Anda di halaman 1dari 10

Hal- hal yang Saya Pelajari sebagai Pustakawan

M Aan Mansyur

“A library in the middle of a community is a cross between an emergency exit, a

life raft, and a festival. They are cathedrals of the mind; hospitals of the soul; theme

parks of the imagination.”-Caitlin Moran, The Library Book

Saya percaya dalam diri setiap manusia tertanam sekurangnya satu dendam

masa kecil. Dendam itu, besar atau sepele, banyak atau sedikit, disadari atau tidak,

tumbuh dan memengaruhi hidup kita hingga dewasa.

Saya lahir di kampung kecil di mana saya tak bisa mengakses buku bacaan,

kecuali di perpustakaan kakek saya yang isinya tidak seberapa. Saya marah dan

membawa kemarahan itu sampai sekarang.

Saya selalu ingin masuk sekolah berperpustakaan bagus. Namun, di kabupaten

tempat saya menghabiskan masa kecil saya, perkara semacam itu sama dengan urusan

mencari took permen di tengah hutan.

Tamat SMA, pada 1997, saya tidak lanjut kuliah dan berangkat ke Makasar hanya

demi menghabiskan satu tahun usia saya dengan membaca buku dan menjadi anggota

di semua perpustakaan yang mengizinkan saya. Ketika akhirnya kuliah, bersama

sejumlah kawan, saya membuat ruang baca di Komunitas Ininnawa.

Selain ruang baca kecil yang tidak pernah ramai itu, kami bikin Perpustakaan

Punggung; kami berangkat ke kampus, nyaris tiap hari, dengan tas punggung yang

cukup berat untuk membuat siapa pun bungkuk. Tas kami berisi buku-buku yang boleh

dipinjam teman-teman kami yang lain. Namun, anda tahu, pergi ke kampus saja sudah
berat minta ampun, terutama bagi pemalas seperti saya, apalagi harus membawa

puluhan buku.

Bersama mantan kekasih (semoga dia hidup bahagia bersama kekasih dan anak-

anaknya) dan beberapa sahabat, pada 2004, kami mendirikan Kafe Baca Biblioholic.

Tempat itu berhenti beroperasi sejak 2011. Namun, dua tahun lalu, bersama sahabat-

sahabat yang lain (saya selalu beruntung dikelilingi orang-orang baik hati seperti

mereka) kami kembali membangun perpustakaan komunitas di mana sekarang saya

tinggal dan bekerja sebagai salah satu pustakawan. Namanya: KataKerja.

Selama hampir 20 tahun terakhir, bisa dibilang begitu, saya hidup di

perpustakaan dan berikut beberapa hal yang saya pelajari.

1. Memiliki banyak buku bukan gaya hidup yang baik dan sama sekali tidak layak

dibanggakan. Jika senang membaca, anda akan menghabiskan banyak uang

membeli buku. Dunia pnerbitan buku adalah dunia industry. Memajang banyak foto

buku di Instagram, sepetrti ynag kerap saya lakukan, tidak berbeda dengan

memajang foto-foto jam tangan, mainan terbaru, atau kota terkahir yang dikunjungi.

Membeli banyak buku – meskipun lebih bagus daripada membeli banyak telepon

genggam atau pakaian model terbaru – tetaplah laku konsumsi. Jika anda

penggemar serial Herry Potter, misalnya, anda cenderung berusaha menonton

filmnya dan membeli pernak-pernik yang berhubungan dengan buku tersebut.

Begitu industry bekerja.

Hasil penelitian Rahma Sugiharti yang terbit jadi buku berjudul Membaca, Gaya

Hidup, dan Kapitalisme (Graha Ilmu, 2010) mengulas cukup baik mengenai hal ini.
Semakin banyak anda membeli buku, semakin anda memperkaya segelintir

pengusaha buku. Terutama, jika anda hanya mau belanja di jaringan toko-toko buku

buku besar semacam Gramedia. Monopoli kelompok Gramedia tidak akan membuat

dunia perbukuan di Indonesia sehat.

Saya tidak menyarankan anda berhenti beli buku. Selain pustakawan, saya seorang

penulis dan, tentu saja, saya ingin orang lain membeli buku-buku saya. Tetapi,

berbeda dengan pakaian, satu buku bisa digunakan oleh banyak orang selain anda.

Belilah buku-buku bagus, tapi jangan semata demi kepentingan sendiri – dan jangan

untuk tujuan supaya Anda bisa tampak lebih berbudaya daripada orang lain. Buku,

seperti barang-barang lain, bisa tampil sebagai simbol-simbol semu kelas tertentu.

