Anda di halaman 1dari 14

Riung dan Rantas

Cipt : nanda

Tahun 2004, ketika kamu berada di bulevar perbatasan antara Jalan Riung dan Jalan
Rantas, silahkan angkat kakimu ke arah jarum jam pukul 13 dan berjalan di titian menuju
Kedai Bertajuk Angan. Kan kujanjikan bahwa nantinya kamu akan menemukan banyak hal di
sana.

Karena aku sudah mencobanya sendiri, kutemukan Alfan Laksa di tengah sana pada
Januari tahun lalu. Ia menunduk dengan mata menajam, sepertinya lelaki itu sedang serius
membahas rangkaian amandemen atau apalah, aku tak pernah berhasil mengetahuinya.

Aksara Laksa yang selalu asik bertiga bersama koran dan kopi hitam tak tandasnya.

15 bulan berlalu setelah pertemuan pertama ala kadarnya, kini aku sudah jadi bagian
keluarga kecil Aksara dan dua kawan lamanya.

Aku merapikan rambut panjang lurusku dengan awang-awang, enggan ketahuan gerik
anehku oleh Aksaea yang tengah duduk diam di tengah Kedai Bertajuk Angan.

Lonceng pintu kedai sepertinya menyadarkan lamunan Aksara, ia melirikku sesaat


dengan pandang datar, dan mengikuti langkah kecilku dengan tatapan intimidasinya.

Aksara Laksa melirik arloji hitam di tangan kurusnya, "kamu telat 7 menit 42 detik,"
ucapnya.

Aku menghela nafas, "Aksa, busnya yang terlalu lama menjemputku, kamu tahu?"

Lelaki di hadapanku mengangkat bahu tak peduli, "tidak yakin, yang kutahu hanyalah
kamu yang telat bangun dan ketinggalan bus yang datang 10 menit sebelum kamu sampai di
halte."

"Baiklah," pasrahku, "hari ini mau bahas apa? undang-undang pasal berapa? atau
menteri republik indonesia sebelah mana dan asal mana?"

"Bukan," jawabnya singkat.

"Lantas?"

"Bahas kita."

***

Kedai Bertajuk Angan sepertinya akan menjadi satu-satunya saksi bisu yang dapat
menjaga rahasia tentang diriku dan Aksara Laksa.
Ku ingat-ingat lagi dahulu, saat aku tiba-tiba duduk di hadapannya di kedai ini. Aksara
sepertinya agak kesal, ia mendongak dari korannya dan menatapku sebentar. lantas
mengalihkan pandang dengan mata kecil makin menajam.

Kuulurkan tanganku saat itu, "namaku Kayana, kamu siapa?"

Satu-satunya sebuah uluran tangan yang tak pernah terbalaskan hingga detik ini. Aku
tarik lagi jemariku, lalu tersenyum sendiri saat itu bagai anak remaja yang gila jatuh cinta
pandang pertama yang alih-alih terduga.

Aku perhatikan Aksara dengan tatapan hangat, "kamu tahu sejarah cinta antara Riung
dan Rantas?"

Lelaki itu tak mendongak sama sekali, ia masih lanjut menatap lembaran demi
lembaran koran di hadapannya. Wah, benar-benar dia adalah satu-satunya manusia di dunia
yang membuatku semangat dengan rasa penasaranku.

Lalu dengan wajah sok misterius, aku berkata, "konon katanya, mereka anak dari Gaia
dan Atlas."

Tak kusangka, Aksara meletakkan korannya dan menatapku datar, walau butuh waktu
lama untuk menyadari bahwa terdapat sirat penasaran di balik sorot matanya.

"Kamu bicara apa?" tanyanya, "jauh hubungannya. Gaia dan Atlas ada di paham
Yunani, sedangkan Riung dan Rantas tak pernah ada yang tahu asal-usulnya, itu hanya nama
yang tertera pada sebuah jalan kota ini."

Aku melebarkan pupilku, meski agak merasa bodoh sendiri, tapi aku akan pancing lagi
agar lelaki itu bicara, "oh ya?"

Aksara sukses melipat korannya, ia menatapku serius, "memangnya kamu baca dari
mana? Dari koran terbitan tahun berapa? Di halaman berapa?"

Aku ingin tertawa saat itu juga. Koran lagi… koran lagi… namun aku masih tak juga
luput dari rasa ingin menjahili Aksara Laksa yang terlihat menarik saat ia sedang penasaran
akan suatu hal.

Aku berbisik, memajukan tubuhku satu senti, "aku lupa tepatnya. atau jangan-jangan,
Riung dan Rantas itu keturunan Raden Kian Santang?"

