Anda di halaman 1dari 8

Majalah Anak-anak, Masa Lalu yang Selalu Dirindu

 Arifina Budi

20 Januari 2017

Keterangan Gambar Utama © Kidnesia

Siapa tak rindu masa kecil yang punya banyak cerita berwarna? Tiap-tiap diri kita tentu
punya cerita masa kecil yang amat dirindukan, termasuk dengan hal-hal yang disaksikan dan
dialami. Waktu kecil sebelum gaya hidup digital merasuki relung kehidupan, anak-anak
menghibur diri dengan bermain bersama teman atau membaca buku cerita. Rasanya dulu
senang sekali jika sudah membaca sebuah buku cerita. Menurut buku Children and
Literature yang ditulis oleh John Warren Stewig, buku bacaan sastra bagi anak-anak akan
memberikan kesenangan pada mereka dan memberikan pemahaman yang baik. Sebenarnya
literasi untuk anak-anak di Indonesia mulai muncul pada tahun 1896 dengan terbitnya sebuah
karya sastra buku bacaan anak tertua di Indonesia berjudul Indische Kinderboeken (Buku anak-
anak Hindia). Lalu tahun 1920 penulis Mohammad Kasim menjadi pemenang sayembara
mengarang bacaan anak yang diselenggarakan oleh Balai Pustaka dengan judul Pemandangan
dalam Doenia Anak. Seiring berjalannya waktu dan mulai stabilnya dinamika media-media
massa di Indonesia, bermunculanlah jenis bacaan anak lainnya yang selalu terkenang, yakni
berupa majalah.

1
Majalah anak-anak pertama di Indonesia adalah majalah "Kunang-kunang" (foto:
koleksitempodoeloe)
Majalah anak-anak yang pertama kali terbit di Indonesia adalah majalah Kunang-
kunang. Majalah yang berukuran tak begitu besar ini terbit pertama kali tahun 1949 oleh Balai
Pustaka. Kala itu tampilannya pun masih sederhana namun amat klasik dengan gambar sampul
hasil karya tangan dan kertasnya berupa kertas koran. Pada masa itu, majalah ini selalu
ditunggu oleh anak-anak.
Setelah majalah Kunang-kunang, orang tua kita mungkin masih sempat membaca
majalah Si Kuntjung. Ini merupakan majalah yang amat legendaris pada era tahun 50an sampai
70an. Majalah ini tepatnya terbit pertama pada tahun 1956. Dulu majalah Si Kuncung terbit
sebulan sekali dan tentunya kehadirannya tiap bulan sangat dinantikan oleh anak-anak. Si
Kuncung berisi 16 halaman yang mencangkup cerita-cerita pendek, salah satu yang legendaris
adalah cerita tulisan Soekanto SA berjudul "Si Mulus Opelet Tua" atau karya Ris Thorik yang
berjudul "Berburu Ikan Paus".

2
Majalah "Si Kuncung" menjadi trendsetter majalah anak-anak di Indonesia (foto: plus.google)

Selain Si Kuncung ada juga majalah ana-anak bernama Putera Puteri yang terbit pada
tahun 1958 oleh PT Inpress. Si Kuncung pun menjadi sepak terjang terbitnya majalah anak-
anak di Indonesia. Tahun 1973 PK Ojong selaku direktur Kompas Gramedia kala itu
mencanangkan menerbitkan majalah anak-anak dan akhirnya terbitlah majalah Bobo, majalah
yang masih eksis sampai saat ini. Majalah ini sebenarnya ditujukan untuk anak usia 6-12 tahun,
tapi kenyataannya hingga kini banyak juga orang dewasa yang masih membaca Majalah Bobo.

