Anda di halaman 1dari 100

Aku dan Buku

Busyra, Abduraafi Andrian, Maura Fanessa,


Truly Rudiono, Pauline Destinugrainy Kasi,
Teddy W. Kusuma, Nurina Widiani,
Alvina Ayuningtyas dan Selviya Hanna
Aku dan Buku

Penulis:
Busyra, Abduraafi Andrian, Maura Finessa, Truly Rudiono,
Pauline Destinugrainy Kasi, Teddy W. Kusuma,
Nurina Widiani Alvina Ayuningtyas dan Selviya Hanna

Editor
Dion Yulianto

Cover dan Layout


Percetakan eLtorros

diterbitkan oleh:
bukuKatta

Cetakan Pertama, April 2018

ISBN: 978-602-0947-85-3

Perpustakaan Nasional RI: Katalog Dalam Terbitan (KDT)


Aku dan Buku
Busyra, dkk. Cetakan 1, April 2018
100 halaman : 13 x 19 cm
ISBN: 978-602-0947-85-3
I. Non Fiksi II. Busyra, dkk.

2
“Books are a uniquely portable magic.”
― Stephen King, On Writing: A Memoir of the Craft

3
Daftar Isi

Manusia Makhluk Membaca ~ 5

Perpustakaan, Penggerak Literasi Tanpa Tanda Jasa ~


9

Aku, Si Generasi Milenial yang Doyan Beli Buku ~ 19

Buku ~ 25

Asuransi Buku ~ 33

Buku di Ujung Jarimu ~ 41

Gaijin Penjual Buku Terakhir ~ 49

Saya dan Romantisme ~ 59

Buku, teman Terbaik seorang introver ~ 69

Neil Gaiman: Mengapa masa depan kita bergantung


pada perpustakaan, membaca, dan fantasi ~ 79

4
Manusia
Makhluk Membaca

Manusia adalah mahluk membaca. Tumbuhan dan


hewan tumbuh dan berkembang biak, sebagaimana
manusia, tetapi mereka tidak membaca. Bisa
diibaratkan, membaca adalah satu keistimewaan yang
hanya diberikan Tuhan kepada umat manusia.
Bahkan, ada anekdot yang menyebut penyebab
punahnya bangsa dinosaurus adalah karena mereka
tidak membaca ha ha ha. Agak berlebihan memang
anekdot tersebut, tetapi besarnya manfaat membaca
sama sekali tidak dilebih-lebihkan. Para ahli sepakat
bahwa membaca ibarat olahraganya otak. Jika raga
membutuhkan gerak tubuh agar tetap sehat maka
pikiran juga membutuhkan gerak pikiran untuk
menjaganya tetap waras. Dan, salah satu gerak pikiran
itu adalah dengan membaca.
Lana Winter-Hébert dalam artikelnya “10
Benefits of Reading: Why You Should Read Every Day”
menguak sepuluh manfaat positif dari aktivitas

5
membaca. Salah satunya, membaca sebagai pereda
stres. Konon, saat sedang membaca, pikiran seseorang
akan teralihkan sejenak pada buku yang sedang
dibacanya. Segala persoalan, beban pikiran,
kekecewaan, kesedihan seolah tersisihkan untuk
sementara. Memang membaca tidak langsung dapat
menyelesaikan masalah yang ada, tetapi membaca
membantu menjernihkan sekaligus menenangkan
pikiran sehingga kita bisa menghadapi masalah secara
lebih baik. Manfaat satu ini benar-benar dibuktikan
oleh seorang ibu hebat yang dikisahnya turut
diceritakan di buku ini. Betapa membaca buku telah
membantunya untuk tetap waras saat menjalani
kehamilan pertamanya yang sangat berat.
Buku memang memiliki kekuatan ajaib untuk
memindahkan pembaca menuju tempat-tempat dan
waktu-waktu yang jauh. Buku juga memungkinkan
pembaca mengalami petualangan yang mungkin tak
akan pernah bisa mereka alami di dunia nyata,
termasuk petualangan cinta. Orang bilang, kisah cinta
yang sempurna hanya ada di novel-novel picisan
semata. Tetapi, dari kisah-kisah cinta yang mungkin
terlalu indah untuk menjadi nyata ini banyak orang
menemukan suaka kehidupannya. Seperti satu
pembaca genre roman yang turut berbagi kisahnya di
buku ini. Baginya, cerita-cerita roman telah
memberinya semangat dan kekuatan untuk jatuh cinta
setiap harinya. Ia jatuh cinta pada kehidupannya, pada
keluarganya, pada pekerjaannya, kepada apa pun

6
bagian hidup keseharian yang tengah dijalaninya
sehingga apa pun halangan yang datang akan tetap
disyukuri. Bahkan katanya, membaca cerita cinta bisa
membuat kita jatuh cinta untuk kedua dan ketiga
kalinya tanpa benar-benar berkhianat. Manis sekali.
Ada juga yang saling dipertemukan karena buku.
Bukankah akan sangat menyenangkan jika sebuah
perkenalan dimulai dengan sebuah buku? Kesukaan
akan sebuah buku atau pengarang yang sama
seringkali merekatkan beberapa individu karena minat
yang sama. Seperti yang dialami oleh Post Santa yang
mengisahkan pengalaman menarik mengunjugi
sebuah toko buku di Jepang. Adalah Dominic Jason
Ward, sosok yang membuktikan betapa orang-orang
yang begitu mencintai buku itu masih ada di dunia
yang serba digital ini. Pria asal Inggris ini memilih
meninggalkan kenyamanan masa tuanya demi sebuah
toko buku kecil miliknya sendiri. Memang, salah satu
cita-cita para pecinta buku adalah memiliki sebuah
toko buku sendiri. Dan, dari kisah yang dibagikan Post
Santa di buku ini, kita mungkin akhirnya bisa
memahami alasan-alasan tersembunyi para
bibliomania dengan obsesi mereka yang luar biasa
terhadap buku.
Kisah-kisah indah tentang buku memang selalu
menarik untuk dituliskan. Sebagaimana buku, setiap
pembaca juga memiliki kisah-kisahnya sendiri
berkenaan dengan buku. Sebagaimana kita bisa
temukan begitu banyak imajinasi tak terbayangkan

7
dalam setiap buku baru yang kita buka lembar-
lembarnya, banyak pembaca juga memiliki imajinasi
istimewa terkait buku-buku kesayangan mereka.
Pernahkah terpikirkan oleh kita betapa buku juga
layak diasuransikan? Tulisan seorang pecinta slash
penimbun buku Truly Rudiono tentang
mengasuransikan buku benar-benar ide segar.
Selengkapnya silakan dibaca sendiri untuk
mengetahui bagaimana ide seindah itu bisa muncul
dari seorang pembaca yang pastinya sudah melahap
ribuan buku.
Setiap buku punya ceritanya sendiri, begitu juga
setiap pembaca. Buku membawa cerita, dia juga
menciptakan cerita-cerita baru bersama para
pembacanya. Seseorang mengenang buku pertama
yang dibacanya. Yang lain selalu terkenang
perpustakaan pertama yang mengenalkannya pada
buku-buku. Lebih banyak lagi yang hidupnya berubah
menjadi lebih baik berkat buku. Buku mendekatkan
kita dengan orang-orang yang hidup di zaman yang
lama berselang, juga yang tinggal di tempat-tempat
dan waktu-waktu yang jauh. Pada akhirnya, buku-
buku akan mendekatkan mereka yang sama-sama
mencintai buku untuk merayakan buku. Karena jika
cokelat saja dirayakan, maka buku jauh lebih berhak
untuk dirayakan.

Dion Yulianto

8
Perpustakaan, Penggerak
Literasi Tanpa Tanda Jasa

Satu pertanyaan yang lazim ditanyakan kepada orang


yang gemar membaca adalah: sejak kapan dia suka
membaca? Sebagian orang menjawabnya dengan
menyebutkan suatu angka usia atau satu tahun
tertentu, yang lainnya menyebut satu buku tertentu
yang telah menggerakkan mereka untuk kembali suka
membaca. Sayangnya, saya tidak ingat dengan pasti
kapan atau buku yang mana karena sepanjang yang
saya ingat, saya selalu akrab dengan buku. Namun,
jika ditanya perpustakaan pertama mana yang saya
kunjungi, saya langsung teringat pada sebuah ruang di
masa kecil yang telah memperkenalkan saya pada
serial Trio Detektif, Hawkeye & Amy, sampai Sherlock
Holmes.
Saat itu mungkin saya masih duduk di bangku
taman kanak-kanak, atau mungkin sudah memasuki
awal sekolah dasar. Tidak jauh dari rumah yang
sampai hari ini masih saya tinggali, ada sebuah TPA

9
(Taman Pengajian al-Qur’an) yang menyatu dengan
masjid. Tempat itu menyediakan semacam
perpustakaan untuk umum. Saya dan saudara-saudara
saya sebenarnya tidak ada yang belajar mengaji di
sana, tetapi entah bagaimana mulanya, kami lalu
menjadi pengunjung tetap perpustakaan itu. Pada sore
hari, kami akan memilih-milih beberapa buku untuk
kami nikmati di rumah. Tempatnya tak begitu luas,
kira-kira sekitar sepuluh atau beberapa belas meter
persegi, dengan rak-rak yang tak begitu banyak. Tapi,
perpustakaan kecil itu cukup menjadi sumber harta
karun bagi anak-anak selama beberapa tahun.
Awalnya, saya hanya meminjam buku-buku
anak bergambar dengan teks yang relatif sedikit
karena saya baru bisa membaca kalimat-kalimat
sederhana. Tetapi, kakak-kakak saya sudah meminjam
novel anak yang lebih panjang, seperti serial STOP dan
Trio Detektif. Perlahan, jenis bacaan saya pun
meningkat sehingga kami bisa membaca bergantian
buku-buku yang kami pinjam. Saya ingat bagaimana
dulu saya seringkali berusaha mengejar ketertinggalan
dari kakak-kakak yang sudah membaca lebih banyak.
Cerita-cerita mereka tentang buku ini dan itu—
mungkin ditambah sedikit bocoran cerita—menjadi
salah satu motivasi saya untuk terus membaca. Dari
situ, saya lalu menjadikan mereka sebagai tempat
bertanya tentang apa saja buku-buku yang bagus.
Sayangnya, perpustakaan tersebut sudah keburu tutup

10
meskipun kami belum sempat membaca semua buku
yang ada di sana.
Hingga hari ini, saya masih tidak lebih tahu
tentang perpustakaan itu ketimbang dulu: siapa
pengelolanya, dari mana dana pengelolaannya, berapa
banyak yang memanfaatkan, hingga bagaimana sistem
pengelolaan yang dijalankan. Satu-satunya yang saya
tahu adalah bahwa kami bisa mendapatkan bahan
bacaan yang berlimpah secara gratis di sana. Saya
yang saat itu masih kecil tentu tidak bisa menjelaskan
mengapa tempat itu keburu tutup bahkan sebelum
saya lulus SD.
Berkaca pada kondisi perbukuan hari ini, saya
bisa memaklumi bahwa sebuah perpustakaan umum
yang meminjamkan bukunya secara gratis tentu
memiliki banyak sekali risiko; mulai dari buku yang
hilang, buku rusak, keterbatasan dana pengelolaan,
membayar upah pegawai, dan lain sebagainya. Jika
tidak ada komitmen dari pemberi dana serta
pengelola, tentunya perpustakaan itu akan sulit untuk
bertahan.
Mengingat pengalaman saya di masa lalu,
rasanya negara kita, Indonesia, memerlukan lebih
banyak ruangan semacam ini. Tingkat literasi kita
yang sangat rendah, jumlah penduduk yang banyak,
akses pendidikan yang belum merata, kesenjangan
sosial yang tinggi; semua ini menunjukkan betapa

11
ruang perpustakaan publik yang dekat dengan
masyarakat dapat menjadi salah satu solusi.
Dalam pandangan saya, anak-anak pada
dasarnya memiliki rasa ingin tahu yang besar sehingga
secara alami mereka memiliki kecenderungan untuk
mau membaca. Namun, kondisi lingkungan dan
masyarakat kita kurang mendukung keinginan mereka
tersebut. Akibatnya, anak-anak tidak lagi menganggap
membaca sebagai suatu kebutuhan. Dalam sebuah
esainya, Neil Gaiman mengatakan bahwa untuk
membuat anak suka membaca, orang dewasa hanya
perlu memberi mereka akses terhadap buku dan
membiarkan mereka memilih bacaan yang mereka
sukai. Mungkin, itulah yang terjadi pada saya. Sumber
bacaan saya terbatas, tetapi saya memiliki akses ke
perpustakaan dengan bacaan beragam sehingga saya
menjadi haus untuk membaca lebih banyak lagi.
Selama bertahun-tahun, saya dianugerahi
dengan sumber-sumber bacaan tak terbatas di rumah.
Saya lalu lupa bahwa tidak semua orang bisa
mendapatkan kesempatan itu. Sejenak menenggok ke
belakang, saya kembali melihat pentingnya peran
perpustakaan. Sekitar empat tahun lalu, saya bersama
adik dan seorang teman punya misi berkeliling
menyambangi perpustakaan-perpustakaan di kota
tempat kami tinggal. Tidak banyak memang, sebagian
besar berada dalam kondisi menyedihkan dengan
koleksi yang kurang menarik. Tetapi, saya rasa mereka
harus tetap hidup. Bagaimanapun kondisinya,

12
perpustakaan yang sudah sedikit ini tidak boleh
dibiarkan begitu saja untuk kemudian mati. Satu cara
sederhana yang bisa saya lakukan saat ini adalah
mengunjunginya, juga mengajak orang lain
mengunjunginya. Menurut saya, semakin banyak
orang yang memanfaatkan, maka pengelola—dalam
hal ini Pemerintah Daerah—akan menyadari
pentingnya memajukan perpustakaan-perpustakaan
tersebut.
Industri perbukuan akhir-akhir ini dikatakan
sedang lesu karena daya beli masyarakat menurun,
dan minat baca yang masih rendah. Di sisi lain, kita
sering menjumpai bazar buku dan pameran buku
diskon masih ramai peminat. Jika boleh saya katakan,
sesungguhnya masyarakat kita bukannya tidak suka
membaca, mereka hanya terjebak dalam lingkungan
yang tidak mendukung untuk membaca lebih banyak.
Sejak kecil mereka tidak diperkenalkan pada banyak
buku. Bisa dibilang, anak-anak kita kurang diberi
akses terhadap berbagai bahan bacaan.
Orang tua yang berniat baik sekalipun, yang
bersedia membelikan beberapa buku bacaan tiap
bulan, kadang kurang mampu menjawab kebutuhan
anak dalam membaca. Masalah perbedaan selera,
sensor, dan kelayakan biasanya membatasi anak dari
ragam bacaan yang mereka sukai. Sementara, di
keluarga yang lain mungkin mereka tidak memiliki
dana untuk membeli buku sementara untuk
membayar sekolah saja mereka belum mampu. Akibat

13
keterbatasan akses ke buku ini, bisa jadi anak tidak
dapat menemukan kesukaan mereka pada membaca.
Siklus ini akan berulang saat mereka menjadi orang
tua, bahkan semakin memburuk jika tidak ada suatu
upaya untuk memotong siklusnya. Bukankah
lingkaran setan seperti ini dapat diminimalkan dengan
hadirnya perpustakaan publik yang mudah diakses
masyarakat.
Dari pengamatan saya terhadap sebuah
perpustakaan umum di kabupaten tetangga yang
dikelola secara swasta, ternyata mereka menarik
begitu banyak anak-anak dan orang dewasa untuk
mau membaca. Sebagian besar mereka memang tidak
akan punya akses terhadap bacaan seandainya
perpustakaan itu tidak ada. Dengan adanya ruang itu,
dahaga mereka akan buku terpenuhi. Perpustakaan itu
selalu ramai. Di sana tersedia berbagai judul yang
kerap kita temukan di rak-rak buku terbaru dan
terlaris di toko buku sehingga masyarakat sekitar yang
tidak mampu dapat berhemat untuk memenuhi
kebutuhan dan rasa ingin tahu mereka. Mereka yang
berkecukupan pun tidak perlu ragu memilih buku
mana yang hendak dibeli di antara berbagai pilihan
buku di toko buku karena mereka bisa membacanya
terlebih dahulu secara gratis di perpustakaan.
Masalahnya adalah perpustakaan publik itu
seharusnya bisa dijangkau dengan mudah. Sebuah
perpustakaan kota dengan beberapa mobil
perpustakaan keliling menurut saya masih sulit untuk

