Anda di halaman 1dari 141

Forum Lingkar Pena

Asma Nadia
Helvy Tiana Rosa
Gola Gong
Penerbit Mizan
Penerbit Republika

Rekor MURI tahun ini diraih oleh Mizan sebagai Penerbit Buku Karya
Anak-Anak Terbanyak, dg jumlah terbitan 33 judul dari 21 penulis cilik. Semua
terbitan anak-anak berbakat ini, diwadahi dalam Seri Kecil Kecil Punya Karya
(KKPK).

Seri ini pertama kali diterbitkan pada tahun 2003 dengan menerbitkan
2 judul buku Untuk Bunda dan Dunia (kumpulan puisi) karya Abdurahman Faiz,
dan novel Kado Untuk Ummi karya Sri Izzati. Pada saat diterbitkan, kedua
penulis itu berusia 8 tahun. Awalnya ini adalah sebuah
misi dari Penerbit Mizan untuk membuktikan pada masyarakat, bahwa Mizan adalah
penerbit yang mengakomodir karya anak-anak Indonesia dalam bentuk tulisan.
Selain itu, secara tidak langsung Mizan adalah penerbit pertama yang menantang
anak-anak Indonesia untuk berkarya di bidang tulisan dan selanjutnya
diterbitkan selayaknya penulis profesional.
Diluar dugaan, proyek yang
berlandaskan misi idealisme perusahaan penerbitan ini, juga merupakan proyek
yang memiliki daya tarik tinggi. Respon masyarakat pembaca buku, yang awalnya
menyangsikan kualitas tulisan anak-anak yang diterbitkan lalu dijual, berbalik
seiring dengan membanjirnya dukungan dari berbagai pihak.
Untuk kumpulan puisi karya
Abdurahman Faiz misalnya. Karya puisinya dipuji oleh kalangan sastrawan seperti
Sapardi Djoko Damono, Taufik Ismail, dan pengamat media Nina Armando. Novel
Kado Untuk Ummi, dipuji pembaca terbukti dengan banyaknya undangan kepada Sri
Izzati untuk diwawancara di media, dan mengisi talk show tentang buku dan
kreativitas.
Tak ayal lagi, penerbit
Mizan yang sudah mempersiapkan judul berikutnya di seri ini, kebanjiran naskah
dari ratusan penulis anak-anak di seluruh Indonesia. Ini membuktikan bahwa
potensi di bidang tulis menulis anak-anak Indonesia, sangat besar dan perlu
ditangani secara serius. Pengirim adalah juga pembaca Seri Kecil Kecil Punya
Karya, yang merasa ingin meningkatkan prestasinya di bidang tulis-menulis.
Pembaca dari kalangan
dewasa dan orang tua, baru tersadar bahwa ternyata ada penerbit di Indonesia
yang berani menerbitkan karya anak-anak. Tentu saja, mereka memiliki analisa
bisnis dalam menilai seri ini, dengan sedikit kesangsian ‘apakah mungkin ada
yang mau membaca buku yang ditulis oleh anak-anak Indonesia?’
Membanjirnya naskah dari
penulis anak-anak adalah satu anugrah bagi Mizan sebagai penerbit. Ini
menunjukkan bahwa aset penulis Indonesia masa depan, tidak akan mati bahkan
akan bertumbuh.. Tapi bagaimana dengan kelayakan bisnis nya?
Penjualan produk Seri
Kecil Kecil Punya Karya, tidak hanya mengangkat citra Mizan sebagai penerbit
yang optimis pada perkembangan dunia literer anak, tapi juga menguntungkan
secara finansial.
Penjualan judul-judul di
seri ini begitu menakjubkan. Angka penjualan rata-rata per judul, telah terjual
lebih dari 5000 eksemplar. Salah satu contoh angka tertinggi misalnya, judul Two
Of Me karya Sri Izzati, sejak diterbitkannya tahun 2006 telah terjual
sebanyak 12 ribu eks. Buku kumpulan puisi Abdurahman Faiz, Untuk Bunda dan
Dunia terjual lebih dari 11 ribu eks di tahun pertama. Sebuah angka
penjualan yang hebat, untuk sebuah buku puisi yang ditulis oleh anak berusia 8
tahun.
Contoh lain adalah My
Piano My Best Friend karya Ramya yang terbit tahun 2008, terjual lebih dari
1000 eks dalam satu bulan. Tak ketinggalan, putra – putri para penulis handal
di Indonesia, ikut meramaikan seri ini. Sebutlah Bella, putri dari Gola Gong,
penulis legendaris Balada Si Roy yang populer tahun 80-an. Bella telah
menghasilkan 2 judul di seri ini. Ada juga Abdurahman Faiz, putra dari Helvy
T.Rosa penulis yang menggagas kelahiran genre fiksi Islami di Indonesia. Juga
Caca, putri dari Asma Nadia, penulis buku best-seller yang terkenal dikalangan
pembaca remaja saat ini.
Seri Kecil-Kecil Punya
Karya secara berturut-turut menerbitkan beberapa judul diantaranya
1. Dunia Caca(kumpulan cerpen): Putri Salsa th.2004
2. May, si Kupu-Kupu(novel): Dena th.2004
3. Nasi untuk Kakek(kumpulan cerpen): Qurrota Aini th 2004 (meraih rekor MURI
sbg Penulis Antologi Cerpen Tercilik Indonesia)
4. Dragon War(novel dlm bahasa Inggris): M.Faikar th..2004
5. Bola Kecil Aisha(kumpulan puisi dan ilustrasi): Aisha th.2005
Seri Kecil-Kecil Punya
karya saat ini menjadi salah satu seri buku, yang tidak saja marketable di
kalangan pembaca anak-anak, tapi juga sbg media pembuktian bahwa anak-anak
Indonesia mampu berkarya.

Saksikan aksi sejumlah penulis cillik Indonesia, dalam acara


Konferensi Penulis Cilik Indonesia 2008. Sesi pertama jam 10.00 - 12.00 wib,
terbuka untuk umum dan putra-i tercinta anda yg tertarik di bidang kepenulisan.
Ikuti sesi pembuka yg akan dibawakan oleh Helvy.T Rosa (tokoh perbukuan),
Dr.Haidar Bagir (tokoh perbukuan / Dirut Mizan Publika), Benny Rhamdany (Penulis
Cerita Anak), Abdurahman Faiz dan Sri Izzati (Penulis Cilik KKPK), dan Putut
Widjanarko (VP Mizan Publika). Acara akan dipandu oleh Kak Andi Yudha (Trainer
Kreativitas Anak / Disainer Produk Anak & Remaja).

Fan Fan F Darmawan


Promosi & Komunikasi

Jan 19, '09 10:23 AM


Buku Ratu Tralala dari Negeri Trilili
for everyone

Ini buku baru saya. Sebetulnya sih sudah terbit akhir Desember lalu, tapi saya baru dapat
contoh cetaknya dari Elex Media hari Sabtu yang lalu (17/1).

Buku ini masuk dalam Seri Dongeng yang diterbitkan Elex Media. Judul sebelumnya yang sudah
terbit adalah "Naga yang Suka Sekali Makan". Seperti halnya buku cerita Dindam sang naga,
buku ini juga diilustrasi oleh Ella Elviana. Saya suka ilustrasi Ella, karena dia membuatnya
secara manual.

Ceritanya tentang Ratu Tralala yang iri hati pada keponakannya, Lilia. Ratu mengira, Lilia gadis
beruntung yang punya segalanya. Padahal...

Kalau dari setting ceritanya, saya buatnya antah berantah. Saya enggak keberatan, setting cerita
ini dibuat seolah Eropa tempo dulu seperti keinginan penerbit. Walau hati saya lebih suka kalau
setting-nya Indonesia. Menurut saya, pakaian adat Indonesia luar biasa bagusnya. Rumah
adatnya luar biasa indahnya. Tapi kalau pembaca atau orangtua pembaca lebih suka yang setting
Barat, apa boleh buat. Mungkin untuk mencintai kekayaan budaya Indonesia juga butuh proses,
ya.

Sepertinya, buku ini sudah ada di Toko Buku Gramedia, karena saya sudah dikirimi contoh
cetaknya :D
Jan 1, '09 7:53 AM
Tuan Lokomotif dan Dongeng-Dongeng Lain
for everyone

Itulah judul buku terbaru saya. Buku ini berisi lima dongeng.
Judul-judul dongengnya adalah :
- Tuan Lokomotif
- Penjual Buah dan Wanita Tua
- Pak Arief dan Pak Abu
- Lula Ular Penyabar
- Tujuh Lembar Daun Ajaib
Selain itu buku ini dilengkapi dengan tips menulis cerita anak dari saya.
Data buku
Judul : Tuan Lokomotif dan Dongeng-Dongeng Lain
Pengarang : Renny Yaniar
Ilustrator : Suwandi Affandi & Aria Nindita
Penerbit : Pustaka Riang, 2008

Cerita Tuan Lokomotif mengisahkan Pangeran Kianta yang kagum pada pelukis hebat yang suka
merokok. Karena kekaguman itu, Pangeran ikut-ikutan merokok. Akibat kebiasaan barunya
Pangeran menyusahkan banyak orang.

Buku ini tidak ada di toko buku, karena khusus diterbitkan untuk anak-anak yang suka membaca,
tapi tidak mendapat kesempatan untuk mendapatkan bacaan. Buku ini diterbitkan untuk ikut
meramaikan kegiatan "2000 Buku untuk Anak-Anak Indonesia". Untuk detilnya ada di
http://rumahriang.blogspot.com

Nah, buat teman-teman yang punya informasi tentang panti asuhan, sekolah, atau komunitas
anak-anak yang membutuhkan bacaan, bisa menghubungi saya di sini. Bisa juga kirim ke email
saya : kesumawijaya@yahoo.com

Fantasi Tiada Batas Buku Anak-Anak


Friday, 20 February 2009 04:12
Oleh Fitri Mohan, mantan wartawan, kini tinggal dan bekerja di New York

“Now, I will tell you a story.”

Kalimat ini adalah senjata ampuh saya saat menjadi guru bahasa Inggris untuk anak-anak lima sampai
tujuh tahun untuk membuat kelas berhenti dari kegaduhan. Semua mata berbinar dan mereka bersiap
dengan posisi masing-masing untuk mulai mendengarkan saya membacakan buku anak-anak. Dengan
berbagai tokoh mulai orang, hewan, peri, kurcaci, hantu, mainan, pepohonan dan lain sebagainya, cerita
di dalam buku anak-anak bisa berkisar tentang apa saja. Mereka selalu menikmatinya.

Saya senang membacakan dongeng untuk anak-anak. Salah satu alasannya adalah karena saya suka
melihat tampang anak-anak pada saat didongengin. Ada yang jadi melongo atau kemudian nyureng
serius; boleh jadi itu ekspresi saat sedang terbang dalam imajinasi.

Persediaan imajinasi dalam buku anak-anak biasanya disampaikan penulisnya dengan


mempertimbangkan tingkat membaca, tingkat kosa kata dan juga psikologi anak. Makin muda usia anak,
makin sederhana cerita dan gambarnya. Buku serial Tini misalnya, yang saya baca pada jaman balita,
diberikan Ibu ke saya dengan sengaja karena saya sudah bisa membaca pada umur tiga tahun. Besar
sedikit, saya bertemu Bobo dan Kuncung. Semua cerita yang saya baca saat itu, biasanya berakhir
bahagia.

Jika ada buku yang dibaca dengan sengaja, ada pula buku-buku atau majalah yang terbaca dengan tak
sengaja. Seperti ketika kakak saya yang saat itu sudah SMA memergoki saya asyik membaca Anita
Cemerlang miliknya.

“Itu bukan buat anak SD. Nanti kalau sudah SMA, baru boleh baca,” begitu katanya sambil mengambil
majalah dari tangan saya. Wah, belum tahu aja dia saya sudah ambil dan baca apa dari lemari
bukunya….

Saat itu rasanya saya nggak kenal mana buku anak-anak dan bukan buku anak-anak. Asal ada hurufnya
dan bisa dibaca, saya pasti akan lahap. Nama dan jam praktek dokter di resep obat, komik Mahabharata,
Raumanen-nya Marianne Katoppo, Juke Tamomoan-nya Motinggo Busye, atau rubrik Oh Mama Oh
Papa-nya majalah Kartini, adalah sedikit contohnya. Di rumah, ada perpustakaan sendiri dengan isi
sebagian besar buku-buku cetakan Balai Pustaka, buku komik aneka macam, dan majalah anak-anak.
Karena sudah saya baca semua, maka buku milik para manusia dewasa di rumah itu pun lalu saya
ambilin satu-satu dan saya baca. Jika lama mereka tak tampak mencari-carinya, saya lalu mengklaimnya
sebagai “milik perpustakaan”.

Tentu saja mengkategorikan mana buku untuk anak-anak dan mana yang bukan adalah ditujukan demi
kemaslahatan psikologi si anak. Tapi jika kemampuan dan daya baca sudah ada, berpadu dengan
keingintahuan anak kecil yang selalu merasa ingin mencobai ini itu, tidak mengherankan juga ada anak
usia SD yang sudah membaca Digital Fortress-nya Dan Brown, seperti yang terjadi pada Ariotomo, anak
lelaki berkacamata yang sudah menginjak bangku SMU meskipun usianya baru 14 tahun. Sementara
Putri yang kini menjadi siswi SMP, bilang pada saya bahwa dia suka dengan buku kumpulan cerpen Bobo
dan buku teenlit pada saat ia masih SD. Saat itu, dia juga sudah membaca Arok Dedes karangan
Pramoedya Ananta Toer.

Mereka kekurangan bacaan anak-anak-kah?

Bisa jadi, tapi belum tentu. Jika mengingat bagaimana orangtua mereka mampu membelikan buku-buku
anak dan bahkan meluangkan waktu untuk bersama-sama memilihkan, tentu saja ini adalah sebuah
keberlimpahan. Tapi jika menyaksikan bagaimana cepatnya anak yang sudah bisa membaca, menyerap,
dan melahap buku, apa yang sudah dibeli itu bisa terasa sangat kurang.

Penulis buku anak-anaknya sendiri memang ternyata juga tak banyak, apalagi yang terkenal. “Penulis
cerita anak Indonesia yang terkenal mungkin sangat minim jumlahnya. Menulis cerita anak itu tidak
segampang kelihatannya. Butuh ketrampilan tersendiri. Menjadi penulis cerita anak mungkin seperti
melintasi jalan yang sunyi, diam-diam, dan kurang diperhatikan. Mungkin juga menjadi penulis cerita
anak adalah semacam pengabdian seperti seorang guru. Tapi seorang penulis cerita anak yang menulis
karena passion, tidak akan berhenti menulis cerita anak hanya karena royalti kecil, tidak diperhitungkan,
atau hal-hal semacam itu,” papar Renny Yaniar, penulis buku anak yang sudah menerbitkan 96 judul
buku sejak tahun 2000 dan juga pencetus proyek buku gratis rumah riang
(http://rumahriang.blogspot.com) dalam obrolannya dengan saya.

Ketika mengingat-ingat siapa penulis anak-anak Indonesia favorit saya, yang saya ingat malah HC
Andersen dan Roald Dahl, pengarang yang membawa imajinasi saya berloncatan dengan liar. Indonesia
dari bagian mana mereka ini berasal? Renny Yaniar menyebutkan nama Dwianto Setiawan dan Bung
Smash pada saya, sebagai penulis anak Indonesia yang cukup sering ia baca dan sukai.

“Siapa penulis anak-anak favoritmu?”tanya saya pada Ari dan Putri.

“JK Rowling,” ini jawaban Ari dan Putri. Begitu juga dengan keponakan saya, Hani.

“Gimana dengan Sophie Kinsella?” tanya saya lagi, iseng, kali ini pada Putri dan Hani.

“Yah, Tante, katanya penulis buku anak-anak? Sophie kan penulis chicklit.”

“Tahu dari mana?”pancing saya.

“Kan aku udah baca.”

Jika dibandingkan dengan buku teenlit, chicklit, dan lit-lit lainnya, buku anak-anak di Indonesia memang
sepi. Penulis buku anak-anak mungkin bisa dihitung dengan jari.

Minat jadi penulis buku anak-anak, meskipun jalannya mirip pengabdian seorang guru pada muridnya,
bukannya tak ada. Saya melihat besarnya animo dan antusiasme orang-orang untuk mengirimkan cerita
anak-anak karyanya pada sebuah komunitas blogger. Beberapa diantaranya kemudian bahkan
menerbitkan buku anak-anak.

Rentang usia anak-anak yang juga luas, dari 0 hingga 12 tahun, memiliki tantangannya tersendiri untuk
para penulis. Seorang teman saya yang baru-baru ini mengutarakan keinginannya untuk menulis buku
anak-anak berkata, “Bingung gue. Tulisan yang gue bikin ini pasnya buat anak umur berapaan ya?”

Di Barnes & Noble, Gramedia-nya Amerika, ada area khusus buku untuk anak-anak yang cukup luas.
Buku belajar membaca, buku ilmu pengetahuan sampai buku cerita dengan berbagai kategori umur
anak-anak, mudah didapatkan. Buku pengetahuan terkini juga terus diadakan, sebagai contohnya adalah
buku yang bercerita tentang Barack Obama. Cerita tentang Obama ini meskipun disajikan dengan simpel
dan penuh gambar, tetapi isinya mencakup sejarah singkat yang terbilang cukup lengkap untuk ukuran
anak-anak. Namun demikian, usia anak yang disasar penulis buku ini bisa jadi malah sudah lebih tertarik
membaca yang lebih kompleks dari itu.

Saya ingat saat saya dan keponakan saya yang saat itu masih kelas tiga SD, sedang duduk bersama diam-
diam di kamar, membaca masing-masing dengan kekhusyukan yang tinggi: buku Harry Potter. Di kamar
keponakan saya saat itu, ada buku anak-anak lain yang sudah dibelikan Ibunya untuknya. Tetapi, ia lebih
tertarik untuk “menghabisi” Harry Potter duluan. Padahal cerita di Harry Potter tak berkisah tentang si
Kancil dan Buaya, atau Putri Cantik yang senang membantu Ibu. Cerita di Harry Potter tak hitam putih.
Tokohnya tak cuma dua kubu. Jalan ceritanya pun amat kompleks.

Renny Yaniar, yang sudah berhasil menerbitkan buku secara independen dari koceknya sendiri dan
kemudian membagi-bagikannya secara gratis untuk anak-anak yang tak mampu membeli buku ini
mengaku kepada saya, bahwa dia sendiri lebih banyak menulis untuk anak-anak balita dan anak-anak
usia sekolah dasar.

“Setahu saya, buku-buku untuk bayi sampai 2 tahun belum banyak di Indonesia. Tapi buku-buku impor
sudah ada. Misalnya buku yang terbuat dari kain atau plastik yang bisa dibawa saat mandi. Buku-buku
untuk balita, TK, dan kelas 1-4 SD sudah banyak variasi dan jumlahnya. Tapi untuk usia 10-12 rasanya
jumlah dan variasinya masih kurang. Mungkin dianggap kurang berhasil oleh penerbit, jadi tidak banyak
diproduksi. Yang pasti, jika ingin menjadi penulis buku anak-anak, isinya harus bisa dimengerti anak-
anak, dan menghibur.”

Di luar soal minat baca anak, produksi buku anak-anak di Indonesia memang nggak seheboh produksi
buku-buku novel dewasa. Buku anak-anak yang saya jumpai biasanya tone-nya cerah ceria, pesan
moralnya jelas, dan kehidupan di buku anak-anak itu selalu sukses bikin saya sirik. Bahagia melulu
soalnya. Barangkali ini alasan kenapa saya menggemari Harry Potter ciptaan JK Rowling yang jadi favorit
anak-anak itu. Nggak bikin saya sirik.

Fantasi Tiada Batas Buku Anak-Anak


Monday, February 23
―Now, I will tell you a story.‖

Kalimat ini adalah senjata ampuh saya saat menjadi guru bahasa Inggris untuk anak-anak lima
sampai tujuh tahun untuk membuat kelas berhenti dari kegaduhan. Semua mata berbinar dan
mereka bersiap dengan posisi masing-masing untuk mulai mendengarkan saya membacakan
buku anak-anak. Dengan berbagai tokoh mulai orang, hewan, peri, kurcaci, hantu, mainan,
pepohonan dan lain sebagainya, cerita di dalam buku anak-anak bisa berkisar tentang apa saja.
Mereka selalu menikmatinya.

Saya senang membacakan dongeng untuk anak-anak. Salah satu alasannya adalah karena saya
suka melihat tampang anak-anak pada saat didongengin. Ada yang jadi melongo atau kemudian
nyureng serius; boleh jadi itu ekspresi saat sedang terbang dalam imajinasi.

Persediaan imajinasi dalam buku anak-anak biasanya disampaikan penulisnya dengan


mempertimbangkan tingkat membaca, tingkat kosa kata dan juga psikologi anak. Makin muda
usia anak, makin sederhana cerita dan gambarnya. Buku serial Tini misalnya, yang saya baca
pada jaman balita, diberikan Ibu ke saya dengan sengaja karena saya sudah bisa membaca pada
umur tiga tahun. Besar sedikit, saya bertemu Bobo dan Kuncung. Semua cerita yang saya baca
saat itu, biasanya berakhir bahagia.

Jika ada buku yang dibaca dengan sengaja, ada pula buku-buku atau majalah yang terbaca
dengan tak sengaja. Seperti ketika kakak saya yang saat itu sudah SMA memergoki saya asyik
membaca Anita Cemerlang miliknya.

―Itu bukan buat anak SD. Nanti kalau sudah SMA, baru boleh baca,‖ begitu katanya sambil
mengambil majalah dari tangan saya. Wah, belum tahu aja dia saya sudah ambil dan baca apa
dari lemari bukunya….

Saat itu rasanya saya nggak kenal mana buku anak-anak dan bukan buku anak-anak. Asal ada
hurufnya dan bisa dibaca, saya pasti akan lahap. Nama dan jam praktek dokter di resep obat,
komik Mahabharata, Raumanen-nya Marianne Katoppo, Juke Tamomoan-nya Motinggo Busye,
atau rubrik Oh Mama Oh Papa-nya majalah Kartini, adalah sedikit contohnya. Di rumah, ada
perpustakaan sendiri dengan isi sebagian besar buku-buku cetakan Balai Pustaka, buku komik
aneka macam, dan majalah anak-anak. Karena sudah saya baca semua, maka buku milik para
manusia dewasa di rumah itu pun lalu saya ambilin satu-satu dan saya baca. Jika lama mereka
tak tampak mencari-carinya, saya lalu mengklaimnya sebagai ―milik perpustakaan‖.

Tentu saja mengkategorikan mana buku untuk anak-anak dan mana yang bukan adalah ditujukan
demi kemaslahatan psikologi si anak. Tapi jika kemampuan dan daya baca sudah ada, berpadu
dengan keingintahuan anak kecil yang selalu merasa ingin mencobai ini itu, tidak mengherankan
juga ada anak usia SD yang sudah membaca Digital Fortress-nya Dan Brown, seperti yang
terjadi pada Ariotomo, anak lelaki berkacamata yang sudah menginjak bangku SMU meskipun
usianya baru 14 tahun. Sementara Putri yang kini menjadi siswi SMP, bilang pada saya bahwa
dia suka dengan buku kumpulan cerpen Bobo dan buku teenlit pada saat ia masih SD. Saat itu,
dia juga sudah membaca Arok Dedes karangan Pramoedya Ananta Toer.

Mereka kekurangan bacaan anak-anak-kah?

Bisa jadi, tapi belum tentu. Jika mengingat bagaimana orangtua mereka mampu membelikan
buku-buku anak dan bahkan meluangkan waktu untuk bersama-sama memilihkan, tentu saja ini
adalah sebuah keberlimpahan. Tapi jika menyaksikan bagaimana cepatnya anak yang sudah bisa
membaca, menyerap, dan melahap buku, apa yang sudah dibeli itu bisa terasa sangat kurang.

Penulis buku anak-anaknya sendiri memang ternyata juga tak banyak, apalagi yang terkenal.
―Penulis cerita anak Indonesia yang terkenal mungkin sangat minim jumlahnya. Menulis cerita
anak itu tidak segampang kelihatannya. Butuh ketrampilan tersendiri. Menjadi penulis cerita
anak mungkin seperti melintasi jalan yang sunyi, diam-diam, dan kurang diperhatikan. Mungkin
juga menjadi penulis cerita anak adalah semacam pengabdian seperti seorang guru. Tapi seorang
penulis cerita anak yang menulis karena passion, tidak akan berhenti menulis cerita anak hanya
karena royalti kecil, tidak diperhitungkan, atau hal-hal semacam itu,‖ papar Renny Yaniar,
penulis buku anak yang sudah menerbitkan 96 judul buku sejak tahun 2000 dan juga pencetus
proyek buku gratis rumah riang dalam obrolannya dengan saya.
Ketika mengingat-ingat siapa penulis anak-anak Indonesia favorit saya, yang saya ingat malah
HC Andersen dan Roald Dahl, pengarang yang membawa imajinasi saya berloncatan dengan
liar. Indonesia dari bagian mana mereka ini berasal? Renny Yaniar menyebutkan nama Dwianto
Setiawan dan Bung Smash pada saya, sebagai penulis anak Indonesia yang cukup sering ia baca
dan sukai.

―Siapa penulis anak-anak favoritmu?‖tanya saya pada Ari dan Putri.


―JK Rowling,‖ ini jawaban Ari dan Putri. Begitu juga dengan keponakan saya, Hani.
―Gimana dengan Sophie Kinsella?‖ tanya saya lagi, iseng, kali ini pada Putri dan Hani.
―Yah, Tante, katanya penulis buku anak-anak? Sophie kan penulis chicklit.‖
―Tahu dari mana?‖pancing saya.
―Kan aku udah baca.‖

Jika dibandingkan dengan buku teenlit, chicklit, dan lit-lit lainnya, buku anak-anak di Indonesia
memang sepi. Penulis buku anak-anak mungkin bisa dihitung dengan jari.

Minat jadi penulis buku anak-anak, meskipun jalannya mirip pengabdian seorang guru pada
muridnya, bukannya tak ada. Saya melihat besarnya animo dan antusiasme orang-orang untuk
mengirimkan cerita anak-anak karyanya pada sebuah komunitas blogger. Beberapa diantaranya
kemudian bahkan menerbitkan buku anak-anak.

Rentang usia anak-anak yang juga luas, dari 0 hingga 12 tahun, memiliki tantangannya tersendiri
untuk para penulis. Seorang teman saya yang baru-baru ini mengutarakan keinginannya untuk
menulis buku anak-anak berkata, ―Bingung gue. Tulisan yang gue bikin ini pasnya buat anak
umur berapaan ya?‖

Di Barnes & Noble, Gramedia-nya Amerika, ada area khusus buku untuk anak-anak yang cukup
luas. Buku belajar membaca, buku ilmu pengetahuan sampai buku cerita dengan berbagai
kategori umur anak-anak, mudah didapatkan. Buku pengetahuan terkini juga terus diadakan,
sebagai contohnya adalah buku yang bercerita tentang Barack Obama. Cerita tentang Obama ini
meskipun disajikan dengan simpel dan penuh gambar, tetapi isinya mencakup sejarah singkat
yang terbilang cukup lengkap untuk ukuran anak-anak. Namun demikian, usia anak yang disasar
penulis buku ini bisa jadi malah sudah lebih tertarik membaca yang lebih kompleks dari itu.

Saya ingat saat saya dan keponakan saya yang saat itu masih kelas tiga SD, sedang duduk
bersama diam-diam di kamar, membaca masing-masing dengan kekhusyukan yang tinggi: buku
Harry Potter. Di kamar keponakan saya saat itu, ada buku anak-anak lain yang sudah dibelikan
Ibunya untuknya. Tetapi, ia lebih tertarik untuk ―menghabisi‖ Harry Potter duluan. Padahal
cerita di Harry Potter tak berkisah tentang si Kancil dan Buaya, atau Putri Cantik yang senang
membantu Ibu. Cerita di Harry Potter tak hitam putih. Tokohnya tak cuma dua kubu. Jalan
ceritanya pun amat kompleks.

Renny Yaniar, yang sudah berhasil menerbitkan buku secara independen dari koceknya sendiri
dan kemudian membagi-bagikannya secara gratis untuk anak-anak yang tak mampu membeli
buku ini mengaku kepada saya, bahwa dia sendiri lebih banyak menulis untuk anak-anak balita
dan anak-anak usia sekolah dasar.

―Setahu saya, buku-buku untuk bayi sampai 2 tahun belum banyak di Indonesia. Tapi buku-buku
impor sudah ada. Misalnya buku yang terbuat dari kain atau plastik yang bisa dibawa saat mandi.
Buku-buku untuk balita, TK, dan kelas 1-4 SD sudah banyak variasi dan jumlahnya. Tapi untuk
usia 10-12 rasanya jumlah dan variasinya masih kurang. Mungkin dianggap kurang berhasil oleh
penerbit, jadi tidak banyak diproduksi. Yang pasti, jika ingin menjadi penulis buku anak-anak,
isinya harus bisa dimengerti anak-anak, dan menghibur.‖

Di luar soal minat baca anak, produksi buku anak-anak di Indonesia memang nggak seheboh
produksi buku-buku novel dewasa. Buku anak-anak yang saya jumpai biasanya tone-nya cerah
ceria, pesan moralnya jelas, dan kehidupan di buku anak-anak itu selalu sukses bikin saya sirik.
Bahagia melulu soalnya. Barangkali ini alasan kenapa saya menggemari Harry Potter ciptaan JK
Rowling yang jadi favorit anak-anak itu. Nggak bikin saya sirik.

posted by -Fitri Mohan- @ 5:30 PM,

18 Comments:

At 9:11 PM, karangsati said...

anak kecil baca lit-lit, jangan-jangan bisa kayak sinetron indonesia ceritanya... sirik-
sirikan ama pacar-pacaran hehehe...

At 11:08 PM, Fenty Fahmi said...

Bukannya biasanya, "Once upon a time" ?? :D

hehehehe.... walah anak2 itu sudah membaca buku Sophie Kinsella padahal ada adegan
sex-nya ?? wuudduuuh, gaswat banget dong itu ...

And yeah, I love Harry Potter too ... dan tambahkan Narnia, walau lebih suka filmnya :p

At 2:56 AM, OktaEndy said...

aku juga agak heran kalo Harry Potter itu bacaan anak2.
padahal ceritanya kompleks gitu.

waktu aku kecil yang aku baca bobo, deni si manusia ikan, paman janggut, hehehe..

Berminat menulis buku untuk balita Jeng?


At 2:38 PM, Daniel Mahendra said...

Jadi senyum-senyum sendiri mengetahui anak dengan usia seperti itu sudah membaca
Digital Fortress atau Arok Dedes.

Di Indonesia sebetulnya ada banyak penulis buku anak. Namun (barangkali) tak semua
penulis buku anak tersebut betul-betul menulis buku untuk anak.

Banyak orangtua masih berpikir: mengapa mesti menyodorkan buku pada anak...

At 1:47 AM, endangcinta said...

untuk buku Harry Potter sendiri ada hal yang lucu jadinya. Ada orang yg nggak mau baca
krn merasa itu buku anak2, jadi seolah,"malu ih org gede baca buku anak2".....*iya i
know elu tertawa guling2an*....padahal di sisi lain ada jg yg heran kalau bukuitu untuk
anak2 krn ceritanya kompleks (OktaEndy)....

buat gue sendiri sih.......tidak ingin membatasi seperti itu. Gue jg baca Bobo kok, mang
nape? hehehe...dan memang tidak semua anak bisa menikmati Harry Potter salah satunya
karena kompleksitasnya itu mungkin.

*menyimak lagi di pojokan*

At 8:08 AM, veridiana said...

Penulis Indonesia, yg juga menulis buku anak, favorit saya saat ini adalah Clara Ng.
Buku anak-anak yang dia buat, bagus-bagus sekali :)

Saya yang enggak punya anak juga jadi suka koleksi buku-bukunya.

At 8:17 AM, Yoga said...

Mbak, saya suka tulisan ini. Bagus sekali. Saya masih ingat Tini, HC Andersen dll sama
halnya dengan saya ingat Dwianto Setiawan dan Bung Smash, meski saya lupa-lupa ingat
isi tulisannya apa, tapi dua nama itu nggak lupa deh. Selain isi tulisan, ilustrasi untuk
buku anak-anak juga penting dan berbicara banyak. Masih ingat nggak lilustrasi Tini
ketika memasak spaghetti? :)
At 8:47 AM, yati said...

saya udah coba nulis cerita anak tapi ga tau mau dikemanain. belum pernah saya
ujicobakan ke anak kecil sih...malu(malu kucing) :p
nantilah kalo udah pulang ke kampung, saya ujicoba ke ponakan2 saya

At 10:44 PM, nengjeni said...

saya masih baca donal bebek setiap minggu, rebutan ama si mas dan adek ... :D

At 5:55 PM, accordingtod said...

setujuuuuuuuuuuu...
*apa coba?*
jadi inget jaman kecil dulu. lima sekawan, komik nina, hans christian andersen, jarang
nemu penulis indonesia yang mumpuni.
tapi ini kan dari jaman kuda dulu, kalik sekarang udah banyak penulis buku anak yang t-
o-p?

At 9:30 PM, xxx said...

Setelah lihat blog mantan muslim ini jadi kepengen murtad!

Klik> FORUM MURTADIN (ex-muslim) INDONESIA

Klik> Antara Islam dan aliran sesat

Pusing aku...

At 4:34 AM, mister.i.us said...

anak2 skarang bruntung ya punya akses ke banyak buku, kalo denger cerita2 orang tua
dulu yang susahnya minta ampun untuk bisa beli (ato pinjem) buku jadi iri rasanya sama
anak2 skarang itu..hhehe, saya sendiri bukan termasuk orang tua dulu itu tapi tmasuk yg
agak susah mengakses buku krn perpustakaan umum jarang ada d kota kecil, bahkan sy
baru baca lima sekawan waktu SMA*jadi malu*
At 12:05 PM, --ambar-- said...

jeng fitri, ditunggu buku anak2nya. Semoga ada penulis seperti JK Rowling yang
membawa anak2 ke imaginasi yang kreatif

At 10:50 AM, Kepingan Hati said...

Thanks untuk infox...


Good Posting !!

At 2:03 PM, ndahdien said...

menurutku malah sekarang banyak banget pilihan buku anak, kemasan bukunya juga
makin cantik. ada buku anak tentang kisah nabi, teladan anak sholeh, dongeng klasik
dalam&luar negri dan masih buanyak lagi ampe bangkrut dipesenin buku ma ponakanku
yg baru bisa baca.

tapi kalo cerita sekelas harry potter, unfortounetly event, narnia dll emang masih jarang.

At 2:19 AM, MAY'S said...

Jujur, Mbak Fit... banyak penerbit yang menolak tulisan cerita2 anak, dan lebih
menyarankan penulisnya untuk menulis cerpen atau novel dewasa....

At 6:49 PM, -Fitri Mohan- said...

@karangsati: hehehe, bisa jadi begitu nanti ceritanya. :-)


@fenty: once upon time itu buat jaman dulu. Jaman sekarang kalo toh ada once upon a
time, biasanya trus kreatif belakang2nya.
@okta: waduh, kepingin doang nih mas. Belum berani nulisnya.
@daniel: betul, penulis buku anak2 yang ada biasanya juga menulis untuk dewasa, dan
nggak ada salahnya juga. Tapi orangtua yang berpikir mesti nyodorin buku pada anak?
Jaman sekarang apa masih ada yang mikir begitu?
@endang: betul, gue masih sangat menikmati buku anak2 tanpa merasa malu dianggep
anak2. Ibu gue contoh nyata penikmat donal bebek tanpa menyembunyikan tawa,
nyengir, atau senyum2nya.
@veridiana: saya malah baru tau kalo clara ng juga nulis buku anak. Senang sekali makin
banyak yang bikin dan keren-keren pula ceritanya ya.
@yoga: makasih ya jeng. tini udah lama banget, lupa rasanya yang mana yang pas masak
spaghetti. :-)
@yati: keponakan emang manjur tuh buat jadi bahan percobaan. :p
@nengjeni: samaaa kayak ibu saya dulu mbak.
@diny: sekarang udah banyak emang, tapi masih lebih banyakan penulis novel gede. Gue
nggak menitikberatkan pada banyak enggaknya penulis buku anak yang top, tapi banyak
enggaknya bacaan anak2 yang ditulis penulis Indonesia. Nggak harus dari Indonesia sih
sebenernya, kalau mau ngomongin variasinya. Tapi kan seru juga tuh kalo ada penulis
anak-anak Indonesia yang berjaya kayak dulu lagi.
@misterius: iya, saya juga iri sama anak2 jaman sekarang dalam soal akses ke banyak
buku. Eh, jangan malu2 mbak/mas :-)
@ambar: waduhhh, hehehe, aku belum bisa bayangin mau nulis buku anak2. Nulis buku
anak susahnya berlipat2 ketimbang buku novel. JK Rowling sih nggak ada matinya. :-)
@kepingan hati: sama-sama.
@ndahdien: iya, kalau dari segi variasi dan akses, lebih bagusan yang sekarang.
@mays: ohya? Nah, ini fakta lagi nih. Thanks for the info ya may.

At 11:23 PM, elite_hunting said...

Intinya memang buku apa yang bagus buat anak-anak, dan apakah orang tua mau
memberikannya pada mereka, tak peduli mau siapa yang menulis atau dari mana
inspirasinya.

Saya pribadi suka nyari2 cerita rakyat tradisional berbagai negara di internet
(www.sacred-text.org punya banyak cerita rakyat berbahasa Inggris), dan penulis2 buku
anak dari luar kayak Philip Pullman, Jacqueline Wilson, Robert Wolfe, dan Kate
DiCamillo. Terutama Jacqueline Wilson yang bisa menggarap tema2 berat kayak anak
bermasalah, anak korban perceraian, KDRT dengan bahasa simpel dan dari sudut
pandang anak2. Dia sendiri mendapat gelar Children's Laureate. Golden Compass saja
inspirasinya dari buku yang sangat "berat", Paradise Lost-nya John Hamilton. Buku2 ini
atau Harry Potter dsb mungkin bisa dibilang khusus buat young reader, tapi belum bisa
dibilang teenlit. Kalo dari gaya bahasa, terkesan mereka ini mengajak anak2 berfantasi
tanpa "menggampangkan" daya pikir mereka. Di http://www.wikipedia.org. entry
children literature, pembaca aja sampe digolong2kan menurut umur.

Mungkin ini salah satu problem bagi penulis2 buku anak, maaf, young reader, di
Indonesia. Sudah sulit bagi kita yang dewasa untuk berfantasi bebas dan kembali berpikir
dari sudut pandang anak2. Karena itu ada yang nanya "eh ini pantes gak ya buat anak-
anak ?" Setelah selesai menulis.

Btw, kan ada penerbit yang khusus nerbitin buku anak2 dan young reader (bukan teenlit
!). Misalnya : Liliput dan Kakatua di Yogya. Yang terakhir baru berdiri, dan menerima
kiriman naskah lewat email (saat ini baru ada 3 buku yang diterbitkan). Coba aja klik
www.penerbitkakatua.blogspot.com
Post a Comment

Kompas, Selasa, 17 Oktober 2006


Jumlah Penulis Masih Sedikit
Konsumsi Buku Untuk Anak Balita Semakin Meningkat

Bandung, Kompas - Sejak dua tahun terakhir, konsumsi buku anak meningkat tajam. Penjualan buku
khusus untuk anak berusia di bawah lima tahun atau balita mencapai 60 persen dari buku anak jenis lain.
Bahan dan bentuk buku pun semakin beragam, tidak hanya dari kertas, tetapi juga dari kain dan plastik.

Tidak hanya bahan dan atau wajah, isinya pun semakin beragam. Bahkan kini diproduksi buku yang
mampu melatih kinestetik anak. Demikian dikatakan Ali Muakhir, Manajer Redaksi dan Produksi Penerbit
Mizan, Bandung, Minggu (15/10), sebelum membuka Pelatihan Menulis Cerita Anak untuk Ibu dan Guru.

Segmen buku anak sangat luas, mulai anak prasekolah, balita, serta anak usia 7-9 tahun dan usia 9-12
tahun. Penjualan buku untuk balita lebih banyak, mencapai 60 persen dari total penjualan buku anak.
"Hampir seluruh segmen memiliki pasar yang potensial," kata Ali.

Buku anak, lanjutnya, bisa dicetak tiga kali dalam sebulan. Sekali cetak mencapai 3.000-5.000
eksemplar. Menurut Ali, berdasarkan penelitian yang dilakukan penulis buku, keluarga Indonesia rata-
rata berbelanja buku untuk anaknya Rp 150.000-Rp 250.000 per bulan.

"Menurut penelitian yang sama, harga buku bukan faktor penting bagi orangtua untuk membeli sebuah
buku. Faktor yang paling menentukan adalah kualitas buku," ujarnya.

Anak-anak juga memiliki kebiasaan membeli satu judul buku tidak hanya sekali, tetapi bisa beberapa kali.
"Jika menyukainya, anak ingin membeli lagi buku yang sama tetapi baru apabila buku yang mereka miliki
rusak," kata Ali. Harga buku anak yang ideal adalah Rp 9.000-Rp 20.000. Hanya anak kota

Namun, perkembangan buku anak hanya dirasakan oleh anak-anak di kota besar. Sementara anak-anak
di daerah yang tidak memiliki toko buku cukup lengkap tidak mendapat kesempatan membacanya.
"Untuk mengatasi hal tersebut, Mizan melakukan hibah buku atau bekerja sama dengan sebuah lembaga
mencetak buku yang sama untuk didistribusikan ke daerah dengan harga lebih murah," tuturnya.

Meskipun perkembangan buku anak pesat, jumlah penulis buku anak hanya sedikit. Oleh karena itu,
penulis buku cerita dari Penerbit Mizan melakukan pelatihan menulis buku bagi para ibu dan guru pada
14-15 Oktober.

"Mereka yang mengetahui perkembangan dan kebutuhan anak. Pengetahuan itu ada baiknya dituangkan
dalam tulisan," katanya.

Para guru dan ibu mempunyai banyak waktu untuk memerhatikan perkembangan anak dan menuliskan
pengalamannya. "Tahun depan kami selenggarakan secara reguler," kata Ali.

Menurut Benny Ramdani, penulis cerita anak dan editor, meng- ungkapkan, menulis cerita untuk anak itu
mudah. Tema bisa diambil dari kejadian sehari-hari, atau mengadaptasi dongeng.

"Saya berharap tahun 2007 para peserta pelatihan ini sudah mampu menerbitkan buku anak," katanya.
(ynt)
Januari 5, 2008

Semangat Membaca di Kafe dan Factory Outlet


Posted by yasir maqosid under life style | Tag: Factory Outlet, Kafe |
No Comments

Bisakah Anda menemukan suasana homey, ketika jalan-jalan di jantung Kota Bandung?
‖Menjamurnya factory outlet (FO) dan berbagai kafe telah membuat Bandung kehilangan
suasana homey itu,‖ ujar Jan Adip, yang telah 15 tahun meninggalkan Bandung.
Ketika ia berkunjung ke Bandung, betapa ia menyaksikan pengunjung Bandung lebih banyak
berburu makan dan pakaian di jantung Kota Bandung. Detak aktivitas 40 titik kantong perbukuan
tertelan hiruk-pikuk tawar-menawar pakaian dan pilih-pilih menu santapan.
Maka, sambil menyelam minum air. Itulah kalimat yang bisa menggambarkan aktivitas para
penggemar buku di Bandung. Kantong-kantong literasi itu memberikan suasana kafe kepada
pengunjungnya. Sambil membaca buku, mereka juga bisa mendapat informasi tambahan dari
para penulis.
Masing-masing komunitas buku itu menawarkan konsep yang berbeda-beda dengan berbagai
pilihan buku. Ada yang khusus membahas buku-buku Pramoedya Ananta Toer. Ada yang
mengkhususkan diri dengan buku-buku Sunda (Bandung pernah diserbu 222 judul buku
berbahasa Sunda, pada kurun 1850-1906). Bahkan, ada yang hanya komik.
Lupakan FO dan kafe-kafe di jalan-jalan utama kota, susuri lorong-lorong kota dan temukan
komunitas-komunitas buku ini di Bandung. dan, Jan Adi menemukan suasana homey di sana.
Ada Manisee Community di Cibiru, Ultimus di Lengkong, Rumah Buku di Hegarmanah,
Pustakalana di Jl Ranggamalela, Yayasan Rancage di Jl Karawitan, Minor Books di Cijerah,
Kelompok Kerja Nalar di Jatinangor, Batu Api di Jatinangor.
Ada pula Dipan Senja di Margahayu, Pustaka Latifah di Margahayu, Litera di Ciumbuleuit,
Gubuk Dongeng di Ciumbuleuit, Rumah Malka di Jl Hasan Mustafa, Mizan Learning Center di
Arcamanik. Tapi, ada juga yang mencoba berdiri di tengah hiruk-pikuk keramaian pembelanja
baju. Ada Potluck di Teuku Umar, ada Zoe di Pagergunung, Das Mutterland di Cihampelas,
Baca-baca Bookmart di Sabuga, Lawang Buku di Dago Tea House, Tobucil di Jl Aceh.
Mi dan buku
Sejak didirikan pada 2001, Zoe telah memiliki 9.300 orang anggota. Ada 80 ribu buku.. Rak-rak
dengan berbagai warna cerah yang menghiasi seluruh dinding ruangan dipenuhi dengan koleksi
berbagai komik, novel sastra, majalah, hingga otobiografi.
Mahasiswa dan pelajar memenuhi deretan kursi nyaman yang terletak di teras halaman setiap
harinya. ‖Tidak kurang dari 400 orang silih berganti memenuhi halaman, bahkan pada akhir
pekan jumlah tersebut terus meningkat hingga mencapai 600 orang,‖ ungkap Handerson Rizal,
manajer humas dana pemasaran Zoe.
Meski tidak ada acara rutin yang dilaksanakan tiap bulannya, Zoe selalu mengadakan bedah
buku untuk buku-buku yang baru terbit. Zoe memanjakan membernya dengan program membaca
sepuasnya pada akhir pekan. Layanan internet gratis pun menjadi hal yang dirindukan pelanggan
untuk terus datang di tempat itu. ‖Zoe menjadi salah satu pelopor menjamurnya library cafe di
Bandung saat ini sejak tahun 2001,‖ ujar Handerson.
Membaca novel terbitan baru sambil diiringi alunan musik jazz dan aroma harum aromaterapi
merupakan bagian dari layanan Prefere 72. Berbeda dengan Zoe, tempat bergaya minimalis ini
menyuguhkan konsep coffee, noodle, dan library dalam satu paket. Lokasi yang bertempat di Jl
Ir H Juanda itu memiliki aneka jenis hidangan berbahan dasar mi.
Jumlah koleksi buku yang mencapai 2.000 judul bisa menarik minat member hingga 50 orang.
Didirikan pada Desember 2006, Prefere 72 telah memiliki anggota dari kalangan mahasiswa dan
karyawan sebagai jumlah terbesar. Setiap akhir pekan, tempat ini mengadakan story telling bagi
anak-anak TK dan SD.
Manajer Humas Prefere 72, Nita Arriastiti, menuturkan biasanya orang tertarik lebih dulu pada
makanan yang disediakan, baru mereka melihat-lihat buku yang disediakan. ‖Akhirnya banyak
yang kemari untuk makan sambil baca,‖ tutur dia. Di Tobucil, pengunjung tak sekadar datang
untuk membaca buku. Di sana banyak berdiri klab, menyusul hadirnya Klab Baca. Ada Klab
Rajut, Klab Belajar, Klab Musik, Klab Nonton, dan sebagainya. Di sini tersedia hotspot dan
sajian kafe berupa kopi robusta dan arabika, roti kering bagelen, dan cemilan ringan lainnya.
Tentang Sunda
Pusat Studi Sunda (PSS) yang dikelola Yayasan Rancage menawarkan sesuatu yang sangat
berbeda. Sebanyak 13 ribu judul yang berisi buku dan naskah kuno yang berhiaskan budaya
Sunda ditawarkan perpustakaan di Jl Taman Kliningan itu.
Tapi, hingga kini pengunjungnya masih sangat terbatas, yaitu mahasiswa yang mengerjakan
proyek ilmiah, pengarang buku, dan pemerhati budaya. Meski begitu, Sekretaris Yayasan
Rancage, Hawe Setiawan, berharap adanya anak muda Bandung yang mau mempelajari
budayanya sendiri. ‖Banyaknya media yang selalu memberitakan budaya Sunda akan punah,
menjadikan anak muda sekarang enggan mendalaminya. Hal itu pantas kiranya, siapa pun pasti
malas mempelajari sesuatu yang akan punah,‖ kata Hawe.
Meski begitu, hala itu tak mematahkan semangat PSS. Di pekan kedua setiap bulan, PSS selalu
mengadakan diskusi yang membicarakan semua hal yang berkaitan dengan budaya Sunda. Pada
bulan ini, PSS menghadirkan pemerhati budaya Sunda asal Australia, Julian Millie,
membicangkan masalah manakiban. Manakiban merupakan pengajian yang dilakukan santri di
beberapa wilayah Jawa Barat yang menyampaikan puji-pujian untuk Syekh Abdulqadir Jaelani.
Acara diskusi semacam ini selalu dibanjiri peserta dari berbagai kalangan. Komunitas Buku
Lawan yang mengkhususkan pada minat buku-buku Sunda, juga ikut meramaikannya. ‖Turut
menyediakan bahan yang orang butuhkan akan membuat orang semakin tertarik untuk datang
membaca,‖ tambah Hawe.
Hawe menuturkan, kini harus ada campur tangan generasi muda untuk membangkitkan minat
baca dan keinginan mengetahui budaya Sunda. ‖Dengan bahasa Sunda sebagai bahasa sehari-
hari, saya yakin hal itu nantinya akan menarik minat mereka untuk mengetahui budaya tersebut
lebih dalam,‖ ungkapnya.
Sejak didirikan pada 2002 lalu, hampir semua koleksi yang dimiliki berasal dari hibahan
pemerhati budaya Sunda, seperti Ajip Rosidi, Edi S Ekajati (alm), dan Ayatrohaedi, yang juga
sebagai pendiri yayasan tersebut.
Sumber: www.republika.co.id

Sabtu, 15 November 2003

Pasar Buku Islam Tengah Menggeliat


TAK bisa disangkal industri buku di Tanah Air beberapa tahun terakhir ini tumbuh dengan bergairah.
Kegairahan ini ditandai dengan munculnya penerbit-penerbit baru di berbagai kota di Indonesia dan
membanjirnya buku-buku baru produk mereka di pasar. Ada yang cukup menyita perhatian dari
bergairahnya industri buku tersebut, yakni maraknya penerbitan buku-buku agama, terutama buku-buku
bertemakan Islam.

Bukan perkara sulit membaca fenomena demikian. Tengok, gencarnya penyelenggaraan pameran-
pameran buku yang diselenggarakan di berbagai kota di Indonesia setelah tahun 1990-an. Munculnya
peserta-peserta baru dari kalangan penerbit-penerbit buku Islam dalam jumlah yang cukup besar kerap
menghiasi pemandangan pameran buku saat ini. Bahkan, dalam dua tahun terakhir, sudah ada pameran
buku Islam tersendiri, seperti Pameran Buku Islam yang digelar Ikatan Penerbit Indonesia cabang
Jakarta (IKAPI Jaya) maupun Pameran Buku Islam Plus yang diadakan IKAPI Jawa Barat bulan Oktober
tahun 2003.

Jika dua tahun terakhir penyelenggaraan pameran buku sudah mulai mengkhususkan diri pada tema-
tema bernapaskan Islam, sudah barang tentu terjadi pertumbuhan penerbit buku Islam yang cukup
signifikan pada tahun-tahun terakhir ini. Pendataan IKAPI Pusat, misalnya, untuk periode tahun 2000
hingga 2003 atau kurang dari empat tahun, sudah tercatat sekitar 20 penerbit buku Islam baru yang
menjadi anggota IKAPI. Angka ini jauh lebih besar apabila dibandingkan dengan jumlah penerbit buku
Islam pada kurun waktu tahun 1981 hingga 1989 yang hanya sebanyak enam penerbit saja. Jumlah ini
belum termasuk pertumbuhan penerbit buku Islam yang tidak menjadi anggota IKAPI yang bisa
dipastikan jumlahnya akan jauh lebih besar.

Bertambahnya penerbit tentu berbanding lurus dengan pertambahan produksi buku. Maka, tidak
mengherankan jika keberadaan buku-buku bertemakan Islam mulai merambah toko- toko buku. "Buku-
buku agama, khususnya Islam, memang paling banyak memakan space atau tempat paling luas di toko
buku kami. Saat ini, paling tidak buku-buku agama sudah menyita 20 persen space yang tersedia, dari
sejumlah itu 80 persennya buku-buku Islam," kata Arif Abdulrakhim pemimpin Toko Buku Toga Mas
Yogyakarta. Proporsi demikian tentu terbilang besar. Bahkan, Abdulrakhim sangat meyakini bahwa toko-
toko buku umum lain di luar Toga Mas pun kondisinya kurang lebih juga sama. "Dua puluh persen itu
gede karena buku-buku yang lain tidak ada yang sampai 20 persen. Saya yakin di toko buku lain, yang
bukan toko buku agama, paling besar buku Islam," kata Arif menambahkan.

GELIAT penerbitan buku- buku Islam yang melanda dunia penerbitan akhir-akhir ini, di satu sisi tidak bisa
dilepaskan dari hukum penawaran dan permintaan. Artinya, kemunculan penerbit dan buku Islam di
masyarakat ini sangat dipengaruhi tingginya respons atau permintaan masyarakat terhadap buku-buku
jenis itu. Tengok saja selama bulan Ramadhan, misalnya, hasil jajak pendapat yang dilakukan harian ini
di 10 kota besar Indonesia mengungkapkan 71,7 persen responden beragama Islam mengaku membaca
buku-buku Islam. Sisanya, mengaku tidak membaca buku-buku bertemakan Islam dalam keseharian di
bulan Ramadhan ini.

Dapat dibayangkan betapa besar kebutuhan akan buku-buku bertemakan Islam selama bulan ini. Oleh
karena itu, bagi Indonesia yang mempunyai penduduk beragama Islam terbesar di dunia ini merupakan
pasar yang sangat potensial bagi buku-buku bernuansa Islam. Pertimbangan inilah yang menjadi salah
satu alasan bagi penerbit-penerbit untuk berbondong-bondong terjun menggarap pasar buku-buku Islam
dengan lebih serius.

Situasi seperti itu juga diantisipasi Penerbit Gema Insani Press (GIP). "Saya melihat mayoritas penduduk
Indonesia itu Islam, sementara itu para penerbit buku Islam sebelumnya sudah ada, tetapi kualitas
covernya sangat sederhana, kertasnya koran semua. Kenapa buku Islam tidak bisa dibuat dengan
bagus, hard cover dengan kertas HVS semua?" Pertanyaan inilah yang mendorong GIP terjun dalam
penerbitan buku-buku bertemakan Islam. Apalagi, ternyata masyarakat menerima keberadaan mereka,
yang diikuti respons pembelian yang sangat bagus. "Jadi, masyarakat ini menggandrungi buku-buku
Islam yang bagus dan indah, tidak sekadar dari kertas koran," kata Iwan Setiawan, General Manajer GIP.
Menurut pendirinya, GIP sendiri berdiri tahun 1985. Semua berawal dari penerbitan buku bertemakan
perang Afghanistan. Merasa cukup laku, dari situ kemudian keluarlah buku-buku yang lain sehingga
penerbit ini memilih berkonsentrasi penuh dengan menerbitkan buku-buku Islam sampai sekarang.
Dalam dunia perbukuan, Penerbit GIP termasuk penerbit buku Islam yang terbilang sukses. Produksi
bukunya saat ini rata-rata 6 judul per bulannya. Jumlah ini meningkat dua kali lipat dibandingkan dengan
selama krisis yang hanya 3 judul tiap bulannya. Hingga bulan September 2003, tidak kurang 414 judul
buku yang sudah diterbitkan GIP. Ada beberapa buku terbitan GIP yang dicetak ulang hingga berkali-kali
dan terserap pasar hingga ratusan ribu eksemplar. Buku-buku itu antara lain: Berbakti pada Ibu Bapak,
Nama-nama Islami, Wanita Harapan Tuhan, dan Anda Bertanya Islam Menjawab. Buku terakhir adalah
karangan ulama besar Mesir Prof Dr M Mutawalli Asy-sya’rawi ini sudah mengalami cetak ulang hingga
18 kali. Buku dengan kemasan luks tersebut dijual seharga Rp 47.200.

Tidak heran dengan keberhasilan meraih respons pasar tersebut hingga kini perkembangan bisnis GIP
tergolong pesat. Dari jumlah karyawan, misalnya, jika semula tiga orang kini mencapai 150 karyawan.
Jika dahulu mereka mengontrak rumah sebagai tempat beraktivitas, kini mampu membangun kantor,
percetakan yang dilengkapi dengan mesin-mesin cetak milik sendiri berkapasitas besar. Bahkan, hingga
kini dengan keuntungan yang diperoleh, penerbit ini sudah mampu membangunkan 40 rumah bertipe 70
dan 90 berkamar tiga, yang diberikan kepada karyawannya.

Penerbit Mizan tampaknya layak juga disebut sebagai lokomotif perkembangan penerbit buku Islam di
Indonesia. Harus diakui juga bahwa penerbit yang berlokasi di Bandung ini turut mewarnai wajah
perkembangan dunia perbukuan. Kemunculannya tidak hanya memberi warna terbatas di dalam
penerbitan buku Islam, tetapi dalam satu dasawarsa terakhir secara lebih luas ikut memberi wajah baru
bagi dunia perbukuan di Indonesia. Apabila sebelumnya dunia penerbitan buku lebih banyak dikuasai
penerbit dari kelompok Gramedia, saat ini Penerbit Mizan tumbuh menjadi kelompok penerbit yang
tergolong tangguh dan patut diperhitungkan.

Penerbit Mizan mulai berdiri sejak tahun 1983 dengan menerbitkan buku-buku tentang pemikiran Islam
yang cenderung moderat dan liberal. Kehadiran buku-buku terbitan Mizan mendapat sambutan yang baik
di masyarakat, terutama kelompok masyarakat kelas menengah baru Islam. Menarik mengikuti
pandangan Haidar Bagir, pendiri kelompok penerbitan Mizan. Menurut dia, keberadaan kelas menengah
baru Muslim ini, yang relatif lebih dulu mengalami kemakmuran dan mengalami gejala kekosongan
spiritual seperti yang dialami oleh masyarakat di negara maju, menjadi pasar terbesar bagi buku-buku
Islam. Untuk itu buku Mizan dibuat dengan kualitas yang sesuai dengan permintaan kelompok-kelompok
yang mementingkan kualitas dan juga harga yang tidak terlalu murah serta yang membeli orang-orang
yang berpenghasilan tertentu. "Buku model Mizan ini kemudian banyak ditiru penerbit-penerbit lain," kata
Haidar Bagir.

Rintisan Mizan tidak terputus sesaat. Dalam perkembangannya selain tetap berkonsentrasi menerbitkan
buku-buku Islam pemikiran dengan tetap menggunakan bendera Mizan, penerbit ini kemudian
membentuk penerbit-penerbit baru dengan nama lain seperti Kaifa untuk buku-buku berjenis petunjuk
(how to) dan Qanita untuk buku-buku bertema perempuan. Bahkan, mulai tahun 2003, Mizan Pustaka
dibagi lagi dalam dua divisi, yakni Mizan Pustaka untuk buku-buku Islam dewasa dan DAR! Mizan khusus
buku-buku bernuansa Islam untuk konsumsi anak-anak dan remaja. "Pembagian ini lebih untuk
menjawab persoalan dan tanggapan dari konsumen, selain itu biar tiap unit bisa lebih fokus pada masing-
masing bidangnya," kata Fan Fan Darmawan dari Mizan.

Strategi yang didasarkan pada segmen-segmen pembaca semacam ini ternyata cukup efektif. Buku-buku
novel remaja bernuansa Islam hasil kembangan penerbit ini, misalnya, ternyata juga mendapat sambutan
yang cukup baik dari pembaca. Novel- novel remaja yang di antaranya dikarang Helvy Tiana Rosa, Asma
Nadia, dan Gola Gong, menurut pengakuan penerbit ini, ada yang sudah terjual sampai 50.000-an
eksemplar. Jumlah sebanyak ini tergolong istimewa, masuk buku best seller untuk kategori buku lokal.

DALAM khazanah penerbit buku Islam, GIP dan kelompok Penerbit Mizan tidak berjalan sendirian.
Perkembangan pasar buku Islam juga diramaikan penerbit-penerbit lain yang tergolong spektakuler
penampilannya. Di antaranya, MQ Publishing. Penerbitan buku yang merupakan salah satu unit usaha di
bawah kelompok usaha MQ Corporation pemimpin pengasuh pondok pesantren Daarut Tauhid Bandung,
KH Abdullah Gymnastiar atau Aa Gym, ini juga mencatatkan rekor penjualan. MQ Publishing sebenarnya
tidak lain adalah pengembangan dari divisi MQS Pustaka Grafika dan MQ Publication yang sebelumnya
telah menerbitkan buku-buku dengan materi dari ceramah-ceramah maupun wawancara dengan Aa
Gym.