Buku punya kekuatan menjadi benteng tebal yang memisahkan anda dari orang lain.

2. Semua orang ingin jadi penulis, tetapi tidak ada orang yang mau jadi pembaca.

Kedengarannya lebay, tetapi saya piker anda paham maksud saya.

Di perpustakaan-perpustakaan yang saya sebutkan di atas, sejak 2004, kami rutin

membuka kelas penulisan. Sekarang, di Kata kerja, kelas semacam itu dilaksanakan

saban Kamis sore. Gratis.

Persoalan utama dari hampir semua peserta kelas tersebut adalah malas membaca

buku. Saya percaya kelas-kelas penulisan tidak akan banyak membantu siapa pun

untuk menjadi penulis – apalagi sekadar membaca tips para penulis di Twitter.

Menulis adalah perkara berpikir dan untuk bisa berpikir dengan baik kita butuh

membaca banyak buku yang bagus.

3. Membaca adalah pekerjaan berbahaya. Anda barangkali meihat aktivitas membaca

hanya berupa petualangan dari satu halaman ke halaman lain. Perjalanan dari satu

hal-aman ke hal-aman yang lain. Anda salah.


Pertama, anda bisa resah karena banyak membaca buku. Kedua, karena resah, anda

berpikir untuk mengubah hal-hal yang anda anggap salah – dan kemungkinan anda

marah kepada diri sendiri karena menyadari anda adalah salah satu penyebab

masalah. Ketiga, semakin banyak membaca buku, anda semakin tahu bahwa anda

sebetulnya bodoh – dan siapa pula yang mau melakukan hal bodoh mengakui

dirinya bodoh.

Untuk menyemangati para pustakawan, di salah satu jendela Katakerja ada tulisan

seperti ini: If you feel you’re stupid, read books. If you think you’re smart, read

more books.

4. Semua orang mencintai kesunyian. Jika anda menyangkalnya, mungkin anda sedang

ada masalah besar dengan diri anda sendiri.

Kita butuh kesunyian dan karena itulah kita mengenal liburan, piknik, pelesir, atau

apa pun Namanya. Tetapi, manusia adalah hewan yang aneh. Mereka menghabiskan

banyak uang berlibur untuk mencari ketenangan, tetapi pergi ke tempat-tempat

ramai.

Saya menulis catatan ini dari salah satu tempat paling sunyi di Makassar, di ruang

baca Katakerja, tempat yang jarang sekali jadi tujuan piknik warga di kota ini.

5. Anda bisa lepas dari penilaian yang anda tidak suka dari orang lain. Orang-orang di

sekitar anda, terutama yang tidak mengenal anda, dipenuhi prasangka dan hasrat

untuk menilai anda, apa pun yang anda lakukan. Anda suka atau tidak, dunia

semacam itulah yang kita huni sekarang.

Tetapi, anda bisa membaca kapanpun, di perpustakaan, tanpa perlu khawatir disebut kutu

buku, kurang pergaulan, atau talekang. Kata terakhir adalah istilah yang kerap dipakai di

Makassar. Artinya, sila anda cari sendiri.


6. Buku adalah media sosial yang baik — dan media anti-sosial yang menarik. Jika anda

melihat seseorang membaca buku, sebetulnya anda sedang melihat sebuah buku

menyarankan kepada anda seorang teman atau mungkin kekasih. Saya bertemu

dengan mantan-mantan kekasih saya pertama kali di perpustakaan. saya bertem istri

saya, pacar pertama saya, di perpustakaan sekolah. Nyaris semua orang yang

sekarang saya sebut sahabat saya temukan dengan perantara buku.

Membicarakan atau mendiskusikan buku bersama orang lain yang juga senang membaca

buku adalah satu dari sedikit kebahagiaan yang tidak mahal — dan jauh lebih baik daripada

ikut membicarakan gosip terbaru para selebritas. Saling bertukar buku, tentu saja, juga lebih

baik dibandingkan dengan bertukar pasangan.

Salah satu hal yang kami bayangkan mengenai Katakerja adalah menjadikannya

media sosial offline di Makassar. Buku-buku di Katakerja bahkan tidak ditata

berdasarkan kategori atau genre tertentu, sebagaimana umumnya perpustakaan,

agar para pengunjung dan pustakawan memiliki satu lagi alasan untuk melakukan

percakapan. Di Katakerja, kami menyebut pustakawan sebagai pusatkawan.

Tetapi, cara paling ampuh, menurut pengalaman saya, untuk menghindari

perbincangan dengan orang yang menyebalkan di tempat umum adalah membaca

buku. Cara terbaik kedua dan ketiga adalah menampar dan meninggalkannya. Jika

anda tidak pernah melakukannya, bawalah buku di tas ke manapun anda pergi, dan

selamat mencoba.

