Anda di halaman 1dari 6

Cerpen: Yudhi Herwibowo

Kupikir, setelah perpisahan kita,hanya ini yang paling berharga kita tinggalkan: buku-


buku yang nyaris memenuhiseluruh rumah kita. Buku-bukumu, buku-bukuku.

Sejak gugatan ceraiku, aku sebenarnya tak ingin memikirkan hal ini. Kupikir, kau pasti
tak akan mengungkit-ungkitnya. Bagaimana pun, kau –dengan kedunguanmu itu- yang
memulai semua masalah ini. Tapi rupanya, kau telah menjadi sosok asing yang tak tahu
diri. Pesan singkatmu benar-benar harus membuatku memikirkan hal ini.

Alira, sebaiknya kita bertemu untuk membagi buku-buku kita…

Sialan sekali kau! Aku benar-benar ingin merobek-robek wajahmu, yang selalu kau pikir
menawan itu. Kau harusnya tahu, membagi buku-buku ini bukan perkara yang mudah.
Saat kita memutuskan mengontrak rumah, aku datang dengan buku-bukuku, sama seperti
kau datang dengan buku-bukumu. Awalnya kita memutuskan untuk menjadikan kamar
pertama yang cukup luas sebagai ruang buku kita.

Aku masih ingat percakapan kita saat itu.

“Salah satu mimpiku selama ini adalah membuat sebuah perpustakaan pribadi yang
lengkap. Sungguh, kedatanganmu menyempurnakan mimpi itu.”

Aku tentu tersenyum mendengar ucapanmu. Sebagai pengantin baru, ucapan-ucapan


seperti itu, mudah sekali membuat kita terangsang. Sejak dulu kita sudah tahu; bicara
tentang buku yang baik, selayaknya seperti sedang menjelajahi wilayah G-spot kita
masing-masing.

“Tapi kupikir, kata perpustakaan terlalu serius,” balasku. “Aku lebih senang kita


menyebutnya: ruang buku.”

Kau hanya tersenyum saja. Kita akan berpelukan dan mulai membayangkan rak-rak buku
yang akan kita pesan untuk mengisi seluruh ruangan. Kita juga membayangkan
bagaimana nanti kita akan menyusun ruangan itu. Tapi ternyata, yang kedua itu bukanlah
pekerjaan yang mudah. Aku bagai membawa gerbong-gerbong bukuku, kau juga bagai
membawa gerbong-gerbong bukumu. Ruang ini sama sekali tak cukup menampungnya.
Bahkan walau kita sudah meletakkan beberapa rak lain di kamar tidur, dan di ruang tamu.

Kita kemudian memutuskan untuk menyimpan satu saja buku-buku yang sama. Yang
lainnya kita putuskan untuk memberikannya pada kawan-kawan kita. Sialnya, selera kita
hampir sama. Nyaris semua buku sastra selama 10 tahun terakhir, sama-sama kita miliki.
Buku-bukuku dengan tanda tanganku di halaman pertama, juga  buku-bukumu dengan
tanda tanganmu di halaman pertama. Sedikit yang berbeda, aku banyak membawa buku-
buku sastra berbahasa Inggris, namun kau tak memiliki satu pun buku seperti itu. Aku
tahu Inggrismu payah. Namun kau menggantinya dengan membawa novel-novel
grafismu yang cukup banyak. Ini yang kuanggap sebagai upayamu meracuniku dengan
Marjane Satrapi.

Hasilnya: hampir 10 kardus besar kita hibahkan pada kawan-kawan kita.

Dan hari ini, setelah hampir sebulan tak menginjakkan kaki di rumah ini, aku
memandang kembali seluruh buku-buku ini dengan perasaan gamang. Pertanyaanku
kembali: bagaimana kita harus membaginya? Aku sama sekali tak pernah mencoba
memikirkan hal ini. Barang-barang lain mungkin bisa diperlakukan dengan mudah. Kita
cukup mengobralnya pada pengepul barang bekas, dan hasilnya kita bagi dua dengan
adil. Tapi tidak dengan buku. Bukan karena harga buku bekas begitu murahnya, tapi
karena kita selalu punya keinginan untuk menyimpannya lagi. Itu adalah naluri yang
sudah sepantasnya. Bagaimana pun –yang ini menurutku sendiri- buku-buku tak pernah
bersalah. Selama ini, mereka sudah menjalankan tugasnya dengan baik: menjadi sahabat
yang selalu memberi dengan diam. Jadi pantas bagi mereka untuk kita simpan baik-baik.

