Anda di halaman 1dari 9

Mengapa Fiksi, Pertanyaan Tentang Hidup, dan Hal-hal Lainnya

Mengapa Fiksi?

Mungkin bagi sebagian orang cara mereka menemukan cara beradaptasinya bisa dari hal-hal
yang konkret dan tidak terlalu mengawang-awang, misal dengan membaca buku-buku non-
fiksi.

Tapi berbeda dengan saya. Saya kebetulan lebih banyak mengoleksi dan menyukai membaca
buku-buku fiksi. Lalu mengapa memilih fiksi sebagai medium bercerita? Apakah tidak terlalu
sulit dan mengada-ada? Bagaimana cara mengaitkannya dengan laku hidup sehari-hari?

Oke. Sebentar. Biar saya ceritakan mengapa genre fiksi lebih menunjukkan wajah
adaptasinya bagi saya pribadi.

Pertama, dunia fiksi adalah dunia yang membebaskan. Dalam artian membebaskan
pembacanya ingin menerjemahkan dan memeteraikan bacaannya sehari-hari itu sebagai apa
saja.

Kita ambil contoh populer. Siapa tak mengenal cerpen karangan Seno Gumira Ajidarma,
Sepotong Senja untuk Pacarku. Bukti bahwa cerpen ini mengandung poin pertama tadi
adalah pembaca bisa (bebas) membayangkan bahwa kisah romansa Sukab dan Alina ini
benar-benar terjadi dan tidak sadar bahwa ini hanyalah karangan fiksi—setidaknya bagi
pembacaan saya sendiri. Sebagai pembaca, kita sah-sah saja menjadikan benda apa saja di
sekitar kita sebagai sepotong senja yang kita potong dan memasukkannya pada seutas amplop
lalu mengirimkannya secepat mungkin pada pacar kita sebelum warna oranyenya mencair
dan yang tersisa hanya bualan semata.

Di sini, peran imajinatif pembaca benar-benar dilatih dalam koridor yang bebas kita pilih
akan mau jadi seperti apa nanti hasilnya. Karena, memang begitu kan prinsip dari fiksi itu
sendiri: menjadikan yang gila memiliki jiwa dan tidak menyebutnya gila lagi sebab sudah
berjiwa.

Kedua, kenapa saya memilih fiksi, karena fiksi mampu melakukan banyak hal di luar logika
—dan bukan berarti fiksi berdiri sendiri di luar ranah logika. Kenapa saya dapat berkata
demikian? Ini berawal ketika saya tercerahkan oleh kata-kata salah satu maestro besar sastra
Indonesia, almarhum Eyang Sapardi Djoko Damono. Ia pernah berkata, kurang lebih,
demikian dalam salah satu acara festival musik dan literasi di Yogyakarta beberapa waktu
lalu, “...sebagai penyair, saya menolak itu (konsep puisi tidak logis). Tidak ada tulisan yang
lebih logis dari puisi.”

Saya kemudian memikirkan maknanya dan baru dari sini saya memahami bahwa, ada
beberapa puisi atau karya fiksi lain yang tidak terlalu penting untuk dipahami apa maknanya,
jika dengan memikirkan dan mencari maknanya tidak memiliki substansi seesensial proses
menikmati puisi tersebut dan seperti kata Eyang, “...meskipun puisi itu tidak perlu harus
dipahami, tapi dihayati. Penghayatan itu perlu logika.” Dan dengan begini, ketika saya
membaca dan akhirnya juga belajar menulis karya fiksi, saya mampu menerobos dinding
logika di saat bersamaan dengan saya mengolah yang di luar logika ini menjadi sesuatu yang
dapat dicari makna logisnya.

Dan, yang ketiga, yang menjadi alasan terakhir saya dalam menjadikan fiksi napas dari cerita
pengalaman adaptasi hidup saya adalah karena buku fiksilah yang pertama kali membuat saya
jatuh cinta pada aktivitas membaca.