Seperti halnya buku-buku Aa Gym sebelumnya yang sudah diterbitkan Mizan dan GIP yang terjual
ratusan ribu eksemplar, buku pertama terbitan MQ Publishing yang untuk pertama kalinya ditulis Aa Gym
sendiri ini laris manis diserap pasar. Dalam waktu kurang dari sebulan, buku Aa Gym Apa Adanya:
Sebuah Qolbugrafi yang diterbitkan pada pertengahan tahun 2003 sudah laku sebanyak 40 ribu buku
lebih. "Tema-temanya memang masih sekitar Aa Gym. Kami ambil tema-tema itu karena di pasar masih
laku. Ya sudah, kami penuhi dulu. Makanya, penerbit-penerbit lain banyak yang mengambil tulisan Aa
Gym," jelas Yopi Hendra, editor MQ Publishing. Kendati saat ini masih lebih konsentrasi menerbitkan
buku-buku tentang Manajemen Qolbu (MQ) dan Aa Gym, MQ Publishing sudah mulai merintis
menerbitkan buku-buku yang tidak bertema MQ. "Di satu sisi kita memang masih mengistimewakan Aa
Gym, sejauh tingkat tertentu, tetapi setelah itu kita tidak akan seterusnya bergantung pada Aa Gym," kata
Yopi menambahkan.

Besarnya peluang pasar bagi buku-buku Islam ini sudah pasti menarik berbagai penerbit untuk ikut terjun
menerbitkan buku- buku bertema Islam. Bahkan, beberapa penerbit yang sebelumnya dikenal sebagai
penerbit umum saat ini mulai menerbitkan buku- buku bertema Islam. Salah satunya, Penerbit Erlangga.
Sejak tahun 2002 Penerbit Erlangga yang lebih dikenal sebagai penerbit buku-buku teks pelajaran ini
memiliki divisi penerbitan buku Islam. Motifnya sudah tentu pasar yang tengah menggeliat. "Kami melihat
market share yang sangat besar, 90 persen penduduk Indonesia ini kan Muslim, karena pasar begitu
besar, kami coba masuk sedikit. Sifatnya partisipasi saja," kata Singgih, salah satu editor Penerbit
Erlangga. Sekalipun sifatnya hanya berpartisipasi, tidak kurang sudah 17 judul buku bernuansa Islam
yang mereka terbitkan, baik buku berjenis pemikiran Islam maupun cerita- cerita ringan. Bahkan, salah
satu buku terbitan Erlangga berjudul Kisah Hikmah ini selama tahun 2002 mampu dicetak ulang hingga
lima kali. Betapa semarak memang pasar buku-buku Islam saat ini. Tidak heran, ibarat pepatah Ada Gula
Ada Semut, buku-buku Islam saat ini layaknya gula yang banyak diminati berbagai pihak lantaran cukup
menggairahkan secara bisnis.(wen/bip/eki/nca/umi)

Pasar buku Jerman – Warisan Gutenberg bertahan dalam persaingan


media

Pasar buku adalah pasar bahasa – dan karena itu pasar buku Jerman tidak bisa
didefinisikan secara nasional . Kata sifat „jerman― dalam hal ini lebih dimaksudkan pada makna
„berbahasa Jerman―. Sebab tiga negara berbahasa Jerman, Swiss, Austria dan Jerman
membentuk satu kesatuan dalam perdagangan buku. Tidak ada pembaca di saat membeli buku
melihat di negara mana kantor penerbitnya.

Penerbit

Penulis adalah awal dari setiap buku. Tapi kemudian penerbit lah yang berperan sebagai mitra
yang membentuk relasi selanjutnya dalam rantai nilai. Ia menyarankan kepada si penulis, ia
menyunting naskah atau manuskrip, mencetak buku, menpersiapkan semua langkah pemasaran
yang dibutuhkan dan pekerjaan humas yang diperlukan agar si penulis dan judul bukunya
dikenal publik dan – sangat penting – dikenal dalam perdagangan buku.
Humas dan pemasaran menjadi makin penting ketika pada tahun 2004 ada 963 juta buku yang
muncul di pasar di wilayah berbahasa Jerman. Itu artinya 86.543 judul buku - 74.074 di
antaranya buku terbitan baru. Sisanya adalah cetakan susulan, cetakan kedua atau ketiga, yang
dalam statistik internasional dicatat sebagai terbitan baru. Untuk wilayah yang relatif kecil,
seperti wilayah berbahasa Jerman, jumlah judul buku ini merupakan sebuah prestasi budaya dan
ekonomi yang besar. Dengan jumlah ini dalam data statistik – sejauh data ini bisa dijadikan
ukuran – pasar buku berbahasa Jerman berada di posisi 3 di belakang pasar buku dunia yang
berbahasa Inggris dan (besar kemungkinan) di belakang Republik Rakyat China. Daftar Buku
yang Tersedia (Verzeichnis Lieferbarer Bücher (VLB)) dan Buku Alamat untuk Perdagangan
Buku yang dikeluarkan oleh Bursa Perdagangan Buku Jerman (Börsenverein des Deutschen
Buchhandels) memang mendaftar lebih dari 21.000 perusahaan yang bisa digolongkan terlibat
dalam operasi perdagangan buku, duapertiga darinya adalah penerbit. Akan tetapi, definisi
„operasi perdagangan buku― yang dipakai di sini adalah definisi yang sangat luas. Di antara
penerbit, misalnya, ada banyak koperasi publik, fakultas universitas, perkumpulan dan lembaga
yang hanya menerbitkan buku secara sporadis. Jumlah perusahaan-perusahaan yang hanya atau
terutama sekali menerbitkan buku serta majalah-malajah ilmiah atau dengan kata lain yang
berdagang terhitung kecil – total ada sekitar 6.300 perusahaan di Jerman yang terlibat dalam
pasar buku. Mereka ini adalah perusahaan-perusahaan yang tujuan utamanya ikut terlibat dalam
pasar. Mereka ini mencakup 1.823 penerbit, 4.349 toko buku dan 78 supplier buku, jadi
pedagang buku partai besar atau penyuplai. Hampir semua perusahaan ini adalah anggota
Asosiasi Bursa Perdagangan Buku Jerman. Asosiasi pedagang buku dan penerbit yang kaya akan
tradisi ini mewakili kepentingan sekitar 6.285 perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan
buku (data keluaran: 30.04.2005).

Kalau selama ini kota Munich selalu menjadi ibu kota penerbit, maka pada tahun 2004 Berlin
berhasil menduduki posisi ini dengan 155 penerbit, dan kini kota ini memiliki jumlah penerbit
yang sama banyaknya dengan Munich, yakni 155. Kantung-kantung penerbit lainnya adalah
Frankfurt am Main dan Stuttgart.

Setiap tahun Asosiasi Bursa Buku Jerman mengeluarkan analisis rinci tentang pasar buku
Jerman. Analisis ini menggambarkan bahwa di tahun 2004 total omset yang diperoleh sektor ini,
termasuk jurnal ilmiah, mencapai 9,076 miliar Euro. Ini berarti, setelah omset pada tahun 2003
turun 1,7% atau setara dengan 9,076 miliar Euro, maka kenaikan omset 0,1% pada tahun 2004
bisa dilihat sebagai perbaikan untuk sektor perbukuan.

Jumlah judul buku yang dipublikasikan di Jerman yang mencapai 86.543 di tahun 2004
merupakan rekor tertinggi. Sebab dibandingkan tahun sebelumnya jumlah judul yang
dipublikasikan bertambah 6,9 persen. Jumlah cetakan pertama pada 2004 meningkat menjadi
74.074.

Bagaimana komposisi jumlah ini? Topik dan isi apa saja yang ada di balik jumlah judul buku
yang banyak ini? Pada tahun 2004 buku fiksi dan sastra Jerman berada terdepan dengan meraih
25,2 % andil pada buku baru (cetakan pertama), disusul oleh buku cerita anak-anak dan remaja
dengan andil 7% pada pasar buku.

Terjemahan
7,3 persen dari judul yang terbit di Jerman pada tahun 2004 adalah buku terjemahan – total ada
5.406 judul buku yang diterjemahkan dari bahasa lain ke bahasa Jerman. Dengan demikian andil
buku terjemahan menurun dan jumlah tersebut merupakan jumlah yang paling rendah sejak
1975. Lebih dari setengah dari buku-buku terjemahan yang baru terbit, yakni 56,8%,
diterjemahkan dari bahasa Inggris dan ini berarti dalam kurun waktu setengah tahun terjemahan
buku dair bahasa Inggris bertambah 5,1%. Akan tetapi, yang mencolok dalam hal ini adalah
bahwa terjemahan buku fiksi dari bahasa Inggris menurun dari 58,9 % tahun 2003 menjadi 50,6
% di tahun 2004. 10 persen terjemahan baru adalah dari bahasa Perancis, 3,3% dari bahasa Italia,
disusul dari bahasa Belanda (2,7 persen) bahasa Swedia (2,6 persen), bahasa Spanyol (2,2
persen), bahasa Rusia (2 persen) dan bahasa Jepang (1,6 persen).

Gambaran yang sama sekali berbeda tampak pada data statistik terjemahan dari bahasa Jerman
ke bahasa lain. Hanya 6,7% lisensi terjemahan dikeluarkan di negara-negara berbahasa Inggris.
Sementara wilayah Timur Jauh mendominasi dalam hal pembelian hak penerjemahan buku-buku
berbahasa Jerman: bahasa Cina dengan andil 10 persen menduduki posisi puncak pada tahun
2004. Kemudian diikuti bahasa Korea dengan andil 7,5%.Bahasa Spanyol berada di urutan
berikutnya dengan 6,8% dan bahasa Polandia bersama dengan bahasa Italia, Ceko dan Rusia
dengan 6,6% tepat berada di belakang bahasa dunia Bahasa Inggris. Penerjemahan bahasa
Jerman ke dalam bahasa Perancis berada jauh di bawah dengan 5,9%. Lebih dari seperempat atau
25,8% dari semua hak penerjemahan buku Jerman yang diberikan ke penerbit asing pada tahun
2004 adalah buku anak-anak dan remaja. Dengan demikian genre ini merupakan bentuk sastra
Jerman yang paling diminati di luar negeri.

Perdagangan buku di Jerman

Berbicara tentang penyuplaian buku, para pembaca Jerman cukup dimanjakan. Lebih dari 4.500
toko buku menyediakan kepada para pembaca di seluruh Jerman dengan buku sastra. Di setiap
toko buku tersebut orang bisa membeli atau memesan sekitar satu juta judul. Di Jerman harga
tambahan untuk pesanan atau layanan seperti penelurusan bibliografi atau pencarian judul-judul
yang sulit ditemukan tidak diperbolehkan. Sebab layanan seperti ini sudah termasuk dalam paket
harga buku yang memberi jaminan kepada setiap pembeli untuk tidak membayar lebih untuk
sebuah buku daripada harga yang telah ditetapkan penerbit. Berkat adanya harga buku yang
mengikat di Jerman dan Austria, anekaragam judul buku dan toko buku telah berkembang pesat.
Berkat adanya harga buku yang mengikat maka sejak 1887 di Jerman dan Austria telah banyak
muncul beraneka ragam judul buku dan tingkat penyuplaiannya juga sangat baik dengan adanya
toko buku-toko buku khusus yang diusung oleh penulis, penerbit dan pedagang buku dan
didukung oleh semua instansi yang demokratis di wilayah yang berbahasa Jerman.

Harga buku yang mengikat adalah sebuah model masa depan. Ia menjamin bahwa buku dijual
dengan harga yang sama di suatu negara dan dengan demikian persamaan peluang di berbagai
wilayah tetap terjaga. Harga buku yang mengikat ini juga berlaku di internet khususnya untuk
buku-buku yang ditawarkan oleh penyuplai Jerman.

Perdagangan buku di Jerman mungkin merupakan sektor retail dengan perlengkapan yang paling
modern. Semua perusahaan bekerja secara elektronis dan memiliki akses elektronis pula ke
adalam katalog buku. Instrumen yang paling penting adalah Daftar Buku-buku yang Tersedia
yang mencantumkan semua judul yang dijual di wilayah berbahasa Jerman – sekitar satu juta
judul. Selain itu, para pedagang buku partai besar dengan stok tak kurang dari 350.000 bisa
menyuplai buku dalam waktu semalam. Dengan demikian toko buku yang paling kecil pun bisa
menyediakan bacaan secara sempurna.

Akan tetapi, buku tidak hanya dijual di toko buku-toko buku tradisional yang masih memiliki
andil pasar sebesar 55,8 persen. Makin banyak orang Jerman membeli buku melalui internet.
Sekitar 10 persen dari semua pembelian buku terjadi melalui cara ini.

Warisan Gutenberg

Warisan Gutenberg tetap bertahan dalam persaingan dengan media lain. Penerbit mendefinisikan
dirinya melalui isi, bukan lewat media yang digunakan sebagai alat penyebaran informasi.
Media-media seperti ini pada zaman sekarang tentu sudah umum, sebutlah misalnya selain kertas
publikasi-publikasi offline seperti CD-ROM, atau publikasi online seperti database ilmiah di
internet. Sekarang makin sering saja penerbit memublikasikan produk yang „media-netral―,
artinya sebuah manuskrip dipersiapkan sedemikian rupa sehingga ia bisa dipublikasikan sebagai
buku atau CD-ROM atau publikasi di internet. Namun dalam perkembangannya makin sering
kita temukan bahwa kedua bentuk produk tersebut dipublikasikan secara bersamaan.

Untuk kenyamanan pemakai, buku-buku yang dicetak – terutama pada buku-buku non fiksi dan
buku-buku khusus – disertakan pula sebuah CD-ROM yang bisa diaktualisasikan melalui
internet. Warisan Gutenberg, yakni penerbit Jerman, telah mengerjakan pekerjaan rumah mereka.
Pemublikasian secara elektronis dewasa ini adalah suatu hal yang pasti di Jerman. Namun ini
khususnya berlaku untuk buku khusus dan buku non fiksi. Buku-buku fiksi mungkin akan tetap
dibaca dalam bentuk cetak di atas kertas hingga dasawarsa ke depan.

Perdagangan buku di Jerman berorientasi masa depan. Beberapa ribu toko buku kini memiliki
cabang elektronis di internet, dan jumlah ini bertambah setiap harinya. Terbukti bahwa
perdagangan buku melalui internet dan perdagangan buku dengan cara yang klasik tidak
memisahkan diri, tapi saling melengkapi. Masa depan perdagangan buku terletak pada
bagaimana caranya mengombinasikan toko buku yang ada sampai saat ini dengan beragam judul
buku dan peluang pilihan yang banyak, dengan stok yang banyak dan konsultasi yang baik di
tempat – dan dengan peluang-peluang pencarian dan pemesanan selama 24 jam di internet. Di
sini, kedua lahan ini berkembang bersama.

Artikel ini sebagian besar didasari pada data statistik buku tahunan Buch und Buchhandel in
Zahlen (Buku dan Perdagangan Buku dalam Angka) yang disunting oleh Asosiasi Bursa Buku
Perdagangan Buku Jerman, cetakan 2005.

Eugen Emmerling
adalah wartawan lepas

Terjemahan: Arpani Harun

Copyright: Goethe-Institut, Online-Redaktion


Mei 2006

Perbukuan dan penerbitan di Indonesia

Depan
Titik Temu
Gelanggang Sastra
Industri Buku
o di negara-negara berbahasa Jerman
o di Indonesia
Alih Bahasa

Cari

Sastra Asia: Ceruk Pasar Buku yang Masih Terbuka

Berkarya dalam bahasa Inggris merupakan kunci utama untuk dikenal oleh khalayak pembaca
dunia, dan ini rupanya yang jarang dilakukan oleh sejumlah penulis besar di berbagai belahan
negara Asia. Penulis non-Inggris yang reputasinya diakui sama agungnya oleh khalayak pembaca Inggris
bisa dikatakan terbatas, meskipun tentu saja pencapaian mereka boleh dikatakan kadang-kadang tak
ada duanya. Karenanya reputasi mereka sedikit-banyak ditentukan oleh faktor bahwa buku mereka
telah diterjemahkan ke dalam Inggris. Namun begitu, sejumlah di antaranya menulis dan berekspresi
dalam Inggris yang bukan bahasa ibunya---dilatarbelakangi oleh sejumlah hal.

Oleh karena itu reputasi penulis lokal yang tidak berbahasa Inggris sepenuhnya bergantung pada
kesempatan karya itu diterjemahkan dan diperkenalkan ke dalam bahasa Inggris (atau bahasa
dunia lain), yang terutama dilakukan oleh peneliti, sarjana sastra, lembaga budaya, atau penerbit
yang ingin mengembangkan jangkauan pasar. Pramoedya Ananta Toer pastilah sukar dikenal
oleh khalayak Barat seandainya tidak "diperkenalkan" oleh A. Teeuw. Harry Aveling, John
McGlynn, dan Tom Hunter juga termasuk sarjana yang sangat getol memperkenalkan karya
sastra Indonesia ke luar negeri, terutama karya para penulis muda. Di Jepang, penerbit yang
paling berdedikasi menerjemahkan karya sastra Jepang ke dalam Inggris adalah Tuttle. Hampir
semua karya penulis legendaris Jepang diterbitkan penerbit ini, diantaranya adalah Soseki
Natsume, Kawabata, Mishima, dan Endo.
Penulis India sudah sejak lama memberi kontribusi penting bagi perkembangan sastra
Inggris, terutama dalam khazanah sastra poskolonial dan diaspora; sementara budaya
dan bangsanya kerap jadi objek eksotik penulis Barat. Dibantu oleh kefasihan
berbahasa Inggris, rasanya selalu muncul generasi baru penulis berbahasa Inggris dari
India. Dua yang paling terkini adalah Arundhati Roy dan Jhumpa Lahiri. Roy belum lagi
menerbitkan novel setelah debutnya yang luar biasa dalam The God of Small Things---
bahkan dalam beberapa berita dia pernah menyatakan tidak lagi berminat pada dunia
literer. Sementara itu, Jhumpa Lahiri telah menerbitkan The Namesake setelah keberhasilannya yang
indah melalui Interpreter of Maladies. Novel itu membuktikan bahwa dia bukanlah penulis kemarin sore
yang masih diragukan kualitas dan reputasinya setelah kemenangan mengagetkan meraih hadiah
Pulitzer untuk fiksi.

Sebenarnya tidak semua penulis terkemuka dari India dan sekitarnya menulis dalam Inggris.
Contohnya adalah Taslima Nasrin, yang berasal dari pecahan India, Bangladesh. Novel
kontroversialnya, Lajja, ditulis dalam Urdu; setelah dilarang di Bangladesh dan India, buku itu
lantas diterbitkan oleh Penguin ke dalam bahasa Ingrris. India silih berganti melahirkan penulis
yang sangat berbakat dalam khazanah sastra Inggris, mulai dari Salman Rushdie yang
kontroversial hingga Vikram Seth yang menulis Suitable Boy, yang lebih tebal dari War and
Peace karya Leo Tolstoy.

Sebenarnya cukup banyak penulis terkemuka Asia yang sejak awal menulis dalam bahasa
Inggris, apalagi jika dikaitkan dengan kecenderungan isu poskolonial, sastra dunia ketiga, dan
diaspora. Memang sejumlah dari mereka bukan penduduk salah satu negara Asia, melainkan
telah menjadi warga negara di negara berbahasa Inggris, namun keasiaan mereka tak luntur, dan
bahkan merupakan unsur yang membuat karya itu bisa muncul dengan kekhasan dan karakter
kuat. Harus dicatat kecenderungan itu tidak mati; ada penulis Asia yang tetap bertahan menulis
dalam bahasa internasional, dan dia masih tinggal di negerinya sendiri yang tidak berbahasa
internasional. Atau sebaliknya, mereka tinggal di negara berbahasa Inggris, berkarya dalam
bahasa itu, namun tetap berkewarganegaraan negeri asalnya. Dengan beragam variasi, isu yang
kerap jadi subject matter karya penulis Asia bisa digolongkan dalam beberapa kategori, antara
lain (1) identitas individu di suatu tempat; (2) penafsiran ulang sejarah dan pembentukan
peradaban tempatnya berasal; (3) benturan, interaksi, dan perubahan nilai suatu budaya; (4)
harapan akan munculnya realitas baru yang lebih bisa dicerap nalar dan adanya pemahaman dan
pemihakan atas keyakinan yang dianut penduduk setempat.

Ahmad Kamal Abdullah---penyair, sarjana dan kritikus sastra Malaysia, peraih SEA Write
Award asal Malaysia---dalam esainya "Kesusastraan Asia dalam Konteks Kesusastraan Dunia"
menyebut sejumlah penulis Asia kontemporer yang layak mendapat perhatian atas keberhasilan
karyanya selain Pira Sudham, di antaranya Ankarn Kalyanapong dan Khamsing Srinawk
(Thailand); Shahnon Ahmad dan A. Samad Said (Malaysia); di Filipina yang terutama adalah
Jose Rizal, Nick Joaquin, dan F. Sionil Jose; sedangkan dari Indonesia dia menyebut Pramoedya
Ananta Toer, Mochtar Lubis, YB Mangunwijaya, dan Umar Kayam; Jepang diwakili Gozo
Yoshimasu; Korea oleh Richard Kim; India menghadirkan Mulk-Anand dan RK Ramayanan
Sahgal; dan Pakistan dengan Syed Waliullah. "Dari merekalah kita memerhatikan kemungkinan
yang baik meletakkan kesusastraan Asia pada peringkat yang baik, peringkat tinggi antara
bangsa," demikian tulis Ahmad Kamal.

Dilihat dari perkembangan terkini, rasanya harapan itu tidaklah muluk, malah cenderung
membaik. Ini bisa dibuktikan dari munculnya penulis generasi lebih muda Asia dalam kancah
khazanah literature berbahasa Inggris. Salah satu yang paling terkemuka ialah Haruki Murakami,
penulis eksponen posmodern Jepang, yang menulis dalam Jepang namun reputasinya begitu
terkemuka, disejajarkan Salman Rushdie dan Vikram Seth, dan eksplorasinya tidak kalah
dibandingkan Thomas Pynchon dan Anthony Burgess. Bukunya diterbitkan penerbit Barat, di
antaranya Vintage.

Indonesia - negara yang tidak berbahasa Inggris dan tampaknya merupakan negeri
dengan industri penerbitan paling lemah di Asia Tenggara - pada dasarnya terus
melahirkan penulis dan karya yang mengagumkan. Sejumlah kritik, baik kritikus lokal
dan asing, berani berspekulasi tentang mutu sejumlah karya penulis Indonesia yang tak
kalah dibandingkan masterpiece dunia. Setelah Pramoedya yang tampaknya belum
tertandingi penulis lokal manapun reputasinya di dunia internasional, dibangga-
banggakan pencapaian literernya, penerus yang bisa diajukan ke depan misalnya Ahmad
Tohari (terutama untuk Ronggeng Dukuh Paruk), penulis produktif Seno Gumira
Ajidarma, dan yang lebih muda antara lain Ayu Utami dan Eka Kurniawan.

Debut novel Eka Kurniawan, Cantik itu Luka, dipuji-puji sejumlah kritikus sastra Indonesia
sebagai salah satu novel yang bisa disejajarkan dengan adikarya manapun dalam ranah sastra
poskolonial. Tentu saja ini membanggakan, meski buku itu belum diterjemahkan dalam Inggris.
Artinya, memperkenalkannya pada khalayak berbahasa Inggris, dan melemparnya ke kalangan
pergaulan sesama sastra poskolonial jadi tugas bersama. Sebab hanya dengan begitu khalayak
luar bisa menilai sendiri mutu karya tersebut, bukan semata-mata anggapan kritik setempat,
meski kemampuan membandingkannya dengan karya sejenis tak bisa diragukan. Kritik dan
penerbit bisa mengira-ngira seberapa bagus kans dan kesempatan seandainya buku tersebut
diterjemahkan dan langsung dihadapkan dengan karya sastra poskolonial.

Di ranah lebih minor, misalnya puisi dan naskah drama, Dorothea Rosa Herliany dan Joko
Pinurbo makin tak bisa disingkirkan sebagai eksponen terdepan penyair Indonesia bereputasi
internasional, bukan semata-mata karena karya mereka telah diterjemahkan ke dalam Inggris,
melainkan karena kritik terhadap kedua penyair itu rata-rata kuat. Mereka rasanya bisa
mengambil alih pelanjutan generasi terdahulu yang kerap diwakili oleh Rendra, Goenawan
Mohamad, dan Sapardi Djoko Damono. Sementara naskah N. Riantiarno (Teater Koma)
tampaknya merupakan satu-satunya naskah drama yang kini hadir dalam Inggris. Sedikit di luar
kecenderungan nyaris tidak ada penulis Indonesia menulis dalam Inggris, nama Richard Oh dan
Dewi Anggraeni layak dikemukakan, sebab keduanya menulis dalam bahasa internasional
tersebut. Richard Oh menghasilkan Pathfinders of Love dan Heart of the Night, sedangkan Dewi
menghasilkan Snake Dancer. Meski keberhasilan kedua penulis itu masih kabur, kita bisa
menyatakan ternyata ada penulis Indonesia yang mampu menulis Inggris dengan baik.
Bagaimanapun keadaan dan dinamikanya, perkembangan buku sastra Asia tetap menarik dan
layak diperhatikan; Asia merupakan sumber kajian penting di samping Afrika dan Amerika
Latin. Menerbitkan karya sastra Asia dalam bahasa internasional, lebih-lebih dalam bahasa
setempat, dengan sendirinya juga merupakan persoalan penting. Salah satu maksudnya adalah
agar sastra Asia dipandang dan bereputasi sejajar dengan bahasa dunia lain.

Proyek penerjemahan dan penerbitan karya sastra Asia seharusnya juga mendapat perhatian
selayaknya dari kalangan penerbit Indonesia, setidak-tidaknya karena realitasnya sangat dekat
dengan kita sendiri, bahkan bisa jadi sejumlah unsur dan karakternya serupa, sudah akrab dengan
pembaca awam. Harus diakui, di tengah gelombang pasang naik industri penerbitan Indonesia
hingga pertengahan 2004 ini, upaya menerbitkan karya sastra Asia masih minim. Penerbit
ternyata lebih suka menerjemahkan karya penulis Barat---mulai dari yang klasik, avant-garde,
hingga kontemporer. Penerbit yang memiliki perhatian pada penerbitan sastra Asia bisa dibilang
terbatas, namun begitu berkonsentrasi, upaya itu patut dipuji.

Yayasan Obor Indonesia (YOI) rasanya merupakan lembaga penerbitan yang merupakan pionir
dan terbaik dalam upaya mempersembahkan buku sastra Asia; mereka memiliki lini produk
bernama "Obor Cipta Sastra Dunia Ketiga", yang berusaha menghadirkan karya utama sastra
poskolonial---tak peduli dari mana itu berasal---dengan penerjemahan dan penyuntingan
bertanggung jawab, meski dalam hal pengemasan dan desain kerap menyedihkan. Dari Asia,
dihadirkanlah karya Syed Waliullah, F. Sionil Jose, Shahnon Ahmad, Amrita Pritam (penulis
India), antologi penulis Iran, Filipina, termasuk yang terakhir di antaranya adalah Negeri Hujan
(Pira Sudham) dan The God of Small Things (Arundhati Roy).

Yayasan Lontar, Indonesiatera, dan Metafor melakukan hal mirip demi memasyarakatkan sastra
Asia. Ketiga penerbit ini terbiasa menerbitkan buku dalam Inggris, yang tampaknya memang
bersaing mengisi ceruk pangsa pasar ekspatriat. Lontar---yang disantuni sejumlah sastrawan dan
budayawan senior Indonesia---berjasa telah menerjemahkan sejumlah karya sastra kontemporer
Indonesia, antara lain puisi Joko Pinurbo, fiksi Seno Gumira Ajidarma, novel Ahmad Tohari,
drama N. Riantiarno, hingga cerpen Sudjinah---jurnalis anggota Gerwani yang jadi tahanan
politik Orde Baru. Metafor di antaranya menginggriskan karya Danarto, Abracadabra. Sementara
edisi Inggris puisi Dorothea diterbitkan Indonesiatera.

Pustaka Jaya harus dicatat sudah sejak lama memiliki kesungguhan menerbitkan sastra
Asia, di antaranya memperkenalkan Ryonesuke Akutagawa, Yukio Mishima, Yasunari
Kawabata---tapi agaknya peran itu sedikit surut dan mereka cenderung lebih serius
menggarap sastra daerah; Jalasutra boleh dibilang penerbit muda yang juga mulai serius
dengan sastra Asia, mereka menerbitkan Gunung Jiwa (Gao Xinjiang), Sebuah Rumah
untuk Tuan Biswas---adikarya VS Naipaul, buku cerpen Jhumpa Lahiri dan Salman
Rushdie, dan tengah mempersiapkan sebuah novel Kenzaburo Oe---peraih Hadiah
Nobel Sastra 1994. Sementara itu Penerbit Serambi diberitakan berusaha mengisi ceruk
ini dengan menerbitkan buku-buku karya Tariq Ali, seorang penulis asal Pakistan. Gramedia, dengan
langkahnya sendiri---misalnya mengemas secara pop dan memperlakukan terbitannya semata-mata
tampak sebagai komoditas---sejak awal juga menghadirkan buku penulis keturunan Asia, di antaranya
Amy Tan dan Michael Ondaatje, yang menjulang namanya berkat novel The English Patient.
Informasi di atas tampaknya menunjukkan bahwa sebenarnya pangsa pasar buku sastra Asia
belumlah penuh diisi pemain, sementara itu produknya pun banyak, mengingat karya-karya
klasik pun tidak tergarap maksimal oleh pemain lama. Kedua kondisi itu kini malah dipengaruhi
sangat kuat oleh munculnya faktor isu poskolonialisme, cultural studies, etnografis dan etnologi,
sastra diaspora, serta kajian Asia (Asian studies)---menjadikan semua yang berbau Asia tampak
selalu seksi, menarik perhatian, cukup laku dijual. Bila jeli, konsisten, dan inovatif menggarap
ceruk ini, penerbit tampaknya masih terbuka lebar bisa melakukan sejumlah hal menantang---
pertama menghadirkan buku yang memiliki ikatan emosi, intelektual, sejarah, dan identitas Asia,
sama dengan pembacanya; kedua menguatkan dinamika sastra Asia agar kehadiran,
pengeksplorasian, dan pencapaiannya tambah bersaing di hadapan khazanah sastra belahan dunia
lain, sebab rentang sumber daya dan budayanya luas sekali. Politik penerbitan, distribusi,
pemasaran, kualitas terjemahan, bahkan desain buku tentu tidak bisa diabaikan ketika hendak
menghadirkan sastra Asia (ke dalam bahasa Indonesia atau Inggris); karena itu kerja sama
dengan toko atau importir buku yang target pasarnya orang asing (ekspatriat)---antara lain QB
World Books, Kinokuniya, Aksara, Etno Books, dan Java Books---akan sangat membantu
perhitungan bisnis penerbitan tersebut.[]

(Terima kasih pada Yuliani Liputo dan Sofie Dewayani yang memberi masukan).

Anwar Holid
eksponen komunitas TEXTOUR, Rumah Buku Bandung.

Penerbit Equinox, Mengglobalkan Indonesia Lewat Buku

Zaman globalisasi saat ini memungkinkan berbagai jenis komoditi masuk pasar dunia,
tak terkecuali komoditi kebudayaan seperti buku. Di Indonesia sendiri, ribuan buku
karya dan tentang negeri lain masuk dan dikonsumsi jutaan penduduk. Sebaliknya, belum banyak
buku karya anak negeri maupun tentang Indonesia yang mengisi rak-rak buku warga dunia.

Salah satu penerbit yang berupaya membawa Indonesia masuk ke dalam perbincangan
komunitas dunia adalah Equinox. Didirikan tahun 1999 oleh Mark Hanusz, seorang warga
Amerika Serikat, yang menjadi pemilik sekaligus Managing Editor, Equinox menerbitkan
puluhan buku karya penulis asing tentang Indonesia maupun beberapa karya penulis dalam
negeri. Tema-tema buku sangat bervariasi, mulai dari tema akademik seperti analisis ekonomi
politik ilmu sosial di Indonesia, demografi, militer, kebijakan luar negeri Indonesia, hingga tema
sastra, biografi, sejarah organisasi serta produk kebudayaan Indonesia seperti kretek, kopi,
maupun seluk-beluk kehidupan warga Jakarta.

Untuk bisa masuk pergaulan global, Equinox menerbitkan karya orang Indonesia dalam bahasa
Inggris selain puluhan buku yang memang ditulis dalam bahasa Inggris. Seluruh buku
terbitannya juga dijual lewat toko buku terbesar dunia yaitu situs www.amazon.com, selain
beberapa distributor dunia dan institusi akademik seperti Institute of South East Asian Studies
(ISEAS). Ragam tema dan isi yang menarik membuat cukup banyak di antara buku-buku
terbitannya menjadi pembicaraan buletin, koran, dan majalah asing seperti New York Times,
Asia Observer, South China Morning Post, Straits Times, Far Eastern Economic Review, Time
Asia, The Asian Review of Books, dan International Institute for Asian Studies.

Namun demikian, Equinox tetap menyediakan beberapa judul yang diterbitkan dalam bahasa
Inggris maupun Indonesia, agar lebih banyak warga Indonesia ikut membacanya.

Dari Saham ke Buku


Awalnya adalah tahun 1998, ketika Indonesia dihantam krisis ekonomi. Saat itu Mark Hanusz
telah bekerja di SBC (Swiss Bank Corporation) selama tujuh tahun dan dua tahun ditugaskan di
Jakarta menangani penjualan saham. Krisis mengakibatkan perdagangan saham sepi, tak ada
orang mau menjual atau membeli saham. Alih-alih kembali ke tanah airnya, Mark Hanusz
memutuskan tetap tinggal di Indonesia. Ia pun lalu melakukan riset tentang kretek dan
menuliskannya dalam bentuk buku.

―Sudah sejak lama saya ingin sekali menulis buku. Saya kira itu keinginan semua orang. It‘s
human nature,‖ ceritanya. Maka ia memulai riset tentang rokok kretek yang membawanya ke
berbagai tempat di Indonesia bahkan hingga ke Belanda, terutama Tropen Museum di
Amsterdam dan Leiden. ―Waktu itu banyak bisnis mati di sini, tetapi industri rokok tidak. Ia
justru paling laku. Dan kretek itu tidak ada di AS, tidak ada di Eropa, atau negeri-negeri lain.
Hanya ada di sini, khas Indonesia,‖ papar laki-laki kelahiran 26 Juli 1976 ini.

Totalitas menulis buku dibuktikan Mark Hanusz dengan bekerja full-time dari pagi hingga
malam sejak konsep hingga akhir penulisan selama 18 bulan. Ia mendatangi keluarga Nitisemito,
pelopor industri rokok kretek Indonesia, untuk menuliskan sejarah awal produksi massal kretek
di Kudus, Jawa Tengah. Selain itu, ia juga berkeliling ke 60 perusahaan rokok yang ada di Jawa
Tengah dan Jawa Timur, serta pergi ke Sulawesi untuk meneliti cengkeh yang digunakan di
dalam produksi kretek. ―Saya pegang semua pekerjaan saat itu, wawancara, mencari foto-foto,
menulis, mengedit, dan membiayai semua proses hingga penerbitan. Tidak ada sponsor, tidak
ada penerbit. I was crazy at that time,‖ urainya lagi.

Penerbitan buku tentang kretek itulah yang menjadi awal mula berdirinya Equinox Publishing.
Buku berjudul Kretek: The Culture and Heritage of Indonesia’s Clove Cigarettes, diluncurkan
pada 21 Maret 2000 di Jakarta yang dimeriahkan dengan peragaaan pembuatan rokok klobot,
rokok dengan pembungkus daun jagung, dan sekaligus sebagai pengumuman tidak resmi tentang
Equinox. ―Sebetulnya saya tidak pandai menulis. Ada dua buku lagi yang saya tulis bersama
teman setelah Kretek tetapi tidak sebagus Kretek. Namun, saya kira saya lebih pandai mengelola
bisnis buku daripada menulis buku,‖ jelas Mark Hanusz dengan lugas.

Tentang Indonesia
Selama delapan tahun, Equinox telah menerbitkan 74 judul buku yang menjabarkan berbagai
aspek tentang Indonesia. Terbagi atas kategori fiksi, non-fiksi, illustrated books, buku-buku
akademik, dan seri klasik Indonesia, Equinox menampilkan ragam persoalan dengan berbagai
sudut pandang, yang ditulis oleh orang Indonesia maupun asing.

Beberapa buku non-fiksi yang ditulis oleh Ken Conboy, seorang konsultan manajemen
keamanan yang telah tinggal di Indonesia sejak 1992 misalnya, memaparkan sejarah serta seluk
beluk lembaga militer Indonesia, baik pasukan elit di ke-empat angkatan, Kopassus, maupun
lembaga intelijen negara. Buku lainnya yang ditulis oleh Wimar Witoelar mengungkap hal-hal
yang terjadi saat ia menjadi juru bicara presiden Abdurrahman Wahid.

Pada aspek lain, terbit juga buku tentang pembunuhan wartawan Bernas, Fuad Muhammad
Syafruddin, berjudul The Invisible Palace yang ditulis Jose Manuel Tesoro, seorang koresponden
majalah Asiaweek. Buku ini mendapat predikat buku terkemuka dalam Kiriyama Award pada
tahun 2005, sebuah institusi yang mendorong terbitnya karya-karya untuk menumbuhkan dialog
kebudayaan antarbangsa di kawasan Pasifik dan Asia Selatan.

Ulasan cukup banyak diberikan kepada buku Equinox lainnya yang berjudul Jakarta Inside Out,
karya Daniel Ziv, mantan pemimpin redaksi majalah djakarta!. ―Berbeda dengan buku-buku
tentang wisata untuk para turis, Daniel Ziv menyajikan aspek yang tidak klise tentang sebuah
kota dengan bahasa populer, foto-foto dengan sudut pengambilan gambar yang tidak biasa,
namun tetap berbasis pada pengamatan yang mendalam,‖ tulis majalah Time Asia. Sementara itu
Far Eastern Economic Review menyebut buku Ziv, ―berhasil memadukan gambaran tentang
karakter sebuah ibukota negara dengan format baru gaya penulisan pop-art.‖

Gambaran tentang Indonesia dilengkapi Equinox dengan penerbitan kembali buku-buku yang
tidak lagi dicetak namun memiliki arti penting dalam pembentukan pemahaman tentang
Indonesia. Terdapat 16 judul yang telah terbit dan dikategorikan sebagai Classics Indonesia.
Sebagian besar di antaranya pernah diterbitkan oleh Cornell University, AS, seperti buku
Language and Power dari Benedict Anderson yang pernah terbit tahun 1990; Army and Politics
buah pena Harold Crouch dan terbit pertama kali tahun 1978 serta pernah dilarang beredar di
sini; maupun buku Villages in Indonesia karya Koentjaraningrat yang pernah terbit tahun 1967.

Dalam peluncuran tujuh judul seri Classics Indonesia pada Maret 2007 lalu, salah satu buku
yaitu The Rise of Indonesian Communism karya Ruth T. McVey dicekal oleh Bea dan Cukai.
―Buku itu dicetak di luar negeri. Ketika dibawa masuk ke Indonesia, ditahan oleh Bea dan Cukai.
Kurang jelas alasannya. Sampai saat ini, tidak ada yang memberitahu saya kenapa buku itu tidak
bisa keluar dari Bea dan Cukai,‖ jelas Mark Hanusz.

Ketika diajukan kemungkinan komunisme sebagai alasan pencekalan, ia menjawab sambil


menunjukkan keheranannya, ―buku itu adalah buku sejarah, bukan buku yang mempromosikan
ideologi komunisme. Dan semua orang sudah tahu bahwa memang dahulu di Indonesia ada
partai komunis yang besar sekali. Pada saat peluncuran itu, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh
mengatakan bahwa buku itu boleh beredar di sini.‖

Margin kecil
Sebagai penerbit berbahasa Inggris yang mengkhususkan diri pada buku-buku mengenai
Indonesia, Equinox mendistribusikan sebagian besar buku-bukunya keluar Indonesia. Harga
bandrolnya pun dipasang sesuai standar pasar dunia, mulai dari delapan dollar hingga 75 dollar
AS. ―Penerbit buku Indonesia yang agresif sekali adalah ISEAS sementara Oxford Asia sudah
tutup dan penerbit lainnya tidak banyak,‖ jelasnya lagi. Dengan kata lain, di dalam pasar buku
Indonesia di dunia, Equinox hampir-hampir tidak memiliki saingan.

Hingga kini, buku Equinox yang cukup banyak terjual adalah novel karya Pramoedya Ananta
Toer yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Tales from Djakarta sekitar 4000 eksemplar.
Buku lainnya, Jakarta Inside Out terjual 3000 eksemplar dalam kurun waktu empat bulan.
―Awalnya kami mencetak di luar negeri yaitu di AS dan Inggris. Sekarang semua buku kami
cetak di sini dan Equinox sudah mengeluarkan banyak buku. Jadi bisnis ini sudah lumayan,‖
paparnya tanpa bersedia menyebutkan omzet yang didapat setiap tahun.

Meskipun demikian, Equinox memiliki komitmen lain yaitu turut melestarikan lingkungan hidup
terutama hutan Indonesia. Oleh karena itu, sejak awal penerbitan buku seri Classics Indonesia,
Equinox menggunakan kertas daur ulang yang diimpor dari Denmark. ―Ongkosnya memang
lebih mahal, sehingga margin profit kecil, but it’s good for the environment,‖ ujarnya.

Untuk menyiasati ongkos yang mahal tersebut, Equinox menerapkan sistem POD (Print On
Demand), yaitu mencetak sesuai permintaan. Hal ini akan menghindari buku dengan ongkos
produksi lebih mahal menumpuk di gudang. Hingga saat ini, buku Java in A Time of Revolution
karya Ben Anderson merupakan buku dari kategori ini yang paling banyak diminati.

B.I. Purwantari
Artikel telah dipublikasikan di "Kompas", edisi 12 Mei 2008. Publikasi ulang dan penerjemahan
artikel ini dilakukan dengan ijin penulis.

Gerilya dari Acara sampai Ruang Maya

"Sebagai penerbit umum, kurang lengkap rasanya bila kami tak menerbitkan buku
puisi. Saya pribadi akan tambah senang bila semakin banyak buku puisi terbit, oleh
penerbit manapun. Semoga dengan semakin banyaknya buku puisi beredar di masyarakat, akan
semakin meningkat pula gairah warga terhadap puisi," begitu Nung Atasana, manajer pemasaran
penerbit Gramedia Pustaka Utama (GPU) mengutarakan kebijakan yang diterapkan untuk buku
puisi.

GPU tak segan mendiskusikan buku, terutama di komunitas kota dengan banyak peminat sastra,
seperti Jogjakarta dan Bandung. GPU mendatangkan pembaca puisi dan penyair agar bersama-
sama mengapresiasi terbitannya. Langkah ini memang bisa mengundang kecemburuan. "Mereka
kan penerbit besar, dan modal untuk melakukannya ada. Coba kalau tidak, tentu mereka pun
tidak berani melakukan promosi sewajarnya, sebab takut tak balik modal," demikian terdengar
komentar dalam obrolan. Pada April 2008 GPU menerbitkan buku puisi karya penyair-kritikus
Nirwan Dewanto, Jantung Lebah Ratu, dengan peluncuran tergolong mewah, diadakan di Goethe
Haus, Jakarta. Acara itu disponsori Soetrisno Bachir, politikus yang kini cukup sering
mempublikasi diri menggunakan idiom puisi. Acara seperti itu tentu sulit ditandingi oleh penyair
maupun penerbit Indonesia manapun.
Kondisi penerbitan buku puisi Indonesia secara umum cenderung datar dari tahun ke tahun. Ini
diakui oleh Saut Situmorang, penyair Jogja yang pada awal 2008 menerbitkan sajak lengkap
Otobiografi. "Secara umum tak seheboh penerbitan prosa (fiksi), tapi secara kualitatif buku puisi
yang diterbitkan beberapa tahun terakhir tidak memalukan penyair Indonesia, (terutama dari)
variasi gaya penulisan," kata dia via email. Urip Herdiman Kambali, penyair yang telah
menerbitkan dua buku puisi, mengamini. "Tidak bagus iklimnya. Penyair masih ada di pinggiran,
apalagi penyair tak terkenal. Belum sampai dicari oleh penerbit." Urip menerbitkan sendiri buku
debutnya, Meditasi Sepanjang Zaman di Borobudur (2005) yang pada 2006 masuk short list
Khatulistiwa Literary Award (KLA) 2006. Hadiah besar dari KLA memang menggiurkan
penyair, namun mereka menyayangkan sistem penjurian yang tertutup.

Lepas dari berbagai hambatan dan kendala finansial, para penyair tetap bersemangat mencari
alternatif penerbitan, kalau bukan menerbitkan sendiri. Dua penerbit baru yang sekarang tampak
konsisten menerbitkan buku puisi ialah Ultimus (Bandung) dan Bukupop (Jakarta.) Ultimus
menerbitkan baik karya penyair mapan maupun mereka yang baru pertama kali menerbitkan
buku, sementara Bukupop menerbitkan banyak buku penyair muda antara lain Tulus Widjanarko
dan Wayan Sunarta. Ultimus amat berhitung menyiasati harga produksi. Meski begitu mereka
masih bisa mengejar trend desain, misal menggunakan huruf embos. "Asal biaya produksi
ditanggung, kami pasti mau menerbitkan buku puisi," kata Bilven, editor Ultimus. Karena itu
Ultimus siap kerja sama dengan siapapun asal perhitungannya saling memuaskan. Satu judul
rata-rata mereka cetak seribu kopi. Begitu terbit royalti 10 per sen yang dikonversi sebagai buku
langsung diberikan kepada penulis, sisanya dijual Ultimus. Kini sudah beberapa belas judul
mereka terbitkan, beberapa di antaranya karya penulis Indonesia yang tinggal di luar negeri. Dua
buku Soni Farid Maulana masuk short list KLA dua kali berturut-turut; pada 2007 yang masuk
ialah Angsana.

Bukupop milik Karsono H. Saputra rata-rata mengemas buku secara sederhana, dengan harga
berkisar 25 ribu ke bawah. Penerbit Bentang sejak diakuisisi kelompok Mizan setahun sekali
menerbitkan buku puisi yang dikemas serius, yaitu hard cover dan berjaket. Pilihan puisi lengkap
seperti dilakukan Saut Situmorang tentu sulit ditempuh penyair pemula atau tanpa didukung
keuangan memadai. Aurelia Tiara menerbitkan Sub Rosa dengan harga cukup mahal untuk rata-
rata buku puisi, karena dicetak pada art paper dan di dihiasi banyak foto. Beberapa tahun lalu
AKY Press dan Blocknot Book di Jogjakarta berani menerbitkan karya sejumlah penyair muda
kabur (obscure poet) agar bisa diperhatikan kalangan pembaca, namun tampaknya keseriusan itu
sekarang kalah oleh pasar.

"Keberanian Bukupop harus diacungi jempol," puji Dian Hartati, penyair Bandung yang puisinya
berkali-kali masuk antologi bersama dan memiliki kumpulan puisi Nyalindung (2005) dan Cerita
Tentang Daun (2007). "(Namun) jangan sampai asal menerbitkan, artinya perlulah dewan redaksi
menyeleksi lebih ketat naskah yang akan diterbitkan, agar tidak menimbulkan kesan puisi yang
'populer.'" Saut pun mendukung Bukupop. "Kalau memang konsisten, baguslah itu; ketimbang
didominasi sama Grasindo." Grasindo sudah lama dikenal banyak menerbitkan buku puisi,
semua berupa seleksi dari karya penyair yang sudah pernah diterbitkan. Syarat ini jelas hanya
bisa dipenuhi oleh penyair senior. Meski begitu, model seleksi seperti itu ternyata bukan favorit
semua penyair. "Saya tidak suka dengan model seleksi seperti Grasindo," ujar Urip. "Saya
bekerja dengan model concept album atau antologi tematis." Karna, Ksatria di Jalan Panah
(2007)---buku kedua Urip terbitan Cakrawala Publishing merupakan puisi epik tentang Karna,
keluarga Pandawa yang memihak Kurawa. Urip mengadopsi pendekatan berkarya yang kerap
ditempuh grup art dan progressive rock.

Terbatasnya penerbit yang bersemangat menerbitkan puisi membuat penyair mencari banyak
alternatif berusaha memecah kebuntuan itu. Jalan yang paling banyak ditempuh ada di dunia
cyber. Hampir semua penyair, yang karyanya sudah terbit maupun belum, besar-besaran
menguasai media publikasi yang dipicu oleh kemajuan teknologi informasi. Mereka membuat
blog dan situs, juga aktif di milis komunitas sastra. Mereka saling terkait satu sama lain,
merekomendasikan link yang bagus. Puisi yang muncul di blog dan milis nyaris mustahil
dihitung. Milis seperti apresiasi-sastra@yahoogroups.com setiap hari menerima posting puisi
tanpa henti dari anggotanya. Eka Kurniawan baru-baru ini merekomendasikan sejumlah alamat
blog dan situs yang dikelola oleh penyair dan penulis. Namun membanjirnya produksi puisi di
Internet oleh sebagian kalangan penyair sendiri masih dianggap kurang memuaskan karena
mengabaikan proses seleksi maupun kedalaman. Hasan Aspahani, Penyair Terbaik Cybersastra
Award 2000-2006, begitu produktif sampai sudah menerbitkan lima e-book puisi. Alih-alih
syairnya, baru-baru ini Koekoesan malah menerbitkan buku dia tentang apresiasi puisi, Menapak
ke Puncak Sajak (2008). Boleh jadi di zaman Internet sekarang punya blog atau situs merupakan
prasyarat bagi setiap penyair. Link menghubungkan mereka dengan siapapun, baik pembaca
umum maupun sesama penyair. Selain itu, blog memungkinkan mereka fokus pada persoalan
kepenyairan, eksplorasi dan eksperimen, daripada pusing memikirkan faktor di luar sastra.

Kondisi serabakekurangan ini membuat tugas penyair Indonesia berat. Kenyataan ini disadari
semua penyair. Mereka bukan saja bergumul dengan estetika dan menjelajahi tantangan sastra,
melainkan juga dituntut tahu banyak perihal produksi, promosi dan resensi, bahkan distribusi.
Buku puisi bukan jenis yang bakal jadi bestseller, tapi sebagian judul ada yang senantiasa jadi
favorit pembaca sepanjang tahun. "Ada kesan buku puisi sering dibilang produk gagal oleh
sebagian penerbit," kata Dian. Namun bagaimanapun caranya mereka suatu saat ingin
menerbitkan buku. Fakta bahwa Joko Pinurbo atau Nirwan Dewanto baru menerbitkan buku di
atas 35 tahun merupakan legenda bahwa kepenyairan merupakan perjalanan dan pengabdian
panjang. Malah ada penyair kurang beruntung karena belum punya buku puisi sendiri. Penerbit
independen gonta-ganti muncul, namun inkonsistensi penerbitan jadi persoalan besar. Penerbit
seperti itu satu-dua kali menerbitkan, setelah itu mati.

"Menerbitkan buku jenis ini seperti pekerjaan yang hanya menuju pada kematian iseng sendiri,"
kata Hasan Aspahani. Para penyair sadar mereka harus gerilya menghidupkan situasi stagnan.
Salah satunya langsung menawarkan buku kepada publik setiap kali ada acara peluncuran atau
bedah buku, yang kerap divariasikan dengan pembacaan atau musikalisasi puisi. Menurut Dian,
beberapa temannya bisa menjual ratusan buku langsung dengan cara seperti ini. Soni mengaku
suka membawa buku-buku puisinya ke SMU-SMU yang cukup sering mengundangnya bicara
tentang puisi atau sastra, biasanya dibantu kawan untuk menangani. "Pelajar sebenarnya antusias
dengan puisi, namun terbatasnya informasi tentang karya sastra dan jauhnya jarak dengan toko
buku membuat mereka tak tahu karya apa yang harus dinikmati," kata dia. "Penjualan buku puisi
itu jelek cuma di toko-toko buku," ujar Saut sengit. "Kalau langsung dijual pada acara baca puisi
ternyata laris manis! Mitos toko buku saja bahwa buku puisi susah dijual!"
Dinamika lain buku puisi yang muncul baru-baru ini ialah terbitnya 100 Puisi Terbaik Indonesia
2008 oleh Pena Kencana & GPU. Buku ini menggunakan mekanisme pemilihan suara via SMS
pembeli buku untuk menentukan puisi terbaik. Ahmadun Yosi Herfanda, penyair senior, menilai
sistem itu "kurang cerdas" dan rawan manipulasi. Sejauh ini belum ada laporan atas respons
masyarakat terhadap buku tersebut

Anwar Holid
Kontributor Forum Buku
Copyright: Goethe-Institut Indonesia

Di Simpang Turunan Tajam: Dilema Penerbit Islam Menghadapi Krisis

Sulit dibantah bahwa Ayat Ayat Cinta merupakan puncak fiksi Islam Indonesia abad
ke-21. Novel karya Habiburahman El-Shirazy ini per awal 2008 diberitakan telah
terjual 300.000 kopi, dan terus laris mengiringi pemutaran adaptasi filmnya, yang ditonton
kurang-lebih 2,5 juta pasang mata dan memecahkan rekor box office.

Sebenarnya Ayat Ayat Cinta bukan pionir dari genre yang secara umum disebut sebagai "fiksi
Islam." Genre ini dibangun kesuksesan Forum Lingkar Pena (FLP) menciptakan buku yang
dengan baik diserap pembaca Indonesia. FLP dibidani dua bersaudara Helvy Tiana Rosa &
Asma Nadia dan kawan-kawan pada 1997 sebagai jadi organisasi kader penulis yang sangat
sukses. Kini beranggota lima ribu lebih, termasuk berhasil memikat penulis yang awalnya tak
berafiliasi dengan keislaman. Cabang FLP ada di 125 kota, termasuk di luar negeri. Di kota
dengan nuansa Islam pekat seperti Banda Aceh, FLP berjasa menumbuhkan literasi di kalangan
mahasiswa. Mereka kerja sama dengan penerbit kuat, terutama As-Syaamil, Kelompok Mizan,
GPU, Penerbit Republika, Senayan Abadi, bahkan mendirikan Lingkar Pena Publishing House.

Setelah penulis FLP membanjiri fiksi Islam, kira-kira menjelang satu dekade kemudian
pasar fiksi Islam stagnan. Sejumlah penulis yang eksplisit mengusung tema Islam
mengalami banyak penolakan, sementara penerbit kesulitan memasarkan produk dan bertindak
ekstra hati-hati dengan sangat selektif memilih naskah. Toko buku meretur fiksi Islam karena
menghabiskan ruang namun daya serap merosot. Bahkan diobral besar-besaran pun gagal
membuat calon pembeli merogoh dompet. Selain Helvy, Asma, Habiburahman, penulis Islami
yang bisa bertahan dengan baik ialah Gola Gong---veteran yang di awal karir kepenulisannya
melahirkan serial legendaris Balada si Roy dan Pipiet Senja---juga penulis kawakan yang
memulai karir penulisan dari novel pop.

Daya serap fiksi Islam terbatas pada kaum Muslim. Bila berharap dari potensi jumlah pemeluk
Muslim, pilihan tersebut baik-baik saja. Namun bila dari jumlah itu pun pembelinya terbatas,
eksklusivitas jadi masalah. Sulit mengharapkan kelompok sekular atau non-Mulsim mau
membaca produk yang masuk kategori fiksi Islam, karena sebagian pembaca tahu genre itu
hanya membahas dunia keislaman. Sejumlah kritik menyatakan kelemahan paling mencolok dari
para penulis ini ialah terlalu eksplisit mendakwahkan Islam, menjurus berceramah, termasuk dari
unsur yang paling permukaan, antara lain adopsi berlebihan terhadap bahasa Arab.
Sebelum didominasi FLP, secara umum tradisi fiksi Islam dilanjutkan oleh penulis yang
memang lebih menonjolkan moralitas. Kuntowijoyo, Emha Ainun Nadjib, Danarto, Abidah
el-Khalieqy, Mustofa Bisri, juga Motinggo Boesje begitu kental namun lentur menyusupkan nilai
Islam. Kuntowijoyo menulis risalah "sastra profetik" untuk menegaskan posisi sastranya. Para
penulis ini diakui lebih karena kualitas estetika dan sastrawi. Di lain pihak kecenderungan
mereka belum merupakan gerakan massif, lebih sebagai keyakinan pribadi.

Sebagai negeri berpenduduk Muslim sangat besar, riwayat penerbitan Islam di Indonesia harus
diakui memiliki sejarah panjang dan sumbangsih penting bagi perkembangan bangsa. Penerbit
lama seperti Bulan Bintang, Al-Ma'arif, Dahlan, Diponegoro, Pustaka Panjimas, Pustaka Salman,
pernah besar dan berpengaruh, meski sekarang bertahan sekadarnya dan ada yang tutup.
Tumbangnya sejumlah penerbit lama berciri khas Islam disinyalir karena kegagalan menyajikan
buku sesuai selera pasar yang senantiasa berubah, termasuk melakukan inovasi dan kecanggihan
pemasaran.

Meski penurunan terhadap fiksi Islam mulai tercium, penerbit masih menganggap itu sebagai
gejala turunnya trend, sama tatkala trend chick lit atau buku anthurium mulai jenuh. Jumlah
penduduk Muslim ternyata belum bisa diandalkan untuk menjamin laku buku dan belum berubah
jadi faktor menguntungkan. Boleh jadi karena pasarnya masyarakat terpelajar Islam perkotaan,
terutama wanita.

Sejauh ini fiksi Islam memang belum jadi genre mapan. Pembaca tetap akan lebih menimbang isi
novel dan reputasi penulis daripada memilih jenis lini produk yang disediakan. Kesan seragam
(monoton), emosional, menghakimi (judgmental), terlalu fisikal mengedepankan identitas,
bahkan eksklusif mesti segera diubah jadi sikap terbuka, sebab dunia yang direpresentasikan
dalam buku sebenarnya majemuk. Pembaca tambah kritis dengan selera sulit ditebak dalam
kriteria tertentu. Penulis Muslim harus mendobrak tabu yang selama ini dianggap menghalangi
kemajuan.

Karya mereka pun sulit menarik perhatian kritik umum. Sejauh ini kritik tentang kualitas
fiksi Islam terbatas, termasuk dilakukan peneliti luar negeri Stefan Danerek (Universitas
Lund, Swiss) dan Monika Arnez (Universitas Passau, Jerman.) Mungkin meruntuhkan resistensi
terhadap fiksi Islam harus jadi agenda utama penulis Islam, lebih khusus lagi FLP, agar karya
mereka diterima lebih luas.

Keprihatinan lain ialah penerbit Islam jarang bisa bertahan bergenerasi-generasi, mampu
mengembangkan bisnis sampai level sangat besar. Apa ini terkait dengan etos bisnis Muslimin
yang cenderung bersahaja, mempertahankan skala kecil, alih-alih ekspansif dan akuisitif, atau
merupakan persoalan manajerial dan profesionalisme.

Pada akhir Mei 2008 Haidar Bagir, CEO Mizan, kelompok penerbit Islam paling terkemuka
sekarang menulis di Tempo bahwa perkembangan perbukuan Islam Indonesia bisa berperan
positif dalam menjamin kelanjutan kebangkitan dan tegaknya nation Indonesia yang
multikulturalistik, maju, dan damai, tanpa kehilangan identitas religius asal memelihara sifat
modern, rasional, terbuka, juga menjauhkan diri dari eksklusivisme.
Di negeri dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, harapan itu sangat masuk akal.

Anwar Holid
Kontributor Buchforum/Forum-Buku
tinggal dan bekerja di Bandung

Frankfurt Book Fair 2007 - Gerai Indonesia Mulai Dilirik

Di tahun 2008 mendatang, gerai Indonesia di Frankfurt Book Fair (FBF) seharusnya
minimal dua kali lipat besarnya dari tahun ini. Begitu tekad yang dicanangkan oleh
segenap insan perbukuan dari Indonesia di Konsulat Jendral Indonesia di kota Frankfurt Jerman
beberapa waktu lalu, di sela-sela penyelenggaraan pameran buku terakbar di dunia, FBF 2007.
Optimisme mereka untuk membuka gerai yang lebih luas bukannya tanpa dasar, mengingat
―kesuksesan‖ yang ditandai dengan meningkatnya tawaran kerjasama bisnis dari penerbit manca
negara, suatu hal yang langka dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Dilirik pengunjung

Penampilan gerai Indonesia yang dikelola oleh Ikapi (Ikatan penerbit Indonesia) memang
berbeda dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Kendati masih belum seluas dan semegah gerai
negara-negara Asia lainnya seperti Cina, Jepang, bahkan negara tetangga Singapura yang
kebetulan tahun ini lokasinya bersebelahan, gerai Ikapi kali ini jauh lebih luas yakni, 64 meter
persegi (4 X 16 m) dibandingkan sebelumnya. ―Sebelum ini gerai Ikapi paling luas hanya
setengahnya dari sekarang,‖ kata Nova Rasdiana pengurus Ikapi yang ditunjuk sebagai salah satu
dari dua project officer (PO) gerai Ikapi pada pameran kali ini.

Penampilan gerai Indonesia sendiri masih tergolong sangat sederhana, karena hanya
menggunakan partisi standar tanpa ada desain khusus bahkan ornamen atau facia (hiasan di
sekitar nama gerai) yang mencirikan Indonesia pun tidak ada alias polos. Kalau pun ada ciri yang
mewakili Indonesia hanyalah pada warna gerai yang dominan warna merah dan putih.

