Anda di halaman 1dari 9

Sastra Milenial dan Alih Wahana*

oleh Reiner Emyot Ointoe,


(Fiksiwan)

Pada mulanya adalah teks. Pada tengahnya adalah pembacaan. Dan pada
akhirnya: pembaca bersama maknanya. Setidaknya, inilah jalan masuk kita untuk
bisa di hadir di benua teks sastra yang lebih dikenal dengan kata fiksi. Sejatinya,
fiksi meski dewasa ini sulit dibedakan dengan fakta, ia telah menjelma jadi
‘’kekayaan bangsa’’ yang tidak dianggap lebih penting timbang kehilangan
kekayaan emas kita di tanah Papua.
Pada mulanya adalah fiksi. Kelak dengan itu, seluruh kekayaan bangsa kita
akan menjelma lebih dari riapnya kalung berlian Madame Prayogo Pangestu
seharga 300 milyar atau hampir setengah APBD dari sebuah kabupaten kita yang
miskin sumberdaya alam.
Dengan fiksi kita akan mengeksplorasi ‘’kekayaan imaterial’’ ini dari sejarah
‘’identitas dan kebahagiaan’’(Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya layar
Indoensia, KPG, 2015) --- meminjam judul buku dari Prof. Dr. Ariel Heryanto
yang diubah --- kita sebagai bangsa hari ini. Betapapun kemaruknya politik
kekuasaan dan kebangsaan kita akhir-akhir ini, harapan atas ‘’identitas dan
kebahagiaan’’ itu masih tetap dapat kita dinikmati sepanjang kita mencintai
dengan senang hati menekuni bacaan-bacaan fiksi kita.
Dunia fiksi kita sebagai kekayaan budaya bangsa telah berabad-abad
menyumbang tanpa mengharapkan lencana apapun dalam mengisi apa yang bisa
disebut sebagai transformasi kebhinekaan dan kemajemukan kaidah-kaidah,
norma-norma, adat-istiadat hingga pranata sosial, politik dan budaya. Dunia fiksi
adalah pusaka dan pustaka yang tak akan habis. Bahkan telah menjadi sebuah
disiplin dalam peradaban umat manusia yang lekang oleh waktu. Jika kita
merujuk pada pendapat Prof. Yuval Noah Harari dalam Sapiens: A Brief
History of Humankind(2014), sejak dunia fiksi telah mengawali apa yang ia sebut
sebagai ‘’revolusi kognitif.’’
Trilogi Fiksi Dilan 1990-1991(+Milea)

‘’Aku tak ingin mengekangmu, terserah!


Bebas kemanapun engkau pergi. Asal aku ikut (Pidi Baiq,1972-2098).
‘’Milea, kamu cantik, tapi aku belum menyintaimu.
Enggak tahu kalau sore. Tunggu aja’’(Dilan 1990)
‘’Cinta sejati adalah kenyamanan, kepercayaan, dan dukungan.
Kalau kau tidak setuju, aku tidak peduli’’(Milea 1990).