3
Sampul majalah "Bobo" edisi pertama tahun 1973
Bobo menjadi majalah anak berwarna pertama di Indonesia dengan menampilkan
banyak komik di dalamnya. Siapa tak kenal dengan Oki dan Nirmala serta Bona dan Rong-
rong? Dua komik ini selalu mengisi majalah Bobo di setiap edisinya. Selain majalah, bacaan
anak-anak zaman dulu ada pula yang berupa tabloid, salah satunya yang paling terkenal adalah
Tabloid Fantasi. Berbeda dengan majalah, tabloid Fantasi lebih banyak berisi tentang serial-
serial fantasi anak-ana seperti Ksatria Baja Hitam RX atau Mighty Morphin Power Rangers.
Tak hanya itu, tabloid ini juga punya rubrik khusus empat halaman yang membicarakan soal
game. Selain itu, sempat muncul pula tabloid anak lainnya, seperti Fantasi, Hoplaa,
dan Bianglala. Bahkan, terbit pula Koran Anak Berani yang menjadi koran anak pertama di
Indonesia.

4
Tabloid "Fantasia" adalah tabloid anak-anak yang mengulas serial fantasi dan game
anak-anak pada masa itu
Kini memang kehidupan manusia sudah didominasi dengan hal-hal yang berbau digital.
Namun, setidaknya kehadiran majalah dan tabloid anak-anak masih ada hingga sekarang,
seperti majalah "Bobo" yang memang sudah menjadi legenda majalah anak-anak.
Bagaimanapun, anak-anak tetap harus diasupi dengan bacaan-bacaan nondigital seperti
majalah dan tabloid agar motorik dan imajinasinya terasah dengan baik.

https://www.goodnewsfromindonesia.id/2017/01/20/majalah-anak-anak-masa-lalu-yang-
selalu-dirinduDiaskes 8 Juli 2019

5
Kesusastraan Bagi Anak-anak

April, 18, 2011


Kurnia JR

Kompas, 28 Des 2008

APA yang kita dapati di Indonesia sekarang mungkin agak mirip abad yang dihayati
Charles Dickens dulu. Kita masih menyaksikan anak-anak berkeliaran di jalan-jalan hingga
larut malam. Mereka mengelap kaca mobil yang berhenti saat lampu lalu lintas menyala merah,
melompat ke dalam bus kota untuk mengamen, mengemis di jembatan penyeberangan, menjadi
korban sodomi dan pemerkosaan, bergaul dengan pencopet, dan sebagainya. Tak sedikit anak-
anak di bawah umur terpaksa bekerja membantu orangtua atau diperdagangkan menjadi
pelacur.

Kasus penyiksaan orangtua terhadap anak sering mengisi halaman surat kabar. Inilah
sisi dunia rapuh anak-anak. Tampaknya kesusastraan kontemporer kita kurang menaruh
perhatian pada kenyataan ini. Saya ingat sebuah cerita yang menarik tentang anak-anak jalanan:
Burung-burung Kecil. Kisah ini dimuat sebagai cerita bersambung di majalah Femina pada
1991. Pengarangnya lebih suka dikenal dengan nama Kembangmanggis. Dia melakukan riset
dan menuangkan hasilnya dalam bentuk novelette tentang anak jalanan di kawasan Senen,
Jakarta Pusat. Kisah terbaru yang sedang digandrungi adalah Laskar Pelangi karya Andrea
Hirata. Betapapun, setiap orang mendambakan harapan atas dunia yang tak selalu memenuhi
kebutuhan. Secara umum, Laskar Pelangi menanggapi harapan itu, menggugah kesadaran
tentang perubahan yang bisa diupayakan.

Kenyataan boyak pada suatu generasi hanya bisa ditanggulangi oleh generasi yang
bersangkutan dengan ketangguhan diri hasil pendidikan yang wajib disediakan oleh generasi
pendahulu. Empati terbesar tentu dimiliki oleh yang terlibat. Anak-anak yang beruntung di
segala zaman menikmati pendidikan melalui kesusastraan. Para penutur dongeng, penulis, serta
penyanyi lagu ninabobo dari masa ke masa menaruh perhatian besar pada anak-anak. Bahkan,
bagi orang dewasa, kesusastraan menyapa lewat naluri kanak-kanak. Sastrawan menulis dan
bertutur lewat imajinasi kanak-kanak yang bersemayam dalam jiwa mereka.

