Anda di halaman 1dari 7

Nama : Rani Alysia Fitri

Kelas : X-Mipa 2

No. Absen : 26

SETITIK CERITA DIBALIK SEBUAH BUKU

Selagi aku beres-beres lemari dan rak buku, ada salah satu buku yang saat kusentuh tiba-tiba
memberikan sebuah cerita. Kau tahu, kenangan mudah sekali datang. Bisa lewat benda,
ataupun tempat. Lagi pula, banyak cara untuk mulai mengenang. Mungkin cara mudahnya
bisa dimulai dengan membuka tumpukan kardus berisi barang-barang lama. Pilih salah satu
benda secara acak, setelah itu pandangi, dan biarkan ia berkisah. Nah, kira-kira begitulah
yang terjadi denganku. Buku yang saat ini kupegang ialah buku kumpulan cerita karya Panji
Ramdana, yaitu Menuju Baik itu Baik. Aku memiliki dua buku itu. Yang satu sudah kubeli
sejak lama, satunya lagi adalah pemberian temanku, Ratna.

Aku sebetulnya memegang buku yang milikku sendiri. Namun, buku itu otomatis
mengingatkanku kepada Ratna. Mataku pun segera mencari buku yang satunya lagi. Setelah
melihatnya berada di rak sebelah kanan dan baris nomor dua dari bawah, aku mengambil
buku yang masih terbungkus plastik itu. Berikut beberapa buku lainnya yang juga masih
tersampul plastik dan belum sempat terbaca. Kupandangi buku-buku itu, hingga aku dibawa
ke sebuah cerita sekitar setahun silam.

Sehari sebelum Ratna berangkat ke Yogyakarta untuk meneruskan kuliah S2-nya,


kami sepakat bertemu di  Kafe Rainy, Jakarta Barat. Ratna lah yang tiba-tiba mengajakku
berjumpa. Sebab ia mungkin tidak akan kembali lagi dalam 2 atau 3 tahun. Selain urusan
kuliah, ia mungkin juga ingin merasakan tinggal di Jogja. Seperti biasa, aku sampai lebih
dulu di kafe itu. Selain karena tidak suka membuat orang menunggu, lokasinya memang lebih
dekat dari rumahku. Sepuluh menit berselang, barulah Ratna sampai.

“Bisa enggak, sih, kamu sekali-sekali datang terlambat, Dit?”

Aku awalnya cuma tersenyum untuk memberi respons. Sampai melihat ia membawa tas
punggung, barulah aku bertanya, “Bukannya masih besok berangkatnya, Rat?”.

Sejauh yang kutahu, Ratna ini enggak pernah membawa tas punggung setiap pergi keluyuran
denganku. Ia tidak mau ribet menggendong tas. Biasanya ia hanya memegang dompet, yang
setelah itu dititipkan ke dalam tasku. Sekalinya bawa tas, paling cuma membawa tas
selempang kecil.

“Oh, ini,” ujarnya sambil membuka ritsleting tas. “Ada yang mau aku kasih ke kamu.”

Ia pun memberikanku tiga buah buku; Menuju Baik itu Baik—yang kusebutkan di awal
cerita, Tumbuh dari Luka (Indra Sugiarto), dan Menggapai Impian (Panji Ramdana).
“Maksudmu ngasih aku buku kayak gini apa?”

“Kita, kan, kenalan awalnya dari buku. Aku entah kenapa merasa berutang buku kepadamu.
Masih ingat hari itu, kan?”

Tahun 2018 pada bulan Mei dan bertepatan dengan Hari Pendidikan, aku masih ingat betul
hari itu. Kami bertemu dengan tidak sengaja di sebuah bazar buku. Awalnya aku dari jauh
memperhatikan sebuah buku yang sebelumnya kukenali. Aku pernah ikut kuis yang
hadiahnya buku itu, tapi belum mendapatkan buku itu. Lalu begitu menemukan buku itu lagi
di tumpukan buku yang diobral di sebuah bazar, mendadak muncul keinginan untuk
membelinya. Tetapi, aku tidak menyadari keadaan di sekitarku. Begitu sudah dekat dengan
buku itu, ternyata ada seorang perempuan yang sudah terlebih dahulu mengambil bukunya.
Rupanya, kami melihat satu buku yang sama: Draf 1 Taktik Menulis Fiksi Pertamamu.

Aku pun berdiri mematung, masih tidak percaya kalau gagal Iagi memperoleh buku itu. Ia
tiba-tiba menoleh ke arahku. Aku pun salah tingkah, refleks garuk-garuk belakang kepala dan
tersenyum. Ia kemudian membalas senyumku. Tak lama, ia malah berjalan menghampiriku.
Aku membalikkan badan, pergi ke arah tumpukan buku yang lain.