Tak hanya penampilan luar dan desain konstruksi gerai yang standar, interiornya pun sangat
sederhana. Ruang dalam gerai hanya terdiri dari beberapa rak dinding, floor display, 4 set meja
kursi, dan 2 buah almari kecil atau loker standar. Seperti halnya dengan penampilan luarnya,
interior di dalam gerai juga polos tanpa hiasan apa pun yang mencirikan Indonesia. Kalau pun
ada hiasan, hanyalah sebuah backdrop digital printing ukuran kecil (kurang dari 1 X 2 m)
bertuliskan ―Ikapi‖ yang ditempel di tengah-tengah gerai yang bergambar beberapa orang
berpakaian tradisonal Bali sedang menari Kecak dan beberapa poster yang di tempel seadanya di
dinding gerai. Penampilan gerai Ikapi ini sangat sederhana dibandingkan dengan gerai dari
negara-negara tetanga di ASEAN yang hampir semuanya dengan desain khusus dihiasi dengan
ornamen khas negara masing-masing. Satu hal yang menarik dan sempat menjadi pembicaraan
warga Indonesia selama pameran adalah penampilan gerai negara Malaysia yang menampilkan
wayang kulit sebagai hiasan ornamen gerainya.

Kendati penampilannya masih sangat sederhana, dalam kenyatannya gerai Ikapi selama pameran
tak pernah sepi didatangi pengunjung. Hal ini yang di luar dugaan karena sepanjang sejarah
keikutsertaan di FBF, baru kali ini gerai Ikapi banyak dikunjungi, mulai hari pertama hingga
akhir pameran. ―Terus terang kita tidak menduga kalau gerai kita akan dikunjungi orang
sebanyak ini,‖ ujar Raja Manahara Hutauruk dari penerbit Erlangga, project officer Ikapi yang
bertanggungjawab mempersiapkan gerai Ikapi mulai dari pencarian dana dan sponsorship,
pembangunan gerai hingga pelaksanaan kegiatan selama pameran.

Selama 5 hari pameran lebih dari 500 orang dari berbagai kalangan di industri buku dari
berbagai negara berkunjung ke gerai Ikapi. Dari kartu nama yang ditinggalkan, hampir
setengahnya (47 persen) dari kalangan penerbit buku, yang kemudian disusul dari
percetakan sekitar 25 persen, sisanya terdiri dari distributor, agen, perpustakaan, LSM dan orang-
orang yang punya kedekatan khusus dengan Indonesia. Sementara itu, dari asal negaranya
sebagian besar berasal dari Asia dan Timur Tengah (60 persen), Eropa sekitar 35 persen sisanya
dari Amerika dan Afrika.

Hal yang cukup menggembirakan adalah pengunjung manca negara tersebut banyak yang
menaruh minat terhadap buku-buku terbitan Indonesia, bahkan beberapa di antara mereka
tertarik membeli hak cipta. ―Ada 13 penerbit yang tertarik membeli right dari kita,‖ kata Wahyu
Priyanto salah seorang panitia pelaksana pameran dari Ikapi yang ikut menjaga gerai.

Buku Asia Africa: Towards the First Century terbitan BAB Publishing menarik perhatian
Munsachol Project (proyek di bawah Kementrian Luar Negeri Korea Selatan) sehingga
rencananya akan diterjemahkan ke dalam bahasa Korea. Publishing House BALBÈ penerbit dari
Lithuania tertarik untuk membeli hak cipta buku The Tarot Wayang terbitan Grasindo dan
menerbitkannya di Lithuania. Buku-buku Cerita Anak Nusantara yang diterbitkan oleh Erlangga
juga diminati para penerbit dari Eropa antara lain dari Jerman dan Hungaria. Penerbit-penerbit
tersebut kebanyakan menawarkan kerjasama yakni dalam bentuk barter hak cipta.

Kebanyakan buku-buku yang diminati penerbit manca negara adalah buku-buku yang unik dan
khas Indonesia, seperti tentang seni dan budaya, pariwisata, maupun yang berkaitan dengan
sejarah Indonesia. Namun yang cukup menarik, buku-buku anak dan buku tentang Islam di
Indonesia juga diminati. ISEAS (Institute of Southeast Asian Studies) di Singapura misalnya
tertarik dengan buku-buku terbitan Mizan seperti Why Muslim Partisipate in Jihad dan buku
Islam in the Indonesian World. Selain itu, ISEAS juga berminat dengan buku Islamic Banking
terbitan Raja Grafindo Persada. ―Saya nggak nyangka, buku tentang Islam yang saya bawa
ternyata ada yang berminat membeli copyrightnya. Soalnya, terus terang sebelum berangkat kita
tidak berharap apa-apa dalam pameran ini, kita hanya sekedar memamerkan buku-buku yang kita
punya. Ternyata di luar dugaan, ada yang berminat membeli,‖ kata Nova Rasdiana Presiden
Direktur RajaGrafindo Persada.

Dalam pameran ini tak hanya buku dari Indonesia saja yang diminati oleh penebit dari
mancanegara, tetapi mereka juga berminat untuk mencetak buku di Indonesia. Untuk pertama
kalinya gerai Indonesia mengikutsertakan industri percetakan dalam FBF tahun ini. Ternyata,
kehadiran dua perusahan percetakan, yakni Indonesia Printer dan Jayakarta Agung Offset
tidaklah sia-sia. Tak kurang dari 25 penerbit dari Eropa dan Brazil menaruh minat untuk
mencetak buku, terutama buku jenis artbook di Indonesia. ―Paling tidak, dua penerbit sudah
hampir pasti mencetak buku di tempat kita. Belum banyak sih, tapi sebagai awal sudah cukup
bagus,‖ jelas Victor Ho, Direktur Marketing Indonesia Printer. Dari segi kualitas, percetakan kita
tidak kalah dengan negara-negara lain seperti China dan India yang selama ini banyak mendapat
order cetak dari penerbit-penerbit Eropa. ―Kita masih sering kalah dalam soal harga dengan
Cina,‖ katanya.

Sambutan pengunjung yang di luar dugaan dan sangat menggembirakan dalam sejarah
keikutsertaan Indonesia dalam FBF 2007 ini menunjukkan, bahwa sebenarnya industri
perbukuan di Indonesia cukup potensial dan prospektif bagi pasar global. Sudah saatnya industri
buku Indonesia tampil lebih percaya diri dan tidak perlu ragu menampilkan segala potensi yang
dipunyai dalam pameran buku terakbar seperti ini. ―Kita sebelum ini memang kurang percaya
diri dengan produk kita sendiri. Apa ada yang tertarik dengan buku-buku kita? Tetapi, melihat
begitu antusiasnya pengunjung terhadap potensi industri buku Indonesia seperti yang kita
saksikan selama 5 hari pameran ini, saya kok optimis,‖ kata Manahara. Oleh karena itu, di tahun-
tahun mendatang selain penerbit dan percetakan, sudah waktunya penulis-penulis Indonesia juga
hadir di Frankfurt. ―Kita punya banyak penulis hebat dan bisa lebih hebat dari Singapura dan
negara-negara ASEAN lainnya,‖ tambah Manahara.

Untuk mewujudkan hal tersebut, salah satu syarat yang harus dilakukan adalah dengan
memperluas ukuran gerai di tahun mendatang. ―Kalau kita tanggung secara bersama, saya
yakin kita bisa bikin gerai yang jauh lebih besar dari sekarang. Apalagi kalau penerbit-
penerbit besar seperti Gramedia, Agromedia, dan penerbit besar lain ikut berpatisipasi lebih,
nggak hanya titip buku saja, pasti gerai Indonesia bisa bersaing dengan negara-negara lain. Kita
nggak perlu bikin gerai sendiri-sendiri, kita berkumpul jadi satu sehingga gerai kita bisa lebih
luas dan lebih bagus dari yang ada sekarang. Ini juga dilakukan negara-negara lain seperti
Singapura, Malaysia, Thailand,‖ ujar Nova Rasdiana.

Keikutsertaan Ikapi dalam pameran ini memang belum optimal. Selain karena hampir tidak
mendapat bantuan dari pemerintah sama sekali, kecuali bantuan dari pihak Konsulat Jenderal
setempat, juga belum didukung sepenuhnya oleh kalangan industri buku, utamanya penerbit-
penerbit besar. Dari 59 penerbit yang ditawari untuk menjadi sponsor, hanya 10 penerbit yang
akhirnya ikut berpartisipasi menyumbang dana. Untungnya, biaya yang dibutuhkan untuk
keperluan pembangunan gerai honor dan biaya pendukung lainnya yang mendekati Rp 500 juta
akhirnya tertutupi dari beberapa sponsor, di antaranya dari percetakan, pemasok tinta dan
pemasok kertas.

Tantangan tahun 2008

Keinginan untuk tampil lebih percaya diri dan lebih representatif dalam FBF tahun 2008 juga
didorong oleh semangat untuk bangkit dari keterpurukan. ―Tahun 2008 nanti kita memperingati
100 tahun Kebangkitan Nasional, 80 Tahun Sumpah Pemuda dan juga 10 tahun Reformasi. Jadi,
tidak ada salahnya apabila hal itu kita pakai sebagai momentum kebangkitan nasional kembali
Indonesia melalui keikutsertaan Indonesia dalam FBF 2008 dengan lebih percaya diri,‖ tegas
Frans Meak Parera, Sekretaris Jenderal Dewan Buku Nasional di hadapan sekitar 40 orang
masyarakat perbukuan baik dari penerbitan maupun percetakan yang sedang mengikuti FBF
dalam acara buka bersama yang diadakan Konsulat Jendral Indonesia di Frankfurt.
Seruan Frans Parera ini ternyata mendapat sambutan positif dari yang hadir di situ, baik dari
kalangan industri buku maupun dari Konsul Jenderal Frankfurt Eddy Setiabudhi. Bahkan, dalam
kesempatan tersebut Eddy Setiabudhi menantang para penerbit maupun percetakan untuk ikut
berpartisipasi dalam acara Museumsuferfest 2008 yang akan diadakan pada bulan Agustus di tepi
sungai Main di pusat kota Frankfurt. Museumsuferfest merupakan festival musim panas terbesar
di kota Frankfurt. Tahun lalu acara ini dikunjungi oleh 3,5 juta orang dari berbagai negara Eropa
dalam waktu hanya 3 hari. Oleh karena itu, acara ini sangat potensial sebagai sarana promosi
bagi Indonesia termasuk industri buku.

Anung Wendyartaka (Litbang Kompas)


melaporkan dari Frankfurt, Jerman
Artikel ini telah dipublikasikan di "Kompas", 12 Nopember 2007
Publikasi dan penerjemahan dilakukan atas seijin penulis

Bergegas ke Frankfurt

Berawal dari sebuah pertemuan di satu sore di Goethe Institut, Jakarta. Peter Ripken
namanya. Salah satu orang penting di ajang tahunan Frankfurt Book Fair. Beliau begitu
hangat dan membantu. Pertanyaan pertamanya, ―apakah Penerbit KOEKOESAN sudah pernah
turut serta di ajang Frankfurt Book Fair?‖ Jawaban negatif langsung meluncur dari mulut saya.
―Apakah berminat apabila satu ketika Penerbit KOEKOESAN diundang?‖, lanjutnya. Tentu saja.
Kenapa tidak?

Pada satu pagi beberapa bulan setalah pertemuan itu, sebuah e-mail undangan masuk ke kotak
surat virtual saya. Isinya mengejutkan sekaligus menyenangkan. Penerbit KOEKOESAN
mendapat undangan selaku peserta di Frankfurt Book Fair. Namun, rasa senang itu tak bertahan
lama. Kami pun digayuti kecemasan. Sebagai penerbit baru dengan jumlah karya yang belum
begitu banyak, apa yang bisa diperbuat? Menjual buku jelas tidak mungkin, karena semua
berbahasa Indonesia. Satu-satunya yang bisa dijual adalah copy rights. Namun, apakah buku-
buku kami layak untuk bertarung di pasar Eropa?

Kecemasan itu sungguh beralasan. Tetapi kami sadar bahwa Penerbit KOEKOESAN didirikan di
atas filsafat harapan. Kami berdiri guna membantu merealisasikan harapan para penulis lokal
untuk dikenal secara nasional. Kami berhutang harapan pada para penulis lokal itu. Para penulis
yang telah mengabdikan dirinya secara total di bidang kepenulisan. Para genius lokal yang
menunggu dirinya ditemukan sejarah.

Kami memutuskan untuk pergi ke Frankfurt. Harapan para penulis lokal harus diteruskan di
tingkat internasional. Kami percaya bahwa tekad yang kuat pasti berbuah hasil yang baik. Apa
pun yang terjadi kami harus berjuang keras. Selaku penerbit dari dunia ketiga, kami berniat
memberitahukan pada dunia: bahwa di belahan bumi selatan bersarang banyak talenta lokal yang
kuat. Kami membawa harapan dua penulis lokal, satu bernama Dyah Merta dari Lampung
lainnya Gunawan Maryanto dari Jogja. Keduanya adalah penulis berkarakter lokal cukup kuat.
Dyah Merta dengan karakter lokal Lampungnya sementara Gunawan Maryanto menyusupkan
sastra Jawa Kuno ke dalam narasi-narasinya.
Kami tentu memahami bahwa tanpa penelitian awal kondisi karya penulis lokal di Eropa, maka
kepergian kami menjadi tak bermakna. Kami juga diberitahu Peter Ripken bahwa karya-karya
fiksi Indonesia di Eropa tidak terlaku laku, kecuali Pramudya Ananta Toer dan Ahmad Tohari.
Berbekal pengetahuan awal tersebut kami menemukan beberapa musabab: Pertama, penerbit
Indonesia kurang memiliki jaringan internasional. Kedua, penerbit Indonesia lebih suka membeli
daripada menjual copy rights. Ketiga, penulis-penulis lokal kurang mendapat promosi
internasional dari penerbitnya. Keempat, tema yang digarap penulis lokal Indonesia kebanyakan
sudah umum dan wajar bagi pembaca Eropa. Kalaupun ada yang berbeda, penerbit pun agak
ragu memromosikannya. Alasannya klise: takut tidak laku.

Kami berangkat ke Eropa berbekal kecemasan dan harapan. Cemas bahwa penulis-penulis lokal
yang kami coba promosikan ternyata tidak seperti yang diharapkan. Namun, kami tidak membuat
itu semacam ganjalan psikologis. Harapan para penulis lokal di pundak kami jauh lebih berharga
daripada memikirkan soal laku atau tidak. Apalagi kami dibantu orang sebaik Peter Ripken yang
tak kenal lelah memompa semangat kami. Kami sudah bekerja keras menerbitkan karya yang
baik. Kami harus lebih bekerja keras untuk memperkenalkan karya-karya itu ke pasar Eropa.
Kami percaya pasar Eropa lebih melihat mutu karya daripada asal negara. Lebih lagi ini bukan
sekadar jual-beli copy rights. Ini adalah sebuah pertukaran kebudayaan lewat buku. Seperti kami
sudah banyak belajar kebudayaan Eropa melalui penulis-penulis besarnya, demikian pula Eropa
dari penulis-penulis kami. Kami memang belum memiliki penulis sebesar Goethe. Namun, siapa
tahu melalui ajang sebesar Frankfurt Book Fair, Eropa dan bahkan dunia menemukan penulis
beranjak besar dari Lampung atau Jogjakarta.

Donny Gahral Adian


Direktur Penerbit KOEKOESAN

Berikut ini adalah versi HTML dari berkas http://digilib.petra.ac.id/jiunkpe/s1/jdkv/2006/jiunkpe-ns-s1-


2006-42401143-8557-timun_mas-chapter1.pdf.
G o o g l e membuat versi HTML dari dokumen tersebut secara otomatis pada saat menelusuri web.

Page 1
1
Universitas Kristen Petra
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Permasalahan
Hidup manusia adalah proses belajar, baik dari pengalaman pribadi atau orang
lain, atau dari membaca buku. Membaca sudah kita lakukan sejak kecil hingga kita tua.
Tidak bisa dipungkiri bahwa cara berpikir, kepribadian, pengetahuan, kebudayaan serta
wawasan kita terbentuk dari baca-membaca. Ada banyak sekali jenis bacaan yang beredar
di pasaran sekarang mulai dari tabloid, koran, majalah, novel, buku pengetahuan, komik,
dan lain-lain.
Sangat disayangkan minat baca bangsa kita boleh dibilang tertinggal bila
dibandingkan negara lainnya. Secara teoritis ada hubungan yang positif antara minat baca
(reading interest) dengan kebiasaan membaca (reading habit) dan kemampuan membaca
(reading ability). Rendahnya minat baca masyarakat menjadikan kebiasaan membaca
yang rendah, dan kebiasaan membaca yang rendah ini menjadikan kemampuan membaca
rendah. Itulah yang sedang terjadi pada masyarakat kita sekarang ini.World Bank di
dalam salah satu laporan pendidikannya, "Education in Indonesia - From Crisis to
Recovery" (1998) melukiskan begitu rendahnya kemampuan membaca anak-anak
Indonesia. Dengan mengutip hasil studi dari Vincent Greanary, dilukiskan siswa-siswa
kelas enam SD Indonesia dengan nilai 51,7 berada di urutan paling akhir setelah Filipina
(52,6), Thailand (65,1), Singapura (74,0) dan Hongkong (75,5). Artinya, kemampuan
membaca siswa Indonesia memang paling buruk dibandingkan siswa dari negara-negara
lainnya. Keadaan seperti itu ternyata juga terjadi pada siswa SLTP, SMU, dan SMK. Dan
yang sangat ironis, tidak dimilikinya kebiasaan membaca yang memadai tersebut juga
terjadi di kalangan perguruan tinggi, baik dosen maupun mahasiswanya. Beberapa
perguruan tinggi kita memang memiliki perpustakaan dengan koleksi buku, jurnal,
majalah ilmiah, dan terbitan lain dalam jumlah yang cukup, namun kebanyakan dari
perguruan tinggi tidak memiliki fasilitas seperti itu. Kebanyakan mahasiswa dan dosen
perguruan tinggi tidak mempunyai kebiasaan berkunjung ke perpustakaan kampus,
apalagi perpustakaan di luar kampusnya. Kebiasaan membaca pada masyarakat umum

Page 2
Universitas Kristen Petra
2
juga rendah. Salah satu indikatornya adalah jumlah surat kabar yang dikonsumsi oleh
masyarakat. Idealnya setiap surat kabar dikonsumsi sepuluh orang, tetapi di Indonesia
angkanya 1:45; artinya setiap 45 orang mengonsumsi satu surat kabar. Di Filipina
angkanya 1:30 dan di Sri Lanka angkanya 1:38.
1
Artinya dalam soal membaca,
masyarakat kita kalah dibandingkan dengan masyarakat negara berkembang lainnya
seperti Filipina dan bahkan dengan masya rakat negara belum maju seperti Sri Lanka.
Indikator lainnya adalah rendahnya pengunjung perpustakaan. Kepala Perpustakaan
Nasional, Dady P. Rachmanata, dalam kegiatan Hari Aksara Nasional (HAN) beberapa
waktu lalu menyampaikan informasi mengenai rendahnya pengunjung perpustakaan
nasional dan perpustakaan daerah di seluruh Indonesia. Dari pengunjung yang ada hanya
10 s.d. 20 persen yang meminjam buku dan kalau diasumsikan kebiasaan membaca itu
ada pada mereka yang meminjam buku maka tingkat kebiasaan membaca kita baru 10
s.d. 20 persen. Padahal, di negara maju angkanya mencapai 80 persen.
2
Minat baca dapat dipupuk sejak kecil, dengan fasilitas buku-buku yang mengugah
dan menarik minat anak untuk membaca. Juga dukungan dan bimbingan kita untuk
mereka. Para pakar pendidikan seringkali berpendapat, untuk meningkatkan kualitas
pendidikan secara umum, salah satu jalan yang ditempuh adalah meningkatkan minat
baca. Upaya meningkatkan minat baca akan efektif jika dimulai sejak dini, saat masih
usia anak-anak. Namun, pada kenyataannya, hal itu tidaklah mudah. Balai Pustaka adalah
salah satu penerbit yang menaruh perhatian pada buku cerita anak. Untuk saat ini, dari
sejumlah toko buku yang sudah di riset terdapat beberapa penerbit besar dari Jakarta,
seperti Gramedia Pustaka Utama dan Grasindo dan dari Yogya, Kanisius, Adicita Karya
Nusa, dan Yayasan Pustaka Nusantara, yang menaruh perhatian untuk menerbitkan buku-
buku cerita anak. Padahal, di sisi lain, sebetulnya perkembangan jumlah penerbit buku
saat ini berkembang pesat. Rendahnya minat baca anak, tentu tidak hanya sebatas
masalah kuantitas dan kualitas buku saja, melainkan mengkait juga pada banyak hal yang
saling berhubungan. Misalnya, mental anak dan lingkungan keluarga/masyarakat yang
tidak mendukung. Orang kota mungkin kesulitan membangkitkan minat baca anak karena
1
KI Supriyoko,M.Pd. Minat baca dan Kualitas bangsa. Pikiran Rakyat.
2
ibid

Page 3
Universitas Kristen Petra
3
serbuan media informasi dan hiburan elektronik. Sementara di pelosok desa, anak lebih
suka keluyuran ketimbang membaca. Sebab, di sana lingkungan/tradisi membaca tidak
tercipta. Orang lebih suka ngerumpi atau menonton acara televisi daripada menemani
anak belajar.
Penulis Indonesia yang mengkhususkan diri untuk menulis cerita anak dalam
artian cerita yang benar-benar mampu merangsang imajinasi, rasa ingin tahu dan
kreativitas anakbelum ada. Kalau dari luar negeri kita mengenal JK Rowling dengan
tokoh Harry Potter-nya yang mampu menggebrak dunia (termasuk Indonesia) dan
menyedot perhatian bukan hanya anak-anak, tetapi juga orang dewasa. Begitu juga Enid
Blyton dengan serial Lima Sekawan-nya yang sangat disukai anak-anak. Sementara di
Indonesia, kiranya belum ada penulis yang mengambil spesialis cerita anak, yang benar-
benar mampu membuat anak-anak ''keranjingan'' membaca.
Buku-buku cerita anak yang sekarang beredar di pasaran sudah cukup menarik
dan bagus baik dari segi ilustrasi dan ceritanya, hanya sayang buku-buku yang
mengangkat cerita tentang budaya Indonesia kurang diperhatikan dan kesannya sudah
mulai ditinggalkan. Buku-buku cerita rakyat yang beredar menggunakan ilustrasi yang
sudah kuno dan tidak menarik lagi, juga pemilihan kata-kata yang tidak cocok untuk
segmen anak. Bagaimana Indonesia ini bisa mendidik negerinya dengan moral dan
norma-norma serta budaya bangsa, bila generasi mudanya lebih menyukai bacaan atau
cerita-cerita dari negara lain yang memiliki moral dan norma serta pesan dan budaya
yang berbeda dari negeri kita.
Dari buku cerita anak Seri Dongeng anak Indonesia terbitan Elex media
komputindo, yang mengangkat cerita rakyat dari berbagai daerah, dengan ilustrasi yang
baru dan halaman yang full colour sudah cukup bagus bila dibandingkan dengan buku
cerita rakyat lainnya. Seperti buku-buku terbitan Pustaka Setia untuk seri cerita rakyat,
dalam alur cerita memang luar biasa lengakap tetapi dalam segi ilustrasi dan pencetakan
kurang, mereka tidak memperhatkan kualitas cetak, hanya menggunakan satu warna
hitam putih dengan kertas yang kusam dan gambar ilustrasi yang ruwet dan tidak
menarik. Sedangkan dari buku Kumpulan Cerita Rakyat Nusantara terbitan CV Pustaka
Agung Harapan menyajikan cerita-cerita rakyat dengan bentuk buku yang tebal dan kecil

Page 4
Universitas Kristen Petra
4
juga ilustrasi yang sudah kuno dan tidak menarik, jenis kalimat dan kata-katanya sudah
tidak cocok untuk segmen anak-anak.
Bila dibandingkan dengan buku anak-anak keluaran dari luar negeri buku kita
tertinggal jauh, baik dari segi kualitas cetak, gaya dan penuturan cerita dan kalimat, juga
dari segi ilustrasi. Seperti beberapa buku karangan Maddona yang diciptakan untuk anak
misalnya, dia mengunakan ilustrasi yang begitu menarik dan detail, mebuat si pembaca
terbuai dan larut dalam cerita. Belum lagi buku-buku keluaran Disney yang memiliki
ilustrasi yang sangat menarik dan mengugah hati anak-anak.
1.2. Perumusan Masalah
Bagaimana membuat cerita rakyat kembali hidup di hati anak-anak sekarang dan
menarik untuk dibaca.
Bagaimana menyajikan cerita rakyat dalam ilustrasi yang menarik dan mengena
di kalangan anak.
Bagaimana mengedukasi anak dengan moral dan norma serta budaya yang
terkandung dalam cerita rakyat tersebut.
1.3. Pembatasan Masalah
Perancangan ini hanya akan mengangkat salah satu dari sekian banyak cerita
rakyat, cerita yang diangkat untuk jangka pendek ini adalah Timun Emas. Tentunya
banyak seri cerita rakyat yang lainnya yang akan di angkat dalam jangka panjangnya
nanti.
Perancangan ini juga hanya difokuskan untuk pembaca anak-anak sekitar usia 5
sampai dengan 7 tahun.
1.4. Tujuan Perancangan
Bagaimana membuat cerita rakyat kembali digemari dan hidupdi kalangan anak-
anak. Dengan menggunakan gaya bahasa yang disukai oleh anak-anak sekarang,
sesuai dengan perkembangan jaman.

Page 5
Universitas Kristen Petra
5
Bagaimana menyajikan ilustrasi cerita rakyat semenarik mungkin menurut versi
dan gaya anak-anak sekarang, tetapi tidak meninggalkan budaya, ornamen, dan
khas dari cerita aslinya.
Bagaimana mendidik pembaca dalam hal ini anak-anak dalam memetik moral dan
norma yang terkandung dalam cerita.
1.5. Manfaat Perancangan.
Manfaat perancangan bagi Mahasiswa :
1. Dapat memahami, membuka wawasan dan mampu menambah pengetahuan
serta keterampilan sebagai seorang desainer grafis.
2. Dapat menganalisa dan mengelola data yang diperoleh menjadi dasar dalam
penyusunankonsep perancangan.
3. Dapat mengkomunikasikan pemikiran-pemikiran kepada masyarakat umum
melalui karya-karya yang dihasilkan.
4. Mampu mengevaluasi permasalahan secara obyektif
5. Menjadi sarjana desain yang baik dan mampu menunjukkan kualitas yang
sepadan.
Manfaat perancangan bagi Target Audience:
1. Dapat mengenal kembali cerita rakyat yang sudah mulai ditinggalkan
2. Memperoleh didikan moral, norma dan budaya bangsa lewat cerita yang
disampaikan.
3. Menggalakkan kembali semangat membaca sejak dini.
Manfaat perancangan bagi Universitas Kristen Petra :
Menyediakan bahan informasi tertulis dan kajian mengenai perancangan ilustrasi
cerita bergambar sebgai kontribusi dalam perkembangan desain.
1.6. Lingkup Perancangan.
Sehubungan dengan kebutuhan launching dan promosi untuk buku cerita Timun
Emas tersebut maka akan dibuat serangkaian promosi yang akan dipasang atau
dilaksanakan di area Surabaya saja atau dalam kota.

Page 6
Universitas Kristen Petra
6
1.7. Metodologi Perancangan.
Metode pengumpulan data.
Data teks didapat dari buku-buku cerita rakyat lainnya, sedangkan data visual
didapat dari buku-buku cerita anak yang lain disesuaikan dengan minat anak dan
kegemaran anak sekarang melalui survey. Penelitian pustaka juga perlu dilakukan
untuk memperoleh landasan yang kuat dan akurat sehubungan dengan
perancangan ini.
Metode Analisis
Dengan memakai data-data yang ada untuk menganalisa SWOT dari produk cerita
rakyat yang sudah ada, kemudian dijadikan dasar pengembangan ide kreatif dan
visualisasi yang diwujudkan menjadi perancangan cerita rakyat untuk anak dalam
kurun usia 5 sampai 7 tahun.
Metode konsep perancangan
Gaya desain yang akan dipakai akan disesuaikan dengan hasil survey yang akan
menunjukkan gaya ilustrasi seperti apa yang menjadi tuntutan anak jaman
sekarang ini. Tidak lepas dari tujuan dibuat buku ilustrasi ini yaitu untuk
mengembalikan nilai-nilai budaya Indonesia maka ornamen-ornamen yang akan
dipakai akan diteliti dan dipertimbangkan keasliannya, seperti karakter, obyek,
tempat, kostum, dan lainnya.

Page 7
Universitas Kristen Petra
7
1.8. Sistematika Perancangan
1. Latar belakang
2. Rumusan Masalah
3. Pembatasan Masalah
4. Tujuan Perancangan
5. Lingkup Perancangan
6. Sistematika Perancangan
Pendahuluan
1. Tinjauan judul perancangan
2. Tinjauan buku bacaan
3. Tinjauan teori cerita
4. Tinjauan gaya desain
Analisis dan Tinjauan Teori
Konsep Perancangan
1. Unsusr gambar
2. Komposisi
3. Ilustrasi
Tinjauan Gambar
1. Konsep Media
2. Konsep kreatif
3. Konsep rancangan
cergam
Perancangan Kreatif
FINAL ARTWORK
Alternatif Desain
Evaluasi/Seleksi
Lay out Pengembangan Ide
Program Peracangan
5. Tinjauan teori pisikologi anak
6. Tinjauan teori ilustrasi
1. Tinjauan cerita timun mas
2. Respon Publik
3. Tabulasi
4. SWOT

BUDAYA MEMBACA MEMBANGUN BANGSA


Laporan: Prof DR Haryono Suyono

Dalam Rakor Bidang Kesra Kabinet Kabinet Indonesia Berstau yang pertama akhir
minggu lalu, Menko Kesra Prof. Dr. Alwi Shihab mengambil keputusan yang menarik, buku
sekolah berlaku untuk lima tahun. Kita berharap putusan tersebut tidak diambil dan
ditanggapi secara sempit, tetapi merupakan suatu langkah strategis untuk membangun
budaya membaca sebagai bekal membangun bangsa.
Dalam Rakor Bidang Kesra Kabinet Kabinet Indonesia Berstau yang pertama akhir minggu
lalu, Menko Kesra Prof. Dr. Alwi Shihab mengambil keputusan yang menarik, buku sekolah
berlaku untuk lima tahun. Kita berharap putusan tersebut tidak diambil dan ditanggapi
secara sempit, tetapi merupakan suatu langkah strategis untuk membangun budaya
membaca sebagai bekal membangun bangsa. Buku wajib sekolah memang tidak harus
diganti setiap tahun, tetapi tidak berarti boleh santai tidak mengikuti kemajuan zaman.
Frekuensi penerbitan buku siswa itu yang berjarak panjang harus diikuti dengan penerbitan
buku guru secara periodik, tidak harus menunggu tahun ajaran baru, tetapi disesuaikan
dengan tujuan memberikan pembekalan agar guru bisa menanggapi aspirasi masyarakat
yang berkembang, menyerap kemajuan ilmu dan tehnologi, serta guru bisa membekali diri
dengan baik membantu memenuhi kebutuhan membangun suasana dan semangat
kebersamaan, persatuan dan kesatuan dalam masyarakat sekeliling yang bisa merangsang
kemajuan dan masa depan bangsa yang sejahtera. Keputusan menyediakan buku sekolah
yang cukup merupakan pemenuhan kebutuhan pendidikan yang sangat vital di pedesaan. Di
daerah perkotaan, dimana siswa umumnya anak keluarga mampu, buku sekolah tidak
menjadi persoalan yang rumit. Setiap siswa mampu secara mandiri menyediakan buku
pelajarannya sehingga sekolah, negeri dan terutama swasta, tidak perlu menyediakan buku
pelajaran untuk siswa di sekolah. Tetapi di daerah pedesaan, dimana masyarakat umumnya
kurang mampu, masih sulit memenuhi kebutuhan hidup dasar sehari-hari, maka prioritas
penyediaan dana untuk buku dan alat sekolah lainnya bukan prioritas yang tinggi. Bahkan,
untuk daerah-daerah tertentu, masih dijumpai adanya angka partisipasi kasar sekolah yang
rendah dan timpang. Masyarakat masih perlu didorong dan dibantu. Anak-anak, terutama
anak perempuan dan remaja, merupakan tenaga murah yang “terpaksa” harus bekerja di
rumah atau di luar rumahnya untuk mengurangi beban orang tua yang pendapatannya
rendah. Tidak mustahil bahwa anak-anak dan remaja “terpaksa” bekerja sebagai penghasil
utama keluarganya. Keputusan memberlakukan buku untuk lima tahun, bagi daerah-daerah
seperti ini akan merupakan suatu insentip yang menarik bagi orang tua mengirim anak-
anak mereka ke sekolah. Keputusan tersebut harus diikuti dengan pengiriman bantuan buku
yang jumlahnya bervariasi sesuai dengan kebutuhan yang tidak bisa disediakan secara
mandiri oleh masyarakat. Artinya, setelah diperkirakan berapa kemampuan orang tua
setempat membeli buku untuk anak-anaknya, Kepala Sekolah, atau Dinas Pendidikan harus
dengan cermat memperkirakan kebutuhan setiap sekolah. Dengan demikian dapat dijamin
keadilan bahwa anak-anak dari keluarga kurang mampu tetap memperoleh haknya berupa
kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu. Anak-anak dan remaja bisa membaca
buku yang disediakan dan disimpan pada perpustakaan sekolah. Setiap anak mendapat
kesempatan untuk meningkatkan mutu dan kemajuan dirinya sesuai dengan kemampuan
yang ada padanya. Keadilan inilah yang sesungguhnya dijamin dengan falsafah Pancasila
sebagai cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Untuk menjamin keadilan
yang lebih luas, apabila ada kenaikan kelas, bagi yang mempunyai buku pribadi, dan tidak
dibutuhkan lagi, seharusnya dikirim dan disimpan di sekolah. Dengan jumlah buku yang
lebih banyak, anak-anak keluarga kurang mampu di kemudian hari dapat meminjam buku-
buku itu untuk belajar lebih lama di rumah masing-masing. Kekawatiran adanya gap ilmu
dan tehnologi, karena buku sekolah hanya diperbahurui setiap lima tahun, setiap kali
pemerintah, melalui Departemen Pendidikan Nasional, maupun dinas-dinas serupa di
daerah, menampung kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi yang sangat cepat melalui
penerbitan buku bantu untuk guru, menerbitkan buku supplemen guru. Karena
diperuntukkan guru, penerbitan buku jumlahnya tidak perlu terlalu masal. Buku-buku
tersebut sekaligus menjadi pegangan guru, yang dalam kualitas dan jumlah yang memadai
bisa segera di distribusikan ke seluruh sekolah dan menjadi perangsang gairah, semangat
dan kemajuan. Dengan buku pegangan yang segar setiap guru dengan semangat tinggi bisa
mengajar dengan bahan-bahan yang lebih mutakhir. Buku guru tersebut juga seyogyanya,
apabila tidak sedang dibaca, disimpan di perpustakaan sekolah agar bisa dibaca oleh guru
lain, atau bahkan dibaca oleh siapa saja yang berkunjung ke perpustakaan sekolah.
Disamping buku pegangan guru yang diperbaharui setiap waktu, para dosen dan tenaga ahli
dari berbagai universitas dianjurkan menulis materi pengetrapan ilmu dalam jumlah dan
variasi yang sebanyak-banyaknya. Upaya ini mempunyai tujuan ganda, pertama, melatih
para tenaga ahli untuk menulis dengan materi yang mudah dimengerti oleh khalayak yang
lebih awam. Kedua, dengan mudah melengkapi perpustakaan sekolah dengan bahan-bahan
yang bervariasi dan cocok dengan masyarakat sekitarnya. Lebih lanjut daripada itu,
perpustakaan sekolah harus bisa diakses atau disediakan oleh masyarakat luas, dengan
pengaturan waktu yang baik. Pada pagi dan siang hari secara khusus untuk para siswa dan
guru sekolah yang bersangkutan. Pada siang, sore dan malam hari, dibuka untuk
masyarakat umum. Anggota masyarakat, khususnya anak muda usia sekolah yang karena
tidak mampu tidak bisa sekolah, diajak dan dibantu untuk membaca buku-buku yang
sifatnya praktis dan memberi tuntunan hidup sejahtera. Anggota masyarakat lain,
utamanya ibu-ibu rumah tangga, yang dimasa lalu tidak sempat sekolah dengan sempurna,
dianjurkan ikut membaca buku yang tersedia di perpustakaan sekolah. Kalau ibu yang
bersangkutan kurang lancar membaca, anak-anaknya yang sudah bisa membaca
mendampingi dan membaca buku itu untuk orang tuanya. Dengan demikian anak-anak dari
keluarga kurang mampu membaca buku duakali, di pagi hari dan siang hari atau sore hari.
Pagi sebagai siswa yang wajib belajar, sore, siang dan malam hari membantu orang tuanya.
Karena setiap siswa setiap hari membaca dua kali, diharapkan lebih menguasai materi
pelajarannya. Dengan demikian, perpustakaan sekolah yang buka pagi, siang dan sore hari
menjadi ajang pembelajaran masyarakat dimana guru, siswa, murid dan orang tua,
termasuk kakak-kakak atau anggota keluarga yang selama ini tidak sempat sekolah dengan
sempurna karena kondisi kemiskinan yang dideritanya, menjadikan sekolah di desanya
suatu forum pembelajaran untuk pembangunan. Melalui sekolah budaya membaca dijadikan
motor penggerak persatauan dan kesatuan untuk kemajuan masyarakat dan bangsanya.
Dari kebiasaan membaca bersama muncul gerakan pembelajaran masyarakat yang sangat
luas sehingga secara tidak langsung menjadikan sekolah sebagai pusat pembelajaran, dan
pusat pembangunan. Kalau usaha dan gerakan membaca makin membudaya diharapkan
kebutuhan akan bahan bacaan akan bertambah tinggi. Keluarga yang ada di kota dengan
akses bahan bacaan yang lebih bervariasi, termasuk majalah dan buku-buku bacaan lain
yang dimilikinya, sesudah dibaca bisa saja dihibahkan kepada perpustakaan sekolah di desa
untuk menambah koleksi. Bahan bacaan yang mungkin saja bisa dianggap basi untuk orang
kota, tidak lagi ada manfaatnya, bisa menjadi bahan bacaan baru yang dibutuhkan oleh
masyarakat pedesaan. Beberapa lembaga masyarakat advokator buku melalui
penyelenggaraan perpustakaan yang bergerak di kota-kota besar seperti di Jakarta,
mengumpulkan dan membagi buku, atau menyelenggarakan perpustakaan keliling, bisa
diminta bantuannya untuk ikut memikirkan mekanisme bagaimana mengajak masyarakat
mengumpulkan dan menyebarluaskan buku untuk perpustakaan sekolah di desa-desa.
Beberapa perusahaan yang membangun citra melalui program public relation dengan
menerbitkan buku bacaan, dapat dirangsang menerbitkan buku yang mengandung materi
pembelajaran dengan metoda yang lebih sederhana dan isi yang berorientasi pembangunan
berbasis pedesaan. Ketika bahan bacaan itu mengandung makna untuk membangun, lebih-
lebih kalau sangat relevan dengan upaya pembangunan industri mikro, kecil dan menengah
yang merupakan perluasan kegiatan pertanian musiman, maka tidak dapat disangkal bahwa
kebiasaan atau budaya membaca bisa menjadi petunjuk dan penggerak pembangunan
industri di pedesaan. Lebih dari itu, masyarakat pedesaan bisa dengan mudah mengikuti
gerakan gemar membaca dengan disertai gerakan mencintai produk dalam negeri. Melalui
gerakan ini penduduk dan keluarga pedesaan menghasilkan produk lokal berdasarkan ilmu
yang dipelajari dari bacaan yang mereka ikuti, dan menjualnya dengan mudah karena
melalui bacaannya, selera pasar telah dipelajarinya dengan baik. Perpustakaan sekolah di
desanya menjadi wahana pembelajaran yang membawa nikmat. Perpustakaan sekolah yang
berkembang menjadi perpustakaan masyarakat itu mengantar sekolah makin dicintai oleh
orang tua murid karena mereka memperoleh manfaat secara langsung. Akibarnya sekolah
menjadi milik masyarakat, sekolah menjadi bangunan hidup yang tidak lagi mempunyai
jarak sehingga apabila ada kekurangan, misalnya pagar yang rusak, genting yang bocor,
atau semacamnya, secara langsung masyarakat dapat memberi bantuan untuk
memperbaikinya. Perpustakaan sekolah dan “kesempatan sekolah” yang berkembang
menjadi wahana pemberdayaan masyarakat, sebagian berkembang menjadi community
college dimana mahasiswanya adalah anggota masyarakat yang mungkin saja tidak bisa
mengambil kuliah secara reguler, tetapi dapat keluar masuk menurut kesempatan dan
kemampuan untuk menambah ilmu sepanjang hayat. Karena ilmu yang tersedia dalam
perpustakaan dan para dosen pembimbingnya banyak menyajikan nilai-nilai praktis, tidak
ayal kemampuan pengetrapan ilmu dan tehnologi dalam masyarakat bertambah tinggi.
Dengan landasan ilmu dan tehnologi terapan yang baik, mutu produk barang dan jasa yang
dihasilkan bisa mempunyai mutu yang lebih baik dibandingkan dengan produk dan jasa
yang semata-mata diturunkan oleh orang tua atau sanak keluarganya melalui budaya lisan.
Keterbukaan sekolah yang diawali dengan penggunaan perpustakaan secara bersama bisa
merambah pada penggunaan ruang kelas lain dan guru yang ada. Guru sekolah yang
sekarang menjerit karena gaji dan tunjangan terbatas, bisa menambah peran sebagai agen
pembangunan melalui penularan ilmu dan tehnologi terapan yang didukung bahan bacaan
yang luas. Guru-guru pada sore hari dapat mengembangkan pekerjaan tambahan untuk
menjadi pendamping anggota masyarakat memahami ilmu dan tehnologi terapan yang
berasal dari bahan-bahan supplemen yang diberikan oleh pemerintah atau yang
disumbangkan masyarakat sebagai bahan bacaan populer. Kesempatan itu bisa juga
dijadikan ajang belajar bersama sehingga masyarakat menguasai materi untuk
menghasilkan produk yang bahan bakunya berasal dari desa setempat. Atau mengadakan
kegiatan pertanian dan peternakan dengan lahan yang tersedia di desa yang bersangkutan.
Keberhasilan pembangunan seperti itu akan secara langsung mengurangi tingkat
kemiskinan sehingga kebutuhan tenaga murah yang “diambil paksa” dengan melarang
anak-anak bersekolah dapat dikurangi dan akhirnya dihilangkan. Tidak mustahil kenaikan
pendapatan karena kemampuan ekonomi yang bertambah tinggi memberikan dorongan
kepada setiap keluarga untuk mengirim anak-anak mereka ke sekolah, dan membaca,
karena mereka sendiri ikut serta mendapat kenikmatan karena membaca di perpustakaan
yang sama di sekolah anak-anaknya. Para guru yang semula semata-mata mengandalkan
gaji dan pendapatan terbatas dari pemerintah, akan mendapat insentif khusus dari
masyarakat karena dianggap berjasa membangun industri atau kegiatan ekonomi yang
membawa kemakmuran dan kesejahteraan. Untuk memberi perangsang yang menarik bagi
kegiatan membaca dan mengisi perpustakaan sekolah, para penyumbang bisa
mencantumkan nama dalam buku yang disumbangkannya. Pencantuman nama ini
merupakan bukti dan kenang-kenangan yang menarik atas kecintaan sesama anak bangsa
dan simbul hidup bersama dalam kepedulian, bangkitnya solidaritas antar sesama. Untuk
lebih merangsang kerjasama antara penduduk pedesaan dan perkotaan, setiap Sabtu dan
Minggu bisa diadakan pertemuan antara penduduk pedesaan dan perkotaan dalam acara
kunjungan desa dengan penyajian berbagai produk dan kebudayaan pedesaan lainnya.
Dengan demikian, keputusan penggunaan buku sekolah untuk lima tahun, tidak boleh
berdiri sendiri, harus diikuti dengan pembelajaran masyarakat yang luas, cinta produk
dalam negeri, pemasaran yang sadar dari seluruh kekuatan pembangunan, utamanya
penghayatan yang mendalam atas nilai-nilai budaya luhur yang terkandung dalam Pancasila
untuk membangun masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera. Gerakan ini, pada
akhirnya akan mengubah sikap, anggapan dan budaya negatif bahwa sekolah dianggap
merengut anak-anak dan remaja, yang dibutuhkan orang tuanya, karena murah dan
melimpah. Sekolah adalah pusat pembelajaran dan pengembangan masyarakat modern.
Masyarakat berkembang menjadi masyarakat modern dan maju tanpa harus meninggalkan
tanah tumpah darah, peninggalan nenek moyang yang sangat disayangi. Desa maju rakyat
membaca, bekerja dan membangun dalam kebersamaan, persatuan, kesatuan, dan cinta
kasih. (Prof. Dr. Haryono Suyono, Pengamat Masalah Sosial Kemasyarakatan)-Membaca-
Alwi-30Oktober2004.

Sumber: http://203.130.242.190//artikel/26812.shtml

Perkembangan Bahasa dan Sastera Daerah


Kategori: Esai Bahasa Indonesia » Dilihat: 2.062 kali » Diposting: 29-01-2008

Oleh Ajip Rosidi

Menyelenggarakan pemberian Hadiah Sastera ―Rancagé‖ setiap tahun sejak 15 tahun yl. untuk
sastera bahasa Sunda, sejak 10 tahun yl. untuk sastera bahasa Jawa dan sejak 6 tahun yl. untuk
sastera bahasa Bali, memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti perkembangan
sastera daerah di Indonesia seperti tercermin dalam ketiga bahasa daerah tersebut. Perlu
dikemukakan bahwa karya sastera bahasa daerah yang dinilai untuk mendapat hadiah sastera
―Rancagé‖ terbatas pada karya-karya sastera modern yang terbit berupa buku. Pembatasan itu
perelu dilakukan agar tidak usah mengikuti dan menilai karya-karya sastera bahasa daerah yang
banyak juga dimuat dalam majalah atau surat kabar. Kalau karya-karya sastera dalam bahasa
daerah yang bertebaran di dalam majalah atau surat kabar juga harus dinilai, terus terang saja
kami tak mampu.

Dan sepanjang pengamatan kami, hanya dalam ketiga bahasa daerah itulah ada karya sastera
modern yang terbit berupa buku. Yang dimaksud dengan ―modern‖ di sini adalah karya sastera
ciptaan seseorang jaman sekarang, baik dalam bentuk karya sastera pengaruh dari Eropa (roman,
sajak, cerita pendek, esai, drama) maupun dalam bentuk tradisional daerahnya. Sebab ternyata
bentuk-bentuk sastera tradisional daerah sampai batas tertentu masih diminati orang, baik penulis
maupun pembaca. Dalam bahasa Sunda ada beberapa sasterawan yang menulis guguritan, yaitu
puisi tradisional pengaruh Jawa yang berbentuk dangding yang terikat jumlah larik setiap bait,
jumlah engang setiap larik, bunyi vokal terakhir setiap larik dan berbagai ketentuan lain. Malah
ada beberapa buku kumpulan guguritan yang terbit, antaranya Jamparing Hariring (Anakpanah
senandung) oleh Dédy Windyagiri, Guguritan Munggah Haji oleh Yus Rusyana, Jaladri
Tingtrim (Lautan Tenteram) oleh Dyah Padmini, dll. Jaladri Tingtrim mendapat Hadiah Sastera
Rancagé tahun 2001.

Dalam bahasa Bali juga nampaknya bentuk-bentuk sastera tradisional masih banyak ditulis oleh
para sasterawan zaman sekarang. Tentu saja meskipun mempergunakan bentuk tradisional,
namun isinya memperlihatkan warna pribadi penulisnya masa kini. Temanya pun bersifat
kontemporer, sehingga dengan mudah dapat kita bedakan daripada karya tradisional warisan
menek-moyang. Gejala demikian sebenarnya wajar saja. Kalau sasterawan yang lain di Indonesia
dapat mempergunakan bentuk sastera yang disebut modern (karena datang dari Barat, walaupun
sebenarnya lebih tua daripada bentuk sastera tradisional kita yang sejarahnya baru beberapa ratus
tahun), maka apa salahnya mereka mempergunakan bentuk sastera tradisional peninggalan
nenek-moyangnya?

Beberapa kenyataan yang menarik

Ternyata para sasterawan yang menulis dalam bahasa daerah itu baik dalam bahasa Jawa, bahasa
Sunda maupun bahasa Bali, tidak semuanya dari generasi tua. Memang ada orang-orang yang
dilahirkan pada tahun 1920-an, bahkan tahun belasan, begitu juga yang lahir tahun 1930-an dan
1940-an; namun setiap saat selalu muncul penulis baru dari generasi yang lebih muda. Dalam
ketiga bahasa daerah itu misalnya, terdapat sasterawan kelahiran tahun 1950-an, tahun 1960-an,
tahun 1970-an bahkan tahun 1980-an. Mereka yang lahir tahun 1930-an atau lebih tua, di
sekolahnya masih sempat belajar bahasa daerah, bahkan mungkin di Sekolah Rakyat (sekarang
Sekolah Dasar) dipergunakan bahasa daerah sebagai pengantar seluruh mata pelajaran. Di
sekolahnya masih terdapat perpustakaan sekolah yang meminjamkan buku-buku terbitan Balai
Pustaka yang banyak juga dalam bahasa daerah, atau perpustakaan partikelir yang banyak
terdapat di setiap kota. Karena belum ada télévisi — walaupun ada radio — maka ketika mereka
anak-anak, tidaklah terlalu terpikat oleh siaran-siaran yang hampir 100% dalam bahasa Indonesia
– atau bahasa Inggris, Mandarin, India dll. Mereka masih aktif bermain dengan kawan-kawannya
sekampung berbagai permainan tradisional yang sering disertai dengan lagu-lagu dalam bahasa
daerahnya.

Yang lahir tahun 1940-an atau sesudahnya adalah generasi yang bukan saja tidak sempat belajar
bahasa daerah dengan baik, melainkan tidak sempat membaca buku-buku dalam bahasa daerah
terbitan sebelum perang yang hancur dimakan waktu. Balai Pustaka tidak lagi menerbitkan buku
bahasa daerah, kalaupun ada jumlahnya sangat sangat sangat tidak memadai. Penerbit partikelir
yang pada masa sebelum perang banyak yang aktif, pada masa sesudah perang – sejak jaman
pendudukan Jepang – tidak ada yang melanjutkan usahanya. Dengan demikian generasi ini tidak
mendapat kesempatan bertemu secara leluasa dengan buku-buku bahasa daerah yang pernah
terbit. Mungkin saja ada yang secara kebetulan memperolehnya dari orang tuanya atau tempat
lain, tapi niscaya jumlahnya hanya beberapa saja. Namun ketika duduk di kelas I-III SD mereka
masih belajar dengan bahasa pengantar bahasa daerahnya. Generasi yang lahir akhir tahun 1960-
an bahkan lebih repot lagi, karena ketika mereka duduk di SD, ditetapkan Kurikulum 1975 yang
menetapkan bahwa bahasa pengantar di seluruh Indonesia sejak kelas 1 SD – bahkan sejak TK
— harus dalam bahasa Indonesia, sehingga di sekolah mereka bertemu dengan bahasa daerah
hanya sebagai mata pelajaran.
Kenyataan-kenyataan itu menimbulkan pertanyaan: Dorongan apakah yang telah menyebabkan
mereka menulis dalam bahasa daerahnya? Umumnya mereka dapat dan lebih mudah kalau
menulis dalam bahasa nasional, bahasa Indonesia. Lagipula kalau menulis dalam bahasa
Indonesia, mereka akan lebih mudah mendapatkan tempat untuk memuatkan karangannya itu
karena medianya jauh lebih banyak. Dan honorariumnya pun jumlahnya lebih banyak pula.
Sampai sekarang belum ada penelitian yang dilakukan untuk menjawab pertanyaan tersebut,
sehingga jawaban yang ada hanyalah dugaan-dugaan belaka, misalnya bahwa rasa cinta akan
bahasa daerahnyalah yang mendorong mereka menulis dalam bahasa daerahnya itu. Tapi
bagaimana tumbuhnya rasa cinta itu tak pernah jelas. Yang jelas umumnya mereka merasa lebih
sukar menulis dalam bahasa daerah, terutama karena kurangnya buku yang dapat mereka jadikan
sebagai contoh penulisan bahasa daerah yang baik.

Penerbitan bahasa daerah

Penerbitan secara garis besar dapat dibagi dua, yaitu penerbitan pers (majalah dan surat kabar)
dan penerbitan buku. Sekarang tidak ada sebuah pun surat kabar yang terbit dalam bahasa
daerah. Pada masa sebelum perang ada beberapa surat kabar yang terbit dalam bahasa Jawa dan
Sunda seperti Sipatahoenan, Siliwangi dan Sinar Pasoendan dalam bahasa Sunda, Expres dan
Bromortani dalam bahasa Jawa. Pada masa pendudukan Jepang semua penerbitan dalam bahasa
daerah dilarang, termasuk penerbitan suratkabar dan majalah. Tapi pada tahun 1950-an sampai
1960-an, bahkan awal tahun 1970-an masih ada yang mencoba menerbitkan surat kabar dalam
bahasa daerah (Sunda), walaupun hidupnya merana.

Yang masih ada adalah penerbitan majalah atau tabloid. Dalam bahasa Jawa ada Panjebar
Semangat, Joyoboyo, Djoko Lodang, dll. Dalam bahasa Sunda ada Manglé, Kalawarta Kudjang,
Galura, Cupumanik, dll. Panjebar Semangat yang didirikan oleh Dr. Soetomo terbit sejak tahun
1930-an, Joyoboyo yang mula-mula terbit di Kediri kemudian pindah ke Surabaya terbit sejak
tahun 1940-an (pada masa revolusi). Keduanya berupa majalah. Djoko Lodang berupa tabloid.
Manglé terbit mula-mula bulanan, sekarang mingguan terbit sejak tahun 1957. Cupumanik terbit
bulanan sejak Agustus 2003, keduanya berupa majalah. Sedangkan Kalawarta Kudjang terbit
mingguan sejak 1950-an dan Galura terbit mingguan sejak 1970-an berupa tabloid. Di samping
itu banyak majalah dan tabloid yang pernah terbit dalam bahasa Jawa dan Sunda tetapi hanya
beberapa tahun atau beberapa bulan bahkan.

Umumnya penerbitan itu lebih didorong oleh rasa cinta terhadap bahasa daerah sehingga
kebanyakan tidak dilakukan secara profesional, baik redaksional maupun (apalagi)
pemasarannya. Jumlah tirasnya sekarang cenderung menurun. Umumnya juga mereka bukan saja
membayar honorarium tulisan dari luar (sangat) rendah, melainkan juga gaji para karyawannya
pun lebih rendah daripada penerbitan dalam bahasa nasional. Umumnya kelangsungan hidup
penerbitan-penerbitan itu tergantung kepada langganan, sedangkan iklan tak dapat diharapkan,
karena para pemasang iklan cenderung lebih suka memasang iklan dalam penerbitan bahasa
nasional. Isinya umumnya berupa cerita, baik cerita pendek maupun cerita bersambung, di
samping itu banyak memuat puisi, terutama sajak (atau geguritan dalam bahasa Jawa) dan puisi
tradisional (atau guguritan dalam bahasa Sunda). Tulisan-tulisan yang lain kebanyakan tentang
agama, sejarah atau legenda, kepercayaan akan adanya yang gaib-gaib, perimbon, pengobatan
tradisional dan semacamnya. Ada juga berita, tetapi umumnya jauh terlambat dibandingkan
dengan pers bahasa nasional. Kadang-kadang ada tulisan populer mengenai hukum, pertanian,
kesehatan dan ilmu-ilmu yang lain.

Bahasa Jawa dan Sunda yang dahulu pernah menjadi bahasa budaya yang dipergunakan untuk
menulis mengenai apa saja tentang kehidupan dan kebudayaan masing-masing, sehingga
melahirkan karya seperti Serat Centhini dalam bahasa Jawa, sekarang hanya dipergunakan
sebagai bahasa lisan (itu pun sekedar berkomunikasi sehari-hari karena begitu hendak
mengemukakan hal yang lebih rumit secara otomatis pindah kode ke dalam bahasa Indonesia)
dan bahasa tulisan berupa artikel pendek, di samping digunakan untuk penulisan cerita dan sajak.
Tidak ada yang menulis karya ilmiah yang serius dalam bahasa daerah.

Bentuk penerbitan lain adalah berupa buku. Umumnya penerbitan buku bahasa daerah dilakukan
oleh orang-orang yang merasa terdorong untuk memelihara kelanggengan bahasa daerahnya.
Penerbit komersial umumnya hanya menerbitkan buku-buku bahasa daerah yang dipergunakan
di sekolah-sekolah, terutama buku-buku teks. Orang yang menerbitkan buku bahasa daerah
karena terdorong oleh rasa cinta itu tidak melakukannya secara profesional. Mereka merasa
tugasnya selesai begitu melihat buku itu selesai dicetak. Tak pernah memikirkan bagaimana
caranya agar buku-buku itu sampai ke tangan pembaca. Sedangkan penerbitan buku teks yang
dipergunakan sekolah-sekolah sering dilakukan karena adanya KKN antara penerbit dengan
pejabat yang berwenang menentukan dan memesan buku yang akan dipakai di sekolah. Penerbit
merasa tugasnya selesai kalau sudah menyerahkan dana KKN kepada pejabat yang bersangkutan,
dan si pejabat sering tidak peduli apakah bukunya benar dicetak sebanyak pesanan dan benar
disampaikan ke sekolah yang bersangkutan. Karena itu sering terjadi bahwa buku yang dipesan
itu tidak layak pakai, karena bukan saja tidak sesuai dengan semua tiori pendidikan, melainkan
juga menyalahi aturan bahasa daerah yang bersangkutan. Di Jawa Barat pernah pihak P dan K
mengesahkan dan memesan buku pelajaran bahasa Sunda yang ditulis oleh bukan orang Sunda
dan isinya banyak menyalahi tatabahasa dan kosakata bahasa Sunda. Baru-baru ini pihak Diknas
menerbitkan sendiri buku yang ditulis oleh salah karyawannya dalam bahasa Sunda dan
terjemahannya dalam bahasa Indonesia yang akan menyebabkan orang tertawa terpingkal-
pingkal karena ngaconya.

Biasanya menghadapi keadaan penerbitan bahasa daerah yang menyedihkan itu, para ahli bahasa
dan sastera bahasa daerah mengharapkan pemerintah baik di pusat maupun di daerah turun
tangan, misalnya dengan menerbitkan buku-buku bahasa daerah oleh penerbit pemerintah Balai
Pustaka seperti pada masa sebelum perang, atau menyediakan perpustakaan di sekolah-sekolah.
Tetapi pemerintah RI baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah sejak berdiri tahun 1945
tidak pernah menaruh perhatian serius terhadap mati-hidupnya bahasa dan sastera daerah (dan
juga bahasa dan sastera nasional), karena pemerintah tidak pernah menganggap kebudayan
penting dalam kehidupan berbangsa. Mereka menganggap kebudayaan itu sebagai barang jadi
berupa komiditi yang dapat dijual untuk menarik wisatawan yang akan menghasilkan dolar.
Karena itu sekarang kebudayaan digabungkan dalam satu atap dengan pariwisata. Memang
kadang-kadang pejabat dari yang rendah sampai yang tertinggi berbicara muluk tentang
kebudayaan, tetapi tak pernah ada program yang nyata dan kontinyu untuk pembinaan
kebudayaan. Kalau sekali-sekali mengadakan hajat besar seperti kongres, bukanlah karena
menganggap penting memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi dalam bidang kebudayaan,
tetapi karena kegiatan seperti ini adalah semacam proyek yang memerlukan dana yang cukup
besar, sehingga semua pejabat yang bersangkutan dengan kegiatan ini dapat menambah
penghasilan karena gajinya sendiri konon tidak cukup. Setelah acara seperti ini selesai, hasilnya
akan tertumpuk di dalam lemari di sudut dan tak seorang pun pejabat yang teringat untuk
melaksanakan keputusan dan rekomendasinya.

Radio dan televisi

Media yang juga potensial untuk mengembangkan bahasa dan sastera daerah adalah radio dan
televisi. RRI sejak masa awalnya menyediakan waktu untuk siaran bahasa daerah, dan banyak
radio swasta yang bahkan menyediakan lebih banyak waktu untuk siaran bahasa daerah,
termasuk sandiwara atau pembacaan cerita-cerita. Siaran-siaran sandiwara dalam bahasa daerah,
ternyata banyak menarik minat para pendengar lapisan bawah – yaitu penutur bahasa daerah
yang potensial.

Yang menarik adalah bahwa banyak pemasang iklan melalui radio yang mempergunakan unsur-
unsur bahasa dan kesenian daerah dalam iklannya, bahkan ada juga iklan yang seluruhnya
disampaikan dalam bahasa daerah, terutama dalam radio-radio daerah. Hal itu menunjukkan
bahwa pemasang iklan itu sadar bahwa ada segmen masyarakat yang hanya dapat dicapai
melalui bahasa atau kesenian daerah. Artinya unsur-unsur kedaerahan dimanfaatkan untuk
menjual atau mempromosikan produknya.