Dulu -kalau boleh aku mengingat masa lalu- kau memang menawan. Itu harus kuakui.
Wajahmu manis dengan rambut ikal yang menutupi sebagian wajahmu. Waktu itu kau
bekerja di sebuah kios buku bernama Borges. Disebut  kios karena memang bentuknya
kecil saja, dan disebut Borges karena pemiliknya –pastinya- menyukai penulis Argentina
itu. Walau di kota ini sudah ada beberapa toko buku lainnya, tapi percayalah, kios buku
inilah yang paling menarik di antara semuanya.

Bersama seorang kawanmu, kau bekerja nyaris di seluruh lini. Kau membersihkan kios,
menjaga kios nyaris 8 jam sehari, membuat laporan penjualan, bahkan memromosikan
buku-buku bagus pada pelanggan. Kubayangkan beruntung sekali bosmu, memiliki kau
dan kawanmu itu.

Aku ingat ketika pertama kali datang ke situ, kau menatapku dengan pandangan
menyelidik. Kau kemudian menyodorkan sebuah buku di depanku.

One Amazing Thing.

Aku hanya tersenyum melihat upayamu. “Kenapa kau berpikir aku mencari buku ini?”

“Ini hanya sekadar tebakan sederhana ala Sherlock Holmes. Bajumu modis namun
warnanya tak mencolok, lipstikmu berwarna seperti kulitmu, dan model kacamatamu
adalah model yang biasa digunakan oleh para pembaca buku. Jelas dari 3 hal itu saja bisa
kutebak kau pastinya bukan pembaca chicklit. Kau mungkin –ini tebakan selanjutnya-
penyuka sastra yang hmmm, tidak berat-berat amat.”

Aku tersenyum. “Analisanmu boleh juga. Tapi ini buku lama, dan aku sudah memiliki
semua karangan Divakaruni.”

Matamu membulat, tak percaya. “Kupikir karena ini buku lama, kau belum
memilikinya?”
“Aku memiliki edisi aslinya. Bukan terjemahan,” ujarku tanpa maksud memamerkan diri.
“Oya, satu hal lagi sebelum aku lupa: hmmm, ada baiknya sesekali kau datang ke
ibukota. Di situ banyak pembaca sastra yang juga berdandan cantik dan seksi.”

“Aku tahu itu,” ia tersenyum, “tapi tentu tidak di kota ini bukan?”

Kupikir detik itu juga, aku sudah suka padamu. Dilihat dari segala sudut, kau memang
menawan. Apalagi saat aku tahu kau juga menulis. Bila sedang tak banyak pelanggan,
kau akan duduk tenang di depan laptopmu. Kau tak pernah mengatakan sedang menulis
apa, tapi dari kawan kerjamu, aku tahu, kau menulis puisi.

Awalnya kupikir ini sesuatu yang manis. Aku tahu orang yang menulis –terutama puisi-
cenderung sensitif dan berhati lembut. Tapi Nirasi, sahabatku yang selama ini
kuceritakan tentang kau, malah mendengus saat kuceritakan tentang ini.

“Hati-hati saja kalau begitu,” ujarnya dengan nada sinis yang menjadi trademark-nya.

“Kenapa memangnya?”

“Masak kau tak tahu kalau para penyair itu biasanya adalah buaya?”

“Kau ini!” Tanganku langsung bergerak menyubitnya. Dulu ucapan Nirasi itu kuanggap
sebagai canda saja. Seharusnya aku mendengarkannya sebagai sesuatu tanda.

Tapi pada akhirnya, hubunganku dengan kau berjalan begitu lancar. Kita selalu bercakap
di antara buku-buku. Aku selalu punya cara membuat percakapan, kau pun selalu punya
cara membuat percakapan.

Aku tak pernah kehabisan ide menanyakan buku-buku yang sedang kucari. Sejak dulu,
aku memang punya berbaris-baris daftar buku yang harus kumiliki.

“Kau memiliki Les Miserables?”

“Ada buku Snow Country?”