“Kamu tadi mau ngambil buku ini juga?” katanya.

Aku menoleh, lalu menunjuk diriku sendiri.

“Iya, kamu barusan sepertinya mau ngambil buku ini,” ujarnya sambil memperlihatkan buku
itu kepadaku. “Tapi malah aku yang ambil duluan.”

“Oh, enggak apa. Itu buat kamu aja. Nanti aku cari yang lainnya. Mungkin masih ada
stoknya.”

“Aku bantuin cari kalau gitu.”

Aku udah bilang kalau hal itu akan merepotkannya, tapi ia tetap membantuku mencari buku
itu. Ya, enggak ada salahnya juga sih, pikirku. Setelah 20 menit berusaha mencari-cari buku
yang sama dan tidak juga membuahkan hasil, Rani pun menyerah.

“Sepertinya tinggal satu yang kuambil ini. Maaf, ya, enggak ketemu lagi bukunya,” katanya
begitu pasrah.

Mungkin ia mulai lelah mencari dan ada urusan lain yang lebih penting. Jadilah, aku
mengatakan untuk tidak perlu membantuku lagi dalam menemukan bukunya. Aku juga bilang
kalau telah memiliki buku panduan menulis lain.

“O iya, namaku Dita Utami” ujarku menyodorkan tangan kanan untuk bersalaman. “Panggil
aja ‘Dita’,”.

“Aku Ratna Meliyana. Boleh panggil apa saja.”


Aku membatin, panggil perempuan-yang-tiba-tiba-merebut-buku-dariku, boleh?

Lalu aku tertawa sendiri dengan lelucon itu.

“Kenapa? Namaku ada yang aneh? Soal nama panggilan, sebenarnya temen-temenku, sih,
biasa memanggil ‘Ana’ atau ‘Mel’. Kamu boleh memilih salah satunya.”
Alih-alih memilih kedua pilihan tersebut, aku malah bilang, “Lebih enak memanggilmu
Ratna.”

“Kok?”

Alasanku memanggilnya “Ratna” dan kejadian setelahnya, aku betul-betul lupa. Yang aku
ingat justru aku mengatakan untuk bertukar kontak. Mungkin kalau besok-besok ada bazar
lagi, nanti bisa janjian datang dan mencari buku bersama. Begitulah caraku meminta
nomornya. Lucunya, ia langsung memberikan begitu saja dan mengetikkan nomornya di
ponselku. Yang lebih tidak kusangka, begitu sampai rumah dan mulai mengontaknya, aku
baru sadar ternyata diberikan nomor sedot WC. Ratna mengerjaiku. Kenapa enggak sekalian
nomor telepon badut sulap?

“Udah bengongnya? Enggak usah segitunya kali mengenang pertemuan kita,” kata Ratna,
membuyarkan kenangan yang sedang kunikmati pelan-pelan itu. “Mau pesen apa? Udah laper
nih.”

Aku pun protes kepadanya karena mengganggu hobi aneh sekaligus favoritku: melamun.
Begitu Ratna mengatakan lapar lagi, barulah aku memanggil pramusaji. Ratna memesan
machiatto dingin dan, karena kurang suka kopi, aku memilih es teh leci. Makanan yang kami
pesan sama: roti panggang. Soal bagaimana kami bisa berteman, karena beberapa hari setelah
pertemuan itu, Ratna ternyata menemukan blogku dan mengirimkan surat. Surat yang berupa
permintaan maaf dan nomornya yang asli. Sejak itu, kami jadi sering berburu buku bersama
dan mendiskusikan buku-buku yang habis dibeli dan dibaca itu.

“O iya, soal buku yang kamu kasih ini, sebetulnya aku udah punya,” aku membuka obrolan
sembari menunggu pesanan.

“Serius?” tanya Ratna, yang tiba-tiba cemberut.

Aku mengangguk.

“Yah, telat ngasih berarti aku. Padahal lumayan susah tuh dapetin A. S. Laksana yang
Murjangkung. Kamu, kan, kayaknya suka banget sama cerpen-cerpennya beliau. Makanya,
waktu itu aku sengaja beli dua pas ada bazar. Kebetulan juga sisa segitu, sih. Pas kubaca,
ternyata emang seru bukunya. Humornya Pak Sulak (panggilan akrab A. S. Laksana)
keterlaluan kerennya.”