Saya dengar ada juga radio yang khusus untuk bahasa Jawa, tetapi sepanjang tahu saya tidak ada
radio yang khusus untuk siaran bahasa Sunda. Hal itu menunjukkan bahwa radio berbahasa
daerah pada suatu waktu nanti akan menjadi keniscayaan yang memang dibutuhkan oleh
masyarakat. Seperti dalam penerbitan buku, untuk lahirnya radio khusus berbahasa daerah juga
memerlukan pandangan-jauh seorang investor.

Dalam siaran televisi, bahasa daerah lebih rumit kedudukannya. TVRI Pusat pada suatu masa
menganggap bahwa menyelenggarakan acara berbahasa daerah itu bertentangan dengan misinya,
sehingga pertunjukan kesenian daerah harus menggunakan bahasa Indonesia juga. Tentu saja
siaran seperti itu tidak memuaskan siapapun juga – bahkan mungkin termasuk mereka yang
mengambil kebijaksanaan demikian. Para penggemar yang sudah terbiasa menyaksikan
pertunjukan kesenian daerah merasa keindahan seninya dikebiri, sedang mereka yang belum
biasa menyaksikannya tidak mustahil merasa ganjil yang niscaya tidak mendorong minatnya
untuk mengapresiasinya. Para penyelenggara kesenian itu sendiri sering mengambil
kebijaksanaan menggunakan bahasa Indonesia yang berbau daerahnya, sehingga lahirlah bahasa
Indonesia yang niscaya bertentangan dengan semboyan ―berbahasa Indonesia dengan baik dan
benar‖ yang dipromosikan oleh Pusat Bahasa melalui acaranya mingguannya melalui TVRI juga.

Tumbuhnya televisi-televisi swasta memberikan kemungkinan timbulnya siaran-siaran kesenian


daerah dalam bahasa daerahnya yang asli dan bahkan dalam bentuknya yang asli pula – seperti
siaran wayang kulit sampai pagi. Sampai sekarang belum ada – mungkin belum ada yang
memikirkannya sekali pun – televisi swasta yang sepenuhnya berbahasa daerah atau yang
sebagian besar acaranya dalam bahasa daerah. Namun kemungkinan seperti itu tidak mustahil
kalau telah tumbuh stasiun-stasiun televisi daerah.
Radio dan televisi dalam menyusun acara siarannya niscaya berpegang juga kepada peraturan-
peraturan pemerintah yang berkenaan dengan bahasa. Sayang dalam hal ini, pemerintah sendiri
belum mempunyai kebijaksanaan yang jelas yang dapat dijadikan pegangan.

Haridepan bahasa dan sastera daerah

Sampai sekarang pemerintah menyerahkan mati-hidupnya bahasa dan sastera daerah kepada para
penuturnya saja. Padahal Undang-undang Dasar memberi tugas kepada pemerintah agar
mengembangkan bahasa daerah yang masih dipelihara baik-baik oleh para penuturnya.

Dengan demikian kalau para pencinta dan ahli bahasa serta sastera daerah mengharapkan
pemerintah yang akan turun tangan membina dan mengembangkan bahasa dan sastera daerah,
jelaslah harapan itu takkan terpenuhi. Pemerintah baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah,
baru melakukan sesuatu untuk budaya daerah atau untuk bahasa dan sastera daerah kalau
kebetulan pejabat yang ditempatkan pada jabatan yang mengurus budaya, bahasa dan sastera
daerah itu orang yang mempunyai minat dan mencintainya. Dan kebetulan bukanlah sesuatu
yang dapat selalu terjadi karena di luar sistim, sedangkan penempatan pejabat dalam pemerintah
kita diatur oleh suatu sistim yang tidak terdapat dalam tiori manajemen yang mana pun, yaitu
berdasarkan like and dislike, sistim konco, sistim sogok, sistim tekan dari atasan ke bawahan, dll.

Artinya pengembangan bahasa dan sastera daerah sepenuhnya tergantung kepada orang-orang
yang memiliki bahasa dan daerah bersangkutan. Para pencinta dan ahli bahasa serta sastera
daerah hendaknya berhenti mengharapkan sesuatu yang mustahil seperti mengharapkan
pemerintah baik di pusat dan di daerah akan turun tangan membina dan mengembangkan bahasa
dan sastera daerah secara konseptual dan kontinyu. Memang ada usaha pembinaan dan
pengembangan bahasa dan sastera daerah yang wewenangnya sepenuhnya berada di tangan
pemerintah seperti pengajaran di sekolah-sekolah karena pemerintah yang mengatur kurikulum,
begitu juga pembentukan perpustakaan di sekolah-sekolah yang isinya terdiri dari buku bahasa
daerah juga. Tetapi penyediaan buku dalam bahasa daerah agar anak-anak memperoleh
kesempatan untuk membaca buku dalam bahasa daerahnya, dapat dilakukan. Tentu saja untuk itu
harus tersedia modal dan tenaga profesional.

Orang-orang tua yang karena waktu mereka kecil berkesempatan membaca buku-buku bahasa
daerah yang ketika itu banyak terdapat dalam masyarakat baik melalui perpustakaan maupun
melalui penerbit dan toko buku, sering menyalahkan anak-anak sekarang yang tidak suka
membaca buku bahasa daerah seperti dirinya. Mereka lupa bahwa anak-anak sekarang tidak suka
membaca buku-buku bahasa daerah karena mereka tak pernah bertemu dengan buku berbahasa
daerah yang dapat menarik minatnya. Seharusnya daripada menyalahkan anak-anak yang tidak
berdosa itu atau meminta, mendesak atau memaki pemerintah karena tak kunjung melakukan
apa-apa yang mereka inginkan – seperti yang pernah mereka alami pada masa penjajahan
Belanda dahulu – lebih elok kalau mereka mengusahakan agar tersedia buku-buku bahasa daerah
sehingga anak-anak mempunyai kesempatan untuk membaca dan membina apresiasinya
terhadap buku bahasa daerah. Susahnya yang merasa perlu agar tersedia buku-buku bahasa
daerah itu umumnya para sasterawan dan para ahli bahasa dan sastera saja. Para pemodal dan
pengusaha jarang yang berminat terhadapnya. Maka para ahli harus dapat meyakinkan para
pemodal bahwa penerbitan buku bahasa daerah itu prospektif. Hitung saja jumlah orang Jawa
dan orang Sunda berapa puluh jutakah? Kalau sepersepuluh saja daripadanya yang membaca
buku bahasa daerah niscaya usaha penerbitan buku bahasa daerah akan merupakan usaha yang
menguntungkan. 10% orang Jawa adalah sekitar 6-7 juta orang, 10% orang Sunda adalah sekitar
3-4 juta orang. Bayangkan kalau setiap buku dibaca oleh 10 orang, maka tiras penerbitan buku
bahasa Jawa akan 600—700 ribu eksemplar, yang dalam bahasa Sunda akan 300—400 ribu
eksemplar. Dengan menerangkan keuntungan yang mungkin akan dapat diperoleh, lebih mudah
meyakinkan para pemodal untuk terjun dalam bisnis yang prospektif ini daripada dengan
meyakinkan mereka akan pentingnya bahasa dan sastera daerah bagi kehidupan budaya bangsa
dan negara, karena mereka yang mempunyai uang lebih suka menternakkan uangnya daripada
memikirkan nasib bangsa atau negara. Maka yang penting ialah bagaimana caranya agar orang-
orang Jawa suka membaca buku dalam bahasa Jawa, orang Sunda suka membaca buku dalam
bahasa Sunda, orang Bali suka membaca buku dalam bahasa Bali dan seterusnya. Di samping
mereka semua suka membaca buku bahasa Indonesia.

Langkah yang sangat penting adalah bagaimana caranya membuat orang Indonesia suka
membaca buku – dalam bahasa apa pun juga. Usaha ke arah itu sudah terbengkalai sejak 60
tahun, sehingga kegemaran membaca bangsa kita sekarang mendekati titik nol dan kita menjadi
bangsa yang termasuk paling sedikit membaca di dunia. Dalam hal ini memang tanggungjawab
pemerintahlah yang terbesar. Namun belakangan sudah mulai muncul orang-orang yang sadar
bahwa dalam hal ini kita tak dapat mengharapkan sesuatu yang kongkrit dilakukan oleh
pemerintah, sehingga mereka sendiri terjun mengajar dan menyediakan buku bacaan bagi anak-
anak jalanan yang terlantar, atau menyumbangkan buku untuk mengisi perpustakaan-
perpustakaan yang mulai didirikan orang. Perusahaan juga ada yang mulai giat dalam bidang ini.

Hanya dengan melakukan hal-hal kecil yang kongkrit seperti menyelenggarakan penerbitan buku
bahasa daerah secara profesional, mendirikan perpustakaan yang juga menyediakan buku bahasa
daerah dalam koleksinya, masa depan bahasa dan sastera daerah dapat berkembang.

Hal yang seperti itu juga berlaku buat mereka yang ingin bergerak dalam bidang radio dan
televisi. Mengadakan siaran bahasa dan kesenian daerah sebanyak mungkin akan menumbuhkan
minat dan apresiasi masyarakat terhadap bahasa dan kesenian daerah. Mereka yang beranggapan
bahwa anak-anak sekarang tidak dapat atau tidak menyukai kesenian daerahnya sendiri dan lebih
menggemari musik pop yang datang dari luar, lupa bahwa hal itu disebabkan oleh faktor
kesempatan. Sementara musik pop yang datang dari luar didukung oleh modal kuat sehingga
dapat didengar orang setiap saat melalui radio, televisi, kaset dll., kesenian daerah kian sedikit
dan kian jarang saja tampil baik dalam bentuk pertunjukan di atas panggung maupun melalui
siaran radio atau televisi. Kalau kesenian-kesenian daerah mendapat kesempatan ditonton dan
didengarkan secara terus-menerus, niscaya akan menumbuhkan minat dan apresiasi generasi
muda terhadapnya.

Pabelan, 15 Oktober, 2003.

picture books: past, present and future - tadai matsui


http://martabakomikita.multiply.com/journal/item/114/picture_books_past_present_and_future_-
_tadai_matsui

jepang termasuk salah satu negara terkemuka dalam dunia buku cerita anak, diikuti oleh korea,
dikarenakan Jepang memiliki jumlah anak-anak yang cukup tinggi, tingkat literasi yang juga
tinggi, menyebabkan tingginya permintaan terhadap buku dan membuat industri penerbitan buku
yang juga tinggi. maka tidak heran jika kesukaan masyarakat dalam membaca buku cerita anak
juga terus meningkat. kondisi ini juga didorong adanya tingginya tingkat kualitas dan kuantitas
buku cerita anak, sebagai hasil kontribusi beragam elemen dalam masyarakat, terutama kalangan
pembaca dan pustakawan (librarian) yang memiliki kualitas readership yang bagus. meskipun
demikian, penerbitan buku-buku juga tidak lepas dari beragam pendapat dalam masyarakat.
karena tentunya pasti kalangan masyarakat yang tidak suka membeli buku, tidak mengerti buku,
dan sebagainya.

perkembangan industri buku cerita anak pasca perang dunia kedua ditandai dengan keikutsertaan
delegasi jepang (yang juga diikuti matsui san yang saat itu masih berusia sangat muda) pada
ajang book fair pertama di frankfurt, jerman tahun 1962. ada pertanyaan dari banyak delegasi
negara lain kepada delegasi jepang saat itu yang menyiratkan keheranan mereka pada tingginya
kualitas buku cerita anak jepang saat itu padahal saat itu baru sekitar sepuluh tahun lebih sejak
jepang kalah di perang dunia kedua. bagaimana hal ini bisa terjadi?

jepang memiliki sejarah perkembangan buku cerita bergambar yang sangat panjang. salah
satunya berakar dari tradisi bercerita menggunakan rangkaian gambar (serial pictures) dari masa
abad kedua belas melalui emaki. emaki adalah medium narasi ilustrasi berbentuk horizontal
(sehingga sering disimpan sebagai gulungan/scroll) yang mengkombinasikan teks dengan
gambar dan dikatakan sebagai bentuk awal dari komik jepang masa modern. emaki menjadi
medium yang cukup lengkap dan mampu menceritakan kisah-kisah ala novel, folktales hingga
humor yang komikal. yang menjadi karakter-karakter dalam emaki biasanya adalah binatang dan
moster. contoh terkenal dari emaki ini diantaranya adalah scroll of frolicking animals and
humans (choju giga) dan the tale of genji (genji monogatari). choju giga contohnya merupakan
hasil kombinasi dengan keahlian tingkat tinggi antara gambar dan storytelling.

transisi selanjutnya dalam format gambar bercerita ini adalah dalam bentuk nara ehon yang
muncul akibat permintaan dari para pimpinan feudal jepang di masa itu pada para artis dan
seniman untuk banyak mempublikasikan cerita. nara ehon memadukan gaya gulungan gambar
(picture scrolls) dari masa heian dengan buku-buku yang dicetak dengan sistem woodblock dari
periode edo. karena disampaikan dengan cara membaca dengan suara keras (seperti sedang
mendongeng), maka nara ehon membuat kalangan orang dewasa dan anak yang suka membaca
menjadi bertambah. apalagi seniman-seniman pembuat nara ehon sendiri memiliki kualitas di
atas rata-rata, diantaranya adalah katsushika hokusai (1760-1849) dengan salah satu karyanya,
hokusai manga.

elemen tipografi yang berasal dari barat pun mulai diimplementasikan ke dalam teknologi cetak
yang dijalankan para misionaris. mereka membawa masuk teknologi cetak ini sebelum politik
isolasi jepang dimulai. masa restorasi meiji yang datang kemudian juga membawa perubahan
dengan banyaknya laki-laki yang mulai belajar membaca. rata-rata proses belajar membaca
mereka dilakukan dengan mempelajari aksara kanji china tetapi melafalkannya secara jepang.
bahkan kelas samurai dan juga wanita juga mulai belajar membaca dan menulis. kelas pedagang
juga turut serta kemudian, diantaranya dengan mengirimkan anak-anak mereka belajar membaca,
menulis dan etika. guru-guru pria dan wanita serta fasilitas perpustakaan pun mulai bermunculan
sesuai masa edo yang digambarkan sebagai masa yang 'terang'. restorasi meiji memang
membawa banyak perubahan terutama keinginan dari pihak militer untuk memiliki sdm yang
bagus.

penerbitan buku cerita bergambar yang berkualitas mulai kembali marak sekitar awal tahun
1900-an, khususnya 1912. tahun 1920an ditandai pergerakan penerbit jepang dengan pola yang
lebih internasional, dengan terbitnya majalah 'kinderbook' (1927) yang merupakan majalah
khusus untuk anak-anak di taman kanak-kanak dan distribusikan langsung kepada keluarga yang
memiliki anak-anak usia tk tersebut. kualitas bukunya sendiri tergolong bagus dengan materi
yang scientific.

tahun 1930 ditandai meningkatnya jumlah penerbit, dan mulainya penerbitan buku-buku
cerita dari negara-negara barat oleh penerbit kodansha (1937). sayangnya perang dunia kedua
membabat habis perkembangan ini, sekaligus menjadikan pengalaman yang menyedihkan. yang
menyelamatkan industri penerbitan ini adalah semangat pantang menyerah serta hardworking
attitude dari masyarakatnya. kondisi pasca perang juga membutuhkan pengalihan perhatian dan
masyarakat pun membutuhkan buku-buku untuk dibaca. di sinilah kegiatan penerbitan mulai
kembali meningkat. tahun 1950 memulai kembali penerbitan buku-buku cerita terjemahan dari
negara asing ke dalam bahasa jepang disusul tahun 1953 dengan penerbitan buku dengan kualitas
kelas dunia. salah satu contohnya adalah majalah buku cerita untuk dibacakan keras-keras (read
a loud picture book magazine) yang terbit bulanan, kodomo no tomo pada tahun 1956. kualitas
kodomo no tomo sudah tergolong bagus.

salah satu hal yang signifikan dalam perkembangan buku cerita bergambar ini adalah bahwa
buku-buku ini kebanyakan dibacakan oleh orang tua kepada anak-anaknya dengan suara keras
dan ekspresif. jadi tidak sekedar membacakan kalimat demi kalimatnya begitu saja. hal ini
menjadikan pembaca buku cerita tadi sekaligus sebagai produser dan sutradara. proses
membacakan buku cerita untuk anak juga menjadi aktivitas keluarga, sehingga memberikan
makna yang begitu dalam pada anak-anak yang kemudian saat mereka menjadi dewasa ingin
menularkan pengalaman masa kecil tadi pada anak-anaknya, dengan meneruskan tradisi
membacakan buku cerita ini. terlebih interaksi dengan buku cerita bergambar yang
menggabungkan unsur tertulis (written) dan terucap (spoken) memberikan pengalaman yang
bagus untuk anak-anak.

kekuatan dalam buku cerita bergambar terletak pada perpaduan antara unsur huruf (letter) dan
gambar (picture) yang saling mendukung. terutama dalam buku cerita bergambar, gambar pun
bisa berperan sebagai kata-kata (in picture books, picture is also the words). kekuatan lainnya
berada pada unsur garis (line) dan komposisi (composition) yang bisa mempresentasikan
ekspresi dan detil, serta men-trigger imajinasi.
resume oleh hafiz ahmad. 2007.09.10

*tulisan di atas merupakan transkrip dari kuliah yang disampaikan tadai matsui, presiden
international institute for children's literature, osaka (iiclo) pada hari pertama kongres irscl yang
ke-18 di kyoto.
Tags: reference, seminar, jepang, picture book
Prev: dreams and nightmare: fantasy and reality through anime - prof. susan j. napier
Next: looking through my windows of picture books - ryoji arai

Senin, 13 November 2006 12:25


―Surat Anak Indonesia Membiasakan Menulis Sejak Dini‖

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat, telah menjadikan dunia
ini terasa begitu dekat. Seolah-olah tidak ada lagi ruang dan waktu. Segala informasi dapat
diperoleh begitu mudah dan cepat. Apa yang terjadi di belahan dunia manapun, dapat diketahui
dalam hitungan detik tanpa perlu beranjak dari tempat kita berada. Dengan short message service
(SMS), seseorang dapat mengetahui kondisi kerabat dan handaitaulan di daerah lain dalam waktu
singkat. Tak perlu menunggu berhari-hari. Sungguh luar biasa. Begitu besar manfaat yang
diakibatkan oleh pesatnya kemajuan ilmu dan teknologi ini. Dari sekian banyak manfaat tersebut,
tentu ada sisi negatif yang timbul. Yang paling nampak adalah menurunnya minat untuk menulis,
dan hilangnya sentuhan kehangatan dan ekspresi emosional.
Budaya tulis seyogianya menjadi barometer kemajuan suatu bangsa. Ia merupakan warisan
leluhur yang tak ternilai harganya. Dengan menulis, seseorang akan mampu mengekspresikan isi
hati dan jiwanya. Emosi kesedihan, kepiluan, kebahagiaan, dan kesenangan jiwa yang dirasakan
seseorang, akan nampak pada tulisan yang dihasilkan. Menulis dapat memacu kreatifitas dan
mengembangkan imajinasi seseorang. Budaya berkirim suratpun mulai jarang dilakukan orang,
bahkan berkirim kartu lebaran setahun sekali. Padahal dengan berkirim surat, bagi si pengirim,
dalam diri tercipta kepuasan batin. Sedangkan bagi si penerima, surat merupakan bentuk
perhatian dari seorang. Ia akan menyimpan dan membacanya berulang-ulang.
Beranjak dari keprihatinan inilah dan sekaligus sebagai wujud kepedulian akan kondisi
Yogyakarta pasca gempa 27 Mei, Penerbit AdiCita Karya Nusa bekerjasama dengan Kantor Pos
Besar Yogyakarta, menyelenggarakan acara bertajuk Surat Anak Indonesia yang diikuti 350
peserta, anak-anak yatim piatu dan dhuafa. Dengan kegiatan ini diharapkan dapat menghibur
anak-anak dan sekaligus sebagai langkah konkret menumbuhkembangkan budaya berkirim surat
dan meningkatkan minat pada tulis menulis serta menanamkan minat tersebut pada anak sejak
usia dini. Karena dengan menulis anak-anak akan termotivasi untuk membaca. Dan dengan
membaca cakrawala dan wawasan anak bertambah luas.
Kegiatan Surat Anak Indonesia ; Membiasakan Menulis Sejak Dini memberikan pembelajaran
kepada anak langkah-langkah dalam berkirim surat. Cara menulis di atas kartupos (Postcard),
menempelkan perangko, proses pembubuhan cap pos, dan memasukkan kartupos ke dalam
kotak/ bis surat adalah diantara kegiatan yang akan dilakukan anak selama acara berlangsung.
Kartu pos yang terkumpul akan dikirimkan langsung kepada para petinggi/ pejabat publik dan
tokoh masyarakat. Seperti Presiden RI Susilo Bambang Yudoyono (SBY), Wapres RI Jusuf
Kalla, Ketua MPR RI, Ketua DPR RI, Ketua DPD RI, Menteri Perhubungan RI, Menteri
Pariwisata, Seni dan Budaya RI, Menteri Pendidikan Nasional RI, Gubernur DIY, dan Direktur
Penerbit AdiCita Grup. Disamping kegiatan tersebut, acara juga akan dimeriahkan dengan
berbagai jenis hiburan anak berupa kesenian tradisional anak seperti reog, jatilan, sandiwara
anak, dan dongeng anak. Acara ini akan diselenggarakan di Benteng Vredeburg tanggal 12
November 2006, pukul 09.00-13.00 WIB, dan dibuka langsung oleh Kepala Kantor Pos Besar
Yogyakarta.

5/2/2009 8:28:00 PM

KIAT MERENGKUH PASAR REMAJA


Oleh : A. Ariobimo Nusantara

Dalam kebijakan pemasaran ada kepercayaan bahwa salah satu lahan bisnis yang menuntungkan
adalah pasar remaja. Kepercayaan ini bukan tanpa alasan, karena menurut laporan Survei
Research Indonesia (SRI) dari tujuh kota besar di Indonesia, seperlima dari pasar adalah kaum
remaja.

Maka tidaklah mengherankan bahwa kelas ini diincar oleh banyak produk yang diciptakan
khusus untuk mereka. Misalnya, Close Up, Belia, Nike, BENETTON, SWATCH. Bukan hanya
itu, produsen pun tampaknya berani berspekulasi untuk tumpang tindih mengeluarkan produk-
produk sejenis. Contoh konkret misalnya, di tahun 1980-an remaja kita begitu tergila-gila pada
jam merek ALBA. Tetapi popularitas ALBA mendadak tergeser oleh SWATCH. Itu pun tidak
lama bertengger karena kemudian BENETTON mampu meraup perhatian remaja kita. Demikian
berturut-turut, sampai munculnya demam BOSSINI dan GUESS akhir-akhir ini.

Menurut Ronald Alsop dan Bill Abrams dalam The Wall Street Journal on Marketing, para
pemasar setuju bahwa pasar remaja adalah pasar yang tidak pernah stabil. Untuk itu, bila ingin
tetap menyasar pasar remaja David Hirsch, Presdir dari Santa Cruz Import Inc., pernah
menyarankan agar perusahaan mempunyai budaya yang mampu mengatisipasi setiap perubahan
selera remaja.

Remaja sebagai ―Trendsetter‖


Kondisi yang sama juga terjadi dalam industri perbukuan. Remaja tahun 1980-an begitu tergila-
gila pada buku-buku petualangan misalnya Cerita dari Lima Benua dan Seri Lima Sekawan.
Tetapi, selera itu secara drastis berubah di tahun 1990-an. Lewat seri Lupus seakan-akan kaum
remaja kita menemukan selera dan idola baru. Tokoh yang sedikit urakan, gaya bahasa yang
manasuka, dan kemasan yang nyleneh ternyata sangat digemari. Begitu pula ketika komik-komik
terjemahan mulai mengisi outlet-outlet toko buku Indonesia, kaum remaja akan semakin
termanjakan. Komik-komik dengan cerita silat ringan dan romansa menjadi oase yang
menyejukkan dahaga keliaran imajinasi mereka.

Judul lain yang juga mendapat sambutan adalah seri Goosebumps dan Fear Street keduanya
karya R.L. Stine. Berbeda dengan dua jenis buku sebelumnya, Goosebumps dan Fear Street
menyuguhkan cerita-cerita super seram dan misteri yang menengangkan. Bahkan, untuk
mengikat loyalitas pembaca, penerbit kedua buku ini berani menjamin setiap bulan muncul judul
baru.

Memang, salah satu strategi untuk mereguk profit dari menerbitkan buku-buku remaja adalah
memelihara baik-baik loyalitas pembaca. Keberhasilan dari strategi ini sudah teruji. Ambil
contoh, ketika remaja kita sedang gandrung pada Lupus, strategi promosi dan pemasaran buku
ini lalu mendapat perhatian khusus. Misalnya, mengadakan jumpa penggemar dengan pengarang;
menjamin kelancaran terbitnya judul baru setiap bulan; dan setelah mulai mengakar membuat
varian dari seri ini (Lupus kecil).

Dampaknya sungguh luar biasa. Seri Lupus telah tercetak di atas satu juta eksemplar, satu angka
fantastis bagi dunia perbukuan. Bahkan mungkin angka ini masih bisa didongkrak lagi
mengingat tokoh Lupus mulai digarap lewat sinetron.

Hal yang sama juga dialami oleh komik-komik terjemahan. Meski di sana-sini masih terdengar
upaya penolakan terhadap produk ini, toh judul-judul unggulan dari komik terjemahan minimal
dicetak 40.000 eksemplar. Angka ini akan semakin terlihat fantastis karena setiap judul terdiri
dari belasan hingga puluhan nomor. Bahkan posisi produk ini dikabarkan semakin kuat
mencengkram dan mampu meluaskan pasar sasaran ketika jaringan televise swasta ikut
menayangkannya dalam bentuk film kartun.

Kendala Penerbit Indonesia


Sayangnya, seperti sering dikeluhkan, kebanyakan buku yang digemari oleh remaja kita adalah
karya-karya asing yang dialih-bahasakan. Memang, inilah masalah laten dunia penerbitan kita.
Dibandingkan dengan negara anggota ASEAN lainnya, Indonesia masih berada di urutan paling
bawah dalam pengadaan buku anak-anak dan remaja. Apalagi jika dibandingkan dengan negara
Eropa seperti Jerman yang kabarnya mempunyai 150 penerbit buku yang khusus menerbitkan
bacaan anak-anak dan remaja dan lebih dari 3.000 orang menamakan diri ―Pengarang Bacaan
Anak-anak dan Remaja‖. Mereka adalah para tokoh yang bekerja maupun pernah bekerja dalam
bidang pendidikan.

Sementara di Indonesia, jumlah penerbit yang mengkhususkan diri dalam pengadaan buku anak-
anak masih bisa dihitung dengan jari. Menurut catatan IKAPI, dari 330 penerbit yang terdaftar,
110 di antaranya kini sudah gulung tikar. Sementara dari sisanya, hanya 20% atau sekitar 60
penerbit yang berani menerbitkan buku 15 judul setahun. Dari jumlah itu, hanya 30% buku yang
ditujukan untuk anak-anak dan remaja.

Ditilik dari sisi pengarang kondisinya lebih menyedihkan. Untuk produk sekelas Lupus, kita
hanya memiliki Hilam Hariwijaya, Gola Gong, Zara Zetirra ZR, Mira W, Gus TF Sakai, Bubie
Lantang, Lutfie dan Dwianto Setyawan. Kondisi ini jelas tidak sebanding dengan gejolak
dinamis konsumen remaja, sehingga tidak mengherankan jika penerbit selalu terseok-seok dalam
mengantisipasi setiap perubahan selera remaja.

Mendulang Selera Remaja


Lantas bagiamanakah cirri utama buku yang digemari remaja kita saat ini? Yang jelas, bukan
buku dengan plot cerita yang datar-datar saja, yang hanya berkisa tentang tokoh Tono dan Tini
(meminjam istilah P. Drost. SJ), yakni tokoh yang selalu alim, berbudi baik, penurut , dan
seabreg nilai positif. Yang sedang digandrungi adalah sosok yang benar-benar jauh dari dunia
keseharian mereka, yang memberi sentakan-sentakan tersendiri. Kebetulan, cirri utama ini baru
ditemukan dalam buku-buku sekelas Lupus dan cerita impor.

Mari kita urai bersama. Lupus misalnya, dia digambarkan sebagai tokoh yang urakan, ceplas-
ceplos, suka jail. Bagaimana dengan tokoh Usagi dalam komik Sailor Moon? Sama saja.
Karakter Usagi adalah seorang siswa SMP yang suka bangun kesiangan dan nilai ulangannya
selalu jelek. Namun, kekurangan itu ditutup dengan unsur heroik dan romantisme yang
memukau. Nah, formula inilah yang perlu dikembangkan oleh para pengarang buku yang
bersasaran remaja.

Pendeknya, pengarang tak perlu membangun cerita berdasarkan plot-plot keseharian, tetapi bisa
‗liar‘ meloncat kemana saja berusaha mendulang tren, selera dan gejolak remaja yang dinamis.
Inilah sejumput kiat bagi penerbit dan pengarang yang hendak menyasar pasar remaja.

[pernah dimuat dalam buku panduan pameran buku 1995]

5/2/2009 8:12:00 PM

QUO VADIS BACAAN ANAK-ANAK?


Oleh A. Ariobimo Nusantara

Menjelang tahun 2001 tampaknya kita akan menjumpai suatu pemandangan yang cukup
menyedihkan dalam dunia perbukuan, khususnya dalam hal interaksi antara anak dan buku.
Bagaimana tidak, jika sekarang saja kita sudah sulit menemukan anak yang tergolong kutu buku.
Peranan buku semakin tersingkir dan keberadaannya digantikan oleh media yang lebih menarik –
media pandang dengar dalam bentuk siaran televisi, video, hingga laser disc.

Sebagai orangtua, kita seolah tidak berdaya dan hanya mampu menjadi penonton dari
melebarnya jurang pemisah antara anak dan buku. Sementara pihak lain, penerbit – dengan
kemampuannya masing-masing – berusaha untuk mencari terobosan di sana-sini guna
mengimbangi membanjirnya arus informasi melalui siaran pandang dengar itu. Meskipun di satu
sisi posisi buku kian terpuruk, di sisi lain keberadaan buku sebagai media informasi tertulis tidak
akan pernah tergantikan. Oleh sebab itu, pentingnya buku sebagai sarana mencerdaskan
kehidupan bangsa juga diamanatkan dalam GBHN 1983. Bahkan UNESCO (United Nations
Educational, Scientific, and Cultural Organization) atau organisasi pendidikan, ilmu pengetahuan
dan kebudayaan di lingkungan PBB sendiri sudah mencanangkan semboyan ―buku untuk
semua‖.
Dilema Buku Anak-Anak di Indonesia
Pada hakekatnya, buku merupakan sarana komunikasi tulis yang mendokumentasikan sekaligus
menyampaikan informasi yang dapat menambah pengetahuan dan pengalaman pembacanya.
Selain itu, buku juga merupakan sarana yang uckup strategis untuk mempengaruhi opini publik
dan sebagai penentu tingkah laku. Artinya, buku mampu meningkatkan mutu hidup manusia,
tetapi juga mampu menggiring pembaca ke a lam fantasi yang jauh dari akar budaya dan
kepribadian bangsa. Khusus bagi anak-anak (membaca) buku berdampak: anak akan tahu segala
hal, membuka wawasannya, menambah pengalaman batin, dan membuat anak menjadi gembira.
Masalahnya sekarang adalah bagaimana situasi perbukuan di Indonesia?

Jika diperhatikan, sejak tahun 1987 grafik produksi buku nasional cenderung bergerak turun.
Kalau produksi b uku pada tahun 1987 ada 6.000 judul, pada tahun 1988 dan 1989 turun menjadi
4.000 judul Bahkan kini kabarnya, produksi buku nasional tahun-tahun ini hanya berkisar antara
1.000-3.000 judul. Dari sekian judul itu, hitung saja berapa judul kira-kira buku yang ditujukan
untuk anak-anak dan remaja.

Bila dibandingkan dengan negara anggota asean lainnya, tampak jelas bahwa Indonesia masih
berada di urutan paling bawah dalam pengadaan buku anak-anak. Apalagi jika dibandingkan
dengan negara Eropa seperti Jerman yang kabaranya mempunyai 150 penerbit buku yang khusus
menerbitkan buku anak-anak dan remaja dan lebih dari 3.000 orang menamakan diri ‗Pengarang
Bacaan Anak-Anak dan remaja‘. Mereka adalah para tokoh yang bekerja maupun pernah bekerja
dalam bidang pendidikan.

Sementara di Indonesia, jumlah penerbit yang mengkhususkan diri dalam pengadaan buku anak-
nak masih bisa dihitung dengan jari. Menurut catatan IKAPI, dari 330 penerbit yang terdaftar,
110 di antaranya kini sudah gulung tikar. Sementara dari sisanya, hanya 20% atau sekitar
60penerbit yang berani menerbitkan buku 15 judul setahun. Dari jumlah itu, hanya 30% buku
yang ditujukan untuk anak-anak (Kompas, 12 Agustus 1993).

Kelesuan penerbitan buku anak ini sebenarnya diawali ketika proyek buku Inpres mulai
menurun. Proyek yang berkibar pada dekade 1970 hingga 1980-an ini kabarnya sempat
menggemukkan beberapa penerbit dan pengarang Indonesia. Betapa tidak, sejak tahun 1973 saja
proyek ini telah mengucurkan dana sebesar 651.6 miliar rupiah.

Namun, proyek besar itu kemudian kandas di tengah jalan, berbarengan dengan menyurutnya
kualitas buku-buku itu sendiri. Bahkan begitu proyek ini mulai surut, banyak penerbit buku yang
memilih gulung tikar atau mengalihkan modalnya ke usaha lian yang lebih menguntungkan.
Sinyalemen ini menunjukkan bahwa banyak pemodal yang berkedok penerbit karena hanya mau
menerbitkan buku (anak) bila situasi benar-benar menguntungkan dari segi bisnis. Mereka tidak
berangkat dari tradisi intelektual atau idealisme.

Berangkat dari sinyalemen itu, wajarlah kalau dewasa ini muncul semacam gugatan dari
masyarakat terhadap kemampuan penerbit Indonesia dalam menerbitkan buku anak yang
bermutu unggul. Sebenarnya, dari kalangan penerbit sendiri sudah ada rasa risih kalau harus
terus menerus menerbitkan karya terjemahan. Alasan utamanya, buku-buku tersebut dapat
menyebabkan posisi buku-buku karya pengarang dan cerita lokal kian terdesak, meskipun diakui
bahwa penerbitan karya terjemahan lebih murah dan menguntungkan. Akan tetapi, di lain pihak,
penerbit sendiri juga kesulitan menemukan pengarang lokal yang berkualitas dan mampu
mengethaui kebutuhan anak zaman sekarang, sementara roda penerbitan harus terus berputar.
Kondisi yang sangat dilematis inilah yang akhirnya memaksa penerbit untuk berburu cerita
terjemahan.

Dari sisi persebaran buku, snagat terasa bahwa buku-buku yang mengandung informasi mutakhir
masih menjadi milik anak-anak di perkotaan. Sebaliknya, anak-anak di desa sangat kekurangan
bacaan. Mereka hanya mengandalkan perpustakaan sekolah yang miskin koleksi sehingga hanya
membaca buku-buku lama yang mungkin sudah berkali-kali dibaca.

Back to Comic
Mengembalikan ―kejayaan‖ buku Inpres seperti di tahun 1970-an di tengah menderasnya arus
globalisasi ini tidaklah gampang. Perkembangan wawasan serta pola pikir anak-anak sekarang
ternyata begitu cepat dan melampaui perkiraan kita. Anak sekarang, yang merupakan generasi di
tahun 2001 nanti adalah generasi yang lahir di tengah-tengah segala hal yang serba instan dan
serba mutakhir. Mereka lebih terbiasa mencerna keampuhan ―pedang matahari‖ atau ―senapan
laser‖ daripada ―keris Empu Gandring‖ atau ―Nagasasra, Sabuk Inten‖. Pahlawan mereka
sekarang bukan lagi yang ber‖otot kawat balung wesi‖, tetapi yang seluruh tubuhnya terbungkus
baja. Pendeknya, semua yang serba futuristik yang kini tengah menguasai sebagian imajinasi
anak.

Dalam hal bacaan, anak sekarang lebih selektif lagi. Mereka tidak mau menyentuh bacaan-
bacaan yang dikemas seperti bacaan tahun 1970-an dulu. Mungkin karena pengaruh yang serba
instant tadi, anak lebih memilih bacaan yang mampu memberi kenikmatan membaca (teks) dan
melihat (gambar) sekaligus, yang lazim disebut komik. Itu baru dari segi penyajian. Dari segi ide
cerita, anak ternyata juga lebih cenderung lekat pada tokoh-tokoh impor, baik yang dilahirkan di
Negeri Paman Sam maupun yang lahir di Negeri Sakura. ―Permintaan pasar" inilah yang
akhirnya mendorong penerbit untuk berlomba-lomba berburu copyright ke kedua negara
tersebut.

Bila dirunut ke belakang, sebenarnya kehadiran komik di Indonesia bukanlah hal baru. Kita tentu
masih ingat ketika pada tahun 1970-an komik-komik H.C. Andersen, Tintin, atau album Donal
Bebek menjadi bagian dari bacaan kita. Begitu pula dengan boom komik-komik lokal seperti
karya Jan Mintaraga, Ganes TH, Hans Jaladara, dan Teguh Santosa. Meskipun demikian,
tampaknya ―selera zama‖ lebih memainkan peranan. Komik-komik k arya koikus lokal semakin
hari tampak semakin kedodoran dan pasrah menjadi saksi berkibarnya komik-komik terjemahan
di negeri ini. Sebaliknya, di Negeri Sakura komik (lokal) justru sedang mengalami booming yang
mencapai 2,16 miliar kopi. Demikian pula yang terjadi di Amerika, komik (setempat) mendapat
tempat yang layak di negerinya sendiri.

Akan tetapi, menjelang akhir tahun 1994 ini, cerita sedih tentang komik Indonesia tampaknya
mulai mendapat pelipur lara. Seiring dengan perputaran selera yang ―back to comic‖, di pasaran
mulai muncul komik Indonesia yang dikemas sejajar dengan kualitas komik terjemahan.
Langkah ini diawali oleh Dunia Fantasi dengan melontarkan komik Ramayana yang dikemas
dengan gaya futuristik. Ide atau pakem cerita tetap seperti aslinya, hanya visualisasi gedung,
senjata dan kostum para tokohnya sedikit dipoles dengan sentuhan ―tahun 3000‖. Tidak lama
kemudian, Elex Media Komputindo juga melontarkan seri komik lokal dengan kualitas komik
terjemahan, berjudul Imperium Majapahit. Bedanya, komik terbitan Elex tetap setiap pada
pakem aslinya secara utuh, meskipun kedua jenis komik itu dihasilkan oleh komikus yang sama:
Jan Mintaraga.

Melihat kehadiran kedua ―kelinci percobaan‖ tersebut, dapat diprediksi bahwa dalam waktu yang
tidak lama lagi trend komik anak-anak di Indonesia akan dibawah kembali kepada cerita-cerita
lokal. Hal ini bisa dimaklumi, mengingat kehadiran komik terjemahan tampaknya sudah
mencapai titik jenuh. Jika ramalan ini bisa dibenarkan, penerbit dan komikus Indonesia harus
mulai bersiap-siap bekerjasama lagi mengantarkan cerita-cerita lokal kepada anak-anak generasi
tahun 2001.

Penutup
Menggiatkan kembali peta buku anak nasional, seperti yang pernah berkibar di tahun 1970-an
memang merupakan suatu tantangan yang cukup berat bila ditinjau dari lesunya dunia perbukuan
dan perekonomian saat ini. Namun, tanpa usaha dan upaya yang didukung kemauan yang
sungguh-sungguh dan kerja sama antar-lingkungan terkait, rasanya akan sulit membangkitkan
gairah baru dalam penulisan buku anak-anak Indonesia beserta pemasyarakatannya. Apalagi bila
kita tidak mau dikatakan tertinggal dari negara-negara lain baik ASEAN maupun Eropa. Kiranya
inilah yang menjadi pekerjaan rumah sekaligus tanggung jawab kita, baik sebagai orangtua,
pendidik, maupun kalangan penerbit.

[tulisan ini pernah dimuat di harian Kompas, 1994]

5/2/2009 7:54:00 PM

TIPS BINA GEMAR MEMBACA


Oleh A. Ariobimo Nusantara

Persoalan meningkatkan gemar membaca barangkali sudah menjadi topik yang selalu diulang-
ulang setiap kali ada kegiatan perbukuan. Bisa jadi ada di antara kita yang sudah ―putus asa‖
menghadapi persoalan ini. Alhasil, kata-kata ―Meningkatkan Gemar Membaca‖ pun dirasa

sekadar slogan, basa-basi belaka yang hasilnya sukar teraba.

Benar memang. Membiasakan gemar membaca (di Indonesia) bukan masalah enteng. Konon,
ada yang menyebut bahwa hal ini merupakan indikasi kuat bahwa tradisi lisan teramat melekat
erat di masyarakat. Buktinya, orang lebih senang menghabiskan waktu dengan mengobral obrol;
lebih betah memelototi televisi atau memeluk radio berjam-jam lamanya ketimbang membaca;
pertunjukan musik, layar tancap, arisan dan seminar lebih mudah menarik massa daripada
pameran buku.

Dari sini, semakin kentaralah bahwa perubahan drastis ke arh masyarakat gemar membaca masih
membutuhkan waktu panjang. Namun, bukan berarti kondisi ke arah itu tidak bisa diciptakan.
Salah satunya ialah dengan sedini mungkin mendekatkan anak dengan buku. Mengutip pendapat
Prof. Janine Despinette, seorang ahli dan kritikus buku anak asal Prancis, bahwa sejak usia dini
anak juga perlu belajar mendengarkan cerita yang dibacakan orangtua atau guru mereka,
sehingga mereka mampu menghargai apa yang ada dalam cerita itu.

Sayangnya, sekarang banyak orangtua sudah semakin sibuk untuk mengemban tugas ini.
Sementara, anak belum siap dilepas sendiri mengupas buku-buku cerita. Lantas, usaha apa yang
pantas dilakukan agar anak semakin berjabat erta dengan buku?

Banyak saran mengatakan alangkah baiknya jika orangtua bisa menyediakan waktunya untuk
menemani anak dalam memilih bacaannya, bahkan kalau perlu ikut menyukai dan
membacakannya. Dengan demikian, orangtua dapat mengarahkan dan menjelaskan kepada
anaknya bacaan apa yang sesuai dengan usia dan tingkat pengetahuannya. Tetapi, bagaimana bila
saran ini kurang mempan bagi bangsa yang terlanjur akrab dengan tradisi lisan?

Karen O‘Connor, dalam buku How to Hook Your Kids on Books (diterbitkan Thomas Nelson
Publisher: Neshville, 1995), mencoba menjawab masalah semacam itu. Ia mengulas berbagai
teknik dan cara mendorong anak agar gemar membaca. Sistematika buku ini dibagi dalam tiga
bab utama, yaitu mengenalkan buku (Introduce Book), mendorong minat baca (Encourage
Reading), dan membantu pengayaan minat baca (Foster Reading Enrichment). Tiap-tiap bab
membawahi beberapa kiat yang tidak saling mengikat.
Buku ini ternyata menyimpan segudang pengalaman dan kiat bina gemar membaca yang tidak
pernah kita dengar sebelumnya.

Mendorong anak untuk gemar membaca pada dasarnya bermuara pada peran aktif orangtua.
Seorang ibu yang sedang mengandung misalnya, tidak salah bila mulai suka membacakan cerita-
cerita bagi janinnya. Setelah lahir, si bayi tetap dikondisikan dekat dengan buku. Caranya,
sisipkanlah satu-dua buku (dimulai dari pictorial book) di antara mainannya. Begitu seterusnya,
seturut perkembangan anak sampai akhirnya anak memiliki semacam koleksi pribadi.

Setelah anak lepas dari masa ―balita‖, orangtua dapat mendorong pengalaman perbukuan yang
lebih serius. Ada beberapa cara: membacakan cerita menjelang tidur, membiasakan hadiah
berupa buku, mengadakan semacam ―arisan keluarga‖ dengan kegiatan utama membaca satu-dua
buku cerita, atau mendiskusikan tema suatu buku. Gagasan yang cukup menarik adalah
menggunakan buku untuk merencanakan kegiatan liburan. Misalnya, anak mempunyai bacaan
tentang dinosaurus, tidak ada salahnya bila pada suatu kesempatan, mereka diajak mengunjungi
museum biologi yang memiliki koleksi binatang purba.

Cara lain, mengadakan semacam studi wisata ke penerbit atau perpustakaan, memotivasi anak
untuk terbiasa memberi santunan buku kepada anak terlantar. Atau, yang lebih serius,
mendorong anak berbuat sosial dengan cara membacakan cerita bagi pasien anak-anak di rumah
sakit.

Bagi anak remaja, O‘Connor menyarankan agara orangtua mulai menugasi anak membuat satu
narasi tentang keluarga, bisa tentang silsilah, acara liburan, menulis surat, atau membuat buku
harian. Anak yang lebih tua diminta membacakan cerita bagi adik-adiknya, atau membuat
synopsis dan anotasi dari suatu cerita.

Bagaimana jika anak tetap tidak mau akrab dengan buku? Gampang. Orangtua jangan selalu
bersedia menjadi ―ensiklopedi berjalan‖ yang mampu menjawab setiap pertanyaan anak. Sekali
waktu arahkan anak untuk mencari jawab atas pertanyaannya lewat buku atau ensiklopedi.

Kiat-kiat jitu O‘Connor boleh dikata khas Amerika, yakni memberi keleluasaan kepada anak
untuk mengemukakan pendapatnya. Namun demikian, bukan berarti buku ini tidak cocok untuk
kondisi Indonesia karena ada kiat-kiat yang bersifat universal; bisa diterima di mana saja.

Jadi, bila kita memang berniat mengembangkan minat baca pada anak, berikan dan ciptakan
kesempatan seluas-luasnya bagi mereka untuk bergaul dengan bacaan.

[tulisan ini pernah dimuat dalam buku panduan pameran buku IKAPI 1995]

5/2/2009 7:38:00 PM

GEMAR MEMBACA, GEMAR MENULIS


Oleh A. Ariobimo Nusantara

Jika Anda tergolong orang yang gemar membaca, tentu belum lekang dari ingatan Anda
serentetan iklan layanan masyarakat yang digeber harian Kompas di penghujung tahun 1996.
Iklan gede-gedean yang diprakarsai oleh harian tersebut bekerja sama dengan berbagai
perusahaan periklanan itu menekankan pentingnya gemar membaca sejak dini. Copy iklannya
cukup menarik dan menggelitik, meski kita tak pernah tahu apakah iklan layanan masyarakat itu
benar-benar ―menyentakkan‖ masyarakat – khususnya yang belum menikmati renyahnya
membaca.

Bolehlah saya kutipkan beberapa copy iklan yang menggelitik itu. ―Bacaan Anda menunjukkan
siapa Anda‖ (30/12/96), ―Persiapan kehidupan: Buah hati Anda membutuhkan wawasan. Ajaklah
mereka gemar membaca…‖ (31/12/96), ―Akankah buku tetap menjadi sebuah ‗daftar‘ hanya
karena soal HARGA?‖ (29/12/96), ―Membaca membuka mata hati memperluas wawasan‖
(3/1/97). Tentu saja, copy iklan itu masih diikuti body text yang kalau kita baca seluruhnya akan
menunjukkan ―perang kreativitas‖ di antara pekerja iklan.
Pertanyaan yang mencuat kemudian adalah: Apa keuntungan dari iklan layanan yang tentu
berharga jutaan bahkan mungkin puluhan juta rupiah itu? Jelas, namanya saja iklan layanan
masyarakat sehingga sifatnya bukan ―menjual‖ sesuatu. Akan tetapi, sebenarnya lewat iklan itu
kita akan menemukan sesuatu yang lebih berharga. Apa itu? Keluasan wawasan para
pembuatnya, yang secara tidak langsung menyiratkan bahwa mereka juga termasuk orang-orang
yang ―gila buku‖. Lebih jauh lagi, kita mendapatkan bukti nyata bahwa dengan gila membaca
dan berolah kata pun orang dapat beroleh penghasilan yang menarik.

Revolusi Tulisan
Boleh dikata, ilustrasi di atas merupakan salah satu contoh dari ―revolusi tulisan‖ yang tidak
pernah dibayangkan oleh pencetusnya. Ketika pertam kali manusia menciptakan Alfabet (abjad)
tentu bukan tanpa maksud. Alfabet (berasal dari nama huruf pertama Yunani alpha dan huruf
kedua beta) berarti susunan huruf dalam urutan tertentu untuk menuliskan kata-kata atau bunyi
dalam satu atau beberapa bahasa. Dengan alphabet, manusia lebih mudah menuangkan gagasan
secara sistematis. Penciptaan alphabet boleh dibilang merupakan ―revolusi besar‖ dalam sejarah
kehidupan manusia karena manusia mulai memasuki tradisi baru, tradisi tulisan (literacy).

Menurut sejarahnya, alphabet tertua ditemukan pada abad ke 13 SM di Ugasit, Fenisia dalam
bentuk tulisan paku yang mungkin merupakan contoh bagi alphabet Yunani yang dipakai sejak
900 SM. Alfabet Yunani ini dibawa oleh bangsa Etruria ke Roma yang kemudian menjadi abjad
Latin.

Revolusi alphabet semakin besar-besaran manakala pada abad ke 15 Masehi, Gutenberg –


seorang warga negara Jerman, menemukan sistem produksi karya cetak. Dengan kata lain,
Gutenberg sebagai penemu mesin cetak, tinta cetak, huruf cetak yang dapat dilepas dan
dipasang; penemu metode cetak, metode membuat huruf cetak dari campuran logam, telah
menimbulkan revolusi di bidang perbukuan dan persurat-kabaran.
Penemuan Gutenberg semakin memacu lahirnya tradisi tulisan. Namun demikian, ―revolusi‖
yang diciptakannya itu terpaksa memakan korban. Korban pertama adalah Gutenberg sendiri.
Penemu ini terjerat hutang dan tidak sempat menikmati hasil penemuannya, bahkan hidup
sengsara karena penemuannya. Sedangkan, korban yang lebih besar adalah tergesernya tradisi
lisan (oral) oleh tradisi tulisan (literacy).

Akan tetapi, meski revolusi tulis menulis ini telah berabad-abad berpengaruh pada tradisi
kelisanan kita, nyatanya tradisi tulisan belum sepenuhnya mengendap dalam budaya masyarakat
kita. Mengenai hal ini, A. Teeuw memang pernah menyinggung bahwa masyarakat Indonesia
masih dalam tahap peralihan dari tradisi lisan (oral) menuju tradisi tulisan (literacy). Banyak
takaran mengenai hal ini, misalnya sinyalemen rendahnya minat baca, kesulitan mahasiswa
dalam menulis skripsi, minimalnya produktivitas sarjana dalam melahirkan tulisan, termasuk
juga banyaknya guru yang tak mampu menulis.
Padahal, di sisi lain kita sudah memasuki tahap pasca-tulisan (post-literacy), yakni ditandai
dengan maraknya sarana komunikasi elektronik. Anehnya justru tradisi pasca-tulisan lebih cepat
berkembang daripada tradisi tulisan. Mengapa? Satu-satunya jawab adalah karena memiliki
kemiripan dengan tradisi lisan, meski yang terjadi hanya komunikasi satu arah.
Praktis, dengan cepatnya loncatan tradisi ini, tradisi tulisan seolah semakin alot berkembang.
Betapa tidak, bila untuk memahami isi ensiklopedi misalnya, orang tidak perlu lagi bersusah
payah membacanya, karena teknologi CD-ROM kini siap menampulkan seluruh isi ensiklopedi
berikut gambar bergerak dan suaranya.

Tugas Membaca dan Menulis


Itulah sebabnya, Taufiq G Ismail – seorang penyair kondang – sangat prihatin karena pelajaran
mengarang di sekolah menengah saat ini mendapat porsi yang sangat sedikit (Kompas,
22/12/95). Ia pun mengaku tak heran lagi bila saat ini banyak mahasiswa kesulitan menulis
skripsi, yang selain menuntut ketrampilan berbahasa juga menuntut ketrampilan menyajikan
gagasan ke dalam tulisan secara sistematis dan logis.

Memang, bagi sebagian besar mahasiswa, tugas menulis skripsi masih dipandang sebagai satu
tugas yang mematikan. Untuk bisa melampaui tugas ini, seorang mahasiswa dituntut menguasai
beberapa hal, mulai dari menguasai (membaca) sejumlah buku, memilih judul, membuat outline,
merumuskan latar belakang masalah, kerangka pemikiran, dan metode penelitian – yang
semuanya serba tertulis.

Padahal, latihan-latihan menulis, sebagaimana diprihatinkan oleh Taufiq G Ismail, jarang


diperoleh lagi selepas dari sekolah dasar. Menulis, yang menjadi bagian dalam matapelajaran
Bahasa Indonesia, terkadang harus tergusur oleh padatnya pengetahuan ketatabahasaan yang
harus dipahami siswa. Jeda yang cukup panjang dalam latihan tulis menulis ini, jelas membawa
pengaruh pada kerancuan berpikir dalam bahasa tulis.

Di sisi lain, tugas-tugas menulis/mengarang terkadang masih dianggap sebagai beban karena
guru harus membaca semua hasil tulisan siswa. Sementara, nyatanya belum tentu semua guru
memiliki minat besar dalam hal membaca dan menulis.

Sebagai konsekuensinya, kesulitan mengutarakan gagasan lewat tulisan tidak hanya dialami
sewaktu menjadi mahasiswa, tetapi berlanjut terus, meski seseorang telah memasuki dunia kerja.
Ironisnya, kesulitan ini banyak juga dialami oleh orang yang pekerjaan sehari-harinya justru
bergelut dengan perkara tulis menulis, misalnya sekretaris, wartawan dan editor penerbit.

Kondisi ini membuktikan kepada kita bahwa hingga memasuki era cyberspace pun ternyata
masih cukup banyak sumber daya manusia yang tak mampu mengorganisasikan gagasan dalam
bangunan tulisan yang jelas dan logis. Akibatnya, banyak sekali kasus yang ―memalukan‖ –
dosen menjiplak skripsi mahasiswanya, larisnya bisnis jual-beli skripsi, atau minimnya penulis
buku lokal.

Untuk mengatasi kondisi ini, tidak ada salahnya bila kebiasaan membaca dan latihan menulis
sejak dini digiatkan terus tanpa mengalami senjang waktu. Sejalan dengan itu, kepada pelajar,
mahasiswa, dan umum perlu dipikirkan kegiatan yang dapat merangsang kegemaran membaca
dan menulis.
Bagi pelajar misalnya, bolehlah menghidupkan kembali tradisi mewajibkan siswa meminjam
buku di perpustakaan kemudian pada kesempatan berikutnya guru mengadakan tes pemahaman
siswa terhadap isi buku itu. Atau, memperbanyak tugas-tugas menulis, baik menulis surat,
mengarang cerita, maupun menulis ilmiah.
Sebagai sumber daya manusia di abad ini, kita sudah cukup beruntung karena alphabet telah
lama ditemukan. Kepentingan kita sekarang adalah meningkatkan kebiasaan disiplin berpikir,
agar terasahlah kemampuan menyerap gagasan tertulis dan mengutarakan gagasan lewat bahasa
yang jelas, logis, dan tertulis.

[tulisan ini pernah dimuat dalam buku panduan pameran buku IKAPI 1996]

8/12/2008 7:22:00 AM

EDITOR BUKU
BUKAN “KUTU” DALAM BUKU*
sepercik tukar pengalaman

Siapa mau jadi editor?


Editor atau penyunting (buku) barangkali merupakan salah satu profesi
yang tergolong langka peminat. Hampir sebagian besar editor yang ada
saat ini, tidak pernah membayangkan sebelumnya bahwa pada akhirnya ia
harus menggantungkan hidupnya dari profesi ini.

Fakta berbicara. (1) anak muda lebih tertantang untuk ‗bermimpi‘ menjadi
dokter, insinyur, ekonom, ahli hukum, polisi, tentara, atau pilot, ketimbang
menjadi editor; (2) mereka juga rela berdesak-desakan sekadar untuk
mengikuti audisi untuk menjadi penyanyi, foto model, atau pemain
sinetron; (3) adakah orang tua yang mengharapkan anaknya kelak menjadi
seorang editor? –tentunya bukan orang tua yang bekerja di penerbitan; (4)
profesi editor belum bisa dipakai sebagai ‗iming-iming‘ untuk melamar
seorang gadis.

Jika demikian, mengapa kita harus tetap bertahan menjadi editor?


Jawabnya pun beragam, kalau bukan karena (1) terpaksa/tidak ada
pekerjaan lain; (2) ditugaskan sehingga tak bisa menolak; (3) telanjur
sayang dengan pekerjaan itu; (4) memang ingin menjadi editor.

Bagaimana apresiasi terhadap editor?


Ada dua jenis apresiasi: dari lembaga tempat bekerja dan dari masyarakat
umum. Apresiasi dari lembaga tentu saja berbeda antara satu lembaga dan
lembaga lain, bergantung pada kebijakan tiap lembaga. Hingga saat ini
belum ada aturan main yang seragam tentang hak dan kewajiban editornya.
Sementara, apresiasi masyarakat umum yaitu penghargaan yang diberikan
oleh masyarakat terhadap suatu karya buku. Apakah yang menjadi
perhatian masyarakat (pembaca) terhadap sebuah karya buku? Jawabnya,
judul, pengarang, penerbit, dan (sekarang mulai menjadi perhatian)
desainer sampul. Adakah yang juga memberi perhatian pada siapa editor
buku tersebut?

Memang, kejernihan informasi tentang apa, siapa, dan bagaimana editor


buku baru ditimang oleh kalangan terbatas; lingkup insan perbukuan dan
masyarakat yang ‗gila‘ buku. Selebihnya, (1) tidak sadar bahwa sebuah
buku tidak akan pernah terbit tanpa campur tangan seorang editor; (2)
beranggapan bahwa siapa saja bisa menjadi editor.
Pengalaman empiris membuktikan, minornya pemahaman masyarakat atas
profesi editor buku menjadi pelatuk utama munculnya anggapan bahwa
editor di industri penerbitan buku tidak lebih dari seorang ‗tukang‘.
Tugasnya sungguh tidak menantang karena sebatas mengutak-atik bahasa,
membetulkan letak titik-koma, dan mengetik naskah saja. Celakanya, hal
ini mendorong munculnya pengarang-pengarang ‗hebat‘—yaitu menafikan
fungsi editor dalam menerbitkan karyanya. Lebih celaka lagi, jika
pengarang jenis ini bertemu dengan mantan mahasiswanya yang kebetulan
bekerja sebagai editor di penerbit tempat sang dosen akan menerbitkan
naskahnya.

Apakah ruang lingkup kerja editor?


Tugas seorang editor dalam industri perbukuan bukan semata-mata
menyunting kebahasaan suatu naskah. Tugas ini seharusnya sudah
diemban oleh editorial assistant atau copyeditor.
Seorang editor seyogianya menguasai tugas-tugas yang termasuk dalam
substantive editing dan mechanical editing. Dalam substantive editing,
editor harus mampu menilai dan mempertimbangkan kelayakan terbit
sebuah naskah. Di sini, tidak tertutup kemungkinan seorang editor
mencetuskan ide atau konsep buku yang akan diterbitkan, sekaligus
mencari penulisnya. Termasuk dalam tugas ini, misalnya, seorang editor
juga harus dapat berkomunikasi dengan pengarang atau penerbit luar
negeri guna menjajaki kemungkinan penerbitan alih bahasa.

Sementara, dalam mechanical editing, seorang editor mulai memasuki


proses panjang penerbitan buku. Selain memeriksa kembali hasil
penyuntingan kebahasaan yang telah dilakukan oleh asisten editor atau
copyeditor, seorang editor harus piawai dalam melakukan sejumlah tugas,
misalnya menyusun ide pengarang ke dalam bentuk yang semenarik
mungkin (gaya bahasa yang digunakan, mengatur sistematika penulisan),
menyusun indeks, meramu sinopsis, dan memberi pertimbangan-
pertimbangan kepada bagian visual dan desain buku. Bahkan ada kalanya
editor dituntut mengenal seluk-beluk produksi buku, analisis pasar, hingga
melakukan pra-kalkulasi. Pendek kata, seorang editor harus siap menjadi
seorang generalis dalam bidang penerbitan buku, di samping tetap sebagai
spesialis dalam salah satu ilmu.
Lembaga penerbitan yang profesional, biasanya sudah membedakan secara
tajam fungsi-fungsi copyeditor, editor, sampai acquisition editor (posisi
yang disebut terakhir masih langka dalam struktur organisasi penerbit di
Indonesia). Masing-masing memiliki ruang lingkup kerja sendiri, bahkan
ada pula penerbit yang mempertajamnya dengan menyediakan editor-
editor khusus—sesuai dengan bidang garapan. Misalnya, editor fiksi,
editor sains, editor humaniora, editor kesehatan, dll.
Oleh karena itu, kehadiran editor dari berbagai disiplin ilmu mutlak
diperlukan dalam satu usaha penerbitan umum. Tetapi, inilah
hambatannya, biasanya penerbit kesulitan menemukan orang yang
menguasai suatu ilmu, menyukai dunia perbukuan, sekaligus memahami
tatacara penyuntingan. Kendala ini muncul akibat belum banyak
mahasiswa yang benar-benar menyiapkan diri untuk bekerja sebagai editor
selepas dari perguruan tinggi. Itu sebabnya, menjadi editor sebenarnya
tidak gampang.

