Anda di halaman 1dari 8

DAYAK

Sebuah Perkenalan
Oleh: Arbendi I. Tue

Istilah Dayak;Djak;Daya mengacu pada identitas suku yang mendiami pulau Kalimantan.
Beberapa pendapat mengatakan bahwa Dayak dianggap sebagi suku asli pulau
Kalimantan. Padahal, jika merujuk pada pengertian kata asli menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia yaitu tidak ada campuran, tulen, murni. Tentu ini bertentangan dengan
teori migrasi suku-suku bangsa dan teori genetika. Dalam teori migrasi, leluhur suku
Dayak diyakini berasal dari migrasi para penutur Austronesia yang berasal dari dataran
tinggi Yunan (2500 – 1500 SM). Namun, hal ini tidak serta merta mutlak kebenarannya,
karena menurut studi genetika seperti yang diungkapkan Lembaga penelitian
biologimolukuler Eikjman yang menyatakan bahwa genetika suku Dayak merupakan
genetika campuran, meskipun di dalamnya dominan adalah genetika penutur
Austronesia. Akan tetapi, Dayak punan justru tidak memiliki kemiripan genetikan dengan
suku Dayak lainnya terutama genetika penutur Austronesia. Hal ini berbanding lurus
dengan pendapat Bernald Sellato dalam bukunya Inermost of Borneo yang menyatakan
bahwa suku Punan tidak memiliki kebudayaan bercocok tanam dan tinggal permanen
seperti para suku Dayak lainnya.

Jika demikian, lalu apakah Dayak itu? Bagaimana sekilah sejarah tentang Dayak?

Dayak merupakan sebuah nama identitas suku-suku bangsa yang sudah ribuah tahun
mendiami pulau Kalimantan. Sebenarnya istilah Dayak merupakan istilah yang diberikan
oleh orang luar atau para penjelajah Eropa pada abad ke 17 M. Istilah Dayak mengacu
pada sebuatan untuk suku-suku primitif yang mendiami pulau Kalimantan yang masih
dianggap menganut kepercayaan pagan dan masih melakukan praktik pemburuan kepala
seperti dilaporkan Carl Bock dalam bukunya yang berjudul The Head Hunter of Borneo.
Praktik pemburuan kepala ini disebutkan dalam catata para penjelajah Eropa tersebut
sesuai dengan pengucapan yang sering dilakukan oleh suku-suku di Kalimantan dengan
sebutan kayau atau ayao.

Kayau memang benar terjadi di Kalimantan. Akan tetapi, Arbendi I. Tue dalam tulisannya
yang berjudul Kayau: Dayak (Not) The Head Hunter mencoba menerangkan bahwa kayau
bukan sebuah praktik pemburuan kepala. Jika kayau dianggap sebagai praktik
pemburuan kepala, tentu praktik kayau ini merupakan sebuah kegemaran dan rutinitas.
Tentu hal ini sangat tidak masuk akal, karena dalam ilmu psikologi, tidak sesederhana itu
manusia memiliki dorongan untuk membunuh apalagi melakukan pemotongan kepala.

Dalam pandangan Arbendi I. Tue dalam tulisan Kayau: Dayak (Not) The Head Hunter
setelah menelusuri berbagai mitologi dan cerita rakyat di Kalimantan menemukan
sebuah kesamaan utama bahwa kayau bukanlah suatu praktik pemburuan kepala. Kayau
adalah sebuah aksi balas dendam terhormat untuk mempertahankan martabat terhadap
musuh. Musuh dalam hal ini disebut dengan istilah asang. Dari berbagai mitologi, terlihat
bahwa praktik kayau terjadi atas tiga dorongan utama, yaitu (1) mempertahan diri, (2)
memperluas wilayah kekuasaan, dan (3) menunjukkan eksistensi dan dominasi.