14
menjangkau semua kalangan. Saya sendiri, yang
punya akses mudah untuk pergi ke mana-mana, masih
kesulitan untuk bisa mengunjunginya setiap hari.
Mungkin, impian saya ini terlalu muluk untuk menjadi
nyata tetapi setidaknya gerakan untuk maju itu
seharusnya ada. Saya sudah mulai melihat gerakan
semacam ini di sekolah-sekolah, mulai dari
pembangunan perpustakaan sekolah yang lebih
menarik, hingga kunjungan beberapa sekolah ke
perpustakaan daerah atau perpustakaan umum.
Saat ini, perpustakaan digital telah mulai
berkembang. Walau didirikan sebagai milik daerah-
daerah tertentu, perpustakaan-perpustakaan digital
itu bisa diakses secara nasional. Saya memang belum
memanfaatkannya tetapi saya dengar sepertinya sudah
mulai banyak pembaca yang memanfaatkannya. Saya
rasa ini suatu inovasi yang dapat menjawab
permasalahan akses buku secara fisik, walaupun
belum menjawab akses secara sarana, terutama untuk
anak-anak. Juga, sebagaimana perdebatan mengenai
buku fisik dan buku digital, membahas perpustakaan
fisik dan perpustakaan digital tidak bakal ada habisnya
kecuali kita sampai pada kesimpulan bahwa
perpustakaan fisik tetap harus dikembangkan.
Rak saya kini memang sudah dipenuhi buku-
buku yang entah kapan akan selesai dibaca. Tetapi,
saya masih melihat perpustakaan—baik yang dikelola
pribadi atau pemerintah—sebagai tempat yang
menarik. Mungkin ini karena saya sendiri masih

15
memiliki rasa ingin tahu yang besar. Dengan adanya
perpustakaan, saya bisa meminjam beberapa buku
yang membuat saya penasaran sehingga beban rak
buku saya tidak bertambah. Perpustakaan juga sering
memiliki buku-buku langka yang sulit saya dapatkan,
juga buku-buku yang harganya mahal sehingga saya
bisa membaca terlebih dahulu meski pada akhirnya
suatu saat saya akan membelinya juga. Bagi pembaca
buku klasik seperti saya, menemukan kembali sebuah
buku tua—dalam arti yang sesungguhnya—dari
seorang penulis terkenal, yang ternyata tidak lagi
dicetak ulang, akan sangat menyenangkan, bukan?
Satu lagi peran perpustakaan yang saya lihat
belum dimaksimalkan adalah sebagai ruang publik.
Klub baca atau klub hobi seharusnya bisa muncul dari
perpustakaan. Seperti berbagai komunitas yang lahir
di dunia maya karena kesukaan yang sama,
seharusnya pertemuan secara fisik di perpustakaan
bisa menyatukan para penggemar buku. Sebagai
tambahan, klub-klub yang lahir di dunia maya, atau
bahkan yang tidak berhubungan dengan buku, dapat
bergabung di perpustakaan untuk mencari sumber
referensi yang dapat mendukung kegiatan mereka.
Saya juga mengangankan adanya pustakawan yang
bisa ditanyai apa saja seperti para pustakawan di luar
negeri. Konon, seorang pustakawan dapat
memberikan satu jawaban yang benar sementara
sebuah mesin pencari hanya menyediakan beribu
jawaban yang belum tentu benar. Oh, ya, saya

16
memang masih sekonvensional itu. Sebenarnya saya
belum menguji pustakawan di kota saya, mungkin
saya bisa coba suatu saat nanti.
Akhirnya saya hanya bisa berharap
pembangunan perpustakaan yang saat ini sedang
berjalan maju akan terus mengalami perkembangan.
Dibutuhkan komitmen besar, dana yang tidak sedikit,
serta partisipasi berbagai pihak untuk bisa
mewujudkannya. Saya berharap, apa yang saya
rasakan saat kecil dulu dapat juga dirasakan oleh
anak-anak Indonesia, di mana pun mereka berada—di
kota besar atau di desa terpencil, di pulau Jawa
maupun luar Jawa—sehingga mereka dapat
menemukan kesukaan mereka akan membaca.

Busyra, yang kerap disapa bzee di dunia maya,


sehari-hari berprofesi sebagai dokter. Menyempatkan
membaca di sela pekerjaannya, serta tergabung dalam
Blogger Buku Indonesia (BBI). Pembaca berbagai
genre, terutama sastra klasik dan anak, dapat ditemui
di http://bacaanbzee.wordpress.com/ atau kontak
melalui email busy_mail125@yahoo.com

17
18
Aku, Si Generasi Milenial
yang Doyan Beli Buku

Setelah bekerja dan memiliki penghasilan, aku selalu


menyisihkan pendapatanku untuk membeli buku. Bila
dihitung-dihitung, uang untuk membeli buku—yang
toh tetap akan ditimbun itu—berkisar 10-20% dari
pendapatanku setiap bulan. Banyak rekan-rekan dan
keluarga yang menyebutku pemboros. Aku tak
menyangkalnya tapi aku pun tak bisa mengubah
kebiasan “buruk” ini. Sebagai warga masyarakat abad
ke-21, aku lebih memilih menghabiskan uangku untuk
kesenangan jangka panjang daripada
menghamburkannya percuma.
Istilah milenial pertama kali diperkenalkan oleh
Neil Hoew dan William Strauss, penulis buku
Generations: The History of America’s Future, 1584 to
2069 yang terbit pada 1991. Mereka berdua
mendefinisikan milenial sebagai individu yang akan
mencapai dewasa pada abad ke-21. Kedua penulis itu
mengklasifikasikannya sebagai individu yang lahir

19
sekitar 1982 dan 2004. Ada beragam pendapat yang
menyebut milenial sebagai siapa yang lahir pada tahun
berapa. Tapi kita tidak akan membahasnya sekarang.
Kecenderungan perilaku milenial yang berhubungan
dengan literasilah yang akan coba kubahas.

Milenial Memiliki Kecenderungan Aneh


Saat aku menulis artikel ini, umurku baru dua
puluh dua tahun. Tebak berapa banyak perusahaan
yang telah kusinggahi untuk bekerja? Bila dihitung
sejak kuliah, aku sudah bekerja di empat perusahaan
berbeda dengan jenis pekerjaan yang juga berbeda.
Dan dari keempatnya, belum satu pun yang waktu
kerjanya mencapai satu tahun, bahkan seusia
kandungan pun tidak. Lucunya, setiap kali berniat
untuk bertahan lebih lama di satu tempat, aku selalu
mendapatkan kesempatan lain yang lebih menantang
dengan pendapatan per bulan yang lebih baik. Entah,
apakah aku harus bangga atau malah kecewa tapi
orang lain menyarankanku untuk tidak menjadi “kutu
loncat” dan setidaknya harus memiliki periode kerja
lebih dari satu tahun dalam satu perusahaan supaya
tidak “mengotori” CV-ku.
Dalam hal membaca, aku tidak pernah bisa lepas
dengan novel fantasi sejak saat zaman kuliah dulu.
Aku sempat dibuat tergila-gila dengan karangan Rick
Riordan dan bertekad untuk membaca semua
karyanya. Bersama teman-teman pembaca novel

20
fantasi, aku membentuk satu komunitas bernama
‘Penggemar Novel Fantasi Indonesia’ pada 2013.
Komunitas yang berjalan lewat akun Facebook ini
merupakan wadah saling berbagi informasi dan
berbagai hal menarik lain bagi para penggemar novel
fantasi di Indonesia. Namun, jika melihat akun
Goodreads-ku sekarang, isinya sangat beragam. Tidak
hanya novel-novel fantasi pada rak virtual tersebut,
tetapi genre-genre lain seperti fiksi remaja, roman,
sastra Indonesia, bahkan karya klasik dunia juga ikut
nangkring di sana. Aku sangat penasaran membaca
genre lain. Harus kuakui, kini aku tidak hanya
menggemari genre fantasi saja walaupun fantasi masih
menjadi genre favorit.
Pada sebuah jabaran survei yang dirangkum
oleh tim TirtoID tentang perilaku milenial yang
mengikutsertakan 300 orang Indonesia sebagai
responden, disebutkan bahwa mereka yang lahir
setelah 1982 memperlihatkan kecenderungan adanya
potensi gelombang pengunduran diri. Ini sungguh
aneh karena bisa berdampak buruk bagi perusahaan
tempat mereka bekerja dan juga kepada diri mereka
sendiri. Namun, ada alasan untuk kecenderungan ini.
“Kebanyakan dari generasi milenial beranggapan
kemampuan kepemimpinan mereka tidak sepenuhnya
dikembangkan di perusahan mereka,” jelas survei
tersebut.
Melihat keanehan generasi milenial yang haus
ilmu dan ingin terus berkembang, ada sisi positif yang

21
mengemuka tentang mereka. Generasi milenial yang
melek teknologi dinilai memiliki peran besar dalam
mengubah teknologi komunikasi berbasis media
sosial. Mereka yang sering dicap menghamba gadget
malah dianggap pendorong kemajuan teknologi. Ini
seperti diungkapkan oleh Tommy Ferdianto, pakar IT
dari Intel sebagaimana dikutip oleh TirtoID. “Kaum
muda atau generasi milenial itu sangat paham
teknologi.” Dengan teknologi, mereka dapat
melakukan apa saja, dari membuat artikel untuk blog
pribadinya, bekerja, sampai melakukan hobi seperti
main game dan membaca melalui mobile gadget.

Kala Si Milenial Membaca Buku


Perusahaan tempatku bekerja saat ini bergerak
di bidang teknologi pembuat aplikasi. Salah satu
produk ikonisnya adalah aplikasi baca digital.
Lucunya, lebih dari 70% pengguna aplikasi tersebut
berjenis kelamin laki-laki dan lebih dari 15.000
penggunanya berusia 25 – 34 tahun. Hal ini tentu saja
berbanding lurus dengan ciri-ciri generasi milenial
yang katanya melek teknologi itu.
Di kala sebagian milenial memilih menggunakan
gadget mereka sebagai alternatif membaca, survei
membuktikan bahwa pembaca milenial tetap lebih
memilih buku cetak. Hal ini dijabarkan oleh
Publishing Technology dalam sebuah studi yang
menyurvei generasi milenial Amerika Serikat.

22
Kesimpulan yang didapat bahwa mereka lebih suka
membaca buku cetak ketimbang buku digital.
Sebanyak 1.000 responden di Amerika Serikat berusia
18–34 tahun membaca dua kali lebih banyak buku
cetak (79%) daripada buku digital dari berbagai
perangkat—yang paling banyak adalah tablet (46%). Di
sisi lain, para remaja Amerika Serikat membaca buku
digital pada komputer personal (37%), ponsel (36%),
dan e-reader (31%).
Sebagai kutu buku, aku tentu tidak terkejut
dengan hasil survei di atas. Aku mulai “nyaman”
membaca buku secara digital baru-baru ini. Selain
efisien karena bisa langsung dibaca melalui gadget,
membaca secara digital juga memberikan kemudahan
bila sedang mobile (bepergian). Tidak perlulah repot
membawa buku yang malah menambah beban
bawaan. Namun, aku tidak bisa lepas dari pengalaman
membaca buku cetak. Aku akan setia menghidu aroma
kertas yang begitu candu. Aku akan rindu mendengar
keresek kertas saat memindahkan halaman bacaan.
Aku takkan berhenti terpukau memandangi tumpukan
buku-buku yang memenuhi ruangan.
Aku mengakui bahwa diriku adalah generasi
milenial yang tak puas akan satu hal dan akan terus
mencoba hal baru. Namun, sebagai seorang pembaca,
aku tidak mungkin bisa meninggalkan “adat lama”
yang memilih buku fisik daripada buku digital. Buku
digital bisa jadi memberikan kemudahan dalam segala
hal. Namun, buku cetak masih selalu besemayam

23
dalam lubuk hati paling dalam. Kau takkan dicap kutu
buku bila tidak memiliki satu buku pun di ruanganmu,
bukan begitu? Jadi inilah aku, si generasi milenial
yang doyan membaca dan membeli buku. []

Sumber
https://tirto.id/mengenal-perilaku-tak-setia-milenial-
bCpy
https://tirto.id/generasi-millennial-dorong-kemajuan-
teknologi-yr8
http://www.digitalbookworld.com/2015/new-survey-
finds-millennial-readers-clinging-to-print/

Pria yang mengaku kadar femininnya


lebih banyak daripada maskulinnya ini
sangat suka membaca sejak Taman
Kanak-Kanak. Buku yang pertama kali
dibacanya adalah Totto Chan karya
Tetsuko Kuroyanagi yang seharusnya
dibaca orangtuanya kala itu. Memajukan
literasi adalah mimpi terbesar pria yang
akrab dipanggil Raafi ini. Tak ada yang
lebih disenanginya kecuali suasana hening
saat membaca buku. Raafi bisa dikuntit
melalui akun Twitter @raafian.

24
Buku

“Ah, judulnya standar banget.”


Aku yakin lebih dari 50% orang akan berpikiran
seperti itu saat melihat judul standar dari tulisan yang
tidak jauh berbeda dari judulnya ini. Tulisan yang ala
kadarnya. Ya, apa daya, aku hanyalah seorang
pembaca biasa-biasa saja yang kebetulan mencintai
buku tetapi tidak memiliki bakat menjadi penulis.
Lantas, kalian mungkin bertanya-tanya dalam hati:
“Apa yang membuatmu berani-beraninya menulis di
sini?” Jawabannya mudah saja, karena aku di sini
bukan untuk tampil sebagai penulis, untuk
memamerkan bakat menulis, apalagi untuk
menulisnya menjadi sebuah novel. Aku hanya ingin
berbagi lewat kata-kata mengenai salah satu senjataku
dalam memahami kehidupan yang begitu rumit, yaitu
buku.
Buku—sesederhana struktur pembentuk katanya
yang juga hanya terdiri dari dua suku kata—pada
dasarnya hanya memiliki dua makna: isi kepala dan isi

25
hati. Buku—sesederhana huruf penyusunnya yang
hanya terdiri dari 4 huruf—pada dasarnya hanyalah
lembaran kertas dengan empat sisi yang diisi dengan
kalimat-kalimat fiksi maupun nonfiksi. Tapi tahukah
kalian, berangkat dari kesederhanaannya, buku telah
mengubah aku dari manusia dengan isi kepala nol
besar menjadi manusia dengan isi kepala mbludak.
Waktu kecil, aku membaca buku karena dipaksa
ibu. Ibuku bilang buku itu sumber ilmu dan kelak bisa
membuat kita menjadi orang yang pandai. Tapi, saat
itu aku terlalu tidak acuh. Maklum masih anak kecil,
peduli apa dengan kepandaian? Bagiku, yang waktu itu
masih seorang anak berumur tujuh tahun, membaca
buku adalah sesuatu yang sangat berat untuk
dilakukan. Bayangkan, aku harus duduk manis selama
1–2 jam memaksa otot mata untuk terus bekerja,
melahap baris demi baris kata, atau mencerna gambar
ilustrasi. Sungguh, membaca terasa berat bagiku yang
hobinya lari-larian dan menjelajah setiap sudut
ruangan.
Lalu, ibuku memberikan sebuah buku yang
mengubah perspektifku tentang membaca buku.
Beliau meletakkan buku berjudul Le Petit Prince1 di
atas meja belajar kala aku menginjak usia sepuluh
tahun. Sampulnya yang didominasi warna putih
ditambah sketsa yang menggemaskan membuatku

1 Telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul


Pangeran Kecil.