“Va’  dove ti porta il cuore?”

Yang terakhir itu bahkan berkali-kali kutanyakan. Tapi kau selalu menggeleng dan
berjanji akan mencarikan untukku. Sebagai pengobat kekecewaan, kau biasanya akan
mengajukan buku-buku lain yang kau anggap menarik. Menceritakan sinopsisnya, sambil
berkata, “Bawalah saja dulu. Bila kau tak suka, aku bisa menggantinya dengan yang
lain.” 

Kupikir itu caramu agar bisa terus membina hubungan denganku. Tentu ini bukan
sekadar perasaanku saja. Karena beberapa bulan kemudian, kau benar-benar memutuskan
untuk menikahiku. Lagi-lagi, di antara buku-buku inilah, lamaran yang akan mengubah
hidupku, kau ucapkan.

Untuk sekian detik, aku benar-benar tak tahu bagaimana harus memutuskannya.

Aku masih memegang setumpuk novel-novel Isabelle Allende. Ini adalah pengarang
favoritku sejak lama. Aku bahkan membaca buku-buku remajanya juga. Aku tahu kau
pun menyukainya. Dulu kita memiliki koleksi yang sama banyaknya. Kita menyeleksi,
buku yang lebih bagus yang harus kita simpan. Dan sebagian besar itu adalah buku-buku
milikku. Hanya ada 1 saja buku milikmu.

Pada akhirnya, aku memasukkan semuanya ke dalam kardus. Sedikit ada perasaan
bersalah di dalam hati. Tapi aku buru-buru menepisnya. Aku yakin nanti bukan hanya
Allende yang menimbulkan perasaan bersalah seperti itu.

Beberapa buku memang bernasif pendek. Bersyukurlah bila ia dicetak ulang. Aku bisa
mengalah, dan memilih membeli cetakan barunya saja. Tapi sayangnya, lebih banyak
buku-buku yang tak lagi dicetak ulang. Seperti beberapa buku lama milik Seno Gumira
Ajidarma. Sama seperti Allende, aku juga bertindak egois untuk ini, dengan mengambil
seluruhnya. Toh aku membiarkan kau menyimpan buku-buku Umar Kayam dan
Kuntowijoyo.

Di tengah kesibukanku memilih-milih, Nirasi datang. Ia memang berjanji membantuku


membawa buku-buku ini dengan mobilnya.

 “Kenapa kau tak mengambil seluruhnya saja?” tanyanya. “Jangan pikirkan dia lagi. Dia
sudah menghianatimu!”

Aku diam tak menjawab. Aku tahu, semua orang akan berkata seperti itu. Tapi telah
kutimbang-timbang masak-masak, aku tak akan bisa melakukannya. Beberapa tahun aku
hidup bersamamu, aku tahu seperti apa hubunganmu dengan buku-buku ini. Aku dapat
melihat sinar matamu di antara buku-buku ini. Itu sama seperti sinar mataku di antara
buku-buku ini.

Aku akan selalu mengingat, bagaimana secara berkala kau akan merapikan buku-buku
ini, menggganti serat lembab dan silica gell-nya, atau mengganti sampul-sampul yang
kusam. Aku juga melakukan semua hal itu. Tapi kau melakukannya lebih ekstrim. Setiap
kita selesai bercinta, kau akan memilih pindah ke ruang buku kita ini, mengambil satu
buku untuk mengantarkan tidur nyenyakmu. Kuakui, di sini kau mungkin memang
memiliki hubungan lebih dekat dengan buku-buku kita, dibandingkan aku.

“Ini memang harus dibagi,” ujarku setelah memberi jeda yang cukup lama. “Tapi jangan
kuatir, aku akan membalas melukainya dengan caraku sendiri.”

“Bagaimana?” Nada suara Nirasi seperti menekanku.


Aku menatapnya, “Hmm, aku… mungkin akan menendang selangkangannya! Ya akan
kutendang berkali-kali!”

Nirasi terdiam. Ia balas menatapku, mencari tahu apakah aku bercanda atau serius dengan
kalimatku. Tapi sewatu aku malah berpaling dan menundukkan kepala, ia tahu apa yang
sebenarnya terjadi padaku. Pelan-pelan ia mulai memelukku, dan tak berkata-kata lagi.