Lalu mengapa kepala dipotong? Tentu dalam sebuah pertempuran harus memiliki tanda
kemenangan. Dapat dilihat dari berbagai belahan dunia, baik mitologi maupun sejarah
yang sudah terjadi selama ribuah tahun, kepala musuh diambil sebagai bukti kebenaran
bahwa telah memenangkan pertempuran. Tentu hal ini juga berlaku bagi suku-suku di
Kalimantan. Peristiwa ini terjadi begitu lama, dan tidak ada sumber akurat yang
menyatakan kapan persisnya praktik kayau ini terjadi karena peradaban suku-suku di
pulau Kalimantan ini sudah berlangsung jauh sebelum masehi.

Keluarnya ras negrito (homo sapiens) dari benua Afrika sekitara 120.000 tahun dan
bermigrasi ke berbagai belahan dunia menciptakan sejarah peradaban umat manusia
modern. Meskipun di Indonesia pernah ditemukan peradaban purba yakni dengan
adanya Megantropus Paleojavanicus, Homo erecktus, Homo Wajakensi, Homo Soloensis
dalam lain sebagainya, tetapi peradaban manusia modern di Indonesia tidak
menunjukkan adanya jejak genetika peradaban purba tersebut. Justru, jejak genetika
tertua suku bangsa di dunia, terutama Indonesia adalah jejak Adam dan Eva dari ras
negrito.

Ras negrito mulai masuk dataran Asia dan ke Asia Tenggara sekitar 60.000 tahun yang
lalu. Ras negirito tentu pernah mengendap dan hidup di pulau Kalimantan. Ada dua bukti
yang menunjukkan adanya ras negrito pernah mendiami pulau Kalimantan. Pertama,
dalam studi genetika menunjukkan suku-suku Dayak saat ini memiliki jejak genetika
tertua yaitu genetika ras negrito. Kedua, adanya sisa peradaban purba di Kalimantan
dengan ditemukannya gambar cadas di pegunungan karts Sangkulirang-Mangkalihat di
Kalimantan Timur yang diperkirakan sekitar 40.000 tahun yang lalu. Artinya, pulau
Kalimantan sudah dihuni peradaban minimal sejak 40.000 tahun yang lalu. Hal ini
mungkin terjadi karena pada masa itu, permukaan air laut masih rendah dan pulau
Kalimantan masih menyatu dengan paparan sundaland.

Migrasi berikutnya terjadi berangsur-angsur selama ribuan tahun, yaitu migrasi para
penutur Austronesia atau para ras mongoloid yang dimulai sekitar 3000 SM, migrasi suku
Assam, India, bahkan perjalanan para Brahma dari daerah Palawa di India ke Kalimantan.
Hal ini dibuktikan dengan berdirinya salah satu kerajaan Hindu tertua di Indonesia yang
berada di Kalimantan yaitu Kerajaan Kutai Martadipura abad ke 4 M, yang ditandai
dengan adanya informasi tertulis di prasasti Yupa menggunakan tulisan Palawa.

Jejak peradaban modern sudah ditemukan di Kalimantan sejak awal masehi dengan
adanya kerajaan Kutai Martadipura. Selain itu, di pedalam Kalimantan juga sudah hidup
berkembang peradaban modern yaitu awal abad ke 3 M di daerah Kabupaten Gunung
Mas dengan ditemukan jejak Kuta Mapot yaitu system banteng pertahanan yang kokoh
mengelilingi pemukiman – dalam hal ini Betang – menggunakan kayu setinggi tujuh
meter.

Di dalam Kakawin Negarakertagama (1364 M) yang memuat kisah kerajaan Majapahit


juga ditemukan tulisan bahwa Kalimantan merupakan salah satu wilayah kerajaan
Majapahit yang disebut Tanjungpura di bawah kepemimpinan Bre Tanjungpura. Dalam
salah satu pupuh/bait kakawin negarakertagama tersebut disebutkan wilayah yang
dikuasai Majapahit mulai dari kutai, paser, brunei, tabalong, katingan, sampit, landak, dan
seterusnya. Akan tetapi, jika ditelusuri secara seksama, daerah yang dikuasai oleh
Majapahit tersebut hanya bagian pesisir karena di bagian pedalaman Kalimantan tidak
ada pengaruh kerajaan majapahit, dan tidak ada laporan tentang kehidupan di
pedalaman Kalimantan yang berkecamuk karena praktik kayau.

