Anda di halaman 1dari 2

Sahabat Dibalik Absen Taktik Meja Panjang Putin

Oleh: Faris Hilaal Firaas (Mahasiswa Semester 2 Hubungan Internasional Universitas


Muhammadiyah Malang)

Dalam tatanan dunia, peperangan tidak terelakkan dan bisa terjadi suatu saat.
Terdapat banyak sebab terjadinya suatu peperangan, dilakukan karena merasa terancam dan
sebagai bentuk balance of power akan suatu kepentingan yang tidak tercapai secara diplomasi
oleh karena itu peperangan diambil sebagai keputusan yang dianggap tepat.
Negara yang terlibat dalam suatu peperangan baik yang menyerang ataupun diserang
harus menghadapinya, jika tidak kekuatan dan kepentingan negaranya akan hilang dan
berhasil nihil. Disisi lain, peperangan yang terjadi tidak hanya berdampak besar terhadap
negara yang terlibat, melainkan melulu berdampak buruk terhadap negara-negara lain di
tatanan dunia, contohnya seperti kasus Rusia-Ukraina yang memperburuk krisis pangan di
negara ketiga dan tidak berkembang.
Beberapa hari terakhir, presiden Jokowi melakukan pertemuan dengan kedua presiden
negara konflik, dilakukan sebagai suatu bentuk upaya menjembatani dan menargetkan solusi
krisis pangan selama misi perdamaian Rusia-Ukraina. Sorotan pertemuan Jokowi-Putin
menuai kontroversial karena Putin tidak menggubris seruan damai jokowi, Putin cenderung
lebih membahas hubungan bilateral Indonesia-Rusia dan Rusia masih menyerang Ukraina
usai pertemuannya dengan Jokowi, lantas apakah Jokowi gagal membungkus misi
perdamaian Rusia-Ukraina?
Dalam beberapa pertemuan, Putin acap kali menggunakan long table diplomacy
dalam pertemuan bilateralnya, dengan alasan untuk membuat tamu merasa tidak nyaman dan
menjaga jarak. Meja panjang dalam pertemuan Rusia-Prancis memisahkan Macron dan Putin
atas laporan Macron karena ketakutannya tentang mata-mata Rusia melalui Tes PCR.
Siaran kabar pertemuan Jokowi-Putin yang absen dari meja panjangnya
memperlihatkan bahwa pertemuan bilateral jokowi disambut dengan hangat dan tidak rumit.
Meskipun Putin tak gubris seruan damai Jokowi dan lebih memilih untuk membahas lebih
lanjut terkait hubungan bilateral Indonesia-Rusia, tindakan Jokowi menuai dampak positif
dalam memenuhi permintaan yang dibutuhkan dunia dan kepentingan Indonesia sendiri.
Misi presiden Jokowi dapat diasumsikan berhasil, mengutip penilaian dari Dino Patti
Djalal, pakar hubungan internasional dan sekaligus mantan Wakil Menteri Luar Negeri RI.
"Upaya Presiden Jokowi tidak gagal. Ini awal yang baik. Kita harus peka terhadap tantangan
ke depan" Dilansir dari detikcom.
Keberhasilan dan kegagalan misi Jokowi terbukti bilamana dilihat dari dua indikator.
Pertama, apabila Rusia dan Ukraina melakukan pertemuan serius dalam perundingan politik
yang kemudian bermuara pada perdamaian, misi Jokowi berhasil. Perdamaian dari keduanya
tidak mustahil untuk terjadi di suatu hari nanti.
Kedua, Jokowi menargetkan solusi terkait krisis pangan selama misi perdamaian
Rusia-Ukraina. Dengan dibukanya ekspor Gandum Ukraina dan pupuk Rusia beserta bahan
pokok lainnya merupakan tanda-tanda dari terwujudnya koridor pangan. Wajar apabila masih
belum terlihat tanda-tanda perdamaian dari Rusia, karena keinginan Rusia menaklukkan
Ukraina sebagai balance of power belum sepenuhnya tercapai.
Sebagai negara berkembang, wajar apabila Putin menganggap Indonesia sebagai
sahabat bagi negaranya, tidak hanya didasari dengan alasan historis karena pengaruh kuat Ir.
Soekarno, Indonesia dalam taktik meja panjangnya tidak cukup kuat untuk menggempur dan
mengancam balance of power dari Rusia dalam panggung politik global.
Sebab-sebab yang membuat Indonesia dianggap sebagai sahabat Rusia dapat dilihat
dari beberapa indikator. Pertama yaitu alasan psikologis, dalam pendekatan motivasional,
pada dasarnya suatu negara memiliki sifat yang sama seperti manusia, sejak lahir manusia
memiliki sifat agresif secara natural dalam diri manusia, yang mana secara motivasional
untung-rugi dalam persahabatan Rusia-Indonesia cenderung menguntungkan, oleh karena itu
keputusan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara sahabat diambil oleh Putin.
Kedua, yaitu alasan ekonomi, sebagai negara berkembang, Rusia berasumsi bahwa
kebutuhan Indonesia terhadap Rusia terjalin dalam kolaborasi yang bersih dari eksploitasi
yang mampu merugikan Rusia.
Ketiga, alasan politik. Secara historis, Indonesia memiliki track record
kepemerintahan yang efektif dan kuat, dari zaman Soekarno hingga saat ini, Indonesia tidak
pernah mengalami keanarkisan yang krusial, sehingga perlu untuk mempertahankan dan
membentuk aliansi atas dasar kepentingan yang sama.
Yang terakhir adalah alasan perspektif ekonomi politik, negara demokrasi dinilai
lebih berhati-hati dalam mengambil suatu keputusan, dalam intervensi Indonesia dengan
seruan damai terhadap Rusia-Ukraina, Putin menyinggung Indonesia untuk tidak terlalu
menyuarakan perdamaian negaranya dan Ukraina. Putin memahami i’tikad dan keputusan
Indonesia didasari dengan kehati-hatian dan berdasarkan kepentingan dunia. Karena dengan
semakin terjalinnya hubungan bilateral Indonesia-Rusia lambat laun dapat mengatasi krisi
pangan yang disebabkan oleh konflik Rusia-Ukraina.
Perkataan Dino benar, kita harus peka melihat tantangan ke depan, konflik yang
terjadi pada suatu negara merupakan suatu tantangan yang harus dihadapi oleh semua negara,
Jokowi cukup berani dan tegas dalam mengambil keputusan. Misi Jokowi perlu diapresiasi
karena suatu peperangan masih bersifat potensial, tidak dapat dipungkiri dan diseka.
Mencegah peperangan mengharuskan suatu negara untuk menyiasati perdamaian. Apabila
perang sudah terlanjur dan terjadi, misi perdamaian harus ditegakkan, pertikaian akan surut.

Anda mungkin juga menyukai