Sepertinya Aksara Laksa cukup pintar untuk kukelabui, ia mengubah raut wajahnya
dengan cepat, mulai mengetahui kalimat asalku.

Aksara berdecak, "cukup. kamu hanya berusaha menjahiliku, aku tak tertarik."

Aku menahan tawaku keras-keras dibalik rengekan kecil, "yah! Bagaimana, sih?"
Aksara hanya mengangkat bahunya tak peduli, melanjutkan bacaannya dengan sesekali
menyesap kopi hitamnya. Sementara aku lanjut mengoceh sana-sini tepat di depan wajah
lelaki asing di hadapanku kini, sesekali Aksara hanya melirik kecil, walau seringnya memilih
tak peduli dan ikut andil.

Mungkin aku tak sepenting itu baginya. Sudah 2 jam aku duduk diam di sana. Perutku
meronta-ronta dengan dua kaki yang merengek minta digerakkan, aku jelas menurutinya.
Kuangkat tubuhku dari kursi kayu di sana dengan senyum hangat, aku menatap sekali lagi
lelaki tampan di hadapanku ini.

"Sampai ketemu lagi, Wahai Bayu yang tak kuketahui namamu."

"Tunggu sebentar," hadangnya, "namaku Aksara Laksa."

Aku tersenyum, "sampai ketemu lagi, Aksa."

Sejak saat itu, Kedai Bertajuk Angan tak pernah absen untuk mempertemukan kami
berdua.

***

Aku ingat betul pertemuan pertama itu. mungkin momen itu akan bergabung bersama
dengan folder momen bahagia lainnya milikku selama 19 tahun berhasil hidup.

Pulang dari Kedai Bertajuk Angan sore itu, aku tak bisa berhenti tersenyum di jalanan,
melewati kembali bulevar perbatasan Jalan Riung dan Jalan Rantas, belok ke kiri memilih
Riung sebagai jalan ke rumah, menumpangi bus angka tiga puluh dua B, dan menempati
rongga kecil di pojok dekat pintu belakang.

Aku tak bisa menahan senyum bahagiaku. Sudah lama aku melihat Aksara Laksa di
sana. Sudah lama aku ingin bertandan pada kursi kayu di seberangnya, sudah lama aku
memendam rasa pada lelaki kurus yang tenggelam di balik mantel hijau pudarnya.

Esoknya, esoknya lagi, hingga esok esoknya lagi, aku sudah bisa menemui Aksara
Laksa di sana. Kami mulai akrab dan berbincang berdua, membicarakan apapun yang bisa
kami bicarakan. Aksara akan otomatis melipat kembali lembar korannya dan menatapku
dengan sempurna seakan-akan meyakinkan tak ada satupun yang bisa mendistraksi pikiran.
Sedangkan aku akan berceloteh ria ditemani susu sapi rasa strawberry dengan ceria.
memamerkan semua hal yang aku temui di sepanjang Jalan Riung yang dihiasi ornamen
bulan bintang.

Berbagai suasana di dalam kedai sudah kami lewati. mulai dari teriknya bias mentari
pada jendela tengah hari dan membuat kami saling bersembunyi karena cahaya terang
menyilaukan empat netra, hingga bisingnya dengung aspal bulevar yang dihujam rinai tatkala
dinginnya boleh saja menusuk sukma di balik mantel musim hujan.
Kami tetap akan berbincang berdua membahas isu dunia yang sebenarnya atau sekedar
berbagi tawa membahas isu dunia khayal antara kami dan Nona Ayu pemilik masa depan.

Sangat sempurna.

Aku menyukai Aksara Laksa dengan sangat sempurna, tanpa satu rongga dimana-mana.

***

Kalian tahu apa yang lebih mengenaskan daripada sebuah penolakan?

Ya, betul, hanya dianggap teman.

Aku pernah menyatakan, namun Aksara Laksa tak pernah tahu bagaimana caranya
berpasangan karena ia selalu sendirian. Mungkin Aksara terlampau senang kini sudah
memiliki teman bicara, hingga dengan bodohnya masih tak paham juga bahwa aku
menyukainya.

Seperti yang sudah-sudah, berbincang dengan Aksara tak akan menemukan titik
perhentian dengan mudah karena lelaki itu akan terus mengulik setiap kata yang aku
lontarkan. Pernah satu kali kami membahas topik tentang aku yang menyukainya, meski
menyebalkan tapi aku terlanjur penasaran. Aksara hanya terus-terusan membolak-balikan
pertanyaan dari setiap kalimat yang aku katakan, ia akan mengintimidasi semua orang yang
jadi lawannya.