Asal usul dan kapan praktik Kayau dimulai sampai hari ini masih belum ada kata pasti.
Setiap daerah suku Dayak memiliki mitologinya, seperti untuk kesuburan bagi Dayak
Iban, untuk ritual kematian bagi Dayak Ngaju dan Ot Danum, untuk keperkasaan, dan
lain-lain. Pada dasarnya, mitologi ini diciptakan sebagai luapan emosi dan pembenaran
atas praktik yang telah dilakukan.

Dalam mitologi Dayak Ngaju dan Ot Danum, praktik Kayau dilakukan untuk mambaleh
bunu atau membalas dendam atas serangan mematikan dari pihak musuk. Dalam istilah
darah ganti darah, gigi ganti gigi, kepala ganti kepala. Oleh karena hal ini, maka penjelajah
eropa abad ke 17 masuk ke Indonesia menyebutkan bahwa suku Dayak tidak memiliki
hukum yang mengatur sehingga menyebut Dayak menggunakan hukum rimba, siapa
yang kuat dialah yang berkuasa. Tentu hal ini sangat tidak benar, karena di dalam
kehidupan komunal masyarakat yang mendiami pulau Kalimantan pada saat itu, sudah
memiliki hukum adat, meskipun hukum adat ini tidak berlaku secara universal.

Sumber tertua menyebutkan tentang mulainya praktik balas dendam kayau terhadap
musuh (asang) ini adalah melalui cerita rakyat epos Tambun Bungai atau Tetek Tatum
Utus Dayak Muhun Hayak Palangka Bulau Lambayung Nyahu. Praktik kayau dalam epos
tersebut dilakukan oleh empat orang tokoh yang gagah berani memimpin pasukannya
melakukan serangan balasan kepada suku Dayak Kenyak di hulu Mahakam. Konflik
bermula karena perebutan tempat pencarian getah nyatu. Pada saat itu, orang-orang dari
hulu sungai Kahayan mencari getah Nyatu di daerah pegunungan. Akan tetapi, mereka
terlibat konflik dengan orang Kenyah yang dipimpin oleh Kandang Motong anak Towong
sehingga orang dari Kahayan tewas. Beberapa yang sempat kabur langsung menemui
saudara mereka di Tumbang Pajangei yaitu empat orang bersaudara yakni Tambun,
Bungai, Rambang, dan Ringkai. Bungai dalam hal ini adalah anak Sempung (Sam Hau
Fung) dengan Nyai Endas.
Dalam epos tersebut disebutkan bahwa Sempung (Sam hau Fung) adalah anak tertua
Maharaja Bunu (Leluhur suku Dayak – dalam mitologi Dayak Ngaju dan Ot Danum – yang
turun dari langit). Dalam epos Tetek Tatum terdapat nama tempat yang disebut pulau
Mako yang dalam interpretasi Tjilik Riwut berada di negeri Cina.

Dalam Tatum Utus Dayak Muhun Pahayak Palangka Bulau Lambayung Nyahu disebutkan
bahwa leluhur suku Dayak berasa dari langit yang diturunkan dengan sebuah tempat
yang disebut palangka terbuat dari emas (bulau) ke bumi. Leluhur manusia Dayak dalam
mitologi Dayak Ngaju dan Ot Danum adalah Maharaja Bunu. Turun dari langit adalah
sebuah penggambaran karena menuruni tingginya pegunungan swachner-muller. Hal ini
masuk akal karena migrasi terjadi dari utara menuju selatan sehingga pasti harus
melintasi pegunungan swachner-muller.