Contoh yang klasik adalah Alice in the Wonderland (1865) karya Lewis Carroll yang
masyhur. Kisah itu sangat digemari anak-anak di berbagai negeri. Melintasi masa hampir satu
setengah abad, kisah petualangan Alice terus diterjemahkan ke dalam banyak bahasa dan
direproduksi ke dalam berbagai bentuk, dari prosa ke komik, terus ke film dan sebagainya.
Lewis Carroll alias Charles Lutwidge Dodgson adalah seorang ahli matematika dan logika.
Fakta ini menegaskan bahwa sastra bagi anak-anak menuntut integritas yang berdisiplin tinggi.
Para redaktur majalah anak-anak pastilah memahami hal itu sehubungan dengan cerita-cerita
yang mereka terbitkan. Selayaknya, kita pun patut menyadari konteks budaya dan ekonomi
dari karya yang diciptakan di suatu tempat pada suatu masa.

6
Dunia anak-anak dari sudut pandang literer bukan miniatur dunia orang dewasa. Dunia
mereka adalah wilayah otonom yang menuntut disiplin logika tersendiri. Wilayah anak-anak
bukanlah tempat bagi penulis yang sembrono dan menganggap publiknya sekadar tong sampah
tempat segala kebohongan ditumpahkan. Sebagian penulis kadang-kadang terjerumus pada
anggapan bahwa dongeng untuk anak-anak cukup berisi ajaran moral yang sumir: kejahatan
dikalahkan kebaikan. Prinsip simpel semacam ini umumnya dianut oleh penulis komersial,
yang memandang anak-anak sebagai target pasar semata. Mereka lupa bahwa pengolahan
imajinasi adalah aspek yang tak boleh diabaikan, disertai aspek moral khas yang lentur.
Keluwesan adalah fondasi penting supaya anak-anak tidak dipukau oleh jarak tak terjembatani
antara apa yang mereka baca dan apa yang mereka saksikan di dunia nyata.

Dongeng-dongeng HC Andersen menjadi klasik bahkan bagi pembaca dewasa. Kisah-


kisahnya tak sekadar menyajikan moral kebaikan dan ketabahan, tetapi juga keindahan yang
menyentuh hati. Setelah menempuh perjuangan disertai kejujuran dan ketabahan, kisah ditutup
dengan pola yang masyhur dan kita hafal: ”Mereka pun selanjutnya hidup bahagia selama-
lamanya.” Dongeng-dongeng Andersen atau Jacob Grimm membuat masa kanak-kanak
berjuta-juta orang terasa indah dalam kenangan. Pola cerita yang mereka terapkan tetap berlaku
hingga sekarang. JK Rowling dan JRR Tolkien bertolak dari sistem moral yang baku dalam
karya-karya mereka yang sukses besar secara komersial dan boleh dibilang menjadi dongeng
abad ini. Tokoh baik mengalahkan tokoh jahat. Betapapun angker dan perkasa si tokoh jahat,
ia pasti lebih lemah di hadapan tokoh baik. Kita tunggu, setangguh apa Harry Potter dan The
Lords of the Ring menghadapi ujian waktu.

Andersen menulis dari lubuk hati dan empati karena ia kenal penderitaan sejak masa
kecilnya. Ia tuturkan imajinasinya yang hebat dengan gaya yang memukau: tentang bunga lili
yang tumbuh di atap rumah, dekat jendela kamar loteng, atau tentang anak miskin yang, karena
ketabahan dan kejujuran, berhasil mempersunting putri raja. Dongeng-dongeng Andersen
menanamkan pengertian ke dalam benak anak-anak bahwa hidup ini patut diperjuangkan dan
karena itu indah. Hidup yang diisi dengan kebajikan pasti akan berbuah keberuntungan. Dalam
dongengnya, dunia terasa mengharukan. Andersen seakan membawa misi mengungkap dunia
lembut dan welas asih yang acap terbenam di bawah permukaan dunia keras.

Charles Dickens, pengarang Inggris abad ke-19, dengan karya-karyanya memupuk


cinta dan dorongan untuk memperbaiki realitas sosial. David Copperfield, Oliver Twist,
Dombey and Son, dan lain-lain melukiskan kehidupan yang keras, dangkal, tapi juga
mengharukan. Perhatian utama Dickens adalah nasib anak-anak yang tragis sebagai dampak
Revolusi Industri.