26
tidak sabar mengoyak plastik pembungkus buku dan
membolak-balik lembaran-lembaran kertas yang
tebalnya tidak seberapa itu. Entah karena aku jarang
memegang novel atau karena antusiasmeku yang
terlalu berlebihan, kedua bola mataku langsung
berbinar-binar saat melihat isi Le Petit Prince yang
penuh sketsa warna-warni dan tulisan yang tidak
terlalu rapat-rapat tersebut.
Aku langsung duduk tenang di atas kasur dan
mulai membaca novel berilustrasi tersebut. Aku ingat
sekali aku membutuhkan waktu sekitar dua minggu
untuk menyelesaikan membaca buku setebal 83
halaman itu. Aku sama sekali tidak mengerti jalan
ceritanya yang begitu aneh, percakapan-percakapan
yang begitu janggal, dan kalimat-kalimat yang terlalu
sulit dipahami. Alhasil, aku mengembalikan buku
tersebut kepada Ibu sambil bersungut-sungut,
“Ma, mbok ya aku dikasih buku yang gampang
dicerna, dong. Ini buku apa, sih? Gambarnya apik, tapi
kata-katanya kok aneh?”
Ibuku cuma tertawa geli dan bertanya padaku,
“Penasaran nggak sama arti dari cerita-cerita di buku
ini?”
Aku memicingkan mata curiga lantas menjawab,
“Penasaran banget sih, terus aku harus baca ulang biar
mengerti? Emoh2.”

2 Nggak mau. (bhs. Jawa)

27
Ibu hanya tersenyum tipis sebelum akhirnya
menjawab, “Tadinya Mama mau bilang begitu, tapi
kamu tampaknya betul-betul tidak mengerti ya? Kalau
begitu, bagaimana kalau buku itu Mama tukar dengan
buku lain?”
Saat itu aku tidak benar-benar mengerti apa
yang ditawarkan Ibu. Maksudku, tawarannya sungguh
tidak memberikan solusi atas ketidakpahamanku
terhadap Le Petit Prince. Tetapi, toh pada akhirnya
aku mengiyakan juga tawaran ibu, entah apa yang
kupikirkan waktu itu. Aku lantas memberikan buku
tipis itu kembali kepada ibu dan sebagai gantinya aku
diberi sebuah novel tebal berjudul Ronya Si Anak
Penyamun yang ditulis oleh Astrid Lindgren. Setelah
melihat raut wajahku yang sepertinya amat tertekan
melihat novel setebal 304 halaman itu, Ibu
mengucapkan mantra ampuh yang berhasil
membuatku duduk diam dan mulai membuka
halaman pertama,
“Setelah kamu banyak membaca buku, kamu
akan memahami Le Petit Prince sepenuhnya, dan
Mama yakin, setelah kamu memahami buku itu, kamu
akan merasa sudah pernah bertemu dengan orang
paling bijak di dunia.”
Ya, jadilah aku mulai menyukai kegiatan
membaca. Mulai dari buku-buku Astrid Lindgren yang
penuh kisah-kisah manis masa kecil seperti Hari-Hari
Bahagia di Bullerbyn, karya-karya klasiknya Frances

28
H. Burnett seperti The Secret Garden dan The Little
Princess, hingga tulisan-tulisan fenomenalnya Mark
Twain seperti The Adventures of Tom Sawyer.
Semuanya kulahap habis tanpa sisa selayaknya orang
yang tidak pernah membaca novel selama bertahun-
tahun. Ah, kenapa aku telat menyadari bahwa
membaca buku bisa sedemikian asyiknya?
Rasa sukaku pada buku pun mulai
bertransformasi menjadi rasa cinta. Seiring
berjalannya waktu, jenis-jenis buku yang kubaca pun
mengalami perubahan. Aku mulai membaca buku
kumpulan puisi pada usia 13 tahun, melirik sastranya
Mas Pram pada usia 15 tahun, menggilai buah pikiran
dan penelitian Malcolm Gladwell pada usia 16 tahun,
hingga sampai akhirnya sekarang saya bisa dibilang
menyukai semua tipe buku kecuali horor. Untuk yang
satu itu, saya masih belum punya nyali membacanya.
Dengan mengesampingkan buku horor, aku
benar-benar memburu semua genre buku untuk
dilahap habis karena, percayalah, setiap buku
memiliki keunikannya masing-masing. Karena
keunikannya itu, buku adalah satu-satunya hal yang
bisa menghentikan aku dari kegiatan menjelajah
ruangan dan berlari-larian kala itu. Aku sadar, selama
ini aku hanya menjelajah ruangan yang sama dan
berlari di tempat yang sama, sedangkan buku bisa
membawaku menjelajah ruangan yang luasnya tidak
terbatas bernama imajinasi. Buku mampu mengajakku
berimajinasi, entah mengimajinasikan situasi

29
mencekam dalam suatu peristiwa sejarah maupun
situasi romansa yang penuh kebahagiaan.
Setiap buku mengajarkanku bahwa kita bisa
mengeksplorasi dunia yang begitu besar sekaligus
begitu kecil dengan duduk bersila dan membaca.
Begitu besar, karena secara harfiah dunia ini memang
sangat luas. Ini belum ditambah dengan luasnya alam
semesta yang penuh misteri. Di saat yang sama, dunia
bisa menjadi begitu kecil karena bisa terangkum
dalam lembaran-lembaran kertas. Lewat buku, kita
dapat melihat bukan hanya dunia dan semesta, tetapi
juga pikiran manusia yang jauh lebih misterius
dibandingkan semesta.
Pernyataan ibuku tentang buku bisa jadi benar,
bahwa buku dapat membuat kita menjadi orang yang
pandai. Bukan hanya pandai secara intelektual, tetapi
juga pandai memahami kehidupan dan manusia yang
pikirannya yang kompleksitasnya begitu dahsyat.
Dengan membaca buku, aku dapat memahami sebuah
masalah dari sudut pandang yang sama sekali berbeda
dengan perspektifku. Dengan membaca buku pula, aku
dapat memahami isi hati dari seorang manusia yang
gundah gulana. Begitu hebatnya buku dan begitu
hebatnya dampak membaca buku.
Namun, sedahsyat apa pun sebuah buku, pada
dasarnya ia tetap bergantung kepada manusia, sang
pemilik akal budi dan pemilik hati. Seindah apa pun
diksi yang digunakan atau sehebat apa pun dampak

30
dari kalimat-kalimat yang terpatri dalam lembaran
buku, itu semua tidak artinya bila kita tidak membaca
buku dengan hati yang tulus dan kesediaan untuk
bercengkrama dengan huruf dan kata.
Berbicara tentang diriku yang dahulu, aku jadi
ingat tentang Le Petit Prince. Ya, aku sudah
menemukan dan memahami arti dari kalimat-kalimat
sang pangeran cilik di buku itu. Dan, ibuku sekali lagi
benar tentang ‘menemukan orang yang paling bijak di
dunia’. Aku sungguh telah menemukan kebijakan yang
begitu sederhana dan polos lewat tokoh fiksi, kata-
kata, dan ilustrasi. Jika kamu penasaran tentang apa
yang telah kutemukan, mulailah membaca buku! []

Maura Finessa bisa disapa di akun


twitternya: @finessawny. Facebook:
Facebook.com/Maura.finessa

31
32
Asuransi Buku

Suatu siang.
Kring.....kring....kring.... telepon genggam
mengeluarkan tanda ada panggilan masuk. Sebuah
nomor tak dikenal nampak di layar. Penasaran, tombol
untuk menjawab pun disentuh.

(P): Penelpon
(S): Saya

P: “Siang, dengan Ibu bla bla bla (menyebutkan nama


saya dengan lengkap).”
S: “Betul, dengan siapa saya bicara?”
P: “Kami dari Bank XX, Bu. Ibu terpilih menjadi salah
satu nasabah yang berhak mendapatkan promo
terjamin asuransi bla bla bla.” (masih panjang
penjelasan si mbak).

33
S: “Maaf Mbak, lain kali saja.” (berusaha bersikap
ramah)
P: “Tapi ini kesempatan bagus, Bu, hanya sekali bla
bla bla .” (masih ngeyel)
S: “Iya, terima kasih kesempatannya, tapi bukan
asuransi jenis ini yang saya perlukan.”
P: “Oh begitu, Ibu butuh yang bagaimana? Nanti saya
coba atur khusus.”
S: “Saya butuh asuransi untuk koleksi buku-buku
saya. Jumlahnya lumayan banyak. Beberapa malah
terbitan tahun seribu delapan ratusan. Kalau ada
bla bla bla .” (ganti saya yang cerewet)
P: “Baik, nanti kami hubungi Ibu kembali. Terima
kasih atas waktunya. Selamat siang.”
S: “Eh ... .” (lah kok jadi ngacir hi hi hi)

***

Suatu pagi ketika reuni dengan teman SMP .

Saya (S):
Suami sahabat (SS)

34
SS: “Hai! Sudah lama tidak ketemu, ya. Terakhir kali
kita bertemu ketika saya mengambil S-2 di
Salemba. Gimana kabarnya?”
S: “Baik. Kira-kira sudah enam atau tujuh tahun
lalu, ya? Sudah lulus dong? Gimana penerapan
hasil pendidikan dengan praktek dunia asuransi?”
SS: “Wah ternyata bla bla bla (Cerita panjang lebar).
Eh, tapi katanya kamu jarang mau ikutan
asuransi? Tidak ada yang cocok, kalau tidak salah.
Memang, maunya cari yang seperti apa?”
S: “Pernah dengar ada penyanyi yang
mengasuransikan suaranya?”
SS: “Iya, ada. Memang kamu juga mau
mengasuransikan suara.” "ansikan suara(sambil
tertawa)\(sambil tertawa)
S: “Jelas tidak (dengan wajah agak manyun). Kentut
aja fals kok. Saya mau asuransi yang bisa untuk
buku.”
SS: “Eh apa? Buat buku?” (Wajah heran)
S: “Loh buat saya, buku itu barang berharga. Apa
lagi bla bla bla.” (cerita panjang lebar)
SS: “Ok, saya paham. Coba saya pikirkan programnya.
Nanti saya kabari kamu ya.”

***

35
Saya kemudian terpikir, kenapa setiap orang
merasa aneh jika saya ingin mengasuransikan buku
koleksi saya? Mungkin mereka lupa, buku juga bisa
menjadi barang mahal yang perlu dilindungi
keberadaannya. Bayangkan jika terjadi sesuatu pada
salah satu koleksi saya. Misalnya, bagaimana
seandainya Little Women cetakan tahun 1800-an
milik saya hilang saat pameran? Bagaimana saya bisa
memperoleh uang untuk mencari buku yang seperti itu
lagi? Atau, bagaimana seandainya terjadi kebakaran
saat sedang ada pameran hingga koleksi Little Women
yang saya pamerkan ikut terbakar habis? Jelas saya
butuh dana untuk mulai mencari buku sejenis atau
bahkan mulai mengoleksi lagi dari awal.
Sebuah pesan singkat dari Dion mengusik
ketenangan saya. Dulu, pernah saya membuat tulisan
mengenai bagaimana buku berpengaruh pada
kehidupan saya. Bagaimana alam bawah sadar saya
membuat saya mampu membaca dengan kecepatan
yang tidak biasa. Kali ini, tentunya harus ada yang
berbeda dalam tulisan saya.
Mendadak Om Ilham datang saat saya sedang
membereskan rak buku. Sebuah kartu asuransi
kesehatan yang sudah tidak terpakai lagi. Kenapa
hanya ada asuransi kesehatan, pendidikan dan
beberapa asuransi lainnya. Kenapa tidak ada suransi
yang berurusan dengan barang koleksi seperti buku?
Memang ada asuransi untuk perhiasan dan benda

36
berharga, tapi belum ada yang spesifik mengenai
buku.
Bagi para pencintanya, buku sudah seperti
belahan jiwa. Ke mana pun mereka pergi, pasti ada
buku yang dibawa. Ke mana dia pun pergi, pasti
berusaha meluangkan waktu untuk mampir ke penjual
buku, entah ke toko buku atau ke penjual buku bekas.
Berburu buku buluk atau berdesak-desakan menunggu
pembukaan area diskon di pameran buku adalah jauh
lebih menyenangkan bagi seorang pencinta buku
ketimbang menunggu acara midnight sale pakaian
terkini di mal mentereng. Begitulah adanya, kecintaan
seorang terhadap suatu kegiatan atau benda kadang
bisa membuatnya melakukan hal-hal yang tak masuk
akal.
Kembali ke asuransi buku, mari kita asumsikan
sekiranya benar -benar ada asuransi untuk buku.
Dalam hal ini, petugas asuransi akan menawarkan
produk asuransi berupa perlindungan bagi buku-buku
antik, buku-buku yang dicetak khusus, buku-buku
langka—pokoknya jenis buku-buku yang berbeda
dengan buku yang bisa kita beli di toko buku biasa.
Fasilitas perlindungan yang ditawarkan meliputi
perlindungan terhadap bencana alam, pencurian,
banjir, kebakaran, dan lain-lain sejenisnya. Ada pun
untuk menilai buku mana saja yang layak untuk
diasuransikan karena termasuk buku langka atau
tidak, ini merupakan tugas seorang pustakawan.

37
Sayangnya, dalam sebuah situs tentang asuransi,
saya menemukan kalimat khas asuransi yang
membuat kepala cenat-cenut saat membacanya.
Tertulis di sana: “Pengecualian khusus, properti yang
dikecualikan: Perhiasan, batu permata, logam mulia,
emas lantakan, barang antik, buku langka, atau karya
seni.” Jadi, sebenarnya, mungkinkah sebuah buku
diasuransikan? Bagi saya, ini masih sebatas sebuah
impian kosong seorang pecinta buku. Tapi, seandainya
memang bisa, saya pasti akan ikut bergabung.
Makin terpicu lagi melihat begitu banyak hasil
kerja keras para penulis, kekayaan intelektual
seseorang berakhir menjadi bubur kertas. Industri
buku memang serba unik. Hukum permintaan dan
penjualan sering sulit bersinggungan. Sebuah buku
yang konon telah dibaca sekian triliun kali dalam versi
online (kalau ini saya yang lebay) belum tentu bisa
menarik pembeli dalam jumlah yang sama dalam versi
cetaknya. Begitu juga sebaliknya. Tidak jarang pula,
buku yang mendapat peringkat bagus di dunia
internasional ternyata hanya berakhir di area obral di
tanah air. Jika beruntung, buku-buku ini dalam sekian
tahun bisa beralih menjadi buku langka. Jika tidak,
buku-buku itu akan dimusnahkan atau didaur ulang.
Sedih, tapi begitulah kondisinya. []

38
Penggemar seri Little Woman yang
berdomisili di Depok. Truly Rudiono -
yang biasa disapa mbak Truly- bisa disapa
lewat akun twitternya @cute_truly.

39
40
Buku Di Ujung Jarimu

Membaca buku bagi saya sudah seperti candu.