Di awal tahun 2018, sebuah bacaan fiksi yang mengalami alih wahana ke
dalam film --- ataupun diistilahkan ekranasi(Perancis, ‘’ecran’’ = layar) --- yang
telah menyerap jutaan penonton belum seminggu setelah gala primiere. Dalam
bahasa kaum milenial, film Dilan 1990 dengan aktor-artis --- Iqbal Ramadhan
dan Vanessa Pricillia --- bikin ‘’kekayaan nasional’’ kita (baca: psikologi
mentalitas) diguncang ‘’baper nasional’’ alias ‘’demam Dilan.’’ Pelbagai ‘’cover
story’’ muncul di semua medsos. Walhasil, kurang lebih 6.3 juta penonton hanyut
dalam ‘’tsunami’’ cinta Dilan dan Milea di sebuah kawasan sekolah Buah Batu
kota Bandung di era 90-an.
Selain itu, fiksi ‘’Dilan 1990’’ yang ditulis oleh seorang lulusan teknik elektro
ITB dan juga musisi dengan grup band ‘’The Panasdalam’’, Pidi Baiq, kelahiran
70-an ini, telah dilahap oleh hampir satu juta pembaca dengan pencetakan trilogi
novelnya mencapai lebih dari 20 kali cetakan oleh penerbit Mizan.
Apa yang hendak dikesan-pesankan oleh fiksi trilogi Dilan(1990, 1991,
Milea: Suara dari Dilan)? Sebagai salah seorang fiksiwan, saya hendak
meyakinkan publik sastra bahwa karya fiksi merupakan ‘’kekayaan bangsa’’
yang akan melampui segala bentuk kekayaan yang selama ini hanya diukur secara
materi. Misalnya, agar kita sehat dan bahagia sejak balita harus cukup mendapat
gizi nasional dalam bentuk makanan. Jadi, sejak awal, kita sudah dimitoskan ---
tepatnya difiksikan --- akan jadi generasi tangguh jika cukup mengonsumsi gizi
sebaik mungkin. Dengan kata lain, adab dan budaya kita awalnya dibentuk oleh
apa yang disebut oleh sejarawan, Yuval Noah Harari, ‘’tatanan terimajinasikan.’’
Akan halnya, ‘’Dilan 1990’’ baik fiksi maupun film telah memperkaya kita
dari segala sudut. Sebagai industri budaya(kreatif), fiksi ini telah menawarkan
sebuah fenomena bagaimana karya fiksi sejak awal kehidupan manusia(homo
sapiens) telah menyumbang apa yang disebut oleh founding father sebagai
national character building yang secara kurang tepat dikenalkan kembali sebagai
revolusi mental.
Jika kita lebih sedikit introspeksi dan menyediakan juga sedikit waktu, maka
fondasi watak nasional kita justru lahir dari sejarah fiksi. Hanya dengan fiksi ---
jika padanannya adalah mitos --- kekayaan bangsa kita terwujud berkat
kepeloporan para fiksiwan yang berada di sudut-sudut istana. Bahkan sebagian
besar dari mereka tak menunjukkan sosoknya. Sebut saja, Valmiki maupun para
fiksiwan Bhagavad Gita, Ramayana dan Mahayana. Bukankah dari fiksi ini kita
memperoleh banyak kisah ihwal perilaku dan watak semesta manusia.
Kembali pada Dilan. Selain menyuguhkan hiburan dan kebahagiaan psikis,
para penikmat fiksi ini(novel maupun film) tersita oleh karakter tokoh-tokohnya
yang bisa disematkan sebagai generasi kencana milenial. Meski dalam faktanya
menyisakan juga pro-kontra antara tokoh fiksi(Dilan) dan tokoh faktual(Iqbal
Ramadhan) serta Milea dan Vanessa Pricillia bagi pemuja-pemuja mereka di
dunia virtual(medsos), sekurang-kurangnya cadangan energi psikis nasional
generasi milenial kita telah belajar banyak hal yang disumbangkan oleh fiksi
Ayah Pidi Baiq. Dilan dan Milea adalah ikon bagi relasi intim yang dalam fiksi
dan fakta berakhir secara tragis. Milea akhirnya dinikahi Mas Herdi. Dan Vanessa
Pricillia lebih memilih pacaran dengan Adipati Dolken daripada Dilan Iqbal
Ramadhan yang juga menumbuhkan pro-kontra, khususnya di akun Instagram
mereka.