Tips Penutup

Editor adalah pembantu penulis naskah. Oleh karena itu, sebaiknya


editor tidak menempatkan diri pada posisi penulis naskah.
Editor haruslah rendah hati atau tidak angkuh dalam menghadapi
penulis naskah, meskipun ada kemungkinan editor lebih pintar dan
‗lebih tinggi‘ ilmunya daripada penulis naskah.
Sebelum mulai mengubah-ubah dan mencoret-coret naskah,
sebaiknya editor berkonsultasi terlebih dulu dengan penulis naskah.
Sebelum mulai mengedit naskah, sebaiknya editor memahami benar
cirri khas naskah bersangkutan. Tanpa pemahaman itu, hasil kerja
editor akan berantakan.
Kenali benar watak dan temparemen penulis naskah: termasuk
kategori penulis yang gampang, sulit, atau yang sulit-sulit gampang.
Setelah buku terbit, segeralah baca ulang untuk menemukan
sekiranya ada hal-hal yang harus segera diperbaiki.
© ariobimonusantara
mei 2006
*Diolah kembali dari artikel yang pernah dimuat di Berita Buku, Juli 1996 dengan judul
yang sama. Disajikan di Pusgrafin Politeknik UI jurusan ilmu penerbitan
http://www.feedmap.net/blog/abinustra-vila-bintaro-indah-jakarta-
indonesia/BA5BC6C3576406CCEE2EC4BD7ACED5A3.aspx

Ketika Pornografi Lebih Mengincar Anak-anak


Kamis, 1 Januari 2009 | 19:34 WIB | Posts by: hiburan | Kategori: Gaya Hidup, Lelaki, Perempuan |
ShareThis

SURABAYA | SURYA Online - Maraknya kasus penculikan bocah di


bawah umur, perdagangan anak-anak dalam berbagai bentuk dan wujudnya sudah tak lagi
mengenal batas wilayah dan negara. Dugaan yang mengarah pada pornografi meruyak lebar,
membuat miris. Persiapkan, anak-anak Anda sejak dini dari dalam rumah untuk
mengantisipasinya.

Ibu yang pemabuk, ayak yang abai dan sok sibuk, pedophilia, insest, rentetan panjang nista dan
nestapa yang bisa menimpa anak-anak di manapun mereka berada. Bahkan rumah yang
seharusnya mampu melindungi anak-anak dari ancaman kenistaan justru menjadi ‗tersangka
utama‘ dalam bentuk-bentuk kejahatan kesusilaan yang idealnya tak menimpa anak-anak, justru
di usianya yang begitu belia.

Itu hanya salah satu komentar yang ditulis seseorang yang mengaku perih sekaligus prihatin
dengan maraknya kejahatan dan pornografi lintas benua yang mencuat tajam dekade terakhir ini.
Si pengirim komentar pun mengimbuhkan spontan terusik selepas membaca kisah nyata yang
pernah menimpa Dana Fowley (kini Fowley berusia 27 tahun), dari Edinburg, Inggris.

Fowley, yang dalam usia belia, berdua dengan adik perempuannya, sudah mengalami kekerasan
seksual yang justru ‗direstui dan diketahui‘ orangtuanya sendiri. Kekejaman yang berlangsung
hingga keduanya beranjak dewasa, namun dampaknya akan terasa hingga akhir hayat. Seperti
bagaimana Fowley berulangkali mencoba mengakhiri hidupnya setiapkali mimpi buruk itu
muncul kembali.
Beruntung ia memiliki, Paul, pria dan suami yang mau memahami masa lalu istrinya. Pada
akhirnya, Dana Fowley memutuskan keluar dari masalalunya, berhenti melarikan diri dengan
mengungkapkan apa yang pernah dialaminya, demi menghindarkan jatuhnya jutaan anak-anak
kecil lainnya yang mungkin akan menjadi korban seperti dirinya, dulu. Fowley pun menuliskan
apa yang dialaminya untuk diketahui dunia. Kisahnya luar biasa miris dan mengenaskan, tulis
Danuta Kean dalam situs BBC.

Kean menambahkan, betapa banyaknya kisah nyata seperti yang pernah dialami Dana Fowley
yang sudah pula dituangkan dalam cerita-cerita memedihkan yang kini banyak dijumpai di toko-
toko buku. Selain kisah Fowley, salah satunya yang disebutkan Kean adalah buku karya Stuart
Howarth mengenai masa kecilnya yang menjadi korban kekejaman ayahnya sendiri. Howarth
menjadi saksi hidup untuk tulisannya Please, Daddy, No: A Boy Betrayed.

Atau masa lalu David Thomas yang ia kemas dalam buku Tell Me Why, Mummy. Masih ada lagi,
kesaksian Cathy Glass yang ia rangkum dalam Damaged: The Heartbreaking True Story Of A
Forgotten Child. Dan banyak lagi yang lainnya yang lebih membuat dada pepat dan sesak.

Lalu berapa persisnya pihak korban menerima ‗upah‘ dari keberaniannya berbagi penderitaannya
di masa kecilnya itu? Dana Fowley misalnya, dikabarkan awalnya menerima 200.000 pounds
dari total 500.000 pounds yang diberikan pihak penerbit.

Menjawab pro-kontra maraknya penerbitan buku kisah-kisah memedihkan macam itu, salah
seorang editor penerbitan kukuh menyatakan, ―Apapun reaksi yang ditimbulkan atau omongan
yang dilontarkan, lihat saja terapi kejutan yang diakibatkan buku-buku di tengah masyarakat.‖

Yang Harus Dilakukan?


Begitu banyaknya buku-buku kisah nyata yang menyuguhkan anak-anak sebagai korbannya dan
orang dewasa (orangtua dan keluarga dekat) yang menjadi pelakunya yang kini memberi warna
lain swalayan dan toko-toko buku di Inggris. Hal mana justru disikapi berbeda oleh Carol
Tonkinson, penerbit buku non-fiksi dari Harper-Collins yang merasa prihatin. ―Karena pembaca
terbesar buku-buku jenis ini adalah perempuan dan anak-anak,‖ ucapnya.

Ditambahkannya, buku-buku kisah nyata tersebut diberi label kategori literatur-literatur yang
memberi inspirasi. Sama dengan buku-buku jenis cerita rakyat yang berakhir gembira. Lalu?
―Lima puluh persen dari jumlah buku-buku jenis kisah nyata yang mengiris hati itu dijual bebas
di pusat perbelanjaan dan swalayan-swalayan,‖ ujar Tonkinson lagi.

Ibarat pisau bermata dua, di kedua sisinya selain menawarkan terapi solusi sekaligus mengiris
pedih siapa saja yang mencoba membacanya. Tonkinson juga menyesalkan menjamurnya buku-
buku sejenis secara bebas diperdagangkan luas, seraya mencoba mengalkulasi berapa banyak
uang yang dihasilkan dan diputar dari bisnis kisah perih semacam ini.

Keprihatinan senada dilontarkan Barbara McKay, Direktur Institute of Family Therapy dari
Inggris yang blakblakan menyatakan rasa skeptisnya jika gelontoran buku-buku kisah nyata
kekejaman semacam itu akan membantu dan meringankan beban psikis dan psikologis dari sisi
korban. ―Bertahun-tahun saya bekerja sama dan membantu menangani korban penistaan seksual
semacam itu, tak selintas pun pernah saya menawarkan terapi dengan saran agar mereka menulis
buku mengenai pengalaman apa saja yang telah mereka alami,‖ sebut McKay. bbc/tri

TAHUKAH ANDA?
Anehnya, buku-buku pengalaman mencekam masa kecil yang kini marak dibukukan dan dijual
bebas di pusat perbelanjaan dan toko-toko swalayan itu diklaim laris manis bak pisang goreng.
Bahkan di minggu-minggu pertama diluncurkan, buku-buku sejenis berhasil menyodok dalam
sepuluh besar buku-buku terlaris. Di Inggris saja tercatat 3,5 juta kopi buku-buku sejenis disebut-
sebut telah laku. Misalnya, buku:

1. Don’t Tell Mummy: A True Story of Ultimate Betrayal (Toni McGuire) - Terjual 235.669
eksemplar semenjak dilepas ke pasar Maret 2007. Buku ini mengisahkan penderitaan McGuire
cilik, 6 tahun, yang mulai menjadi sasaran kekejaman ayah dan ibu kandungnya.

2. The Paperback of Stuart Howarth, laku sebanyak 107.168 eksemplar (Mei 2007). Kisah yang
dijual Howarth pun tidak beda jauh dengan apa yang sudah ditulis McGuire.

3. Street Kid: One Child’s Desperate Fight for Survival, kisah Judy Westwater, anak jalanan
yang berhasil ‗diselamatkan‘ John Peel dari Radio 4‘s Home Truths, laku sebanyak 204.743
eksemplar dengan masa edar tahun 2006. bbc/tri

Selasa, 12 Mei 2009

10-02-2009 Indonesia Hanya Terbitkan 8.000 Buku Kompas, Rabu, 28 Januari 2009

JAKARTA, SELASA - Indonesia yang berpenduduk lebih dari 225 juta jiwa baru sanggup
menerbitkan sekitar 8.000 judul buku per tahun. Jumlah ini sama dengan Malaysia yang
berpenduduk sekitar 27 juta jiwa dan jauh di bawah Vietnam yang bisa mencapai 15.000 judul
buku per tahun dengan jumlah penduduk sekitar 80 juta jiwa.

‖Penerbitan buku berdasarkan data dari semua Toko Buku Gramedia baru mencapai sekitar
8.000 judul buku per tahun. Jumlah itu di bawah angka yang disebutkan Ikapi mencapai 10.000
judul buku per tahun,‖ kata CEO Kompas Gramedia Agung Adiprasetyo pada acara pembukaan
Kompas Gramedia Fair di Istora Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, Selasa (27/1).

Hadir dalam pembukaan Kompas Gramedia Fair ke-22 yang dilaksanakan pada 28 Januari-1
Februari itu antara lain Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo, Presiden Komisaris Kompas
Gramedia Jakob Oetama, Direktur PT Bank Central Asia (BCA) Tbk Henry Koenaifi, dan
Direktur PT KIA Mobil Indonesia Hartanto Sukmono.

Agung mengatakan, dari sejumlah riset soal jumlah penduduk yang mengunjungi toko buku atau
yang suka membaca, jumlahnya hanya mencapai 12-15 persen. Karena itu, perubahan untuk
mendorong minat baca perlu terus ditingkatkan.
Kompas Gramedia, kata Agung, siap menyambut ‖ledakan besar‖ minat baca yang bisa
ditumbuhkan di masyarakat melalui beragam media yang ada. Kehadiran Kompas Gramedia juga
untuk memperluas wawasan dan membangun visi kebangsaan untuk membangun keunggulan.

Fauzi Bowo mengatakan, Indonesia perlu mengatasi ketertinggalan dari segi minat baca dan
jumlah penerbitan buku. Di Vietnam, harga buku dipastikan murah karena ada subsidi dari
pemerintah. Buku-buku literatur sastra terkenal dunia dapat dibaca warga Vietnam dengan harga
murah dan mudah didapat di toko buku.

Selain pameran buku dan media, Kompas Gramedia Fair juga menyajikan lomba paduan suara
TK-SD, diskusi buku, dan sejumlah kegiatan lain. Penyelenggaraan Kompas Gramedia Fair yang
bernuansa hiburan dan pendidikan ini sekaligus untuk menyambut HUT ke-39 Toko Buku
Gramedia yang sudah berjumlah 90 outlet di Tanah Air serta HUT ke-35 PT Gramedia Pustaka
Utama. (ELN)

http://cetak.fajar.co.id/news.php?newsid=6025
Membaca untuk Transformasi Diri, Masyarakat dan Bangsa
(17 May 2005, 1481 x , Komentar)

Memperingati Hari Buku Nasional 17 Mei

"Buku telah membuktikan kepada dunia bahwa dirinya mampu membuat peradaban dapat
bertahan dalam kebaikan atau, bahkan terus meningkat menjadi sesuatu yang lebih baik".
(Hernowo) Masih butuh sekitar dua bulan lagi. Tanggal 16 Juli 2005 direncanakan buku ke-6
JK Rowling 'Harry Potter and The Half Blood Prince' akan terbit dan beredar serentak di
seluruh dunia. Namun, sudah berbilang jutaan penggemar yang telah memesannya. Hal ini
mengingatkan pada peluncuran buku sebelumnya (serial ke-5) dengan judul Harry Potter
and the Order of the Phoenix, buku yang telah lama ditunggu-tunggu kehadirannya.

Ketika tersebar berita akan diluncurkan pada hari Sabtu (21 Juni 2003) secara bersamaan
di Inggris dan Amerika, sore Jumat-nya para remaja di Kota London telah antre di depan
toko yang akan menjualnya. Di Amerika Serikat, sebagaimana dilansir dari media massa,
panjang antrean di depan toko buku mencapai 5000-an orang. Buku serial ke-5 Hary Potter
itu kembali mendulang kesuksesan dan berhasil 'menyihir' dunia. Bayangkan, hanya dalam
kurun sehari saja, buku tersebut telah terjual sekitar 5 juta kopi. Dan, kesuksesan Harry
Potter bagi penulisnya, JK Rowling, adalah perubahan besar dalam kehidupannya. Dari
kehidupan yang mulanya miskin, kini JK Rowling menjadi orang terkaya di Inggris melebihi
kekayaan Ratu Elizabeth II.

Ada hikmah dan pelajaran yang dapat kita petik, ketika mengikuti berita heboh peluncuran
buku ke-5 Harry Potter. Bagi saya, berita tersebut jelas menimbulkan kecemburuan. Bukan
cemburu terhadap penulisnya yang tiba-tiba menjadi kaya raya. Tapi saya cemburu
terhadap minat baca yang luar biasa dari anak-anak Amerika Serikat dan Inggris.
Bayangkan, buku ke-5 Harry Potter tersebut memiliki tebal 896 halaman.

Fenomena ini jelas membongkar paradigma kita tentang buku anak-anak yang harus tipis
dan banyak gambar yang berwarna cerah. Buku Harry Potter bukan hanya tebal, tapi juga
menceritakan dunia sihir yang butuh daya ingat yang kuat, dan penganalisaan agar bisa
mengikuti alur ceritanya. Pantaslah anak-anak di negara maju pendidikannya tinggi dan
cerdas-cerdas, karena tingkat bacaannya yang tinggi dan rasa ingin tahu yang besar.
Budaya membaca inilah yang setidaknya saat ini belum ada pada diri anak-anak Indonesia.
Persoalan Membaca

Menurut penelitian sebuah lembaga dunia terhadap daya baca di 41 negara, Indonesia
berada di peringkat ke-39. Sedangkan menurut laporan Bank Dunia, No 16369-IND dan
Studi IEA di Asia Timur, tingkat membaca anak-anak dipegang ole negara Indonesia dengan
skor 51,7 di bawah Filipina (52,6); Thailand (65,1) dan Singapura (74,0). Bukan itu saja,
jangankan pada persoalan membaca, untuk melek huruf pada orang dewasa saja (di atas
15 tahun) menurut data Depdiknas terbaru ada sekitar 15,5 juta atau 9,20 persen. Boleh
jadi, rendahnya kebiasaan membaca tsb, erat kaitannya dengan pendapatan per kapita
bangsa ini, yang lebih rendah dari keempat negara tetangga. Pendapatan per kapita warga
Singapura pada tahun 2002 sebesar USD 24.000, Thailand USD 6.900, Malaysia USD 9.300,
sementara Indonesia hanya USD 3.100.

Persoalan yang selalu mengemuka tentang rendahnya tingkat baca masyarakat Indponesia
adalah pesoalan bagaimana menumbuhkan minat membaca. Primanto Nugroho (2000)
dalam penelitian kualitatifnya tentang minat baca memaparkan rendahnya minat baca
disebabkan membaca merupakan kegiatan orang yang punya waktu luang.

Kalau common sense ini dihubungkan dengan minat baca masyarakat Indonesia berarti
kebanyakan masyarakat Indonesia tidak memiliki waktu luang yang cukup untuk membaca
dalam artian pekerjaannya menyita banyak waktu. Atau bisa jadi secara implisit buku-buku
yang ada selama ini memang disediakan untuk mereka yang secara khusus menyediakan
waktu untuk membaca. Mengapa? Sebab, performance buku itu sendiri yang mengharuskan
dibaca dengan serius dan membutuhkan waktu lama, belum lagi jika tampilan fisik buku
sangat luks menyebabkan harganya kadang tidak terjangkau oleh masyarakat. Membaca
bukan lagi dianggap memecahkan persoalan tapi justru melahirkan persoalan baru.

Dari 'tesis' Purwanto tadi, timbul pertanyaan, golongan masyarakat yang manakah yang
memberi kontribusi terbesar terhadap rendahnya tingkat baca di Indonesia?. Apakah kita
turut menyalahkan para pekerja teknis yang tak punya waktu membaca sebagai biang
kerok rendahnya tingkat membaca bangsa kita? Ataukah penduduk miskin yang tak pernah
terpetik dalam hatinya untuk membeli buku karena disibukkan mencari makan? Harus kita
salahkan juga?

Saya sepakat dengan Agus M Irkham yang menulis artikel 'Minat Baca Rendah, Siapa
Salah?" tepat setahun lalu di Harian Kompas. Beliau 'menuding' mereka yang tergolong
educated (pelajar, mahasiswa, dosen, guru dan golongan mapan) adalah pihak yang paling
bertanggung jawab untuk menaikkan rating membaca. Sebab menurutnya, golongan ini
relatif mampu membeli buku dan punya waktu untuk membaca. Sebab, pekerjaan mereka
tidak melulu teknis dan menghabiskan sebagian besar waktu.

Saatnya Membaca Untuk Perubahan

Entah apa yang kemudian menghalangi masyarakat educated di negeri ini untuk gemar
membaca. Dari sisi kuantitas, buku-buku sekarang boleh dibilang cukup memberikan
harapan. Penerbit-penerbit buku alternatif mulai bermunculan. Kalau angka resmi jumlah
penerbit di Indonesia pada 1997 hanya 518 buah, saat ini mencapai 565 penerbit. Jumlah
ini meningkat dibanding tahun lalu yang berjumlah kurang dari 500. Angka itu belum
termasuk penerbit yang tidak terdaftar sebagai anggota Ikapi.
Hal ini disebabkan tidak perlu izin apa pun untuk mendirikan sebuah penerbit. Kini sudah
tentu sudah jauh di atas angka tersebut. Di Makassar pun kita patut bersyukur
menggeliatnya penerbit-penerbit buku cukup menggembirakan. Sekali lagi, apa yang
menghalangi kita untuk membaca?

Padahal, ayat pertama Alquran yang turun kepada Nabi Muhammad SAW adalah perintah
untuk membaca (iqra) baik membaca ayat-ayat tersurat dalam Alquran dan sunah nabi
(hadits) maupun ayat-ayat tersirat di alam semesta. Padahal membaca menjadi sarana
awal seseorang mengenal kenyataan hidup. Membaca merupakan suatu hal yang sangat
urgen dalam menumbuhkan setiap pribadi manusia. Karena hakikat membaca adalah
perubahan mental. Jika tidak ada perubahan baik secara mental, sikap ataupun perilaku
maka seseorang belumlah dikatakan membaca. Ya, membaca merupakan saran
pentransformasian diri yang diharapkan dapat menular ke masyarakat serta bangsa dan
negara dalam skala abesar.

Di bulan Mei ini, pada Hari Buku Nasional 17 Mei hari ini, semua pihak diajak bukan hanya
mereformasi tatanan kehidupan, tetapi sekaligus menata kerangka berpikir yang baik, arif
dan bijak serta menjadi manusia Indonesia yang pembelajar, pembaca yang bertanggung
jawab dan jujur. Sebab, bulan Mei merupakan bulan yang teramat bersejarah bagi bangsa
Indonesia.

Hari Pendidikan Nasional yang dinodai oleh peristiwa Makassar Mei Berdarah setahun lalu
(yang bagi mahasiswa merupakan peristiwa tak terlupakan), hari Kebangkitan Nasional
yang diwarnai lengsernya Soeharto yang menyisakan hutang bagi negara sebesar USD 120
miliar. Di Hari Buku Nasional kali ini akankah kita merusaknya dengan membiarkan mutu
SDM Indonesia terus terpuruk di peringkat ke-112 dunia di bawah Vietnam yang baru 20
tahun berbenah setelah hancur-hancuran dalam perang saudara? Sudah masanya membaca
kita jadikan bagian dari kesibukan harian kita serta menyelipkan buku di antara daftar
belanjaan kita. Selamat Hari Buku Nasional. *

Sumber : Ismail Amin, Pemerhati Masalah Sosial dan Kemasyarakatan.

Dari Pengurangan Gaji hingga Outsourcing Percetakan


(20 Feb 2009, 539 x , Komentar)

Catatan: Sukriansyah S Latief

Runtuhnya Kejayaan Media Cetak di Amerika Serikat (2-Selesai)

BERBAGAI cara dilakukan media cetak di Amerika untuk bisa tetap bertahan di masa sulit
ini.Ada media yang memberhentikan karyawannya, ada yang mengurangi gaji, ada juga
yang menutup sejumlah biro. Ada yang mengurangi halaman, malah ada yang mengecilkan
ukuran koran. Cukupkah?

MEDIA cetak di Amerika kini sedang diuji. Masa-masa sulit harus dihadapi, dan entah kapan
akan berakhir. Iklan sebagai “gizi” terbitnya media cetak, kini semakin berkurang,
sementara biaya cetak dan operasional meningkat. Media cetak pun makin kurus alias
menipis, atau bahkan mengecil.

Setiap minggu, ada saja media yang memberhentikan karyawannya, atau kalau tetap mau
bertahan, mesti siap menerima pengurangan gaji. Berbagai kiat dilakukan media cetak
untuk bisa bertahan terbit, mesti tidak menjamin akan tetap terbit.

Kondisi ini tentunya sangat ironis, bila kita melihat betapa jayanya media cetak Amerika,
beberapa tahun lampau.

Coba kita lihat saja apa yang dialami Koran St Louis Post-Dispatch, yang terbit di Saint
Louis, Texas. Koran yang ada sejak 1878 itu, dalam tiga bulan ini saja telah kehilangan 60
karyawan, baik yang dikeluarkan atau yang mengundurkan diri.

“Mereka itu ada yang wartawan dan staf,” kata Jeremy Kohler, 36, yang 15 tahun menjadi
wartawan, dan 10 tahun bekerja di St LP-D.
Saat ini, di koran yang beroplah 275.000 pada hari biasa dan 475.000 pada hari Minggu itu,
ada sekitar 400 karyawan, di antaranya 60 wartawan lapangan dan 20 redaktur.

Oplah yang ada saat ini jauh lebih kurang dibanding oplah tahun lalu, dan kini terbit kadang
hanya 28 atau 32 halaman pada hari Senin-Sabtu, walau pada hari Minggu bisa dua kali
lipat.

Menghadap krisis ini, lanjut Jeremy, pihaknya mengurangi jumlah kantor perwakilan di
daerah, mengurangi biaya langganan jaringan networking, dan juga biaya-biaya perjalanan.

“Ya, termasuk tentunya biaya investigative reporting. Jadinya, yang penting-penting dan
besar saja,” kata Jeremy yang telah sekitar lima tahun menjadi jurnalis investigator. Dia
juga tercatat sebagai anggota Investigative Reporters and Editors, Inc (IRE) dan Society of
Professional Journalists (SPJ).

Rekan Jeremy yang lain, Patrick Gauen, 58, menambahkan, pihaknya kini terus
mengembangkan media online St LP-D yang sudah hampir berusia 10 tahun. Saat ini, kata
Gauen, media online semakin mendapat tempat di masyarakat yang semakin modern.

“Penghasilan dari online sekitar 8 persen dari jumlah penghasilan Saint Louis,” jelas Gauen,
tanpa mau menyebut nilainya. Menurut wartawan yang telah bekerja 24 tahun di St LP-D
itu, dulunya mereka juga punya televisi, tapi telah dijual sekitar 15 atau 20 tahun lalu.

Sama dengan St LP-D, Harian The San Fransisco Chronicle (The Chronicle), di San
Fransisco, California, juga mengalami hal yang serupa. Menurut John Wildermuth, staf
writer yang juga wartawan senior di The Chronicle, sejumlah biro di daerah kini telah
ditutup, seperti di Sakramento.

“Jumlah karyawan juga dikurangi. Ada yang diberhentikan, ada juga yang dipensiun secara
dini,” kata Wildermuth. “Yang tinggal, ada yang dikurangi gajinya, tapi sebelumnya harus
dengan negosiasi melalui serikat pekerja,” tambah jurnalis yang telah berumur 57 tahun ini.

Untuk mengurangi biaya operasional, pihaknya juga melakukan seleksi terhadap kasus-
kasus yang akan diinvestigasi. “Dulu wartawan investigasi ada lima, sekarang tinggal dua.
Biayanya besar sekali,” katanya, lalu menambahkan, dulunya mereka juga mempunyai
televisi, namun telah dijual pada 2000.

Untuk mengurangi biaya cetak, kata Wildermuth, jumlah halaman juga dikurangi bila pada
hari itu iklan kurang. Pada hari Senin, Selasa, dan Sabtu, halaman dikurangi, tapi pada hari
Rabu, Kamis, Jumat Minggu, bisa sampai 42 ditambah beberapa halaman ukuran kecil.
Tapi untuk lebih efisien, pencetakan koran akan diberikan kepada perusahaan lain,
sementara mesin cetaknya akan dijual. “Karena ini kan mengurangi biaya, bila memakai
percetakan outsourcing,” kata Wildermuth.

Hal ini akan dilakukan sekitar 4 bulan lagi, dengan melakukan kerja sama percetakan dari
Kanada. Dulunya, mereka mempunyai empat mesin cetak, tapi kini tinggal satu. Itu pun
mau dijual.

Menurut Steve Proctor, Managing Editor The Chronicle, tirasnya kini turun hingga 20 persen,
dan kini sisa 325 ribu eksemplar. Kerugian tiap tahun sekitar 50 juta dolar setahun, yang
sudah berlangsung hampir empat tahun. Jumlah karyawan dikurangi.

Dulunya sekitar 500, kini tinggal 300-an. Di redaksi misalnya, dulu penyunting 50 orang,
kini sisa 40 orang. “Tidak ada orang yang kerja di media cetak di Amerika saat ini yang
merasa aman,” ungkap Proctor.

Turunnya jumlah tiras juga dialami The Texan Daily, koran kampus Univeristas Texas yang
beredar umum di kota Austin.

Menurut Leah Finnegan, Pemimpin Redaksi, yang didampingi Vikram, Redaktur Pelaksana,
kini tirasnya tinggal 15 ribu, yang dulunya 20 ribu eksemplar. Koran yang terbit Senin
sampai Jumat itu dibagi gratis ke mahasiswa dan umum di kota Austin, Texas.

Koran yang dibiayai dari iklan dan mahasiswa melalui pungutan dalam uang kuliah, itu
sudah ada sejak tahun 1900. Namun biaya operasional dan cetak yang semakin besar, kata
Leah, pihaknya akan menjual mesin cetaknya.

“Kami akan mencetak di luar saja, lebih murah. Kami mau outsourcing,” aku Leah, 21, yang
Mei nanti akan diwisuda dan berarti berakhir pula masa jabatan Pemrednya.

Hal sama terjadi pada Koran The Columbia Missourian, koran kampus Universitas Missouri
yang terbit di Missouri. Koran yang ada sejak 1908 dan terbit selama enam hari selama
seminggu itu rugi ratusan ribu dolar per bulan.

Menurut Profesor Fritz Cropp, koran kampus ini dijadikan tempat belajar bagi mahasiswa
sehingga tidak masalah bila rugi. Memang, Universitas Missouri adalah universitas
jurnalistik yang tertua di dunia. Soal turunnya tiras koran, pihaknya kini sedang meneliti
tentang kurangnya minat baca koran di kalangan generasi muda.

Tekanan ekonomi terhadap media juga dirasakan Ray Hartmann, CEO St Louis Magazine.
Menurutnya, masa depan media cetak tidak jelas, tergantung bagaimana media cetak bisa
menghadapi online dan televisi. “Orang kini lebih suka pasang iklan jual mobil atau rumah
di online,” kata Hartmann.

Namun begitu, dia tetap yakin media cetak tetap akan eksis sepanjang dia bisa mengikuti
perkembangan teknologi.

“Penurunan oplah itu tidak hanya di Amerika, tapi juga di negara lain, di Inggris misalnya,”
kata Hartmann. Namun begitu, bagi perusahaannya, media cetak majalah kota dan gaya
hidup tidaklah terlalu merasakan masa sulit saat ini.

Kiera Butler, asisten editor dari Mother Jones Magazine di San Fransisco, juga mengaku
tidak terlalu terpengaruh dengan krisis, karena penerbitan majalah dwibulanan itu dibiaya
oleh yayasan progres nasional.

Majalah dengan tiras 240 ribu itu banyak melakukan investigative reporting dan tidak
mencari untung, dengan memfokuskan diri menulis untuk kepentingan masyarakat. “Tapi
kita tetap harus efisien,” tambah Hartmann, yang hanya mempunyai enam wartawan, di
media yang punya 42 ribu langganan itu.

Sebenarnya, di televisi juga merasakan dampak resesi ekonomi ini, tapi tidak sebesar
media cetak. Hal ini diakui Kathy Hadlock, Special Projects Producer, di KVUE Austin TV,
Texas.

Menurutnya, karena krisis ekonomi ini pendapatan iklan ikut berkurang, termasuk iklan
mobil. Untuk itu, biaya operasional dikurangi, termasuk untuk biaya investigative
reporting,” akunya.

Ditambahkan, saat ini kalau ada karyawan yang keluar, maka pihaknya tidak akan
mengganti atau menambah karyawan lagi. “Sekarang mesti lebih hemat dan efisien. Harus
dikerjakan oleh karyawan yang ada saja,” kata Hadlock.

KVUE TV yang merupakan TV lokal itu mengudara selama 24 jam, dengan jumlah awak
redaksi sebanyak 47 orang. “Saya punya dua anak, dan saya minta keduanya jangan jadi
wartawan, masa depannya suram,” katanya bercanda.

Sekaratnya bisnis media cetak di Amerika yang juga berarti liputan-liputan investigasi
semakin berkurang, membuat seorang Sandler, pengusaha simpan pinjam, membentuk
semacam Lembaga Kantor Berita untuk Liputan-liputan Investigasi yang dimuat di Web
Online dan bisa diakses media cetak maupun elektronik tanpa harus meminta izin untuk
memuatnya.

Dana yang disiapkan untuk “Pro Publica” yang berada di New York itu sekitar 10 juta dolar
setahun, dengan mempekerjakan 28 wartawan dan redaktur serta tujuh staf administrasi.
Mereka merupakan orang pilihan dari 1000 orang yang melamar.

Menurut Mike, Humas Pro Publica, sejak krisis keuangan di Amerika, sekitar 20 ribu
lapangan pekerjaan dikurangi. Hal ini juga melanda media di Amerika, termasuk media
cetak.

“Akibatnya, semakin kurang berita-berita investigasi. Makanya kami hadir untuk


memberikan laporan-laporan investigasi, seperti kasus penyiksaan tahanan di
Guantanamo,” jelas Mike, yang lulusan Universitas Ohio ini.

Sebelum Pro Publica, sebelumnya telah ada Freedom Forum dan Center for Public Integrity,
yang telah lebih dulu mengembangkan kebebasan pers dan berita-berita investigative
reporting. Agaknya, masih ada harapan bagi jurnalis investigator di Amerika, meski media
cetak tak lagi memberi banyak harapan.***

Situs Resmi Pemerintah Kota Banjar - Jawa Barat


Rubrik : Seni dan BudayaGeliat Perbukuan India Merengkuh Dunia
Selasa, 24 Juli 07 - by : sandrifna

Banyak orang tahu, India, terutama Bollywood, adalah salah satu industri film raksasa dunia.
Saat ini, secara perlahan tapi pasti, mata penduduk dunia mulai berpaling juga pada industri
kebudayaan lainnya di India: buku. Di bawah bayang-bayang kebesaran Bollywood, industri
buku India kini memasuki jalur perdagangan tingkat dunia.

Tahun ini, Frankfurt Book Fair ke-58, ajang pameran buku terbesar di dunia, yang rencananya
akan digelar pada 4-8 Oktober 2006, akan menampilkan India sebagai tamu kehormatannya
(Guest of Honour Country). Penampilan India sebagai tamu kehormatan di Frankfurt nanti
penting untuk dicatat karena ia menjadi satu-satunya negeri yang diberikan kesempatan sebanyak
dua kali dalam rentang waktu 20 tahun. Kesempatan pertama dulu diberikan pada tahun 1986.
Hal ini tentunya sangat berkaitan dengan pengakuan dunia internasional terhadap industri
perbukuan India yang berkembang pesat selama satu dekade terakhir.

Berdasarkan catatan Nuzhat Hassan, Direktur National Book Trust of India, sebuah lembaga
bentukan negara yang bertugas mempromosikan buku dan kebiasaan membaca di kalangan
masyarakat India, industri perbukuan India bernilai lebih dari 30 miliar rupee India (setara
dengan 685 juta dollar AS) yang dihidupi oleh sekitar 15.000 penerbit. Para penerbit ini
memproduksi buku-buku berbahasa Inggris dan buku-buku yang memakai 24 bahasa lokal,
termasuk di antaranya bahasa Hindi, Malayalam, Tamil, Bengali, Telegu, Gujarati, Punjabi, dan
Assamese. Dengan jumlah penerbit sebesar itu, India dapat memproduksi sekitar 70.000 judul
per tahun dan 40 persen (sekitar 28.000 judul) di antaranya adalah buku-buku berbahasa Inggris.
Proporsi angka sebesar ini membuat India menjadi negeri penerbit buku berbahasa Inggris
terbesar ketiga di dunia setelah Amerika Serikat dan Inggris!

Perkembangan yang pesat juga dapat dilihat dari kenaikan pertumbuhan ekspor buku India. Pada
tahun 1991 nilai ekspor buku-buku dari India mencapai angka 330 juta rupee, tahun 2003
melesat naik hingga 3,6 miliar rupee, dan tahun 2005 naik lagi menjadi 4,29 miliar rupee dengan
sasaran 80 negara. Hal ini terjadi tidak lain karena buku-buku terbitan India mendapat pengakuan
internasional, baik karena kualitas isi, mutu produknya, serta harga yang relatif terjangkau.
Banyak buku terbitan India memenuhi persyaratan sebagai buku pendidikan di negeri-negeri
Afrika-Asia, maupun negeri-negeri South Asian Association for Regional Cooperation (SAARC)
yang terdiri atas Banglades, Butan, Nepal, Pakistan, Sri Lanka, Maldives, dan India. Demikian
pula buku-buku tentang filsafat, agama, yoga, kebudayaan, sejarah, sastra kontemporer, dan ilmu
pengetahuan alam mendapatkan pasar yang bagus di kalangan negeri-negeri Eropa barat, Inggris,
Amerika Serikat, Australia, Jepang, maupun Uni Emirat Arab.

Berbahasa Inggris

India memulai sejarah penerbitan buku-buku berbahasa Inggris sejak zaman kolonial.
Penguasaan terhadap bahasa Inggris, berkembangnya gerakan nasionalis, dan meningkatnya
tingkat melek huruf di masa kolonial, telah menambah permintaan terhadap buku-buku
berbahasa Inggris di negeri jajahan Inggris ini. Roda penerbitan buku berbahasa Inggris mulai
berputar ketika tiga penerbit Inggris masuk India, yaitu Longman Green dan Macmillan pada
abad ke-19 dan Oxford University Press pada tahun 1912. Dalam perjalanan waktu, beberapa
penerbit, seperti Macmillan, Kegan Paul, dan John Murray mendirikan perpustakaan kolonial
dan membuat daftar buku-buku berbahasa Inggris yang harus dikirim ke negeri yang kaya akan
kebudayaan lokal ini. Penerbitan pribumi pun mulai berkembang seiring dengan pertumbuhan
kesempatan dalam pendidikan dan peningkatan investasi dalam bidang penyelenggaraan
pendidikan dan sekolah-sekolah. Kemerdekaan politik turut mempercepat proses tersebut. Kini,
penerbitan milik pribumi maupun asing tumbuh berdampingan, berkompetisi, ataupun
berkolaborasi di pasar dalam negeri India maupun internasional.

Gambaran dunia penerbitan India saat ini diisi oleh para pemain besar dari luar India, seperti
Penguin India, Harper Collins India, Macmillan India, Picador, Random House India, ataupun
pemain lama seperti Oxford University Press, Orient Longman, maupun penerbit besar pribumi
seperti Rupa & Co, Vikas Publishing, Roli Books, serta UBS Publisher. Umumnya, para penerbit
ini memproduksi lebih dari 100 buku per tahun. Penguin India, misalnya, rata-rata menerbitkan
200 judul per tahun, sementara Rupa & Co yang telah berdiri sejak tahun 1936 mengeluarkan
250-260 judul baru setiap tahunnya.

Di samping penerbit besar, industri buku India diwarnai oleh menjamurnya penerbit-penerbit
independen skala kecil dan menengah. Penerbit tipe terakhir ini masing-masing memiliki profil
organisasi dengan spesialisasi buku yang sangat beragam.

Kali for Women misalnya, meskipun kini telah menjelma menjadi dua penerbit dengan
manajemen berbeda yaitu Zubaan Book dan Women Unlimited, merupakan penerbit buku-buku
feminis yang cukup berhasil di pasar. Didirikan oleh dua tokoh feminis terkemuka, Urvashi
Butalia dan Ritu Menon, penerbit ini bermula dari usaha kecil di sebuah garasi di New Delhi
pada tahun 1984. Zubaan Book yang memiliki kantor mungil di Hauz Khas Enclave, New Delhi,
itu kini rata-rata memproduksi 15-20 judul baru per tahun.

Penerbit lainnya seperti Seagull merupakan penerbit yang menggeluti buku-buku tentang teater,
musik, film, seni rupa, maupun buku-buku akademis dan referensi seperti filsafat ataupun bidang
kajian.

Sementara itu, penerbit Katha memfokuskan diri pada kerja-kerja penyelamatan karya-karya
klasik berbahasa lokal yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris secara baik dan
menerbitkannya dalam edisi yang berkualitas. Penerbit lainnya, seperti Tulika, bermain di pasar
buku anak-anak, sementara Permanent Black, English Edition, Ravi Dayal, India Ink, Minerva,
ataupun Srishti membidik pasar pembaca umum atau yang lebih dikenal dengan sebutan trade
books.

Semua penerbit ini, selain mendistribusikan buku-bukunya di dalam negeri India, juga melempar
produknya ke pasar dunia. Untuk distribusi di dalam negeri para penerbit memanfaatkan toko-
toko buku kecil yang tersebar di seluruh India maupun toko buku besar dengan masing-masing
memiliki sekitar 7 sampai 30 outlet di seluruh India seperti toko buku Oxford, Crossword,
maupun Landmark.

Bisnis "outsourcing"

Banyaknya penerbit asing yang beroperasi merupakan konsekuensi diberlakukannya peraturan


Pemerintah India yang membuka 75 persen sektor penerbitan buku (non-news sector) untuk
dimasuki oleh investasi asing secara langsung (Foreign Direct Investment/FDI) dan 100 persen
untuk sektor perdagangan buku. Fenomena terbaru adalah masuknya penerbit besar dari Inggris,
Cambridge University Press (CUP), yang melebarkan sayap bisnisnya ke India. CUP
mengakuisisi 51 persen saham Foundation Books, sebuah penerbit sekaligus distributor, di
antaranya mendistribusikan buku-buku terbitan Seagull yang berbasis di New Delhi dengan nilai
investasi sekitar 6 juta dollar AS. Menurut rencana, Cambridge University Press India akan
menjadi basis penerbitan buku-buku pendidikan yang bermutu maupun jurnal, tidak hanya untuk
pasar dalam negeri India tetapi juga untuk negeri-negeri Asia di sekitarnya. Selama ini memang
CUP memfokuskan kerjanya pada penerbitan buku-buku teks bagi level pascasarjana maupun
buku-buku hasil penelitian di berbagai bidang, sementara Foundation Books dikenal menerbitkan
jurnal bergengsi, Journal of India Foreign Affairs.

Dengan 20 juta penduduk berbahasa Inggris aktif, India merupakan pasar buku yang
menjanjikan. Potensi yang menjanjikan ini juga mendorong perkembangan bidang lain dari
industri penerbitan India. Bidang itu adalah bisnis off -shore publishing. Bisnis ini
memungkinkan perusahaan-perusahaan penerbitan besar di luar India memanfaatkan tenaga-
tenaga profesional India untuk mengelola bisnis mereka di India melalui kemajuan teknologi
informasi. Nilai bisnis ini di India diperkirakan mencapai 200 juta dollar AS tahun 2006 ini.
Sebuah perusahaan riset dan intelijen bisnis di India, ValueNotes Database Pvt Ltd, memprediksi
bahwa nilai bisnis ini di India akan menyentuh angka 1,1 miliar dollar AS tahun 2010. Alasan
utama perusahaan-perusahaan besar tersebut menyewa perusahaan outsourcing India adalah
ongkos produksi di India jauh lebih rendah dibanding negeri asal perusahaan tersebut. Mereka
dapat memangkas ongkos produksi sekitar 50-70 persen. Outsourcing di segmen penerbitan telah
dimulai lebih dari dua dekade lalu ketika perusahaan Macmillan membentuk unit offshoring di
India tahun 1977.

Menurut The Financial Express edisi 26 Desember 2005, penerbitan newsletter merupakan
kategori terbesar (53 persen) yang memanfaatkan bisnis outsourcing publishing ini. Sementara
majalah dan jurnal mengambil porsi 24 persen, tabloid 6 persen, dan E-publicationa yang
mengambil porsi 17 persen adalah kategori yang paling cepat berkembang dari seluruh tipe
bisnis ini.

Peran pemerintah

Lantas, apa peran Pemerintah India dalam mengembangkan industri ini? Paling tidak India
mempunyai National Book Trust (NBT), sebuah lembaga negara yang dibentuk tahun 1957 atas
usulan Perdana Menteri I India Jawaharlal Nehru, dan saat ini berada di bawah koordinasi
Departemen Pendidikan. Nehru melihat bahwa kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan
industri harus sejalan dengan kemajuan di bidang sosial dan kebudayaan. Indikator paling nyata
perkembangan bidang terakhir itu adalah tingginya minat baca masyarakat agar mampu
memahami dan menghargai berbagai kekayaan tradisi, seni, dan budaya di masyarakat India
sendiri. Nehru sendiri adalah seorang pencinta buku dan penulis yang hebat.

Saat ini, kegiatan lembaga ini difokuskan pada memproduksi dan mendorong produksi buku-
buku yang baik dan membuat agar buku-buku baik tersebut tersedia dengan harga terjangkau
masyarakat setempat. Buku-buku yang diterbitkan tersebut adalah karya-karya klasik berbahasa
India maupun terjemahannya ke dalam bahasa Inggris atau sebaliknya, karya klasik berbahasa
Inggris yang diterjemahkan ke bahasa lokal; juga buku-buku pengetahuan modern untuk
penyebaran secara meluas. Berdasarkan catatan NBT, jumlah buku yang diterbitkan lembaga
yang berbasis di New Delhi ini bertambah dari tahun ke tahun: tahun 1969-1970 hanya sekitar
106 judul, meningkat hingga 188 judul pada tahun 1979-1980, lalu bertambah delapan kali lipat
pada tahun 1989-1990 hingga mencapai 851 judul. Sejak itu, rata-rata terbitan NBT setiap
tahunnya mencapai 1.000-1.200 judul yang meliputi karya asli, terjemahan, maupun cetak ulang
atas buku-buku dalam 18 bahasa.

Selain itu, NBT juga mempromosikan buku dan minat baca masyarakat dengan
menyelenggarakan berbagai pameran buku di seluruh India maupun di tingkat regional dan
internasional. Sejauh ini, NBT telah mengorganisasikan 27 pameran buku nasional dan pameran
keliling di berbagai negara bagian yang menjangkau hingga level semi-urban. Sejak tahun 1970,
dalam kaitan mempromosikan buku-buku India ke dunia internasional, NBT telah berpartisipasi
dalam 300 pameran internasional.

Industri kebudayaan yang besar ini tentunya juga tidak mungkin berkembang tanpa dukungan
kebiasaan membaca masyarakat India. Dalam sebuah riset tentang berapa banyak waktu
dihabiskan untuk membaca dibandingkan menonton televisi, yang dilakukan oleh National
Opinion Poll World (NOP World), sebuah perusahaan riset pasar berbasis di Inggris, diketahui
bahwa India menempati urutan teratas dalam hal menggunakan waktu untuk membaca. Dari riset
terhadap 30.000 orang berusia 13 tahun ke atas yang bermukim di wilayah perkotaan di 30
negara pada tahun 2005, didapat hasil bahwa setiap orang India rata-rata menghabiskan waktu
10,7 jam per minggu untuk membaca. Angka ini lebih tinggi 4,2 jam dibandingkan dengan rata-
rata angka global. Sementara itu, orang Inggris hanya memakai 5,3 jam seminggu untuk
membaca. Sebaliknya, penduduk negeri bekas penjajah India ini menghabiskan 18 jam seminggu
untuk menonton program televisi. Sementara orang India menempati urutan ke empat terbawah.
Tampaknya, dunia Barat harus menyadari bahwa India telah menjelma menjadi pusat intelektual
melalui kegiatan kebudayaan yang penting ini. (BI Purwantari Litbang Kompas)

Sumber : http://www.kompas.com/kompas-cetak/0608/19/pustaka/2889923.htm
| RAGAM | SELEB, MUSIK & FILM | WOMAN ONLY | BLOG | KOMUNITAS | KARTU
UCAPAN | PLUS | MOBI
Berita Foto Selebriti Film Musik Televisi Hollywood Bollywood Asian Star Sinetron Oscar
Kick 'n Goal Olahraga Kriminal Politik Ekonomi Pernik Tekno
Selebriti Lifestyle Travel Humor Funny Picture Otomotif Kesehatan Seksologi Gadget Tips
Music StoreLirikNSP / RBTVideo KlipResensi MusikResensi FilmTrailer FilmSelebritiSelebriti
Hari IniNama & PeristiwaFoto Selebriti
FashionBody & MindKulinerSosialitaHang OutDVDTechHot EventEntertainmentForumGame
Dewi PerssikDude HarlinoDwi AndhikaEnno LerianIndra BruggmanJoe RichardLuna
MayaNafa UrbachNikita WillyOlla RamlanSiska JessikaTeuku ZackyWulan Guritno
KL Face KL Forum KL Upload KL Ourfriend
Bahasa Indonesia Bahasa Inggris
KL GameKL KuisKamusWallpaperMobil Marketplace
Game & Application Ringtone Picture Quiz Chatting Info & News Winner

SHOWBIZ | BERITA | RAGAM | SELEB, MUSIK & FILM | KOMUNITAS | KARTU


UCAPAN | KAMUS | WALLPAPER | MOBILE
Cari

(1/20) Samsung ES55, Kamera Kelas 'Budget' Yang Handal - Gadget


(2/20) 'BORDERTOWN', Mengungkap Kasus Pelik di Perbatasan Meksiko -
Resensi Film
(3/20) Agnes Monica: 'SACREDLY AGNEZIOUS', Album Narsis - Resensi Musik
(4/20) Lamborghini Murciélago LP670-4 SV - Otomotif
(5/20) MSI EX620, Notebook Entertainment - Gadget
(6/20) Sekilas Kamera Digital: Olympus mju 1060 - Gadget
(7/20) 'DISTRICT 9', Kamp Konsentrasi Para Alien - Resensi Film
(8/20) HP EliteBook 2530p, Dilengkapi Fitur QuickLook - Gadget
(9/20) 'SHORTS', Batu Aneh Yang Jatuh Dari Langit - Resensi Film
(10/20) Kurang Kerjaan - Humor
(11/20) Memahami Lebih Lanjut Tab Pada Firefox - Tips
(12/20) Lima Menit Persiapan Sebelum Melakukan Seks - Seksologi
(13/20) Canon IXUS 95 IS, Kemudahan Dan Portabilitas - Gadget
(14/20) 'SOLSTICE', Hari Bertemunya Dua Dunia - Resensi Film
(15/20) 'POST GRAD', Setelah Wisuda Lantas ke Mana? - Resensi Film
(16/20) 'THE CHANGCUTERS & MISTERI KALAJENGKING HITAM',
Eksplorasi Atau Repetisi? - Resensi Musik
(17/20) Permintaan Playboy Arab - Humor
(18/20) Flu Babi, Momok Baru Yang Paling Ditakuti Sekarang Ini - Kesehatan
(19/20) KTM RC8R, Raja Tikungan - Otomotif
(20/20) Toshiba Satellite L300, Bukan Yang Terbaik di Kelasnya - Gadget

<>
HOME » SHOWBIZ » Selebriti

Gagasan Buku Online Harry Potter Ditolak J.K. Rowling


Kamis, 16 Juni 2005 21:37

Ilustrasi
BERI KOMENTAR

CETAK BERITA INI

KIRIM KE TEMAN
KOMENTAR FANS JK ROWLING

Ikuti Kuis Berhadiah, Revenge Movies

Kapanlagi.com - Saat buku keenam HARRY POTTER AND THE HALF-BLOOD PRINCE karya
J.K. Rowling diluncurkan Juli mendatang, anak-anak dari mancanegara akan antre di toko buku
atau menunggu di rumah atau perkemahan musim panas untuk memperoleh buku ini melalui pos.

Tetapi barang siapa yang berusaha membaca buku ini online, sebaiknya jangan dicoba sama
sekali, setidaknya dari segi hukum, demikian dikutip dari AP (Associated Press).

Rowling tak mengizinkan keenam buku HARRY POTTER beredar dalam format elektronik,
bahkan tak beredar semasa buku online sangat digemari beberapa tahun lalu. Pengacara Neil
Blair dari agensi penulis Rowling, hanya mengatakan bahwa "ini bukan bagian yang ingin
diedarkan kami melalui sistim lisensi" dan Blair tak memberikan tanggapan langsung jika buku
online bajakan berdampak pada penjualan buku HARRY POTTER. "Kami memantau Internet dan
mengambil tindakan yang semestinya," papar Blair.

Pilihan Rowling mengikuti trend industri penerbitan. Para kawula muda biasanya lebih terbuka
pada teknologi baru, tetapi pasaran buku online bekerja beda. Buku best seller dewasa THE DA
VINCI CODE karya Dan Brown dan buku 1776 karya David McCullough dapat diperoleh
online tetapi tidak demikian dengan buku karya Rowling dan para penulis buku anak lainnya,
seperti Lemony Snicket, Cornelia Funke dan R.L. Stine.

"Bukannya kami tak mengujicoba pasaran ini," kata Direktur Pemasaran, Jason Campbell, dari
divisi buku online Harper Media dari penerbit HarperCollins.

"Kami telah mengedarkan karya The Princess Diaries karya R.L. Stine dan (Meg Cabot) dan
ternyata kurang sukses. Buku The Princess Diaries telah merupakan buku online bagi para
kawula muda tetapi tak sebanding penjualan buku online karya Michael Crichton," tambah
Campbell.

Ada berbagai alasan atas keberatan pada peredaran buku online, termasuk keinginan para penulis
menjaga privasi buku di atas kertas daripada pembajakan digital hingga persaingan dari televisi
dan media lainnya. Tetapi masalah terbesar adalah kekurangan sarana pembacaan yang popular,
dan ini merupakan hambatan yang telah menghambat usaha buku online dari awal.

"Saya tidak merasa pada waktu itu dan sekarang ini, bahwa ada perangkat keras yang cukup
menarik atau keran untuk menarik anak-anak," kata kepala divisi buku anak-anak Barbara
Marcus dari penerbit Scholastic, Inc. yang menerbitkan buku karya Rowling.
"Salah satu fantasi yang saya bayangkan adalah anak-anak yang berkeliling, tanpa tas ransel dan
seseorang akan mengatakan, 'Kau harus membaca Of Mice and Men dan The Red Badge of
Courage. Ini buku online.' Fantasi itu belum terwujud," jelas Marcus.

Pasaran buku online tetap berkembang, meskipun merupakan bagian kecil dari industri
penerbitan yang bernilai milyaran dollar US. Menurut organisasi Open eBook Forum, hasil
pendapatan bersih mencapai US$9.6 juta pada tahun 2004, yang adalah peningkatan US$ 4 juta
dari pendapatan bersih tahun 2002. Jumlah buku online telah meningkat dua kali lipat dalam
periode itu, hingga hampir mencapai 1,7 juta eksemplar buku, meski penerbitan buku online
telah menurun.

Tak tersedia data statistik terpisah untuk buku anak-anak online tetapi banyak yang yakin bahwa
buku HARRY POTTER akan sukses besar dalam format online, mengingat beberapa ribu
eksemplar sudah dianggap best seller.

"Saya yakin bahwa ini akan segera menjadi buku best seller dan akan merupakan sarana
pemasaran sangat baik agar orang membeli bukunya dalam format cetak," kata direktur eksekutif
Nicholas Bogaty dari organisasi Open eBook Forum.

Para pejabat industri penerbitan setuju bahwa buku online Harry Potter akan sangat
menguntungkan karena banyaknya penggemar; daya tarik pada para pembaca buku novel fantasi,
yang terjual relatif baik dalam bentuk elektronik; dan daya tarik bagi para pembaca dewasa,
suatu yang aset yang membantu meyakinkan penerbit Random House mengedarkan buku online
Eragon karya Christopher Paolini.

"Tak ada pasaran buku yang tak menarik bagi orang dewasa, karena mereka yang memiliki akses
pada sarana elektronik sekarang ini," kata wakil direktur Linda Leonard dari divisi Internet di
penerbit buku anak-anak Random House Children's Books. "Agak frustrasi. Anak-anak handal
dengan teknologi, tetapi kami tak bisa menjangkau mereka," tambahnya. (*/dar)

Perpustakaan di Ibu Kota, Sepi dan Tak Layak


JAKARTA - Nasib perpustakaan di Indonesia, masih tak terlalu menggembirakan. Di satu sisi, pemerintah
masih menempatkan fasilitas umum sebagai tempat masyarakat bisa menimba ilmu dengan biaya
rendah itu pada urutan kesekian, di bawah berbagai hal lain yang dinilai lebih bersentuhan dengan
kepentingan khalayak luas secara langsung, misalnya soal kenaikan BBM atau perlu tidaknya Monas
dipagari.
Di sisi lain, minat baca masyarakat – yang berhubungan langsung dengan tingkat kunjungan masyarakat
ke perpustakaan – harus diakui masih amat tipis. Barangkali hanya segelintir orang di Indonesia ini yang
melewatkan waktunya untuk membaca tanpa dipaksa oleh kewajiban.
Di Jakarta, kota yang bisa dibilang termaju di antara kota-kota lain di Indonesia, jumlah pengunjung
Perpustakaan Umum Pemerintah DKI Jakarta (Perpumda) pada tahun 2000 tercatat kurang dari 20.000
orang, sementara seluruh jumlah penduduk mencapai lebih dari 10 juta jiwa. Prayitno, Kepala Sekretariat
Perpustakaan Umum Pemerintah DKI Jakarta (Perpumda), saat ditemui SH, Kamis (16/5) siang,
mengakui hal itu.
Memang perpustakaan sebagai fasilitas dimana masyarakat bisa menimba pengetahuan dengan biaya
rendah masih menduduki urutan ke sekian.
Di satu sisi, pemerintah juga terkesan tidak memprioritaskan pengembangan perpustakaan, ditilik dari
jumlah anggaran yang disediakan relatif rendah setiap tahunnya.
Sedangkan masyarakat juga demikian. Kalau ada anak yang tidak masuk sekolah, misalnya, tentu ia
akan ditegur. Tetapi tidak ada anak yang ditegur karena tidak bersedia datang ke perpustakaan.
Memang, kebiasaan membaca tidak bisa dipaksakan, karena itu kami terus berusaha membangkitkan
minat masyarakat, bagaimana supaya mereka jadi suka membaca,” katanya.
Upaya pemda DKI itu, antara lain, diwujudkan melalui upaya pengadaan buku sesuai dengan kebutuhan
dan keinginan masyarakat, yang pada tahun 2001 memakan biaya kurang lebih Rp 477 juta.

Menurut Ayub, salah satu pustakawan Perpumda, setiap tahun Perpumda menyebar kuesioner ke
sekolah-sekolah, dari sekolah dasar hingga universitas-universitas, untuk mengetahui buku apa yang
paling diperlukan atau paling diinginkan oleh masyarakat. Hal itu biasanya dilakukan sebelum
pengadaan. ”Dengan demikian, kami bisa menyediakan buku sesuai dengan kebutuhan atau keinginan
masyarakat,” kata Ayub.
Dari hasil kuesioner tersebut, menurut Ayub, bisa diketahui bahwa buku yang paling diminati anak-anak
adalah buku jenis fiksi. Misalnya, dari data yang dihimpun oleh Perpustakaan Umum Jakarta Pusat pada
tahun 2000, jumlah buku non-fiksi yang dipinjam oleh anak hanya 18.134 eksemplar, sedangkan buku
jenis fiksi yang mereka pinjam mencapai 24.473 eksemplar. (Sebagai perbandingan, buku non-fiksi yang
dipinjam oleh peminjam remaja/dewasa adalah 131.889 eksemplar, sementara buku jenis fiksi yang
mereka pinjam hanya 15.994 eksemplar).
Sementara di Perpustakaan Umum Jakarta Barat, pada tahun 2000, jumlah buku non-fiksi yang dipinjam
oleh anak adalah 46.477, sementara buku fiksi yang mereka pinjam mencapai 51.699 eksemplar.
Sementara, peminjam remaja dan dewasa meminjam buku non-fiksi sebanyak 371.342 buku, sedangkan
buku fiksi yang mereka pinjam hanya 79.089 buah.
Menurut Ayub, data itu menunjukkan minat baca anak-anak sebenarnya tinggi. Hanya saja, sesuai
dengan perkembangan mereka, anak-anak memang lebih menyukai buku yang memiliki banyak ilustrasi
gambar, dan bercover menarik.
”Karena itu, sebenarnya para penerbit perlu menerbitkan buku pengetahuan yang tidak melulu berisi
tulisan, tetapi banyak gambarnya. Juga covernya yang bagus. Dengan demikian anak pasti tertarik
membaca. Selama ini, karena buku yang demikian biasanya adalah komik, ya mereka hanya membaca
itu. Tidak terangsang minat bacanya untuk membaca buku pengetahuan.
Padahal kalau buku pengetahuan dibuat menarik, saya yakin mereka akan senang membacanya.
Buktinya, buku tentang flora fauna yang banyak berisi foto, sangat disukai anak-anak,” kata Ayub.
Ia mengatakan, dengan membangkitkan kesukaan membaca berbagai buku – tidak hanya fiksi –sejak
usia anak-anak, lama-kelamaan hobi membaca akan terpupuk hingga si anak menjadi dewasa kelak.
Dengan demikian, lama-kelamaan keinginan ideal untuk mewujudkan masyarakat yang memiliki minat
baca tinggi akan terwujud. ”Karena itu, kita memang memerlukan adanya penulis dan penerbit buku yang
mampu memproduksi buku yang menarik minat baca anak-anak,” tambahnya.
Sementara, hasil wawancara SH dengan sejumlah pengunjung yang datang ke Perpumda siang itu,
menunjukkan bahwa bagi para pengunjung Perpumda yang kebanyakan adalah siswa SMU atau
mahasiswa, kunjungan ke perpustakaan lebih dikarenakan keharusan atau kebutuhan, bukan didorong
karena kegemaran.
”Saya datang ke sini karena mencari bahan skripsi. Dulu sebelum bikin skripsi saya paling ke sini kalau
ada tugas makalah saja,” kata Anne, salah seorang mahasiswa Untar yang ditemui SH, Kamis (16/5).

Komentar tak jauh berbeda juga dikemukakan oleh beberapa orang siswi SMU, yang mengatakan
mereka datang ke Perpumda siang itu untuk mencari bahan bagi tugas sekolah mereka. ”Lagi disuruh
bikin paper. Jadi kerja kelompok di sini,” kata Anita, salah satu dari siswa SMU tersebut. Tetapi pada saat
ditanya, ia mengaku tak pernah melewatkan waktu luangnya di perpustakaan. ”Nggak, biasanya kalau
libur atau ada waktu senggang, saya jalan sama temen,” katanya.