Buku fiksi pertama yang mendorong daya tarik saya pada membaca (dan akhirnya menulis)
ialah Perihal Gendis, buku kumpulan puisi ciptaan Eyang Sapardi Djoko Damono. Pada
awalnya, saya memang buta akan puisi. Dan tentunya pada saat membaca buku ini, saya
gelagapan setengah mati, seperti ikan tawar yang mencoba hidup di air asin. Luar biasa
rasanya. Tapi anehnya—tidak aneh setelah melaluinya—saya malah dibuat penasaran
bagaimana pertalian unsur puitika di dalam buku ini bekerja membangkitkan rasa yang belum
pernah muncul ketika saya membaca buku lain. Akhirnya mulai sejak saat itu, saya mulai
belajar mencintai fiksi dan memperbanyak perbendaharaan buku fiksi yang sesuai dengan
selera saya.

Sebagai tambahan, sebelum kita membahas 3 buku teman adaptasi saya nanti, saya ingin
berterima kasih pada bacaan berkualitas dan yang kapabilitas penulis dari buku-buku terbitan
Gramedia Pustaka Utama ini tak usah diragukan lagi. Terlebih pada buku-buku karangan M.
Aan Mansyur, Sapardi Djoko Damono, Joko Pinurbo, Eka Kurniawan, Theoresia Rumthe &
Weslly Johannes, Cyntha Hariadi, Adimas Immanuel, Ibe S. Palogai, Nirwan Dewanto, Rieke
Saraswati, Norman Erikson Pasaribu, Ratri Ninditya, (dan masih banyak penulis lainnya)
yang secara khusus telah memberi pengaruh cukup penting dalam proses saya mencintai
karya sastra Indonesia. Walau saya menyebut banyak penulis di atas, tapi seperti yang saya
sebut sebelumnya, saya hanya akan menceritakan 3 buku saja dalam proses adaptasi saya
sejauh ini. Oh iya, sebelum kita beralih, saya juga ingin berterima kasih banyak kepada para
editor buku-buku GPU yang saya tahu: Siska Yuanita, Mirna Yulistianti, dan Teguh Afandi.
Entah kenapa saya merasa bahwa sentuhan proses editing dari tiga editor ini sangatlah
penting pada proses kelahiran karya-karya hebat yang sampai sekarang masih menjadi
primadona rak buku saya. Saya salut pada para pengerja seni ini, tanpa mereka, mungkin,
tidak akan pernah saya bisa membaca Melihat Api Bekerja, Lelaki Harimau, Hujan Bulan
Juni, dan buku-buku favorit saya lainnya. Keren pokoknya!

Pertanyaan Tentang Hidup

Siapa orang di dunia ini yang tidak pernah mempertanyakan tentang tujuan ia hidup di dunia
serba tak pasti ini? Mungkin hanya mereka yang belum sampai pada usia produktiflah yang
masih berpikir jangka pendek akan jadi apa dan mau ke mana menyetir biduk kehidupannya,
dalam mencari arah mata angin mana yang tidak membawa badai dan pada pelabuhan ke
berapa sauh biduk kita akan lepas dan terangkat lagi.

Begitulah kira-kira yang terjadi pada saya belakangan ini ketika sadar, di umur yang telah
menginjak kepala dua ini, hidup tidak semakin ramah, mudah dan bersahabat layaknya masa
dewasa yang dulu pada masa remaja tidak terlalu saya pikirkan esensinya dan yang dulu
masih naif sekali saya bayangkan betapa enaknya menjadi dewasa. Bukan dengan tangis dan
ratap tentunya, tapi sekarang, ketika membicarakan hidup tak pasti ini, saya kebanyakan
merayakannya dengan bercanda dan skeptisisme.

Menanggapi hidup dengan bercanda, karena mungkin sampai hari ini, meskipun tidak harus
sekarang juga, saya masih belum bisa mengurus hidup sendiri, gampangnya saya masih anak
rumahan yang nihil soal kemandirian. Dan alasan saya memelihara sikap skeptis ini, karena
saya merasa bahwa nasib saya tidak semujur hidup orang lain di usia saya. Jujur, pekerjaan
saya pun tidak semenarik pekerjaan atau perkuliahan teman-teman sejawat saya di sini.