Rasanya, saya tidak akan bisa melewatkan satu hari
pun tanpa membaca sebuah buku. Tapi, kecanduan ini
sebenarnya belum lama melanda diri saya. Kalau
mencoba merunut ke belakang, mungkin bulan
November 2008 merupakan awal bagi saya mulai
kecanduan membaca. Waktu itu saya baru saja
menikah, namun terpaksa harus hidup berjauhan
dengan suami karena pekerjaan masing-masing.
Akhirnya, saya meminta kompensasi “dana kesepian”
pada suami, dan dana itu saya habiskan untuk
membeli buku.
Terlebih lagi, ketika saya memberanikan diri
untuk ikut dengan sebuah komunitas pembaca buku di
dunia maya. Mengandalkan blog gratisan, saya
mencoba menuliskan kembali kesan yang saya dapat
setelah membaca sebuah buku. Hasilnya lumayan,
saya bisa mendapatkan buku-buku gratis dari
beberapa penerbit dan penulis. Tapi, yang paling

41
menyenangkan, adalah saya bisa bertemu dengan
sebuah “keluarga besar” para pencinta buku.

Sudah bisa diperkirakan, bertemu para pencinta


buku lainnya tidak membuat saya sembuh dari
kecanduan buku. Timbul “penyakit” baru yang
bernama abibiliophobia (ketakutan akan kehabisan
bahan bacaan). Saya mulai mencari, membeli, atau
meminjam buku-buku bacaan. Tiap ada berita diskon
buku, saya bahagia sekali. Tidak jarang saya menjual
kembali buku yang sudah saya baca (dan tidak akan
saya baca lagi) supaya saya bisa membeli buku yang
baru. Begitu terus siklus yang saya lakukan. Lantas
apakah saya membaca semua buku-buku itu? Sebagian
ya. Sebagian lagi belum terbaca.
Selalu timbul rasa aman di dalam hati saat
mengetahui saya masih punya stok bahan bacaan.
Saya membaca di semua waktu sela yang saya miliki.
Toh, saya juga bukan anak gaul yang banyak
menghabiskan waktu di luar rumah. Sudut ternyaman
untuk membaca adalah di tempat tidur. Bahkan, saya
rela mengorbankan waktu tidur malam demi
menghabiskan membaca sebuah novel.
Saat melanjutkan studi di Jogja, saya merasa
seperti berada di kota buku. Ada banyak tempat di
Jogja tempat kita bisa mendapatkan buku dengan
harga murah. Tidak usah menunggu musim diskon
karena diskon buku di Jogja ada sepanjang waktu.

42
Tidak mau membeli buku, ada tempat
penyewaan/rental buku. Atau, paling tidak, saya bisa
menodong teman untuk meminjam bukunya.
Sayangnya, kebiasaan ini harus mulai dikurangi
sejak saya memiliki seorang anak. Tentunya, saya akan
mengutamakan bayi kecil yang sudah saya nantikan
kehadirannya enam tahun lebih. Saya kemudian punya
kesibukan baru. Perlahan, buku-buku itu mulai
terlupakan dan berdebu. Kalau dulu saya bisa
menghabiskan kurang lebih 20 novel dalam sebulan,
saya hanya bisa membaca 5 buku dalam sebulan
semenjak menjadi newly mom. Boro-boro membaca
buku sebelum tidur, saya malah ikut tertidur ketika si
bayi saya sudah tidur. Untuk sekadar membuka buku,
memegangnya, dan membalik halamannya saja
rasanya sudah berat. Saya sedih. Saya merindukan
buku. Saya frustrasi karena tidak punya waktu
membaca buku. Saya harus merelakan pengeluaran
saya yang tadinya untuk membeli buku dialihkan
untuk membeli popok, susu dan kebutuhan si bayi.
Ketika studi saya selesai, saya harus kembali
harus pindah ke kota asal saya. Kesedihan saya pun
bertambah. Kota tempat saya saya ini adalah sebuah
kota yang sedang bertumbuh. Sayangnya, jarak dari
ibu kota provinsi cukup jauh, 365 km jauhnya.
Dibutuhkan waktu tempuh sekitar 8 jam. Di kota ini,
tingkat perekonomian penduduknya memang mulai
meningkat. Toko buku ada tapi tidak menjual novel-
novel yang saya sukai. Itu pun yang dijual adalah

43
buku-buku lama. Satu-satunya cara mendapatkan
buku baru adalah dengan membeli buku secara online.
Tapi, saya harus berpikir ulang karena ongkos kirim
buku yang lebih mahal dari harga bukunya.
Syukurlah, tidak ada hambatan teknologi yang
berarti di kota tempat tinggal saya. Saya pun mulai
beralih dari buku cetak (printed book) menuju buku
digital (electronic book/e-book). Ternyata, dua
masalah saya terpecahkan dengan adanya e-book.
Pertama, saya bisa membeli buku tanpa khawatir
dengan ongkos kirim yang mahal. Kedua, saya bisa
membacanya kapan saja di mana saja. Saya tidak lagi
harus memegang buku dan khawatir si kecil akan
merebut dan menyobek halamannya, atau terpercik
makanannya.
Saya bahkan bisa membaca lagi sebelum tidur
dengan hanya menyalakan smartphone. Di kantor
pun, saya bisa membaca di sela-sela menunggu jam
mengajar atau menunggu mahasiswa ujian. Sekarang,
saya bisa membawa banyak buku bersama saya ke
mana pun. Dengan maraknya aplikasi perpustakaan
online, saya bahkan bisa meminjam buku kapan pun
tanpa harus mengeluarkan uang (kecuali untuk
membeli paket data tentunya).
Oh ya, saya akan berbagi beberapa aplikasi yang
berkaitan dengan buku yang ada di smartphone saya:

44
a. Play Book.
Aplikasi dari goole ini semacam e-reader untuk
membaca ebook yang diunduh dari Google Play. Sudah
tahu kan kalau kamu bisa membeli ebook di Google
Play?

b. iJakarta
Aplikasi perpustakaan digital pertama yang saya
unduh di smartphone saya ini merupakan
persembahan dari Badan Perpustakaan dan Arsip
Daerah DKI Jakarta. Kita tidak perlu membayar untuk
menjadi anggota, cukup mendaftar dengan
menggunakan email. Di sini, kamu bisa meminjam
ribuan buku untuk kamu baca dalam jangka waktu tiga
hari. Sekarang, beberapa kota mulai mengikuti jejak
Jakarta untuk membuat perpustakaan digital, seperti
iJogja, iSukabumi, dan sebagainya.

c. iPusnas
Aplikasi yang mirip dengan iJakarta tapi
dipersembahkan oleh Perpustakaan Nasional. Koleksi
bukunya tidak sebanyak iJakarta, tapi lumayan bisa
menambah bahan bacaan.

d. Bookmate
Sebenarnya aplikasi ini berasal dari Rusia.
Tetapi, penerbit Mizan banyak mengeluarkan
ebooknya di aplikasi ini. Keanggotaannya berbayar,

45
hanya saja saya kebetulan mendapatkan akses gratis
selama 6 bulan untuk mencoba aplikasi ini.

e. UB Reader
Aplikasi e-reader ini mendukung ebook dengan
format .epub. Tolong jangan tanyakan di mana saya
memperoleh buku-buku yang saya baca melalui
aplikasi ini. Semua buku elektronik ini berbahasa
Inggris.

f. Gramedia Digital.
GD adalah toko buku online yang menjual buku,
majalah, dan koran digital. Kamu bisa mengaksesnya
di https://ebooks.gramedia.com/. Namun, untuk
membaca e-booknya, kamu harus mengunduh aplikasi
Gramedia Digital di smartphone-mu. Membeli buku
lewat aplikasi ini juga lumayan mudah.

Ketika buku tidak lagi digenggam tapi cukup


dengan disentuh, saya yang pecandu buku ini tidak
lagi perlu merasakan sakau berlama-lama. Setidaknya,
saya tidak lagi merasa sedih karena kekurangan bahan
bacaan. Akses yang mudah dan relatif murah pada
buku elektronik telah menjadi solusi penyelamat
untuk saya. []

46
Pauline Destinugrainy Kasi. Pecandu
buku, abibliophobia, book blogger, book
reviewer. Ibu dari seorang anak laki-laki
yang sedang lucu-lucunya. Menetap di
Palopo, salah satu kota di Sulawesi
Selatan. Setiap hari berkantor di sebuah
universitas swasta mengajarkan ilmu
biologi demi mendapatkan sesuap nasi
dan setumpuk buku bacaan. Ulasan-
ulasan buku bacaannya bisa dibaca di
http://www.destybacabuku.com.
Kicauannya (mostly about book) ada di
@destinugrainy. Daftar bacaannya bisa
diintip di akun goodreads miliknya:
http://goodreads.com/destinugrainy.

47
48
Gaijin
Penjual Buku Terakhir

Jika bukan karena toko buku, Dominic Jason Ward


mungkin akan menghabiskan hari tuanya di pantai-
pantai tropis dengan botol bir di tangan dan lagu-lagu
Bob Marley yang diputar tanpa henti saat matahari
terbit, matahari tinggi, matahari terbenam, bulan
terang, dan bulan mati. Namun, lima belas tahun
sesudah merintis Infinity Books, Nick—begitu ia
dipanggil—semakin yakin bahwa cinta terbesarnya ada
pada buku-buku. Hari tuanya akan ia habiskan sendiri
saja, mengelola toko bukunya itu. Apalagi, tak ada lagi
Gaijin yang bertahan mengelola toko buku di Tokyo
selain dirinya (soal ini ia sampaikan dengan bangga
sekaligus sedih).
Nick menemui kami di meja bar Infinity Books
seusai membalas surel pemesanan buku terakhir hari
itu. Sepasang suami istri di Monbetsu, kota kecil di
Hokkaido, memesan beberapa buku puisi DH
Lawrence dan novel-novel John Steinbeck. Saat saya

49
menyodorkan Almost Transparent Blue karangan Ryu
Murakami, ia mengatakan buku itu adalah edisi cetak
pertama dari terjemahan bahasa inggrisnya.
Penerbitnya pun sudah bubar. “Ini satu-satunya yang
kupunya, karena itu harganya agak mahal,” katanya.
“Kau yakin?”
Saya menimbang-nimbang sebentar. “Kupikir-
pikir dululah,” jawabku.
Maesy dan saya kembali putar-putar melihat
koleksi toko buku Nick. Infinity Books cukup luas
untuk ukuran toko buku yang dikelola sendirian
seorang pria pertengahan lima puluhan. Di rak-rak
tingginya, berjajar buku-buku dengan pencahayaan
lampu kuning remang-remang—sebagian besar buku
bekas. Sepertinya, mereka sengaja tidak diatur dalam
pola tertentu. Buku karangan Charles Dickens
bersisian dengan biografi Bob Dylan, juga buku kecil
tentang asal usul berbagai makian bahasa Jepang.
Mungkin, ini yang membuat pengunjung dapat
menemukan kejutan-kejutan di dalamnya. Salah
satunya, buku Ryu Murakami tadi yang saya temukan
dihimpit semacam ensiklopedia soal tanaman
merambat. Kami membawa beberapa buku ke meja
bar. Nick menunggu di sana dan menawari kami
minum. Untuk saya, segelas besar bir Yebisu (Nick
menyediakan Yebisu dalam tap), dan untuk Maesy—
yang sedang dalam suasana hati yang siap
bergembira—satu sloki wiski Nikka.

50
Kami bertukar cerita soal macam-macam. Nick
muda, pria asli Inggris, berkeliling dunia dengan tas di
punggungnya. Ia bahkan sempat tinggal beberapa
bulan di Sumatera Barat. Ia ingat saat itu selalu
menyukai pemandangan pohon kelapa yang berjajar-
jajar di pesisir selatan (dari sekian banyak hal, yang ia
ingat justru soal pohon kelapa!). Nick muda selalu
menjejalkan tumpukan buku di tas punggungnya—
kerap terlalu banyak pada saat yang bersamaan
sehingga ia harus membuang beberapa pakaiannya. Ia
berpindah-pindah di beberapa tempat di Asia tenggara
sebelum mulai tinggal di Tokyo di awal 1990-an untuk
mengajar bahasa Inggris. Kecintaannya pada buku
membuatnya iseng berjualan buku secara online
sebelum membuat toko bukunya sendiri. Kami
bertanya apa ia menyukai Haruki Murakami. Nick
tertawa. Menurutnya Haruki menulis prosa dengan
indah, tapi masih kalah dari Murakami yang lain, si
Ryu itu.
“Terkadang, Haruki membuatku ketakutan. Ada
adegan seorang gadis ditinggal begitu saja di dalam
sumur, lalu bab berpindah dan si gadis masih di sana.
Hei! Apa yang terjadi dengannya? Haruki boleh lah,
tapi kalian harus membaca karya Coetzee. Sesudah
membacanya, karya-karya lain akan kalian anggap
main-main belaka,” urainya panjang lebar.
Nick memperoleh buku-buku bekasnya dari
berbagai tempat. Banyak di antaranya ia dapat dengan
harga sangat murah dari nenek-nenek tua Jepang yang

51
ditinggal mati suami gaijin-nya. Namun demikian,
tetap saja, toko buku independen bukan usaha yang
betul-betul menghasilkan, apalagi dengan biaya hidup
di Tokyo yang menggila. Nick menutupinya dengan
menyambi sebagai guru bahasa Inggris, mengurus
toko bukunya tanpa karyawan, dan tidur di sana lima
hari seminggu untuk menghemat karcis kereta ke
rumahnya yang terletak di luar Tokyo. Ia juga
mendapat penghasilan dari bar kecil yang ia buat di
sisi belakang toko buku, di dekat meja kasir.“Buku dan
bergelas-gelas bir. Ini kombinasi yang tak akan mati,”
katanya terkekeh.
Para penulis, juga pembaca, pada dasarnya
manusia melankolis yang mudah murung atau terbawa
perasaan. Begitu menurut Nick. Karenanya,
menyediakan bar di toko buku adalah ide yang baik.
“Banyak pengunjung yang omong-omong denganku di
sini dan ujungnya mengeluh soal macam-macam.
Mereka mulai dengan buku yang dibacanya, lalu lanjut
ke soal cinta, pekerjaan, begitulah. Aku sih tak
keberatan, sepanjang gelas bir mereka terisi terus, itu
bagus untuk bisnis.”
Saat kami bercerita tentang toko buku
independen kami sendiri, Nick memberi ucapan-
ucapan penyemangat. Ia bilang, toko buku independen
mendatangkan orang-orang menarik dan punya
sesuatu yang tak dimiliki toko buku besar: karakter.
“Hanya di toko buku independen,” katanya, “kau akan
menjumpai hal-hal semacam pria tua bermulut besar

52
di balik meja kasir, kucing liar yang menetap begitu
saja, atau hantu gentayangan.” Soal hantu, rupanya ia
bersungguh-sungguh. Konon, bangunan tempat
Infinity Books berdiri memang berhantu. Ini yang
membuat harga sewanya cukup murah.“Di mana lagi
toko buku kecil bisa membayar sewa tempat di Tokyo
selain di bangunan tua berhantu?” Nick kembali
terkekeh.
Kami ikut tertawa, meneguk minuman, dan
memintanya menceritakan lebih banyak soal hantu
yang menghuni toko bukunya. “Walau aku tak peduli
dengan segala hantu, terkadang buluku merinding
juga. Kalian sih enak, beres di sini pulang ke hotel,
sementara aku tidur di sana,” katanya menunjuk bilik
kecil di belakang meja komputer. “Tapi baiklah, kalau
kalian datang lagi besok, aku akan bercerita soal hantu
itu.” Mungkin ia hanya mengulur waktu agar kami
datang lagi ke sana. Tapi toh, kami berjanji untuk
mampir lagi keesokan harinya, membeli lebih banyak
buku, bir, wiski untuk Maesy, dan, tentu saja,
mendengar cerita hantu.
Nick juga menyediakan toko bukunya untuk
beberapa musisi yang ingin mengadakan pertunjukan.
Malam itu, seorang pemuda dan pria paruh baya
datang menenteng gitar. Kata Nick mereka akan
memainkan lagu-lagu folk. Itu malam yang sepi. Selain
Maesy dan saya, hanya ada tiga penonton, itu pun
termasuk si tua Nick dan pemuda tanggung yang
rupanya manajer band itu.