Barang Bekas
Kondisi tidak jauh berbeda juga tampak di Perpustakaan Umum Gelanggang Olahraga Remaja Jakarta
Timur di Jalan Oto Iskandar Dinata. Ibarat pepatah,
Bagai kerakap tumbuh di batu, hidup segan mati tak mau. Perpustakaan Umum yang diresmikan oleh Ali
Sadikin pada tahun 1971, Gubernur Jakarta yang menjabat pada masa itu.
Perpustakaan ini merupakan satu contoh riil tentang kondisi perpustakaan di Indonesia, khususnya di
Jakarta yang sudah tidak layak dan tidak pantas disebut sebagai tempat baca.
”Lurus terus lalu belok kiri. Tapi buku-bukunya sudah tua,” ujar Harno, staf keamanan GOR Otista
dengan mimik tak percaya sembari mengarahkan jari telunjuknya ke arah ruang perpustakan berada.
Memasuki ruangan perpustakaan, kesan pertama yang muncul bahwa ruangan seluas 3 X 7 meter
tersebut tidak terurus dan terbengkalai sebagaimana layaknya sebuah ruang perpustakaan. Buku-buku
yang tersusun di rak bercampur dengan barang-barang lain seperti botol, piring, dan beberapa barang
lainnya. Umumnya buku-buku tersebut sudah berwarna kuning dan diselimuti debu tipis, menunjukkan
usia buku sudah tua dan sepertinya jarang disentuh.
”Saya kira tadi kamu pengunjung. Perpustakaan ini tidak pantas lagi disebut perpustakaan. Mungkin
taman bacaan atau entah apalah namanya. Taman bacaan lebih lengkap bukunya dari perpustakaan ini.
Sekarang GOR ini lebih sering digunakan untuk kegiatan-kegiatan olahraga dan seninya saja ,” ujar
Susilo, pria berusia 55 tahun yang sudah bekerja selama kurang lebih 27 tahun di GOR tersebut dan kini
menjabat sebagai kepala perpustakaan.
Ia kemudian menuturkan kenangan-kenangan pada awal Gelanggang Olahraga Remaja itu diresmikan
Ali Sadikin dimana masyarakat khususnya remaja dan anak muda begitu antusias menyambutnya.
Keberadaan GOR tersebut menurut Susilo mampu menarik perhatian kaum muda untuk melakukan
aktivitas-aktivitas olahraga dan seni setiap harinya.
”Dulu untuk mencari anak sekolahan yang bolos gampang sekali, mereka larinya pasti ke sini. Munculnya
GOR ”bak gula ditengah semut” kata orang Medan. Kita sampai kewalahan melayani tingginya tingkat
kunjungan warga khususnya anak-anak muda,” katanya.

Hal ini ternyata membawa dampak yang positif bagi keberadaan perpustakaan, karena kendatipun hanya
dimulai dengan iseng-iseng membaca, jumlah pengunjung yang datang ke perpustakaan kian hari kian
meningkat, apalagi buku-buku yang terbit masih sangat relevan dengan situasi dan kondisi pada masa
itu.
Maka untuk memudahkan pengunjung dalam penelusuran buku yang dibutuhkan, disusunlah buku-buku
tersebut menurut jenisnya dalam rak-rak sederhana, serta pembuatan kartu anggota perpustakaan bagi
pengunjung yang hendak meminjam atau mambawa pulang buku. Untuk menambah jumlah buku-buku
perpustakaan, maka perpustakaan tersebut dibantu dengan kiriman buku-buku dari perpustakaan DKI
Jakarta.
Namun masa emas itu ternyata hanya berlangsung sekejap. Memasuki tahun 80-an mulai terasa
penurunan tingkat pengunjung, terlebih-lebih pengunjung perpustakaan. Puncaknya memasuki tahun 90-
an, sejalan dengan perkembangan teknologi yang begitu pesat yang memicu munculnya beraneka ragam
hiburan menarik, ternyata mampu mengalihkan perhatian remaja dan kaum muda untuk berpaling dari
kegiatan-kegiatan seni dan olahraga apalagi kegiatan membaca di perpustakaan.
”Saya sendiri tidak tahu persis apa penyebab remaja berpaling dari GOR. Tapi Mas ngerti sendirilah
bagaimana perkembangan jaman. Jangankan untuk membaca di perpustakaan, kegiatan seni dan
olahraga juga sempat mandeg. Selain itu buku-buku diperpustakaan kami dari tahun ketahun itu-itu saja.
Yah…begitulah akhirnya Mas, sampai sekarang belum ada perubahan,” ujarnya sembari manarik nafas
panjang diiringi senyum kecil yang entah apa maknanya.
Menilik rendahnya tingkat kunjungan dan minat baca, barangkali teori sederhana Ayub untuk memupuk
minat baca sejak usia anak-anak, memang perlu dilakukan. Bukan tidak mungkin, jika hal itu dilakukan,
sepuluh atau dua puluh tahun ke depan, kita akan menemui seorang remaja putri yang tengah membaca
tulisan Pramoedya Ananta Toer, atau Kahlil Gibran, atau siapa saja, dan pada saat ditanya apa yang
sedang ia lakukan, ia akan menjawab, ”Saya sedang memanfaatkan waktu luang.” (SH/ruth hesti
utami/rafael sebayang) Sinar Harapan, Jum'at, 17 Mei 2002

Keputusan Hadiah Sastra Rancage 2009


Kategori: Béwara » Dibaca: 573 kali » Dilebetkeun: 02-02-2009

Penyerahan Hadiah Sastera ―Rancagé‖ 2009 adalah yang ke-21 kalinya diberikan kepada para
sasterawan yang menulis dalam bahasa-bahasa ibu. Pertama kali pada tahun 1989, diberikan
hanya kepada sasterawan yang menulis dalam bahasa Sunda. Tetapi sejak 1994 para sasterawan
yang menulis dalam bahasa Jawa juga mendapat hadiah sastera ―Rancagé‖. Dan sejak 1997, para
sasterawan yang menulis dalam bahasa Bali juga mendapat hadiah ―Rancagé‖.Pada tahun
pertama, hadiah ―Rancagé‖ hanya diberikan kepada sasterawan yang menerbitkan buku
unggulan. Tetapi sejak tahun kedua, hadiah untuk karya itu didampingi oléh hadiah untuk jasa,
yang diberikan kepada orang atau lembaga yang dianggap besar jasanya dalam memelihara serta
mengembangkan bahasa ibunya. Dengan demikian setiap tahun Yayasan Kebudayaan ―Rancagé‖
mengeluarkan 6 hadiah untuk tiga bahasa ibu, yaitu Bali, Jawa dan Sunda. Di samping itu
kadang-kadang memberikan Hadiah ―Samsudi‖ buat pengarang yang menerbitkan buku bacaan
anak-anak unggulan dalam bahasa Sunda.

Alhamdulillah dengan ridho Allah dan uluran tangan para dermawan yang menyadari pentingnya
bahasa ibu dan sasteranya dalam kehidupan bangsa, tahun ini juga, Hadiah Sastera ―Rancagé‖
akan disampaikan kepada para sasterawan yang menulis dalam bahasa ibu.

Tahun yang lalu, Hadiah Sastera ―Rancagé‖ juga diberikan kepada sasterawan yang menerbitkan
buku dalam bahasa Lampung. Ternyata seperti yang kami kuatirkan, usaha penerbitan dalam
bahasa Lampung itu tidak dapat dilaksanakan secara kontinyu. Dalam tahun 2008, tak ada buku
yang terbit dalam bahasa Lampung, sehingga untuk Hadiah Sastera ―Rancagé‖ 2009, hadiah
untuk bahasa Lampung tidak dapat diberikan.

Kekuatiran seperti itu sebenarnya wajar, karena penerbitan buku bahasa ibu dalam bahasa Sunda,
Jawa dan Bali juga - walaupun ada saja yang terbit setiap tahun — bukanlah usaha yang
menjanjikan haridepan secara bisnis. Karena itu ketika beberapa waktu yang lalu kami diberitahu
bahwa ada buku yang terbit dalam bahasa Madura, kami tidak segera menyambutnya dengan
menyediakan Hadiah Sastera ―Rancagé‖ buat pengarang dalam bahasa Madura. Kami kuatir
terjadi lagi apa yang sudah kejadian dengan bahasa Lampung. Di samping itu kami juga harus
sadar bahwa kian bertambahnya Hadiah ―Rancagé‖ yang diberikan, maka beban yang kami
tanggung juga kian berat. Sampai sekarang seperti pernah kami katakan, kami masih ―koréh-
koréh cok‖ (mengais-ngais dulu mencari rémah sebelum mencotok). Alhamdulillah sampai
sekarang setiap tahun ada saja dermawan yang sadar akan pentingnya memelihara bahasa ibu
yang sebenarnya merupakan kekayaan budaya bangsa kita, sehingga Hadiah Sastera ―Rancagé‖
masih dapat diberikan.

Setelah selama 20 tahun pemberian Hadiah ―Rancagé‖ selalu mendapat tempat dalam pérs,
namun tidak pernah mendapat perhatian pemerintah baik pusat maupun daérah, pada akhir tahun
2008, Yayasan Kebudayaan ―Rancagé‖ bersama-sama dengan beberapa seniman dan organisasi
kesenian lain, mendapat ―panyecep‖ dari Gubernur Jawa Barat (Rp. 10 juta dipotong pajak 15%).

Hadiah Sastera “Rancagé” 2009 untuk sastera Sunda

Menjelang akhir tahun 2007, tiba-tiba saja kelihatan kesibukan yang tidak biasa dalam
penerbitan buku basa Sunda. Penerbit dan bukan penerbit yang selamanya tidak menaruh
perhatian terhadap penerbitan buku dalam bahasa Sunda, tiba-tiba saja mencari naskah Sunda
untuk diterbitkannya. Para pengarang dikejar agar segera menyiapkan naskah. Dalam waktu
singkat terbit buku-buku bacaan, terutama untuk anak-anak Tetapi penerbitan itu luar biasa,
karena kebanyakan tidak dicétak dalam jumlah yang wajar untuk disebarkan ke pasar melalui
toko-toko buku. Kebanyakan yang meréka terbitkan hanyalah sejumlah éksemplar sekedar untuk
dijadikan contoh buat proyék pembelian buku bahasa ibu yang konon jumlahnya puluhan milyar.
Kalau bukunya terpilih untuk dipesan oléh proyék barulah akan dicétak sebanyak yang
diperlukan. Jadi tujuannya bukanlah menyediakan buku bacaan dalam bahasa Sunda untuk
masyarakat, melainkan untuk mendapat bagian dari dana proyék yang disediakan oléh
pemerintah. Ternyata proyék itu konon dibatalkan, maka penerbitan buku dalam bahasa ibu
Sunda pun kembali sepi.

Kalau dalam tahun 2007 terbit 32 judul buku bahasa Sunda (di luar cétak ulang), sehingga ada 13
judul yang dipertimbangkan untuk memperoléh Hadiah Sastera ―Rancagé‖ 2008, maka dalam
tahun 2008 hanya terbit 10 judul buku baru. Tapi tidak semua masuk jenis buku yang
dipertimbangkan untuk dinilai untuk mendapat Hadiah ―Rancagé‖ seperti The People’s Religion
(penerbitan dwibahasa yaitu dalam bahasa Sunda dan Inggris yang merupakan transkripsi dari
da‘wah-da‘wah Ajengan A. F. Ghazali almarhum, disusun ku Julian Mille). Begitu juga Luang
keur nu Ngarang yang disusun oléh Hawé Setiawan dan Dadan Sutisna bagi meréka yang
berminat untuk belajar mengarang. Di samping itu ada cétak ulang, ialah Nu kaul Lagu Kaléon
karya RAF, Bayan Budiman karya M.K. Mangoendikaria, Janté Arkidam karya Ajip Rosidi dan
Album Carpon Purnama di Karanghawu karya Aan Merdéka Permana. Ada pula empat buku
karya Ajip Rosidi, tiga di antaranya berupa cerita carangan wayang Cirebon (Dorna Ngabasmi
Komunisme, Si Cépot Hayangeun Kawin dan Bagal Buntung hayangeun Walagri) dan sebuah
lagi berupa kumpulan lelucon (Seuri Leutik). Seperti telah berkali-kali dijelaskan buku cétak
ulang dan karangan Ajip Rosidi tidak termasuk yang dinilai untuk memperoléh Hadiah
―Rancagé‖.

Maka buku basa Sunda yang tahun ini dinilai untuk memperoléh Hadiah ―Rancagé‖ 2009 hanya
empat judul ialah Layung kumpulan cerita péndék Aam Amilia, Rusiah Kaopatwelas kumpulan
cerita péndek Darpan, Élégi Patani kumpulan sajak Arie Suhanda dan Serat Panineungan
kumpulan sajak Étti RS.

Dalam Layung dimuat 10 cerita péndék Aam yang ditulis dalam tahun 2004-2008. Secara umum
kesepuluh cerita itu tidak mempunyai plastisitas bahasa dan spontanitas seperti dalam cerita-
cerita yang ditulis Aam pada awal kariérnya sebagai pengarang. Akhir cerita yang dimaksudkan
menjadi ―surprise‖ tidak lagi mengejutkan karena sudah dapat ditebak dari awal.

Rusiah Kaopatwelas memuat lima belas cerita péndék Darpan yang dibagi menjadi dua
kelompok. Yang pertama ―Si Iblis‖ memuat 8 cerita péndek, sedangkan kelompok kedua
―Rusiah Kaopatwelas‖ memuat 7 cerita péndék. Semua cerita yang dimuat dalam ―Si Iblis‖
berlatarbelakang kehidupan orang-orang di pedésaan bagian Utara Jawa barat, sekitar Karawang,
seperti cerita-cerita yang dimuat dalam kumpulan cerita péndéknya yang pertama Nu Harayang
Dihargaan yang mendapat Hadiah Sastera ―Rancagé‖ 1999. Sedang cerita-cerita yang dimuat
dalam kelompok ―Rusiah nu Kaopatwelas‖ mengisahkan orang-orang yang hidup di kota,
terutama di Bandung.

Meski tidak sekuat umumnya cerita yang dimuat dalam Nu Harayang Dihargaan, cerita-cerita
Darpan yang dimuat dalam ―Si Iblis‖ terasa lebih hidup dan memuat gambaran yang terjadi di
tempat-tempat gersang seperti di pinggir laut Jawa. Sedang cerita yang dmuat dalam bagian ―Nu
Kaopatwelas‖ banyak yang merupakan hasil imajinasi yang sering terasa tidak berakar pada
bumi nyata seperti ―Budak nu teu balik‖ dan ―Kota‖. Yang terasa mengganggu ialah banyaknya
penggunaan kata ―mun‖ dan ―lamun‖ (= kalau) yang seharusnya ―yén‖ (= bahwa). Hal itu
niscaya pengaruh dari bahasa Indonésia yang belakangan banyak mempergunakan kata ―kalau‖,
―apabila‖ atau ―bila‖ yang seharusnya ―bahwa‖. Hal itu terjadi karena banyak orang Jawa yang
dalam berbahasa Indonésia tidak tahu bahwa ―yén‖ dalam bahasa Jawa, mempunyai arti dua
dalam bahasa Indonésia, ialah ―kalau‖ dan bahwa‖. Ketidaktahuan itu kemudian dianggap
sebagai gaya baru dalam berbahasa sehingga banyak diikuti juga oléh bukan orang Jawa dan para
penulis dalam bahasa Sunda ikut-ikutan latah.

Élégi Patani adalah kumpulan sajak pertama karya Arie Suhanda yang sebelumnya sering
mempergunakan nama Érry Wisnu Asuhan kalau mengumumkan sajak atau dangdingnya dalam
majalah Manglé, Langensari dll. Namun yang dimuat dalam Élégi Patani ini semuanya sajak
baru yang ditulis tahun 2003 - 2008. Témanya jelas banyak mengeritik keadaan negara dan
tingkah laku manusianya, dikemukakan dengan bahasa yang terlalu prosais. Terasa ketika
menulis sajaknya, penyair tidak terlalu memanfaatkan bahasa puisi seperti métafora, sehingga
tidak ada yang mampu mengajuk hati sampai ke dalam.

Serat Panineungan adalah kumpulan sajak Étti RS yang kelima setelah Jamparing (1984),
Gondéwa (1987), Maung Bayangan (1994) dan Lagu Hujan Silantang (2003). Kekuatan Étti
adalah dalam pemakaian métafora yang disertai dengan purwakanti yang seakan dipungutnya
dengan mudah dan wajar. Meskipun sajak-sajak yang dimuat dalam Serat Panineungan ini tidak
memperlihatkan bobot yang lebih mendalam daripada sajak-sajaknya yang terdahulu terutama
yang dimuat dalam Maung Bayangan, malah banyak yang merupakan cetusan asmara remaja,
namun di antara sajak-sajak catatan perjalanan yang dibuatnya di berbagai tempat yang dia
kunjungi, masih cukup banyak sajak dan dangdingnya yang berhasil menjadi puisi yang
sederhana namun bulat, seperti ―Titis Tulis‖, ―Hiji Sagara‖, ―Duriat Natrat ka Tanah Karamat‖,
―Leuwi‖, ―Surat keur Lemah Cai‖, ―Cipularang II‖, ―Angin‖, ―Nyukcruk Parung …‖ dan
―‖Diajar Ludeung‖.

Karena itu yang terpilih sebagai karya yang mendapat Hadah Sastera ―Rancagé‖ 2009 untuk
karya dalam bahasa Sunda adalah

Serat Panineungan
Kumpulan sajak Étti RS.
(terbitan Kiblat Buku Utama, Bandung)

Dengan demikian Étti RS yang untuk kedua kalinya menerima Hadiah Sastera ―Rancagé‖ (yang
pertama tahun 1995 untuk kumpulan sajaknya Maung Bayangan), berhak menerima Hadiah
Sastera ―Rancagé‖ 2009 berupa piagam dan uang (Rp 5 juta).

Sedang yang terpilih untuk mendapat Hadiah Sastera ―Rancagé‖ 2009 untuk jasa karena besar
jasanya dalam memelihara dan mengembangkan bahasa Sunda terutama melalui lagu-lagu
karawitan ciptaannya, adalah
Nano S.
(lahir di Garut, 4 April 1944)

Nano S. tamatan Konsérvatori Karawitan Sunda dan Akadémi Senitari (ASTI), mengajar di
SMKI Bandung, aktif dalam bidang karawitan Sunda tradisional, baik sebagai pencipta lagu,
pelaksana pertunjukan, maupun pimpinan grup, dll. Dia telah mencipta ratusan lagu karawitan,
banyak di antaranya kemudian dijadikan lagu pop Sunda yang sangat populér karena digemari
bukan hanya oléh orang Sunda seperti ―Kalangkang‖. Tapi dia pun menciptakan karya-karya
daria seperti ―Sang Kuriang‖ dan ―Warna‖. Satu-satunya seniman Sunda (Indonésia?) yang
masuk dalam ―World Music Library‖ yang diproduksi oléh Seven Seas dengan pruduser
Hoshikawa Kyoji, album CD-nya berjudul ―Nano S., the Great Master of Sunda Music‖ (1994).
Lagu-lagu ciptaannya juga diproduksi di Amérika Serikat bersama dengan pencipta lagu dari
negeri-negeri lain seperti India, Nubia, Mongol, Jepang dll. (1995). Kepopuléran lagu-lagunya
yang liriknya ditulis dalam bahasa Sunda, ikut memelihara dan menyebarkan bahasa Sunda di
kalangan generasi muda. Nano sendiri banyak menulis sajak, cerita péndék dan artikel dalam
bahasa Sunda. Cerita-cerita péndéknya diterbitkan dengan judul Nu Baralik Manggung (2003).
Dalam bidang keahliannya Nano menulis Haleuang Tandang (1976) dan Pengetahuan
Karawitan Sunda (1983). Nano sering diundang ke luar negeri baik untuk memimpin
pertunjukan kesenian Sunda maupun sebagai artist in residence. Nano mendapat Anugerah
Akadémi Jakarta (2004).

Kepada Nano S. akan dihaturkan Hadiah Sastera ―Rancagé‖ 2009 untuk bidang jasa dalam
sastera Sunda berupa piagam dan uang (Rp. 5 juta).

Hadiah Sastera “Rancagé” 2009 untuk sastera Jawa

Dibandingkan dengan tahun 2007, dalam tahun 2008 jauh lebih sedikit karya sastera Jawa yang
terbit, yaitu hanya 4 judul, yaitu Lintang Biru: Antologi Geguritan Béngkél Sastra Jawa 2008;
Dongané Maling, karya Yohanes Siyamta, kumpulan karya berupa guritan, cerkak, obrolan dan
pengalaman penulisnya; Singkar, roman karya Siti Aminah dan Trah roman karya Atas S.
Danusubroto.

Lintang Biru memuat guritan karya 24 orang siswa SMP Kabupatén Bantul sebagai hasil
Béngkél Sastra Jawa yang diselenggarakan oléh Balai Bahasa Yogyakarta. Dongané Maling
campuran karya fiksi dengan obrolan dan catatan pengalaman, sukar dianggap sebagai karya
sastera yang utuh. Karena itu Lintang Biru dan Dongané Maling disisihkan dari penilaian untuk
mendapat Hadiah Sastera ―Rancagé‖ 2009.

Maka yang dinilai untuk mendapat Hadiah Sastera ―Rancagé‖ 2009 adalah dua buah roman
Singkar dan Trah. Singkar (nama désa tapi tidak diberitahukan secara langsung) ditulis dengan
bahasa anak muda, seakan ditujukan hanya untuk bacaan anak muda. Roman yang panjangnya
hanya 134 halaman itu dibagi menjadi 24 bab dan hampir dalam setiap bab muncul tokoh-tokoh
antagonis, kebanyakan dalam adegan flash back, sehingga terjadi digrési dan menjadi tidak logis.
Sebenarnya cukup menarik cerita tentang gadis yang dipaksa ibunya untuk menikah dengan
jejaka yang tidak dicintainya, yang ternyata sama dengan pengalaman ibunya sendiri ketika gadis
yang juga dipaksa oléh ibunya untuk menikah dengan lelaki yang tidak dicintainya. Tetapi
penyelesaian akhir cerita dengan peristiwa gempa di Bantul (Singkar ternyata berada di wilayah
Bantul), terasa terlalu mudah dan terlalu mendadak.

Trah mengisahkan seorang gadis cantik bernama Tilarsih yang tertipu oléh Atun, gérmo yang
membawanya ke Jakarta dengan janji akan memperkenalkannya dengan bos rekaman sehingga
Tilarsih akan menjadi penyanyi terkenal. Ternyata Atun membawanya ke bordil, sehingga
Tilarsih terjerumus menjadi perempuan penghibur. Tilarsih akhirnya ditemukan oléh kekasihnya,
Bagus, yang berasal dari désanya juga yang sengaja mencarinya di Jakarta. Setelah bertemu
Tilarsih berjanji akan kembali ke jalan yang benar dan Bagus akan menikahinya. Namun ketika
Tilarsih kembali ke désanya, sudah berédar cerita tentang pekerjaannya yang hina di Jakarta,
sehingga menimbulkan berbagai kesulitan dan godaan baginya. Namun dengan teguh hati
Tilarsih menunggu kekasihnya kembali dan berhasil mengembalikan wibawanya sebagai wanita
baik-baik. Bagus ternyata keturunan keluarga yang pernah menjatuhkan kehidupan orang tua
Tilarsih. Tilarsih ternyata keturunan priyayi (éyangnya demang), yang jatuh melarat karena ulah
jahat kakék Bagus dengan menjerumuskannya menjadi penjudi sehingga kekayaannya amblas
dijual kepada kakék Bagus.

Trah mempunyai kekuatan pada aspék kultur karena tidak saja menggambarkan kelas
masyarakat bangsawan dengan rapi, tetapi juga menggambarkan watak nrima, hormat kepada
orang tua, sabar dan andhap asor yang ditekankan sebagai sikap luhur. Tatakrama
berkomunikasi antar manusia terpelihara dengan baik.

Dengan demikian yang terpilih sebagai karya sastera Jawa terbitan tahun 2008 yang menerima
Hadiah Sastera ―Rancagé‖ 2009 untuk karya, adalah

Trah
karya Atas S. Danusubroto
(terbitan Penerbit Narasi, Yogyakarta)

Maka Atas S. Danusubroto sebagai pengarangnya berhak untuk menerima Hadiah Sastera
―Rancagé‖ 2009, berupa piagam dan uang (Rp. 5 juta).

Sedang yang terpilih untuk mendapat Hadiah Sastera ―Rancagé‖ 2009 untuk jasa karena besar
jasanya dalam memelihara dan mengembangkan bahasa Jawa adalah

Sunarko Budiman
(lahir di Tulungagung, 21 Januari 1960)

Sebagai tamatan SPG dia menjadi guru SD dan sebagai guru SDN dia sempat memperoléh
penghargaan Guru Teladan (1989) dan menjadi Guru Berpréstasi (2006) Kabupatén
Tulungagung. Sementara itu dia pun melanjutkan pelajaran sehingga pada akhirnya tamat S-2
Magister Kebijakan Pendidikan di Universitas Muhammadiyah, Malang. Dia menaruh perhatian
besar terhadap bahasa dan sastera Jawa, bukan saja sebagai penulis melainkan sebagai pengelola
Sanggar Sastra Jawa Triwida yang didirikan oléh Tamsir AS (almarhum). Sanggar ini berjasa
mendorong kelahiran para penulis sastra Jawa di daérah Tulungagung, Trenggalék dan Blitar.
Sejak 1998 dia dipercaya sebagai Ketua Sanggar Sastra Triwida. Dia pernah menjadi Pemimpin
Redaksi majalah Prasasti (1993-1997), majalah Supranatarulal Pamor Jagad Gaib (2002-2005)
dan majalah Gayatri (sejak 2007). Dia juga menjadi wartawan majalah Panyebar Semangat,
Jaya Baya dan Damar Jati. Karyanya berupa artikel, réportasi, cerkak dan guritan. Dia banyak
menggunakan nama samaran, al. Narko Rasodrun, Datiek Yuminarko, Ki Narkosabda, Narkoba,
dll. Dia juga menyusun buku pelajaran bahasa Jawa dan menjabat sebagai Ketua Litbang
Kelompok Penulis Buku Pendidikan Dasar Jawa Timur (sejak 1991). Dia juga aktif dalam
berbagai séminar dan kongrés bahasa dan sastera Jawa.

Kepada Sunarko Budiman akan dihaturkan Hadiah Sastera ―Rancagé‖ 2009 untuk bidang jasa
dalam sastera Jawa berupa piagam dan uang (Rp. 5 juta).

Hadiah Sastera “Rancagé” 2009 untuk sastera Bali

Perkembangan sastera Bali tahun 2008 sangat menggembirakan, baik secara kualitas maupun
secara kuantitas. Buku yang terbit tahun 2008, ada sembilan judul (tahun 2007 hanya lima judul),
yaitu 3 judul kumpulan puisi, 2 judul roman, 2 judul drama dan 2 judul kumpulan cerita péndék
dengan téma beragam dan penggunaan bahasa yang kian kréatif.

Ada tiga pengarang wanita yang menerbitkan buku dalam bahasa Bali modéren, hal yang tak
pernah ada sebelumnya. Sejak kemunculan sastera Bali modéren tahun 1910, belum pernah ada
pengarang wanita yang menerbitkan buku. Ketiga pengarang itu adalah Anak Agung Sagung
Mas Ruscitadéwi (l. 1965) dengan kumpulan cerita péndék Luh Jalir (Perempuan Nakal), I Gusti
Ayu Putu Mahindu Déwi Purbarini (l. 1977) dengan kumpulan puisi Taji (Taji) dan Ni Kadék
Widiasih (l. 1984) dengan kumpulan puisi Gurit Pangawit (Syair Pemula). Ketiganya
berpendidikan universitas dan menuls juga dalam bahasa Indonésia.

Karya meréka memberikan pérspéktif baru dalam perkembangan téma sastera Bali modéren.
Masalah kesetaraan génder dan pengalaman hidup manusia dari pérspéktif perempuan mulai
muncul. Sayangnya kemampuan ketiganya dalam menggarap téma dan mengembangkan éstétika
belum mantap.

Buku-buku lain adalah karya I Nyoman Manda (dua drama Nembang Girang di Bukit Gersang
dan Saput Poléng, dua buah novelét yaitu Ngabih Kasih ring Pesisi Lebih dan Sawang-sawang
Gamang), kumpulan cerita péndék Merta Matemahan Wisia karya Madé Suarsa, dan kumpulan
puisi Somah karya Nyoman Tusthi Éddy.

Karya-karya Nyoman Manda yang pernah mendapat Hadiah ―Rancage‖ 3 kali (satu untuk jasa),
selalu memperlihatkan gaya bertutur yang lancar dan mudah dimengerti. Kisah-kisahnya selalu
dikemas dengan percintaan yang digunakannya untuk menyampaikan pesan-pesan moral. Drama
Saput Poléng (Sarung Poléng) mengisahkan perang penaklukan kerajaan Bali oléh pasukan
Gajah Mada dari Majapahit yang diisi dengan kisah cinta Gajah Mada dengan seorang puteri
Bali. Novelét Ngabih Kasih ring Pesisi Lebih (Kasih Bersemi di Pantai Lebih) berkisah tentang
percintaan remaja siswa SMA diselingi dengan pesan-pesan adat, tradisi dan agama agar menjadi
bekal untuk menghadapi masa depan. Karya-karya Nyoman Manda sangat tepat untuk
menanamkan kegemaran anak-anak muda Bali terhadap sastera dalam bahasa ibunya, karena
bahasanya mudah dicerna, alur ceritanya tidak begitu kompléks, sehingga anak-anak remaja
tidak menghadapi kesulitan membaca dan menikmatinya.

Dalam kumpulan cerita péndék Merta Matemahan Wisia (Kabaikan Mengakibatkan Kematian),
Madé Suarsa menggarap berbagai téma seperti masalah ketimpangan sosial (kasta), kemiskinan,
matérialisme, dan hukum karma. Kemampuan membangun gaya bahasa yang penuh irama,
merupakan salah satu ciri utama cerita karya Madé Suarsa. Hanya saja konséntrasi yang begitu
besar yang diberikan terhadap gaya bahasa, perulangan dan permainan kata yang agak
berlebihan, membuat penggarapan struktur cerita terabaikan.

Kumpulan puisi Somah (Suami/Isteri) karya Nyoman Tusthi Éddy tampil memikat karena
keterpaduan yang kuat antara téma, pengucapan dan gaya bahasa. Téma yang diangkat sangat
beragam, mulai dari hubungan suami isteri, toko serba ada, korupsi, uang, jam, kulinér, taksi dan
pesisir Bali dalam kontéks perkembangan pariwisata. Hampir separo berupa sajak péndék, hanya
terdiri dari satu bait, mengambil bentuk syair dan pantun. Dengan puisi péndék itu Nyoman
Tusthi Éddy mampu membentangkan gagasan yang cukup luas, memikat dan menyentuh serta
utuh.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka yang akan diberi Hadiah Sastera ―Rancagé‖ 2009
untuk karya dalam bahasa Bali adalah

Somah
Kumpulan sajak I Nyoman Tusthi Éddy
(terbitan Sanggar Buratwangi)

Maka I Nyoman Tusthi Éddy sebagai penyairnya berhak untuk menerima Hadiah Sastera
―Rancagé‖ 2009, berupa piagam dan uang (Rp. 5 juta).

Sedangkan yang terpilih untuk diberi Hadiah Sastera ―Rancagé‖ 2009 untuk jasa dalam bahasa
dan sastera Bali adalah

I Nengah Tinggen
(lahir di Buléléng tahun 1931)

Pada tahun 1961, Nengah Tingen terpilih sebagai sékertaris Panitia Penyelenggara Buku-buku
Pelajaran bahasa Bali bersama 11 orang utusan daérah dari seluruh Bali. Tahun 1971, ia
menyusun buku pedoman pemakaian aksara Bali. Sejak itu dia menulis berbagai buku tentang
Bali, sebagian besar dalam bahasa Bali. Dia telah menerbitkan lebih dari 40 judul buku termasuk
tentang éjaan bahasa Bali, buku kidung dan gaguritan dan buku-buku cerita. Karyanya banyak
digunakan sebagai penunjang pelajaran bahasa dan sastera Bali di sekolah-sekolah. Di antaranya
berjudul Satua-satua Bali (Cerita-cerita Bali) yang memuat dongéng-dongéng yang dikenal
dalam masyarakat Bali terbit dalam 15 jilid, Sor Singgih Bahasa Bali (Gaya bahasa halus dan
biasa dalam bahasa Bali), Dasar-dasar Pelajaran Kakawin dan Diktat Bahasa Bali

Dia bekerja sebagai guru bahasa dan sastera Bali di SPGN Singaraja dan menjadi dosén luar
biasa di STKIP Agama Hindu Singaraja. Dia juga mengisi siaran bahasa Bali di RRI Stasiun
Singaraja, aktif dalam berbagai séminar serta selalu mendorong masyarakat agar mencintai
bahasa dan sastera Bali. Dia pernah menerima anugerah seni budaya Dharma Kusuma dari
pemerintah Provinsi Bali.

Maka kepada I Nengah Tinggen akan dihaturkan Hadiah Sastera ―Rancagé‖ 2009 untuk jasa
dalam bahasa dan sastera Bali berupa piagam dan uang (Rp. 5 juta).

Hadiah “Samsudi” 2009 untuk buku bacaan anak-anak dalam bahasa Sunda

Tahun yang lalu, Hadiah ―Samsudi‖ diberikan kepada pengarang buku Catetan Poéan Réré,
yaitu Ai Koraliati. Ternyata pemberian hadiah itu menimbulkan héboh karena buku Catetan
Poéan Réré belum terbit sebagai buku, tidak terdapat di toko-toko buku. Buku yang disampaikan
kepada Yayasan ―Rancagé‖ oléh pengarangnya adalah contoh yang dibuat penerbit dalam jumlah
terbatas untuk Panitia Proyék Pembelian buku. Pada tahun 2007 mémang adan rencana
pemerintah untuk membeli buku-buku bahasa Sunda dalam jumlah yang besar. Dana yang
disediakan konon sampai Rp. 80 milyar. Karena itu para penerbit dan bukan penerbit berlomba-
lomba hendak menerbitkan buku bacaan bahasa Sunda terutama buku bacaan anak-anak. Tetapi
ternyata pembelian besar-besaran itu tidak jadi dilaksanakan, dan dengan demikian banyak
contoh buku yang sudah dibuat tidak jadi diterbitkan. Penerbit-penerbit yang membuat contoh
buku demikian tidak bermaksud menyediakan bacaan dalam bahasa ibu, melainkan hanya mau
turut mengambil bagian dalam ―pembagian kué‖ melalui permainan pat-pat-gulipat dengan
panitianya.

Menjelang akhir tahun 2008, Yayasan Rancagé menerima sejumlah judul buku dari seorang
pengarang. Buku-buku itu menurut titimangsanya adalah terbitan tahun 2007, tetapi setelah
dipantau ternyata tidak pernah berédar di toko-toko buku. Dengan demikian jelas bahwa buku-
buku itu adalah sekedar contoh untuk ―proyék‖ seperti buku Catetan Poéan Réré. Dengan
demikian buku-buku itu disisihkan dari penilaian untuk memperoléh Hadiah ―Samsudi‖ 2009.
Perlu kami jelaskan bahwa Yayasan ―Rancagé‖ hanya menilai buku-buku yang dijual di toko-
toko buku baik untuk Hadiah ―Rancagé‖ maupun untuk Hadiah ―Samsudi‖.

Dalam tahun 2008 ada sejumlah buku bacaan anak-anak bahasa Sunda yang terbit, tetapi
kebanyakan merupakan cétak ulang. Buku baru yang kami anggap cukup baik untuk diberi
Hadiah ―Samsudi‖ adalah

Sasakala Bojongemas
Karya Aan Merdéka Permana
(wedalan Ujung Galuh, Bandung)

Kepada Aan Permana Merdéka akan dihaturkan Hadiah ―Samsudi‖ 2009 berupa piagam dan
uang (Rp. 2.500.000).

*
Upacara penyerahan Hadiah Sastera ―Rancagé‘ dan Hadiah ―Samsudi‖ 2009 akan dilaksanakan
dalam suatu upacara khusus yang akan diselenggarakan di Jakarta. Tempat dan waktunya akan
ditetapkan kemudian.

Pabélan, 31 Januari, 2009

Yayasan Kebudayaan ―Rancagé‖

Ajip Rosidi
Ketua Déwan Pembina

Buku Anak Berbahasa Sunda Semakin Langka


Kategori: Esai Indonesia| Dibaca: 713 kali | 25-02-2008 | 03:00:31

Oleh DADAN SUTISNA

ADA tradisi yang terputus dalam kebiasaan membaca di kalangan anak-anak, khususnya di
sekolah. Di Tatar Sunda, misalnya, pada masa pra-kemerdekaan, para murid diwajibkan
membaca buku-buku yang dibagikan oleh guru. Tidak mengherankan jika buku Rusdi jeung
Misnem pernah berjaya pada masa itu, bahkan telah menjadi panineungan orang-orang tua kita.
Lambat-laun kebiasaan demikian mengalami perubahan, dan sekarang sudah hampir punah.
Tahun 1980-an, murid sekolah dasar masih sempat menikmati buku Taman Sekar dan Taman
Pamekar. Namun saat ini, buku itu hanya dijadikan koleksi pribadi para peminat sastra.

Kecenderungan terputusnya tradisi membaca buku anak-anak di kalangan murid sekolah dasar
mungkin disebabkan tidak adanya kesinambungan dalam penerbitan buku-buku seperti itu.
Selain itu, pengarang yang konsisten menulis cerita anak-anak dalam bahasa Sunda kini kian
langka. Samsoedi mungkin dapat dikategorikan sebagai pengarang cerita anak-anak. Namun
generasi penerus Samsoedi hampir dapat dikatakan tidak ada. Tampaknya pengarang Akub
Sumarna ingin menjadi ahli waris Samsoedi, tapi belakangan ini produktivitasnya kian menurun.

Hadiah Samsoedi yang setiap tahun diberikan oleh Yayasan Kebudayaan Rancageuntuk buku
anak-anak, kelihatannya belum dapat memicu para pengarang Sunda untuk membuat cerita anak-
anak. Sejak tahun 1993, hanya sekitar 15 judul buku anak-anak yang terbit dalam bahasa Sunda.
Di antara yang sedikit itu, dan yang cukup populer, antara lain Budak Teuneung; Jatining Sobat;
dan Budak Minggat (Samsoedi), Kabandang ku Kuda Lumping (Ahmad Bakri), Aker Dangsé
(Wahyu Wibisana), Si Donca (Yus Rusyana), Si Paser (Tatang Sumarsono), dan sebagainya.
Buku cerita anak-anak dalam bahasa Sunda sebagian besar menampilkan suasana di pedesaan.
Ada juga yang berupa fabel dan legenda. Karya-karya Akub Sumarna, misalnya, lebih cenderung
berupa dongeng-dongeng.

***

SEKARANG ini ada yang tengah berjuang menerbitkan kembali buku-buku dalam bahasa
Sunda. Selain dicoba untuk menerbitkan buku-buku baru, juga diupayakan untuk menerbitkan
buku-buku klasik yang pernah menjadi best seller pada zamannya, atau buku-buku yang sempat
menjadi panineungan dan cukup baik untuk diterbitkan ulang. Salah satu di antaranya adalah
buku anak-anak karya Ahmad Bakri, Kabandang ku Kuda Lumping (Tergoda oleh Kuda
Lumping; Kiblat Buku Utama, 2002).

Kabandang ku Kuda Lumping (KKL) adalah karya yang dibuat pada tahun 1967, dan mulai
terbit pada tahun 1969. Sebelum menjadi buku, naskah tersebut pernah memenangkan sayembara
mengarang yang diadakan oleh IKAPI, tahun 1967.

Ceritanya cukup sederhana. Pengarang mengisahkan tokoh Udin, murid kelas III SD (SR?) yang
bengal. Hampir setiap hari Udin dimarahi orang tuanya karena kenakalannya itu. Bahkan
ayahnya pernah menakut-nakuti Udin bahwa anak nakal akan dikirimkan ke Tangerang untuk
dipenjara.

Namun nasehat orang tuanya bagaikan air di daun talas, tidak berbekas. Udin sering pulang sore,
bermain dan berkeluyuran bersama teman-temannya tanpa mengingat waktu. Apalagi teman-
temannya selalu mengajaknya bermain ke tempat-tempat baru, dan Udin pun menyukainya.

Suatu ketika, Udin disuruh mengambil uang oleh ibunya. Sesudah makan, Udin pergi ke rumah
Mang Mita, untuk mengambil uang itu. Namun sekembalinya dari rumah Mang Mita, Udin
malah terpikat oleh sebuah iring-iringan. Udin tergoda oleh arak-arakan kuda lumping, sehingga
lupa akan pesan ibunya. Ia pun dengan asyiknya menyaksikan tontonan itu.

Udin baru sadar ketika hari mulai sore. Ia kemudian teringat akan uang titipan di sakunya.
Betapa kagetnya, karena uang itu ternyata hilang. Teman-temannya berusaha mencarinya.
Namun hingga pertunjukan kuda lumping hampir selesai, uang itu belum ditemukan. Udin hanya
bisa menangis.

Ia kemudian berjalan untuk mencarinya kembali. Mungkin jatuh di perjalanan, pikirnya. Di


sebuah persimpangan jalan, ia termenung. Uang itu benar-benar hilang. Tiba-tiba saja ia teringat
pada kata-kata bapaknya, anak yang nakal akan dikirim ke Tanggerang. Ia pun menangis
kembali. Dan ketika ada seorang pedagang mengajaknya pergi, tanpa pikir panjang ia
mengangguk. Ia tidak mau pulang, takut dimarahi orang tuanya dan takut dikirim ke Tangerang.
Namun ia pun tidak tahu ke mana harus pergi.
Udin kemudian dititipkan kepada seorang kondektur oleh pedagang itu, dan dibawanya dengan
sebuah truk. Di sebuah tempat tak dikenal, Udin diturunkan. Hari menjelang malam. Hujan
mulai turun. Udin berjalan sambil menangis di tempat asing itu. Tidak ada rumah. Tidak ada
siapapun. Tubuhnya basah kuyup. Sebuah penderitaan yang belumnya tak pernah dialaminya.

Untungnya, datanglah sang penolong. Sebuah mobil berhenti, dan membawanya entah ke mana.
Udin kemudian dibawa oleh seorang pemilik warung. Keesokan harinya, Udin tidak bisa bangun.
Tubuhnya panas. Udin pun sakit, dan beberapa hari dirawat oleh pemilik warung itu.

Pengarang membikin ending cerita dengan datangnya tetangga Udin yang kebetulan mampir ke
warung itu. Singkat cerita, Udin pun bertemu kembali dengan orang tuanya.

***

DALAM khazanah sastra Sunda, Ahmad Bakri tergolong pengarang yang amat produktif.
Karya-karya lainnya seperti Rajapati di Pananjung (Pembunuhan di Pananjung), Mayit dina
Dahan Jéngkol (Mayat di Dahan Jengkol), Payung Butut, dan sebagainya, sempat menjadi
karya populer pada tahun 1970-an. Bukunya yang terbaru adalah Dina Kalangkang Panjara
(Dalam Bayang-Bayang Penjara) dan Dukun Lepus (Dukun Jempolan). Produktivitas Ahmad
Bakri hingga kini belum ada yang menandingi.

Khusus untuk cerita anak-anak, saya belum membaca buku karya Ahmad Bakri lainnya. Ahmad
Bakri lebih cenderung menulis cerita pendek dan novel untuk orang dewasa. Pengarang asal
Ciamis itu tidak digolongkan sebagai spesialis pembuat karya anak-anak. Dan dalam
produktivitasnya mengarang cerita pendek dan novel, dia sendiri tampaknya tidak banyak
memusingkan soal nilai-nilai sastra dalam karya yang ditulisnya. Seperti dikemukakan oleh
pengarang Abdullah Mustappa, dalam sebuah diskusi tentang Ahmad Bakri di Panglawungan
Girimukti, baru-baru ini. Ahmad Bakri berpandangan bahwa “karya sastra hanya dibuat dan
dibaca oleh para dewa―. Yang pasti, karangan-karangan Ahmad Bakri banyak digemari.

Dalam Kabandang ku Kuda Lumping, tema yang diambilnya lebih spesifik lagi: dunia anak-
anak. Latarpedesaan pun menjadi pilihan pengarang. Suasana pilemburan itu digambarkannya
melalui dialog-dialog yang hidup, tanpa banyak rekayasa, diungkapkan secara spontan dan
sangat meyakinkan. Pada umumnya, karya-karya Ahmad Bakri menceritakan kehidupan orang-
orang desa. Hal ini mungkin pula didasari oleh latar belakang sang pengarang yang sejak kecil
tinggal di pedesaan. Pengarang begitu hapal apa yang sedang diceritakan, sehingga muatan
psikologis dan antropologisnya tidak diragukan lagi.

Kehidupan anak-anak yang diceritakan dalam KKL begitu realistis, jelas, dan bersahaja. Tokoh
Udin digambarkan sewajarnya, sebagai anak yang hidup di dalam lingkungan pedesaan. Itu
terlihat dari cara bicaranya, juga dari tingkah-lakunya. Ia bermain di ladang, mendengarkan
dongeng orang tua. Bukankah itu kebiasaan anak-anak di pedesaan?

Berangkat dari realitas, tampaknya pengarang tidak membiarkan hal-hal kecil berlalu begitu saja,
walaupun sesungguhnya tidak ada hubungannya dengan jalan cerita. Ungkapan orang-orang
desa, yang terkenal dengan cara bicaranya yang ngaler-ngidul, menjadi bagian terpenting dalam
karya-karya Ahmad Bakri. Misalnya, ketika tokoh Aki Uda menceritakan tokoh Ki Ardawa
dalam sebuah dongeng:

“Tah, Nini gé asal ti Nagarapageuh, Jang. Aya lain ngaran Ki Ardawa di ditu, Asmi?”

“Nyao, teu apal, ” témbal Nini Asmi.

“Sugan waé béjana baheula aya nu ngaran kitu?”

“Nyaho atuh, teu ngadéngé.”•

“Hih, teu puguh, kolot-kolot euweuh kanyaho,”•

(Halaman 36)

Ki Ardawa adalah tokoh dalam dongeng, tetapi mengapa Aki Uda menanyakan nama itu kepada
istrinya. Hal ini mungkin saja terjadi, dan kita sebagai pembaca, tidak merasa terganggu, bukan?

Dialog yang hidup itulah yang mengantarkan Ahmad Bakri menjadi pengarang populer. Dialog
tanpa rekayasa, seadanya. Dari segi penuturan dan keahlian dalam berbahasa Sunda, kita boleh
mengacungkan jempol untuk sang pengarang.

Watak tokoh yang digambarkan pengarang dalam KKL cukup rasional. Kita bisa menilainya dari
aspek psikologis dan kenyataan sehari-hari: banyak anak yang sering lupa akan nasehat orang
tuanya. Namun ada pula hal-hal yang selalu diingat oleh anak-anak. Dan justru perkataan orang
tuanyalah yang turut melantarankan tokoh Udin dalam KKL menemui malapetaka. Ketika
tergoda oleh kuda lumping, dan merasa bersalah karena uang titipan hilang, yang selalu diingat
oleh Udin adalah perkataan ayahnya bahwa anak yang nakal akan dipenjara. Udin pun berniat
untuk tidak pulang ke rumah, daripada dikurung dalam penjara. Iniah salah satu kelebihan
pengarang dalam memanfaatkan rasio, karena dalam cerita yang realistis, kadang-kadang kita
bertanya, masuk akal tidak?

Kita bisa membagi KKL menjadi tiga gambaran cerita. Pertama, latar belakang tokoh Udin
beserta kenakalannya. Kedua, puncak kenakalan tokoh Udin. Ketiga, akibat dari kenakalan itu.
Pengarang cukup baik dalam mengatur komposisi, dan hal ini sangat menentukan rasionalitas
sebuah cerita. Kita (demikian pula anak-anak yang akan membaca buku ini) cukup mudah untuk
menangkap visi sang pengarang: kenakalan akan berakibat malapetaka.

Ya, KKL kita anggap masuk akal dan dapat dimengerti oleh anak-anak. Penuturannya, kejelasan
setting-nya, watak tokohnya, begitu meyakinkan. Kita juga dapat mengamati muatan nasihat
yang tidak menggurui.

Namun kadang-kadang Ahmad Bakri terlena untuk terus mendialogkan tokoh-tokohnya,


sehingga fokus cerita terasa agak kabur. Dialog dalam karya Ahmad Bakri tidak pernah
membosankan, namun dalam beberapa karyanya, awal cerita beranjak jauh dari belakang.
Bahkan untuk menikmati klimakssekalipun terkadang kita “dipaksa― sambil tersenyum.
Dalam KKL, saat-saat mengenaskan hanya diceritakan sekilas. Buku setebal 72 halaman itu,
sebagian besar isinya berupa deskripsi kehidupan anak-anak di pedesaan. Pengarang baru
memulai cerita yang “sebenarnya― pada halaman 42. Klimaksnya pada saat Udin berjalan
malam hari di dalam guyuran hujan. Itu pun tidak berlangsung lama, karena pengarang segera
memunculkan aspek “kebetulan”. Bagian yang menjadi “nyawa” dari buku ini,
terlalu cepat untuk di-antiklimaks-kan. Kebetulan saja ada mobil, kebetulan saja ada
tetangganya, sehingga Udin dapat segera bertemu dengan orang tuanya. Namun untuk anak
seperti Udin, kejadian itu sudah menjadi pelajaran yang berarti.

Apakah cerita ini merupakan bagian kehidupan sang pengarang di masa kanak-kanak? Entahlah.
Tetapi untuk kritikus sastra Sunda Hawe Setiawan, buku ini sempat menjadi panineungan.
Beberapa bagian dalam cerita itu begitu melekat dalam ingatan sang kritikus. Adapun mengenai
kualitas isinya, mungkin saja kita mempunyai penilaian yang berbeda.***

Pikiran Rakyat, Kamis, 31 Oktober 2002

Enam Penyebab Rendahnya Minat BacaOleh arixs


Senin, 29-May-2006, 11:50:12 9961 klik

MASALAH minat baca di kalangan anak-anak maupun orang dewasa di negeri kita
sudah banyak ditulis di koran, majalah, sebagai topik penelitian atau makalah untuk
diseminarkan. Kalau kita cari di internet dengan Google Search akan ditemukan
ratusan tulisan/informasi tentang hal ini.

Namun, topik ini tetap menarik dan aktual. Mengapa? Karena setelah begitu banyak ditulis dan
dibicarakan masih saja belum tampak peningkatan minat baca yang signifikan. Indikator
rendahnya minat baca adalah dihitung dari jumlah buku yang diterbitkan yang memang masih
jauh di bawah penerbitan buku di Malaysia, Singapura, apalagi India, atau negeri-negeri maju
lainnya. Negara disebut maju karena rakyatnya suka membaca. Ini dibuktikan dari jumlah buku
yang diterbitkan dan jumlah perpustakaan yang ada di negeri itu.
Mengapa orang-orang (baik anak-anak maupun orang dewasa) Indonesia kurang berminat
membaca? Padahal jika dicermati sejenak penerbitan majalah dan koran, dalam sepuluh tahun
terakhir jumlah nama/judulnya sangat meningkat. Mestinya ini berarti makin banyak orang
berminat membaca. Tetapi sayang, minat ini hanya terbatas pada membaca koran dan majalah.
Sedangkan minat baca yang dimaksud tentunya juga membaca buku yang memuat pengetahuan
yang menyebabkan masyarakat suatu negeri memiliki penduduk yang cerdas mampu bersaing
setaraf dengan masyarakat negeri lain di bidang apa saja di dunia internasional.
Mengapa minat baca di Indonesia dikatakan rendah? Ada banyak teorinya. Pertama, sistem
pembelajaran di Indonesia belum membuat anak-anak/siswa/mahasiswa harus membaca buku
(lebih banyak lebih baik), mencari informasi/pengetahuan lebih dari apa yang diajarkan,
mengapresiasi karya-karya ilmiah, filsafat, sastra dsb. Kedua, banyaknya jenis hiburan,
permainan (game) dan tayangan TV yang mengalihkan perhatian anak-anak dan orang dewasa
dari buku, surfing di internet walaupun yang terakhir ini masih dapat dimasukkan sebagai sarana
membaca. Hanya saja apa yang dapat dilihat di internet bukan hanya tulisan tetapi hal-hal visual
lainnya yang kadangkala kurang tepat bagi konsumsi anak-anak. Ketiga, banyaknya tempat
hiburan untuk menghabiskan waktu seperti taman rekreasi, tempat karaoke, night club, mall,
supermarket. Keempat, budaya baca memang belum pernah diwariskan nenek moyang kita. Kita
terbiasa mendengar dan belajar berbagai dongeng, kisah, adat-istiadat secara verbal dikemukakan
orangtua, tokoh masyarakat, penguasa pada zaman dulu. Anak-anak didongengi secara lisan,
diajar membuat banten dengan melihat cara memotong janur, menata buah-buahan dan lain-lain
sajian. Tidak ada pembelajaran (sosialisasi) secara tertulis. Jadi tidak terbiasa mencapai
pengetahuan melalui bacaan. Kelima, para ibu, saudari-saudari kita senantiasa disibukkan
berbagai kegiatan upacara-upakara keagamaan serta membantu mencari tambahan nafkah untuk
keluarga, belum lagi harus memberi makan hewan peliharaan seperti babi, bebek, ayam (lebih-
lebih kaum wanita di desa) sehingga tiap hari waktu luang sangat minim bahkan hampir tidak
ada untuk membantu anak membaca buku. Keenam, sarana untuk memperoleh bacaan, seperti
perpustakaan atau taman bacaan, masih merupakan barang aneh dan langka.
Untuk meningkatkan minat baca, harus dimulai dari usia sangat dini karena minat ini tumbuh
sebagai hasil kebiasaan membaca. Peran orangtua, terutama ibu, sangat penting dalam
meningkatkan minat baca anak. Kalau biasanya sebelum tidur anak-anak didongengi secara
verbal, mulailah sekarang mendongeng dengan membacakan sebuah buku. Jadi si anak melihat
sang ibu membaca sambil mendengarkan apa yang dibaca. Kemudian mulai anak diminta
membaca sendiri jika ia sudah bisa membaca. Sebagai pembuktian si anak diminta pula
menceritakan kembali apa yang telah dibacanya. Ingat, anak perlu dibatasi waktu bermainnya
dengan alternatif membaca buku secara santai.
Juga metode pengajaran di sekolah, dari TK sampai perguruan tinggi, harus diarahkan pada
banyak membaca buku untuk mencari lebih banyak informasi/pengetahuan tentang apa yang
diajarkan. Tiap sekolah apa pun jenis, jurusan atau tingkatnya harus mempunyai perpustakaan,
karena perpustakaan memberi kesempatan sama kepada semua orang/murid/mahasiswa untuk
menggunakan buku-buku koleksinya. Dengan cara ini, upaya meningkatkan minat baca akan
sangat terbantu. Pada gilirannya, secara ekonomis sangat meringankan orangtua
murid/siswa/mahasiswa yang tidak harus perlu membeli buku sendiri.
Selain itu di tiap kota perlu ada perpustakaan umum yang terbuka untuk seluruh penduduk kota
itu. Orang-orang yang sejak di TK sudah dibiasakan membaca, setelah dewasa akan terus
membutuhkan bacaan. Orang-orang yang ingin menambah informasi/pengetahuan akan tertolong
oleh perpustakaan. Mereka tidak perlu mengeluarkan biaya karena buku-buku yang diperlukan
telah tersedia di perpustakaan umum.
Membayangkan buku-buku dan perpustakaan umum dalam pikiran kita sungguh menakjubkan!
Perpustakaan di Indonesia jika telah tersedia baik di tiap sekolah/perguruan tinggi dan kota tentu
banyak buku yang diperlukan untuk mengisi perpustakaan tersebut. Dengan demikian betapa
banyak penulis buku, penerbit, dan toko buku yang memproduksi dan mengedarkan buku serta
mengisi perpustakaan di seluruh negeri. Dengan demikian lapangan kerja terbuka luas dan
berpotensi besar. Yang terutama, adalah tersedianya buku bagi tiap dan semua orang,
menjadikan masyarakat makin cerdas dan kreatif. Mereka akan membuka usaha, berani mandiri,
bekerja secara profesional, rame ing gawe, mampu bersaing, berdiri tegak di antara bangsa-
bangsa. Untuk semua ini suatu program meningkatkan minat baca, mendirikan perpustakaan
umum dengan visi dan misi mencerdaskan bangsa, menjadikan negara Indonesia sejajar di antara
bangsa-bangsa di dunia!
• Nyoman

Buku Bacaan Anak Tetap Laku


P.H.H. MUSTOPA,(GM)-
Krisis yang terjadi di Indonesia tak memengaruhi penerbitan buku bacaan anak. Dalam satu
bulan, sedikitnya 300 buku bacaan anak di lempar ke pasaran. Sambutan pasar pun begitu
hangat, karena anak-anak tak bisa menahan keinginannya untuk membeli buku.

"Penerbit dan penulis bacaan anak tak terpengaruh krisis. Buku jenis ini seringkali ada di pasaran
sekalipun krisis melanda," ujar penulis cerita anak, Andi Yuda Asfandiyar di sela pertemuan
penulis bacaan anak di Stikom, Jln. P.H.H. Mustopa, Sabtu (4/4).

Dikatakannya, di Indonesia ada 50 penerbit yang sering menerbitkan buku bagi anak-anak.
Meski penerbit tersebut tidak terlalu fokus atau mengkhususkan dirinya pada penerbitan buku
bacaan anak, namun jumlahnya cukup signifikan. "Tiap bulan ada 6 buku yang dikeluarkan tiap
penerbit. Jadi, ada sekitar 300 buku bacaan," ujarnya.

Buku bacaan anak, ungkapnya, memang sangat tipis dan marginnya pun sangat kecil. Namun,
ada keunggulan untuk bacaan jenis ini karena anak-anak bersifat konsumperor, anak-anak tidak
menahan keinginannya untuk membeli buku. "Kalau orang tua bisa menahan diri untuk tak
membeli buku, sedangkan anak-anak tidak bisa," tuturnya.

Saat ini, kata Andi, penulis cerita anak dan 90% penulisannya merupakan perempuan dan anak-
anak. Agar minat baca anak-anak meningkat, Andi sangat mengharapkan dukungan sekolah
untuk mewajibkan siswa-siswanya membaca setiap minggu. "Dukungan sekolah agar anak-anak
mau membaca sangat diperlukan, atau paling tidak mewajibkan mereka membaca setiap
minggu," ungkapnya sambil menambahkan, sekolah saat ini sudah menjadi penulis sebagai hobi
dan cita-cita.

Ditambahkan Moderator Milis Penulis Bacaan Anak, Ali Muakhir, bahwa rating penjualan buku
anak-anak masih tinggi. Buku bacaan anak karya anak negeri pun sudah memenuhi kebutuhan
dan pengetahuan anak-anak. (B.95)**

Senin, 4 November 2002 Search :

Minat Baca Vs Bahan Bacaan


Didaktika

MENYAKSIKAN pameran buku nasional (Yogja Book Fair) 2002 di


Gedung Mandala Bhakti Wanitatama Yogyakarta (28 September-6
Oktober), ada beberapa hal yang menggelitik pikiran saya. Setidaknya,
pameran buku itu merupakan sepotong kecil fakta yang menguatkan
dugaan saya, bahwa sampai saat ini, anak-anak masih merupakan
elemen yang terpinggirkan (baca: terabaikan).

Dari 72 stan yang diisi oleh penerbit besar dan kecil, saya melihat hanya
ada beberapa penerbit yang menampilkan buku-buku cerita anak. Benar
bahwa pameran hanya sepotong kecil fakta, tetapi barangkali cukup untuk
menjadi penegasan, jumlah penerbit yang menaruh perhatian pada anak-
anak masih sangat terbatas.

Dulu, Balai Pustaka adalah salah satu penerbit yang menaruh perhatian
pada buku cerita anak. Untuk saat ini, dari sejumlah toko buku yang sering
saya kunjungi di Yogya dan Solo, saya hanya menjumpai beberapa
penerbit besar dari Jakarta, seperti Gramedia Pustaka Utama dan
Grasindo. Sementara dari Yogya, saya hanya menemui Kanisius, Adicita
Karya Nusa, dan Yayasan Pustaka Nusantara (mungkin ada beberapa
penerbit di luar itu yang luput dari perhatian saya), yang menaruh
perhatian untuk menerbitkan buku-buku cerita anak. Padahal, di sisi lain,
sebetulnya perkembangan jumlah penerbit buku saat ini berkembang
pesat.

Kondisi ini menjadi ironis ketika dihadapkan pada harapan banyak pihak
untuk meningkatkan minat baca anak-anak. Para pakar pendidikan
seringkali berpendapat, untuk meningkatkan kualitas pendidikan secara
umum, salah satu jalan yang ditempuh adalah meningkatkan minat baca.
Upaya meningkatkan minat baca akan efektif jika dimulai sejak dini, saat
masih usia anak-anak. Namun, pada kenyataannya, hal itu tidaklah
mudah.

Rendahnya minat baca anak, tentu tidak hanya sebatas masalah kuantitas Berita Lainnya :
dan kualitas buku saja, melainkan mengkait juga pada banyak hal yang
saling berhubungan. Misalnya, mental anak dan lingkungan • AB Three Tampil di
keluarga/masyarakat yang tidak mendukung. Orang kota mungkin Turkmenistan
kesulitan membangkitkan minat baca anak karena serbuan media • BEM IPB Kecam Proses
Pemilihan Rektor IPB
informasi dan hiburan elektronik. Sementara di pelosok desa, anak lebih
• Jalan Buntu di Panja RUU
suka keluyuran ketimbang membaca. Sebab, di sana lingkungan/tradisi Parpol
membaca tidak tercipta. Orang lebih suka ngerumpi atau menonton acara
• Mahasiswa UPI Bandung
televisi daripada menunggui anak belajar. Tolak Penerapan BHMN

• Memprihatinkan, Nasib
Pada sisi yang lain, saya melihat, sedikit sekali penulis Indonesia yang Perempuan Buruh
mengkhususkan diri untuk menulis cerita anak: cerita yang benar-benar • Minat Baca Vs Bahan Bacaan
mampu merangsang imajinasi, rasa ingin tahu dan kreativitas anak. Kalau Pelayanan Air dan
dari luar negeri kita mengenal JK Rowling dengan tokoh Harry Potter-nya • Kepentingan Konsumen
yang mampu menggebrak dunia (termasuk Indonesia) dan menyedot Pemaparan HIV/AIDS pada
perhatian bukan hanya anak-anak, tetapi juga orang dewasa. Begitu juga
• Perempuan,Model Biner
Enid Blyton dengan serial Lima Sekawan-nya yang sangat disukai anak- Relasi Kuasa
anak. Sementara di Indonesia, kiranya belum ada penulis yang • Perdagangan Bebas Tidak
mengambil spesialis cerita anak, yang benar-benar mampu membuat Selalu Menguntungkan
anak-anak ''keranjingan'' membaca. • Sinergisitas Guru-Orangtua
Murid Bisa Atasi Kerumitan
Kurikulum
***
MENGAPA saya menekankan pada buku cerita, dan bukan buku
pelajaran? Sebab, pada awalnya seorang anak akan tertarik pada buku
cerita atau cerita bergambar. Artinya, minat baca dulu yang harus
ditumbuhkan. Jika sifat ''gemar membaca'' itu sudah terbina, anak akan
semakin cepat dan mudah memahami pelajaran yang diberikan oleh guru.