“Terus gimana nih?” tanyaku, kebingungan karena dikasih buku yang sudah kumiliki.
“Emang udah punya semua?”

“Cuma Menggapai Impian yang belum pernah baca. Baru tahu juga soal penulisnya.”

“Baca deh”

“Oke, Rat. Dua buku yang lain berarti kukembaliin nih?”

“Yah, enggak usah. Aku, kan, juga udah punya.”

“Terus?”

“Jual aja,” ujar Ratna, lalu tertawa sendiri.

Selagi bingung menanggapi perkataannya barusan, syukurnya pramusaji datang untuk


mengantarkan pesanan kami. Aroma roti panggang itu membuatku ingin untuk segera
memakannya. Suasana pun mendadak hening, sebab Ratna tidak suka berbicara sambil
makan. Baguslah. Aku pun bisa memikirkan kalimat ketidaksetujuanku akan pernyataannya
tadi. Begitu makanan yang di meja sudah dilahap habis, barulah aku tahu untuk merespons
apa.

Aku kemudian protes kalau menjual pemberian orang lain itu berarti enggak menghargai
perasaan orang yang sudah memberikan hadiah.

“Kok kamu bisa bilang begitu?”

Aku mengaduk-aduk es teh leci, lalu memperhatikan dua buah leci yang berputar itu seraya
mengingat sesuatu. Setelah ingat akan suatu hal, aku pun bercerita kalau pernah diberikan
teman kecilku.

Karena setiap melihat jam tangan pemberian dari teman kecilku itu, membuatku teringat
dengannya. aku pun menyimpannya di kardus bersama benda-benda yang sudah jarang dan
tidak terpakai. Sampailah ketika aku dan teman kecilku itu tidak sengaja bertemu di lorong
kampus. Awalnya kami bertukar kabar dan mengobrol baik-baik. Nah, begitu ia melihat
pergelangan tangan kananku yang tidak mengenakan jam yang dihadiahkannya, ia bertanya
kepadaku, kenapa jam yang ia berikan itu enggak dipakai?

Aku mengatakan kepadanya kalau jam itu hilang. Ia langsung marah-marah. Aku pun
menirukan perkataan mantanku saat itu, “Bohong! Kamupasti jual, kan? kamu jahat ya, Dit.
Jahat banget! Kamu tuh enggak bisa apa sedikit aja menghargai pemberianku?”

“Sehabis ngamuk kayak gitu, ia pergi begitu saja,” kataku.

“Drama banget,” ujar Ratna, lalu tertawa. Namun, aku pun jadi ikutan tertawa.

Aku menjawab entahlah. “Mungkin aku tidak memikirkan perasaannya.”


“Kok?”

“Ya, dengan menjawab seenaknya kalau jam itu hilang. Mungkin aku bisa bilang kalau ada di
rumah dan lupa memakainya. Kupikir, responsnya pasti berbeda. Akhirnya, jam yang ia kasih
itu pun belum lama ini hilang betulan ketika aku sedang merapikan kardus-kardus itu. Aku
jadi menyesal sudah bilang begitu dan benar-benar menghilangkan jam pemberiannya.”

“Kenapa kamu mendadak jadi merasa bersalah?” Ratna bertanya dengan suara yang tidak
biasa. Seperti ikut bersedih dan memberikan simpati kepadaku.

“Seperti katamu, mungkin bisa dijual. Lumayan, kan, uangnya?”

“Dih, Dita!”

Aku gantian tersenyum melihat wajahnya yang berubah masam. Tak lama, ia pun ikut
tertawa. Mungkin menertawakan dirinya sendiri yang sudah memasang tampang serius,
ketika berharap akan mendengar curhatanku yang menyedihkan, tapi aku malah meledeknya
dengan pernyataan dia sendiri.

“Lantas, kenapa kamu tadi malah menyuruhku menjualnya kalau aku sudah punya buku itu?
Apakah nanti aku sama saja tidak menghargai pemberianmu itu? Seperti yang pernah
dikatakan teman kecilku?”

“Aku tidak berpikir sejauh itu, Dit,” kata Ratna, lalu meminum machiatto-nya. Setelah itu, ia
terdiam dan mengetukkan jarinya ke meja seperti sedang berpikir. Aku masih menunggu
jawabannya.

“Aku cuma ingin memberikanmu hadiah,” kata Ratna. “Kalau ada orang yang bilang,
menjual barang pemberian orang lain itu salah dan bisa membuat orang itu kecewa, rasanya
bukan urusanku. Lagian, aku yang menyuruhmu untuk menjualnya, kan? Daripada kamu
membuangnya?”