Hingga aku lelah sendiri dan tak mau lagi membahas persoalan tentang kami berdua,
yang kuingat hanhalah saat itu Aksara berkata, "kamu seharusnya tak perlu repot-repot
mensugestikan diri sendiri untuk menyukai aku," ucapnya datar.

Aku menghela nafas, "sesulit itu, ya, jatuh cinta sama kamu?"

"Cinta hanya sugesti, Kanaya," katanya kepadaku, "kamu hanya perlu mensugestikan
dirimu kembali bahwa kamu nyatanya tak menyukai aku."

"Sa, kamu itu mikir apa?" tanyaku dengan kilatan tersinggung, "ada banyak hal di dunia
yang tak bisa dihalau, salah satunya jatuh cinta."

Aksara terlihat menghela nafasnya, "sejak kapan?"

"Apanya?"

"Sejak kapan kamu suka aku?"

Aku diam sebentar, "sejak hari pertama, sejak sebelum aku duduk di depanmu
membahas Riung dan Rantas tujuh bulan lalu."
Aksara Laksa tiba-tiba termundur sendiri, menatapku tak percaya seolah-olah aku
sedang mempermalukannya, "jadi selama ini… kamu hanya berusaha mendekatiku? Selama
ini kamu hanya terpaksa berteman denganku karena kamu punya maksud tertentu?"

Wah, aku luar biasa tersinggung kala itu. Aku menatapnya nanar nyaris ingin menangis.
Kututup buku menu tak jadi memesan, kupandangi wajah kecil Aksara dengan tajam.

"Kalau kamu ingin menolakku, tolak saja," ucapku dengan sorot mata tajam, "tak perlu
berburuk sangka padaku. Tak perlu menganggapku layaknya perempuan biasa yang
terlampau jatuh cinta padamu dan mendekatimu karena ada maunya."

Lepas itu, aku tinggalkan ia sendirian bersama dua kawan lamanya di sana. Aksara
Laksa tak akan repot-repot mengejarku, lantas ia hanya duduk terpaku menatap kepergianku.

Namun betapa kagetnya aku, setelah berbulan-bulan mencoba melupakan insiden


meluap-luap hari itu, kini Aksara mengajakku kembali untuk membahas sesuatu tentang kita.

Oh, mungkin ia akan meresmikan penolakannya.

***

2004.

Sepertinya cukup kuceritakan tentang masa lalu, tentang bagaimana awal temu hingga
bagaimana ditolak jadi pilu. Kupandangi Aksara Laksa di depanku. Lelaki itu tampak lebih
agung seperti namanya hari ini, dibalut kemeja garis hitam putih berlengan pendek, dan
celana bahan panjang berwarna cokelat tua.

Aku jadi bertanya-tanya, apakah hari ini aku yang salah kostum? Melihat penampilan
Aksara Laksa yang jauh dari biasanya, sementara aku hanya dibalut kaos ungu muda biasa
dan celana cutbray kedodoran yang kupakai nyaris tiga kali dalam seminggu.

Aku berdehem, "hari ini aku mau minum kopi, ada saran?"

"Tidak ada," ujarnya dengan tegas, "jangan coba-coba, kamu tak bisa konsumsi kafein."

"Satu kali ini saja, Sa..." bujukku.

Aksara tetap menggeleng, "tidak, tetap beli susu rasa strawberry. Hari ini aku yang
bayar."

Aku berbinar-binar, meski ini bukan pertama kali Aksara Laksa membayar pesananku,
tapi ini pertama kali ia berbaik hati tanpa paksaanku. Aku tertawa menang, "tumben kamu!"

Ia berdecak, "cepat pesan dulu, aku mau bicara."


Sontak aku mengangguk dan segera pergi ke meja pesan untuk menyebutkan pesanan
kami. Lalu aku dengan cepatnya kembali duduk di hadapan Aksara Laksa yang terlihat
memainkan jemarinya dengan lirikkan kesana-kemari.

Aku tahu betul, Aksara sedang gugup. Aku tanpa sadar menarik nafas, takut-takut lelaki
itu membawa kabar tak indah yang harus ia beritahukan padaku.

Aku mengernyitkan dahiku, "kamu kenapa? Kenapa kentara sekali sedang


menyembunyikan sesuatu?"

Ia mendongak, kemudian menggeleng, "hanya ingin bercerita, cerita yang sudah


kupendam sejak lama, mungkin ini sudah waktunya."