Kembali pada inti persoalan, masih minimnya penerbit yang menerbitkan


buku-buku cerita anak, sebetulnya patut disayangkan. Saya percaya,
barangkali penerbit punya perhitungan (bisnis) tersendiri, berhadapan
dengan rendahnya minat baca anak saat ini.

Dalam kondisi seperti ini, jelas kita tidak bisa hanya menuntut salah satu
pihak saja. Mestinya, bersamaan dengan upaya membina mental dan
tradisi baca bagi anak dan lingkungan keluarga/masyarakat, tentunya
penerbit juga perlu ambil inisiatif untuk menerbitkan cerita-cerita anak
yang berkualitas, yang notabene mampu menyedot perhatian anak.
Inisiatif tadi tentunya harus didukung oleh penulis (spesialis) cerita anak
berkualitas, yang mampu membuat anak ''ketagihan'' membaca,
sebagaimana JK Rowling atau Enid Blyton (versi Indonesia).

Dengan cara demikian, barangkali pihak penerbit dan penulis tidak


merasa dirugikan, dan pelan tetapi pasti-saya yakin-minat baca anak akan
meningkat, yang pada akhirnya akan berimplikasi pada minat baca di
bidang pelajaran yang lain. Setidaknya, kita telah mencoba meletakkan
salah satu fondasi yang kuat untuk meningkatkan kualitas pendidikan
pada umumnya....

ITA DWAITA LANTARI, Guru Bimbingan dan Penyuluhan SLTP Negeri 2


Bendosari, Sukoharjo, Jawa Tengah
Opini

Buku buat Anak


Oleh : Yancen Piris

18-Sep-2008, 21:55:48 WIB - [www.kabarindonesia.com]

Sebuah ruangan tanpa buku-buku bak tubuh tanpa jiwa


Cicero (106 - 43BC)

KabarIndonesia - Ungkapan dari seorang filsuf Romawi Kuno yang bernama lengkap Marcus Tullius Cicero ini sepertinya bisa diamini
oleh dunia buku di Indonesia. Coba tengok di Papua sana, juga di ranah Melayu di bagian barat nusantara, atau sesekali ke Kepulauan
Banggai rada ke utara, sampai ke selatan Indonesia di Nusa Tenggara Timur. Bila usai tengok, coba hitung jumlah ‗ruang isi buku‘, bisa
berupa perpustakaan, rumah baca, taman baca, hingga rental buku, berapa banyak? Kalau sudah, mungkin Anda akan memaklumi
mengapa ‗tubuh‘ Indonesia ini ‗berjiwa‘

Saat saya sempat berkunjung ke sejumlah daerah di empat penjuru mata angin nusantara itu, satu jawaban terngiang di telinga: buku itu
mahal!

Mahal? Masak sih?? Yup! Bayangkan sejak dua tahun lalu harga buku di wilayah hukum Indonesia sudah melonjak bagaikan roket. 20
Persen rata-rata kenaikan harga buku per eksemplar gara-gara kenaikan harga salah satu faktor vital produksi buku, yaitu BBM, hingga
70 persen. Dengan harga yang normal (tanpa kenaikan) saja, sebagian besar masyarakat urung beli buku, apalagi sudah naik. Salah
seorang rekan yang bekerja di penerbitan buku pernah mengeluh kenaikan biaya produksi buku. Rinciannya kurang lebih biaya cetak
buku naik 30 persen, kemudian biaya distribusi dan pengiriman naik 70 persen.

Tapi sudahlah tepiskan dulu hitung-hitungan njelimet elemen biang kerok kenaikan harga buku tersebut. Coba kita lihat praktek solusi di
lapangan dari para praktisi perbukuan hingga pemerintah, pemegang amanat kesejahteraan rakyat.

Masyarakat sebenarnya bisa mendapatkan buku teks murah dengan memfotokopi.

Demikian kalimat pembuka dari sebuah pemberitaan di salah satu media massa nasional. Saya percaya jurnalis media massa itu tak
menggunakan teknik hiperbola dalam bermain kata. Jadi saya lebih tertarik membaca kalimat-kalimat selanjutnya hingga selesai. Ditulis
(berdasarkan hasil obrolan si jurnalis dengan narasumber tentunya), ide/solusi itu hadir dari kumpulan penerbit di negeri ini, tentunya ada
embel-embel syarat khusus fotokopi tersebut yang tidak melanggar hak cipta. Entah bagaimana caranya, tapi menurut saya, ide/solusi
tersebut bak berjalan di tempat. Tak ada langkah pasti menuju terbukanya pintu untuk membaca buku buat masyarakat luas. O ya, satu
lagi! Kata ‗masyarakat‘ yang dipergunakan si narasumber itu pun masih memunculkan pertanyaan: masyarakat yang mana? Jawaban
saya, tentu masyarakat yang punya uang dong! Sedangkan realitanya sebagian besar masyarakat negeri ini masih belum ‗punya uang‘
untuk beli buku, apalagi fotokopi. Alih-alih fotokopi, mungkin uangnya akan dibelikan segelas kopi hangat...srupppuuut!
Mendengar ide/solusi tersebut, saya hanya bisa tersenyum. Bentuk senyum saya sama sejajar dengan senyum yang mencuat saat melihat
banyak sekali aksi pasar/bursa buku murah digelar di sejumlah kota, khususnya di Jakarta. Untuk ide/solusi tersebut, saya masih
bergeming, karena itu semua hanya mendekatkan, bukan menghadirkan buku di tangan-tangan tanpa daya rakyat Indonesia. Satu
pertanyaan: murah buat siapa? Tentunya buat ‗si kaya‘, lalu ‗si miskin‘ bagaimana? Apakah mereka tak berhak mendapatkan akses
buku? Lalu kalaupun ada akses, mampukah mereka membeli? Atau mungkin pertanyaannya menjadi maukah mereka membeli?
Pertanyaan yang terakhir tadi ditujukan buat para orang dewasa (orang tua), karena anak-anak (terutama usia sekolah dasar) belum
memiliki uang sendiri. Memang sih, ada ungkapan: kita tidak bisa memuaskan semua pihak. Ya benar! Tapi apakah benar bila yang tak
terpuaskan justru berjumlah banyak? Apakah pantas berbangga, bila masih banyak tangan anak-anak usia sekolah memegang gitar
kopong rakitan sambil bernyanyi lagu-lagu orang dewasa di jalanan? Padahal tangan-tangan mungil itu seharusnya sedang membolak-
balik lembar demi lembar isi sebuah buku bacaan.

Bicara soal nasib anak-anak dalam dunia perbukuan memang cukup tragis dan menjadi sangat tragis bila diluaskan posisi anak-anak di
bangsa ini. Coba dengar dengan benar bunyi kampanye-kampanye politik di negeri ini. Apakah ada janji-janji terkait anak-anak?
Kalaupun ada, apakah itu menjadi porsi yang besar? Dan kalaupun ada dengan porsi yang mayoritas, apakah terlaksana dalam
prakteknya? Masih jauh panggang dari api sepertinya...

―Pak, bawa saja buku-buku pelajaran itu,...kami tak peduli kurikulum (sudah basi atau belum)...yang penting kami bisa belajar
(membaca)....‖, demikian ujar salah seorang anak Suku Asmat, Papua, kepada saya.

Benar juga, jangankan kurikulum terbaru, yang tahun jebot pun tiada! Itu fakta di pelosok sana. Di sini? Di kota ini?

―Pak, buku-bukunya sudah nggak ada....‖, ujar seorang warga


―Loh? Pada dikemanain?‖, tanyaku curiga
―...dijual pak, buat makan...,‖ akunya tersipu malu

Saya cuma bisa mengelus dada mendengar pengakuan polos seorang warga di sebuah permukiman penduduk pinggiran kota yang
katanya ibukota negara ini. Awal 2006, saya dan sejumlah rekan pernah menyumbangkan sejumlah buku buat anak-anak di tempat itu,
dan cuplikan percakapan itu diambil saat saya kembali ke sana awal tahun ini. Ya, anak-anak dengan minat baca tinggi itu terpaksa
kembali ke jalanan, mencari uang. Mending uangnya buat mereka beli buku, bukan sama sekali, tapi buat beli nasi, itu pun harus dibagi
rata dengan saudara-saudaranya.

...

Tiga titik tertulis. Kata guru menulis saya, itu artinya penulis sudah kehabisan kata-kata atau diam sejenak merenungi tulisan. Saya
memilih arti kedua. Tulisan ini pun dibuat sebagai perenungan saya, juga buat semua orang yang concern terhadap akses buku buat anak.
Saya merenungkan sejumlah pertanyaan:

Bisakah pemerintah membuat program buku gratis bagi mereka? (walau harus mengurangi jumlah komputer di kantor)

Bisakah para produsen buku menjadikan program buku gratis bulanan buat mereka? (walau bayang-bayang uang dan laba rugi
mengintai)

Mampukah para orang tua memprioritaskan kebutuhan buku buat mereka? (walau perut berteriak)

Dapatkah para relawan tetap bersemangat membuka akses buku buat mereka? (walau harus meredam ego)

Mungkinkah anak-anak itu mendapatkan akses buku? (walau mereka tak punya uang)

Buku gratis loh, BUKAN buku murah.....

Blog: http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com/
Alamat ratron (surat elektronik): redaksi@kabarindonesia.com
Berita besar hari ini...!!! Kunjungi segera:
www.kabarindonesia.com
Mendobrak “Mediocre” Bahasa Indonesia
Oleh : Yayan Supardjo

11-Mei-2009, 02:10:26 WIB - [www.kabarindonesia.com]


KabarIndonesia - Semenjak menjadi Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) Bahasa Indonesia semakin memperkaya khasanah khas yang
dimiliki. Perkembangannya dimulai dari Ejaan van Ophuijsen (1901) menjadikan bentuk ejaan yang khas seperti jang, sajang, pajah,
goeroe, oemar, itoe, ma‘mur (ada tanda diakritik).

Bergulirnya waktu 46 tahun kemudian, Ejaan Soewandi atau masyarakat waktu itu lebih mengenalnya dengan nama ejaan
Republik menggantikan ejaan sebelumnya. Penyempurnaan dilakukan terhadap ejaan sebelumnya dengan mengganti ejaan oe
dengan u seperti goeroe menjadi guru, itu, umur. Pada kata dengan diakritik (tanda:’) diganti dengan huruf k seperti pada
ma’mur menjadi makmur. Semakin berkembangnya penggunaan bahasa Indonesia saat itu dan bukan hanya Indonesia namun
bangsa melayu juga mulai mengadakan kerja sama. Dari kerja sama tersebut pada akhir 1959 sidang perutusan Indonesia dan
Melayu (Slametmulyana-Syeh Nasir bin Ismail, Ketua) menghasilkan konsep ejaan bersama yang kemudian dikenal dengan nama Ejaan
Melindo (Melayu-Indonesia). Perkembangan politik selama tahun-tahun berikutnya mengurungkan peresmian ejaan Melindo.

Perkembangan bahasa Indonesia semakin pesat seiring perkembangan karya sastra dan revolusinya menjadi angkatan-angkatan sastra
makin memperkaya bahasa Indonesia. Pada tanggal 16 Agustus 1972 Presiden Republik Indonesia meresmikan pemakaian Ejaan Bahasa
Indonesia. Peresmian ejaan baru itu berdasarkan Putusan Presiden No. 57, Tahun 1972. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
menyebarkan buku kecil yang berjudul Pedoman Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan, sebagai patokan pemakaian ejaan itu.
Kemudian makin dilengkapi melalui Panitia Pengembangan Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, yang dibentuk
oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan surat putusannya tanggal 12 Oktober 1972, No. 156/P/1972 (Amran Halim, Ketua),
menyusun buku Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan, berupa pemaparan kaidah ejaan yang lebih luas.
Setelah itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan surat putusannya No. 0196/1975 memberlakukan Pedoman Umum Ejaan
Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah. Bahasa Indonesia dengan Ejaan Yang
Disempurnakan masih digunakan sampai saat ini.

Bila merunut sejak tahun 1901-1972 merupakan waktu yang panjang menyempurnakan Bahasa Indonesia menjadi EYD baku. Hingga
2009 seluruh masyarakat Indonesia menggunakannya dalam bahasa formal. Banyak budayawan dan penulis sastra juga menggunakannya
dengan seksama. Namun ada hal yang perlu diwaspadai apabila Bahasa Indonesia akan menjadi tidak berkembang apabila puas pada
EYD. Bahasa Indonesia tidak boleh berhenti memperkaya dirinya dan menjadi bahasa Mediocre (Baca: Standard/rata-rata).

Sudah saatnya mulai memperhatikan perkembangan bahasa yang digunakan oleh penggunanya baik dari segi umur, suku, profesi, dan
kebutuhan akan tingginya penguasaan bahasa asing di masyarakat saat ini. Maksud dari mediocre di sini adalah jangan sampai bahasa
Indonesia puas hanya pada EYD saja sehingga terjebak pada khasanah kekayaan yang saat ini tercipta di masyarakat luas, sehingga
bahasa Indonesia menjadi bahasa yang standard atau rata-rata, singkatnya kaku dan tidak berkembang.

Penggunaan Bahasa Indonesia belum mampu menjadi system yang mampu menstimulus penggunanya meleburkan Bahasa Asing dan
menguasainya dengan baik dari kedua bahasa yang digunakan untukberkomunikasi. Penyempurnaan EYD harus segera kembali
dilakukan karena telah ketinggalan oleh kemajuan bahasa yang digunakan di masyarakat saat ini dan tahun-tahun mendatang.

Dalam sebuah acara resmi dialog OSIS dengan pihak sekolah di sebuah sekolah negeri. Salah satu ketua OSIS menyampaikan
sambutannya, ―Bro and Sist, sekalian saatnya osis outstanding breaktrouhgt and must be always number one…‖ Bahasa Indonesia tak
bisa menafikkan bahwa penetrasi bahasa asing telah menyatukannya menjadi bahasa yang lugas bagi pendengarnya.
Hal ini bisa menimbulkan banyak pro dan kontra bertanya apakah apabila penetrasi Bahasa Asing masuk ke dalam Bahasa Indonesia
akan menggerusnya menjadi hilang dan tak akan digunakan lagi oleh masyarakat? Nampaknya ini pandangan yang terlalu pendek.
Padahal dalam menghadapi pergaulan dunia yang semakin terbuka seharusnya Bahasa Indonesia dapat menjadi bahasa yang mampu
diadaptasi oleh bahasa asing yang masuk. Maksudnya, bila Bahasa Inggris memiliki peranan dalam bahasa dunia maka ketika ia masuk
Bahasa Indonesia mampu melebur. Dampak positifnya tentu saja penggunanya akan memahami lebih cepat dalam menguasai dua bahasa
tersebut. Contoh yang paling berhasil adalah Negara tetangga kita Malaysia dengan bahasa melayu namun terkenal juga dengan bahasa
inggris-melayu. Dampak positif bagi masyarakatnya dapat berinteraksi dengan komunitas bahasa asing. Mereka sudah tak canggung lagi
dalam berkomunikasi karena telah terbiasa meleburkan antara bahasa sehari-harinya dengan bahasa asing.

Membayangkan seorang bapak tukang ojek sepeda ontel saat mendapatkan penumpang dari Negara asing kemudian tukang ojek sepeda
mengatakan, ―Apa kabar, Sir. How are you today? Nice to meet you, This morning Jakarta cerah, sir.‖ Si bule tadi akan tersenyum-
senyum dengan pelayanan tukang ojek sepeda tadi.

Penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah saat ini juga telah berkembang. Sinyalemen menuju Bahasa
Indonesia yang lebih maju dan beradaptasi tinggi akan terus dinantikan Masyarakat karena bahasa akan menjadi faktor penting menuju
Indonesia yang lebih maju. Bahasa Indonesia yang disempurnakan tidak akan berhenti seperti sejak Ejaan van Ophuijsen (1901),
Ejaan Soewandi, Ejaan Melindo dan Ejaan Yang Disempurnakan karena kekuatannya mampu mendobrak ―mediocre‖ Bahasa
Indonesia menjadi outstanding breakthrough mewujudkan individu-individu SDM Indonesia yang lebih maju menghadapi persaingan
global.(*)

Sumber: Fotosearch

Blog: http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com
Alamat ratron (surat elektronik): redaksi@kabarindonesia.com Berita besar hari ini...!!! Kunjungi segera:
http://www.kabarindonesia.com/
Pr, Selasa, 12 Mei 2009

Penulis Cilik Jawa Barat Mulai Unjuk Gigi


Sambut Energi Besar Mereka

Dulu, ada sebuah pandangan bahwa penulis yang mampu menerbitkan buku hanyalah orang dewasa. Buku-buku
yang laris di pasaran merupakan buah karya intelektual mereka. Hal itu disebabkan kecenderungan para penerbit
yang kurang memberikan perhatian kepada potensi penulis cilik.

Namun, sejak 2003, dunia literasi Indonesia dikejutkan dengan lahirnya seorang penulis cilik asal Kota Kembang,
Sri Izzati. Lewat karya yang berjudul "Kado untuk Ummi", ia berhasil meraih penghargaan sebagai penulis novel
termuda dari Museum Rekor Indonesia (Muri).

Setelah Izzati, bermunculanlah penulis cilik di Jawa Barat yang turut unjuk gigi. Humas Ikatan Penerbitan Indonesia
(Ikapi) Jabar, Erwan Juhara mengatakan, saat ini terdapat sekitar 33 penulis cilik di bumi Priangan yang sudah
menerbitkan hasil karyanya. Jumlah tersebut belum termasuk para penulis cilik yang kerap mengirimkan karyanya
ke media massa.

"Kalau dihitung jumlah anak yang memiliki kegemaran menulis di Jabar banyak sekali. Namun, saat ini belum
banyak media yang mampu membimbing dan mengarahkan mereka agar dapat terus berkarya," ujar Erwan.

Menurut dia, dari 168 penerbit di Jabar, hanya 3 % yang memiliki divisi untuk menampung karya para penulis cilik.
Sebagian besar penerbit mencetak buku-buku pelajaran saja. Hal itu tentunya menjadi sebuah kendala untuk terus
membangkitkan gairah berkarya para penulis cilik di Jabar.

Padahal, potensi para penulis cilik di Jabar tak bisa dipandang sebelah mata. Tengok saja hasil karya mereka,
"Kecil-Kecil Punya Karya" (KKPK), sebuah seri kumpulan novel, puisi, serta cerita pendek yang diterbitkan Mizan.
Hingga saat ini, seri KKPK memiliki koleksi terbitan 33 judul, hasil kontribusi dari 21 penulis cilik berusia di bawah
12 tahun.

Seri KKPK pertama kali muncul dengan "Kado untuk Ummi", novel karya Sri Izzati. Kemudian disusul dengan
"Untuk Bunda dan Dunia", kumpulan puisi karya Abdurahman Faiz pada 2004.

Angka penjualannya pun terbilang bagus, dengan rata-rata per judul terjual lebih dari 5.000 eksemplar. "2 of Me"
karya Izzati sejak diterbitkan 2006 terjual 12.000 eksemplar. Sementara itu, "Untuk Bunda dan Dunia", kumpulan
puisi Abdurahman Faiz, di tahun pertama terjual lebih dari 11.000 eksemplar. Kedua karya tulis itu dibuat ketika
masing-masing mereka masih berusia delapan tahun.

**

Dilihat dari kaca mata bisnis, tentunya penerbitan seperti ini bisa menjadi lahan yang menggiurkan. Namun lebih
jauh lagi, nilai terpenting dari penerbitan hasil karya penulis cilik seperti ini adalah untuk mengembangkan potensì
yang dimiliki seorang anak, bukan demi kepentingan material.
"Sebagian besar penulis cilik hanya mendapat bimbingan dari orang tua. Padahal idealnya harus ada sebuah wahana
yang difasilitasi oleh media massa, dinas pendidikan, dan Ikapi untuk pengembangan diri penulis cilik," tutur
Erwan.

Namun, perlu diakui pula, mengembangkan potensi anak sebagai penulis cilik memang bukan hal mudah. Terdapat
sejumlah hal yang bisa menjadi kendala dalam penulisan, terutama bagi penulis cilik. Helvy Tiana Rosa, seorang
penulis, mengungkapkan, hambatan tersebut bisa bersifat internal maupun eksternal.

"Untuk anak-anak, mereka masih sering moody. Ya, namanya juga anak-anak," ujar Helvy, ketika ditemui di sela
Jelang Konferensi Penulis Cilik Indonesia (KPCI) 2008 di Istora Senayan Jakarta, Sabtu (5/7).

Di sisi lain, peranan orang tua juga tak bisa diabaikan. Faktor lingkungan akan sangat memengaruhi perkembangan
seorang anak. Dengan kata lain, minimnya perhatian orang tua terhadap perkembangan potensi anak bisa menjadi
salah satu faktor penghambat.

"Kendalanya bisa karena ketidakpercayaan orang tua terhadap anak. Orang tua tidak merasa perlu untuk
membelikan buku untuk anak-anak misalnya. Padahal, buku-buku yang dibaca sang anak dapat menjadi penambah
wawasan sekaligus inspirasi untuk berkarya," kata Helvy.

Selain itu, lanjut dia, membebaskan anak dalam mengemukakan pendapat merupakan hal yang harus dilakukan agar
pikiran anak tidak terkekang.

Hal senada diungkapkan oleh pemerhati anak, Andi Yudha Asfandiyar. Menurut dia, setidaknya ada tiga hal yang
bisa dilakukan orang tua dalam mengembangkan potensi anak. "Orang tua bisa mendukung dengan memberikan
kesempatan kepada anak untuk berekspresi. Lalu mendukung ketersediaan bahan bacaan. Yang ketiga, pemahaman
bahwa anak-anak memiliki pola pikir berbeda dengan orang dewasa," tutur Andi.

**

Selain tetap berkarya, para penulis cilik juga bersepakat untuk "merapatkan barisan", dengan menggelar Jelang
KPCI 2008. Konferensi tersebut melibatkan 78 peserta dari berbagai daerah, yang terdiri atas 20 penulis KKPK,
serta 58 peserta hasil seleksi.

Dengan dimoderatori oleh Benny Rhamdani, pemerhati anak dari Bandung, para penulis cilik diberikan kesempatan
untuk mengeluarkan isi kepala mereka.

Konferensi tersebut menghasilkan pernyataan sikap yang disepakati para penulis cilik. Pernyataan sikap mereka
ditujukan kepada sejumlah pihak, seperti sekolah, orang tua, penerbit, serta pemerintah.

Kepada sekolah, mereka menghendaki dibenahinya perpustakaan sekolah, baik dari segi kuantitas maupun kualitas.
Bagi para penulis cilik ini, perpustakaan adalah salah satu kunci untuk berkarya. Mereka juga meminta agar sekolah
tidak mengekang kebebasan anak didik untuk berkarya, serta memberikan perhatian bagi perkembangan potensi
penulis cilik.

Mereka juga berharap pemerintah mampu menghilangkan pajak penerbitan buku. Mengenai proses penerbitan, para
penulis cilik mengharapkan agar penerbit lebih memberikan kesempatan kepada penulis untuk ikut terlibat, baik
dalam proses editing, hingga ilustrasi grafis. Hal itu bertujuan agar "karakter" penulis tetap terlihat dalam karya tulis
yang diterbitkan.

Satu hal lagi yang tak kalah penting dari konferensi itu. Di penghujung acara tersebut, para penulis cilik sepakat
membentuk sebuah komunitas penulis cilik Indonesia dengan nama "Pencil (Penulis Cilik) Community". Komunitas
ini merupakan wadah bagi para penulis cilik untuk berkumpul, berbagi, hingga bertukar pengalaman seputar dunia
kepenulisan.
Komunitas itu tentu saja diharapkan dapat membawa iklim literasi bagi dunia anak. Tidak sekadar menjadi tempat
berkumpulnya para penulis cilik, tetapi juga tempat bertemu dan berkembangnya pola-pola pikir anak karena
mereka memiliki energi luar biasa jika diberi kesempatan. (Agustin Santriana/Joko Pambudi)***

Penulis:

Back

INOVASI BARU: Cara Modern Menjadi Penulis Hebat!

Penulis: Purwono
Fasilitator Masyarakat Pengembangan Perpustakaan di Kabupaten Banyumas

Minat Baca di Indonesia masih Tertingal Jauh

Seandanya semua orang ditanya ―Apakah kita harus membaca ?‖ saya yakin hampir semua
orang akan menjawab ―harus‖ kecuali orang gila atau orang tidak waras, selanjutnya kalau
pertanyaannya dirubah ―Apakah kita harus membaca ? ― maka jawabannya masing-masing
orang berbeda tapi kalau semua jawaban disimpulkan semuanya menyampaikan bahwa membaca
itu penting dan diperlukan selain itu dengan membaca kita pun mengetahui dapat menambah
ilmu pengetahuan.

Dewasa ini pembinaan minat baca merupakan hal yang sangat penting tetapi seolah dilupakan
orang, kita begitu percaya kepada sekolah tempat anak-anak kita belajar, kita acuh apakah
kepandaian membaca anak kita benar-benar baik atau baru biasa-biasa saja. Pembinaan
selanjutnya orangtualah yang harus mengajari anaknya agar mereka menjadi pembaca yang baik
. Agar mereka menjadi ―kutu buku‖ haruslah dibimbing, dan kita juga harus memilihkan bacaan
yang baik , jika salah memilih buku bacaan hasilnya akan bertolak belakang, bukannya
mencintai buku melainkan membeci buku bahkan tidak tahu arti penting dari sebuah buku. Buku
bacaan membuat kita berfikir dan dari sanalah kita dapat meningkatkan kecerdasan , orang
menjadi cerdas kalau banyak membaca.

Masalah minat baca dikalangan anak-anak maupun orang dewasa di negeri ini sudah banyak
ditulis dikoran, maupun majalah, sebagai topik penelitian atau makalah untuk diseminarkan.
Pernah disampaikan oleh Drs. H. Athaillah Baderi Pustakawan Utama Perpusnas RI dalam
makalahnya ―Kalau kita boleh menghitung-hitung biaya seminar yang pernah dilaksanakan di
negeri ini barangkali sudah dapat mendirikan sebuah perpustakaan megah di Ibukota Negara
Republik. Namun topik ini tetap menarik dan actual , mengapa ? karena setelah begitu banyak
ditulis dan dibicarakan masih saja belum tampak peningkatan minat baca yang signifikan.
Indikator rendahnya minat baca adalah dihitung dari jumlah buku yang diterbitkan , memang
masih jauh dibawah penerbitan buku di Negara berkembang lainnya seperti Malaysia, Singapura
apalagi India atau Negara-negara maju lainnya.

International Association for Evaluation of Educational ( IEA ) pada tahun 1992 dalam sebuah
studi kemampuan membaca murid-murid sekolah dasar kelas IV pada 30 negara di dunia,
menyimpulkan bahwa Indonesia menempati urutan ke-29 setingkat di atas Venezuela. Peta di
atas relevan dengan hasil studi dari Vincent Greannary yang dikutip oleh World Bank dalam
sebuah Laporan Pendidikan ―Education in Indonesia from Crisis to Recovery‖ tahun 1998, hasil
studi tersebut menunjukan bahwa kemampuan membaca anak-anak kelas VI sekolah dasar kita,
hanya mampu meraih kedudukan paling akhir dengan nilai 51,7 setelah Filipina yang
memperoleh 52,6 dan Thailand dengan nilai 65,1 serta Singapura dengan nilai 74,0 dan
Hongkong yang memperoleh 75,5. Berdasarkan laporan UNDP tahun 2003 dalam ―Human
Development Report 2003‖ bahwa Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Indeks
– HDI) berdasarkan angka buta huruf menunjukan bahwa ―Pembangunan Manusia di Indonesia‖
menempati urutan yang ke 112 dari 174 negara di dunia yang dievaluasi, sedangkan Vietnam
menempati urutan ke 109 padahal Negara itu baru saja keluar dari konflik politik yang cukup
besar, namun Negara mereka lebih yakin bahwa dengan ―membangun manusianya‖ sebagai
prioritas terdepan akan mampu mengejar ketinggalan yang selama ini mereka alamai. Melihat
beberapa hasil studi di atas dan laporan UNDP di Indonesia , ini adalah akibat membaca belum
menjadi kebutuhan hidup dan belum menjadi budaya bangsa kita.

Faktor-faktor Penghambat Minat baca

Pengalaman pahit telah menerpa bangsa kita pada pertengahan tahun dalam bulan Juli 1977,
akibat krisis moneter yang melanda Kawasan Asia Tenggara dan Kawasan Asia Timur maka
ekonomi kita telah tercabik-cabik. Krisis ekonomi kita terlalu panjang waktunya bila
dibandingkan dengan Negara-negara lainnya seperti Korea Selatan, Thailand, Malaysia dan
Singapura mampu mengatasi krisis ekonomi bangsanya relative pendek waktunya hanya sekitar
2 – 3 tahun saja. Mereka telah mencapai SDM yang kompetitif, unggul, kreatif, siap menghadapi
segala bentuk perubahan social ekonomi, politik, budaya dan lainnya.

Tidak dipungkiri untuk meningkatkan budaya baca tidaklah mudah , banyak factor-faktor
penghambatnya, mengapa minat baca di Indonesia rendah tetunya banyak hal yang
mempengaruhinya : Pertama, pembelajaran di Indonesia belum membuat anak-anak /
siswa/mahasiswa harus membaca (lebih banyak lebih baik), mencari informasi / pengetahuan
lebih dari apa yang diajarkan. Kedua, banyaknya jenis hiburan, permainan (game) dan tayangan
TV yang mengalihkan perhatian anak-anak dan orang dewasa dari buku. Ketiga, banyak tempat
hiburan untuk menghabiskan waktu seperti taman rekreasi, tempat karoke, night club, mall,
supermarket dan lain-lain. Keempat, budaya baca memang belum diwariskan secara maksimal
oleh nenek moyang. Kita terbiasa mendengar dan belajar dari berbagai dongeng, kisah, adapt
istiadat secara verbal dikemukakan orang tua, tokoh masyarakat penguasa zaman dulu, anak-
anak didongengi secara lisan, tidak ada pembelajaran (sosialisasi) secara tertulis, tidak ada
pembelajaran (sosialisasi) secara tertulis, jadi tidak terbiasa mencapai pengetahuan melalui
bacaan. Kelima, sarana untuk memperoleh bacaan, seperti perpustakaan atau taman bacaan,
masih merupakan barang aneh dan langka. Di hamper semua sekolah pada semua jenis dan
jenjang pendidikan perpustakaannya masih belum memenuhi standar sarana dan prasarana
pendidikan. Perpustakaan sekolah belum sepenuhnya berfungsi, jumlah buku-buku
perpustakaan jauh dari mencukupi kebutuhan tuntutan membaca sebagai basis pendidikan serta
peralatan dan tenaga yang tidak sesuai dengan kebutuhan, Padahal perpustakaan sekolah
merupakan sumber membaca dan sumber belajar sepanjang hayat yang sangat vital dalam
mencerdaskan kehidupan bangsa.

Secercah Harapn dalam Kegelapan

Mengetahui begitu pentingnya budaya membaca, maka sejak saat ini juga mari kita
mencanangkan gemar membaca untuk diri kita sendiri, keluarga dan masyarakat sekitar. Untuk
meningkatkan minat baca harus dimulai dari usia sangat dini karena minat ini tumbuh sebagai
hasil kebiasaan membaca, peran orangtua terutama ibu sangat penting dalam meningkatkan
minat baca anak, kalau biasanya sebelum tidur anak-anak didongengi secara verbal, mulailah
sekarang mendongeng dengan membaca sebuah buku, jadi si anak melihat sang ibu membaca
sambil mendengarkan apa yang dibaca.

Metode pengajaran di sekolah dari TK sampai Perguruan Tinggi, harus diarahkan pada banyak
membaca buku untuk mencari lebih banyak informasi / pengetahuan tentang apa yang diajarkan.
Pengembangan kurikulum secara berdevirsifikasi khususnya dalam bahan kajian bahasa
Indonesia harus memuat kegiatan pengembangan budaya membaca dan menulis dengan
memberikan alokasi waktu cukup banyak untuk membaca.

Tiap sekolah apapun jenisnya, jurusan atau tingkatannya harus mempunyai perpustakaan karena
perpustakaan memberi kesempatan kepada semua orang/murid/mahasiswa untuk menggunakan
buku-buku koleksinya, dengan cara ini upaya meningkatan minat baca akan sangat terbantu.
Selain itu di tiap-tiap Kabupaten / Kota perlu ada Perpustakaan Umum yang terbuka untuk
seluruh penduduknya. Orang yang sejak di TK sudah dibiasakan membaca, setelah dewasa akan
terus membutuhkan bacaan.

Penulis memberikan apresiasi yang tinggi pada beberapa stick holder yang telah berupaya keras
untuk membudayakan gemar membaca, bebarapa waktu yang lalu juga diliput di bebrapa harian
lokal, Perpustakaan Umum Kabupaten Banyumas menyelenggarakan lomba mengarang dan
sinopsis yang merupakan agenda tahunan . Tentunya dengan kegiatan-kegiatan semacam ini
sedikit banyaknya telah mendorong minat baca dikalangan siswa. Selain itu melalui Program
MOTOR PINTAR / MOBIL PINTAR Solidaritas istri Kabinet Indonesia Bersatu Jakarta yang
diberikan keberbagai daerah telah membuat terobosan upaya peningkatan minat baca dan juga
lembaga-lembaga lain maupun perorangan yang banyak membuat kegiatan upaya peningkatan
minat baca dengan munculnya taman bacaan – taman bacaan , rumah belajar atau pun rumah
dunia.

Sekali lagi kita tentunya berharap pada seluruh stick holder atau pun pribadi-pribadi yang konsen
dalam pengembangan minat baca mari bersama-sama bergerak memberikan secercah harapan
guna membangun generasi mandiri, cerdas, kreatif menjadikan Negara Indonesia sejajar diantara
bangsa-bangsa di dunia.

Dalam Penerbitan Buku Sastra, Peran Medan tak Terasa


Oleh : Penatua

SAYA tertarik pada tulisan Bung Mohli‘s berjudul ―Cerpen Raja-nya Sastra‖ (Rebana/Analisa 7
Desember 2008). Memang benar, jika dilihat dari jumlah dan begitu banyak media massa yang
tetap menghadirkan cerpen (cerita pendek), bahkan ada pula majalah khusus cerpen, jelaslah
bahwa cerpen memang ―rajanya‖ sastra.

Tentu saja saya tidak membicarakan masalah kualitas atau mutu. Karena hal itu sesungguhnya
relatif berdasarkan pertimbangan bahkan selera redaktur pelaksana. Karena banyak cerpen yang
ditolak oleh majalah Horison misalnya, tapi dapat dimuat di media lain yang lebih besar dan
berpengaruh. Begitu juga sebaliknya, cerpen yang tidak dimuat di suatu media massa umum, tapi
ternyata dapat muncul di Horison, satu-satunya majalah sastra yang dianggap ―paling
berkualitas‖.

Kecuali itu sekarang ini memang banyak pula diterbitkan buku-buku berisi kumpulan cerpen.
Kenyataannya yang paling konsisten dan teratur menerbitkan buku kumpulan cerpen adalah
harian Kompas.

Dapat dikatakan setiap tahun Kompas menerbitkan buku kumpulan cerpen. Tetapi bukan hanya
itu. Karena selain yang rutin setahun sekali ada pula buku kumpulan cerpen yang diterbitkan
berdasarkan nama besar pengarangnya. Misalnya cerpenis yang sudah punya nama besar Ali
Akbar Navis (A.A.Navis) setelah meninggal-dunia, Kompas menerbitkan buku kumpulan
cerpen-nya secara khusus. Judul ―Angtologi

Lengkap Cerpen A.A.Navis‖. Tebalnya sampai 776 halaman berisi 68 cerita pendek Navis yang
ditulisnya sejak tahun 1955 sampai 2002. Sebenarnya Navis menghasilkan 69 cerpen. Sayangnya
ada sebuah cerpen-nya yang dimuat di majalah Roman, tak ditemukan lagi.

Selain itu Kompas juga ada menerbitkan buku kumpulan cerpen sepuluh tahunan (1970-1980)
berjudul ―Dua Kelamin bagi Midun‖. Juga ada buku kumpulan cerpen berlatar-belakang puasa
Ramadhan, ada kumpulan Umar Kayam (alm). Barangkali di Tanah Air tercinta ini tidak ada
koran lain yang begitu besar cinta dan perhatiannya terhadap cerpen selain koran ini.

Sudah Cukup Lama

Sebenarnya jika kita runut penerbitan buku sastra, khususnya kumpulan cerpen maupun novel,
sesungguhnya sudah cukup lama juga hadir di panggung sastra Indonesia. Pada tahun 1950-an di
Jakarta ada penerbit Gapura yang rajin menerbitkan buku novel dan kumpulan cerpen. Antara
lain kumpulan cerpen wartawan ―jihad‖ berjudul ―Si Jamal dan Cerita-cerita Lainnya‖.

Juga novel berdasarkan sejarah ―Zaman Gemilang‖ karya Matu Mona. Lalu ada satu yang agak
unik. Gapura juga menerbitkan seri Roman Layar Putih. Buku ini berisi cerita dari film
Indonesia yang baru diproduksi lengkap dengan foto-foto adegan dari film dimaksud. Misalnya
―Bengawan Solo‖, ―Jembatan Merah‖, Remong Batik‖, ―Air Mata Mengalir di Citarum‖, dan
lain sebagainya.

Sekarang tidak ada lagi penerbit seperti itu. Sesuai dengan kemajuan tehnologi, setiap ada
produksi film Indonesia yang baru beberapa waktu kemudian diterbitkan pula CD atau VCD-
nya. Kalau tempo doeloe orang yang tak sempat nonton filmnya dapat membaca bukunya,
sekarang bisa menonton bareng keluarga di rumah lewat CD atau VCD.

Pada tahun limapuluhan itu juga di Jakarta ada penerbit Pembangunan yang menerbitkan buku
Seri PEM. Seri ini dimaksudkan berisikan kumpulan cerpen, juga ada novel, termasuk yang
terjemahan. Ada novel terkenal karya Toha Mochtar berjudul ―Pulang‖ yang kemudian dijadikan
film oleh sutradara Turino Djunaedi. Ada buku kumpulan cerpen Trisnojuwono judulnya ―Angin
Laut‖, juga karya Ajip Rosidi berjudul ―Perjalanan Penganten‖.

Satu buku laporan jurnalistik yang menarik adalah tulisan H.Rosihan Anwar setelah pulang
berhaji ke Makah. Judulnya ―Dapat Panggilan Nabi Ibrahim‖. Zaman itu buku ini sangat
menarik, karena belum ada orang menulis pengalaman selama melaksanakan ibadah haji dengan
gaya yang enak dibaca. Kalau sekarang kan sudah banyak.

Peran Balai Pustaka

Satu lagi yang tak bisa dilupakan adalah penerbit Balai Pustaka. Penerbit yang didirikan oleh
pemerintah Hindia Belanda lewat Commissie voor Inlandsche School en Volklectuur
(Departemen van Onderwijs en Eeredienst) pada tanggal 22 September 1917, sampai sekarang
masih ada (di bawah Depdiknas) meskipun sudah kurang menonjol dan kurang diperhatikan.
Namun Balai Pustaka punya andil besar dalam memajukan bahasa Melayu (sekarang bahasa
Indonesia), serta sastra Indonesia.

Sebab selain menerbitkan buku-buku pelajaran sekolah dan ilmu pengetahuan, Balai Pustaka
juga menerbitkan karya-karya sastra Indonesia berupa novel, kumpulan cerpen, kumpulan puisi,
esai dan sebagainya.

Sejak zaman ―Sitti Nurbaya‖ (Marah Rusli), ―Sengsara Membawa Nikmat‖ (Tulis Sutan Sakti),
―Salah Asuhan‖ (Abdul Muis), sampai ke ―Atheis‖ (Achdiat K.Mihardja), ―Dari Ave Maria ke
Jalan Lain ke Roma‖ (kumpulan cerpen Idrus yang ―lain dari yang lain‖), sampai ―Gerr‖ dan
―Dor‖ (Putu Wijaya), ―Telepon‖ (Sori Siregar), ―Matahari Dalam Kelam‖ (Motinggo Busye),
―Olenka‖ (Budi Darma), dan banyak lagi lainnya. Sesungguhnya Balai Pustaka tak dapat
dilupakan dalam perkembangan sastra Indonesia.

Seri Denai Nusantara

Selain itu semua masih ada lagi satu penerbit yang khusus menerbitkan buku-buku sastra
(khususnya novel dan kumpulan cerpen) pada era tahun enampuluhan. Penerbit dimaksud
bernama Nusantara berlokasi Bukit Tinggi, Sumatera Barat.
Buku-buku sastra tersebut diterbitkan setiap bulan dalam rangkaian Seri Denai. Yang diterbitkan
pun karya-karya sastra sastrawan yang sudah punya nama dan dikenal publik. Tersebutlah nama
pengarang wanita yang kesohor N.H.Dini. Antara lain karya-karyanya yang diterbitkan dalam
Seri Denai adalah ―Hati Damai‖, ―Dua Dunia‖.

Juga ada Motinggo Busye dengan karyanya ―Keberanian Manusia‖, karya Bokor Hutasuhut
judulnya ―Datang Malam‖, WS Rendra dengan ―Ia Sudah Bertualang‖ (kumpulan cerpen),
A.A.Navis juga ada berjudul ―Hujan Panas‖ dan pengarang yang kini tak terdengar namanya
yakni Poernawan Tjondronegoro yang kebetulan anggota AURI (sekarang TNI-AU) dengan
karyanya ―Mendarat Kembali‖ juga Ayip Rosidi ―Pertemuan Kembali‖, serta banyak lagi
pengarang lainnya seperti Nugroho Notosusanto, B.Sularto, Suparto Brata, Alex Leo, dan lain-
lain.

Selain naskah-naskah asli penerbit Nusantara ini juga menerbitkan karya sastra terjemahan,
antara lain karya Maxim Gorki (Rusia) berjudul ―Membalas Dendam‖. Sayangnya, penerbit yang
begitu gandrung menerbitkan buku-buku sastra karya anak negeri, setelah terjadi peristiwa
berdarah G.30.S tak pernah muncul lagi.

Hilang tak tentu rimbanya. Untunglah sekarang cukup banyak penerbit, terutama di Jakarta dan
kota-kota besar di Jawa, yang berkiprah menerbitkan buku-buku sastra, kumpulan cerpen dan
puisi. Medan ?. Tak ada geliatnya. Padahal dulu kota ini dikenal sebagai pusat penerbitan buku-
buku cerita, ya itu yang disebut ―roman picisan‖. ***
Penulis peminat sastra

Buku Bergambar untuk Anak Masih Sedikit di Indonesia


March 31, 2009 12:47 AM { kategori:Sosial Budaya }

Seminar J2Net
Dihadiri 380 pendidik dari 3 kota

Penyebaran buku khusus anak di Indonesia masih sedikit, terlebih lagi buku bergambar yang
nantinya akan dibacakan oleh orang dewasa guna memicu kemampuan berkhayal dan berpikir
anak-anak.

Untuk itu, J2Net yang merupakan kelompok sukarela yang beranggotakan para istri orang
Jepang yang tinggal di Jakarta pada awal bulan Maret 2009 mengadakan serangkaian seminar di
Jakarta, Solo dan Bali dengan tema "Dunia buku bergambar dan anak" yang disponsori oleh
Kedutaan Besar Jepang di Indonesia dan Japan Foundation, CBR Center Solo, Center for
Disabled Children Development di Bali dan International Education Exchange Foundation
Hiroshima.

Peserta yang ikut dalam program ini berasal dari sekolah taman Kanak-kanak, perusahaan
penerbit buku, LSM yang fokus pada pendidikan anak sebanyak 376 orang.
Seminar ini merupakan tanggapan atas meningkatnya pengaruh buku bergambar bagi anak dan
naiknya minat penggunaan buku bergambar dalam pendidikan anak usia dini.

Dalam seminar, pembicara pertama yakni Matsumoto Miyoko ahli terapi bicara menjelaskan
tentang penggunaan buku bergambar sebagai sumber untuk belajar dan bersosialisasi.

Selain itu, Matsumoto juga memperlihatkan handbook yang berjudul dunia anak-anak dan buku
bergambar yang dibuat olh J2Net.

Pembicara selanjutnya masih dari J2Net ialah Hori Yoshimi yang menjelaskan tentang
lingkungan dan membaca serta pengaruhnya bagi anak.

Sedangkan pembicara dari pihak Indonesia diawali oleh Seto Mulyadi Ketua Komisi Nasional
Perlindungan Anak yang menjelaskan pentingnya mengajar anak sambil menggunakan gambar
dan mengembangkan kemampuan berkomunikasi saat mengasuh anak.

Setelah seminar berakhir, banyak peserta yang menyampaikan keinginannya untuk menggunakan
bahan praktek yang disampaikan sewaktu ceramah.

Selanjutnya para peserta mendapatkan buku bergambar dan daftar buku yang di rekomendasi.

Banyak peserta yang menyatakan mengubah cara pandangnya terhadap pendidikan anak seusai
mengikuti seminar yang dilakukan J2Net dan tertarik ingin melakukan kegiatan bersama.

Menurut J2Net untuk program ini awalnya dipromotori oleh satu orang yakni Hori Yoshimi yang
telah menetap di Jakarta sejak 1997.

Waktu itu, Hori melihat rak di toko buku yang berisi buku bergambar jumlahnya masih sedikit.
dan dirinya ingin memperkenalkan kenikmatan membaca buku bergambar kepada anak-anak.

Pada tahun 1999, Hori mulai membentuk kelompok sukarela yang menerjemahkan buku
bergambar dari Jepang ke Bahasa Indonesia.

Selanjutnya mulai 2007, kelompok ini menggunakan perpustakaan mobil yang dibiayai oleh
International Education Exchange Foundation Hiroshima.

Perpustakaan bergerak yang dinamai Bibit Bunko ini berisi buku terjemahan sebanyak 300
eksemplar dan setiap hari mendatangi kompleks rumah warga dan sekolah.

Di setiap tempat perhentian para pengunjung dapat membaca buku ditempat.

Melalui prgram ini, J2Net ingin memberikan dukungan agar anak Indonesia tumbuh dan
berkembang dengan menggunakan daya imajinasi melalui buku bergambar.

KORAN TEMPO
Rubrik Buku

Edisi 2008-1-6

Back

Tahun Manis Bacaan Anak

Orang boleh ribut soal buku laris yang jadi pembicaraan sepanjang tahun, tapi kabar baik justru datang dari pasar
buku anak. Sejumlah penerbit berkisah bahwa pasar buku anak 2007 tumbuh kian baik.

Kelompok penerbit Mizan termasuk salah satu penerbit yang paling produktif menelurkan buku-buku anak. Lebih
dari 100 judul buku, yang terdiri atas belasan seri, dilepas Mizan ke toko-toko buku. "Tahun (2007) ini lebih baik,
karena makin banyak orang tua yang menempatkan buku sebagai kebutuhan utama," kata Benny Rhamdani, Kepala
Editor Mizan Publishing.

Produksi tahun 2006 didominasi pictorial book untuk anak balita yang hanya sekitar 20 halaman seharga Rp 10-20
ribu. Pada 2007, trennya berganti ke buku-buku luks setebal sekitar 200 halaman. "Jumlah judulnya memang
menurun, tapi kalau dihitung, produksi halaman sebenarnya meningkat," ujarnya.

Beberapa judul buku yang menjadi ujung tombak Mizan adalah Seri Cerita Balita yang bisa mencapai 20 judul dan
Kecil-kecil Punya Karya yang punya 10 judul. Jumlah cetakan pertama buku anak juga cukup tinggi, rata-rata
4.000-5.000 eksemplar. "Setiap buku bisa 2-4 kali cetak ulang dalam setahun," ujar Benny.

Satu buku anak terlaris Mizan, menurut Benny, adalah seri Kecil-kecil Punya Karya yang berjudul Beautiful Days.
Buku karya Nabila Nurkhalisah--putri penulis Gola Gong--ini dalam setahun sudah berhasil lima kali naik cetak.
Beberapa penulis cilik juga lahir dari serial ini, seperti Abdurahman Faiz dan Sri Izzati.

Penerbit Gema Insani juga mengakui adanya pertumbuhan yang signifikan di pasar buku anak. Kepala Divisi
Penerbitan Gema Insani Abdul Hakim mengatakan sepanjang 2007 mereka menerbitkan sekitar 30 judul buku
anak, yang masing-masing dicetak minimal 4.000 eksemplar, naik dibanding 2006, yang cuma 20 judul. "Ada
beberapa buku yang sudah cetak ulang," ujarnya.

Buku anak yang paling dicari para orang tua, kata dia, biasanya buku cerita bergambar, seperti Allah Maha Besar,
Beri, Cerita Si Katak, atau Cerita Si Bebek. Adapun untuk kategori buku referensi anak yang terjual cukup baik
adalah Mari Belajar Shalat dan Kumpulan Doa untuk Anak.

Sedikit lain dari kedua penerbit, editor Gramedia Pustaka Utama, Hetih Rusli, menilai pasar buku anak 2007 relatif
sama dengan 2006. Saat itu, kata dia, Gramedia menerbitkan sekitar 50 judul buku cerita terjemahan, 25 judul buku
karya lokal, serta 50 judul buku edukasi dan aktivitas anak yang seluruhnya produk lokal. Setiap kali cetak biasanya
5.000-7.000 eksemplar.

Hetih menyebutkan buku-buku yang dicetak ulang kebanyakan buku terjemahan Walt Disney atau Barbie,
terutama yang telah dibuatkan filmnya, seperti Ratatouille atau Cars. "Menjadi laris karena anak-anak mengenali
karakter buku itu dari film yang mereka tonton," ujarnya.

Selain karya yang sudah difilmkan, Hetih melanjutkan, buku dongeng, seperti cerita-cerita rakyat, adalah jenis
buku yang memiliki pasar sendiri. Sebab, cerita dongeng adalah cerita yang abadi dengan rentang hidup yang
sangat panjang. Contoh buku dongeng sepanjang masa adalah Dongeng-dongeng Andersen atau Dongeng Binatang
yang selalu dicetak ulang 2-3 tahun sekali.

Mengenai harga jual, ketiganya sepakat harga jual tidak terlalu berpengaruh terhadap tingkat penjualan buku anak.
Benny mengatakan banyak buku Mizan yang laris, meski dijual di atas Rp 50 ribu. Bahkan, kata dia, buku 99
Kisah Menakjubkan dalam Al-Quran bisa laku 500 eksemplar tiap bulan walau harganya Rp 135 ribu.

Hetih juga berpandangan sama. Harga jual Gramedia yang efektif, menurut dia, selama ini Rp 15-25 ribu per buku.
Begitu pun buku-buku mahal, seperti Disney: 365 Bedtime Stories edisi sampul keras seharga Rp 182.500, terbukti
sedang memasuki cetakan ketiga. "Biasanya buku-buku semacam itu dibeli untuk koleksi," ujarnya.

Sementara itu, Hakim punya pendapat, pengaruh harga jual sebuah buku sangat bergantung pada segmen yang
disentuh. Buku bagus dengan harga murah semacam Cerita Si Gajah, Serial Dobi, dan Janji Cici mendapat respons
baik. Demikian juga buku bagus dengan harga tinggi mendapat respons yang baik pula, contohnya Juz 'Amma untuk
Anak seharga Rp 96 ribu. EFRI RITONGA

Karya Lokal Kalah Promosi

Jika Anda pergi ke toko buku, di gugus buku anak akan terlihat bersaing karya-karya lokal dan impor. Sebenarnya,
bagaimana peta persaingan antara buku anak lokal dan impor?

Menurut Abdul Hakim, Kepala Divisi Penerbitan Gema Insani, beberapa tahun lalu penerbit Gema Insani juga
sempat menerbitkan banyak buku anak terjemahan penulis Timur Tengah. Namun, kini mereka cenderung
menerbitkan buku karya penulis Indonesia. "Dan ternyata tanggapan pasar lebih baik," ujar Abdul.

Buku karya asli, kata dia, unggul karena isinya sesuai dengan budaya Indonesia sehingga mampu melakukan
pendekatan psikologis lebih efektif. Misalnya buku Aku Selalu Bangun Pagi, Madu Libi, Aku Rajin Membaca, dan
Hari Pertama Sekolah.

Sementara itu, Hetih Rusli, editor Gramedia Pustaka Utama, mengungkapkan kualitas karya lokal sebenarnya tidak
kalah oleh buku impor. Indonesia punya ilustrator hebat dan penulis yang piawai bercerita, seperti Clara Ng yang
menang Adikarya Ikapi 2007 dan Renny Yaniar yang sudah menulis ratusan buku anak.

Masalahnya, dia melanjutkan, karya asli kalah promosi. Apalagi, selain buku, publik digempur oleh serial televisi,
film, dan pernak-perniknya. Sudah saatnya, kata Hetih, mengubah pola pikir orang tua dengan menunjukkan, "Ini,
lo, kita juga punya buku anak karya pengarang asli yang nggak kalah bagus."

Back

© Copyright KORANTEMPO.COM 2009


Anak-Anak yang Menulis di Langit

Radio Nederland Wereldomroep

02-10-2008

Anak-Anak yang Menulis di Langit

Dunia penulisan fiksi kini tak hanya didominasi orang dewasa. Anak-anak kini juga
banyak yang menulis dan menerbitkan puisi, cerpen bahkan novel. Mereka bercerita
tentang hal-hal sederhana di sekitar mereka. Juga khayalan-khayalan mereka. Penerbit
Mizan mengaku tiap minggu selalu menerima tumpukan naskah yang ditulis anak-anak.
Dunia perbukuan pun kini bertaburan buku anak-anak.

Petikan piano ini dimainkan Ramya Sukardi, bocah berusia 10 tahun. Ramya sudah mahir main
piano sejak usia 4 tahun. Bagi kebanyakan orang, piano mungkin
alat musik biasa. Tapi di tangan Ramya sebuah piano tidak hanya
bisa menghasilkan nada tapi juga berbicara.

Ramya: "Dia anak kecil, pergi ke rumah neneknya. Dia lagi


beres-beres di rumah neneknya. Tiba-tiba dia masuk ke dalam
sebuah ruangan. Di ruangan itu dia lihat sebuah piano. Ternyata
pianonya itu bisa bicara. Akhirnya dia berteman baik dengan
piano itu, terus diceritain piano bagaimana dia bisa ke rumah neneknya itu."

Kecil-kecil punya karya


Tentu kisah tentang piano yang bisa berbicara itu bukan kisah sungguhan, melainkan hanya
khayalan Ramya, siswa kelas 5 SD Al Azhar 8 Kembangan, Jakarta Barat. Cerita itu ia tuangkan
dalam sebuah cerita pendek berjudul 'My Piano My Best Friend' atau di-Indonesiakan menjadi
'Pianoku Sahabatku'. Ini menjadi judul kumpulan cerpen Ramya yang ketiga.

Kumpulan cerpen 'My Piano My Best Friend' diterbitkan oleh Penerbit Mizan dalam seri Kecil-
kecil Punya Karya. Sebelumnya Ramya juga sudah menerbitkan kumpulan cerpen yang berjudul
'Dunia Es Krim', diterbitkan oleh penerbit yang sama. Kedua kumpulan cerpen itu ia tulis saat
masih berusia 8 tahun. Ramya, soal 'Dunia Es Krim'.

Ramya: "Awalnya dia ada di kamarnya. Dia lagi mengkhayal. Ngelamun. Terus tiba-tiba ada di
taman bunga dekat rumahnya. Terus dia lihat ada pohon ada pintunya. Terus dia masuk ke
dalam, terus akhirnya masuk ke dunia es krim itu."

Cerita-cerita Ramya memang tak jauh dari khayalan anak-anak. Tentang dunia peri, nikmatnya
es krim, lorong waktu, dan sebagainya.

Ramya bercerita ia mulai belajar menulis sejak usia 6 tahun atau kelas 1 SD. Mula-mula ia hanya
bercerita tentang pengalamannnya sehari-hari. Ia menulisnya di buku atau di kertas. Kemudian ia
coba-coba buat cerita. Cerita pertamanya tentang seorang anak yang pergi ke sekolah dan
bertemu teman-temannya. Hanya itu saja. Tapi ternyata kegiatannya menulis itu menjadi
hobinya. Setiap hari ia kemudian menulis cerita tentang apa saja dari khayalannya. Ramya tak
punya waktu khusus untuk menulis, tapi biasanya di malam hari.

Ramya: "Kalau nyari ide nanya-nya saja. Kayaknya ga enak deh. Terus abis itu kayaknya ga
bagus kalau gitu. Terus mikir lagi dari benda itu apa yang dekat-dekat. Terus bisa jadi deh.
Haha."

Penulis cilik
Kini Ramya telah menerbitkan 3 buku kumpulan cerpennya sendiri serta satu buku lain yang
ditulis bersama-sama penulis cilik lain. Ia kerap diundang berbagai acara untuk membagi
pengalaman dalam dunia tulis-menulis. Ramya juga diundang Konferensi Penulis Anak tahun
2007 lalu. Di sini ia bertemu dengan banyak penulis cilik lain. Jumlahnya 30an anak. Ramya
mengaku senang. Dapat banyak teman, katanya.

Ramya: "Seneng sih. Manfaatnya aku jadi punya banyak teman. Jadi kalau aku terbitin buku,
ada alamat imel aku. Banyak yang ngirim imel juga. Jadi aku punya banyak teman. Aku juga
bisa berbagi cerita sama yang lain. Udah kalau itu sih yang aku senang saja."

Ramya adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Dunianya jauh dari kegiatan tulis-menulis.
Ibunya, Gitawati Setianingrum, adalah seorang akuntan. Ayahnya, Marcapada Sukardi, bekerja
di bidang informasi teknologi. Di keluarganya hanya Ramya yang gemar menulis. Kedua
adiknya Raras dan Rafa lebih menyukai main piano dan menari balet.

Meski orangtuanya bukan penulis, Ramya beruntung memiliki ibu seperti Gita. Tulisan Ramya
berserakan di lembaran-lembaran kertas atau buku tulis, dengan huruf tak rapi khas anak-anak.
Gita mengumpulkan semua, difotokopi, lantas disalin ke komputer. Lama kelamaan, tumpukan
tulisan Ramya menggunung.

Gita lantas terpikir untuk membukukan tulisan-tulisan itu. Tujuan awalnya untuk dibagi-bagikan
sebagai souvenir ulang tahun Ramya.

Gitawati Setianingrum: "Pertama model-model diari begitu. Dia nulis pengalaman dia pulang
dari apa. Dikit-dikit lama-lama jadi banyak. Bertebaran kadang di kertas, kadang di buku. Terus
saya kumpulin semuanya. Saya kumpulin terus diketik. Saya pikir kan sayang, mending saya
punya soft kopinya. Lama-lama banyak."

Kata Gita, sejak Ramya masih kecil, ia selalu membacakan cerita pengantar tidur. Kadang ia
memberikan Ramya berbagai buku cerita dengan gambar-gambar yang indah. Ramya pun kerap
diajak ke pameran buku.

Gitawati Setianingrum: "Dari kecil walaupun belum bisa baca, saya sudah kasih banyak buku ke
dia. Jadi tiap malam saya bacain, dari umur dua tahun. Itu sudah saya kasih banyak buku. Saya
bacain meski dia belum bisa baca. Pas umur 6 tahun dia mulai baca. Dia mulai bisa melihat
gambarnya. Kalau bahasa Inggris, paling dia ngomong sendiri sambil lihat bukunya itu. Jadi
banyak, satu malam tuh dia bisa buku 10 buku. Dibukain satu-satu."

Menyampaikan pendapat
Ada lagi kebiasaan unik dalam keluarga Ramya. Setiap pekan mereka diwajibkan menulis surat
untuk salah seorang di antara mereka. Isinya boleh macam-macam, misalnya sekedar ucapan
terimakasih karena telah mengantar ke suatu tempat. Kata Gita, kebiasaan menulis surat itu ia
terapkan agar anak-anaknya biasa menyampaikan pendapat dengan tulisan.

Ramya adalah salah satu dari sekian banyak penulis cilik yang kini bermunculan. Karya mereka
kini banyak terpajang di rak-rak toko buku. Selain membuat buku, mereka juga memiliki blog
untuk tempat bertukar sapa di dunia maya.