“Aku enggak akan pernah membuang buku. Tapi nanti pemberianmu sia-sia dong kalau
kujual?”

“Tidak ada yang sia-sia menurutku. Menerima pemberian, menurutku juga sudah bentuk
menghargai. Bukannya kalau dijual nanti kamu jadi dapat uang?”

Ratna memang menyebalkan. Entah kenapa, anak ini sering sekali menjawab pertanyaan
dengan pertanyaan.

“Hmm, kalau kamu bingung jawabnya, begini deh,” ucap Ratna, kemudian menghela napas
dan mendengus. Dan melanjutkan argumennya.Kami pun terus berdebat soal menghargai
pemberian itu baiknya harus bagaimana. Mungkin kami punya pandangan yang berbeda
tentang itu. Makanya enggak akan pernah ketemu jalan tengah.
“Intinya gini deh,” ujar Ratna, memotong pembicaraanku yang bilang enggak mau menjual
buku pemberiannya. “Kamu pokoknya udah aku kasih hadiah tiga buku itu. Selanjutnya itu
urusanmu. Kamu mau simpan, buang, atau jual, terserahlah. Semua keputusan itu ada
padamu.”

“Yang aku belum punya, udah pasti dibaca terus simpan. Karena suatu hari bisa kubaca
ulang.”

“Ya udah, baguslah kalau gitu.”

“Buku yang lain gimana?”

“Dih, ini anak nyebelin! Aku, kan, tadi udah bilang terserah!”

Aku lagi-lagi tertawa.

“Kalau boleh memberikanmu saran, kamu mungkin bisa menjual buku itu, lalu nanti
dibelikan buku lagi yang belum kamu punya. Buku yang bakalan kamu simpan dan enggak
akan pernah dijual. Mungkin buku itu bisa untuk mengenang. Maka, nanti carilah buku yang
betul-betul mengingatkanmu padaku. Carilah buku yang bagus. Jadi ingatanmu padaku pun
sama bagusnya.”

“Hah?” aku terkejut sama perkataannya barusan. Perempuan ini memang enggak bisa
ditebak. Idenya ada-ada saja.

Kami belum berjumpa lagi sampai saat ini, sebab Ratna tidak sekali pun pulang ke Jakarta,
atau aku yang belum bisa berkunjung ke Yogyakarta. Aku sempat lupa mempunyai teman
sepertinya. Kalau bukan karena buku Menggapai Impian itu, mungkin aku betulan lupa,
bahwa ada seseorang bernama Ratna Meliyana. Seorang teman yang membeli buku panduan
menulis fiksi, tapi sampai sekarang aku enggak pernah membaca tulisannya. Aku bahkan
enggak tahu apakah dirinya mempunyai blog.

Tahun ini, kami juga sudah jarang sekali bertukar kabar. Sibuk dengan kehidupan masing-
masing. Aku enggak tahu bagaimana keadaannya di sana. Aku rada sungkan untuk
mengontaknya. Aku enggak bisa mengintip aktivitasnya di media sosial. Sedari pertama
berteman, kami memang cuma kontakan lewat WhatsApp. Tidak ada saling mengikuti akun
medsos. Katanya, ia tidak suka bersenang-senang di kehidupan maya.

Jadi, ia tidak membuat satu pun akun seperti Facebook, Twitter, atau Instagram. Aku baru
sadar, rupanya di era digital seperti ini, masih ada orang yang betul-betul tidak bisa diakses
ketika mengetikkan namanya di pencarian medsos. Wajahnya pun mulai samar-samar di
ingatanku.

Tiba-tiba mataku berkaca-kaca. Sambil tetap memegang buku pemberiannya itu, aku masih
berusaha untuk terus mengingat kebersamaan dengannya. Namun, aku sudah tidak banyak
mengingat hari-hari bersamanya. Cuma kisah tadi yang bisa kuceritakan.
Pilihanku selama ini untuk terus menyimpan buku yang ia hadiahkan itu, ternyata dapat
berguna saat ini. Sayangnya, pemikiran bisa berubah seiring waktu bergerak. Mungkin apa
yang Ratna bilang kala itu benar. Menerima pemberian juga sudah bentuk menghargai. Aku
sudah menghargainya dengan menerima buku itu dan menyimpannya sampai saat ini.
Sekarang, aku ingin menjual beberapa buku-buku lama yang sudah jarang dibaca. Uang hasil
penjualannya nanti akan aku belikan buku baru. Buku yang selalu mengingatkanku kepada
Ratna.

Anda mungkin juga menyukai