Sempung dalam sumber tetek tatum disebutkan sebagai anak tertua Maharaja Bunu.
Diceritakan bahwa Sempung lama mengembara ke Pulau Mako (Cina). Setelah lama
menetap di sana, Sempung kembali ke tanah leluhur ayahnya di Kalimantan disertai
beberap orang. Dalam manuskrip kuno Tiongkok menyebutkan mendaratnya
sekelompok orang dari Yunan di Kalimantan sekitar tahun 700 M di bawah pimpinan Sam
Hau Fung. Pendatarannya terjadi di daerah Sabah. Akan tetapi, jika mengacu pada
sumber sejarah sepereti dalam peta yang dibuat oleh Orteliu berjudul Cinae, olim
Sinarum Regions, Nova Descripto, Cum Priulegio Imperatoris Regis & Brabantie ad de
Cennium 1584 terdapat wilayah yang disebut sebagai Meaco yang juga dalam peta
administrative Tiongkok tahun 2016 memang ditemukan daerah Mako.

Dalam bukuThe Lost City:Menelusuri Jejak Nyai Undang dari Kuta Bataguh dalam Memori
Suku Dayak memberikan sebuah gambaran bahwa pernikahan Raja Bunu dengan Putri
Kameloh Putak Bulan sekitar tahun 1271 – 1313 M. Dengan kata lain, peristiwa
kehidupan Sempung di tanah Kalimantan akan berkisar tahun 1300 M mengingat
Sempung adalah anak tertua Raja Bunu dan Kameloh Putak Bulan.

Berdasarkan gambaran tentang keberadaan Sempung tersebut, dalam hal ini peritiwa
pertarungan perebutan daerah mencari getah nyatu antara Dayak Kenyah dan Oloh
Kahayan adalah sekitar pertengahan abad ke 14 M, di mana peristiwa tersebut
melibatkan Tambun, Bungai, Rambang, dan Ringkai sebagai kepala yang memimpin
pasukan melakukan penyerangan balasan ke hulu sungai Mahakam dan membunuh
Kandang Motong Anak Towong. Sebagai symbol kemenangan, maka keempat pangkalima
tersebut membawa pulang kepala Kandang Motong Anak Towong yang nantinya sebagai
luapan emosi maka kepala tersebut diletakkan di bawah sandung (rumah tulang belulang
orang yang telah ditiwahkan) keluarga yang dibunuh dan diasumsikan sebagai budak
roh.

Peristiwa penyimpanan kepala musuh di bawah patung sapundu dan sandung sebagai
budak atau teman roh mengembara di alam roh sejalan dengan cerita The Origin of Kayau
yang ditulis oleh Arbendi I. Tue. Dengan demikian, perwujudan peluapan emosi atas
keberhasilan membalaskan dendam kematian saudara oleh orang lain menciptakan
mitos kayau di dalam ritual kematian.

Peristiwa saling serang dan balas dendam ini terjadi terus menerus selama ratusan tahun
di tanah Kalimantan. Akan tetapi, meskipun saling serang, suku-suku Dayak tetap ada
system perdamaian dan akulturasi antardaerah. Hal ini terbukti bahwa beberapa daerah
terjadi sumpah persaudaraan dan pernikahan. Bukti lain adalah adanya persekutuan
antara suku-suku Dayak dengan Kerajaan Banjar yang dalam hal ini tokoh-tokoh suku
Dayak diberi gelar kebangsawanan Kerajaan Banjar yaitu gelar Tamanggung dan
Damang. Gelar Tamanggung diberikan sebagai tanda penguasa atau pemimpian suatu
wilayah, sedangkan gelar Damang (dari kata Demang) untuk tokoh yang menjadi kepala
adat atau yang diberi kewenangan mengadili perkara menggunakan hukum adat.

Berdasarkan hal demikian, maka sangat tidak layak yang disampaikan selama ini bahwa
suku Dayak adalah para pemburu kepala dan tidak memiliki hukum. Kayau sekali lagi
adalah kegiatan balas dendam untuk mempertahankan harkat martabat sukunya dan
setiap daerah sudah memiliki hukum adat meskipun belum berlaku secara universal.