Namun, meskipun demikian, saya mulai belajar keluar dari dua sikap saya ini. Mulai belajar
serius bercanda dan menekuni sikap skeptis dengan lebih kreatif. Sebab, kenapa saya harus
berubah menjadi orang lain yang bukan saya? Saya cukup mengubah dua sikap ini dengan
sudut pandang berbeda saja. Dengan apakah saya beradaptasi dalam pertempuran saya
dengan hidup?
Tepat seperti 3 buku yang saya tampilkan di awal, dari buku-buku inilah saya banyak belajar
tentang apa sebenarnya makna hidup dan bagaimana sikap yang harus saya pilih dari sekian
banyak pilihan untuk hidup dan bertahan hidup sejauh mana dan tidak berpikiran cetek untuk
mengakhiri hidup dengan bunuh diri sia-sia—apalagi hidup di tahun yang mana pandemi
mulai berkelindan, dan harus menyiasati cara bertahan paling ampuh dalam menghadapi
berbagai episode adaptasi hidup kita sekarang dan ke depannya.

Boleh saya bilang bahwa buku-buku inilah yang menjadi pegangan saya sejauh ini untuk
beradaptasi dan mereka secara tidak langsung telah menemani saya melalui hari-hari sulit.

Proses adaptasi pertama adalah berdamai dengan situasi pandemi Covid-19.

Buku yang menemani proses pertama ini ada dua: Salah Piknik karya Joko Pinurbo dan
Percakapan Paling Panjang Perihal Pulang Pergi karya Theoresia Rumthe & Weslly
Johannes.

Tidak mudah memang, untuk bisa berdamai dengan situasi yang serba sulit dan bikin hidup
yang sudah semrawut makin semrawut tak karuan. Tapi bukan berarti tidak ada jalan keluar
dan kiat-kiat bertahan hidup menghadapinya.

Saya banyak belajar perihal beradaptasi dengan keadaan yang sedang menimpa dan dirasakan
oleh seluruh elemen kelas manusia di seluruh dunia ini dari dua buku ini.

Pertama, saya belajar mengenai memaklumi kelambatan dari buku Salah Piknik. Bukan
keterlambatan, tapi melambat. Saya menemukan pelajaran menikmati betapa indahnya hidup
yang lambat dan tidak tergesa ini pada salah satu puisi Pak Jokpin pada halaman 20, yang
berjudul “Khotbah di Atas Becak”.

Sekilas jika diperhatikan dari judulnya, saya bisa mendengar suara lain dari salah satu bagian
dari khotbah Yesus di atas bukit dalam perjanjian baru. Namun, setelah dibaca, puisi naratif
ini tidak menghadirkan suatu doktrin tertentu seperti yang Yesus sampaikan di atas bukit.
Secara eksplisit puisi ini seperti sedang mengatakan bahwa terkadang setelah kita diberi
kesempatan berjalan jauh dan mencari tujuan hidup di kota besar—dalam puisi ini bercerita
tentang seorang anak yang kembali pulang kampung akibat bubarnya tempat ia bekerja
mencari penghidupan di ibu kota Jakarta—kita sering lupa untuk kembali dari mana kita
berasal. Dan yang menarik, Jokpin memakai bagian inti dari Becak, yakni roda, sebagai
manifestasi dari penggerak kehidupan, “Hidup ini konon seperti roda...” dan baru kemudian
pada jawaban percakapan kedua—antara si bapak dan sang anak—poin tentang belajar
menikmati kata lambat ini hadir menyihir pembaca. “Becak akan senantiasa dirindukan sebab
manusia tetap butuh mengerti perihal lambat, nikmat, dan selamat...”

Saya kemudian menemukan pesan lain—sebuah pesan implisit—dari puisi ini. Bahwa untuk
menikmati waktu yang sebentar ini, kita diajar untuk mengalami waktu lebih liat dan ulet
lagi. Dari teks ini terdapat konteks yang diam-diam memberi kita jawaban ketika kita
bertanya, “Mengapa hidupku biasa-biasa saja dan lebih condong membosankan? Apakah aku
kehilangan semangat dan butuh rehat?” Mungkin jawabannya adalah iya. Persis seperti bait
lanjutan dari puisi ini:

“Hidup ini konon seperti roda. Dulu

orang-orang kampung tersihir kota.