Aku menatapnya serius, "…sesuatu yang buruk, ya?"

"Bukan," jawabnya cepat, "atau ya… mungkin"

"Eum.. oke silakan?" perintahku dengan ragu.

Aksara Laksa menarik nafasnya pelan, kemudian menatap bola mataku sekilas sebelum
dialihkannya pandangannya, lelaki itu mulai larut pada ceritanya.

***

Aksara Laksa POV.

Yang ku tahu, sesaat setelah gadis itu membuka pintu Kedai Bertajuk Angan, dadaku
berdegup tak karuan, pun dilengkapi dengan telapak tangan yang saling genggam penuh
cemas. Entah ini merupakan langkah yang benar atau tidak, aku merasa perlu meluruskan
semua pada Kanaya.

Pada rasa milik Kanaya yang ia ungkapkan 7 bulan lalu, sepertinya gadis itu sudah
menceritakan singkatnya pertemuanku dengannya pada kalian, bukan? Sebab kini ia
mempersilakanku untuk melanjutkan cerita singkatnya.

Satu tahun lalu, mungkin lebih, aku jadi penghuni baru bersama kakak ku. Hunian kami
sederhana, hanya cukup untuk berdua, tapi aku takkan membahas hal itu kali ini. Kakakku
seorang guru honorer di kota, jarak rumah kami dan sekolah tempatnya mengajar cukup jauh,
membuatnya selalu pulang larut setiap hari dengan minggu sebagai pengecualian. Aku nyaris
tak punya waktu bersamanya, hingga akhirnya aku menemukan Kedai Bertajuk Angan ini
sendirian.

Kalau Kanaya Nabiru, ia kemari melewati Jalan Riung dengan bus nomor tiga puluh
dua B, sementara aku kemari melewati Rantas, sebuah jalan kecil jika dibandingkan dengan
bulevar tempat Kedai Bertajuk Angan berdiri, tanpa bus karena jaraknya yang tak jauh.
Jalan Rantas tak memilik banyak ornamen seperti Jalan Riung yang punya bulan
bintang di sisinya, begitu kata Kanaya tiap kali saat ia memamerkan sebuah jalan yang
dilewatinya. Walau begitu, Jalan Rantas selalu dihiasi dengan daun oranye yang jatuh pada
trotoar sempitnya, menjadikannya sama indah dengan ornamen alami yang berbeda.

Singkat cerita, aku jatuh cinta dengan bulevar ini. Walau hanya terlihat seperti sebuah
jalan besar yang nampak ramai karena jadi pusat hiruk-pikuk, tempat ini punya banyak cerita
yang kusimpan dalam memoar.

Tentang betapa berbedanya antara Riung dan Rantas yang disebut-sebut sebagai
sepasang jalan yang ditakdirkan bersama, yaitu bagaimana indah dan ramainya Jalan Riung
yang dihiasi ornamen bulan bintang, juga orang-orang dengan dandanan beragam yang
melewatinya. Pun bagaimana senyapnya Jalan Rantas yang membuat siapapun yang berjalan
lantas akan betah berangan-angan.

Kebetulan sekali. Kanaya dengan kepribadiannya yang ramai adalah satu dari
banyaknya manusia yang melewati Riung, sementara aku si hemat waktu adalah satu dari
sedikitnya manusia yang bergantung pada Rantas.

Kembali pada pertemuan pertama kami.

Saat itu, entah siang atau sore, aku yang biasanya hanya melamun sambil membaca
apapun yang ada pada koran, dikagetkan dengan datangnya gadis berambut hitam
bergelombang yang ditempeli selusin jepit rambut berwarna-warni, sedang cengar-cengir
memasang tampang bodohnya.

Kala itu, Kanaya mengulurkan tangannya membuatku melirik curiga, lamun dengan
cepat ku alihkan pada koran di genggaman.

Ya, aku kaget luar biasa saat itu. Mungkin Kanaya hanya bercerita tentang aku yang
membalasnya dengan tatapan datar, walau nyatanya aku kaget tak karuan, beranggapan
bagaimana bisa ada gadis yang dengan cuma-cuma mengulurkan tangan kanan.

Ini pertama kalinya bagiku. Alhasil, uluran tangan Kanaya hanya kubalas dengan
ekspresi sekenanya.

Kemudian, argumen bahwa Kanaya adalah gadis aneh yang menjahiliku, kembali
menguat tatkala ia mengeluarkan filosofi anehnya mengenai hubungan Riung Rantas di masa
ketika keduanya belum bereinkarnasi menjadi sepasang nama jalanan, atau entah seperti apa
dan bagaimana lah teori aneh selengkapnya.