Citra buruk suku Dayak tentang kayau sebenarnya dilabelkan oleh para penjelajah eropa.
Kegemparan dunia tentang suku Dayak justru terjadi ketika Carl Bock menerbitkan
catatan penjelajahannya di Inggris tahun 1813 yang berjudul The Head Hunter of Borneo.
Hal ini semata-mata untuk melegimitasi kedudukan bangsa eropa lebih beradab dan
tinggi dari suku lain di dunia. Meskipun praktik saling bunuh antar suku Dayak memang
benar terjadi, tetapi dalam konteks Baleh Bunu atau balas dendam.

Suku Dayak hanya berkonflik antar suku yang memiliki utang bunu atau utang kematian.
Suku Dayak terbuka menerima siapa pun yang tidak memiliki konflik atau menjunjung
nilai adat suku Dayak. Hal ini terbukti dengan diterimanya para penjelajah eropa di tanah
Kalimantan, mulai dari Swachneer, Carl Bock, Heda Morisson, dan lain-lain. Selain itu,
suku Dayak juga menerima para misionaris eropa di tanah Kalimantan.

Bukti lain, bahwa suku Dayak terbuka menerima pendatang adalah terjadinya
perdagangan di suku Dayak sejak zaman dahulu, mulai perdagangan dengan cina, india,
jawa, banjar, dan bugis. Selain itu, penjelajahan para penjelajah eropa di Kalimantan juga
dibantu dan dipandu oleh orang-orang Dayak sehingga seperti Carl Bock yang
melaporkan bertemu dengan manusia-manusia primitif berekor atau disebut juga orang
buntut tidak memiliki masalah malah terjadi percakapan dan tukar barang (barter).

Oleh karena itu, pertikaian atar suku yang dikenal sebagai Kayau di Kalimantan
sebenarnya lebih kepada luapan emosi tak terhingga untuk mebalaskan dendam
kematian. Karena praktik ini sudah terjadi ratusan tahun maka menjadi sebuah mitos.
Dan perlu dicatat, kayau bukan praktik memburu kepala. Karena kepala dalam hal ini
adalah symbol kemenangan dan milik musuh. Pantang hukumnya membunuh orang yang
tidak melawan, bukan musuh, bahkan membunuh secara sembunyi-sembunyi. Kayau
dilakukan dengan membunuh secara pertarungan terbuka.

Praktik kayau yang paling dikenal di awal abad ke 19 adalah peristiwa kayau 100. Sebuah
arketipe peristiwa lama yakni mengulang kembali peristiwa masa Tambun Bungai
dengan orang-orang kenyah. Pada awal abad ke 19, kembali konflik tempat pencarian
getah nyatu melibatkan orang Kahayan dan orang Kenyah. Konflik ini menjadi besar
karena adanya permasalahan masa lalu ratusan tahun silam yang belum selesai. Kembali
ketidaksaran kolektif itu mendorong peristiwa kayau 100 yang melibatkan Undeng,
Teweng, Batoe, dan Beneng sebagai pemimpin pasukan dari Kahayan, sedangkan
pemipin Dayak Kenyah adalah Tingang Koai dan Sangiang hadurut.

Perlu digarisbawahi, kata Sangiang hadurut merupakan istilah yang digunakan oleh
masyarakat Dayak Ot Danum dan Dayak Ngaju. Tidak pernah ada nama orang Kenyah
menggunakan istilah Sangiang hadurut, sehingga dalam hal ini perlu dipertanyakan
kebenaran perang kayau 100. Hal ini juga bahwa kisah perang antara Dayak Kenyah dan
Kahayan tentang kayau 100 ini tidak pernah ditemui dalam literatur cerita Dayak Kenyah.
Dalam kebudayaan kenyah memang terdapat kisah atau peristiwa antara orang kenyah
dan Dayak yang lain termasuk Ngaju dan Ot Danum. Namun, perisitiwa tersebut adalah
terjadi antar kelompok atau individu yang saling kayau, sedangkan untuk kayau 100
tidak pernah ditemukan.