53
“Kalian tak usah merasa tidak enak, kami
terbiasa bermain tanpa penonton.” ujar anggota band
yang lebih tua sambil tertawa menghibur diri. “Kalau
kalian suka lagu kami, kalian boleh membelikan kami
bir, kalau tidak, ya, persetan dengan kalian,” katanya
lagi. Kali ini sambil menaruh jari tengahnya di dekat
hidungnya sendiri.
Maka menyanyilah mereka. Lagu-lagu Neil
Diamond, Simon & Garfunkel, dan semacamnya. Si
pria paruh baya bermain gitar dengan mata yang
ditutupi kupluk. Ini semacam ciri khasnya rupanya.
Mereka sama sekali tidak payah. Saya mendengarkan
sambil memukul-mukulkan tangan di atas paha. Nick
juga memperhatikan sambil meneguk birnya, tenang-
tenang. Saya mengisi gelas Yebisu kembali, dan Maesy
meminta tambahan wiski. Terus begitu sampai malam
semakin larut dan Maesy mulai ketawa-ketawa sendiri.
Keesokan harinya, kami menepati janji untuk
kembali datang. Nick menyambut senang dan
langsung menyodorkan segelas Yebisu. Saya
menenggaknya dan menagih janji Nick menceritakan
soal hantu di sana. Dan berceritalah ia. Hantu di toko
bukunya konon perempuan yang dulu meninggal
karena sebuah bencana alam, paling tidak menurut
cenayang yang pernah didatangkan kawan Jepang
Nick. Nick tidak percaya hal-hal semacam itu, jadi ia
membiarkan saja saat temannya mengundang
cenayang pengusir hantu. Keputusan itu justru
menjadi masalah, karena suatu hari—di tengah

54
malam—tetangga Nick di lantai atas menggedor-gedor
pintunya dan mengeluh karena hantu di Infinity Books
pindah ke apartemennya.
“Muka anak muda itu pucat sekali. Saking
paniknya, ia memintaku menelepon polisi malam itu
juga. Entah apa yang dia pikir bisa dilakukan polisi
dalam urusan hantu,” kata Nick sambil tertawa. Maka,
pagi-pagi sesudahnya, Nick meminta teman
cenayangnya menenangkan si tetangga dan mengusir
hantu itu lagi. Maka, jadilah si hantu sekarang kembali
tinggal di Infinity Books dan Nick memutuskan untuk
tidak lagi peduli apa kata si cenayang. Ia tidak mau
menghiraukan lagi soal segala hantu. Sesekali ada juga
hal aneh yang terjadi, seperti musik atau komputer
yang tiba-tiba menyala saat ia sedang lelap tidur. Nick
tidak mau ambil pusing soal itu dan membiarkan saja
si hantu—jika pun ia ada—dengan urusannya sendiri.
Nick hanya akan mematikan musik, atau komputer,
lalu tidur lagi. “Seperti kubilang, hantu itu
membantuku meringankan sewa, jadi ya sudahlah,
biarkan dia dengan urusannya.”
Saya tertawa dan mengatakan dia gila juga. Nick
menatap saya dengan kening berkerut. “Kau terlalu
banyak minum,” katanya. Bergelas-gelas Yebisu
membawa pembicaraan kemana-mana dalam arti
sebenarnya, termasuk soal monyet berahi. Nick
mengisi gelas birnya kembali sambil bercerita ia punya
pengalaman sungguhan soal itu. Pada masa awal
tinggal di Tokyo ia berkencan dengan seorang gadis di

55
pasar hewan. Di sana, si gadis menyatakan perasaan
ibanya melihat seekor monyet yang berwajah murung.
Untuk menarik perhatian si gadis, Nick membeli si
monyet dan bertekad memeliharanya. Dibawalah si
monyet tinggal di asrama sewaan Nick. Memelihara
monyet ternyata tak semudah itu. Saat ditinggalkan, si
monyet kerap bikin onar, mengubrak-abrik segala hal
dan mengganggu penghuni asrama lain. Rupanya, si
monyet punya penciuman yang tajam dan mudah
berahi pada perempuan yang sedang datang bulan.
Saat ada tamu asrama yang sedang datang bulan, si
monyet akan mengejarnya kesana-kemari.
Kerunyaman berhenti ketika seluruh penghuni asrama
memaksa Nick menjual kembali monyet itu di pasar
hewan.
Kami masih omong-omong tentang beberapa
soal, termasuk rencana-rencana Nick selanjutnya.
Terhadap pertanyaan ini ia menghela napas panjang
dan menatap ke sekeliling. “Kau tahu, aku sudah tua
dan tak butuh banyak uang. Dikelilingi buku-buku
seperti ini sudah bikin aku bahagia.”
Ia kemudian bercerita soal anak laki-lakinya
yang kini tinggal di London. Ia kuliah bisnis dan
menetap bersama pacarnya di sana. “Suatu hari
kukatakan padanya begini: ‘Anakku, lihatlah
tumpukan buku-buku ini, semua ini suatu hari akan
jadi milikmu. Maukah kau nanti meneruskan toko
buku ini?’ Bocah itu menggeleng sambil cengengesan.
Anak pintar, ha ha.”

56
Kami bersulang untuk toko bukunya, untuk
buku-buku indah yang pernah ditulis (saya akhirnya
membeli karya Ryu Murakami itu), dan untuk macam-
macam. Menjelang tengah malam, Maesy dan saya
mohon pamit. Selain karena kepala yang mulai
berputar, besoknya kami harus mengejar penerbangan
pagi meninggalkan Tokyo.
Di dekat pintu keluar saya sempat menoleh ke
belakang. Nick terlihat mengisi kembali gelas birnya.
Meneguknya sendiri dalam ruangan yang remang-
remang. Mungkin, gelas bir terakhir sebelum ia
menutup pintu Infinity Books. Besok ia akan kembali
membuka toko bukunya, juga meja barnya, untuk para
kutu buku yang lain, atau orang-orang lain yang
sedang gundah atau sekadar butuh kawan mengobrol.
Kepada mereka, Nick mungkin akan bercerita hal-hal
yang sama, soal karya indah Coetzee, soal hantu toko
buku, atau soal monyet berahi. []

Teddy W. Kusuma mengelola POST,


toko buku independen di Pasar Santa,
Jakarta. Buku pertamanya, “Kisah Kawan
di Ujung Sana” ditulis bersama Maesy Ang
terbit 2014. Bisa ditemui di
@dusty_sneakers dan thedustysneakers.
com.

57
58
Saya dan Romantisme

Saya terjebak dalam dunia romantisme.


Saya nggak bisa hidup tanpa novel roman. Yah,
sebenarnya bukan cuma novel tapi juga shoujo manga,
dorama Jepang, dan drama Korea. Bisa dibilang,
mereka bernapaskan hal yang sama: cerita romansa.
Bisa-bisa saya jadi orang linglung kalau sehari saja
saya nggak ketemu cerita roman.
Roman memberi saya semangat dan energi
untuk jatuh cinta setiap harinya. Saya yakin, penikmat
roman adalah jiwa-jiwa yang bebas mengelana dan
mudah jatuh cinta pada setiap karakter fiktif yang
ditemuinya. Jatuh cinta lagi dan lagi tanpa benar-
benar berkhianat. Menemukan secuil kenangan di
sebuah kejadian, membangun harapan manis dalam
sebuah adegan, dan merasa meleleh karena dialog
yang menghantam tepat di dada.
Pengalaman saya pertama kali membaca novel
cinta-cintaan adalah saat duduk di bangku SMP. Saya

59
bersekolah di SMP favorit. Bukan mau menyombong
tapi sungguh menyenangkan jika kita bisa menuntut
ilmu di sekolah yang punya fasilitas lengkap, terutama
perpustakaannya. Saya menganggap perpustakaan
adalah wajah sebenarnya dari sebuah sekolah.
Sekarang saja, kalau cari sekolah buat anak-anak, saya
carinya sekolah dengan perpustakaan yang memiliki
koleksi yang mendukung. Anak-anak yang dikelilingi
buku-buku pastilah anak-anak yang bahagia.
Kembali ke pengalaman pertama, saya kenal
novel roman remaja pertama kali dari Hilman
Hariwijaya. Melalui Lupus, yang saat itu adalah
gambaran cowok paling seru dan gokil sesemesta, saya
menemukan dunia remaja yang penuh warna-warni.
Hilman merupakan penulis populer dan nggak ada
matinya. Karyanya bukan hanya novel dengan
beragam judul, tapi juga aneka cerpen yang menghiasi
berbagai majalah remaja.
Di tahun 1998, saat saya masih duduk di SMP,
sinetron Karmila mengguncang dunia pertelevisian.
Pesona Paramitha Rusady, Teddy Syah dan Atalarik
Syah menambah kuat jalinan cerita yang memang
digarap sungguh matang. Sinetron Karmila ini
diadaptasi dari novel karya Marga T. Saya ingat betapa
bahagianya saya menemukan novel tersebut di
perpustakaan, dan bisa selesai membacanya hanya
dalam waktu sehari. Dari situ, akhirnya saya mulai
merambah ke bacaan roman yang lebih serius
semacam karya-karya Marga T dan Mira W. Dua

60
penulis ini enggak perlu diragukan lagi
kemampuannya dalam membuat jalinan kisah nan
manis lagi romantis.
Bukan itu saja, saya juga membaca roman sastra
lama seperti Sitti Nurbaya karya Marah Rusli—yang
akhirnya membuat saya tergila-gila pada pantun dan
sastra lama. Apalagi sebelumnya, saya pernah
menonton adaptasi novel ini melalui layar televisi
sekitar tahun 1991 ketika saya masih SD. Namun
tentunya membaca tidaklah sama dengan menonton,
gelenyar dan pedihnya roman ini tetaplah terasa lebih
dahsyat saat dibaca. Itu sebabnya, saya lebih memilih
membaca novel dulu sebelum menonton hasil
adaptasinya. Saya merasa lebih bebas untuk
berimajinasi dan mereka adegan dalam benak saya.
Menginjak SMA di tahun 1999, taman bacaan
mulai ramai di Yogyakarta. Menjamurnya taman
bacaan ini menjadi surga sekaligus neraka bagi saya.
Surga karena akses buku begitu mudahnya, saya bisa
membaca apa saja yang saya mau. Neraka karena
sebagai seorang siswa dengan jatah uang saku sepuluh
ribu rupiah seminggu, saya harus menahan diri tidak
jajan demi bisa menyewa buku. Padahal, saya
terhitung pembaca cepat (ini sepertinya menyombong
lagi) dan menghabiskan satu buku dalam sehari
bukanlah hal yang sulit. Tapi, karena keterbatasan
uang untuk menyewa, jadilah saya hanya bisa gigit
jari. Sempat terlintas dalam pikiran saya bahwa kalau
sudah kerja nanti, saya bakal “puas-puasin”

61
meminjam semua novel roman di semua taman
bacaan di Yogyakarta.
Sayang, mimpi itu tak terwujud. Setelah hampir
satu dekade, taman bacaan nyatanya malah terseok-
seok di kota yang konon merupakan kota pelajar ini.
Banyak taman bacaan mulai tutup, hanya tersisa satu-
dua saja yang masih berdiri hingga saat ini. Koleksinya
pun tidak lagi sebanyak dulu. Taman bacaan yang
sekarang masih ada hanya menyediakan buku-buku
dari penulis dan penerbit populer yang telah memiliki
pasar. Padahal, di masa jayanya sekitar tahun 1998 –
2005, taman bacaan begitu ramai dikunjungi dan saya
harus mengisi daftar antrean untuk menyewa novel
populer. Kadang, saya rindu suasana itu.
Dari lima taman bacaan yang saya datangi, saya
mendapatkan teman-teman baru. Teman untuk
sekadar memberi rekomendasi atau membahas novel
mana yang bagus. Di tempat itu, saya mendapatkan
kehangatan yang selalu saya rasakan setiap kali saya
berkumpul dan berbincang dengan sesama pencinta
buku. Pada masanya, taman bacaan adalah tempat
gaul yang nge-hits yang jadi tujuan utama sepulang
sekolah, kuliah, ataupun bekerja. Semoga saja,
memudarnya fenomena taman bacaan ini lebih
dikarenakan makin banyak orang yang memilih
membeli dan memiliki buku sendiri dan bukan karena
menyurutnya gairah membaca.

62
Hadirnya taman bacaan juga yang akhirnya
memperkenalkan saya pada seri novel terjemahan
yang "panas" di masa SMA. Saya berani jamin, orang
tua saya bakal marah besar kalau mereka tahu saya
membaca novel bergenre ini. Tapi, sepandai-
pandainya tupai melompat akhirnya jatuh juga.
Sepandai-pandainya saya menyembunyikan novel
dewasa akhirnya ketahuan juga. Sempat dimarahin sih
tapi nggak bikin saya kapok.
Banyak orang tua yang salah kaprah tentang
membaca novel dewasa. Banyak yang berpikir adegan
dewasa di dalam sebuah novel bisa mendorong
perilaku menyimpang pembacanya. Saya anggap itu
omong kosong. Semua kembali pada pribadi si
pembaca. Banyak orang yang saya kenal telah
membaca roman picisan bahkan jauh sebelum
menginjak dewasa, tapi mereka nggak lantas serta
merta penasaran dan coba-coba. Di sana ada
konsekuensi yang harus dihadapi sang tokoh cerita
yang justru bisa menjadi bahan renungan.
Kami memang jiwa-jiwa yang kehausan akan
romantisme tapi bukan kemudian kami jadi mudah
terpedaya. Kami bisa jatuh cinta berkali-kali pada
karakter fiktif tapi untuk jatuh cinta dan menyerahkan
segalanya pada seorang makhluk nyata, tentunya dia
harus melebihi atau setidaknya sama dengan karakter
idola kami. Sebutlah kami pemimpi, pengkhayal, atau
sebutan apa pun. Tapi, mimpi itulah yang membuat
kami nggak mudah “mengangkangkan” kaki.