Kanaya adalah gadis teraneh dari sedikitnya gadis yang sudi meluangkan waktu untuk
berbicara denganku. Saking bolongnya frekuensi diriku berinteraksi, hal itu tanpa sadar jadi
kelemahan terbesarku. Bercerita dan mendengarkan Kanaya berceloteh ria mulai jadi
kebiasaan ku, larut pada pandang naif dan tutur bodohnya adalah cara ku mengenali sosok
periang di hadapanku.

Beberapa bulan setelah itu, aku mendapatkan diriku menyukai Kanaya, ia jadi gadis
pertama yang ku jatuhi hatiku. Akan tetapi mendengar Kanaya lebih dulu mengatakan
perasaannya, membuatku tak percaya.

Yang awalnya hanya, "tak mungkin Kanaya balas menyukaiku, ia pasti salah
mengartikan," kian menjadi, “atau memang aku pun begitu selama ini, aku hanya salah
paham dengan pikiranku."

Hari itu tanpa kusadari, aku mematahkan hati gadis yang selama ini kusukai. Bodoh,
bukan?

Maka kali ini akan kuluruskan.

***

Pernah suatu ketika, kami sepakat untuk kembali mengunjungi Kedai Bertajuk Angan
pada Kamis sore. Kanaya bilang, ia ingin bercerita setelah tempo hari dikirimi surat lengkap
dengan perangko dari ayahnya di luar kota, lantas aku kemari seorang diri menunggu gadis
itu menunjukkan secercah senyumnya sehari-hari.

Akan tetapi Kanaya tak kunjung datang, ku lirik arloji yang setia menemani, jadi
gelisah setengah hati. Aku terdiam pada bangku pojok kedai. berasumsi bahwa Kanaya
mungkin akan datang 15 menit kemudian, lantas ku tunggu gadis itu bersama lamunan. Pias,
Kanaya belum juga datang.

Aku menghela nafas sesaat, mungkin ia lupa akan janjinya, mengingat kehidupannya
yang aneh dan tak pernah teratur. Besar kemungkinan sore ini Kanaya tak sadar telah tertidur.

Aku memasang kembali topi ku, kini berjalan keluar kedai. hingga langkah ku tepat
berada di persimpangan antara Riung dan Rantas. Namun bukannya mengambil arah Selatan
menuju Jalan Rantas, aku mendapati diriku banting setir menuju Riung, mencari Shena.

Setelah mencetak lusinan langkah pada jalan paling ramai dalam bulevar, juga
melewati ornamen bulan bintang super heboh yang tak satu pun kuketahui letak indahnya.
Aku menemukan Kanaya di seberang sana, tengah berjongkok menenggelamkan wajahnya.
Kucing-kucing liar satu persatu menghampirinya, mungkin mengira ia berjongkok untuk
berbaik hati memberi makan.

Kanaya dengan tak tahu malunya berteriak, masih dalam kondisi menangis
sesenggukan,

"Apa? Kalian mau minta apa?! Minta pada ibumu sana!" tangisnya menyalahkan
kucing liar yang bahkan tak mengerti perkataannya.
Bukannya pergi, kucing-kucing itu justru menggigiti celana hitam besar yang Kanaya
pakai. Aku tak kuasa menahan pandangan anehku, mulai khawatir sepertinya gadis ini tak
dalam kondisi baik-baik saja.

Ku akui, Kanaya memang didominasi oleh kelakuan aneh nan bodoh, tapi untuk
menangis… ini pertama kalinya bagi ku. Beruntung, Jalan Riung pada Kamis sore tak terlalu
ramai, hanya ada beberapa angkutan umum yang lewat dengan motor-motor bebek memenuhi
bising sepanjang jalan.

Aku berjalan menghampiri Kanaya, menatapnya datar, "kamu sedang apa?"

Kanaya dengan mata sembab dan hidung merahnya menatapku kaget, "Aksa?! Kok
kamu di sini?!"

Sebentar, biarkan aku memaki diri. Aksara bodoh, bisa-bisanya di saat seperti ini
hatimu berdesir sesaat tatkala gadis itu memanggilmu dengan sebutan Aksa yang dibuatnya
sebulan lalu.

"Kamu telat hampir dua jam, masih untung tak kutinggalkan," balasku acuh, menelan
kembali sepercik perasaan yang sempat meletup.

Gadis itu memberengut, "dua kucing ini tak mau pergi."