Dari hal tersebut, maka perlu dikaji ulang apakah benar terjadinya kayau 100 pada awal
abad ke 19 antara masyarakat Kenyah dan orang Kahayan. Hal yang laing memungkinkan
adalah perselisihan ini bukan melibatkan Dayak Kenyah. Dalam beberapa cerita kayau
100 peristiwa ini melibatkan orang Kahayan dengan orang dari Hulu Mahakam. Maka
yang paling memungkinkan adalah perang ini terjadi antara orang Kahayan dengan orang
dari Tiong Ohang di Long Apari yang secara geografis besinggungan atau berbatasan
langsung dengan wilayah orang Kahayan dan Ot Danum di Kalimantan Tengah. Maka
konflik kayau 100 ini paling mungkin adalah terjadi antara orang Kahayan dengan Dayak
Aoheng (Dayak Penihing).

Oleh karena itu, pertikaian kayau 100 ini dapat dikatakan pertikaian antara Dayak Ot
Danum dan Ngaju dari Kahayan dengan Dayak Aoheng dari Mahakam Hulu. Bukti
argument ini adalah, secara geografis lokasi kedua suku ini sangat bersinggungan. Kedua,
Dayak aoheng mengembara mencari mata pencaharian di sepanjang pegunungan
swachneer-muller yang juga merupakan tempat pencaharian masyarakat dari Kahayan.
Ketiga, dalam kebudayaan Dayak Ahoeng dikenal nama tokoh Tingang Koai yang disebut-
sebut sebagai pemimpin kayau 100 dan di Tiong Ahong ada didirakan tugu atau patung
Tingang Koai.
Berdasarkan pemikiran tersebut, Kayau 100 adalah peristiwa yang benar terjadi, akan
tetapi perlu diperbaiki narasi ceritanya karena bukan antara orang Kenyah dan Kahayan
tetapi antara orang Aoheng dan Kahayan. Namun, dapat dimaklumi mengapa
diasumsikan dalam cerita Dayak Ngaju dan Ot Danum bahwa peristiwa Kayau 100
melibatkan orang kenyah adalah karena adanya arketipe tentang kayau 100 pada zaman
tambun bungai yang melibatkan antara oran Kahayan dan kenyah.

Pihak Belanda awalnya tidak terlalu menanggapi pertikaian antar suku di tanah
Kalimantan. Akan tetapi, Belanda mulai terusik dengan pertikaian antara suku Dayak ini
adalah karena mulai bersinggungang dengan konflik antara belandan dan kerajaan
banjar. Pada awal abad 19, pihak belanda membantu kudeta tahta kerajaan Banjar yang
dilakukan oleh pangeran nata. Sebagai imbalan atas bantuan belanda, pangeran Nata
menyerahkan wilayah kerajaan banjar dan perdagangan kepada pihak belanda seperti
yang tertuang dalam perjanjian karang intan.

Tokoh-tokoh suku Dayak yang telah bersumpah setia kepada putra mahkota, yaitu sultan
adam menolak campur tangan Belanda, sehingga melakukan serangan kepada pihak
belanda. Ketika pangeran Antasari memulai kampanye militer melawan Belanda,
pasukan Dayak turut membantu perjuangan tersebut sehingga membuat belanda
kewalahan meredam perjuangan suku Dayak mulai dari perang banjar, perang barito,
dan perang-perang gerilya di berbagai wilayah suku Dayak. Tokoh-tokoh Dayak tersebut
mulai dari Singa keting di Tumbang Korik, Tamanggung Surapati yang memimpin
penenggelaman kapal perang Belanda Onrust, panglima batur, pambakal suill,
tamanggung bukit rawi, tamanggung tawa, dan lain-lain.

Belanda ingin melakukan praktik adu domba dengan melakukan persekutuan dengan
tokoh-tokoh Dayak. Akan tetapi, praktik balas dendam (kayau) antar suku Dayak
membuat rencana belanda menjadi tidak berhasil.