Kini orang-orang kota ingin menepi

ke kampung agar bisa mendengar

suara burung, suara air, suara sunyi,

suara malam, suara maut.”

Kadang untuk kita bisa mendengar suara yang selama ini kita abaikan, ada kalanya kita mesti
berbalik dari kesibukan yang bikin suntuk melulu dan kembali lagi ke awal: tempat kita
menemukan jeda antara sibuk dan kelengangan yang sesekali kita butuhkan. Dan kesimpulan
akhir dari perenungan puisi apik ini adalah, untuk apa kita memiliki ibu kota (gambaran apa
yang kita cari), sementara ibu desa (gambaran apa yang sebenarnya sudah kita miliki)
kehilangan anaknya; dengan pertimbangan: ibu desalah yang sebenarnya memberi
ketenangan dan hawa sejuk dan damai untuk anaknya yang telah lama terhilang dan ialah
yang senantiasa setia menunggu anaknya untuk kembali dan akan tetap setia menunggu
walau ditikam kemungkinan anaknya bakal melupakan dirinya. Puisi ini menjadikan saya
orang yang tidak lupa menjaga dan memelihara rasa bosan untuk sesekali kembali mengambil
jeda dan mengalami waktu lebih intim untuk berkontemplasi dan membenahi diri lebih liat
dan ulet dari keseharian rutin nan monoton sebelum-sebelumnya.

Proses adaptasi kedua saya adalah menemukan dan menerima diri sendiri.
Buku yang terkait proses ini adalah Mengapa Luka Tidak Memaafkan Pisau.

Di sini, sama seperti sebelumnya, saya tidak akan menukil semua puisi atau prosa dari buku
yang ingin saya ceritakan, di samping keterbatasan jumlah batas maksimal kata-kata yang
sudah diatur, saya terlalu kagum sehingga tidak mungkin saya utarakan kesan kagum saya
akan puisi maupun novel GPU dengan hanya 3000 kata saja di tulisan saya ini.

Oke. Sekarang mari saya ajak Anda untuk melihat salah satu puisi yang menolong saya
menemukan dan, akhirnya, menerima diri sendiri.

Puisi ini boleh saya katakan adalah salah satu yang saya favoritkan di buku ini.

“Ibuku Kepada Suaminya”, menurut saya, tengah menggambarkan kondisi ibu dari Mas Aan
yang terus mempertanyakan ke mana perginya Mansyur, suaminya, dan bagaimana cara
menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan akrab yang terus menemui dirinya setiap
saat, dan tak kunjung mendapat jawab apa-apa dari kehilangan yang terus menelan hidupnya
hidup-hidup.

Ada dua bagian puisi yang menarik dan dari sinilah saya belajar menemukan dan menerima
diri sendiri. Pertama:

“aku memanggil namamu. suaraku tebing

membentur diri sendiri. aku memanggul kata-

kataku kini.”

Di bagian ini, saya tercenung lama pada bagian yang saya miringkan. Saya merasakan
kegetiran yang sangat saat membaca dan merenungkannya sejenak. Bagian magis itu
bermakna khusus bagi saya. Saya kerap mengalami komunikasi satu pihak. Itu sakit sekali.
Saya merasakan efek dari bagaimana rasanya menjadi yang tidak diinginkan dan ketika kita
berusaha menyaringkan suara kita, untuk mendapat yang kita cari, sekali lagi, suara kita
hanya kembali kepada kita, dan nahasnya, lagi-lagi kitalah yang harus menerima kehampaan
itu. Saya sering menyangkal keadaan saya, maksud saya: nasib yang menakdirkan saya
menjadi diri saya sejauh ini.