63
Selama ini, novel romanlah yang menjaga saya
tetap waras. Saya akui saya adalah omnireader. Saya
membaca segala jenis genre buku yang menarik minat
saya. Saya membaca kumpulan cerpen, puisi, biografi,
self help, dan juga genre yang sekarang sedang
booming: parenting. Namun, kepada novel roman lah
saya selalu kembali setelah bertualang mencicipi
buku-buku lain. Seperti burung yang selalu kembali ke
sarangnya yang nyaman, seperti itulah roman bagi
saya. Kembali mengeja dan merapali alur kisah cinta
bagai mantra. Tersesat di sana sama
menyenangkannya dengan jatuh cinta di dunia nyata.
Itu sebabnya saya tak pernah berhenti. Tak pernah
mau berhenti.
Jika ditanya, mana yang paling saya suka di
antara novel roman terjemahan dan novel roman
lokal, dengan jujur saya katakan saya lebih suka novel
roman terjemahan. Bukannya saya nggak memihak
karya lokal, banyak penulis lokal yang mumpuni dan
menghasilkan karya yang luar biasa. Tapi, memang
dari kematangan ide, eksekusi cerita, plot, dan riset;
penulis luar terasa lebih baik. Nah, jadi jangan
meremehkan novel roman. Ini bukan sekadar kisah
yang mengumpul di benak penulis lalu dituliskan
tanpa melalui proses yang rumit. Dari satu jalinan
kisah roman yang saya baca dalam sebuah buku, di
sana tersimpan kerja keras, cita, dan rasa seorang
penulis. Mereka meniupkan napas hidupnya dalam
kisah karyanya dan berharap bisa memberi kekuatan

64
serta harapan bagi para manusia haus cerita seperti
saya. Itu sebabnya, saya sangat menghargai para
penulis yang benar-benar berkarya dengan segenap
hati mereka.
Namun, saat ini, novel roman populer lokal
sudah banyak mengalami perubahan dari sejak
pertama saya mengenalnya. Paling terlihat jelas
terutama pada pemilihan judulnya. Begitu banyak
novel yang berjajar di rak hampir semuanya
menggunakan judul dengan bahasa Inggris. Padahal,
bahasa Indonesia adalah bahasa yang kaya. Tapi,
kenapa hanya segelintir saja penulis yang
menggunakan bahasa Indonesia sebagai judul?
Sungguh sangat disayangkan. Saya sungguh ingin
novel roman lokal menjadi simbol dari kekayaan
bahasa dan budaya tanah air. Betapa inginnya saya
melihat novel-novel roman dengan judul dalam
bahasa Indonesia yang terangkai magis dan romantis
itu.
Kini, dua dekade setelah perkenalan saya
dengan novel roman, saya terdiam merenungi
kumpulan koleksi novel saya. Sayangnya, saya nggak
punya anak perempuan yang bisa diajak
menggosipkan karakter idaman atau adegan
maharomantis mana saja yang mengena di hati saya
dan ingin saya jalani bersama partner hidup saya.
Tidak, yang saya miliki adalah dua anak laki-laki yang
lebih memilih bacaan penuh petualangan sebagai

65
dongeng pengantar tidur mereka. Lalu, akan seperti
apa nasib buku koleksi saya nanti?
Tapi, benarkah jenis kelamin membatasi
pembaca novel roman? Saya kira tidak. Saya kenal
beberapa teman pria yang pembaca novel roman, dan
mereka adalah pria-pria hebat. Berdiskusi bersama
mereka selama berjam-jam benar-benar seru dan
menyenangkan. Bukankah itu artinya pria yang
membaca novel roman adalah pria paling menarik di
dunia? Mereka open minded, penuh pengertian, dan
punya persepsi yang asyik. Saya berangan agar kelak
anak-anak saya bisa seperti mereka. Suatu saat nanti,
saya ingin anak-anak mengenal genre yang membuat
ibu mereka merasa bahagia setiap harinya. Saya ingin
mereka bisa memahami karakter-karakter manusia
yang bisa ditemukan di dalam novel. Dengan begitu,
mereka bisa menjadi pribadi yang lebih kaya dalam
wawasan dan empati.
Saya ingin anak-anak lelaki saya tahu,
berimajinasi dalam romantisme bukanlah hal yang
memalukan dan cengeng. Justru, sebagai anak laki-
laki, mereka boleh dan perlu membaca roman. Saya
pikir jiwa mereka akan matang dalam menilai karakter
orang lain dan mereka juga akan memiliki social sense
yang tinggi. Dan, jika saatnya nanti tiba, saya ingin ada
di sana, di setiap baris paragraf yang mereka baca.
Saya ingin menemani mereka dalam diskusi-diskusi
panjang dan berbagi apa yang kami rasakan.
Keinginan saya hanya sederhana: saya ingin tetap

66
merasakan emosi-emosi yang muncul saat membaca
novel roman, bahkan hingga nanti, hingga saya
menua. Hingga mata saya mulai merabun dan tangan
saya bergetar saat membuka lembarannya.
Pada akhirnya, saya memang pecandu
romantisme yang selalu ingin jatuh cinta. Tetapi,
meski kita telah menemukan kata tamat di sana,
energi jatuh cinta itu akan tetap tertanam di benak
untuk dilepaskan di dunia nyata, untuk kemudian
dicurahkan pada seseorang yang nyata. Roman
sepicisan apa pun, bagi saya, akan tetap memberi
energi magis untuk jatuh cinta setiap hari. Itulah yang
saya cari. Dan, itulah yang selalu saya dapatkan. []

Nurina Widiani blogger buku yang aktif


meresensi buku di blognya
kendengpanali.blogspot.co.id. Buku dan
kopi adalah dua hal yang dicandunya.
Nurina bisa disapa dan diajak diskusi gila
di twitternya @KendengPanali.

67
68
Buku, Teman Terbaik
Seorang introver

Sebagai seorang introver, saya lebih suka memendam


perasaan saya seorang diri. Saya bukan tipe orang
yang mudah bergaul dengan bertatap muka secara
langsung. Bagi saya, tempat paling aman dan nyaman
adalah di rumah, di balik dinding dan naungan atap,
tanpa harus keluar dan mengobrol dengan orang lain.
Susahnya jadi introver salah satunya adalah
ketika kita punya masalah biasanya hanya dipendam
sendiri. Mau cerita ke orang lain kok ya males, nggak
diceritain kok ya makan hati. Kamu-kamu yang
introver sering merasa gitu nggak sih? Alhasil, saya
lalu mencari pelarian lain saat memiliki masalah. Ya
iya lah, namanya kutu buku ya larinya ke buku.
Masa kecil saya tidak bisa dibilang
menyenangkan, tapi tidak juga dibilang menyedihkan.
Sejak kelas lima SD, saya tidak lagi tinggal serumah
dengan orang tua melainkan di tempat eyang. Tinggal

69
jauh dari orang tua sejujurnya sempat membuat saya
agak depresi #tsaah tapi melihat saudara-saudara di
rumah eyang punya beberapa koleksi buku, diam-diam
saya nyuri waktu untuk membacanya. Yah, takut
dimarahin gitu deh, padahal sebenarnya mungkin
kalau saya bilang terus terang mungkin malah bakal
dipinjemin ya. Tapi, ya waktu itu saya masih cetek juga
pola pikirnya. Takut ketahuan, takut nggak boleh, lalu
dimarahin... XD.
Setelah stok buku mereka selesai saya baca, saya
mulai gelagapan karena kehabisan bacaan. Sampai
seorang teman memberi tahu saya dua kios yang
menawarkan buku untuk disewa. Pertama, tempatnya
terletak agak dekat dengan sekolah dan khusus
menyewakan serial Goosebumps. Kedua, lokasinya ada
di dekat tempat mengaji saya waktu sore. Isinya
macam-macam, mulai dari komik Donal Bebek sampai
majalah anak anak. Kebahagiaan saya pun meluap
lagi.
Sayangnya, kecepatan membacasaya tidak
sebanding dengan uang saku yang saya kumpulkan.
Bahahahaha. Belum lagi, eyang menerima aduan kalau
saya suka menyewa komik dan novel. Ditegurlah saya,
ya intinya saya harus bisa membagi uang saku dengan
baik, jangan dihabiskan untuk menyewa buku semua.
Ya, tapi gimana donk? Perasaan puas yang timbul
setelah menyewa buku baru itu tidak dapat
diungkapkan dengan kata-kata. Tidak tergantikan
dengan dua tiga buah cokelat ichiban pokoknya kalau

70
di zaman itu. Saya rela nggak jajan waktu istirahat
demi bisa menyewa buku baru untuk dibaca.
Tapi ya karena udah ditegur jadi saya sadar diri
juga sih. Saya mulai mengurangi intensitas menyewa.
Beruntungnya lagi, ada anak baru di kelas enam yang
mengoleksi banyak komik detektif di rumahnya. Saya
berbahagia tak terperi (#ahseeeek) karena bisa
meminjam buku kepadanya. Alhasil, uang saku pun
bisa untuk jajan sementara stok buku baru tetap
tersedia selama setahun. Saya mengenal Detective
Conan dan Kindaichi dari kawan baru itu. Sayangnya,
saya kehilangan kontak dengannya setelah lulus SD.
Padahal, jasanya besar banget buat saya (Sebenarnya,
saya kehilangan kontak juga dengan sebagian besar
teman SD he he he).
Setelah lulus SD, saya meneruskan sekolah di
sebuah kota kecil di Jawa Timur, tepatnya di kaki
gunung Lawu. Saya tinggal berdua dengan simbah dari
Mama di desa yang jaraknya sih cuma 3 – 4 km ke
kota. Tapi, di sana susah nyari angkutan umum.
Minggu-minggu pertama, saya benar-benar dibuat
patah semangat. Selain di-bully karena perbedaan
bahasa di sekolah, saya juga stres karena nggak bisa ke
mana-mana.
Saya capek cerita ke Simbah ataupun para guru
karena toh teman-teman tetap saja mem-bully saya.
Untungnya, saya punya seorang sahabat sejak kecil
yang tinggal di sebelah rumah, bahkan berdempetan

71
dengan rumah Simbah. Dari dia, saya dapat info
tempat penyewaan buku di sekitar desa. Maklum, saat
itu belum banyak anak muda yang punya motor
sendiri. Kalau mau ke kota, harus naik angkutan dua
kali. Angkutannya langka pula. Satu jam cuma lewat
sekali karena rutenya panjang. Di kota pun nggak ada
toko buku, adanya toko alat tulis yang merangkap
menjual majalah dan komik. Kalau mau beli buku
yang lumayan banyak variasinya, saya harus ke kota
sebelah yang berjarak sekitar 25 km dengan entah naik
apa. Sampai sekarang pun, kota saya itu masih nggak
punya toko buku. Begitulah.
Intinya sih, suatu sore saya mengajak sahabat
saya itu ke tempat persewaan itu setelah dapat bisikan
dari dirinya. Ternyata, ada banyak banget komik
cantik semacam Topeng Kaca dan kawan-kawannya.
Dulu, saya jarang baca komik cantik sih tapi karena
adanya cuma itu ya diembat aja dong. Setiap kali
pinjam, saya hanya boleh membawa dua. Alhasil, bisa
setiap hari saya ke sana. Dua komik sehari? Bercanda
ah. Dua komik mah satu malam juga kelar.
Tapi, ternyata kebahagiaan itu tidak
berlangsung lama. Tidak sampai dua bulan berselang,
si empunya koleksi buku, yang memang sedang sakit,
semakin parah sakitnya. Akhirnya, mereka pergi ke
luar kota untuk mendapatkan perawatan yang lebih
baik. Sedih? Iya banget. Dobel malahan. Kalau si
kakak baik hati itu sedang lumayan fit, saya biasa
mengobrol macam-macam dengannya. Sayangnya, ia

72
lebih sering tidak fit. Saya kehilangan dua hal
sekaligus.
Saat SMA, saya baru tahu ada perpustakaan
daerah yang berada tak jauh dari tempat saya
menunggu angkutan sepulang sekolah. Udah gitu, di
perpustakaan masjid juga banyak novel. Ditambah
lagi, persis di sebelah sekolah ada kios persewaan
buku yang cukup komplit. Wah bahagianya saya! Yah,
SMA merupakan masa kejayaan saya bersama buku di
kota kecil itu. Bullying? Galau? Udah cuek aja saya
mah, mending berburu buku baru buat dibaca.
Masa lain ketika saya menjadikan buku sebagai
soul mate tempat berbagi derita adalah saat
mengerjakan skripsi. Waktu itu, masih semester tujuh,
saya mulai mengerjakannya dengan semangat 45.
Apalagi, saat itu saya sudah punya anak jadi
harapannya agar bisa cepat kelar dan cepat rampung
urusan perkuliahan ini. Tapi, toh skripsi ya begitu.
Istilahnya, semakin dikejar malah lari menjauh alias
nggak rampung-rampung. Apalagi, prosedur skripsi
saya waktu itu cukup panjang: membuat bahan,
aplikasi, analisa data. Entah sudah berapa kali gagal
sintesis, sampai saya hampir menyerah. Terus pelarian
saya? Buku dong.
Di belakang kampus, tepat di tepi jalan raya, ada
sebuah kios yang menyediakan buku-buku untuk
disewa. Tentu saja, saya senang bukan kepalang.
Apalagi, dari Mbak penjaga kios yang baik hati itu saya

73
juga mendapatkan info tentang tempat-tempat
persewaan buku lainnya. Jadi, kalau buku yang saya
incar lagi nggak ada di satu tempat, saya akan mencari
ke tempat berikutnya.
Buku-buku inilah yang saya bawa ke
laboratorium sambil mengerjakan skripsi karena
penelitian saya biasanya ada jeda menunggu yang
cukup lama, baik saat pembuatan bahan maupun
aplikasinya. Ujung-ujungnya sih, senang karena bisa
baca banyak buku baru. Tapi, nggak enaknya jadi
males cari materi skripsi. Akhirnya, jadi semakin
molor lah itu garap skripsinya. #deritakutubuku tapi
bukan #kutujurnal
Akhirnya, meski dengan berat hati, saya tahu
saya harus memilih antara menghabiskan novel di kios
atau menyelesaikan referensi skripsi. Yah, memang
sudah bosan kuliah juga sih ya sehingga akhirnya saya
memfokuskan diri kembali ke tumpukan jurnal, materi
tesis, perpustakaan fakultas, dan diskusi dengan dosen
pembimbing. Semua demi harapan agar kelak kalau
skripsi sudah selesai, saya bisa meneruskan meminjam
buku tanpa harus khawatir macem-macem. Meski niat
agak bergeser, syukurlah saya berhasil
menyelesaikannya tepat waktu. Tepat 4,5 tahun (iye
lama yaaa. Eh tapi anak saya udah tiga tahun loh
waktu itu XD) sebelum semester berikutnya dimulai.
Tapi, di antara semua pengalaman saya, saat
kehamilan dan melahirkan anak pertama lah yang

74
membuat saya benar-benar merasa terbantu dengan
kehadiran buku. Waktu hamil pertama, saya baru
berumur delapan belas tahun, waktu itu baru masuk
kuliah semester satu. Tinggal ratusan kilometer
jauhnya dari sanak saudara apalagi orang tua, saya
divonis hiperemesis—bahasa keren dari muntah-
muntah yang berlebihan pada ibu hamil. Setiap kali
muntah, rahang saya mengalami dislokasi sehingga
saya harus dilarikan ke UGD untuk mengembalikan
rahang ke posisi semula. Iya, jadi tiap muntah begitu,
mulut saya mangap sampai nggak bisa menutup lagi.
Menderita? Banget. Orang-orang bilang nikmati aja
kehamilan kamu, saya malah sama sekali nggak bisa
menikmati.
Di awal kehamilan, saya merasa desperate.
Lapar, tapi nggak doyan makan. Lihat nasi saja mual.
Keluar rumah males, apalagi ngerjain tugas kuliah.
Bah. Nggak ada pingin-pinginnya sama sekali. Sampai
kemudian, saya diajak suami ke toko buku. Alih-alih
membeli fiksi, saya berniat untuk mencari buku
panduan kehamilan plus buku chicken soup. Lumayan
sih, dapat dua seri chicken soup buat emak-emak dan
dua buku panduan kehamilan. Sebelumnya, saya
memang berlangganan majalah parenting, Ayah
Bunda, sampai ke tabloid yang bertema emak-emak.
Tapi, di dalamnya ada terlalu banyak petuah sehingga
kurang terasa nyata. Nggak ada susah susahnya blas
gitu pengalaman hamil di dalamnya.

75
Nah, di dalam seri chicken soup ini baru deh
saya menemukan berbagai macam cerita tentang
kehamilan yang bermasalah. Cerita yang berakhir
bahagia, berakhir duka, banyak air mata. Hampir
semua cerita di dalamnya menyentuh banget buat
saya. Oh iya, seri yang saya beli judulnya for expectant
mothers' soul.