Trilogi Hujan Bulan Juni


Hujan di bulan desember 1990 dalam fiksi Dilan 1990 menghidupkan
romatika percintaan Dilan & Milea di sepanjang jalan kota Bandung. Dengan
motor Honda CBS, mereka berdua mesra berkendara setelah memproklamirkan
percintaan mereka di warung Bu Eem. Tapi, dalam novel ‘’Hujan Bulan Juni’’
Sapardi Djoko Damono yang bersumber dari puisinya yang terkenal ditulis
1989(Sihir Hujan), justru menjadikan hujan sekedar metafora suasana dalam fiksi
novelnya.
Berkisah percintaan antara Sarwono, seorang dosen antropologi dengan
seorang dosen muda sastra Jepang, Pingkan Palenkahu(di film menjadi fam
Dondokambey, di universitas ternama. Percintaan mereka diawali dengan
penugasan kerjasama penelitian tentang konflik di Maluku antara UI dan Unsrat.
Fiksi ‘’Hujan Bulan Juni’’ sebagai novel mengalami sukses luar biasa dengan
mengalami pencetakan mencapai 12 kali. Diasumsikan jika setiap buku yang
awal dicetak penerbit manapun berjumlah 5000 eksemplar, maka fiksi ini(HBJ)
telah dibaca oleh kurang lebih 60.000 pembaca fiksi. Jumlah cukup untuk
mengesankan untuk karya sastra manapun.
Menurut data Unesco 2012, indeks literasi kita berada di urutan 64 dari 65
negara yang melek literasi. Bahkan indeks minat baca kita --- masih menurut
Unesco --- hanya 0,001 atau setara dengan 1 pembaca dari tiap 1000
penduduk(sumber: Qureta,https/www.qureta.com). Kondisi indeks literasi dan
minat baca ini diperoleh dari PISA(Program for Internationasl Student
Assessment). Apakah ini terkait beralihnya masyarakat dunia pada dunia
maya(internet)? Perlu diperiksa lagi. Berita yang cukup menggembirakan, setelah
‘’dunia buku Indonesia mandeg 2017, mendadak 2018 ini naik 14.81%. Bahkan
buku fiksi makin laku’’(dikutip twitter@goenawanmohamad, 04/09/18).
Namun, kisah asmara beda suku dan budaya ini, Sarwono(Jawa) dan
Pingkan(Minahasa beribu Jawa), tentu ikut menyerap perasaan fiksional pembaca
yang mampu digambarkan oleh penulis tentang stereotipe perempuan
Minahasa(Manado) selama ini. Apalagi, di tengah tumbuhnya rasa cinta Pingkan
pada Sarwono, muncul orang ketiga, Katsuo, mahasiswa S2 asal Jepang yang
juga menyukai Pingkan. Relasi perasaan cinta dari tiga karakter dengan latar
budaya berbeda dapat dilukiskan dengan baik dalam novel ini.
Setelah dialihwahanakan ke film lewat sutradara Hestu Saputra dengan aktor-
artis Adipati Dolken(Sarwono), Velove Vexia(Pingkan) serta Katsuo (Koutaro
Kakimoto), lokasi kejadian syuting di Manado, Minahasa, Jakarta dan Jepang,
film ini tergolong tidak sesukses novelnya. Ditayang 2 November hingga 16
November 2017 hanya meraih jumlah penonton 95.225 orang.
Akhir cerita baik film dan novelnya sama. Sarwono setelah kembali dari
penelitian di Manado dan menjelang keberangkatan Pingkan studi banding di
Jepang, kembali ke kampungnya Solo dan jatuh sakit.
Karna itu, novel ini berlanjut dalam ‘’Pingkan Melipat Jarak’’ terbit 2016 dan
‘’Yang Fana adalah Waktu’’ terbit 2018. Tapi, hingga kini belum terdengar kabar
apakah dua novel dari trilogi ‘’Hujan Bulan Juni’’ itu akan dibuatkan film juga.

Habis Fiksi Terbitlah Tabiat(Habitus)


Apa sesungguhnya manfaat fiksi dalam sejarah kebudayaan kita. Pertanyaan
ini telah tumbuh sejak awal peradaban manusia. Dengan kata lain, fiksi juga
tumbuh dari apa yang disebut revolusi kognitif dan kelak tumbuh jadi revolusi
sains pada hari ini. Tapi, kemudian apa yang disebut revolusi sains itu terkait pula
dengan fiksi ilmiah(scie-fic). Selain itu, pertumbuhan fiksi ilmiah bisa
menyumbang apa yang dimaknai sebagai nuansa-nuansa faktual. Bahkan
sebelum fase yang disebut ‘’ignoramus’’ --- kedunguan manusia --- dunia fiksi
kita sudah dikuakkan oleh kisah-kisah mitologi.
Meski peradaban Yunani menyumbang banyak sumber-sumber ‘’revolusi
kognitif’’ yang berasal dari kisah mitologi, hampir seluruh peradaban umat
manusia memiliki kepercayaan dan pengetahuan yang mirip pada sumber-sumber
tersebut. Sebut saja, kisah Odipus. Seorang anak yang membunuh
ayahnya(Laius) dan kelak kembali dari pembantaian itu jatuh cinta pada
ibunya(Iacosta). Akhirnya, muncul dalam pengetahuan psikologi apa disebut
‘’odipus-complex’’ atau tradisi incest(pernikahan sedarah). Secara lokal,
kebudayaan incest di Minahasa ada dalam mitologi ‘’Toar & Lumimuut.’’
Dengan kata lain, dunia fiksi kita bermula dari mitos sebagai satu-satunya
sumber pengetahuan manusia kala itu, menjadi pelecut berkembangnya budaya
manusia dari cerita. Sebut saja, mitos penciptaan makhluk manusia. Bahkan
pengetahuan dan kepercayaan kita pada kegaiban atau alam adidunia pun berasal
dari mitos. Manusia awal, Adam dan Hawa, pun diyakini sebagai mitos yang
dituliskan dalam kitab-kitab suci.
Betapapun dunia fiksi tetaplah fiksi, tak sedikit fakta-fakta kehidupan hari ini
memiliki relevansi dengan peristiwa-peristiwa fiksi yang dituliskan oleh ribuan
fiksiwan dari masa ke masa. Jika yang kita yakini kisah sejarah non
faktual(tekstual) seperti ‘’tsunami Nuh’’, apa bedanya dengan tsunami Aceh dan
Fukuoka Jepang baru beberapa tahun silam.
Galibnya, dunia fiksi menghasilkan tiga faktor dan fungsi yang saling
berkaitan. Bahkan mirip spiral cerita. Jika digambarkan secara sederhana akan
seperti ini:

Teks/Pencerita ----- Konteks(Kisah/Pembaca) ---- Makna(Pesan)

Akan tetapi, fungsi fundamental dalam menyalin teks itu ke dalam


konteks(cerita) sangat ditentukan oleh penggunaan bahasa. Dengan demikian,
bahasa menjadi-jadi satu-satunya instrumen budaya manusia dalam membentuk
interaksi dan komunikasi di manapun dan kapanpun. Tanpa bahasa, mustahil fiksi
bisa berkembang sedemikian rupa hingga bisa merasuk ke dalam fakta-fakta yang
bisa ditafsirkan menjadi sebuah tabiat(habitus).
Pengaruh kuat dari kreativitas dunia fiksi terletak pada kemampuan si kreator
untuk menghasilkan --- melalui bahasa --- sebuah cerita yang pada akhirnya akan
membentuk ‘’habitus’’ kita menjadi karakter. Fiksiwan Henry James(1834-1916)
dalam ‘’The Art of Fiction’’(1888) mengatakan sebagai ‘’experience as the
impressions of individual mind’’ atau dalam teori narasi disimpulkan sebagai
sebagai ‘’the inner life of character.’’
Fiksi yang kuat akan memberikan pesan dan kesan yang kuat pula bagi
pembaca atau penikmatnya. Betapa dunia fiksi tetap menjadi kekayaan budaya
bangsa yang bisa memengaruhi karakter kita secara individual maupun kolektif.
Sebelum mengakhiri uraian fiksi ini sebagai genre sastra milenial dan banyak
mengalami alih wahana, ada sebuah sebuah novel fenomenal sebelum ‘’Dilan
1990’’ yang ditulis oleh Habiburrahman El-Shirazi, ‘’Ayat-Ayat Cinta.’’ Terbit
pertama Desember 2004 dan terjual mencapai 7.142 eksemplar dan hingga
Desember 2007 mencapai 30 kali cetakan. Sebagai fiksi ‘’pembangun
spiritualitas’’, novel ini sangat digandrungi hampir seluruh kaum milenial ketika
itu. Bahkan setelah difilmkan(alih wahana) oleh sutradara Hanung
Bramatyo(suami artis Zaskiya Mecca) pada 2008, ikut melejitkan watak tokoh
maskulinnya, Fahri(Ferdy Nuril) dan Aisha(Rianty Catright), sebagai karakter
yang patut diteladani meski agak ‘’terpaksa’’ tokoh Fahri dalam kisah ini harus
berpoligami. Film inipun menjangkau lebih dari 3 juta penonton.
Pada serial film berikutnya, ‘’Ayat-Ayat Cinta-2’’, peran Aisha digantikan
oleh Sandra Dewi --- setelah meninggalkan suaminya, Prof.Dr. Fahri yang
mengajar di salah universitas ternama di Eropa untuk jadi relawan di Palestina --
- dalam fiksi ini pun tokoh Aisha(istri Fahri) sebagai karakter perempuan yang
layak diteladani. Meski dalam pergulatan hidup bersama suaminya, Aisha yang
dianggap wafat sebagai relawan dalam perang di Palestina, setelah pulang dalam
penyamaran kembali masih ‘’ditakdirkan’’ mengikhlaskan suaminya menikahi
ponakannya. Walhasil, dunia fiksi dalam ‘’Ayat-Ayat Cinta 1-2’’’ telah
meninggalkan kesan paradoks pada para pengidola Fahri maupun Aisha. Soal
poligami dan monogami di dunia kaum milenial yang makin kompleks dan
komplit.
Dalam sebuah kritik atas genre sastra milenial yang sangat berpengaruh itu,
karakter-karakter muncul hari ini adalah ketegangan antara puritanisme vs
kosmopolitanis. Setidaknya, kita merasakan adanya kaum milenial rasional dan
irasional(tradisionalis) yang konfortabel dan kompromis.
Akhirnya, dapat disimpulkan dunia fiksi selalu mengalami pertumbuhan
secara tak terkira dan mengikuti bahkan melampaui tiap masa yang dilaluinya.
