Anda di halaman 1dari 3

Cerita Sehari : Tanggal Tujuh, Saya Telah Menyelesaikan A

Sudah lebih dari 2 minggu saya melakukan self quarantine di rumah. Diluar, keadaan sedang tidak baik-
baik saja dan akan lebih aman jika menetap di rumah saja. aman bagi diri sendiri, dan orang-orang
disekitar kita. Oh iya foto thumbnail pada postingan ini diambil di salah satu kafe di daerah Toddopuli
Timur, Makassar. Bisa dibilang kafe ini adalah kafe terakhir yang saya datangi sebelum adanya instruksi
pemerintah untuk #dirumahaja.

Terlihat dari gambar diatas, saat itu saya sedang menyelesaikan buku Student Hidjo. Salah satu buku
yang naskanya diterbitkan sebagai cerita bersambung di Koran nasional tahun 90an. Awal kesadaran
saya timbul dari membaca buku ini. Namun kesadaran itu memunculkan kehawatiran setelah membaca
buku Gadis Pakarena karangan Krisna Phabicara dan Parfum karangan Arwan Tuti.

Ketiga buku ini merupakan buku yang ditulis rentang 90an sampai 2006 (kalau tidak salah). Ketiga buku
ini punya satu kesamaan yang sudah jarang saya temui di buku-buku saat ini: kaya akan
pembendaharaan kata. Betul. Buku-buku yang saya sebutkan diatas, membuat saya sesekali membuka
kamus besar bahasa Indonesia karena tidak mengetahui arti dari satu-dua kata. Terutama saat membaca
Gadis pakarena.

Tidak hanya buku diatas, namun saya juga menyadari pola kekayaan bahasa ini dari buku-buku yang
ditulis Dee, Eka kurniawan, juga Kahlil Gibran. Saya sebagai pembaca diam-diam iri dengan gaya
bercerita, kepadatan alur, dan keberanian penulis-penulis dalam mengeksplorasi tokoh-tokoh mereka.
ketiga hal ini tentu sangat berpengaruh dengan kekayaan kata yang dimiliki penulisnya, dan tentu perlu
kemauan besar untuk mempelajari itu. salah-satu cara untuk memperkaya wawasan kebendaharaan
kata yakni dengan membaca. Saya jadi teringat perkataan seseorang, untuk menjadi penulis kau harus
jadi pembaca terlebih dahulu.

*****

Sejak beberapa tahun yang lalu saya suka menulis. Apa saja. kadang cerpen, kadang puisi, kadang artikel
jalan-jalan, dan saya paling suka dengan review dari buku yang saya baca. Sering sekali saya merasa
tulisan saya terlalu mentah, terlalu sederhana. Saya mencoba menemukan ide cerita yang WAH, namun
seringkali berhenti di tengah jalan. Sering kali, ketika membaca satu atau dua paragraf diawal, saya
merasa ide hebat itu tidak bisa dihidupkan dengan kemampuan menulis diri ini yang biasa-biasa saja.
Padahal, tidak perlu ide mahaluarbiasa seperti Harry Potter. Ide yang biasa namun dengan eksekusi
mantap justru lebih diminati pembaca. Misalnya percintaan SMA anak geng motor dan siswi pindahan
dari Jakarta, faktanya bisa terjual berjuta kopi, sampai diangkat ke layar lebar. Saya pun ketika membaca
bukunya sangat terhibur meski alur ceritanya biasa saja. disitu saya menyimpulkan: Alur cerita pada
beberapa buku tidak terlalu memengaruhi.

Mas Pidi berhasil menghidupkan ceritanya dengan gaya bercerita yang singkat tapi ngena juga
penggambaran karakter yang begitu kuat. Tentu ditambahi bumbu romansa (semua orang suka
membaca tentang cinta). Sayangnya, kemampuan menciptakan cerita hebat dengan memperkuat pada
bahasa, alur dan karakter tokoh tidak mudah. Salah satu yang penting (sekali lagi) adalah
pembendaharaan kata.

Maka dari itu, sejak hari ke-6 dibulan April saya bertekad untuk membaca kamus sinonim (online) dan
menulis kata-kata yang asing bagi saya. Kata-kata ini adalah kata yang (mungkin) saya gunakan di
beberapa cerita-cerita pendek selanjutnya:

1. Absah: Asli/betul/sah
2. Absen: Mangkir
3. Adakala: Terkadang
4. Alem: Menyanjung
5. Ampas: Kelodak
6. Angkasa: Sawang langit
7. Anglo: Tungku
8. Arkais: Antik/kuno
9. Arogan: Angkuh/bengah
10. Adem : Ayem

Cita-cita saya, saya ingin senang dengan hal-hal apapun yang saya tulis. Kadang saya malu membaca
buku/cerpen yang telah saya selesaikan karena merasa mereka semua mentah. Kadang juga kawan-
kawan yang mendengar ini justru bingung dan bilang saya tidak seharusnya begitu. Tapi saya
memandang fenomena ini pada sudut lain.

Misalnya, saya menyelesaikan buku A pada tahun 2016. Sebuah penerbit menerbitkannya dan saya
sangat bangga melihat sampulnya, juga membaca isinya. Lalu tiga bulan setelahnya saya membaca buku
itu kembali. Hasilnya? Saya benar-benar malu. Pada sudut pandang lain, bukankah malu pada karya
sebelumnya berarti rasamu lebih berkembang dibanding tiga bulan lalu?
Tentu saya cinta buku-buku saya, makanya saya sematkan anak pertama, anak kedua, dan seterusnya.
Tapi kita harus berkembang juga. Sayang sekali jika hanya itu-itu saja, stagnan. Membaca kamus sinonim
dan menulis kata baru menjadi salah satu upaya saya untuk maju.

Salam.

Anda mungkin juga menyukai