7. Berlaku adil adalah hal tersulit pertama dari sepuluh hal paling sulit bagi

manusia. Hal kedua, ketiga, dan seterusnya, saya belum tahu.


Semua buku di Katakerja bisa dipinjam secara cuma-cuma oleh para anggotanya. Tetapi, jika

anda mau jadi anggota, ada syaratnya: menyetorkan minimal dua judul buku yang menurut

anda penting untuk dibaca oleh orang lain. Hanya itu.

Kami membayangkan perpustakaan Katakerja dikelola dan dimiliki secara komunal

oleh para anggotanya. Kami juga berharap koleksinya adalah sekumpulan buku

penting yang disarankan oleh banyak orang. Kami membangun Katakerja bukan

untuk jadi pahlawan literasi atau semacam itu. Lagi pula, sekarang manusia mungkin

tidak butuh pahlawan sama sekali.

Reaksi orang yang pertama kali berkunjung ke Katakerja umumnya kaget dan

bingung. Mereka kaget menemukan sejumlah buku yang sudah lama mereka cari

ternyata ada di Katakerja. Mereka bingung karena tidak tahu mereka harus membaca

yang mana lebih dulu. Tetapi, tentu saja, mereka hanya boleh membaca di tempat

karena belum menyetor buku.

Beberapa hari kemudian mereka datang membawa dua buku yang sudah lama ingin

mereka singkirkan dari rak buku mereka — karena mereka barangkali menyesal telah

mengeluarkan uang untuk membelinya.

Tidak semuanya seperti itu. Ada beberapa orang yang dengan baik hati

menyumbangkan buku-buku mereka yang betul-betul bagus.

Tetapi, tampaknya kita memang belum bisa dan belum terbiasa berlaku adil. Kita

selalu menuntut hal terbaik dari orang lain, tetapi tidak mampu melakukan hal

sebaliknya.

8. Berciuman cuma bisa dinikmati bersama, jika kedua orang yang melakukannya sadar

dan saling percaya. Mungkin kata berciuman tidak pas — tapi itu yang sedang saya

pikirkan sekarang. Maksudnya, saya butuh kopi.


Ini salah satu pertanyaan dari orang-orang yang pertama kali berkunjung ke Katakerja yang

paling sering saya dengar: tidak takut buku-bukunya hilang atau tidak dikembalikan?

Kami khawatir. Tentu saja. Pacar saja bisa diambil orang lain, apalagi buku. Tetapi,

ada banyak hal yang bisa kami pelajari dengan membuka perpustakaan. Salah

satunya: belajar percaya kepada orang lain.

Kita hidup di masa yang penuh kecurigaan dan, saya pikir, itu perangkap besar yang

bisa membuat kita tidak mampu berbuat apa-apa untuk orang lain. Kita cuma mau

melakukan hal-hal tertentu demi kepentingan diri sendiri.

Kami ingin melihat Katakerja menjadi ruang di mana orang-orang bertemu, berbagi,

belajar bersama, dan melakukan banyak kerja kolaborasi. Dan salah satu modal

utama untuk melakukannya adalah percaya. Kami harus belajar percaya kepada para

pengunjung, dan sebaliknya.

9. Buku-buku yang sudah dibaca sering kali tidak lebih berguna dibandingkan dengan

buku-buku yang belum dibaca. Saya meminjam pernyataan tersebut dari Umberto

Eco. Di salah satu bukunya, Nassim Nicholas Taleb membicarakan hal itu dan

menyebut koleksi buku yang tidak dibaca sebagai antilibrary.

Para pengunjung Katakerja sering bertanya kepada saya: sudah baca semua buku ini? Tentu

saja tidak. Salah satu alasan saya menjadi pustakawan dan penulis adalah karena saya malas

membaca. Para pustakawan Katakerja sebetulnya tidak lebih sekumpulan pemalas. Katakerja

kami bikin, salah satunya, untuk jadi sekolah buat kami.

Kedua pekerjaan itu, penulis dan pustakawan, memaksa saya membaca. Namun,

dikelilingi oleh buku-buku yang belum saya baca punya fungsi penting dalam hidup

saya. Setiap kali melihat buku-buku yang belum saya baca, saya merasa sangat bodoh
karena ada terlalu banyak hal yang belum saya ketahui di sekitar saya— dan karena

itu membuat saya ingin membaca lagi.

Membaca buku adalah salah satu pekerjaan paling sulit yang saya tahu — dan itulah

alasan kenapa banyak orang tidak suka membaca buku.