Aku menghela nafas, kini berjongkok meraih tubuh kecil dua kucing berwarna putih,
"ini, kamu pegang yang ini. Percuma kamu teriaki seperti tadi, yang ada mereka hanya akan
membuntutimu sampai rumah, di depan sana ada warung makanan jadi, ayo beli ikan!"

Kanaya mengangguk samar, kini meraih satu anak kucing dalam gendongan dan
menatapku cemberut sebelum ikut berjalan bersisian denganku di titian. Tangan kanan gadis
itu dilingkarkan pada sebelah lengan atas ku, seperti kebiasaannya saat berjalan bersama ku.
Walau yang biasanya akanku tepis dengan cepat, namun kali ini kubiarkan ia menjadikan ku
tumpuannya.

Kanaya menoleh padaku sekilas, "tadinya aku mau beritahu bahwa Ayah berjanji akan
pulang di suratnya seminggu lalu. Tetapi sore tadi, Ayah mengirim surat lagi, mengatakan
bahwa ia tak jadi pulang karena pekan depan ada pekerjaan."

Aku terdiam mendengarkan Kanaya yang sibuk bercerita tentang hari-hari barunya,
padahal dua menit yang lalu ia masih menangisi perihal kepulangan Ayahnya, namun kini
seakan gadis itu sudah melupakan kesedihannya. Tangan kurus gadis itu masih bertengger
pada lenganku dengan hangat. Sementara aku mengalihkan pandang, mulai terhanyut dalam
perasaan.

Aku berdehem, "kamu sudah makan?"


Kanaya balas menggeleng, "belum, nanti mampir ke warung roti bakar di sana ya."
pintanya tersenyum senang.

Aku balas mengangguk dengan wajah datar seperti biasa, "boleh, setelah beri makan
dua kucing ini. Ayo cepat, biar nanti ku antar kamu pulang."

Shena memasang wajah kaget, "sungguh? Seorang Aksara? Mau mengantarku pulang?
Wah haha kemajuan yang luar biasa!"

Aku mencibir membalasnya. Namun tak lama ikut tersenyum memandangnya yang
kembali tertawa menanti suapan pertama roti bakar cokelat di kios langganan.

Sore itu, untuk pertama kalinya, aku ikut menumpangi bus kota nomor tiga puluh dua B
bersama Kanaya Nabiru.

***

Kanaya menatapku nanar, seakan tak percaya dengan setiap kata yang ku lontarkan.
Susu dingin dan kopi hitam kami sudah duduk manis berhadapan layaknya masing-masing
empunya. Gadis dengan baju ungu muda dan celana cutbray yang sudah ia pakai 3 kali dalam
sepekan di hadapan ku kini masih tak bersuara.

Aku lagi-lagi mengalihkan pandangan persis pecundang, kemudian ganti berdehem


menatap wajah Kanaya yang tertegun sejak beberapa detik yang lalu.

"Kamu yang bilang pada ku untuk lebih bisa menyuarakan hati ku, kan?" tanyaku buka
suara, "aku sudah terus terang. namun kenapa kamu diam?"

Kanaya hanya balas menatapku, matanya bener-benar tak bergerak sejak awal ku
katakan bahwa aku menyukainya.

"Baiklah, maaf," ucapku lagi karena sudah muak dengan aksi diam-diaman, "aku salah
lagi, kan?"

Gadis itu akhirnya mengalihkan pandangannya, aku mulai menegak tatkala sepasang
mata kecil itu mengeluarkan tetes airnya,

Kanaya masih tak menoleh, "kenapa? Kenapa aku tak menemukan kebohongan dari
ucapan dan mata mu?" tanya gadis itu akhirnya.

"Kamu bohong, kan, Sa? Kamu hanya tak tahu bagaimana caranya menolakku tanpa
menyakiti hatiku agar kita tetap berteman, maka yang kamu lakukan justru berdalih bahwa
kamu turut menyukai ku? Iya, kan, Sa?" lanjutnya.

"Na…" aku menatapnya kecewa, "boleh aku tanya sesuatu sebelum aku menjawab
pertanyaanmu?"
Kanaya hanya mengangguk.

"Tapi pertama, hapus dulu air mata mu," pintaku.

Setelah gadis itu menghapus air matanya dalam satu gerakan, aku melanjutkan
perkataanku, "saat itu, saat kamu bilang bahwa kamu menyukaiku, namun ku balas bahwa itu
hanya sugesti biasa dan berprasangka bahwa kamu tak tulus menemani ku, bagaimana
perasaanmu?" tanyaku.

Kanaya menjawab dengan bibir bergetar, "tentu aku sedih dan marah, padahal aku
butuh berbulan-bulan meyakinkan diri untuk mengatakan fakta itu, tapi malah kamu balas
demikian."