Saya bukan anak dari keluarga yang punya ini-itu seperti kebanyakan teman-teman sebaya
saya. Orang tua saya bukan dari kasta Ksatria, apalagi golongan Brahmana. Bukan sebuah
kebetulan pula, saya punya sentimen khusus pada ayah saya. Ia seorang pengangguran.
Ketika ibu saya bertanya alasan mengapa ia menganggur, ia hanya berkilah, “Umur 58 kayak
gini siapa yang mau terima kerja.” Selalu saja ada alasan yang terbit dari kedua bibirnya.
Singkatnya, saya tidak bisa menerima keadaan saya sampai sebelum saya bertemu puisi ini.
Saya kecewa dengan diri sendiri.

Bagian kedua yang akhirnya melengkapi cerita adaptasi kali ini berkata demikian:

“aku pemilik tubuhku sendiri. aku pemeluk

ketidakyakinanku sendiri. aku sendiri & aku

tidak sendiri. kehidupan mungkin tidak terlalu

menyedihkan, jika aku mencoba mencintai

diriku sedikit lebih banyak.”

Yang akhirnya menyelamatkan saya adalah bagian ini.

Ini yang saya tangkap: pertama, meskipun saya tidak yakin bisa menemukan diri saya,
apalagi menerimanya, setidaknya, walau saya telah kehilangan diri saya, saya masih memiliki
kesendirian saya sendiri. Ini juga berarti, tidak jarang kita merasa tidak punya siapa-siapa—
karena merasa sendirian—padahal kita masih memiliki diri sendiri. Dan kita yang sendiri ini,
semestinya banyak bersyukur karena banyak pasangan orang di luar yang walau tidak sendiri,
kerap kali merasa sendiri dan tidak menemukan siapa-siapa di dalam diri pasangannya,
apalagi di dalam dirinya sendiri.

Kedua, saya ingin lebih sering belajar mencintai diri sendiri sedikit lebih banyak daripada
sebelumnya. Dengan kata lain, jika kemarin saya masih mencari sesuatu atau seseorang di
luar diri saya, dan berharap dengan cara demikian saya akan mendapatkannya, maka hari ini,
dengan sedikit lebih banyak mencintai kekosongan di dalam sini, saya tidak akan mencari-
cari lagi apa yang ada di sana.

Tepat seperti apa yang Mas Aan katakan pada beberapa kali wawancaranya: puisi yang beliau
tulis tidak ia ciptakan untuk dicari apa maknanya, tapi puisi beliau ia tulis agar pembaca bisa
menemukan apa-apa yang sedang mereka cari—dan benar, saya mendapatkan diri saya
kembali ketika membaca puisi-puisi Mas Aan.

Proses adaptasi ketiga yang saya resapi dari buku Lelaki Harimau, ialah menyadari bahwa
hidup tidak selamanya akan baik-baik saja.
Novel yang mengambil sudut pandang orang ketiga serba tahu ini dibuka dengan kasus
pembunuhan Anwar Sadat, dan dari sini saja, pembaca disentak dengan kenyataan bahwa
semakin kita mencari yang baik-baik saja dalam novel thriller ini, hal sebaliknyalah yang
akan kita temukan.

Kenyataan berikutnya yang mendukung proses adaptasi ketiga ini ialah, bagaimana masing-
masing tokoh mempunyai problem masing-masing yang menggambarkan kondisi
berkehidupan dan bermasyarakat manusia setiap hari. Saya rasa, novel surealis ini turut
menyodorkan berbagai relevansi masalah yang kita rasakan dengan porsi berbeda-beda
tentunya. Baiklah, mari kita bahas satu per satu bagaimana masalah yang hadir di novel ini
mampu saling bertalian dan berkelindan satu sama lain, dan kita bisa mengambil sesuatu dari
dalamnya dan mampu kita implementasikan nantinya. Saya harap begitu.

