluruh pembangunan itu dan selanjutnya, seperti apa wajah alam raya
Jawa di kemudian hari, yang kini gunungnya akan dimakan sekalian itu.

Lalu, kemana perginya Orang Kalang?


Sumber Bacaan

- Amini, Mutiah.
2006. hingga Paketik: Aktivitas Ekonomi Orang Kalang di Kota Gede pada masa
Depresi-1930, diterbitkan dalam Jurnal Humaniora volume 18, no.2 tahun 2006,
FIB,UGM, hlm 157-164.
- Muslichin.
2011. Orang Kalang dan Budayanya: Tinjauan Historis Masyarakat Kalang di
Kabupaten Kendal, diterbitkan dalam Jurnal Paramita volume 21, no.2 tahun
2011, UNNES, hlm 164-178.
- Nakamura, Mitsuo.
1983. Bulan Sabit Muncul dari Balik Pohon Beringin: Studi tentang Pergerakan
Muhammadiyah di Kota Gede, Yogyakarta. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
- Peluso, Nancy Lee.
2006. Hutan Kaya, Rakyat Melarat: Penguasaan Sumberdaya dan Perlawanan di
Jawa. Yogyakarta: Insist Press.
- Poerwadarminta W.J.S dibantu Hardjasoedarma C.S bersama Poedjasoedira J.CHR.
1939. Baoesastra Djawa. Batavia-Centrum.
- Shiraishi, Takashi.
1997. Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926. Jakarta: PT Pustaka
Utama Grafiti.

Anda mungkin juga menyukai