"Aku juga merasa begitu sekarang," balasku menatapnya teduh, "tapi cukup aku yang
melakukan kebodohan itu pada kita berbulan-bulan lalu"

Aku kembali melanjutkan, "aku lelah, Na," ucapku, "aku lelah mengetahui bahwa sejak
hari dimana aku menepis perasaanmu, justru semakin tumbuh lah perasaanku. Aku lelah
mengakui bahwa aku telah membohongi perasaanku. aku lelah menyesali mengapa hari itu
tak balas mengatakan hal yang sama denganmu."

Kanata lagi-lagi menatapku tak percaya, "lantas selama ini kamu membiarkanku
beranggapan bahwa diriku satu-satunya manusia paling menyedihkan sebab menyukai
seseorang yang tak menyukaiku? Walau nyatanya bahkan kamu yang menyukai ku lebih
dulu?"

Aku berdehem, "tak perlu dipaparkan dengan jelas begitu, Na... kamu membuatku
menyesal mengatakan ini."

Aku mendapatkan Kanaya mulai naik pitam, ia mengomel dengan wajah merah
menahan kesal, juga dengan mata berkaca-kaca. Sesuatu yang baru ku sadari akan selucu ini
bila Shena yang melakukan.

"Lalu apa? Apa maumu, Aksara? Apa maumu setelah memanggilku datang kemari?
Apa maumu setelah tiba-tiba berpakaian rapih begini? Apa maumu setelah dengan anehnya
mentraktirku cuma-cuma hari ini? Apa maumu setelah mengatakan bahwa kamu menyukaiku
selama ini?" tanya Aksara setengah menahan amukan, walau tidak terlihat seram sama sekali
di mataku.

Aku terdiam menatapnya. benar-benar diam sambil melebarkan mata menunggunya


selesai berbicara.

Aku tersenyum, "sungguh? semudah itu pertanyaanmu?" balas ku jenaka, "sudah jelas
yang ku mau itu kamu, Na," lanjutku.
Kanaya memelototiku dalam sekejap, "sial, benar-benar sialan. Berhenti berbicara
aneh!"

"Kamu salah tingkah, berarti ini tanda persetujuan, kan?" tanyaku polos.

Kanaya tiba-tiba berdiri sambil menggebrak meja kayu di pojok Kedai Bertajuk Angan
yang biasa kami singgahi. Aku menegak sesaat, lalu dengan cepat menunduk patuh layaknya
bocah lelaki yang dimarahi ibunya.

Kanaya menatapku kesal, "lagipula, apa maksudmu pakai mantel hijau begitu, hah?
Apa maksudmu tampil berbeda hari ini?!" tanyanya lagi-lagi pertanyaan aneh.

Aku mengalihkan netraku pada pakaian yang kukenakan hari ini, "punya kakakku,
kupikir akan terlihat tampan padaku."

"Tidak! Tidak sama sekali karena aku akan mengatakan, YA KAMU BAHKAN
TERLALU TAMPAN DALAM BALUTAN MANTEL INI! PUAS KAMU?!"

Aku terkesiap dengan pupil mata melebar, waktu di sekitar kami seakan berhenti tatkala
gadis aneh ini tiba-tiba berteriak memuji ku dengan penuh amarah, membuat seluruh mata
pengunjung Kedai Bertajuk Angan kini menoleh sempurna pada kami berdua.

Mungkin begitu lah akhir dari awalan kami berdua, dengan diriku yang menahan tawa,
sementara Kanaya kalang-kabut menahan malu yang melanda.

***

Lima belas tahun berlalu, aku masih sama begini. Masih tetap bodoh dan aneh seperti
deskripsi Aksara Laksa tentangku dalam bait ceritanya. Namun bedanya, kini sudah ada pria
yang membantu ku menjalani kehidupan aneh ku. Untungnya, Aksara tak ikut tertular bodoh
sama denganku.

Setelah lima belas tahun berlalu, ada banyak perubahan pada kota tempat cerita kami
tercipta, pada bulevar yang selalu kubangga-banggakan, pun pada sepasang jalan yang
katanya ditakdirkan bersama.

"Na," panggil Aksara dari meja kerjanya, "kamu mau ke makam Kana dan Kala? Jadi
hari ini?"

Aku tersenyum sendu, "jadi, kamu sudah selesai?"

"Sebentar lagi," balasnya, "tadi kuperhatikan kamu senyum sendiri, ada apa?"