1. Margio

Tokoh utama kita ini saya rasa adalah bentuk manusia yang sering kita temui sehari-
hari bukan? Atau malahan ada dari salah seorang (atau banyak orang) dari pembaca
yang merasa bahwa masalah yang dihadapi Margio ialah masalahnya juga.
Saya pun begitu ketika habis menyelesaikan novel ini.
Saya merasa seperti turut berempati dan merasakan segenap pukulan dan hantaman
tangan Komar ketika melakukan kesalahan remeh sebagai seorang anak remaja, atau
ketika ia mesti patah hati dan remuk jiwanya ketika harus menelan pil pahit, yakni
menerima jawaban yang pada akhirnya, mau tidak mau, bisa tidak bisa, membuat
taring harimau dalam dirinya menerkam leher lelaki yang telah melumat habis cinta
ibunya dan yang pada saat yang sama, hanya menganggap cinta ibunya sebagai nafsu
belaka dan ia tidak mencintainya sama sekali.
Tidak berhenti sampai di sini, ketika kita diperhadapkan dengan masalah rumit dan
berat, apalagi jika pembaca hidup dan mencari pangan dan nafkah di kota besar—
dengan beban yang tidak main-main—apakah yang akan menyelamatkan diri kita
selain minuman keras dan teman yang berengsek, tapi kita menyayangi dua kawan
pembebas masalah sementara kita ini.
Saya rasa ketika Margio lelah dan sungguhlah penat memikirkan konflik keluarganya
yang tiada habis, sahihlah apa yang ia lakukan. Kabur dari rumah, mencari hiburan
(sirkus kota yang hadir sementara di desanya), dan setelah gagal dan kecewa sekali
lagi, solusi terakhirnya adalah menghabiskan waktunya di warung Agus Sofyan
dengan minum sepuas dan sesuka hatinya dengan tujuan, tentunya: kembali
merasakan masa di mana ia tidak perlu tahu nasib sial akan menimpanya.
Saya, jujur, dulu pun ketika dimarahi ayah saya karena malas belajar ketika masih
duduk di bangku kelas 4-5 SD, saya memilih kabur dari rumah, dan ujung-ujungnya
dicari oleh ibu saya, dan tetap saja, ketika pulang, karena tak tahan di luar rumah
tanpa punya keluarga dan uang, saya masih kena marah dan pukul oleh ayah saya.
Tapi untungnya, saya lekas menyadari bahwa kesalahan tetap saja salah meskipun
banyak orang melakukannya dan kebenaran tetap benar meskipun tidak ada orang
yang melakukannya. Dan tentunya, mana kenal saya dengan minuman keras pelega
dahaga jiwa orang dewasa kala dulu.
2. Nuraeni
Wanita malang ini, menurut saya, juga adalah representasi umum dari banyak wanita
yang mungkin jauh lebih malang nasibnya.
Ia mendambakan bunga cinta tumbuh subur pada halaman rumah hatinya ketika ia
berharap akan mendapat surat cinta dari Komar ketika ia bekerja di kota dan berharap,
sekalipun ia tidak seromantis pacar teman-teman wanitanya di kampungnya,
setidaknya ia memperoleh pekerjaan yang lumayan penghasilannya daripada bekerja
sebagai tukang cukur tidak berperasaan seperti akhir dari kisah asmara mereka.
Ia juga tidak pernah memimpikan mendapat perlakuan tak enak dari suami konyolnya
itu. Ia, saya rasa, juga sebenarnya hanya ingin hidup normal dan merdeka seperti
kehidupan keluarga bidan Kasia, tapi kehidupan keluarga Kasia tidak seperti
keharmonisan yang tampak di luar. Memang benar mungkin keluarga ini sangat
hangat bila berada di depan televisi di saat senja membenamkan diri dan amat ramah
pada anak-anak yang numpang nonton di beranda rumahnya, tapi di dalamnya, tidak
akan ditemui kehangatan serupa.
Terakhir, yang mampu saya rasakan dan saya resapi sebagai bentuk adaptasi dari
episode cerita tokoh Nuraeni dalam novel Mas Eka ini, ialah tidak terlalu banyak
berharap dan berekspektasi muluk-muluk kepada lajur kehidupan kita sebagai
manusia, karena mau tidak mau, bisa tidak bisa, kehidupan mesti kita lalui setiap
harinya tanpa harapan mulus-mulus saja tanpa masalah. Sebelum harimau putih itu
keluar menerkam apa saja dihadapannya, kita perlu mengekangnya dengan tidak
memberi pakan harapan serba baik-baik saja kepada jiwa kita. Saya tidak akan
menyarankan

Anda mungkin juga menyukai