Fenomena kehadiran penulis cilik bisa disebut berawal pada 2003. Saat itu Mizan menerbitkan
kumpulan puisi Abdurahman Faiz berjudul 'Untuk Bunda dan Dunia', serta novel berjudul 'Kado
Buat Ummi' karya Sri Izzati. Kedua buku itu diterbitkan saat penulisnya baru berusia 8 tahun.
Kehadiran Faiz dan Izzati rupanya diikuti banyak penulis cilik lain.

Editor buku Mizan seri Kecil-kecil Punya Karya, Dadan Ramadhan mengaku setiap minggu
Mizan menerima hampir seratusan buku karya anak-anak. Macam-macam jenisnya, mulai puisi,
cerpen hingga novel. Kalau awalnya hanya anak-anak dari Bandung dan Jakarta yang
mengirimkan naskah, kini berasal dari banyak daerah.

Dadan Ramadhan: "Hampir rata-rata naskah ke KKPK numpuk. Hampir tiap minggu ada,
beragam dari mana-mana. Saya senang baru-baru ini dari Kalimantan, Sulawesi, karya-karya
mereka luar biasa. Bagus."

Campur tangan ortu


Menurut Dadan Ramadhan, naskah yang dikirim umumnya bertema tentang persahabatan,
kehidupan di sekolah, keluarga dan lain-lain. Dadan mengaku sebagai editor ia juga kerap
menerima naskah karya anak-anak yang telah dipermak orang tuanya. Tapi Dadan punya cara
untuk memastikan, apakah karya tersebut betul-betul karya si anak atau bukan.

Dadan Ramadhan: "Ada yang pure tulisan mereka dan itu dibuktikan dengan fotokopian tulisan
tangan sebelum diketik di komputer. Ada juga yang kita kasih form untuk mebuktikan itu adalah
karya asli mereka bukan plagiat atau bikinan orang tua. Walaupaun ada yang bagian kedua.
Kadang saya melihat naskah yang sangat sempurna. Sebagai editor kan saya curiga. Dari tata
bahasa, penjudulan. Saya kontak ternyata orang tua ikut terlibat."

Kini Mizan telah menerbitkan 37 buku yang ditulis anak-anak. Buku-buku ini terhitung laris di
pasaran. Angka penjualan rata-rata per judul mencapai 5000 eksemplar. Salah satu contoh angka
tertinggi misalnya, judul 'Two Of Me' karya Sri Izzati. Sejak diterbitkannya tahun 2006 telah
terjual sebanyak 12 ribu eksemplar. Buku kumpulan puisi Abdurahman Faiz, 'Untuk Bunda dan
Dunia' terjual lebih dari 11 ribu eksemplar di tahun pertama. Contoh lain adalah 'My Piano My
Best Friend' karya Ramya yang terbit tahun 2008, terjual lebih dari 1000 eksemplar dalam satu
bulan.
Saat ini memang hanya Mizan yang mendominasi penerbitan buku anak-anak. Penerbit lain
kebanyakan menerbitkan buku anak-anak yang ditulis orang dewasa.

Cerdas
Munculnya penulis anak-anak dinilai perkembangan positif oleh banyak kalangan. Kalau terus
dipelihara, Indonesia bisa punya penulis-penulis bagus di masa mendatang. Buat si anak,
kebiasaan menulis juga baik untuk mengembangkan kecerdasannya.

Psikolog anak Universitas Indonesia, Indri Savitri mengatakan menulis, melatih si anak
mengolah gagasannya sehingga dimengerti orang lain.

Indri Savitri: "Yang jelas kecerdasan berbahasa, bahasa adalah simbol peerasaan, pendapat,
suatu value dan persepsi terhadap masalah. Biasanya orang yang senang menulis itu
kecerdasannya lebih terasah karena dia terbiasa untuk berfikir. Itu kan ada logikanya."

Anak-anak yang terbiasa menulis sejak kecil secara tidak langsung juga belajar memahami
persoalan di sekitarnya.

Indri Savitri: "Anak-anak 10 tahun ini kan sudah mulai ada muatan humanisnya. Berarti
kepekaan dia terhadap lingkungan lebih kuat. Jadi ngga melulu kecerdasan berbahasa tapi juga
kecerdasan memahami lingkungan."

Bakat menulis
Menurut Indri, orang tua berperan sangat penting untuk menumbuh-kembangkan bakat si anak
menulis. Hanya saja ia mengingatkan agar orang tua tak memaksakan kehendaknya kepada si
anak untuk bisa menulis.

Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta Nur Zen Hae menilai, munculnya penulis-penulis
cilik ini sebagai fenomena yang menggembirakan. Mereka bisa menjadi penulis yang
menghasilkan karya-karya bagus di masa mendatang. Yang penting, kata Zen, terus berlatih
supaya kemampuan terus terasah. Kata Zen, jangan sampai seperti banyak penyanyi anak-anak
yang setelah besar justru tak bernyanyi lagi.

Nur Zen Hae: "Itu tentu saja menggembirakan. Pada usia belum tinggi mereka sudah mulai
menulis. Tentu saja itu juga harus dilihat apakah proses menulis mereka terus berlanjut hingga
mereka dewasa atau hanya ketika mereka anak-anak. Kalau kita bandingkan dengan kasus
penyanyi cilik, mereka kan biasanya akan berhenti setelah remaja karena tidak lagi ada
pasarnya."

Ramya mengaku belum tahu apa cita-citanya kalau besar nanti. Yang pasti ia ingin terus menulis.
Menulis apa saja.

Sabtu, 03/03/2007 16:20 WIB


Dibuka RI-4, Pameran Buku Islam di Istora Senayan Diserbu
Wahyu Daniel - detikNews
<a
href='http://openx.detik.com/delivery/ck.php?n=a59ecd1b&amp;cb=INSERT_RANDOM_NUM
BER_HERE' target='_blank'><img
src='http://openx.detik.com/delivery/avw.php?zoneid=24&amp;cb=INSERT_RANDOM_NUM
BER_HERE&amp;n=a59ecd1b' border='0' alt='' /></a>
Jakarta - Islamic Book Fair (IBF) ke-6 digelar. Begitu RI-4 yakni Mufidah Jusuf Kalla selesai
membuka pameran pada pukul 15.30 WIB, Sabtu (3/3/2007), wuurrr... ratusan pengunjung
langsung berebut masuk. Pengunjung, baik itu bapak-bapak, ibu rumah tangga, anak-anak dan
remaja, langsung berlarian menuju stan favorit mereka. Mereka sudah tak sabar menunggu lama
di luar Istora Senayan, Jakarta, tempat pameran diadakan. Pengunjung sempat mengeluh karena
tidak dibolehkan Paspampres masuk ke Istora sebelum Ny Kalla selesai memberikan sambutan.
Wati (25) misalnya, dia sempat mengeluh tidak boleh masuk, sementara udara di luar Istora
panas menyengat. "Kan ada yang bawa anak kecil, kasian loh, mas, kepanasan," ujarnya. Wati
selalu mengikuti pameran ini, soalnya buku-buku yang ditawarkan penerbit mendapat diskon
yang lumayan. "Saya rutin mengikuti acara seperti ini, karena bukunya sudah lumayan murah,"
ujarnya. Menurut Ketua Panitia IBF Tatang Sundesyah, peserta pameran buku tahunan ini
meningkat dari tahun lalu. Peserta bertambah 5 menjadi 167 stan. Jumlah penerbit buku tahun
lalu tercatat sebanyak 107, tahun 2007 ini ada 112 penerbit. Mulai dari penerbit kondang macam
Gramedia, Republika, Erlangga, Mizan, Gunung Agung, dan Gema Insani. "Buku-buku di sini
diberikan potongan harga 20-70 persen," ujarnya. Selain pameran juga digelar diskusi mengenai
Islam, seminar dan bedah buku, talkshow, lomba anak muslim, festival seni dan budaya Islam.
Pameran akan dilaksanakan hingga 11 Maret 2007. Ny Kalla dalam sambutannya menyambut
baik pameran ini. "Acara ini harus dikembangkan sampai ke daerah untuk mendorong
masyarakat agar gemar membaca dalam rangka mencerdaskan bangsa," ujarnya. Mufidah
menambahkan penerapan penerapan prinsip Islam dalam kehidupan selama ini mendapatkan
sambutan yang begitu luas. "Misalnya dalam perbankan di mana perbankan syariah telah tumbuh
dengan baik dan diterima oleh seluruh elemen masyarakat," ujarnya. (ddn/sss)

Home
About
mahayana-mahadewa.com

PERINTIS SASTRA INDONESIA MODERN

Maman S. Mahayana

Sistem penerbitan yang awal dalam kesusastraan Indonesia modern memperlihatkan betapa
pengaruh kekuasaan pemerintah Belanda begitu dominan dalam menentukan arah perjalanan
kesusastraan bangsa ini. Jika dikatakan, sejarah selalu berpihak pada penguasa, maka itulah yang
terjadi dalam sejarah kesusastraan Indonesia. Riwayat perjalanannya penuh dengan
pemanipulasian, perekayasaan, penenggelaman, dan penyesatan. Tetapi lantaran sejarah milik
penguasa, bahkan penguasa itu juga sengaja menciptakan sejarahnya sendiri, maka yang
kemudian bergulir adalah sebuah mainstream yang menyimpan kepentingan politik penguasa.

Akibatnya memang dahsyat. Riwayat sastra Indonesia modern seolah-olah berpangkal pada
Balai Pustaka. Balai Pustaka itu pula yang kemudian menjadi ukuran gengsi sastra Indonesia.
Bahasa yang dipelihara Balai Pustaka, juga dianggap sebagai bahasa golongan yang paling tinggi
budayanya. Ia menjadi ikon kebudayaan elite. Mencitrakan sekumpulan orang terhormat,
terpelajar, dan paling berjasa dalam membangun sastra, bahasa, dan kebudayaan Indonesia.
Mereka yang berkarya di luar itu, masuk kategori bacaan liar, roman picisan, bahasa pasar, tak
berbudaya, marjinal!

Perhatikan pernyataan A. Teeuw, berikut ini: ―Balai Pustaka tidak saja mendorong para
pengarang Indonesia supaya menciptakan roman dengan memberikan kepada mereka fasilitas
penerbitan yang dalam keadaan waktu itu tidak mungkin diberikan oleh penerbit swasta … akan
tetapi biro itu juga menjamin kepada mereka sidang pembaca yang lebih luas … Timbulnya
roman Indonesia modern dan juga kepopulerannya, dapat dimungkinkan terutama oleh wujudnya
Balai Pustaka….‖

Ke manakah para pengarang yang menerbitkan bukunya di luar Balai Pustaka? Ke mana pula
pengarang peranakan Tionghoa yang berkarya jauh sebelum Balai Pustaka berdiri? Benarkah
karya-karyanya tidak sepopuler terbitan Balai Pustaka dan sidang pembacanya terbatas pada
kelompok masyarakat Tionghoa saja? Untuk menempatkan posisi sastrawan peranakan Tionghoa
dalam sejarah sastra Indonesia, perlu kita menelusuri duduk perkaranya ke belakang, ke awal
mula terjadinya perubahan sosial di Hindia Belanda sebagai akibat perkenalannya dengan
percetakan dan penerbitan yang lalu melahirkan suratkabar dan media massa lainnya.
***

Sistem penerbitan di Indonesia ditandai dengan datangnya mesin cetak yang dibawa dari Belanda
oleh para misionaris gereja tahun 1624. Tetapi, tiadanya tenaga ahli yang dapat menjalankan
mesin itu, menyebabkan tak ada kegiatan apa pun berkenaan dengan percetakan. Pada tahun
1659, Cornelis Pijl memprakarsai percetakan dengan memproduksi Tijtboek, semacam almanak.
Setelah itu, kembali kegiatan percetakan menghadapi tidur panjang. Menurut catatan J.A. van der
Chijs (1875), produk pertama percetakan terjadi ketika disepakati perjanjian damai antara
Laksamana Cornelis Speelman dan Sultan Hasanuddin, 15 Maret 1668 yang kemudian
menghasilkan naskah Perjanjian Bongaya. Sejak itulah VOC (Verenigde Nederlandsche
Geoctroyeerde Oost—Indische Compagnie) mulai memperkenalkan hasil-hasil cetakannya
berupa kontrak dan dokumen perjanjian dagang.

Selama hampir empat dasawarsa, perkembangan percetakan masih seputar mencetak dokumen-
dokumen resmi, meski pernah pula ada usaha untuk mencetak kamus Latin—Belanda—Melayu
sebagaimana yang dilakukan mantan pendeta Andreas Lambertus Loderus (1699). Menyadari
makin banyaknya dokumen yang harus dicetak, pemerintah kemudian mendatangkan dua mesin
cetak dari Belanda tahun 1718. Pemerintah sendiri menangani cetakan dokumen-dokumen resmi,
sedangkan cetakan lain diserahkan pada percetakan swasta. Percetakan pemerintah pun mulai
mencetak berita-berita dalam bentuk laporan berkala, ringkasan surat-surat resmi yang dianggap
penting, dan maklumat atau pengumuman pemerintah. Percetakan swasta juga mulai melakukan
hal yang sama. Bahkan dalam berita berkala itu, disertakan jadwal pemberangkatan dan
kedatangan kapal, daftar harga komoditas pertanian sampai ke pengumuman lelang berikut daftar
harga barang. Iklan pada akhirnya menjadi bagian penting dari cetakan berkala itu. Cetakan
berkala itulah yang kelak menjadi cikal-bakal lahirnya suratkabar.

Percetakan swasta mengembangkannya dengan menerbitkan suratkabar (courant). Awal tahun


1800-an, beberapa suratkabar berbahasa Belanda umumnya terbit dalam usia yang pendek.
Problem utamanya tidak lain menyangkut biaya dan minimnya jumlah pelanggan. Dari situ,
mulai dipikirkan sasaran pembaca potensial, yaitu masyarakat non-Belanda yang bisa membaca.
Bahasa Jawa kemudian menjadi pilihan. Lahirlah Bromartani, suratkabar mingguan berbahasa
Jawa pertama yang terbit 25 Januari 1855. Pada saat yang sama terbit pula suratkabar
Poespitamantjawarna, juga berbahasa Jawa.

Kedua suratkabar itu pada awalnya terbit dan beredar di lingkungan keraton Surakarta dan
kemudian Yogyakarta. Salah satu tujuannya adalah menyediakan bacaan berbahasa Jawa untuk
mereka yang pernah belajar bahasa Jawa di Instituut voor de Javaansche Taal (Lembaga Bahasa
Jawa, 1833—1843). Belakangan, penyebarannya sampai juga ke Jawa Timur. Penerbit E. Fuhri
di Surabaya kemudian coba menerbitkan suratkabar dalam bahasa Melayu mengingat masyarakat
yang bisa membaca dalam bahasa Melayu jauh lebih luas dibandingkan bahasa Jawa. Tebitlah di
Surabaya Soerat Kabar Bahasa Melaijoe, 5 Januari 1856. Itulah suratkabar pertama dalam bahasa
Melayu.

Pada dasawarsa itu, beberapa suratkabar berbahasa Melayu bermunculan. Sebutlah beberapa di
antaranya, bulanan Bintang Oetara (Rotterdam, 5 Februari 1856), Soerat Chabar Betawi
(Batavia, 3 April 1858), mingguan Selompret Melayoe (Semarang, 3 Februari 1860), suratkabar
Bientang Timoor (Surabaya, 10 Mei 1862), dan mingguan, Biang-Lala (Batavia, 11 September
1867).

Apa maknanya penerbitan surat-suratkabar itu dalam konteks penerbitan buku-buku sastra?
Bagaimana peranan yang dimainkan golongan peranakan Tionghoa dalam menyikapi perubahan
yang terjadi pada zamannya? Bagaimana pula hubungannya dengan pemunculan sastrawan
peranakan Tionghoa yang sesungguhnya merupakan perintis perjalanan kesusastraan Indonesia
modern. Ada beberapa faktor yang mendukung munculnya golongan peranakan Tionghoa dalam
kehidupan kemasyarakatan di Hindia Belanda pada masa itu.
Pertama, terbitnya sejumlah berita berkala, suratkabar, dan mingguan berbahasa Melayu yang
memuat iklan, jelas sangat penting bagi golongan peranakan Tionghoa yang sebagian besar
bekerja sebagai pedagang. Mereka sangat berkepentingan mencermati daftar harga komoditas,
barang-barang lelang, jadwal kedatangan dan pemberangkatan, dan berita-berita lain yang
berhubungan dengan mutasi dan pengangkatan pejabat pemerintah, dalam kaitannya untuk
memperlancar usaha dagang mereka.

Kedua, untuk dapat mengikuti dan membaca suratkabar atau berita berkala dalam bahasa Melayu
itu, tentu saja mereka dituntut untuk bisa membaca (dalam bahasa Melayu). Pada mulanya, tidak
sedikit di antara para pedagang Tionghoa ini yang membayar seseorang untuk membacakan
berita-berita suratkabar itu. Dari sana, timbul kesadaran, bahwa anak-anak mereka harus bisa
berbahasa Melayu agar mereka tidak perlu lagi menyewa orang untuk membacakan berita-berita
itu. Maka, ketika sekolah-sekolah belum leluasa dapat dimasuki oleh anak-anak keluarga
golongan peranakan Tionghoa ini, di antara mereka –terutama keluarga kaya—kemudian
mengundang seseorang untuk memberikan pelajaran kepada anak-anak mereka (semacam les
privat).

Mengenai hal tersebut, J.E. Albrecht (1881) sebagaimana yang dikutip Claudine Salmon (1985)
mengungkapkan bahwa bahasa Cina, selain tidak begitu dikuasai dengan baik oleh keluarga
peranakan Tionghoa di Jawa, juga tidak banyak manfaatnya dalam hubungan sosial mereka.
Oleh karena itu, banyak di antara keluarga peranakan Tionghoa ini yang mengirimkan anak-
anaknya ke sekolah Eropa atau pribumi atau mengundang seorang guru. ―… Anak-anak lainnya
diajar di rumah oleh orang Eropa atau Cina, agar dapat menulis bahasa Melayu dalam huruf
Latin dan kemudian menggunakan bahasa ini dalam surat-menyurat.‖

Ketiga, dibukanya sekolah-sekolah untuk golongan peranakan Tionghoa ini juga memberi
peluang mereka dapat belajar bahasa Belanda dan bahasa Melayu mengingat kedua bahasa itu
dijadikan sebagai bahasa pengantar di sekolah. Maka, mulailah generasi baru golongan
peranakan Tionghoa ini tampil sebagai golongan yang menguasai bahasa Belanda dan bahasa
Melayu. Kees Groeneboer (1995) menyebutkan bahwa antara tahun 1823—1900 jumlah
peranakan Tionghoa yang bersekolah, baik yang bersekolah di sekolah Raja (Eropa), sekolah
Cina, dan sekolah pribumi, jauh lebih banyak dibandingkan dengan anak-anak pribumi.

Kondisi itu tentu saja berpengaruh bagi kehidupan sosial ekonomi pada masa-masa berikutnya.
Tambahan lagi, adanya perubahan kebijakan kolonial yang dijalankan pemerintah Belanda,
dalam kenyataannya lebih banyak menguntungkan golongan peranakan (Indo—Belanda, Indo
Eropa dan Tionghoa) dibandingkan golongan pribumi. Dengan demikian, posisi pribumi pada
masa itu tetap sebagai golongan yang peranan sosialnya berada di bawah golongan peranakan. Di
sinilah golongan peranakan Tionghoa lebih siap memasuki terjadinya perubahan sosial
dibandingkan pribumi.

Keempat, derasnya usaha untuk mengganti huruf Arab—Melayu dengan huruf Latin dalam
bahasa Melayu, memungkinkan penyebaran bahasa Melayu lebih luas dapat diterima.
Pertimbangannya, bahwa pemakaian huruf Pegon (Arab—Melayu) dalam bahasa Melayu di
sekolah-sekolah menyulitkan orang untuk mempelajarinya. Padahal, bahasa Melayu dijadikan
sebagai bahasa pengantar. Dengan demikian, untuk memudahkan orang belajar bahasa Melayu,
salah satu langkah yang penting dilakukan adalah mengganti huruf Pegon itu dengan huruf Latin.

Kelima, penguasaan bahasa Melayu bagi golongan peranakan Tionghoa ini juga secara tidak
langsung menuntut ketersediaan bahan bacaan berbahasa Melayu. Oleh karena itu, ketika
bermunculan penerbitan suratkabar, majalah, dan buku-buku berbahasa Melayu, golongan
peranakan Tionghoa ini seperti memperoleh saluran yang baik dalam usaha mempermahir
penguasaan bahasa Melayu mereka. Di samping itu, kehausan mereka akan kisah-kisah dari
tanah leluhurnya, ditanggapi oleh para penerbit itu dengan menerjemahkan cerita-cerita asli
Cina. Salah satu karya terjemahan yang terkenal, Kisah Tiga Negara (Tjerita Dahoeloe kala di
benoea Tjina, tersalin dari tjeritaan boekoe Sam Kok), telah mendorong bermunculannya cerita
terjemahan. Pada dasawarsa 1880-an, sedikitnya ada 40 karya terjemahan dari cerita-cerita asli
Cina. Dengan demikian, kelompok pembaca golongan peranakan Tionghoa ini jauh lebih banyak
dibandingkan dengan kelompok pembaca pribumi, bahkan juga Belanda.

Kelima faktor inilah yang mendorong berlahirannya surat-surat kabar, majalah dan penerbit yang
dikelola golongan peranakan Tionghoa. Dari sana pula embrio bermunculannya para pengarang
Tionghoa. Catatan Claudine Salmon menyebutkan bahwa jumlah keseluruhan karya penulis
peranakan Tionghoa antara tahun 1870—1960 yang berhasil dikumpulkan mencapai 3005 judul.
Meski jumlah itu tak memperhitungkan cetak ulang, secara kuantitas terbitan Balai Pustaka tetap
kalah jauh, seperti yang dicatat A. Teeuw, berjumlah 400-an karya (1917—1967).

Ketika Komisi untuk Bacaan Sekolah Pribumi dan Bacaan Rakyat (Commissie voor de
Inlandsche School en Volkslectuur) berdiri (1908) sampai berganti nama menjadi Kantor Bacaan
Rakyat (Kantoor voor de volkslectuur) 22 September 1917, naskah yang masuk 598 berbahasa
Jawa, 204 berbahasa Sunda, dan 96 berbahasa Melayu. Sampai tahun 1928, Balai Pustaka
menerbitkan tidak lebih dari 20-an novel, sementara penerbit-penerbit milik peranakan
Tionghoa, antara tahun 1903—1928, menerbitkan hampir seratusan novel asli karya 12
pengarang peranakan Tionghoa. Beberapa di antaranya mengalami cetak ulang. Pertanyaannya
kini: di kemanakankah dana ratusan golden untuk penerbitan buku oleh Balai Pustaka, jika Balai
Pustaka hanya menerbitkan beberapa novel saja. Jelas pula di sini, bahwa sasaran pembaca
penerbit swasta adalah masyarakat umum, sedangkan Blai Pustaka adalah kelompok elitis yang
jumlahnya terbatas pada golongan bangsawan yang diizinkan bersekolah.

Bahwa peranan penerbit swasta menjangkau wilayah yang jauh lebih luas dengan jumlah
pembaca yang jauh lebih banyak, tampak tidak hanya dari persebaran agen dan distributor
penerbit-penerbit itu, tetapi juga dari sejumlah karya yang mengalami cetak ulang. Di sinilah
muncul kesadaran pemerintah kolonial akan bahaya pengaruh bahan bacaan. Bukankah bacaan-
bacaan itu dapat mencerdaskan seseorang dan menumbuhkan kesadaran akan pentingnya sekolah
(pendidikan). Jika penduduk pribumi leluasa bersekolah dan kemudian pandai membaca,
bukankah itu bahaya bagi pemerintah kolonial lantaran kebohongannya selama itu akan
terbongkar.

Sangat wajar jika kemudian Dr. D.A. Rinkes, direktur Balai Pustaka ketika itu, mengatakan
bahwa buku-buku terbitan di luar Balai Pustaka sebagai ―Bacaan Liar‖ yang dibawa oleh
―Saudagar kitab yang kurang suci hatinya.‖ Jadi, bagaimana mungkin kita menafikan keberadaan
sastrawan peranakan Tionghoa dalam sastra Indonesia jika kenyataannya mereka justru yang
mendahului sastrawan Balai Pustaka. Bahkan, salah satu alasan pemerintah Belanda mendirikan
Balai Pustaka, justru karena keberadaan penerbit-penerbit swasta itu.

Demikianlah, Belanda lewat politik kolonialnya dengan berbagai cara berusaha membonsai
pribumi agar tetap berada di bawah hegemoni mereka. Balai Pustaka sebagai bagian politik
kolonial, tentu saja harus dicitrakan sebagai lembaga pencerahan. Maka, peranan pihak lain yang
sesungguhnya mendorong berlahirannya penerbitan dan kehidupan pers –yang dapat
menumbuhkan kesadaran kebangsaan bagi pribumi— harus ditenggelamkan! Oleh karena itu –
meski begitu terlambat, kinilah saatnya kita mengembalikan sejarah sastra Indonesia ke jalan
yang benar, tanpa manipulasi, tanpa penggelapan, tanpa penyesatan!
***

Tags: Artikel, Maman S Mahayana

October 2008

Copyright © 2008. www.mahayana-mahadewa.com. Allrights reserved

http://klubhausbuku.wordpress.com/2008/06/04/penerbit-buku-di-indonesia/
PENERBIT BUKU DI INDONESIA

Oleh Aminuddin Siregar


Hingga hari-hari belakangan ini nampak bahwa dunia perbukuan Indonesia terus
meningkat sejalan dengan laju pertambahan penduduk dan meluapnya informasi dari
berbagai sumber. Baik informasi yang berasal dari bahan cetak seperti Surat Kabar,
Majalah, Bulletin, Tabloid, Jurnal, maupun informasi yang bersuber dari media
elektronik, seperti Televisi, Radio, Internet dan banyak media lainnya yang bisa diakses
oleh siapa saja yang membutuhkan bahan-bahan informasi itu.

Kalau dilihat dari keberadaan penerbit buku di Indonesia, cukup menggembirakan


dengan hadirnya buku-buku bacaan bermutu baik yang di tulis oleh pengarang Indonesia
maupun buku yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Dengan jumlah penerbit
buku yang tersebar di seluruh Indonesia, maka untuk mendapatkan buku sudah relatif
lebih mudah dibandingkan dengan dua puluh tahun atau sepuluh tahun lalu. Di mana
buku menjadi barang mewah.
Jadi, sebenarnya tidak ada alasan bagi orang Indonesia untuk tidak menjadikan kegiatan
Gemar-Membaca sebagai sikap hidup yang membawa setiap orang pada pengayaan
pengetahuan dan perluasan cakrawala berpikir. Belakangan, jajak pendapat yang
dilakukan oleh Harian Kompas, ketika Pameran Buku berlangsung di Surabaya,
menunjukkan bahwa minat baca masyarakat Indonesia memang tinggi. Akan tetapi bila
dilihat dari segi harga buku, hampir dapat dipastikan bahwa persentasi orang yang bisa
menjangkau bahan bacaan buku –apalagi buku bermutu– relatif sedikit saja orang yang
punya minat baca.
Nampaknya bukan itu saja, yang juga menjadi kendala untuk memperoleh buku,
meskipun sebenarnya hampir di seluruh ibu kota Provinsi ada toko buku. Namun karena
persebaran penerbit buku tidak merata nampaknya bisa menjadi satu alasan pula mengapa
masyarakat juga tidak merata daya dukungnya untuk memperoleh bahan bacaan buku.
Gambaran berikut ini mungkin akan memberi petunjuk di mana saja penerbit
memproduksi buku. Baik untuk anak-anak sekolah dari SD, SMP, SMA, Perguruan
Tinggi hingga buku-buku yang dikonsumsi masyarakat umum. Jakarta misalnya
mempunya 167 penerbit, Jawa Timur, 67 penerbit, Jawa barat 99 penerbit, Yogyakarta 99
penerbit, Jawa Tengah 56 penerbit dan daerah-daerah lain di Pulau Jawa yang hampir
semua kota-kotanya memiliki penerbit buku.
Sementara jumlah penerbit di Luar Jawa yang terbanyak hanya ada di Sumatera Utara
sebanyak 14 penerbit, sementara dibeberapa provinsi tidak lebih dari 4 penerbit buku.
Nangro Aceh Darussalam misalnya hanya ada 4 penerbit. Provinsi di luar Jawa nyaris
tidak punya penerbit buku alias tidak ada pengusaha yang berminat untuk berbisnis di
industri perbukuan ini. Yang paling menyedihkan banyak kota-kota yang dianggap
sebagai kota terkemuka malah belum memiliki penerbitan buku baik yang dikelola oleh
pemerintah maupun oleh swasta atau pengusaha buku.
Ini memang perlu dipikirkan oleh Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) agar penerbit-
penerbit besar berani membuat pemerataan persebaran buku atau pendistribusiannya.
tetapi dengan catatan harga mesti sama dan akan lebih baik justru dikurangi lagi dari
harga rata-rata penjualan di Jakarta. Bagaimana ini, saya memang tidak tahu persis soal
ini. Tetapi paling tidak saya beranggapan bahwa ketidak terjangkuan masyarakat daerah
akan bahan bacaan buku bermutu adalah salah satu akibat dari tingginya biaya produksi
dan ongkos kirim. Sehingga yang bisa menikmati hanya orang-orang kota saja dan pasti
yang hanya punya duit berlebih. Daei jajak pendapat yang dilakukan oleh Harian Kompas
di Surabaya itu menunjukkan bahwa hampir tidak ada yang punya persediaan khusus
untuk membeli buku. Hal-hal seperti inilah antara lain yang juga kami diskusikan di Klub
Haus Buku bersama teman-teman peduli, meskipun ini tidak didengar.

39 Tanggapan to this post.

1.

Posted by Suryadi Yadi on 17 Juni 2008 at 20:56

PESTA BUKU JAKARTA 2008


Ratusan penerbit akan ikut serta dalam Pesta Buku Jakarta 2008!
Sekian banyak penerbit akan menghadirkan acara diskusi, talk show, seminar dan
launching buku-buku yang baru diterbitkan. Kesempatan ini akan digunakan oleh setiap
penerbit yang menjadi peserta pameran untuk menawarkan program diskon yang
bervariasi dan sangat menguntungkan bagi para konsumen.
Tidak salah jika setiap pengunjung berharap mendapati beraneka ragam buku tersedia
berbarengan dengan para penerbit yang berlomba-lomba
memberikan diskonnya selama Pesta Buku Jakarta 2008 berlangsung!
Kegiatan yang diselenggarakan oleh IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia)
DKI Jakarta ini akan berlangsung di Gedung Istora Gelora Bung Karno
Senayan Jakarta, mulai dari tanggal 28 Juni – 6 Juli 2008. Diawali dengan. Menariknya
acara pembukaan yang menghadirkan berbagai tokoh perbukuan di Indonesia.
Pesta Buku Jakarta mengusung tema ―Jakarta Banjir Buku‖ untuk
menggambarkan betapa banyaknya buku yang nanti akan ‗beredar‘ pada saat pameran
berlangsung. Para penggiat buku dan peminat baca dan penulis dari berbagai kalangan
masyarakat dari dalam negeri maupun luar negeri diajak untuk hadir dalam pameran ini.
Kunjungilah pameran buku terbesar dan terlengkap di Indonesia yang diadakan oleh
IKAPI DKI Jakarta, dan dapatkan pengalaman mencari buku favorit yang tidak
terlupakan!
http://www.klubhausbuku.blogspot.com

Masuk log untuk membalas

2.

Posted by Suryadi Yadi on 17 Juni 2008 at 20:59

LOMBA ANTAR BLOGGER DALAM RANGKA PESTA BUKU JAKARTA 2008


Dalam rangka kegiatan pesta buku jakarta dan ulang Tahun jakarta,
panitia PBJ akan mengadakan lomba antar Blogger akan di mulai
Tanggal 23 mei s/d 1 Juli 2008. Kegiatan ini merupakan salah satu apresiasisi para
blogger terhadap dunia buku. Karena bidang IT terutama internet atau dunia maya
memiliki peran penting dalam informasi-informasi mengenai buku dan lai-lain.
Untuk itu panitia mencoba mengadakan Lomba Blogger sebagai media
apresiasi terhadap dunia buku. Harapan dari Lomba ini semakin banyak orang
akan apresiasi terhadap Dunia IT terutama internet/ dunia maya dalam bentuk Ngeblog.
Disamping itu juga mengenal dunia perbukuan.

Masuk log untuk membalas

3.

Posted by Suryadi Yadi on 17 Juni 2008 at 21:11

A. KETENTUAN PESERTA
1. Peserta dari SMA, Perguruan Tinggi dan masyarakat umum
2. Lomba Antar Blogger yang akan di mulai tanggal 23 mei s/d 1 Juli 2008

B. CONTENT (ISI) LOMBA BLOGGER


Content Lomba blogger :
1.Nama Blog atas nama peserta lomba.

2.Tema Besar ―Pesta buku Jakarta 2008″ dan menampilkan Banner


Pestabuku di halaman depan Blog. Banner ―PestabukuJakarta‖ bisa diambil di web site
http://www.pestabukujakarta.com bagian bawah web site
3.Isi/conten dalam blog.
- Resensi 10 buku apa saja
- Tema buku apa yang anda paling suka( sastra, Novel, agama,
Ilmu sosial dan politik) dan berilah komentar salah satu tema buku yang anda suka
- Bagaimana apresiasi anda terhadap buku
- Komentar salah satu buku yang anda suka baca, Mengapa anda suka dengan buku yang
anda baca?
- Setiap Blogspot harus diberi komentar minimal 20 orang dan lebih banyak lebih bagus
- Komentar Blog tentang Pestabukujakarta, dan usul–saran dari peserta blog mengenai
pameran ini sendiri.
- Blog harus mempunyai Link ke 20 blogger teman
- Semua Blog mencatumkan link http://www.pestabukujakarta.com
- Menampilkan Schedule dan Lomba-Lomba acara dalam Pesta Buku Jakarta 2008 yang
ada dalam web site http://www.pestabukujakarta.com

4.Nama Blog dapat di Kirim ke email


pestabukujakarta@pestabukujakarta.comAlamat e-mail ini dilindungi
Dari spambot, anda harus memampukan JavaScript untuk melihatnya ,
ikapijaya@pestabukujakarta.comAlamat e-mail ini dilindungi dari
spambot, anda harus memampukan JavaScript untuk melihatnya atau
info@pestabukujakarta.comAlamat e-mail ini dilindungi dari spambot,anda harus
memampukan JavaScript untuk melihatnya di sertakan

Masuk log untuk membalas

Duh... Mahalnya Harga Buku

Minat baca tinggi, tapi daya beli lemah. Penerbit pun kembang-kempis.

Awal Mei lalu lapangan basket di Istana Olah Raga Bung Karno mendadak dipenuhi buku. Ribuan orang datang menyesaki tempat itu.

Ada yang sekadar melihat-lihat, ada yang memburu buku murah dalam pameran buku, sebuah ajang pamer buku tiap tahun oleh

Gramedia dan Argo Pustaka. Pada acara pameran seperti ini para penerbit berani jor-joran diskon, sampai 70%.

Kedua penerbit itu menjajakan buku terbitan mereka. Ada buku keluaran terbaru, ada juga stok lama yang mereka obral.Tema bukunya

pun beragam, mulai agama, teknologi, ilmu pengetahuan, fiksi, dan buku dongeng untuk anak-anak. Berbagai kegiatan memeriahkan

acara itu. Ada lomba lukis anak-anak, workshop fotografi, pelatihan menulis fiksi, dan temu artis.

Himatul Ulya adalah salah satu pendatang. Ia asyik mengubek-ngubek buku di rak paling pinggir di ruang pameran. Ia antusias meliahat

buku-buku yang di pamerkan. Selain murah, judulnya pun beragam. Apalagi selama ini wanita berpostur gempal ini jarang membeli

buku karena mahal. Dalam setahun buku yang ia beli dapat dihitung dengan jari.

Perempuan usia 25 tahun itu mengaku sudah jarang membaca buku. Kalau ada pameran buku murah dia menyempatkan diri untuk
membelinya. ‖Kalau ada pameran begini kan ada diskon," kata perempuan berambut sebahu ini.

Beberapa tahun ini harga buku terus naik. Empat tahun lalu Himatul bisa menyisihkan uang Rp 100 ribu untuk membeli beberapa buku.

Tapi kini uang sebanyak itu hanya cukup untuk membeli dua novel.

Meliana, ibu rumah tangga, juga mengeluhkan mahalnya buku. Sejak menikah, perawat di sebuah rumah sakit swasta di Jakarta ini

jarang mengunjungi toko buku. Penghasilan dia dan suaminya tidak cukup untuk membeli buku lain selain buku-buku sekolah anak

mereka.

Penghasilan suaminya sebagai pegawai swasta rendahan hanya cukup untuk biaya hidup sehari-hari. Membeli buku-buku sekolah untuk

anak-anaknya pun sangat berat. Buku anak-anak yang disediakan sekolah mau tak mau harus dibayar. Apalagi kini setiap tahun buku

sekolah berubah, sehingga tiga orang anaknya tidak bisa memakai buku secara bergantian. Terpaksa tiap tahun Meliana mengeluarkan

uang untuk membeli buku-buku untuk tiga anaknya.

Selain buku pelajaran untuk anak-anaknya, perempuan 37 tahun ini jarang membeli buku. ―Kalau beli buku lain ya pas lagi ada diskon

saja," kata Meliana. Yang dimaksud wanita berkerudung ini biasanya diskon buku yang mencapai 50%. Sebab, tidak ada dana khusus

dalam anggaran rumah tangganya yang dialokasikan untuk membeli buku.

Hari itu Meliana membeli beberapa buku yang sedang dikorting. Momen pameran sangat ia tunggu-tunggu. Ia membeli tiga buku

dongeng anak dan sebuah buku agama yang diskonnya 50%.

Wanita berkulit kuning langsat ini mengeluhkan mahalnya harga buku. Keluarganya yang tergolong ekonomi menengah saja tidak bisa

membeli buku setiap bulan. Apalagi masyarakat golongan menengah bawah. Padahal, berdasarkan data Bank Indonesia pada tahun 2006,

40 juta warga Indonesia berada di bawah garis kemiskinan. Bisa dibayangkan betapa banyak masyarakat Indonesia yang bahkan tidak

bisa mencicipi buku sekolah.

Karena tidak mampu membeli buku tiap bulan, Meliana akhirnya mengajak anak-anaknya mengunjungi toko buku dan menyuruh

mereka membaca buku di sana. Dengan cara itu dia tidak perlu membeli buku. Itu pun kalau bukunya tidak dibungkus plastik, sehingga

pengunjung toko diperbolehkan membaca dan melihat isinya. Namun, kebanyakan buku yang dipajang di toko terbungkus plastik.

‖Kalau liburan saya ajak anak-anak ke toko buku, tapi ya baca-baca di tempat aja,‖ ujarnya.

Turunnya daya beli masyarakat terhadap buku merupakan persoalan bagi penerbit. Pendapatan penerbit pun turun. Menurut Ketua Ikatan

Penerbit Indonesia (Ikapi) Setia Dharma Madjid, turunnya daya beli masyarakat terjadi sejak kenaikan harga bahan bakar tahun 2005.

Menurut dia, sebenarnya minat baca masyarakat Indonesia cukup tinggi. Sementara biaya produksi buku terus meningkat. Kenaikan

harga kertas dan tingginya pajak merupakan faktor utama kenaikan ongkos produksi. "Harga kertas selalu naik setiap tahun, belum lagi
pajak yang berlipat-lipat," katanya.

Menurut catatan Ikapi, setiap tahun buku yang terbit di Indonesia hanya sekitar 10 ribu judul. Dibandingkan dengan jumlah penduduk

yang mencapai 220 juta, jumlah itu sangat kecil. Vietnam yang berpenduduk 80 juta jiwa setiap tahun mampu menerbitkan 15 ribu judul.

Sedangkan Malaysia yang memiliki 26 juta penduduk tiap tahun menerbitkan 10 ribu judul, di luar buku pelajaran.

Setia Dharma juga mengeluhkan belum meratanya distribusi buku. Dari 740 penerbit di tanah air, tak satu pun yang berada di Indonesia

bagian timur. Akibatnya, pengiriman buku ke bagian timur menjadi mahal, mencapai lima kali lipat. Tentunya harga buku juga menjadi

lima kali lipat lebih mahal. Akibatnya penyebaran buku ke Indonesia bagian timur juga berkurang.

Namun Kepala Humas Departemen Pendidikan Nasional Bambang Warsito membantah adanya pajak buku yang tinggi sudah dalam

perhitungan pemerintah. Menurut Bambang, sebenarnya yang perlu dievaluasi adalah margin biaya cetak dan harga dasar buku-buku

yang dikeluarkan penerbit. Berdasarkan data Depdiknas, biaya cetak buku-buku sekitar 30% dari harga dasar. ―Memang dari biaya cetak,

distribusi, dan sebagainya cukup tinggi dari negara lain,‖ katanya.

Penerbit dan pemerintah saling lempar tanggung jawab atas mahalnya harga buku di Indonesia. Jika buku mahal, ilmu juga mahal. Kapan

rakyat pintar? (E2)

Ciri-ciri buku yang berkualitas


Written by admin

oleh : Toha Nasruddin

Naskah buku adalah tulang punggung penerbit. Tanpa sebuah naskah, tidak akan ada penerbitan.
Naskah buku bisa didapatkan dengan berbagai cara, di antaranya kreativitas penerbit dengan
menyusun langsung buku-buku tertentu, kiriman penulis, hasil kajian ilmiah pakar tertentu, atau
jika mungkin penerbit mengadakan sayembara mengarang/menulis buku, yang terbaik nanti
diterbitkan.

Walau demikian tidak sembarang naskah akan diterbitkan, semuanya harus memenuhi
persyaratan. Hal ini baik menyangkut bisnis maupun idealisme. Sebuah penerbitan akan rugi
besar jika buku yang diterbitkan ternyata tidak laku di pasaran. Begitu pula seorang penerbit
harus mempunyai tanggung jawab moral untuk mencerdaskan masyarakat, tidak melulu bisnis.

Menurut Sofia Mansoor dan Niksolim (1993), untuk menerbitkan sebuah buku sebuah penerbitan
harus bisa memenuhi kriteria berikut ini:

1. Keperluan
Apakah buku ini memang diperlukan masyarakat? Mengapa?
2. Sasaran pembaca
Siapakah pembaca buku ini: umum, dewasa, anak-anak, kaum ibu, orang tua, mahasiswa
(jurusan apa, tingkat berapa).

3. Jumlah Pembaca
Berapa kira-kira ukuran pasar? Hal ini tidak mudah dijawab, tetapi untuk buku tertentu
jawabannya mudah. Misalnya, buku pelajaran mudah diperkirakan jumlah pembacanya karena
yang menggunakannya pelajar pada jenjang pendidikan tertentu.

4. Isi Naskah
Apakah isi naskah tidak menyinggung SARA (suku, ras, agama, dan antar golongan/adat
istiadat), tidak menentang ideologi negara, sesuai dengan tingkat pembaca?

5. Saingan
Apakah ada buku lain yang menjadi saingan buku tersebut? Sebutkan judulnya. Apa kelemahan
dan kelebihan naskah buku ini dibanding saingannya?

6. Penyajian
Apakah isi ditulis dengan susunan tertib, apakah bahasa pengarang mudah dipahami, apakah
ilustrasi mendukung uraian?

7. Kemutakhiran
Apakah isi buku ini tidak ketinggalan zaman? Jawabannya dapat diperolah dengan mengamati
daftar pustaka yang diacu pengarang.

8. Hak cipta
Apakah penelaah mengenali ada bagian yang dikutip dari buku lain? Penerbit harus waspada
agar jangan sampai penerbit dituntut karena menerbitkan buku jiplakan.

9. Kelayakan terbit
Apakah buku tersebut layak diterbitkan oleh penerbit yang bersangkutan? Sejumlah penerbit
hanya menerbitkan buku-buku tertentu, buku agama, sekolah, universitas misalnya.

Seorang penulis yang mampu menyelami nurani massa, akan mampu menulis buku yang bukan
hanya berkwalitas, tapi juga disukai khalayak pembaca. Buku yang laku, akan menguntungkan
dari segi dakwah, semakin banyak pembaca berarti dakwah semakin tersebar luas. Dari sudut
ekonomi, baik penerbit maupun penulis, jelas akan diuntungkan dengan buku best seller (laris di
pasaran).

sumber - http://penulissukses.com/?id=intermedia08

Bagaimana Seorang Editor Menilai Sebuah Naskah?


Written by admin

oleh Abu Al-Ghifari


Editor atau redaktur adalah pembaca pertama naskah yang dikirimkan kepadanya. Ia membaca
karya pengarang. Sebagai seorang pembaca, ia tidak hanya sekedar membaca, tetapi juga menilai
dan mempertimbangkan apakah karangan ini pantas dan berguna bagi pembaca?

Pada hakikatnya naskah yang masuk mempunyai dua ciri:


(1) naskah yang ditulis penulis amatir dan
(2) naskah yang ditulis pengarang profesional.

Kebanyakan naskah yang diterima editor manapun di atas bumi ini berasal dari penulis amatir
ketimbang penulis profesional. Kaum amatir mungkin saja berprofesi guru, penatar, dan
sebagainya, namun cara penulisannya masih ―mentah‖ atau meniru-niru gaya penulis lain
sehingga tidak orisinil. Editor yang terlatih sangat tangkas, mengenali tulisan semacam ini.
Bahkan ada editor yang mengatakan bahwa ia menerima naskah dari kelompok amatir (90%) dan
dari kelompok profesional (10%).

Penulis amatir umumnya miskin argumentasi dan kurang memperhatikan sistematika penulisan
(apakah untuk mass media ataukah untuk bidang sendiri). Sulitnya, justru yang 10% itulah yang
menjadi tumpuan harapan editor untuk memperoleh karangan yang baik dan memenuhi syarat
dari segi isi dan bentuk.

Penerbit surat kabar atau majalah mempunyai cara sendiri untuk memproses naskah yang
diterimanya. Setiap penerbit mempunyai ―house-style‖ yang berlaku di penerbitnya. Naskah
yang masuk ke sekretariat diteruskan kepada ―pembaca‖ pertama dan kemudian diserahkan
kepada editor yang bertanggung jawab pemuatannya (setelah diseleksi). Pengarang yang
profesional berharap sesuatu dari karangannya, begitu juga editor yang profesional berharap
sesuatu dari karangan yang diterbitkannya.

Nah, jelasnya, mengapa sebuah karangan dikembalikan?

Karangan tersebut tidak cocok dengan misi media bersangkutan atau terlalu bersifat
menggurui.
Karangan tersebut mirip-mirip dengan karangan yang telah pernah dimuat.
Terlalu panjang untuk topik tertentu atau mungkin juga terlalu pendek.
Kalau menyangkut karangan kreatif, mungkin tulisan tersebut terlalu lemah dari segi
karakter (tokoh), plot maupun atmosfer pada bagian-bagian tertentu karangan tersebut.
Terlalu sarat dengan teori yang mungkin melelahkan pembaca atau berbau propaganda
yang tidak disenangi pembaca.
Tulisannya tidak rapi atau sukar dibaca

Alangkah bijaksananya jika penulis belajar dari kesalahan itu dan berusaha untuk berbuat yang
lebih baik lagi. Untuk itu jika naskah dikembalikan, maka ada beberapa hal yang harus Anda
lakukan:
a. Arsipkan naskah itu (jangan dibuang).
b. Konsultasikan dengan penulis profesional tentang letak kekurangannya.
c. Perbaiki dan ketik lagi, kirim ke media lain.
Media yang telah bonafide, kadang menyertakan keterangan singkat tentang penyebab artikel
Anda dikembalikan. Untuk itu Anda tinggal memperbaikinya dan mengirim ke media lain yang
visinya sesuai untuk artikel itu. Namun keterangan singkat itu kadang membingungkan karena
formatnya telah jadi dan redaksi kadang dengan seenaknya menilai artikel kita dengan format itu.
Hal itu terjadi karena begitu banyak artikel yang dikirim penulis dan redaksi tidak ada waktu
banyak untuk membaca seluruhnya, hanya artikel yang berkualitas yang akan diambil redaksi.

Menyikapi Artikel yang Tidak Dikembalikan


Semua penulis berharap artikelnya diterbitkan atau paling tidak dikembalikan jika tidak
diterbitkan. Kenyataannya, jangankan diterbitkan, dikembalikan pun tidak.

Mengantisipasi hal tersebut, penulis sebaiknya mengarsipkan dalam komputernya atau artikel itu
difoto copy sebelum dikirim. Jika tidak diterbitkan dan redaksi tidak mengembalikannya, naskah
Anda bisa diketik atau diprint lagi untuk dikirim ke media lain.

Berapa lamakah memastikan artikel itu tidak akan diterbitkan? Hal ini sangat variatif. Untuk
surat kabar harian biasanya antara seminggu hingga dua minggu dari semenjak dikirim; untuk
tabloid (mingguan), biasanya antara dua minggu hingga sebulan dari semenjak dikirim. Untuk
media cetak bulanan seperti majalah, biasanya antara dua hingga empat bulan dari semenjak
dikirim.Untuk itu jika dalam jangka waktu tersebut artilel Anda tidak juga diterbitkan, maka
naskah Anda boleh diketik lagi atau diprint lagi dan kirim ke media cetak lain.

Jangka waktu yang kami sebutkan itu bukanlah hal baku, hal itu hanya menurut rata-rata saja
dari pengalaman kami. Kadang ada artikel yang setelah satu tahun baru diterbitkan.

Evaluasi Buku Sunda 2006


Kamis, 01/02/2007 - 11:05 - dikirim oleh: imelda. Berita

Atep Kurnia *)

ORANG Sunda boleh sedikit berbangga hati bila menengok kehidupan sastranya. Buku-buku
berbahasa Sunda selalu terbit setiap tahun. Hadiah-hadiah sastra, seperti Rancage, LBSS, dan
hadiah lainnya rutin dihidupkan. Media massa, juga ikut menyemarakkan kehidupan sastra.

Ya, kehidupan sastra Sunda bisa dibilang lebih beruntung dibanding dengan sastra daerah
lainnya. Khusus mengenai buku-buku Sunda yang terbit sepanjang tahun 2006, sedikitnya
tercatat ada 26 judul buku. Buku-bukunya tentu beraneka-ragam. Ada karya sastra, kumpulan
lelucon, kamus, kumpulan esai, buku agama, dan buku pengajaran.

Karya sastra

Dari rumpun sastra, tercatat ada 14 buku berbahasa Sunda yang terbit. Tahun 2006, terbit empat
judul kumpulan cerita pendek Sunda. Aan Merdeka Permana menerbitkan dua judul: Keroncong
ti Kutoarjo (cetak-ulang) dan Album Carpon. Kiblat Buku Utama menerbitkan Oleh-Oleh
Pertempuran buah tangan Rukmana HS. Satu lagi cetak-ulang Nu Tareuneung karya Ki Umbara.
Sementara, kumpulan sajaknya terbit dua judul. Tetapi keduanya bukan karya tunggal,
melainkan karya bersama. Pertama, Neangan Bulan, karya Chye Retty Isnendes dkk yang
diterbitkan oleh Balai Pengelolaan Taman Budaya Jawa Barat. Sedangkan yang kedua, adalah
Surat keur Bandung buah karya Acep Zamzam Noor dkk yang diterbitkan oleh Kiblat.

Untuk bacaan anak-anak Sunda, yang tercatat sampai bulan Desember 2006 ada dua karya. Nu
Ngageugeuh Legok Kiara, karya Dadan Sutisna, dan Jatining Sobat, keduanya berupa cetak-
ulang.Begitu pula dengan roman Sunda, pada tahun 2006 tak terbit karya baru. Yang ada
hanyalah cetak-ulang Buron, karya Aam Amilia (dulu diterbitkan Dasentra, kini diterbitkan
Pustaka Amaldi). Lainnya, Bentang Pasantren karya H. Usep Romli HM terbitan Kiblat.

Karya lainnya berupa kumpulan dangding dan sawer karya Apung S. Wiratmadja, Lagu Liwung
Urang Bandung yang juga diterbitkan oleh Kiblat. Beruntung, tahun 2006 diperkaya terbitnya
beberapa buku karya Aan Merdeka Permana. Selain yang telah disebutkan di atas, Aan
menerbitkan tiga judul cerita sejarah: Rambut Kasih (baru terbit 9 jilid dari rencana 12 jilid),
Pasukan Siluman Haji Prawatasari, dan Silalatu Gunung Salak (cetak ulang).

Kamus

Tahun ini, kamus Sunda yang ditunggu-tunggu akhirnya terbit juga. Itulah Kamus Sunda R.A.
Danadibrata yang memiliki 40 ribu entri. Walaupun tahun ini kamus Sunda hanya terbit satu, tapi
bisa dibilang fenomenal. Sebab kamus yang diterbitkan oleh Panitia Penerbitan Kamus Basa
Sunda (PPKBS) ini, termasuk paling lengkap bila dibandingkan dengan kamus-kamus bahasa
Sunda yang terbit sebelumnya.

Buku lainnya

Buku-buku pengetahuan umum yang bisa dipakai untuk pembelajaran, terbit tiga judul. Pertama,
Tatarucingan Urang Sunda susunan Rachmat Taufiq Hidayat dan Darpan. Kedua, Sambel Jaer
karya Asep Ruhimat yang diterbitkan oleh Puspawarna Pustaka Nusantara, dan Nu Sarimbag &
Unak-Anik dina Tembang Sunda, karangan Apung S. Wirtatmadja. Sementara kumpulan lelucon
ada dua judul: Dulag Nalaktak (H. Usep Romli HM) dan Keom Sakedap (Syam Ridwan). Nama
terakhir ini aktif pada Komunitas Urang Sunda di Internet (KUSnet). Tulisan-tulisan dalam buku
itu pun, sebelumnya pernah di-posting ke dunia maya (internet).

Buku agama, tahun 2006 lalu terbit dua judul. Surah Yasin yang diterjemahkan ke dalam bahasa
Sunda disertai terjemahannya dalam bentuk dangding oleh R.H. Hidayat Suryalaga dan
Nadoman Nurul Hikmah karya R.H. Hidayat Suryalaga yang diterbitkan oleh Yayasan Nurul
Hidayah.Satu-satunya buku kumpulan esai yang terbit tahun 2006, adalah buah karya mendiang
Edi S. Ekadjati. Buku berjudul Nu Maranggung dina Sajarah Sunda itu diterbitkan Yayasan
Pusat Studi Sunda.

Karya yang lainnya terdiri dari kumpulan surat cinta Mangsi Asih Kalam Tresna karya Aam
Amilia dkk. Lalu, kartun Sunda Si Mamih 2 karya Edyana Latief dan terjemahan UUD 1945,
Undang-Undang Dasar Nagara Republik Indonesia Taun 1945 (Tarjamahan teu Resmi) yang
diterjemahkan oleh Drs. Karna Yudibrata dkk.
Evaluasi

Jika dibandingkan dengan buku-buku yang terbit tahun 2005, buku-buku yang terbit tahun 2006
mengalami peningkatan. Pada tahun 2005, jumlah buku Sunda yang terbit hanya 18 judul, tetapi
sekarang mencapai 26 judul. Jadi ada penambahan sebanyak delapan judul. Salah satu sebabnya,
penerbit yang mengeluarkan buku Sunda tahun 2006 bertambah. Ada 10 penerbit yang tahun ini
menerbitkan buku Sunda. Padahal pada tahun sebelumnya, menurut catatan, hanya ada tiga
penerbit yang mengeluarkan buku Sunda.

Penerbitnya sendiri, ada yang sudah langganan menerbitkan buku-buku Sunda seperti Kiblat
Buku Utama. Dari 26 judul buku yang terbit, Kiblat menerbitkan 13 judul buku. Kemudian, lima
judul diterbitkan atas prakarsa pribadi Aan Merdeka Permana. Sisanya diterbitkan oleh beberapa
penerbit yang turut menerbitkan buku Sunda. Di antaranya ada penerbit Puspawarna Pustaka
Nusantara dan Pustaka Amaldi.

Selain itu, ada juga lembaga-lembaga baik yayasan, paguyuban, maupun lembaga pemerintah
yang ikut serta mengeluarkan buku Sunda. Yayasan Pusat Studi Sunda menerbitkan Nu
Maranggung dina Sajarah Sunda, sementara Yayasan Nurul Hidayah menerbitkan Nadoman
Nurul Hikmah.

Dari Paguyuban Seniman Tembang Sunda/Cianjuran Tatar Sunda ada Nu Sarimbag & Unak-
Anik dina Tembang Sunda. Sementara dari Balai Pengelolaan Taman Budaya Jawa Barat ada
Neangan Bulan. Dan dari Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia terbit Undang-Undang Dasar Nagara Republik Indonesia Taun 1945 (Tarjamahan teu
Resmi).

Satu lagi, dari Panitia Penerbitan Kamus Basa Sunda, hasil kerjasama antara penerbit Kiblat
Buku Utama dan Universitas Padjadjaran (Unpad), terbit kamus monumental Kamus Sunda R.A.
Danadibrata. Oleh karena itu, bila dipandang baik dari jumlah buku maupun penerbitnya,
keadaan buku Sunda tahun 2006 cukup menggembirakan dibandingkan tahun-tahun
sebelumnya.***

*) Atep Kurnia, Pembaca dan peminat buku-buku Sunda, tinggal di Bandung.

Sumber: Pikiran Rakyat, Sabtu, 6 Januari 2007


http://cabiklunik.blogspot.com/atom.xml

Misteri Pedang Skinheald, Buku Anak Karya Anak


(Sang Pembuka Segel)
oleh Ambu Dian

Buku 1 dari 3
A Ataka AR
Penerbit Alenia, Juni 2005
xii + 176 hlm
Rp 23.700

Nanti dulu, ini bukan buku fantasi kepunyaan Ambu! Ini buku fantasi kepunyaan Devina...

Hehe, ini memang buku anak karya anak. Kalau Christopher Paolini menulis Eragon saat ia baru
berusia 15 tahun (dan Eldest-nya lama sesudahnya) maka Misteri Pedang Skinheald (MPS) ini
ditulis Ataka pada saat ia belum berusia 13 tahun! Ia berulang tahun ke 13 bulan Juli kemarin..
Mudah-mudahan Ata tetap rajin menulis, ya..

Sekarang buku anak karya anak memang semakin menjamur. Dan yang menerbitkan cerita
sehari-hari, memang sudah banyak. Dari DAR!Mizan aja udah berapa terbitan ’Kecil-kecil
Punya Karya’. Tetapi halamannya terbatas, hurufnya besar-besar, ilustrasi juga banyak. Serta
ceritanya berkisar pada cerita sehari-hari. Sedangkan buku fantasi memang baru sedikit. Ini
adalah satu di antara yang sedikit itu..

Ceritanya fantasi, dan penuh dengan makhluk khas genre fantasi, seperti elf, dwarf, goblin, dan
ada juga ghostmorgana. Jalan ceritanya seperti biasa, ada kekacauan, ada perebutan kekuasaan,
dan ada musuh yang kekuatannya maha besar dan hanya bisa dihentikan oleh Pedang Skinheald.
Tetapi Pedang Skinheald sendiri tersegel, dan hanya orang tertentu yang bisa membuka segelnya.
Setelah limapuluhdua tahun segel itu akan dibuka, karena sudah ditemukan orang yang akan
membukanya, yaitu orang yang lahir pada 5 Undangoi 35 D.

Apakah itu? Apakah itu tanggal lahir? Kenapa di akhirnya memakai huruf ‘D’ kalau
begitu? Bukankah tanggal selalu diakhiri dengan ’R’? Lalu siapakah Robin, si guru
sekolah Ayo Menanam Singkong? Dia kan pemilik rumah terbesar di Burton, lalu memangnya
kenapa?

Harus diakui ceritanya seru, tetapi cerita masih berbelok-belok ke sana ke mari. Ata masih
suka bertele-tele dalam suatu hal, dan bersicepat dalam hal lain. Jadi kadang berjalan di tempat,
kadang berlari. Plot utamanya juga masih suka bingung ditebak, sebenarnya ini mau ke mana?
Tulisan ini mungkin masih bisa dirapikan lagi. Mungkin dengan bertambahnya umur, Ata akan
makin piawai merapikan. Di mana harus memberikan informasi lebih pada pembaca, di mana
tidak. Di mana kira-kira pembaca sudah dianggap bisa mencari sendiri dan di mana harus diberi
petunjuk.

Dan ada bagian tertentu di mana kita akan merasa ’sudah pernah membacanya’. Karena
Ataka memang menyukai JRR Tolkien, JK Rowling, CS Lewis, sehingga memang ada bagian-
bagian tertentu yang ‘mirip’. Mudah-mudahan dengan semakin besarnya Ataka, dia harus
menciptakan sendiri plot-plot dalam ceritanya. Sehingga orang akan mengatakan: ‘oh, ini
seperti bukunya Ataka’ saat dia membaca sesuatu. Hehe, mudah-mudahan aja ya?
Trus, selain dari pembatas buku, buku ini memberikan 8 kartupos dengan gambar chapter picture
(gambar yang ada di halaman judul bab). (Kalau saja Harry Potter memberikan kartupos dengan
chapter picture *bletak! ambu dikemplang*)

Kabar Ataka terakhir, MPS jilid 2-nya sedang dalam proses edit. Diharapkan terbit akhir Maret
ini. Dan, halamannya lebih banyak. MPS 1 waktu diserahkan pada editor, 160 halaman. Sedang
MPS-2 ini sekitar 400 halaman. Wah!

Posted on March 5, 2006 2:42 AM | Permalink

Anda mungkin juga menyukai