***

Saya merasa punya teman, meski nggak pernah


ketemu. Saya juga jadi temotivasi mencoba berbagai
tips yang tersirat dalam cerita di dalamnya. Fyi, saat
hamil anak pertama, internet masih jauh lebih mudah
diakses di warnet sehingga saya nggak punya akses
untuk mencari segala macam di internet. Saya cuma
punya email dan friendster. Nggak ada Facebook
apalagi grup-grup motivasi plus sharing emak-emak
kayak sekarang. Maka dari itu, pilihan saya jatuh ke
barisan buku-buku tentang anak dan parenting.
Sampai sekarang pun, saat saya memiliki
masalah dan tak berani menceritakannya ke orang
lain, saya merasa lebih baik menceritakannya ke
Tuhan dan lebih banyak mendengarkan. Terutama,
mendengarkan kisah-kisah di dalam buku baik fiksi
maupun nonfiksi. Chicken soup, novel, ataupun
kumpulan puisi. Bagi saya, memahami kata-kata lebih
mudah daripada menyelami jiwa saya sendiri. Dan

76
saat momen ‘aha’ itu muncul, saya merasa saya nggak
pernah sendirian. Ada banyak pengalaman, petuah,
serta rasa cinta yang bisa didapatkan dari sebuah
buku. Mungkin, karena itu juga, terasa lebih nyaman
saat saya membaca buku ketimbang harus mengobrol
dengan seseorang. Seperti yang dibilang Ernest
Hemingway, "There is no friend as loyal as a book." []

Alvina Ayuningtyas, ISFJ. Pembaca


yang sering nggak tahan lihat buku
dengan cover bagus. Blogger di Mari
Ngomongin Buku. Bisa didengerin
celotehannya di @alvina13.

77
78
Neil Gaiman:
Mengapa masa depan kita
bergantung pada
perpustakaan, membaca, dan
fantasi

Sebuah uraian yang menjelaskan mengapa


membangkitkan imajinasi diri sendiri dan membantu
membangkitkan imajinasi orang lain adalah
kewajiban semua orang.

Penting bagi kita semua untuk mengetahui posisi dan


alasan orang lain, serta jika mereka memiliki
kecenderungan tertentu. Ini semacam menunjukkan
bahwa setiap orang memiliki minatnya masing-
masing. Jadi, mari kita berbicara tentang membaca.
Saya akan membahas betapa pentingnya
perpustakaan. Saya akan mengungkapkan pendapat
saya bahwa membaca cerita fiksi dan hobi membaca

79
adalah salah satu pengalaman paling berharga yang
bisa dirasakan seseorang. Saya bertekad untuk
membantu orang memahami pentingnya
perpustakaan dan pustakawan yang melayani di sana,
serta untuk menjaga kelestarian keduanya.

Dan saya sudah pasti dan sungguh-sungguh


tidak lepas dari bias: saya adalah seorang penulis,
kebanyakan tulisan saya adalah fiksi. Tulisan saya
dinikmati oleh anak-anak atau dewasa. Selama 30
tahun terakhir, sumber penghidupan saya adalah kata-
kata yang kebanyakan terangkai dan tertuang dalam
wujud tulisan. Sudah pasti, ada dorongan tersendiri
dalam hati saya untuk memupuk kebiasaan membaca
dalam diri orang lain, mendorong mereka membaca
tulisan fiksi, menjaga keberadaan perpustakaan dan
pustakawan, serta menumbuhkan rasa cinta terhadap
kebiasaan membaca dan tempat-tempat yang
mengembangkan kebiasaan membaca.
Sebagai penulis, saya tidak akan bisa lepas dari
bias. Namun, bias ini jauh lebih kuat jika saya
berbicara sebagai seorang pembaca. Bahkan bias ini
teramat kuat ketika saya berbicara sebagai warga
negara Inggris.
Dan malam ini, dan di tempat ini, saya berbicara
atas dukungan dari the Reading Agency: gerakan amal
yang mengusung misi untuk memberikan kesempatan
hidup yang setara kepada semua orang dengan

80
membantu mereka menjadi pembaca yang antusias
dan percaya diri. The Reading Agency juga
mendukung program literasi, perpustakaan, dan
perorangan, serta secara terbuka dan tanpa pandang
bulu mendukung kebiasaan membaca. Semua ini
karena mereka meyakini bahwa semuanya bisa
berubah ketika kita membaca.
Perubahan inilah dan kebiasaan membaca yang
akan kita bicarakan malam ini. Saya ingin berbicara
tentang hal yang kita peroleh dari membaca. Dan,
manfaat membaca itu sendiri.
Sekali waktu, saya pernah berada di New York
dan sempat menghadiri seminar tentang rencana
pembangunan penjara milik swasta—sebuah industri
yang tengah tumbuh pesat di Amerika. Industri
penjara swasta harus merencanakan perkembangan
masa depan mereka—seperti berapa jumlah sel yang
diperlukan? Berapa jumlah tahanan, misalnya, 15
tahun dari sekarang? Namun nyatanya, mereka tidak
kesulitan menyelesaikan masalah ini: cukup
menggunakan rumus sederhana dengan menghitung
persentase anak berumur 10 –11 tahun yang tidak bisa
membaca dan yang tentu saja tidak gemar membaca.
Bukan berarti masyarakat yang melek huruf
(terdidik) bebas dari kriminalitas—tapi terdapat
korelasi yang nyata antara dua variabel ini.

81
Dan saya kira sebagian korelasi yang disebutkan
di atas bermuara pada kesimpulan yang sederhana:
mereka yang terdidik gemar membaca fiksi.
Fiksi memiliki dua manfaat. Pertama, fiksi
adalah gerbang menuju kecanduan membaca. Fiksi
memancing rasa penasaran kita untuk mengetahui
kelanjutan cerita, membalik halamannya, dan terus
membaca. Bahkan ketika Anda ingin berhenti, Anda
tidak kuasa karena tokoh favorit Anda mengalami
kesulitan dan Anda harus mengetahui akhir ceritanya.
Dorongan ini sangat nyata. Rasa penasaran ini
mengharuskan Anda mempelajari kata-kata baru,
membersitkan hal-hal yang belum pernah Anda
pikirkan, dan terus membaca. Hingga akhirnya Anda
menyadari bahwa membaca itu memang
menyenangkan. Menyadari hal tersebut berarti Anda
siap untuk berpetualang bersama segala bentuk
tulisan. Dan, kuncinya adalah membaca. Beberapa
tahun yang lalu, terdengar rumor yang mengatakan
bahwa kita hidup di era pascaaksara ketika
kemampuan kita untuk memahami makna tulisan
sudah tidak lagi diperlukan. Namun, rumor tersebut
hilang oleh gerusan waktu. Sekarang, kata dan tulisan
memegang peran yang jauh lebih penting dari
sebelumnya. Kita menjelajah dunia dengan kata-kata
dan, seiring bergesernya dunia menuju ranah digital,
kita harus mengikutinya untuk dapat berkomunikasi
dan memahami tulisan yang kita baca. Mereka yang
tidak dapat saling memahami kehilangan kesempatan

82
untuk bertukar gagasan serta berkomunikasi, dan
program penerjemahan tidak akan mampu
menjembatani isi pikiran mereka.
Cara paling sederhana untuk memastikan bahwa
kita nantinya memiliki generasi muda yang gemar
membaca adalah mengajari mereka membaca, dan
menunjukkan kepada mereka bahwa membaca adalah
aktivitas yang menyenangkan. Melakukan hal itu
sesederhana mencari tahu buku yang mereka suka,
menyediakan buku tersebut, dan membiarkan mereka
membacanya.
Menurut saya, tidak ada buku yang tidak baik
untuk anak-anak. Sesekali waktu, dengan
pertimbangannya, sekelompok orang dewasa akan
menunjuk satu kategori buku anak-anak, satu genre,
atau bahkan seorang pengarang, dan menilai bukunya
tidak layak serta tidak boleh dibaca oleh anak-anak.
Fenomena tersebut sudah tidak asing bagi saya. Enid
Blyton pernah dicap sebagai pengarang yang buruk.
Demikian juga RL Stine dan lusinan penulis lainnya.
Tidak sedikit komik yang bahkan dituding sebagai
penyubur kebodohan.
Itu semua omong kosong. Itu menjadi bukti
keangkuhan dan kebodohan semata. Selama anak-
anak masih menyukai cerita, membaca buku, dan
mencari bacaan, tidak ada yang namanya pengarang
cerita anak yang buruk. Setiap anak itu unik. Mereka
dapat menemukan cerita yang mereka inginkan dan

83
membenamkan diri dalam cerita tersebut. Gagasan
yang menurut Anda membosankan belum tentu
membosankan bagi mereka. Bisa jadi, inilah kali
pertama mereka menemukannnya. Jangan melarang
anak-anak membaca hanya karena Anda merasa
bacaan tersebut tidak cocok bagi mereka. Cerita fiksi
yang tidak Anda sukai mungkin hanyalah jalan
alternatif menuju buku favorit Anda yang lain. Dan,
tidak semua orang mempunyai selera yang sama
dengan Anda.
Niat baik orang dewasa dapat dengan mudah
meruntuhkan minat baca anak-anak: jika Anda
melarang mereka membaca buku yang mereka sukai,
atau memaksa mereka membaca buku favorit Anda—
yang sarat informasi dan menjemukan, ibarat versi
abad ke-21 dari sastra era Victoria yang “terpuji”. Anda
tentu tidak ingin memiliki generasi penerus yang
beranggapan bahwa membaca adalah aktivitas yang
tidak keren dan, gawatnya lagi, tidak menyenangkan.
Kita ingin anak-anak kita melangkah bersama
buku: tulisan apa pun yang mereka nikmati akan
mendorong mereka, langkah demi langkah, menuju
kebiasaan membaca. (Jangan mencontoh pengalaman
saya dengan putri saya yang pada waktu itu berusia 11
tahun. Saat itu, Holly tengah gemar membaca karya
RL Stine dan saya memaksa Holly membaca buku
Stephen King yang berjudul Carrie dengan alasan “jika
kamu suka buku itu, kamu pasti juga suka buku ini.”
Pada akhirnya, Holly menghabiskan masa remajanya

84
menghindari cerita horor dan akan memelototi saya
setiap kali nama Stephen King disebut-sebut).
Manfaat fiksi yang kedua adalah membangun
empati. Setiap kali Anda melihat TV atau menonton
film, Anda menyaksikan kejadian yang dialami oleh
orang lain. Prosa fiksi tersusun dari 26 huruf berbeda
serta sejumlah tanda baca yang Anda racik sendiri
dengan bumbu imajinasi untuk menciptakan sebuah
dunia beserta karakter yang hidup di dalamnya, dan
Anda dapat melihat dari sudut pandang mereka. Anda
memiliki kesempatan untuk merasakan berbagai
macam emosi, mengunjungi tempat dan dunia yang
tidak pernah Anda ketahui sebelumnya. Anda
menemukan bahwa setiap orang di dunia tersebut
adalah diri Anda sendiri. Anda bermetamorfosis, dan
ketika kembali ke dunia nyata, perubahan tersebut
akan melekat pada diri Anda.
Empati menjadi alat untuk menempa individu
menjadi kelompok dan membantu kita memegang
peran yang lebih dari sekadar individu yang egois.
Setiap kali Anda membaca, Anda akan
menemukan berbagai hal penting yang dapat
membantu Anda menjalani hidup di dunia. Juga
bahwa:
Dunia tidak harus berjalan seperti ini. Ada
banyak hal yang dapat diubah.

85
Tahun 2007 kemarin, saya pergi ke Tiongkok
guna menghadiri sebuah konvensi fiksi ilmiah dan
fantasi yang resmi diselenggarakan untuk pertama
kalinya dalam sejarah negara tersebut. Pada satu
kesempatan, saya bertanya kepada salah satu
pelaksana konvensi tersebut, “Mengapa? Bukankah
fiksi ilmiah tidak pernah diterima sebelumnya?
Perubahan apa yang terjadi?”
Jawabannya sederhana saja. Orang Tiongkok
adalah produsen yang luar biasa, terutama ketika
orang lain menyediakan rancangan untuk mereka
jalankan. Namun demikian, mereka tidak membuat
inovasi dan tidak pula menciptakan hal yang baru.
Mereka tidak berimajinasi. Oleh karena itu, mereka
mengirim delegasi ke Amerika Serikat, tepatnya ke
Apple, Microsoft, dan Google, untuk mencari tahu cara
orang Amerika Serikat menciptakan masa depan
mereka sendiri dan dunia. Delegasi Tiongkok
menemukan bahwa masa kecil orang Amerika Serikat
dipenuhi dengan cerita fiksi ilmiah.
Fiksi dapat membuka jendela ke dunia yang
baru. Fiksi membawa Anda ke tempat yang belum
pernah Anda kunjungi sebelumnya. Sekalinya Anda
menyaksikan dunia baru yang luar biasa, ibarat
menemukan keindahan yang tiada tara, Anda tidak
akan pernah puas dengan dunia Anda sendiri. Rasa
tidak puas itu penting: orang yang tidak berpuas diri
dengan dunia mereka selalu termotivasi untuk

86
menghadirkan perubahan dan peningkatan,
membuatnya berbeda dan lebih baik.
Dan selagi kita membicarakan topik ini, saya
ingin sedikit mengulas tentang eskapisme (pelarian).
Banyak orang menganggap eskapisme identik dengan
sesuatu yang buruk. Cerita fiksi ‘eskapis’ dianggap
candu murahan yang digunakan oleh mereka yang
putus asa, bodoh, dan delusional. Mereka yang
berasumsi demikian menganggap bahwa cerita fiksi
yang layak dibaca, oleh orang dewasa dan anak-anak,
adalah dunia fiksi mimesis semata yang
menyimulasikan keburukan dunia yang dialami oleh
pembaca.
Bayangkan Anda terjebak dalam situasi yang
berbahaya, bersama orang yang berniat buruk kepada
Anda, dan muncul seseorang yang menawarkan jalan
keluar sementara. Apakah ada alasan untuk
menolaknya? Seperti itulah fiksi eskapisme: kisah fiksi
yang membuka pintu, yang memberikan secercah
cahaya, yang membawa Anda menuju kebebasan, dan
yang menyatukan Anda dengan mereka yang Anda
kasihi (dan, jangan salah, buku merupakan tempat
yang nyata); dan terlebih lagi, selama pelarian Anda,
buku juga akan memberikan pengetahuan mengenai
dunia dan situasi yang Anda alami, mempersenjatai,
dan melindungi Anda: bekal yang dapat Anda bawa
kembali ke dunia nyata yang mengungkung diri Anda.
Keterampilan, pengetahuan, dan peralatan yang dapat
Anda gunakan untuk benar-benar melarikan diri.

87
JRR Tolkien pernah mengatakan bahwa satu-
satunya orang yang mengecam kebebasan adalah sipir
penjara.
Cara lain yang dapat meruntuhkan minat baca
anak-anak adalah, tentunya, tidak memberikan buku
bacaan apa pun pada mereka. Atau tidak memberikan
tempat dan kesempatan untuk mereka membaca buku
tersebut. Hidup saya cukup beruntung. Saya tumbuh
dewasa di sebuah kota yang memiliki perpustakaan.
Orang tua saya dapat dengan mudah dibujuk untuk
mengantarkan saya ke perpustakaan ketika mereka
berangkat bekerja di waktu liburan musim panas dan
para pustakawan di sana tidak keberatan ditemani
anak kecil yang setiap hari hilir mudik keluar masuk
bagian anak-anak dan menelusuri katalog buku,
mencari buku yang berisi kisah hantu atau sihir
ataupun roket, serta buku cerita tentang vampir,
detektif, penyihir, atau keajaiban. Pada akhirnya saya
selesai membaca seluruh buku di bagian anak-anak
dan mulai berpetualang ke bagian buku dewasa.
Saya mengagumi para pustakawan di sana.
Mereka merawat buku dengan baik dan mereka
senang melihat buku dibaca oleh orang lain. Mereka
mengajari saya cara meminjam buku dari
perpustakaan lain. Mereka tidak pernah menggurui
saya tentang buku yang saya baca. Mereka tampak
gembira melihat ada anak kecil yang penuh rasa ingin
tahu dan gemar membaca. Mereka juga kerap
berbincang dengan saya tentang buku yang saya baca.