"Hanya merindukan bulevar dan sepasang jalannya," senyumku.


Kanaya balas tersenyum lembut, menyadari bahwa aku sedang memutar memoar masa
muda kami untuk ke sekian kalinya, lantas kemudian lelaki itu segera menuntaskan
pekerjaannya.

Kana dan Kala, mereka buah hati kami yang sudah lama pergi. Hidupnya hanya
bertahan 7 tahun, walau di tahun terakhir harus bulak-balik berobat kesana-kemari. Aku
hancur betul ketika keduanya pergi meninggalkan kami. Kala pergi lebih dulu sebelum
kakaknya. hingga mungkin Kana jadi tak punya semangat hidup begitu tahu kembarannya
sudah pergi untuk selama-lamanya.

Aku menatap foto keluarga kami di ruang tengah, dengan aku dan Kanaya yang
masing-masing menggendong sepasang buah hati kami. Ku pandangi kulit putih bersih
keduanya, mata besar yang malu-malu menatap kamera, juga wajah yang persis sama.

"Nak… ayah sama bunda rindu kalian…" ucapku dramatis.

"Dasar aneh," hingga suara datar Kanaya mengalihkan diriku yang sudah di ambang
tangisku, "ayo cepat keluar, jangan berdiri di tengah jalan begini."

Aku berdecih, "jangan terlalu galak dan ketus begitu, Aksa!"

Ya, kami menuju makam sepasang kucing yang dulu kutemukan di jalanan dan
berakhir dirawat oleh Aksara dan kakaknya, mereka kesepian katanya. Aku yang menamai
mereka Kana dan Kala dengan asumsi bahwa keduanya adalah sepasang kembar jantan dan
betina, walau ternyata mereka bukan kembar dan mereka sama-sama jantan.

Setelah selesai dari makam sepasang kucing yang jadi saksi bisu kisah masa muda
kami, kami berdua kini berjalan ke titian, menuju bulevar yang kurindukan. Mungkin kalian
akan kecewa, tapi tiga tahun yang lalu Jalan Rantas telah ditutup. Kini dijadikan lahan untuk
kios-kios besar yang masih dalam proses pembangunan.

Aksara sempat menangis mengetahui fakta itu tiga tahun yang lalu, omong-omong,
hanya Jalan Riung yang tersisa karena Kedai Bertajuk Angan pun sudah lama tutup dan
tergantikan oleh toko roti mahal. Terkadang kami berdua sudah terlalu menahan rindu pada
tempat itu, kami berakhir duduk berdua di bawah pohon besar seberang toko itu sambil
bercengkerama.

"Tahun 2004 aku dapat secangkir kopi hitam di Kedai Bertajuk Angan hanya dengan 2
ribu rupiah," ucap Aksara saat itu.

Ia melanjutkan, "kini perlu 20 ribu rupiah hanya untuk sepotong roti Italia yang nyaris
tak ada rasanya."

Aku mengangguk mengiyakan, "entah kenapa aku merasakan diriku seperti sudah
berumur setengah abad."
Lalu Aksara mulai terbahak, kami berdua berjalan berhimpitan di pinggir Jalan Riung
yang ramainya tak terkira, bahkan trotoar jalan mulai terkikis melihat dari kondisi kendaraan
yang sudah terlalu padat memenuhi.

Aku menghela nafas, ornamen bulan bintang pun sudah hancur dirusak saat
demonstrasi mahasiswa delapan tahun lalu. Saat itu, sedang maraknya aksi unjuk rasa di kota
kami, manusia berbondong-bondong ingin menggulingkan Walikota yang dianggap tak layak
kerja.

Sudah banyak yang berubah. bahkan bus nomor tiga puluh dua B pun sudah lama
berhenti beroperasi. Masa-masa indah kota ini dapat ku nikmati bersama Aksara sejak 2004,
walau sudah tak seindah dahulu, aku tetap bersyukur bisa menyaksikan banyak perubahan,
dan masih bersama dengan seorang Bayu seistimewa Aksara, pemilik hati Sang Puan dalam
cerita lama.

"Na," panggil Aksara Laksa.

Aku menoleh, "ya?"

"Terlalu banyak yang berubah," balasnya, "kamu tak berniat untuk berubah, kan?"

Aku balas menatap tampang seriusnya dengan tatapan jenaka andalan, "tenang saja, Sa.
Aku tahu bahwa kamu sudah terlampau mencintai sikap aneh dan bodoh ku, kan?" godaku.

Aksara Laksa melengos dengan putaran bola mata memuakkan.

SELESAI.

Anda mungkin juga menyukai