Dickens menjalani masa kanak-kanak yang menyedihkan. Hidup melarat dengan ayah
dipenjara gara-gara utang. Dua hari setelah ulang tahunnya yang ke-12, ia harus bekerja di
pabrik Warren’s yang membuat dia menderita. Trauma itu membekaskan luka jiwa yang tak
pernah sembuh seumur hidupnya. Pengalaman masa kecil yang pahit sangat berperan
sepanjang kariernya sebagai sastrawan. Dickens melukiskan anak-anak Inggris pada abad ke-
19 yang dipaksa bekerja di pabrik-pabrik hingga jauh malam dengan upah sangat rendah atau
tanpa bayaran sama sekali, juga anak-anak jalanan dalam Oliver Twist.

7
Dari Amerika, pada paruh kedua abad ke-19 Mark Twain menghadiahkan kisah tentang
dunia anak-anak yang polos, tetapi sarat dengan ajaran hidup. Tom Sawyer dan Huckleberry
Finn layak diperkenalkan kepada anak-anak kita. Buku-buku itu menyuguhkan kisah
petualangan yang seru dan jenaka sambil memperkenalkan kearifan hidup dalam konteks
kemajemukan sosial. Dari kesusastraan masa Balai Poestaka, ada kisah Si Jamin dan Si Johan
karya Jan Smees yang disadur Merari Siregar. Buku itu menggambarkan nasib anak-anak yang
pahit. Mereka yang pernah membaca buku itu selalu terkenang akan tragedi yang dilukiskan.
Tentu saja, bukan hanya cerita sedih yang masuk catatan. Si Doel Anak Betawi karya Aman
yang jenaka sekaligus mengharukan telah menjadi legenda dalam kesusastraan Indonesia.

Buku adalah satu hal, sedangkan sarana untuk mempertemukan sastra dengan anak-
anak adalah hal lain. Di sinilah pemerintah dan orangtua berperan. Dalam kesusastraan, buku
hanya salah satu media. Anak-anak di usia dini pastilah beruntung jika memiliki orangtua yang
sudi mendongeng di ranjang mereka menjelang tidur, walau tidak setiap malam. Sementara itu,
pemerintah selalu diharapkan mengatur harga kertas agar penerbit dapat menyediakan buku
murah. Lebih dari semua itu, fondasi utama adalah pendidikan dasar: melek huruf, diiringi
pemenuhan hak dasar hidup anak-anak selaku warga negara. Kita masih menanti pemerintah
yang mampu menunaikan amanat konstitusi: anak telantar dipelihara oleh negara.

Sastra pun dapat diakses melalui internet. Di sinilah pemerintah, lembaga


nonpemerintah, dan orangtua secara bersama-sama dituntut berperan aktif membantu anak-
anak sehingga mendapatkan apa yang patut bagi mereka. Yang diperlukan bukanlah blokade
atau berbagai larangan sebab internet adalah fenomena dunia yang bocor. Cukuplah kita
renungkan kutipan berikut ini dari Han Suyin (A Many-Splendoured Thing), ”Betapa
senangnya menjadi anak Cina,” kata Pater Low. ”Mereka selalu diajak ke mana-mana.
Mungkin itulah sebabnya mereka selalu mudah diurus dan tidak mempunyai banyak kesulitan.
Mereka tidak dipisahkan dan dilindungi dari kehidupan nyata sehingga tidak shock saat terjun
ke dunia nyata. Kami mendidik orang-orang yang keliru, tapi kalian mendidik pria-pria dan
wanita-wanita untuk hidup di dunia orang dewasa. Anak-anak itu tidak ikut-ikutan berbicara
atau meniru kelakuan orang dewasa sebab tak banyak yang disembunyikan dari mereka, dan
mereka tak percaya orang dewasa lebih banyak tahu daripada mereka.”

https://sastra-indonesia.com/2011/04/kesusastraan-bagi-anak-anak/Diaskes 8 Juli 2019

Anda mungkin juga menyukai