88
Tidak jarang mereka membantu saya mencari buku
lanjutan dari seri yang saya ikuti. Saya diperlakukan
selayaknya seorang pembaca—tidak kurang dan tidak
lebih—yang artinya mereka menghormati saya. Untuk
seorang anak berumur 8 tahun, diperlakukan
demikian adalah sesuatu yang istimewa.
Namun demikian, perpustakaan merupakan
tempat penuh kebebasan. Kebebasan membaca,
kebebasan mencetuskan gagasan, dan kebebasan
berkomunikasi. Perpustakaan adalah tempat mencari
pengetahuan (sebuah proses yang tidak boleh berhenti
hanya karena kita lulus sekolah atau kuliah),
menemukan hiburan, menciptakan ruang kita sendiri,
dan memperoleh akses informasi.
Saya khawatir bahwa, pada abad ke-21 ini,
masyarakat menyalahartikan perpustakaan dan tujuan
mereka dibangun. Apabila Anda menganggap
perpustakaan sebagai gudang buku, Anda akan merasa
bahwa perpustakaan adalah relik masa lalu yang usang
dan kuno di dunia, tempat hampir keseluruhan buku
yang pernah dicetak, atau bahkan semuanya, dapat
diperoleh secara digital. Namun, itu berarti kita tidak
memahami makna perpustakaan yang sebenarnya.
Menurut saya, ini ada hubungannya dengan cara
kerja informasi. Informasi memiliki nilai, dan
informasi yang tepat tidak ternilai harganya.
Sepanjang sejarah umat manusia, kita telah melewati
era ketika informasi menjadi sesuatu yang langka, dan

89
memiliki informasi yang kita butuhkan merupakan hal
yang penting serta setiap informasi memiliki harga
tersendiri: tempat kita harus bercocok tanam, tempat
kita dapat menemukan hal yang kita cari, cara
membaca peta, sejarah, dan cerita lainnya – informasi
adalah mata pencaharian dan pendamping keseharian
kita. Informasi adalah sesuatu yang bernilai dan kita
sering kali harus membayar mahal kepada mereka
yang memiliki atau mengetahui cara memperoleh
informasi.
Dalam beberapa tahun terakhir, kita sudah
beralih dari era kelangkaan informasi menuju era yang
haus informasi. Menurut Eric Schmidt dari Google,
jumlah informasi yang dihasilkan umat manusia
selama 2 hari setara dengan jumlah informasi yang
dihasilkan pada awal peradaban hingga tahun 2003
silam. Sebagai gambaran, ini berarti kita
menghasilkan lima eksabita data setiap harinya. Jadi,
tantangan yang kita hadapi sekarang bukan lagi cara
menemukan informasi, melainkan cara menemukan
rumpun informasi yang tepat di tengah belantara data.
Sudah pasti kita akan membutuhkan bantuan untuk
menelusurinya dan menemukan informasi yang kita
butuhkan.
Perpustakaan adalah tempat kita mencari
informasi. Buku hanyalah ujung kecil dari gunung es
informasi: buku ada di perpustakaan yang
menyediakannya kepada Anda secara legal dan cuma-
cuma. Sekarang ini, jumlah anak-anak yang

90
meminjam buku dari perpustakaan jauh lebih besar
dari sebelumnya—apa pun jenis bukunya: cetak,
digital, dan audio. Tak hanya itu, perpustakaan,
sebagai contoh, juga membantu mereka yang tidak
memiliki komputer atau sambungan internet untuk
menjelajahi dunia maya secara cuma-cuma: sangat
bermanfaat ketika cara kita mencari pekerjaan,
melamar pekerjaan, dan mencari tunjangan
berangsur-angsur beralih melalui dan hanya tersedia
pada dunia digital. Para pustakawan dapat membantu
mereka menjelajahi dunia tersebut.
Menurut saya, tidak semua buku akan atau
harus diubah ke dalam bentuk digital: sebagaimana
disampaikan Douglas Adams kepada saya lebih dari 20
tahun yang lalu dan sebelum Kindle diciptakan: buku
cetak itu ibarat ikan hiu. Ikan hiu adalah makhluk
purba: mereka sudah ada jauh sebelum dinosaurus.
Alasan mengapa ikan hiu masih ada hingga sekarang
adalah karena tidak ada makhluk lain yang dapat
menggantikan tempat ikan hiu di dalam lautan. Buku
itu tangguh, sulit dihancurkan, tahan air, bertenaga
surya, dan nyaman dalam genggaman: posisi buku
tidak tergantikan dan akan selalu ada tempat untuk
buku. Buku sudah selayaknya ada di perpustakaan,
sebagaimana perpustakaan kini menjadi rumah bagi
buku digital, buku audio, DVD, dan konten web.
Perpustakaan menjadi tempat menyimpan
informasi dan memberikan akses informasi yang
setara kepada semua orang. Termasuk informasi

91
kesehatan dan informasi kesehatan psikologis.
Perpustakaan adalah tempat umum. Tempat yang
menawarkan rasa aman dari hiruk pikuk dunia.
Tempat hidup para pustakawan. Sekarang adalah saat
yang tepat untuk membayangkan seperti apa nantinya
perpustakaan di masa yang akan datang.
Saat ini, di dunia yang dipenuhi dengan teks,
email, dan informasi tertulis, kemampuan membaca
menjadi sesuatu yang jauh lebih penting dari
sebelumnya. Kita dituntut untuk dapat membaca dan
menulis dan kita membutuhkan masyarakat global
yang dapat membaca tanpa kesulitan, memahami hal
yang mereka baca, menangkap nuansa tulisan, dan
menyampaikan maksud mereka secara jelas.
Perpustakaan sesungguhnya adalah gerbang
menuju masa depan. Maka dari itu, sangat
disayangkan ketika kita melihat betapa mudahnya
pemerintah setempat memanfaatkan kesempatan
menutup perpustakaan untuk menghemat biaya.
Mereka tidak menyadari bahwa mereka membiayai
masa sekarang dengan mengorbankan masa depan.
Mereka menyegel gerbang yang semestinya tetap
terbuka.
Penelitian yang dilakukan oleh Organization for
Economic Cooperation and Development menemukan
bahwa Inggris adalah satu-satunya negara yang
masyarakat usia lanjutnya memiliki nilai kecakapan
bahasa dan angka yang jauh lebih tinggi daripada

92
generasi mudanya, setelah memperhitungkan faktor-
faktor lain seperti jenis kelamin, latar belakang sosial-
ekonomi, dan jenis pekerjaan.
Dengan kata lain, anak dan cucu kita memiliki
wawasan bahasa dan angka yang jauh lebih rendah
daripada kita. Mereka tidak lebih cakap menjelajahi
dunia, memahami masalah dunia, dan
memecahkannya daripada kita. Mereka akan lebih
mudah dibohongi dan diperalat, mengalami kesulitan
mendorong perubahan di dunia tempat tinggal
mereka, dan kesulitan mencari pekerjaan. Semua ini
dapat terjadi. Sebagai sebuah negara, Inggris akan
semakin tertinggal dari negara maju yang lain karena
kurangnya tenaga kerja ahli yang dihasilkan.
Buku menjadi penghubung antara kita yang
masih hidup dan mereka yang sudah tiada. Cara kita
belajar dari mereka yang tidak lagi bersama kita,
bahwa umat manusia dibangun di atas pilar-pilar para
pendahulu, dikembangkan, dan dirancang sedemikian
rupa sehingga pengetahuan menjadi sesuatu yang
terus tumbuh, ketimbang sesuatu yang harus
dipelajari secara berulang-ulang. Terdapat kisah yang
jauh lebih tua dari negara asalnya, yang bertahan jauh
lebih lama dari kebudayaan yang mengilhaminya, dan
penggambaran megah bangunan langsung dari
masanya.
Masa depan adalah tanggung jawab kita semua.
Tanggung jawab dan kewajiban terhadap anak-anak

93
kita, terhadap pertumbuhan mereka menjadi orang
dewasa, dan terhadap dunia tempat mereka tinggal di
masa depan nanti. Kita semua – tanpa terkecuali,
sebagai pembaca, penulis, dan warga negara –
memiliki kewajiban yang sama. Saya merasa perlu
untuk mencoba menjabarkan beberapa kewajiban
tersebut di sini.
Saya yakin kita semua memiliki kewajiban untuk
membaca demi kepuasan pribadi, baik ketika sendiri
maupun berada di tempat umum. Jika orang lain
melihat kita membaca dan memperoleh kepuasan
pribadi, itu berarti kita belajar dan menggerakkan
imajinasi kita. Kita menunjukkan kepada mereka
bahwa membaca itu menyenangkan.
Kita memiliki kewajiban untuk mendukung dan
memanfaatkan perpustakaan, menghimbau orang
untuk memanfaatkan perpustakaan, serta memprotes
penutupan perpustakaan tanpa alasan yang jelas.
Tidak menghargai perpustakaan berarti tidak
menghargai informasi, budaya, atau wawasan.
Melakukannya berarti membungkam masa lalu dan
menghancurkan masa depan.
Kita memiliki kewajiban untuk membacakan
cerita kepada anak-anak kita secara lantang. Untuk
membacakan cerita yang mereka sukai. Untuk
membacakan cerita yang mungkin kita sendiri sudah
bosan membacakannya. Untuk menirukan suara
karakter dalam cerita, menjiwai karakter tersebut, dan

94
tidak serta-merta berhenti membacakan cerita kepada
anak-anak kita hanya karena mereka sedang belajar
membaca sendiri. Manfaatkan waktu mendongeng
untuk mengakrabkan diri. Tenggelamkan diri ke
dalam dunia tempat telepon tidak dapat menjangkau
Anda dan gangguan dunia tersisihkan.
Kita berkewajiban untuk menggunakan bahasa.
Untuk mendorong diri kita sendiri: mempelajari kata-
kata baru dan cara menggunakannya, berkomunikasi
secara jelas, serta menyampaikan makna yang kita
maksud. Kita tidak boleh membekukan bahasa atau
menganggap bahasa sebagai benda mati yang harus
dihormati. Namun, kita harus menggunakan bahasa
seolah bahasa adalah benda hidup yang terus
mengalir, yang bermain-main dengan kata, yang
membuat makna, dan pengucapan berubah seiring
waktu.
Kita sebagai penulis—semua penulis pada
umumnya dan khususnya penulis buku anak-anak—
memiliki kewajiban terhadap pembaca kita. Hal ini
sangat penting, terutama saat kita menulis mengenai
orang dan tempat yang sebenarnya tidak ada—untuk
memahami bahwa tulisan yang nyata bukanlah
tentang sesuatu yang benar-benar terjadi, tapi tentang
apa yang kita pelajari dari diri kita setelah membaca
tulisan tersebut. Karena pada akhirnya, fiksi adalah
sebuah kebohongan yang berkisah tentang kebenaran.
Kita, para penulis, memiliki kewajiban untuk
mengusik rasa ingin tahu pembaca dan mendorong

95
mereka membuka halaman berikutnya. Obat untuk
melawan rasa malas membaca adalah sebuah dongeng
yang membuat jari mereka tidak bisa berhenti
membalik halaman. Meskipun sebagai penulis kita
diwajibkan untuk menceritakan kebenaran,
memberikan senjata dan perisai, serta mewariskan
segala pengetahuan yang kita kenyam selama masa
hidup kita yang singkat di dunia yang kaya ini, kita
tidak boleh menggurui, mendikte, ataupun
memaksakan nilai moral dan pesan yang terlampau
sederhana layaknya induk burung yang menyuapi
anak-anaknya dengan cacing tanah. Kita memiliki
kewajiban untuk tidak akan pernah, dalam kondisi apa
pun, menulis karya untuk anak-anak yang bahkan kita
sendiri tidak bersedia membacanya. Kita memiliki
kewajiban untuk memahami dan mengakui bahwa,
sebagai seorang penulis buku anak-anak, kita
melakukan pekerjaan yang sangat penting. Karena,
jika kita membuat kesalahan dengan menulis buku
cerita membosankan yang mengakibatkan mereka
berpaling dari membaca dan buku, kita secara tidak
langsung menggerogoti masa depan kita sendiri dan
merusak masa depan generasi penerus kita.
Kita semua—dewasa dan anak-anak, penulis dan
pembaca—memiliki kewajiban untuk bercita-cita. Kita
memiliki kewajiban untuk berimajinasi.
Membayangkan dunia sebagai tempat yang tidak bisa
diubah itu mudah, bahwa kita hidup di dunia yang
menganggap masyarakat sebagai sesuatu yang masif

96
dan individu nyaris tidak berharga: bagaikan atom
dalam dinding atau bulir padi di hamparan sawah
yang luas. Namun, kenyataannya, perubahan dunia
dimulai dari seseorang, masa depan dimulai dari
seseorang, dan cara mereka melakukannya selalu
dimulai dari imajinasi tentang dunia yang berbeda.
Lihatlah sekitar Anda: saya bersungguh-
sungguh. Berhentilah sejenak dan tengok ruangan
tempat Anda berada. Saya akan mengatakan sesuatu
yang terpampang nyata di hadapan Anda hingga Anda
tidak menyadarinya. Bahwasanya: semua yang ada di
dalam ruangan tersebut, bahkan tembok-temboknya,
dulunya hanyalah sesuatu yang mendekam dalam
imajinasi seseorang. Dahulu, ada orang yang merasa
pekerjaan akan lebih mudah ketika dilakukan dengan
duduk di atas kursi daripada di atas tanah, dan dia
menciptakan kursi. Saya dapat berbicara di hadapan
Anda di kota London ini, saat ini, tanpa harus terkena
guyuran air hujan juga berkat imajinasi seseorang.
Ruangan ini beserta isinya, segala sesuatu yang ada
dalam bangunan ini, dan di kota ini, ada berkat proses
imajinasi yang tidak berkesudahan.
Kita berkewajiban untuk menciptakan
keindahan. Kita tidak boleh meninggalkan dunia
dalam keadaan yang lebih buruk dari ketika kita
menemukannya dulu dan tidak boleh mewariskan
masalah kepada generasi penerus kita. Kita memiliki
kewajiban untuk memperbaiki kesalahan kita dan
tidak membebani anak-anak kita dengan mewariskan

97
dunia yang menjadi korban dari perilaku kita yang
merusak, menyalahgunakan, dan melumpuhkannya.
Kita memiliki kewajiban untuk mengungkapkan
keinginan kita kepada para politisi, tidak memberikan
suara kepada politisi yang tidak menghargai
pentingnya aktivitas membaca dalam membentuk
masyarakat yang berkualitas, yang tidak bertindak
dengan tujuan mempertahankan dan melindungi
pengetahuan, serta tidak mendorong literasi bahasa.
Ini bukan semata-mata persoalan politik. Ini adalah
persoalan kemanusiaan.
Seseorang pernah bertanya kepada Albert
Einstein tentang bagaimana kita mendidik anak-anak
kita. “Jika kalian ingin mendidik anak-anak kalian,”
jawab Einstein, “bacakan dongeng untuk mereka.
Apabila kalian ingin mereka jauh lebih cerdas,
bacakan lebih banyak cerita dongeng.” Einstein
memahami arti dan nilai membaca serta berimajinasi.
Saya berharap kita dapat memberikan anak-anak kita
sebuah dunia tempat mereka dapat membaca buku,
mendengarkan orang lain membacakan buku untuk
mereka, serta berimajinasi dan memahami semesta. []

Diterjemahkan oleh Selviya Hanna


Disadur dari artikel di The Guadian
https://www.theguardian.com/books/20

98
13/oct/15/neil-gaiman-future-libraries-
reading-daydreaming
Kemudian dari referensi selanjutnya.
Naskah lecture tersebut dibukukan di
halaman 5, buku kumpulan esai Neil
Gaiman dengan judul: Why Our Future
Depends on Libraries, Reading and
daydreaming: The Reading Agency
Lecture, 2013.
Post note di bukunya "The view from the
cheap seats" (2017), I gave this lecture for
Reading Agency, a UK charity with a
mission to help people become more
confident readers, in 2013.

99
100

Anda mungkin juga menyukai