10. Perpustakaan komunitas bukan tentang buku, tetapi tentang manusia. Banyak orang

— termasuk dan terutama pemerintah — masih memandang perpustakaan semata

sebagai tempat membaca dan meminjam buku. Hal paling penting dari perpustakaan

adalah apa yang bisa dilakukan oleh manusia di dalamnya. Buku hanya alat.

Perkakas.

Jika sekadar perkara buku, semua orang berduit bisa memiliki perpustakaan di rumah

masing-masing. Tetapi, memiliki perpustakaan rumah, selengkap apa pun, tidak akan

membuat anda bertemu dengan orang baru setiap hari di ruang baca anda.

Perpustakaan komunitas adalah tempat untuk belajar dan melakukan kerja-kerja

bersama yang setara, partisipatif, dan demokratis. Setiap saat kita bisa membaca di

Twitter, Facebook, atau di manapun di Internet orang-orang cerdas tidak lelah

melontarkan ide-ide mereka mengenai hal-hal besar atau, misalnya, gerakan

melawan kekuasaan negara yang bebal dan tidak adil. Tetapi, salah satu persoalan

terbesar kita adalah tidak terbiasa mengerjakan hal-hal kecil bersama — sehingga

terlalu sulit untuk bisa melakukan satu hal besar bersama-sama. Lupakan saja dulu

revolusi!

Salah satu fungsi perpustakaan komunitas adalah menjadi ruang publik alternatif di

mana kita bisa berlatih mengerjakan hal-hal kecil bersama.


11. Kita berpikir bahwa kartu kredit lebih penting daripada kartu perpustakaan. Saya

sangsi anda memiliki kartu perpustakaan — dan saya tidak perlu meminta maaf

karena itu.

Tidak memiliki kartu kredit adalah satu dari sedikit hal yang bisa saya banggakan di depan

teman-teman saya. Setidaknya, tidak seperti sebagian dari mereka, saya terbebas dari surat

tagihan bulanan. Kartu kredit, meskipun tidak menyerupai tali, sebetulnya adalah jerat yang

bagus untuk leher anda sendiri.

Kita tidak menganggap penting kartu perpustakaan, salah satunya, karena kita hidup

di kota yang jumlah mall dan ATM-nya jauh lebih banyak daripada perpustakaan.

Lagi pula, anda mungkin berpikir, berbelanja membuat anda tampak lebih keren

daripada membaca.

12. Perpustakaan komunitas adalah satu dari sedikit utopia nyata yang tersisa. Saya

meminjam istilah Erik Olin Wright dari bukunya Envisioning Real Utopias (Verso,

2010). Istilah yang diperkenalkan Erik tersebut sepintas

tampak oxymoron, mengandung kontradiksi yang parah dalam dirinya sendiri.

Real Utopia tidak sesederhana itu.

Prinsip distribusi yang berlangsung di toko buku adalah “kepada setiap orang sesuai

kemampuan membayar”. Di toko buku, anda dinilai menurut isi dompet anda — yang

barangkali bukan uang anda, karena anda menggunakan kartu kredit.

Jika anda pergi ke perpustakaan komunitas dan tidak menemukan buku yang anda

butuhkan, misalnya, anda akan meminta pustakawan untuk memasukkan nama anda

di daftar tunggu. Orang lain yang meminjam buku yang anda butuhkan akan merasa

bersalah jika belum mengembalikannya tepat waktu. Prinsip distribusi yang berlaku

di perpustakaan komunitas adalah “kepada setiap orang menurut kebutuhan”.


Pada bagian itu, saya tidak sepakat dengan orang yang mengatakan toko buku adalah

surga di dunia. Saya lebih setuju ungkapan Jorge Luis Borges. “Saya selalu

membayangkan surga,” katanya, “seperti perpustakaan.”

Dan semua hal yang saya sebutkan di sepanjang tulisan ini sudah cukup untuk

membuat kita — atau setidaknya saya — percaya bahwa perpustakaan komunitas bisa

menjadi dunia fantasi yang nyata. Real utopia. Surga.

. . .

Jika anda sepakat dengan hal-hal yang ada di tulisan ini, ada beberapa hal yang bisa

anda lakukan. Pertama, mendukung perpustakaan komunitas di sekitar anda. Sila

cari sendiri caranya. Kedua, ajak teman-teman anda membangun perpustakaan

komunitas baru. Percayalah, kita tidak lantas jadi lebih penting atau lebih keren,

apalagi lebih mulia, daripada siapa pun hanya karena ada ribuan buku di dekat

tempat tidur kita sendiri. Ketiga, yang paling ringan, sebarkan tulisan ini.

Terima kasih —

Anda mungkin juga menyukai