Aku bisa membayangkan kejadiannya dengan begitu jelas. Kios buku itu pastilah
menjadi tempat pertemuannya. Kali ini, perempuan itu datang dari ibukota. Berpakaian
modis dengan warna mencolok, berlipstik merah menyala dan tidak berkacamata. Aku
membayangkan kau menyodorkan sebuah buku. Pasti buku yang manis, seperti kala kau
menyodorkan buku Divakaruni padaku. Tapi sungguh, aku lebih suka membayangkan
kau menyodorkan buku-buku Moamar Emka padanya!

Lalu kau akan mulai menebak ala Sherlock Holmes tentang selera bukunya. Lalu…
semuanya sama seperti yang terjadi padaku, kalian akan mulai merasa dekat. Kau
kemudian akan meminta nomor ponselnya untuk mengabari buku-buku yang dicarinya.
Lalu, hanya butuh beberapa hari, kau mulai jatuh cinta padanya.

Ini tentu bukan bagian paling menyakitkan bagiku. Bagian paling menyakitkan adalah
saat kau mulai berkata jujur padaku –dengan wajah yang kaupasang paling merana- kalau
kau telah jatuh cinta pada pelacur itu.

Sejak membawa buku-buku pilihanku, aku sebenarnya sudah tak ingin bertemu 


denganmu lagi. Tapi sebulan setelah itu, kau mengirim pesan singkat untuk meminta
bertemu denganku. Pesan itu diiringi satu pesan singkat lainnya: sampai badai datang,
aku akan menunggumu di sini.

Aku tahu itu caramu. Dan kau tahu, aku selalu lemah atas caramu. kau memang laki-laki
sialan. Walau menawan, tapi tetap saja sialan. Sialnya, aku benar-benar tak punya kuasa
atas seluruh tubuhku. Keinginanku tentu untuk tak menemuinya. Tapi di pukul 21,00,
setelah terlambat lebih dari 2 jam, tubuhku benar-benar datang ke sana.

Ini adalah cafe favorit kita berdua. Cafe yang tepat di sebelahnya dibuat sebuah sungai
buatan dengan batu-batu alam yang disusun indah. Kau duduk di kursi di mana biasanya
kau duduk. Aku duduk di depanmu dengan canggung. Sama sakali tak berniat
menyembunyikannya di depanmu.

“Terima kasih, kau sudah meninggalkan buku-buku untukku,” ujarmu pelan.

“Itu memang buku-bukumu.”

Kau terdiam sejenak. Tanganmu mengeluarkan sesuatu dari jaketmu. “Ini buku yang dulu
pernah kau tanyakan. Aku kebetulan menemukannya kemarin.”

Kau menyodorkan buku Va’ dove ti porta il cuore  di depanku.


Aku menatapnya tak percaya. Buku ini memang sudah begitu lama kucari.

“Maaf, terlambat sekali aku menemukannya.”

Aku terdiam. Kusentuh buku itu bagai menyentuh suatu harta karun. Apa aku harus
berterima kasih atas ini? Setelah apa yang ia lakukan padaku? Aku benar-benar tak tahu
harus melakukan apa lagi. Tapi membaca terjemahan judul buku itu membuat napasku
terasa sesak.

Pergilah Ke mana Hati Membawamu…

Aku seperti merasa tersindir. Suara gemericik air di sampingku kemudian seperti
mendatangkan ide padaku. Aku mungkin sebaiknya membuang buku ini ke sungai. Biar
ia hanyut, di depan matamu. Kupikir itu akan sedikit melukai hatimu.

“Kau suka?” suaramu memecah keheningan.

“Aku…“ suaraku terasa tercekat. Tanganku gemetar mengangkat buku itu…

“Ya?”

Kupikir aku tinggal melemparkannya saja sekarang! Tapi tatapan kedua matamu –yang
kau pikir menawan itu benar-benar seperti telah meluluhkan seluruh sel di tubuhku.

Aku hanya bisa tersenyum kecut, “Terima kasih… atas bukunya…”

***

BIODATA

Yudhi Herwibowo. Anggota SATUPENA. Menulis cerpen dan novel. Novel


terbarunya: Sang Penggesek Biola, sebuah roman Wage Rudolf Supratman(Imania)

Anda mungkin juga menyukai