Kegalalan residen belanda di Banjamasin dalam mengamankan Kalimantan sampai ke


telinga gubernur jenderal hindia belanda. Apalagi, akibat konflik antara pasukan Dayak
dengan balanda ini muncul sebuah gerakan pembasmian kulit putih sehingga berdampak
pula pada misi kristenisasi oleh para misionaris eropa. Kampanye militer kerajaan
Banjar yang dipimpin oleh Pangeran Hidayat dibantu oleh pihak pasukan Dayak tahun
1859 membuat terbunuhnya misionaris Kristen dari Jerman yaitu Roth, Wiegand dan
istri, Misionaris Kind dan istri beserta dua anaknya, Misionaris Hpfmeister dan istri.

Atas peristiwa ini dan tidak kondusifkan kondisi di Kalimantan akibat perang suku dan
perang banjar, Belanda melarang semua aktivitas misionaris untuk sementara. Di sisi
lain, Belanda menyadari betul bahwa kekuatan perjuangan kerajaan Banjar adalah
adanya bantuan dari pihak suku Dayak. Belanda mempelajari bahwa suku Dayak saat taat
dengan sumpah atau jani yang sudah dibuat. Dengan mempelajari konflik antar suku
berupa saling kayau, saling bunu adalah karena adanya masalah kematian yang tidak
selesai sehingga memunculkan sebuah dendam. Oleh karena itu, tahun 1894, Belanda
memprakarsai Perdamaian Adat Dayak yang setelah diputuskan dalam rapat di Kuala
Kapuas terlebih dahulu akan dilaksanakan di Tumbang Anoi selama 3 bulan.

Rapat Damai tersebut berhasil dilaksanakan di kediaman Damang Batu/Damang Ribu di


Tumbang Anoi selama 3 bulan. Namun ada satu poin yang disayangkan adalah poin
pertama yakni menghentikan permusuhan antara pihak suku Dayak dengan Belanda. Hal
ini membuat perjuangan suku Dayak melawan Belanda dapat ditekan sehingga Belanda
mampu menaklukan perang Banjar dan perang Barito.

Meskipun demikian, beberapa tokoh Dayak masih melanjutkan perjuangan secara gerilya
dengan belanda. Salah satunya adalah Tamanggung Tawa yang melanjutkan perjuangan
sehingga dibuang ke Cipanas dan akhirnya dikembalikan ke Kalimantan pada Tahun
1900. Tahun 1900 awal Belanda begitu berkuasa di Kalimantan. Sehingga pada awal
tahun 1900-an, pihak belanda membawa orang-orang dari Dayak Kayan (Apo Kayan)
untuk ikut ekspedisi Nieuwenhuis dan Loreznt di Papua.

Tahun 1928 salah satu delegasi suku Dayak yaitu Goerge Obos dari Katingan ikut serta
dalam Deklarasi Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Awal Kemerdekaan
Indonesia dibawah Komandi P.M.Noor, Tjilik Riwut dan beberapa tokoh Dayak lainnya
seperti Harry Aryadi, Iskandar, Sersan Mayor Kosasih, Suyoto, Bahrie, J Bitak, Williem,
Imanuel, Mika Amirudin, Ali Akbar, Dahlan, Darius, Marawi, melakukan penerjunan
paying Angkatan Udara Indonesia untuk pertama kali guna menyebarkan kemerdekaan
Indonesia dan membebaskan Kalimantan dari NICA. Tanggal 17 Desember 1946, Tjilik
Riwut mewakili 185.000 rakyat yang terdiri atas 142 suku, 145 kepala kampung, 12
kepala adat, 3 panglima, 10 patih, 2 tamanggung di pedalaman Kalimantan melakukan
sumpah setia secara adat setia kepada NKRI di hadapat presiden Soekarno di Gedung
Agung Yogyakarta. Tjilik Riwut dianggap salah satu orang yang berjasa besar masuknya
Kalimantan kebawah naungan Indonesia.

Dayak adalah suku yang sangat taat terhadap sumpah. Dan praktik kayau suku Dayak
dilakukan bukan untuk memburu kepala tetapi sebagai ritual balas dendam atas
kematian saudara sesukunya. Kayau lebih kepada semangat kepahlawanan untuk
menaklukan musuh yang menyerang harkat dan martabat suku Dayak.

Anda mungkin juga menyukai