Meski fiksi-fiksi itu jarang dituliskan kembali, tapi dalam alih wahana seperti di
film maupun teater versinya akan terus teraktualisasi. Seperti novel Roman
Picisan(Rompis) Eddy D. Iskandar populer akhir 70-an, kini telah difilmkan.
Demikian pula drama William Shakespeare(1564-1616), Romeo-Juliet, telah
banyak versi dalam alih wahana.
Apakah tugas alih wahana dalam karya fiksi? Jawabannya: semua teks
kultural adalah mixed media. ‘’Sesuatu’’ yang dialih-alihkan itu bisa berujud
gagasan, amanat, perasaan, atau ‘sekedar’ suasana(Damono, 2018:10-11). Atau,
dikutipkan pendapat Mario Vargas Llosa(1936-?), seorang peraih nobel sastra
2010 asal Peru: ‘’Fiksi yang sukses menyimpan subyektivitas sebuah zaman ---
mereka mengomunikasikan pada kita kebenaran-kebenaran numpang lewat dan
mudah menguap yang selalu luput dari deskripsi saintifik atas realitas. Hanya
sastra yang memiliki teknik dan daya untuk menyuling ramuan mujarab
kehidupan: kebenaran yang tersembunyi di jantung kebohongan manusia’’(Llosa,
2018:32).
Perbanyaklah melahap fiksi. Karna hanya dengan fiksi, kekayaan otak dan
hati kita dilejitkan secara sempurna agar bisa memuluskan langkah dan jejak kita
memasuki kemaruk alaf dan tamadun hingga kini. Dan fiksiwan M. Aan Mansyur
pun berujar:
Kadang-kadang, kau pikir, lebih mudah mencintai
semua orang daripada melupakan satu orang.
Begitu pula rindu, hamparan laut dalam
antara pulang dan seorang petualang yang hilang.
Seperti penjahat dan kebaikan yang dihalang uang dan undang-undang.
Apa kabar hari ini? Lihat, tanda tanya itu,
jurang antara kebodohan dan keinginanku
memilikimu sekali lagi.
Kau yang panas di kening.
Kau yang dingin dikenang(Tak Ada New York Hari Ini,2016)
________________________________________
*Disampaikan pada ‘’Seminar Kebahasaan dan Kesastraan Bahasa Sulawesi
Utara’’ dengan tema: Menjayakan Bahasa dan Sastra, pada 24 Oktober 2018 di
Hotel Fourpoint
Pustaka
Baiq, Pidi. 2014. Dilan. Dia adalah Dilanku Tahun 1990. Mizan, Bandung.
------------ .2015. Dilan. dia adalah Dilanku 1991. Mizan, Bandung.
------------ 2016. Milea. Suara dari Dilan. Mizan, Bandung.
Bennet, Andrew & Royle, Nicholas. 2004. Introduction to Literature,
Criticism and Theory(Third Edition). Pearson Longman, Great Britania.
Damono, Sapardi Djoko. 2018. Alih Wahana. Gramedia, Jakarta
----------------------------- .2015. Hujan Bulan Juni. Gramedia, Jakarta.
----------------------------- . Pingkan Melipat Jarak. Gramedia, Jakarta.
----------------------------- .2018. Yang Fana Adalah Waktu. Gramedia, Jakarta.
Harari, Yuval Noah. 2014. Sapiens: Brief History of Humankind. Vintage
Book, London.
------------------- . 2018. 21 Lessons for 21’th Century. Jonathan Cape, London.
Heryanto, Ariel. 2015. Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar
Indonesia. KPG, Jakarta.
James, Henry. 1888. The Art of Fiction. Published in Longman’s Magazine.
Llosa, Mario Vargas. 2018. Matinya Seorang Penulis Besar. Octopus, Yogya.
Mansyur, Aan M. 2016. Tak Ada New York Hari Ini/There is No New York
Today. Gramedia, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai